Anda di halaman 1dari 13

ARSITEKTUR ISLAM : MASJID, ISTANA, MAKAM

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah sejarah peradaban
islam

Dosen pengampu : Ibu Wahyu Setyaningsih M.A.

Disusun oleh :

Wulan Sari ( 53050200046 )

Miftakhul Aini Zahrotun Nikmah ( 53050200053 )

PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN, ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SALATIGA

2022
Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah Sejarah Peradaban Islam yang berjudul
“Arsitektur Islam : Masjid, Istana, Makam” ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari ibu
Wahyu Setyaninggsih, M.A. pada mata kuliah Sejarah Peradaban Islam. Selain itu, makalah
ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang Sejarah Peradaban Islam bagi para
pembaca dan juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terimakasih kepada Ibu Wahyu Setyaninggsih, M.A. selaku


dosen mata kuliah Sejarah Peradaban Islam yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.

Dengan terselesaikannya makalah ini, kami mengucapkan terimakasih kepada semua


pihak yang terlibat dalam proses pembuatan makalah ini yang telah memberikan dorongan,
semangat dan masukan. Semoga apa yang kami tulis ini dapat bermanfaat bagi para pembaca
dan masyarakat pada umumnya, serta mendapatkan ridha dari Allah S.W.T. Amin.

Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan
makalah ini.

Salatiga, 19 September 2022

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Arsitektur karya umat Islam merupakan hasil cipta, karsa, dan karya arsitektur muslim
yang dipadukan dengan rasa penghambaan diri sang arsitek kepada Tuhan. Salah satu
tujuan umat Islam berkarya dalam wujud arsitektur adalah upaya memperbaiki peradaban.
Jika dicermati di dalam arsitektur Islam terdapat nilai-nilai Islami yang diaplikasikan
dalam bentuk bangunan dengam menggunakan teknologi modern sebagai sarana untuk
mengekspresikannya. Nilai-nilai yang tertuang di dalam arsitektur Islam salah satunya
adalah hubungan yang harmonis antara manusia, lingkungan, dan penciptaNya. Nilai-nilai
Islami biasanya terkandung dalam bangunan karya arsitek muslim, karena dalam Agama
Islam arsitektur merupakan ilmu pengetahuan yang didasarkan pada teks al-Quran
sebagai sumber segala ilmu pengetahuan. Sehingga hasilnya bangunan karya arsitek
muslim tidak bertentangan dengan syariah, tauhid, dan akhlak al-karimah. Meskipun
bangunan karya arsitek muslim di berbagai negara diciptakan dengan tujuan sama, yaitu
memperbaiki peradaban umat Islam, dan sebagai ekspresi penyerahan diri seorang hamba
kepada Tuhannya, tetapi bentuk arsitektur Islam di berbagai dunia tidak sama. Beda
negara bentuk bangunannya berbeda pula. Bahkan beda daerah saja bentuk arsitekur
Islam juga bervariasi, dan masing-masing karya tersebut hadir dengan keindahannya
masing-masing.

Keindahan yang tampak pada arsitektur Islam bertumpu pada kebesaran Allah sebagai
Sang Pemilik Keindahan. Sebagaimana arsitektur lain, arsitektur Islam hadir di mana-
mana sepanjang ia dibutuhkan. Maka tidak heran,jika arsitektur Islam turut
mempengaruhi kemajuan dan kemunduran peradaban dunia. Karena umat Islam sebagai
salah satu peradaban terbesar di dunia ini telah turut menyemarakkan kemajuan
peradaban dunia melalui karya-karya arsitekturnya. Meskipun demikian, sebuah karya
arsitektur tidak ada maknanya jika tidak mengandung nilai-nilai Islami di dalamnya. Dan
hanya dianggap sebgai bangunan biasa. Nilai-nilai Islami yang terkandung dalam
arsitektur tersebut merupakan perpaduan antara kebudayaan karya manusia dengan
ekspresi penghambaan diri seorang muslim kepada Tuhannya. Sehingga di dalamnya
tercermin keselarasan antara manusia, lingkungan, dan Tuhannya. Karya arsitektur Islam
yang bermakna inilah sebagai kontribusi umat Islam dalam memajukan peradaban
dunia.Tulisan ini membahas arsitektur dalam tradisi Islam, sejarah perkembangan
arsitektur Islam dari masa ke masa, karakteristik utama arsitektur Isam, serta
implementasi bentuk arsitektur Islam di nusantara.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perkembangan arsitektur islam berupa masjid ?
2. Bagaimana perkembangan arsitektur islam berupa istana ?
3. Bagaimana perkembangan arsitektur islam berupa makam ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui perkembangan arsitektur islam berupa masjid.
2. Untuk mengetahui perkembangan arsitektur islam berupa istana.
3. Untuk mengetahui perkembangan arsitektur islam berupa makam.

D. Manfaat
1. Dapat mengetahui perkembangan arsitektur islam berupa masjid
2. Dapat mengetahui perkembangan arsitektur islam berupa masjid
3. Dapat mengetahui perkembangan arsitektur islam berupa makam
BAB II

PEMBAHASAN

A. Perkembangan Arsitektur Islam Berupa Masjid


PERKEMBANGAN AKSITEKTUR MASJID :

Dari Tempat Sujud menjadi Pusat Budaya

Pada awalnya, masjid tidak harus merupakan bangunan khusus atau karya arsitektur
tertentu. Sebab, pada dasarnya, sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Muslim
menyebutkan, bahwa: “Kepada Jabir bin Abdullah Al-Ansary, Nabi menerangkan bahwa
bumi ini bagiku suci bersih dan boleh dijadikan tempat untuk sembahyang, maka
dimanapun seseorang berada bolehlah ia sembahyang apabila waktunya tiba”. 1 Demikian
pula, hadist riwayat Bukhari menyatakan bahwa: “Apabila Nabi Muhammad berkata:
seluruh jagad telah dijadikan bagiku sebagai masjid (tempat sujud)”2

Hadits tersebut bermaksud menyatakan bahwa seluruh permukaan bumi ini bisa
dijadikan sebagai masjid, dan sama sekali tidak bermaksud membatasi bagaimana cara
dan bentuk masjid itu diwujudkan. Oleh sebab itu, seperti disebutkan Abdul Rochym, 3
Islam tidak memiliki konsep arsitektur (yang memaksa), yang menyatakan bahwa
bangunan masjid sebagai tempat peribadatan umat Islam, misalnya harus memiliki ciri
seragam seperti kubah atau bentuk lainnya. Meski seluruh permukaan bumi adalah
masjid, dan karena itu bisa saja membuat masjid dengan sekedar batas pagar berbentuk
kotak misalnya, namun bagi ummat Islam masjid adalah “Rumah Allah” yang harus
dimuliakan. Karena itu, sepanjang sejarah perkembangan arsitektur, masjid merupakan
bentukan arsitektur yang memperoleh curahan optimal dalam hal ketrampilan teknologi,
estetika, dan falsafah dalam rangkaian sejarah arsitektur Islam.

Masjid telah menjadi suatu karya arsitektur yang merupakan hasil budaya manusia
yang terbesar baik dalam penyebaran geografis, ragam ukuran, maupun ragam bentuk
sepanjang masa. Kenyataan ini bertumbuh, karena arsitektur masjid sekaligus
mengandung dua unsur, yaitu sebagai kristalisasi nilai dan pandangan hidup masyarakat
1
Hussein Bahreisj. 1982. Hadist Shahih Bukhari Muslim. Karya Utama. 3
2
H. Zainuddin Hamidy, dkk. 1990. Hadis Shahih Bukhari. Bulan Bintang.
3
Abdul Rochym. 1994. Lintasan Sejarah Arsitektur. Bahan kuliah tidak diterbitkan. FPTK IKIP Bandung.
Lihat juga: Abdul Rochym. 1983. Sejarah Arsitektur Masjid. Angkasa
Muslim, dan sekaligus sebagai pembentuk manusia-manusia yang sesuai dengan nilai dan
pandangan hidup masyarakatnya itu sendiri. Oleh sebab itu, bisa dipahami jika kemudian
masjid menjadi pusat kebudayaan agama Islam, dan bahkan menjadi tanda, simbol, dan
orientasi bagi keberadaan Islam dan ummatnya.

Dari segi fungsi, seiring dengan masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia
khususnya di Pulau Jawa, masjid dalam perkembangannya tidak saja digunakan sebagai
tempat ibadah dalam arti sujud, namun juga sebagai tempat pembinaan, pengajaran,
praktek sosial, pengamanan, dan benteng pertahanan umat Islam. Karena itu, fungsi
masjid mencakup pengertian sosial, budaya, dan politik sekaligus.

Karena itu, masjid dalam kapasitasnya sebagai rumah ibadah umat Islam memiliki
beberapa unsur-unsur/elemen-elemen yang diperlukan untuk fungsi-fungsi tersebut. Ada
beberapa elemen generik yang memang ada dari sejak dulu (jaman Nabi Muhammad
SAW) dan ada pula yang tambahan-tambahan pada masa-masa berikutnya. Tambahan-
tambahan pada masa berikutnya ini berkembang seiring dengan kebutuhan-kebutuhan
baru. Keduanya (baik yang generik maupun yang merupakan tambahan baru) pada
umumnya bervariasi tergantung di mana masjid tersebut berada.

PERKEMBANGAN ARSITEKTUR MASJID DI INDONESIA :

Suatu Adaptasi dan Akulturasi Budaya

Sejarah mencatat bahwa Islam masuk ke Indonesia melalui jalur hubungan dagang
yang sangat lama. Di Jawa, Islam masuk dan berkembang secara perlahan tetapi terus
menerus selama abad ke-13 hingga ke-16. Para penyebarnya terkenal dengan
toleransinya terhadap budaya dan tradisi setempat yang ada. Perkembangannya yang
tidak secara drastis ini sedikit demi sedikit menggantikan norma yang telah ada
sebelumnya khususnya Hindu-Budha selama masa waktu itu. Proses ini berlangsung
lama sehingga terjadilah percampuran secara alamiah.

Pada awal abad ke 15, Islam sudah menjadi kekuatan sosio-politik di Nusantara,
khususnya di pulau Jawa, sehingga berhasil mendesak pengaruh politik Majapahit.
Kenyataan ini memuncak dengan berdirinya Kesultanan Demak yang didukung oleh
segenap ulama di Indonesia (lebih dikenal sebagai Wali Sanga). Masjid, sebagai pusat
dan inspirasi segala kegiatan lalu menjadi suatu lambang yang baru untuk memelihara
momentum sosio politik waktu itu, sekaligus sebagai proyeksi jati-diri tatanan yang baru
dalam bentuk yang nyata dan kasat mata.

Berkaitan dengan penyebaran Islam secara damai ini pula, Islam terlihat
mengadaptasi budaya dan tradisi setempat ke dalam perwujudan tipo-morfologi
arsitektur masjid yang baru. Atau juga sebaliknya terlihat bahwa masyarakat asli
setempat cenderung untuk menyerap ide-ide baru (Islam) dan kemudian
mengasimilasikannya dengan kepercayaan yang mereka anut.4 Keduanya saling mengisi
dan jalin-menjalin dengan unik. Contohnya seperti pada Masjid Sendang Duwur (1559)
di Jawa Timur, yang memiliki bentuk gerbangnya terdapat ornamen makhluk hidup
menyerupai burung merak dan burung garuda. Atau Masjid Menara Kudus yang
gerbang-gerbangnya (kori) dan menaranya lebih mirip bangunan candi Hindu (Candi
Jago di Jawa Timur) dari pada sebuah menara adzan masjid pada umumnya.

Bahkan pun di Cina, morfologi arsitektur masjid Agung Xian memperlihatkan


adanya endapan karakter kebudayaan Cina. Jika dibandingkan sistem hirarkis konsep
gunung kosmik pada struktur Kota terlarang Beijing Kuno, ternyata kebudayaan manusia
Cina yang hirakis secara tak terasa tapi mencolok mengendap dalam bangunan masjid
Xian ini; dan yang lain sama sekali ekspresi wujudnya bila dibanding dengan masjid Ibn
Tulun di Kairo yang sangat demokratis tumbuh dari bumi dan rakyat padang pasir.5

Bukti-bukti itu menunjukkan realitas, bahwa lewat bentukan arsitektur sebagai


salahsatu produk budaya masyarakat, terlihat proses akulturasi damai antara dimensi
kultural Islam dengan kebudayaan setempat. Ini sekaligus menyangkal kesalahpahaman
masyarakat Barat, bahwa Islam datang ke negerinegeri pemeluknya dengan kekerasan,
penghancuran, dan perang yang penuh darah. Meski demikian, penyebaran Islam di
Indonesia, khususnya di Jawa bukannya tanpa pergumulan serius.

Menurut Khudori,6 memang pada banyak tempat di kepulauan Nusantara, penyebaran


Islam tidak mendapat hambatan berarti. Namun di Jawa, sesungguhnya terjadi
konfrontasi serius menghadapi kekuasaan Majapahit dengan peradaban Hindu-Bunda-
nya, yang bahkan aspek mistik dan rujukan historiknya masih terasa sampai sekarang.
Karena itu, tampaknya eklektisisme dan sinkretisme menjadi pilihan. Eklektisisme dan

4
Bambang S. Budi (2000). Arsitektur Masjid. Jaringan Komunitas Arsitektur Indonesia. Arsitektur. Com
5
Y.B. Mangunwijaya. 1992. Wastu Citra. Gramedia Pustaka Utama. h 51-88
6
Darwis Khudori. 2000. Islam, Architecture and Globalisation: Problematic and Prospects for Research in
Indonesia. Proceeding of The Third International Symposium Expression in Indonesian. Architecture. h. 14.
sikretisme arsitektur itu bisa disebut merupakan suatu solusi yang cerdas, dari pola
penyebaran agama Islam secara damai dan mudah diterima, karena tidak memberikan
kejutan budaya yang radikal. Dengan demikian, dinamika Islam dalam menghadapi pola-
pola budaya dan tradisi lokal yang sudah ada di Nusantara melahirkan keragaman
morfologik arsitektural dalam jumlah besar dan bermutu tinggi.

Dari sudut pandang agama itu sendiri, kenyataan ragam bentukan arsitektur tersebut
mencerminkan sifat kebudayaan yang dibangun oleh manusia, dengan citarasa, cara
berfikir, cara berperilaku, dan selera, yang bersifat relatif dan fana. Artinya, bangsa-
bangsa yang berbeda dapat memeluk satu agama yang sama yaitu agama Islam yang
datang dari wahyu Allah dalam Al Qur’an, namun bentukan arsitektur Islam dapat
beragam sesuai dengan kebudayaan masing-masing, termasuk kebudayaan eklektik dan
sinkretik.

Sesungguhnya belum ada studi yang menunjukkan kaitan antara eklektisisme,


sinkretisme, dan adaptasi arsitektur masjid terhadap budaya lokal, dengan sinkretisme
dalam aspek ibadah ritual. Namun sebagai amsal, dalam Babad Cirebon ada sebaris
keterangan yang menyatakan bahwa orang Jawa tidak perlu mengikuti bangsa Arab
dalam mendirikan menara. Alasannya, orang biasa (muadzin) tidak boleh berada lebih
tinggi daripada raja. Hal ini akan menimbulkan akibat buruk, yang disebut sebagai tullah
atau kualat.7 Untuk kalangan Islam modernis, alasan ini dapat dipandang bid’ah, karena
mencampur-adukkan antara ketentuan agama bahwa: semua manusia pada dasarnya
kedudukannya sama di hadapan Allah dan hanya tingkat ketaqwaan yang
membedakannya, dengan kedudukan hirarki feodal Raja dan sekaligus mitos yang
menyertainya.

Dengan demikian, munculnya aliran tradisionalis dan modernis dalam Islam, untuk
sebagian bisa dipahami dengan merujuk kepada sejarah perkembangan Islam dan
arsitektur masjid di Indonesia, atau sebaliknya. Dari segi tipologi arsitektur masjid
khususnya, pembahasan di atas menunjukkan kemungkinan adanya relasi antara doktrin
keagamaan dengan arsitektur. Telaah ini sendiri tidak akan membahas lebih lanjut
kemungkinan adanya kaitan antara doktrin keagamaan dengan perkembangan arsitektur
7
Ini merupakan suatu penjelasan, mengapa menara tidak menjadi bagian yang mutlak untuk menentukan
lengkap tidaknya bangunan masjid, sebab tidak semua masjid besar di Indonesia dilengkapi menara. Lihat lebih
banyak dilahirkan dari “keterbatasan” tektonika (pengolahan bahan alam dan teknologi konstruksi) lokal.
Selanjutnya, lihat: Priyo Pratikno. 2000. Keterbatasan Peran Bahan Bahan Bangunan Lokal pada Penampilan
beberapa Masjid. Proceeding of The Third International Symposium on Islamic Expression in Indonesia
Architecture. Yogyakarta: UII
masjid. Namun demikian, analisis memang menunjukkan bahwa perkembangan
arsitektur masjid umumnya berorientasi pada dua mainstream, yaitu karakteristik
tradisionalitas dan modernitas arsitektur. Pengungkapan tradisionalitas dan modernitas
arsitektur masjid ini, sama sekali terlepas dari penilaian baik dan buruk sehingga bersifat
netral. Artinya, modernitas arsitektur masjid tidak dimaksudkan untuk menunjukkan nilai
lebih baik atau lebih buruk dari tradisionalitas arsitektur masjid, dan demikian pula
sebaliknya.

B. Perkembangan Arsitektur Islam Berupa Istana


Istana awal islam, tata ruang istana kesepuhan menyesuaikan pada kebanyakan
keratin Jawa lain: istana menghadap alun-alun dengan sebuah masjid agung di sebelah
barat dan pasar di bagian utara. Para perencana kesepuhan menjadi pelopor dalam
pembuatan pola dasar. Tidak terdapat istana Indonesia zaman pra Islam yang telah
diperbaiki. Istana kesepuhan Cirebon berangka tahun 1454 M, tradisi berbicara bahwa
penguasa Cirebon beralih agama ke Islam pada pertengahan abad ke-15. Istana zaman
awal Islam mempertahankan ciri arsitektur zaman pra Islam. Istana kesepuhan menarik
karena mulai dibangun pada periode pra-Islam akhir dan terus berkembag sepanjang
masa peralihan, hal ini mengandung petunjuk tahapan tata olah yang melaluinya secara
bertahap Islam menjadi terpadu dalam arsitektur.8

Istana atau terkadanng sering disebut dengan nama keraton di Jawa juga termasuk
sebagai hasil budaya material yang diakibatkan oleh pengaruh Islam di Indonesia. Istana
bukanlah hanya sekedar tempat yang dijadikan kediaman raja, melainkan juga dapat
berfungsi sebagai pusat pemerintahan. Banyak istana-istana yang sudah tidak digunakan
dan beralih fungsi pada kegunaan lain, semisal museum. Keberadaan istana di Indonesia
sangatlah banyak adanya, adapun beberapa istana yang ada di Indonesia:

1) Di Jawa, terdapat keraton Yogyakarta, Keraton Surakarta, Keraton Mangkunegaran,


dan sebagainya. Keraton-keraton ini sebagian besar masih digunakan untuk tempat
tinggal, pusat kebudayaan, atau museum.
2) Di Sumatera, terdapat Istana Sultan Deli atau lebih dikenal dengan Istana Maimun,
dan Istana Paranguyung. Yang mana pada saat ini istana tersebut berfungsi sebagai
museum.

8
Haryati Soebadyo, Indonesian Heritage, 87.
C. Perkembangan Arsitektur Islam Berupa Makam
Makam, satu dari arsitektur terindah dunia, Taj Mahal di India yang merupakan
makam Islam, maka tidak aneh jika di Nusatara terdapat banyak makam yang yang
dipoles indah pada batu nisannya. Perubahan kepercayaan dari HinduBudha ke Islam
memunculkan kembali arsitektur makam di berbagai kepulauan Nusantara. Dalam
tradisi Hindu-Budha pembakaran mayat merupakan cara yang digunakan dalam
menghadapi kematian. Tata letak dan tampilan arsitektural memiliki persamaan dengan
yang ada di pura-pura Bali. Sejumlah makam di Tralaya, tempat di dekat Trowulan ibu
kota Majapahit memiliki kerangka kalamakara, salah satu hiasan Jawa. Salah satu Jejak
tertua atas kehadiran Islam Nusantara terdapat pada makam. Beberapa makam yang
berasas Islam ditemukan diperkirakan dibangun sebelum masyarakat Islam sepenuhnya
beralih ke Islam, baik di Jawa maupun di Sumatra. Diyakini makam tertua yang
ditemukan di Nusantara berada di dekat pelabuhan seperti Gersik dan Barus. Makam
Malik Al-Saleh, penguasa pelabuhan Samudera di pantai utara Aceh, Sumatera. Raja ini
pernah disebut Marco Polo ketika melewati samudera dan tinggal beberapa bulan pada
tahun 1293 M.9

Pada arsitektur pintu gerbang makam sunan Bonang sebelah selatan berbentuk semar
tinandu dengan atap berhias ornamen bunga-bungan dengan dinding di kanan dan kirinya
dihiasi piring-piring dan mangkuk keramik Cina. Sunan Bonang disinyalir seorang yang
ahli dalam arsitektur dan seni lainnya.10

Seni arsitektur pada makam sudah dilakukan oleh masyarakat sejak zaman dahulu,
seperti nisan yang diganti dengan batu nisan, dan bagi orang yang memiliki keudukan
penting makamnya akan didirikan dengan sebuah kubah. Di Indonesia, terdapat berbagai
penemuan makam-makam yang menunjukkan telah dipengaruhi oleh budaya Islam,
berikut beberapa diantaranya:

1) Makam Tralaya, tralaya adalah warisan suatu komplek kuburan muslim dari kerajaan
Majapahit yang berlokasi di Desa Sentorejom, Kecamatan Trowulan, Kabupaten
Mojokerto. Makam Tralaya menjadi bukti bahwa terdapat komunitas muslim kala
Kerajaan Majapahit menguasai Nusantara. Bukti tersebut didukung oleh sumber
tertulis berupa Kidung Sunda yang menjelaskan tentang pasukan Sunda yang akan
mengantar Puteri Raja Sunda sebagai calon pengantin Raja Hayam Wuruk.
9
Ibid,98.
10
Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo (Depok: Pustaka IIMaN, 2013),189.
2) Makam Malikus Saleh, merupakan makam peninggalan Kerajaan Samudera Pasai,
dengan memiliki bentuk yang unik. Makam tersebut memiliki keunikan berupa batu
nisan yang terdapat di dalam kuburan, salah satunya yaitu makam yang berbentuk
gada (alat pemukul), selain itu juga ada nisan yang berbentuk unik lainnya yaitu
berupa keris, ujung tombak, dan lain sebagainya.

Adapun ciri-ciri dari wujud akulturasi pada bangunan makam terlihat dari:

1) Makam-makam kuno dibangun di atas bukit atau tempat-tempat yang keramat.


2) Makamnya terbuat dari bangunan batu yang disebut dengan Jirat atau Kijing,
nisannya juga terbuat dari batu.
3) Di atas jirat biasanya didirikan rumah tersendiri yang disebut dengan cungkup
atau kubba,dilengkapi dengan tembok atau gapura yang menghubungkan antara
makam dengan makam atau kelompok-kelompok makam.
4) Bentuk gapura tersebut ada yang berbentuk kori agung (beratap dan berpintu) dan
ada yang berbentuk candi bentar (tidak beratap dan tidak berpintu).
5) Di dekat makam biasanya dibangun masjid, maka disebut masjid makam dan
biasanya makam tersebut adalah makam para wali atau raja.
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Masjid telah menjadi suatu karya arsitektur yang merupakan hasil budaya manusia
yang terbesar baik dalam penyebaran geografis, ragam ukuran, maupun ragam bentuk
sepanjang masa. Kenyataan ini bertumbuh, karena arsitektur masjid sekaligus
mengandung dua unsur, yaitu sebagai kristalisasi nilai dan pandangan hidup masyarakat
Muslim, dan sekaligus sebagai pembentuk manusia-manusia yang sesuai dengan nilai dan
pandangan hidup masyarakatnya itu sendiri. Oleh sebab itu, bisa dipahami jika kemudian
masjid menjadi pusat kebudayaan agama Islam, dan bahkan menjadi tanda, simbol, dan
orientasi bagi keberadaan Islam dan ummatnya.

Istana awal islam, tata ruang istana kesepuhan menyesuaikan pada kebanyakan
keratin Jawa lain: istana menghadap alun-alun dengan sebuah masjid agung di sebelah
barat dan pasar di bagian utara. Para perencana kesepuhan menjadi pelopor dalam
pembuatan pola dasar.

Istana atau terkadanng sering disebut dengan nama keraton di Jawa juga termasuk
sebagai hasil budaya material yang diakibatkan oleh pengaruh Islam di Indonesia. Istana
bukanlah hanya sekedar tempat yang dijadikan kediaman raja, melainkan juga dapat
berfungsi sebagai pusat pemerintahan.

Makam, satu dari arsitektur terindah dunia. Salah satu contohnya adalah Taj Mahal di
India yang merupakan makam Islam, maka tidak aneh jika di Nusatara terdapat banyak
makam yang yang dipoles indah pada batu nisannya.

Seni arsitektur pada makam sudah dilakukan oleh masyarakat sejak zaman dahulu,
seperti nisan yang diganti dengan batu nisan, dan bagi orang yang memiliki keudukan
penting makamnya akan didirikan dengan sebuah kubah.
DAFTAR PUSTAKA
Bambang S. Budi (2000). Arsitektur Masjid. Jaringan Komunitas Arsitektur
Indonesia. Arsitektur.
Y.B. Mangunwijaya. 1992. Wastu Citra. Gramedia Pustaka Utama.
Darwis Khudori. 2000. Islam, Architecture and Globalisation: Problematic and
Prospects for Research in Indonesia. Proceeding of The Third International Symposium
Expression in Indonesian. Architecture.
Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional. Keaneka Ragaman Bentuk Masjid
Jawa.Jakarta: Depdikbud 1993.
Sativa, “Arsitektur Islam atau Arsitektur Islami”, Jurnal Nalar,Vol.10 No.1 (Januari
2011).

Anda mungkin juga menyukai