Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

MEMBANGUN PERADABAN ISLAM MELALUI MASJID


Disusun dalam rangka memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam

Disusun oleh:

Elok Soraya

Dosen Pengampu:
Muhammad Khoirul Lutfi,M.Pd

Institut Teknologi Sains Nahdlatul Ulama


Pendidikan Fisika
2018
KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Allah semata yanga telah memberikan dan
mengajarkan manusia dengan qalam dan mengajarkan manusia apa yang belum
diketahuinya, serta berkat rahmat dan hidayah-Nya pada akhirrnya penyusun
dapat menyelesaikan penulisan ini, yang berjudul ”Membangun Peradaban Islam
Melalui Masjid”.

Shalawat beserta salam semoga tercurah limpahkan kepada sang pendidik


manusia, yang telah membawa manusia dari alam kebodohan kepada alam yang
terang benderang oleh ilmu pengetahuan yakni Nabi Besar Muhammad SAW.
Tidak lupa shalawat dan salam semoga tercurah kepada keluarganya, para
sahabatnya, para tabiin dan tabiut tabiin serta kepada umatnya yang selalu
berpegang teguh menjalankan ajarannya.

Dalam makalah yang sederhana ini penyusun akan membahas mengenai


pengertian dari masjid, awal kemunculan masjid dan perkembangannya dalam
sejarah dan peran masjid dalm aspek peradaban islam.

Penyusun menyadari dalam penulisan makalah ini masih banyak


kekurangan dan kesalahan baik dari segi bahasa maupun dari segi
pembahasannya, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari pembaca
akan memperbaiki penulisan ini.

Tidak lupa penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada teman-


teman, pembimbing dan semua pihak yang telah membantu dan memotivasi
penyusun dalam penulisan makalah ini, mudah-mudhan apa yang telah diberikan
dibalas oleh Allah SWT.

Pasuruan, 9 Desember 2018

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................... i

DAFTAR ISI.................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ............................................................................. 1

B. Rumusan Masalah ....................................................................................... 2

C. Tujuan Penulisan ......................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Masjid ....................................................................................... 3

B. Masjid Dalam Masa Periode Awal Islam..................................................... 3

C. Masjid dan Pendidikan..................................................................................5

D. Masjid dan Pemerintahan............................................................................. 9

E. Masjid dan Pembangunan Ekonomi ............................................................10

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ................................................................................................. 12
B. Saran............................................................................................................ 13

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 14

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masjid adalah simbol keislaman. Ia tidak dapat dipisahkan dari kehidupan


umat Islam, karena masjid merupakan bentuk ketundukan umat kepada Allah swt.
Kata masjid terulang 28 kali dalam Alquran dalam berbagai bentuk. Secara bahasa
masjid berasal dari kata sajada-yasjudu-sujudan yang secara etimologis beraarti
patuh; taat; tunduk dengan penuh hormat. Meletakkan dahi, kedua  tangan,  lutut,
dan  kaki  ke  bumi, atau bersujud adalah bentuk lahiriyah yang paling nyata dari
makna-makna tersebut. Itulah sebabnya mengapa bangunan yang dikhususkan
untuk shalat dinamai masjid, “tempat bersujud”. Dalam pengertian sehari-
hari, masjid merupakan bangunan tempat shalat  kaum Muslim. Tapi karena akar
katanya mengandung makna tunduk dan patuh, hakikat masjid menjadi  tempat 
melakukan  segala  aktivitas  yang mengandung kepatuhan kepada Allah swt.
Alquran menegaskan: “ Sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Allah,
maka janganlah kamu menyembah sesuatu didalamnya selain Allah.” (QS. Jinn
{72}: 18). Rasulullah saw. bersabda:“Telah dijadikan untukku (dan untuk
umatku) bumi sebagai masjid dan  sarana  penyucian  diri”.  (HR  Bukhari  dan
Muslim melalui Jabir bin Abdullah)

Masjid memiliki peran sangat penting bagi masyarakat muslim sejak


periode nabi Muhammad Saw. dan sejak masa awal eksistensi masyarakat muslim
di Madinah. Ketika hijrahnya dari Makkah ke Madinah, beliau membangun
masjid sebagai upaya konkret yang pertama bagi peradaban Islam. Sejak periode
penting ini masjid yang ia bangun dipandang sebagai pusat utama bagi beragam
aktifitas masyarakat muslim. Dengan kata lain masjid menjadi pusat komunitas
dan naungan bagi segala bentuk program dan aktifitas sosial dan pendidikan
masyarakat muslim.

1
2

Hal ini menggambarkan betapa masjid pada awal sejarah penyebaran


Islam memiliki peran penting dan menjadi basis utama bagi segala aktifitas umat
muslim dalam proses pengembangan ajaran-ajaran Islam dan berfungsi secara
aktif dalam pengembangan dan kemajuan pendidikan Islam. Masjid pada periode
tersebut tak hanya menjadi tempat suci untuk pelaksanaan ibadah-ibadah yang
bersifat mahdhah seperti shalat, berdzikir dan membaca al Qur’an tetapi berfungsi
secara lebih luas dan beragam. Quraish Shihab bahkan mencatat beberapa peranan
strategis yang dimiliki masjid nabawi, antara lain : sebagai tempat ibadah (shalat,
zikir), tempat konsultasi dan komunikasi (masalah ekonomi-sosial budaya),
tempat pendidikan, tempat santunan sosial, tempat latihan militer dan persiapan
alat-alatnya, tempat pengobatan para korban perang, tempat perdamaian dan
pengadilan sengketa, aula dan tempat menerima tamu, tempat menawan tahanan,
dan pusat penerangan atau pembelaan agama.

B. Rumusan Masalah

Dalam makalah ini, penyusun membuat rumusan masalah sebagai barikut:

1. Apa pengertian dari Masjid?

2. Bagaimana awal kemunculan masjid dan perkembangannya dalam sejarah?

3. Bagaimana peran masjid dalam berbagai aspek peradaban umat Islam?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagi berikut:

1. Mengetahui pengertian dari Masjid

2. Mengetahui awal kemunculan masjid dan perkembangannya dalam sejarah

3. Mengetahui peran masjid dalam berbagai aspek peradaban umat Islam


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Masjid
Masjid berasal dari kata sajada yang berarti ‘bersujud’ dengan maksud
bahwa masjid dibuat sebagai ‘tempat bersujud’ kepada Tuhan. Ciri dari
masjid dibuat untuk bisa menampung orang banyak, disesuaikan dengan
keadaan penduduknya dengan minimal dapat menampung 40 orang. Masjid
biasanya memiliki mimbar yang digunakan untuk khatib menyampaikan
khutbah kepada jamaah. Masjid adalah tempat peribadatan yang dapat
dipergunakan untuk shalat Jum’at, sedangkan tajug atau langgar umumnya
dipergunakan untuk shalat berjamaah sehari-hari. Masjid juga biasanya
dilengkapi dengan tempat berwudu, yakni tempat untuk bersuci sebelum
memasuki masjid. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa inti terpenting
dari masjid adalah dapat berfungsi sebagai tempat sujud secara berjamaah
dengan minimal 40 orang dalam keadaan suci dari hadas (baik kecil maupun
besar).

B. Masjid Dalam Masa Periode Awal Islam


Pada periode awal Islam yaitu pada masa Rasulullah Saw. masjid memiliki
peran signifikan dan strategis baik ketika di Makkah atau di Madinah. Di Makkah,
masjid al Haram menjadi tempat sosialisasi wahyu dari Allah secara terbuka
sehingga mengundang reaksi keras dari golongan musyrikin Quraisy seperti
dialami oleh Abdullah ibn Mas’ud. Demikian pula sewaktu nabi singgah di Quba
dalam perjalanannya ke Yatsrib, selama 4 (empat) hari beliau mendirikan masjid
yang kemudian dikenal dengan sebutan masjid Quba, masjid yang pertama kali
dibangun oleh nabi pada tahun ke- 13 kenabiannya atau tahun ke- 1 hijriah (28
Juni 622 M). Masjid Quba ini merupakan tempat peribadatan umat Islam pertama
yang kemudian menjadi model atau pola dasar bagi umat Islam dalam

3
membangun masjid-masjid di kemudian hari. Masjid Quba di samping sebagai
tempat peribadatan yang

4
4

menjadi fungsi utamanya, juga sebagai tempat pendidikan dan pengajaran agama
Islam. Untuk itu, Rasulullah menempatkan Mu’adz ibn Jabal sebagai imam
sekaligus guru agama di majid Quba ini. Selain itu, Rasulullah sendiri kerap
berkunjung ke masjid ini, baik dengan mengendarai unta ataupu berjalan kaki, dan
menunaikan shalat.
Kemudian setibanya di Yatsrib, langkah pertama yang dilakukan
Rasulullah Saw. adalah membangun masjid yang sangat sederhana, berukuran 35
x 30 m2. Dengan berlantaikan tanah, dinding terbuat dari tanah yang dikeringkan,
tiangnya dari batang pohon kurma dan atapnya dari pelepah dan daunnya. Masjid
ini kemudian dikenal dengan sebutan Masjid Nabawi. Di sebelah timur masjid,
dibangun tempat tinggal Rasulullah yang tentunya lebih sederhana lagi dari
masjid, dan di sebelah barat dibangun sebuah ruangan khusus untuk orang-orang
miskin muhajirin, yang kemudian dikenal dengan sebutan al shuffah.
Di Masjid Nabawi inilah, seperti dijelaskan Quraish Shihab, fungsi-fungsi
penting yang terkait dengan kehidupan masyarakat muslim pada masa itu
dijalankan dengan baik karena Rasulullah sendiri yang secara langsung memimpin
pemberdayaan masjid sebagai tempat dan basis utama mengelola masyarakat
muslim dengan sebaik-baiknya yang di kemudian hari melahirkan sebuah
masyarakat ideal yang disebut masyarakat madani.
Selain dari dua masjid di atas, Rasulullah dan para sahabat juga
membangun dan memperhatikan beberapa masjid dalam waktu yang berbeda
antara lain : masjid Qiblatain, masjid Salman, masjid Sayyidina Ali, masjid
Ijabah, masjid Raya, masjid Suqiya, masjid Fadikh, masjid Bani Quraizhah,
Masjid Afr dan masjid al Aqsha yang notebene masjid tertua kedua setelah masjid
al haram di Makkah.
Pada masa Khulafa al Rasyidin juga dibangun beberapa masjid baru di
wilayah-wilayah yang berhasil dikuasai. Di Bayt al Maqdis, misalnya, khalifah
Umar ibn Khattab membangun sebuah masjid yang berbentuk lingkaran (segi
delapan), dindingnya terbuat dari tanah liat, tanpa atap, tepatnya di atas bukit
Muriah. Masjid ini kemudian dikenal dengan nama masjid Umar. Di Kufah pada
tahun 17 H Sa’ad ibn Abi Waqqash, sebagai panglima perang, membangun
5

sebuah masjid dengan bahan-bahan bangunan dari Persia lama dari Hirah dan
selesai dibangun pada tahun 18 H. Masjid ini sudah memiliki mihrab dan menara.
Di kota Basrah, pada tahun 14 H juga dibangun sebuah masjid oleh ‘Utbah ibn
Ghazwan. Di Madain, pada tahun 16 H. Sa’ad ibn Abi Waqqash menjadikan
sebuah gedung sebagai masjid. Di Damaskus, pada tahun 14 H. gereja St. John
dibagi dua, sebagian (sebelah timur) menjadi milik muslim dan dibuat sebagai
masjid oleh Abu Ubaidah ibn Jarrah. Di Fustat, Mesir, pada tahun 21 H. Amr ibn
‘Ash, ketika menjadi panglima perang untuk menaklukan daerah tersebut
membangun masjid al ‘Atiq. Secara fisik masjid tersebut sudah berkembang lebih
maju dibandingkan masjid-masjid lain yang telah ada.

C. Masjid dan Pendidikan


Pada masa nabi Muhammad Saw dan khalifah Abu Bakar Shiddiq masjid
masih berfungsi sebagai tempat ibadah dan pendidikan Islam tanpa ada pemisahan
yang jelas antara keduanya hingga masa Amirul Mukminin, Umar ibn Khattab.
Pada masanya, di samping atau di beberapa sudut masjid dibangun kuttab-kuttab
untuk tempat belajar anak-anak. Kuttab atau maktab “berasal dari kata dasar
‘kataba’ yang artinya menulis atau tempat menulis, jadi kuttab adalah tempat
belajar menulis. Sebelum datangnya Islam kuttab telah ada di negeri arab
meskipun belum banyak dikenal oleh masyarakat”. Ahmad Syalabi menulis
bahwa “kuttab adalah tempat memberi pelajaran menulis, dimana tempat belajar
membaca dan menulis ini teruntuk bagi anak-anak”.
Sejak masa inilah pengaturan pendidikan anak-anak dimulai. Hari Jum’at
adalah hari libur mingguan sebagai persiapan melaksanakan shalat Jum’at.
Khalifah Umar ibn Khattab mengusulkan agar para pelajar diliburkan pada waktu
dzuhur hari kamis, agar mereka bersiap-siap menghadapi hari Jum’at. Usul ini
kemudian menjadi tradisi hingga sekarang.
Sebagai institusi pendidikan Islam periode awal, masjid
menyelenggarakan kajian-kajian baik dalam bentuk diskusi, ceramah dan model
pembelajaran yang memiliki bentuk atau format tersendiri yang disesuaikan
6

dengan tingkat perkembangan masyarakat muslim pada masa itu yang pada masa-
masa berikutnya terus mengalami inovasi dan pembaruan. Hasil inovasi dan
pembaruan tersebut sebagai konsekwensi dari tuntutan dan kebutuhan masyarakat
muslim terhadap pendidikan Islam yang terus mengalami perubahan dan
peningkatan.
Format dasar pendidikan masjid adalah lingkaran studi, lebih dikenal
dalam Islam sebagai `ilm al-Halaqat ‘atau singkatnya: Halaqa. Halaqa, dieja
Halqa dalam edisi baru Ensiklopedi Islam, yang didefinisikan sebagai ‘pertemuan
orang yang duduk membentuk lingkaran.
Lingkaran (halaqa) adalah bentuk tertua dari pengajaran Islam, sejak masa
Nabi Muhammad, yang berperan memimpin kegiatan bagi para pengikutnya baik
pria maupun wanita. Dalam halaqa tradisional, guru duduk di atas bantal
membelakangi dinding atau pilar. Para siswa duduk dalam setengah lingkaran di
sekitar guru, sesuai peringkat pengetahuannya. Pada awal Islam, para guru di
halaqa termasuk laki-laki dan perempuan. Situs pertama untuk kalangan belajar
berada di masjid (masjid). Guru terkenal dikaitkan dengan kota dan masjid
tertentu, dan biasanya juga untuk nama pilar bagi ulama terkenal yang duduk di
sana. Lingkaran belajar juga diadakan di lembaga lain dan rumah. Siswa
melakukan perjalanan untuk duduk dalam lingkaran seorang sarjana terkenal.
Tradisi merekam pemaparan pengajar berkembang menjadi pengajaran yang lebih
sistematis. Metode yang dilakukan para guru dalam mengampu mata pelajaran,
memungkinkan siswa mereka untuk mengajukan pertanyaan dan menguji
pengetahuan mereka. Kesuksesan belajar dihargai dengan surat, atau sertifikat
belajar (ijazah). Tradisi halaqa formal dan informal berlanjut sampai hari ini
dalam kebudayan Muslim.
Meski belum terstruktur, kelompok belajar yang disebut halaqa ini pada
akhirnya berkembang menjadi lembaga formal. Pada mulanya seorang guru
menjadi syaikh secara alami. Pada tahap selanjutnya dengan persiapan formal
seorang syaikh halaqa dapat diangkat menjadi pengurus masjid. Pada akhirnya,
syaikh halaqa berkembang menjadi penafsir yang menetapkan hukum
sebagaimana termaktub dalam al Qur`an dan hadits. Pada tahap selanjutnya para
7

ulama secara khusus diangkat menjadi guru agama dan memimpin berbagai
halaqa sehingga sejarah lembaga pendidikan tinggi berikutnya berawal pada
terbentuknya berbagai halaqa lainnya di berbagai masjid.
Di dalam format pendidikan masjid berupa halaqa tersebut terdapat
beberapa subjek pengajar yang masing-masing secara hirarkis memiliki tugas dan
fungsi yang berbeda dan saling mendukung, yaitu : 1. Syaikh yang berarti guru
utama yang juga disebut mudarris dan bertugas menjadi imam masjid pemimpin
shalat jama’ah, khotib shalat jum’at, pengajar dan administrator dalam proses
pendidikan masjid, 2. Na`ib, sebagai asisten syaikh yang sewaktu-waktu
menggantikan syaikh dalam mengajar jika syaikh berhalangan atau menunjuknya
untuk mengajar, 3. Mu’id, sebagai juru ulang (repetitor) materi-materi yang telah
diajarkan oleh syaikh atau mudarris kepada santri atau murid yang tidak sempat
mengikuti pertemuan belajar, dan 4. Mufid, sebagai tutor yang bertugas membantu
murid-murid yang lebih muda atau pemula tetapi belum dianggap mampu
mengulang ceramah mudarris seperti halnya mu’id.
Dalam halaqa yang diselenggarakan di masjid siapapun bisa bergabung
baik statusnya sebagai murid yang terdaftar ataupun sekedar pengunjung yang
berminat mengikuti kajian. Mereka yang menjadi murid pada halaqa tersebut
diberi tugas untuk melakukan pembacaan terhadap sumber-sumber keilmuan
penunjang agar tidak mengalami kesulitan dalam memahami uraian mudarris
ketika proses kajian berlangsung, juga dituntut untuk berkonsentrasi secara
sungguh-sungguh. Kegiatan diskusi aktif pun diintensifkan untuk menggali lebih
dalam untuk menangkap wawasan lebih luas tentang ajaran Islam.
Kadang-kadang dalam satu masjid terdapat beberapa halaqa dengan
mudarris yang masing-masing mengajara satu ilmu, seperti ilmu tafsir, fiqih,
tarikh dan sebagainya. Di masjid Amr ibn ‘Ash (13 H), misalnya, yang mula-mula
diajarkan di masjid ini ialah pelajaran agama dan budi pekerti. Kemudian secara
berangsur-angsur ditambahkan beberapa mata pelajaran. Pada waktu imam Syafi’i
datang ke masjid ini untuk menjadi guru pada tahun 182 H, ia melihat sudah ada
delapan buah halaqa yang penuh dengan pelajar. Pada masa Umayyah terdapat
masjid sebagai pusat ilmu yakni Cordoba, masjid ash- Shahra, masjid Damaskus,
8

dan masjid Qairawan. Pada masa Abbasiyyah, terdapat juga masjid sebagai pusat
ilmu, periode pertama 132-232 H (750-847 M), yakni masjid Basrah, yang
didalamnya terdapat halaqa al- Fadh, halaqa al Fiqh, halaqa al- tafsir wa al
hadits, halaqa al- Riyadiyyah, halaqa al Sirr wa al- Adab (belum ada
madrasah/sekolah).
Beberapa data historis di atas hanyalah menggambarkan sedikit dari
puluhan ribu masjid yang secara faktual telah menyelenggarakan proses
pendidikan Islam dengan ragam disiplin keilmuan Islam dan memberikan
sumbangan penting bagi proses transmisi keilmuan dari periode ke periode.
Pemilahan materi ajar pun belum dilakukan secara sistematis dan terstruktur yang
pada perkembangan selanjutnya pembakuan kurikulum terstruktur tersebut
dilakukan pada lembaga pendidikan Islam yang formal yaitu : madrasah.
Kemunculan madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam merupakan fase
terpenting dalam sejarah intelektual pendidikan Islam yang mengubah secara
signifikan format penyelenggaraan pendidikan Islam menjadi lebih sistematis dan
terstruktur. Format halaqa yang semula digunakan dalam kajian-kajian keilmuan
Islam bergeser ke lembaga baru bernama madrasah yang menggunakan sistem
kelas dalam praktek pengajaran dan pembelajarannya.
Faktor yang mendorong perlunya pendirian madrasah sebagai pengganti
fungsi pendidikan masjid adalah kenyataan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan
telah melahirkan kelompok intelektual baru, tentunya memajukan dan
mengembangkan lembaga pendidikan seperti madrasah merupakan usaha untuk
menyediakan lahan baru bagi mereka.

Jika berbicara untuk masa kini, selain hal-hal di atas, di dalam Masjid juga
bisa dibangun sebuah perpustakaan. Masyarakat Islam perlu mewujudkan
masyarakat yang sadar informasi dan peduli akan informasi yang baik dan
berkualitas. Masyarakat yang sadar informasi akan senantiasa berupaya mencari
rujukan yang otoritatif dalam upaya memahami sebuah persoalan atau
memecahkan masalah. Masyarakat yang sadar informasi dengan sendirinya akan
membawa masyarakat tersebut pada kedewasan berpikir dan bertindak.
9

Tentu tidak mudah mewujudkan masyarakat yang demikian di tengah-


tengah iklim yang membuat manusia selalu berpikir dan bertindak serba instan.
Apalagi berbagai media massa telah menyajikan informasi secara cepat dan murah
langsung ke ruang keluarga. Akibatnya, masyarakat tidak merasa membutuhkan
tambahan informasi dari sumber lain.

Kesadaran yang perlu ditanamkan di tengah-tengah masyarakat Islam


adalah bahwa segala macam informasi yang disajikan oleh berbagai medaia,
sebagaimana telah disebutkan dimuka, adalah superficial. Umat Islam tidak boleh
berpus diri dengan informasi atau pengetahuan yang superficial tersebut. Umat
Islam yang baik, harus mau dan mampu memahami persoalan secara
komprehensif sebelum mengambil keputusan atau tindak guna mencegah lahirnya
penyesalan di akhir.

Fenomena kekerasan dan tindakan main hakim sendiri yang dimunculkan


oleh sebagian kecil umat Islam menunjukkan bahwa proses pendewasaan umat
harus terus dilakukan. Harapan besar terhadap proses ini ditumpukan di rumah-
rumah ibadah yang memberikan layanan dan bimbingan spiritual. Tentu saja hal
tersebut tidak mungkin tercapai jika kita memfungsikan rumah-rumah ibadah
semata-mata sebagai sarana untuk ibadah mahdhoh. Dalam konteks inilah,
perpustakaan masjid berpeluang memainkan peranan sentral.

Peranan utama yang harus dilakukan oleh perpustakaan masjid adalah


mewujudkan masyarakat yang sadar informasi dan tahu bagaimana memperoleh
dan memanfaatkan informasi secara benar. Dengan pengelolaan koleksi dan
layanan perpustakaan yang baik, maka pada gilirannya, masyarakat yang sadar
informasi itu menjelma menjadi masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan
lebih dari sekedar informasi. Sehingga terwujudlah sebuah komunitas belajar yang
berpotensi menjadikan umat Islam sebagai umat yang unggul, tidak sebagai
individual tetapi secara kolektif.

D. Masjid dan Pemerintahan


10

Pada masa perkembangan Islam di Madinah, kegiatan umat muslim


terpusat di masjid. Seperti yang telah dipaparkan, masjid menjadi sarana tempat
berdiskusi, bertukar pikiran, menyampaikan wahyu, serta pengkajian Aqidah.
Selain itu semua kegiatan kepemerintahan Islam juga dilakukan di Masjid.
Rasulullah SAW menjadikan masjid sebagai tempat gedung parlemen tempat
mengatur segala urusan kepemerintahan. Para sahabat dari berbagai kabilah
berkumpul dalam satu majlis yang bertempat di masjid nabawi untuk berdiskusi,
bertukar pikiran atau hanya untuk berkumpul bersama Rasulullah.
Namun fungsi masjid sebagai pusat peradaban pada masa Rasulullah ini
lambat laun bergeser dengan berdirinya Istana sebagai pusat pemerintah. Semua
urusan keduniawian berangsur-angsur bergeser ke istana. Pada saat itu, peran
masjid hanya untuk ibadah semata.
Hal yang sama juga terjadi di Indonesia, khususnya pada era kerajaan
Islam Jawa. Lokasi masjid sebagai tempat ibadah terpisah dari istana. Istana
dilambangkan sebagai pusat peradaban manusia dijadikan sebagai pusat
pemerintahan . Sedangkan masjid, adalah bagian dari unsur ketuhanan yang hanya
digunakan untuk kegiatan ibadah mahdhoh seperti shalat dan dzikir saja.

E. Masjid Dan Pembangunan Ekonomi


Masjid sebagai sentral kegiatan umat muslim tidak akan lepas oleh
kegiatan ekonomi. Sebuah peradaban akan dianggap berhasil jika ia dapat
menghasilkan stabilitas ekonomi pada masyarakatnya. Oleh karena itu
pengelolaan masjid masa kini harus mampu mengembalikan peranan masjid
dalam mengatasi keterbelakangan umat, khususnya menanggulangi kemiskinan
dan kebodohan. Seperti lembaga Baitul Mal pada zaman Rasulullah yang
berfungsi mengatur urusan perputaran zakat dan infaq dan penyalurannya kepada
faqir miskin.

Masjid seharusnya bisa berperan dalam mengumpulkan, mengelola dan


menyalurkan zakat. Tak hanya zakat fitrah saja yang harus dikelola oleh masjid,
namun juga zakat penghasilan, pertanian, perniagaan dan perusahaan.
11

Di sisi lain, perlu adanya edukasi kepada masyarakat bahwa membayar


zakat bisa dilakukan kapan saja, tak harus di bulan Ramadhan. Zakat yang
berkaitan dengan bulan Ramadhan hanya zakat fitrah saja. Edukasi tentang zakat
dapat dijelaskan takmir masjid saat sholat Jumat atau acara pengajian rutin.
Masjid dapat memanfaatkan media massa dan teknologi informasi sebagai media
informasi kepada masyarakat. Yang lebih utama, masjid harus mampu mengelola
dan memberdayakan dana zakat tersebut. Penyaluran zakat harus diupayakan
tidak bersifat konsumtif yang habis pada waktu itu saja. Jadi, harus diupayakan
dana zakat yang diberikan itu berupa pemberian modal kerja, pelayanan
kesehatan, program pendidikan, bahkan layanan jenazah gratis bagi kaum dhuafa.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Masjid merupakan lembaga pendidikan Islam yang murni lahir dari umat
Islam sendiri yang pada masa awal menjadi institusi sentral dan menjadi basis
utama sebagai tempat ibadah, pendidikan, pemerintahan sosial dan peran-peran
lain yang berhubungan langsung dengan persoalan-persoalan keumatan.
Begbagai fungsi Masjid yang bisa disimpulkan dari pemaparan diatas
antara lain :
1. Masjid sebagai pusat peribadatan (Fungsi Keagamaan)
2. Masjid sebagai pusat pemerintahan dan peradaban
3. Masjid sebagai pusat persaudaraan (Ukhuwah Islamiyah)
4. Masjid sebagai pusat pendidikan
5. Masjid sebagai pengumpulan dana (Baitul Mal)
6. Masjid sebagai simbol persamaan

Pola baku pendidikan pada masjid adalah berupa halaqa (lingkaran studi)
yang menyelenggarakan kajian-kajian ilmu-ilmu keislaman seperti al Qur`an,
hadits, fiqih, tafsir, ilmu bahasa dan lain sebagainya dengan tokoh guru utama
yang disebut syaikh atau mudarris dibantu oleh na`ib, mu`id dan mufid. Masa itu
masjid seakan menjadi lembaga pendidikan primadona yang sangat diminati oleh
para pencari ilmu dari berbagai daerah. Keahlian dan nama besar syaikh sendiri
sebagai pemimpin halaqa menjadi magnet tersendiri yang menentukan apakah
halaqa-halaqa tersebut memiliki banyak pengikut ataukah sedikit.
Namun seiring perkembangan zaman dan merunyaknya tuntutan
kehidupan masyarakat muslim yang kompleks posisi masjid sebagai lembaga
pendidikan Islam terganti oleh lembaga pendidikan Islam lain (madrasah) yang
muncul

12
13

kemudian. Sedangkan Fungsi kepemerintahan masjid tergantikan dengan


berdirinya Istana.
Meskipun demikian optimalisasi fungsi-fungsi masjid sampai saat ini
masih terus dilakukan umat Islam terutama masjid-masjid kota. Tak jarang
ditemukan masjid-masjid kota tak hanya diperuntukan sebagai sarana tempat
ibadah tetapi pula dilengkapi fasilitas perpustakaan, ruang administrasi, ruang
belajar baca tulis al Qur`an. Bahkan pada masjid-masjid tertentu dijadikan sebagai
obyek wisata religi yang ramai dikunjungi karena keindahan dan kemegahan
arsitektur masjid tersebu, seperti masjid Istiqlal di Jakarta yang diklaim sebagai
masjid terbesar di Asia Tenggara, masjid Dian al Mahri di Depok yang terkenal
dengan sebutan Masjid Kubah Emas, masjid Agung Semarang yang memiliki
payung elektrik seperti masjid Nabawi Madinah dan sebagainya.
Salah satu komponen penting dalam pengembangan masjid adalah Remaja
Masjid. Remaja masjid menjadi penting untuk menghidupkan masjid karena sifat
dasar dari remaja dan pemuda itu sendiri yaitu penuh ide kreatifitas dan inovasi.
Sehingga kegiatan masjid akan lebih beraneka dan tidak monoton serta mampu
menarik jama’ah dari kalangan muda. Yang tidak kalah penting adalah tujuan
untuk kaderisasi, generasi muda yang cinta masjid kelak akan menjadi penerus
sebagai pengurus masjid. Tidak hanya menjadi pengurus masjid, optimalisasi
masjid untuk menghasilkan generasi cinta masjid diharapkan mampu
menghasilkan pemimpin-pemimpin yang cinta masjid, seperti halnya sahabat-
sahabat Rasulullah SAW.

B. Saran
Demikianlah makalah yang dapat kami buat, kami menyadari dalam
penulisan ataupun penyusunan. Materi dalam makalah ini terdapat banyak
kesalahan dan kekurangan. Untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat
kami harapkan, demi kesempurnaan dalam pembuatan makalah selanjutnya.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami khususnya, dan bagi para
pembaca umumnya.
14

DAFTAR PUSTAKA

https://www.academia.edu/5544793/
Fungsi_Masjid_Dalam_Membangun_Peradaban_Islam diakses pada 02
Desember 2018
https://www.academia.edu/4609963/Peran_Perpustakaan_Masjid diakses pada 02
Desember 2018
https://www.academia.edu/3536760/
Masjid_dalam_Perspektif_Sejarah_Intelektual_Pendidikan_Islam diakses
pada 02 Desember 2018
Hidayat, Arif. “Masjid Dalam Menyikapi Peradaban Baru”, Jurnal Ibda’. Vol. 12,
No.1 Juni 2014

Anda mungkin juga menyukai