Anda di halaman 1dari 7

Nama : syifa ziaulhaq fuadi

Kls : Karywan

Jurusan : PAI

Mk : Manajemen Masjid

PENDAHULUAN

Indonesia adalah Negara dengan jumlah penganut agama Islam terbesar di dunia.
Islam telah lama mewarnai perjalanan bangsa ini. Dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dari sejarah bangsa ini. Dan dalam perkembangannya terdapat banyak sekali kemajuan dan
juga kemunduran yang telah dialami oleh agama ini. Yang pada awal mulanya hanyalah suatu
agama minoritas ditengah budaya kerajaan Indonesia, hingga menjadi suatu agama terbesar,
yang dipeluk oleh berbagai macam suku, serta menjadi warna dalam bangsa ini.

Terdapat berbagai macam kemunduran yang telah terjadi pada umat ini. Hal ini
ditunjukkan dengan berkurangnya nilai-nilai ke Islaman dalam kehidupan bangsa ini. Semakin
berkurangnya pemahaman kaum muslim terhadap Islam itu sendiri. Masyarakat muslim saat
ini mengalami degradasi nilai – nilai ke Islaman. Sehingga tidak jarang kita mengenai aturan-
aturan Islam. Mulai dari cara berpakaian, sopan santun dalam pergaulan, masalah-masalah
yang berhubungan dengan muamalat antar sesama manusia, mencakup aturan jual beli, hingga
masalah-masalah yang berkenaan dengan kenegaraan. Tinggal sekarang bagaimana umat
Islam itu sendiri menyikapi dan mau menjalankan agamanya.

Menerima Islam secara kaffah (menyeluruh) menerapkan ajaran Islam itu sendiri
dalam kehidupannya. Melihat kenyataan yang seperti ini, maka dibutuhkan suatu tindakan
yang nyata untuk mengembalikan nilai-nilai ke Islaman di dalam masyarakat kita. Salah
satunya adalah dengan mengembalikan peran dan fungsi masjid sebagaimana tujuan awal
masjid itu didirikan di zama Rasulullah SAW.

Pada awalnya perkembangan di masa Rasulullah Muhammad SAW, masjid menjadi


bagian tak terpisahkan dari perkembangan agama Islam. Masjid menjadi pusat dari
perkembangan Islam itu sendiri. Pada masa awal perkembangan Islam di nusantara pun,
tidaklah lepas dari pengoptimalan peran dan fungsi masjid tersebut.

Hal ini terlihat dengan banyaknya masjid-masjid kuno yang terdapat diberbagai
pelosok nusantara yang masih terpelihara dengan baik, dan dianggap sebagai warisan
kebudayaan Islam. Antara lain Masjid Agung Demak, Masjid Sunan Ampel, Masjid Sunan
Kudus, dan lain sebagainya. Hingga akhirnya disetiap desa didirikan sebuah masjid yang
disebut masjid desa dikerenakan pentingnya keberadaan masjid itu sendiri dalam penyebaran
agama Islam.
Dengan dikembalikannya peran dan fungsi masjid, berarti mengembalikan arti
pentingnya Islam dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam artian masjid dapatlah kembali
menjadi basis dari dakwah umat Islam tersebut. Masjid tidak hanya sebagai tempat untuk
menunaikan sholat ataupun tempat untuk merayakan hari besar keagamaan, tetapi juga dapat
difungsikan sebagai pusat dakwah, pusat ekonomi masyarakat, serta pendidikan keagamaan,
dan juga pusat perkumpulan dari berbagai macam organisasi masa ke Islaman, yang
diharapkannya nanti dapat menjadi sarana pemersatu umat.

PEMBAHASAN

A. Konsep tentang masjid

Kata masjid terulang sebnyak 28 kali di dalam Al-Qur’an. 12 Dari segi bahasa, kata
tersebut terambil dari akar sajada-sujud, yang berarti patuh, taat, serta tunduk dengan patuh
hormat dan takzim3

Meletakkan dahi, kedua tangan, lutut, dan kaki ke bumi, kemudian dinamai sujud oleh
syariat, adalah bentuk lahiriyah yang paling nyata dari makna-makna di atas. Itulah sebabnya
mengapa bangunan yang di khususkan untuk melaksanakan sahalat dinamai masjid, yang
artinya “tempat bersujud”.

Dalam pengertian sehari-hari, masjid merupakan bangunan tempat sholat kaum


Muslim. Tetapi, karena akar katanya mengandung makna tunduk dan patuh, hakikat masjid
adalah tempat melakukan segala aktivitas yang mengandung kepatuhan Allah semata. Karena
itu Al-Qur’an surat Al-Jin (72) : 18 misalnya, menegaskan ; ‫وأن المساجد هلل فال تدعوا مع هللا أحدا‬

Dan Sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu
menyembah seorang-pun di dalamnya di samping (menyembah) Allah.4

Jika dikaitkan dengan bumi ini, masjid bukan hanya sekedar tempat sarana penyucian.
Di sini kata masjid juga tidak lagi hanya berarti bangunan tempat sholat, atau bahkan
bertayamum sebagai cara bersuci pengganti wudhu. Tetapi kata masjid dari sini berarti juga
tempat melaksanakan segala aktivitas manusia yang mencerminkan kepatuhan kepada Allah
SWT.

1 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an : Tafsir Maudhu’i Atas berbagai Persoalan Umat, Mizan Pustaka,
Bandung,
2
3 Ensiklopedi Islam, PT, Ihtiyar Baru Vanhoe, Jakarta, 1999. Bagian 3 h.169
4 Al-Qur’an dan terjemah kementrian agama RI, Jakarta, 200
Dengan demikian, masjid menjadi pangkal tempat muslim bertolak, sekaligus
pelabuhan tempatnya bersauh.

B. Fungsi Masjid

Al-Qur’an menyebutkan fungsi masjid antara lain di dalam firman- Nya:

‫ رحال ال تلهيهم تجرة وال بيع عن ذكر‬.‫في بيوت أذن هللا أن ترفع ةيذكر فيها اسمه يسبح له فيها بالغدو واألصال‬
‫هللا وإقام الصلوة وإيتاء الزكاةيخافون يوما تتقلب فيهىالقلوب ةاألبصار‬

Bertasbihlah kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk


dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya pada waktu pagi dan petang,
orangorang yang tidak dilalaikan oleh perniagaan, dan tidak (pula) oleh jual beli,
atau aktivitas apapun dari mengingat Allah, dan (dari) mendirikan sholat,
membayarkan zakat, mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan
penglihatan menjadi guncang. (QS An-Nur [24]:36-37)

Tasbih bukan hanya berarti mengucapakan Subhanllah melainkan lebih luas lagi,
sesuai dengan makna yang dicakup oleh kata tersebut beserta konteksnya. Sedangkan arti dan
konteks-konteks tersebut dapat disimpulkan dengan kata taqwa.

C. Masjid pada Masa Rasulullah Saw.

Ketika Rasulullah Saw. berhijrah ke Madinah, langkah pertama yang beliau lakukan
adalah membangun masjid kecil yang berlantaikan tanah, dan beratapkan pelepah kurma. Dari
sana beliau membangun lahir benih masjid besar, membangun dunia ini, sehingga kota tempat
beliau membangun itu benar-benar menjadi Madinah, (seperti namanya) yang arti harfiahnya
adalah tempat peradaban, atau palin tidak, dari tempat tersebut lahir benih peradaban baru
umat manusia.

Masjid pertama yang dibangun oleh Rasulullah Saw., adalah Masjid Quba’, kemudian
disusul dengan Masjid Nabawi di Madinah. Terlepas dari peradaban pendapat ulama tentang
masjid yang dijuluki Allah sebagai masjid yang dibangun atas dasar takwa (QS At Taubah
[9]:108)

Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar taqwa (masjid Quba’), sejak hari
pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya. Di dalamnya masjid itu ada
orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bersih. (QS At-Taubah [9]: 108)

Yang jelas bahwa keduanya Masjid Quba’ dan Masjid Nabawi dibangun atas dasar
ketakwaan, dan setiap masjid seharusnya memiliki landasan dan fungsi seperti itu. Itulah
sebabnya mengapa Rasulullah Saw meruntuhkan bangunan kaum munafik yang juga sampah
dan bangkai binatang, karena di bangunan tersebut tidak dijalankan fungsi sebagai masjid
yang sebenarnya, yakni ketakwaan Al-Qur’an melukiskan bangunan kaum munafik itu
sebagai berikut.

Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk
menimbulkan kemudharatan ( pada orang Mukmin) dan karena kekafiran-(nya), dan untuk
memecah belah antara orang-orang Mukmin, serta menunggu/mengamat-amati kedatangan
orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu (QS At-Taubah [9]:107).

Masjid Nabawi di Madinah telah menjabarkan fungsinya sehingga lahir peranan


masjid yang beraneka ragam. Sejarah mencatat tidak kurang dari sepuluh peranan yang telah
diemban oleh Masjid Nabawi, yaitu sebagai :

1. Tempat ibadah (shalat, zikir).


2. Tempat konsultasi dan komunikasi (masalah ekonomi- social budaya).
3. Tempat pendidikan.
4. Tempat santuanan social.
5. Tempat latihan militer dan persiapan alat-alatnya.
6. Tempat pengobatan para korban perang.
7. Tempat perdamaian dan pengadilan sengketa.
8. Aula dan tempat menerima tamu.
9. Tempat menawan tahanan, dan
10. Pusat penerbangan atau pembelian agama.
Agaknya masjid pada masa silam mampu berperan sedemikian luas, disebabkan antara
lain oleh :

(a) Keadaan masyarakat yang masih sangat berpegang teguh kepada nilai, norma, dan jiwa
agama.
(b) Kemampuan pembina-pembina masjid menghubungkan kondisi social dan kebutuhan
masyarakat dengan uraian dan kegiatan masjid.
(c) Manifestasi pemerintahan terlaksana di dalam masjid, baik pada pribadi-pribadi
pemimpin pemerintahan yang menjadi imam / khatib maupun di dalam ruangan-ruangan
masjid yang dijadikan tempat-tempat kegiatan dan syura (musyawarah).

D. Masjid Zaman Sekarang

Masjid pada masa kini telah berubah, sehingga timbullah lembaga-lembaga baru yang
mengambil alih sebagian peranan masjid di masa lalu, yaitu organisasi-organisasi keagamaan
swasta dan lembaga-lembaga pemerintah, sebagai pengarah kehidupan duniawi dan ukhrawi
umat beragama. Lembaga-lembaga itu memiliki kemampuan material dan teknis melebihi
masjid.

Fungsi dan peranan masjid besar seperti yang disebutkan pada masa keemasan Islam
itu tentunya sulit diwujudkan pada masa kini. Namun, ini tidak bahwa masjid tidak dapat
berperan didalam hal-hal tersebut.

Masjid, khususnya masjid besar, harus mampu melakukan kesepuluh peran tadi. Paling
tidak melalui uraian para pembinanya guna mengarahkan umat pada kehidupan duniawi dan
ukhrawi yang lebih berkualitas.

Apabila masjid dituntut berfungsi membina umat, tentu sarana yang dimilikinya harus
tepat, menyenangkan dan menarik semua umat, baik dewasa, kanak-kanak, tua, muda, pria,
wanita, yan terpelajar maupun tidak, sehat atau sakit, serta kaya dan miskin.

Di dalam Muktamar Risalatul Masjid di Makkah pada 1975, hal ini telah didiskusikan
dan disepakati, bahwa suatu masjid baru dapat dikatakan berperan secara baik apabila
memiliki ruangan, dan peralatan yang memadai untuk :

(a) Ruang shalat yang memenuhi syarat-syarat kesehatan.

(b) Ruang-ruang khusus wanita yang memungkinkan mereka keluar meski tanpa bercampur
dengan pria baik digunakan untuk shalat, maupun untuk Pendidikan Kesejahteraan
Keluarga (PKK).

(c) Ruang pertemuan dan perpustakaan.


(d) Ruang poliklinik, dan ruang untuk memandikan dan mengkafankan mayat.

(e) Ruang bermain, berolahraga, dan berlatih bagi remaja.

Semua hal di atas harus diwarnai oleh kesederhanaan fisik bangunan, namun harus
tetap menunjang peranan masjid ideal termaktub.

Hal terakhir ini perlu mendapatkan perhatian, karena menurut pengamatan sementara
pakar, sejarah kaum Muslim menunjukkan estetika suatu masjid sering ditandai dengan
kedangkalan, kekurangan, bahkan kelumpuhannya dalam pemenuhan fungsi-fungsinya.
Seakan-akan nilai arsitektur dan estetika dijadikan kompensasi untuk menutup-nutupi
kekurangan atau kelumpuhan tersebut.

E. Hal-hal yang tidak diperbolehkan di dalam Masjid

Masjid adalah milik Allah, karena itu kesuciannya harus dipelihara. Segala sesuatu
yang diduga mengurangi kesucian masjid atau dapat mengesankan hal tersebut, tidak boleh
dilakukan di dalam masjid maupun diperlakukan terhadap masjid.
Salah satu yang ditekankan oleh sebagian ulama sebagai sesuatu yang tidak wajar
terlihat pada masjid (dan sekitarnya) adalah kehadiran para pengemis.

Untuk memlihara kesucian masjid, Allah Swt., berfirman agar para


pengunjungnya memakai hiasan ketika mengunjungi masjid sebagaimana firman-Nya
dalam QS Al-A’raf (7) : 31 :

Hai anak-anak Adam, pakailah pakaianu, yang indah setiap (memasuki) masjid.

F. Hal-hal Yang Boleh Dilakukan di dalam Masjid

Masjid harus mampu memberikan ketenangan dan ketentraman pada pengunjung dan
lingkungannya, karena Rasulullah Saw., melarang adanya benih-benih pertengakaran
dalamnya,
Fungsi masjid paling tidak dinyatakan oleh hadis Rasulullah Saw., ketika menegur
seseorang yang membuang air kecil (di samping) masjid:

Masjid-masjid tidak wajar untuk tempat kencing atau (membang sampah). Ia hanya
untuk (dijadikan tempat) berzikir kepada Allah Ta’ala, dan membaca (belajar) Al-Qur’an
(HR Muslim).

Dengan kata lain, masjid adalah tempat ibadah dan pendidikan dalam pengertiannya
yang luas. Bukanlah Al-Qur’an berbicara tentang segala aspek kehidupan manusia.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an dan terjemah Departemen Agama Republik Indonesia, Jakarta, 2000

Ensiklopedi Islam, PT. Ichtiyar Baru Vanhove, Jakarta 1999. Bagian 3 h.169 Muhammad
Fuad Abd. Baqi. Al-Mu’jam Fihrosu Lil lafdzi Al-Qur’an al-Karim, Kairo 1996

M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an : tafsir Maudhu’I Atas berbagai Persoalan Umat,
Mizan Pustaka, Bandung, 2004

Anda mungkin juga menyukai