Anda di halaman 1dari 19

PARADIGMA MASJID DI LINGKUNGAN

UMAT MUSLIM
(Studi Teoretis dan Praktis Dalil tentang Pendirian Masjid)

Muhammad Ismul Abdi *

Abstract: The mosque is the central activity of Muslims. Its


existence is the greatness of Islam and the Muslim community
became a social instrument. This has been exemplified by the
Prophet in the history of the struggle of Islam Yet often the
passage of time, the greater the quantity of places of worship
and it is not uncommon to each other because of want to get
the great virtue that ultimately lead to new problems for
Muslims, the Muslim community in the form of lack of access
as a center of religious activities. In principle, any form of
specially prepared place to perform prayers and charitable
status, legally Islamic law included in the category of the
mosque with all its legal aspects. The main motivation of the
community in building places of worship are getting great
consideration and are closer to access places of worship. It
departs from a partial understanding of tradition. Implication
on many aspects of actualization is the quantity of places of
worship near each other without considering the needs,
planning and good management. However, to improve the
situation, to build a place of worship should pay attention to
some important aspects that were offset by good
management.

Keywords: Paradigm, mosques, motivation, partially.

*
Alumnus Program Strata-2 Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel
Surabaya, Konsentrasi Syari’ah.

58 MENARA TEBUIRENG, Vol. 10, No. 01 September 2014


Paradigma masjid

A. PENDAHULUAN
Masjid merupakan instrumen sosial masyarakat Islam yang tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan umat Islam. Masjid yang berdiri dalam sebuah
komunitas adalah salah satu ciri utama yang menunjukkan bahwa daerah
tersebut dihuni oleh umat Islam. Merupakan sebuah kelalaian atau bahkan
sebuah kesalahan yang fatal apabila tidak dijumpai sebuah bangunan masjid
dalam perkumpulan tersebut. Sebuah kewajiban yang harus dipenuhi oleh
komunitas umat Islam apabila di daerahnya belum terdapat sebuah masjid
untuk mengadakan sebuah bangunan khusus beribadah yang dikenal dengan
nomenklatur masjid.1
Pesan ini dapat kita temui sepanjang sejarah perjalanan dakwah
Nabi. Perhatian besar beliau yang paling tampak saat dan pasca hijrah
adalah mengenai keberadaan masjid2. Hal ini terbukti dengan tindakan
beliau yang membangun masjid di setiap tempat yang beliau singgahi.
Di antaranya adalah beliau membangun masjid Quba’, masjid Nabawi
seusai mempersaudarakan 2 golongan besar, kaum Muhajirin dan
Anshar.
Fakta historis secara tegas dan lugas telah menjelaskan bahwa
Masjid memiliki peran vital dalam kehidupan sosial kemasyarakatan
umat Islam di masa lalu. Terbukti dengan menggunakan Masjid, Nabi
Muhammad mampu membawa umat Islam menuju peradaban yang luar
biasa, berbagai prestasi gemilang dimulai dari sini. Namun perlu disadari
bahwa peran besar tersebut kini makin terkikis seiring perubahan pola
hidup manusia modern. Sebagai contoh adalah peran masjid dalam
bidang pendidikan kini sudah beralih kepada lembaga-lembaga
pendidikan baik formal maupun non formal. Sehingga, tidak
mengherankan jika kini masjid tidak lebih hanya sebagai tempat ibadah
(salat), yang makin lama jumlah peminatnya kian terkikis.
Kondisi tersebut berbanding terbalik dengan semangat masyarakat
untuk mendirikan masjid yang tidak diimbangi dengan sumberdaya
pengelola yang baik dan profesional, akibatnya, bangunan masjid yang
megah berbaris menjamur di seantero negeri. Terlebih bangunan rumah
ibadah bagi Umat Islam, khususnya di Indonesia, juga banyak dikenal

1
Miftah Faridl, Masjid (Bandung: Pustaka, 1985), h. 8.
2
Khairuddin Wanili, Ensiklopedi Masjid: Hukum, Adab dan Bid’ahnya, terj. Darwis
(Jakarta: Darus Sunnah Press, 2008), h. xvi.

MENARA TEBUIRENG, Vol. 10, No. 01 September 2014 59


Muhammad Ismul Abdi

nama-nama lain, di antaranya adalah mushala, langgar, surau dann lain


sebagainya. Hal ini tentunya kian menambah panjang daftar bangunan
rumah ibadah kita.

B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Masjid
Masjid merupakan bentuk derivatif dari kata sajada-yasjudu-suju>dan,
yang berarti taat, patuh, serta tunduk dengan penuh rasa hormat.3 Secara
bahasa kata al-masjid (dengan kasrah huruf ji>m), berarti tempat sujud (berupa
ism al-maka>n), sedangkan kata al-masjad (dengan fath}ah huruf ji>m) berarti
dahi yang digunakan seseorang ketika bersujud, dan kata al-misjad (dengan
kasrah huruf mi>m) bermakna tikar kecil.4
Sedangkan secara istilah terdapat beberapa definisi yang dikemukakan
oleh beberapa ulama yang pada intinya adalah sebagai tempat yang digunakan
untuk bersujud, diantaranya adalah: al-Zarka>shi memberikan definisi masjid
sebagai tempat yang digunakan untuk beribadah (salat) kepada Allah, definisi
ini diambil dengan alasan:

.
Artinya:
Sujud merupakan bagian paling mulia dari salat, guna mendekatkan
diri seorang hamba kepada Tuhannya, kemudian diambil ism al-

3
Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer al-‘Ashri (Yogyakarta:
Multikarya Grafika, 1999), h. 1715. Menurut Sidi Ghazalba, masjid adalah tempat untuk
bersujud. Sujud adalah pengakuan ibadah lahir dan batin. Sujud dalam pengertian lahir
bersifat gerak jasmani, sujud dalam pengertian batin berarti pengabdian. Lihat: Sidi
Ghazalba, Messjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam (Jakarta: Pustaka al-Husna,
1994), h. 118.
4
Su‘a>d Ma>hir Muh}ammad, Masa>jid Mis}r wa Awliya>’uha> al-S}alih}u>n, I (Kairo:
Jumhu>riyyah Mis}r al-‘Arabiyyah, 1983), h. 29.
5
Muh}ammad ibn ‘Abd Alla>h al-Zarkashi, I’la>m al-Sa>jid bi Ah}ka>m al-Masa>jid (Kairo:
Lajnah Ih}ya>’ al-Tura>th al-Isla>mi, 1420 H/1999 M), h. 28.

60 MENARA TEBUIRENG, Vol. 10, No. 01 September 2014


Paradigma masjid

maka>n-nya, sehingga disebut masjid (tempat sujud) bukan marka‘


(tempat ruku’). Kemudian secara ‘urf masjid adalah tempat yang
diperuntukkan untuk dilaksanakannya salat fardlu lima waktu, juga
tempat berkumpulnya sekelompok orang di hari raya, dan
sebagainya.
Shaykh al-Qurt}u>bi memberikan definisi masjid sebagai:
.
Artinya:
Setiap tempat yang memungkinkan untuk digunakan menyembah
dan besujud kepada Allah, disebut masjid.
Setidaknya di sekitar kita banyak dijumpai kata yang tertuju pada term
masjid, seperti masjid, musala, langgar, dan surau, atau bahkan nomenklatur
tersebut berbentuk sebuah frase, seperti masjid agung, masjid jami’, masjid
raya dan sebagainya. Dalam perspektif fikih hanya dikenal 2 (dua) istilah, yaitu
masjid dan masjid jami’.
Masjid dipahami sebagai tempat yang dipersiapkan, disediakan khusus
untuk melakukan salat. Hal ini sebagaimana diungkap oleh Hasbi Ash-
Shiddiqie bahwa masjid adalah tempat yang dijadikan dan ditentukan
(diwakafkan) sebagai tempat umum manusia mengerjakan salat berjama’ah
(tempat yang ditentukan untuk mengerjakan ibadah kepada Allah swt).
Wakaf sebagai prasyarat sebuah tempat disebut sebagai masjid dengan
segala aspek hukumnya merupakan sebuah kesepakaan ulama secara kolektif
(ijmak). Wakaf yang dimaksud di sini adalah wakaf yang bersifat sah (s}ah}i>h)}
dan selamanya (muabbad), bukan wakaf yang bersyarat atau dibatasi oleh
waktu. Baik wakaf dilakukan dengan akad ataupun perbuatan yang
mengindikasikan sebagai bentuk perwakafan, sebagaimana mendirikan sebuah
bangunan untuk dilaksanakan salat di dalamnya dan memberikan izin kepada
orang lain untuk melaksanakan salat di dalamnya.7 Hal ini berbeda dengan

6
Abu> ‘Abd Alla>h Muh}ammad ibn Ah}mad ibn Abu> Bakr al-Qurt}u>bi, al-Ja>mi‘ li Ah}ka>m
al-Qur’a>n wa al-Mubayyin li Ma> Tad}ammanahu min al-Sunnah wa A>y al-Furqa>n, 2
(Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 2006), h. 323.
7
Dengan demikian, tempat salat yang biasa digunakan di rumah, perkantoran, sekolah,
tempat perbelanjaan dan sebagainya yang tidak dipersiapkan khusus sebagai tempat
ibadah dan bukan benda wakaf tidak dapat disebut sebagai masjid walaupun digunakan
untuk melaksanakan salat berjama’ah. Lihat: ‘Abd Alla>h ibn S}a>lih} al-Fawza>n, Ah}ka>m
Hu}d}u>r al-Masjid (t.t.: t.p., 1421 H), h. 8. Hal senada juga diungkapkan oleh Ibn
Quda>mah yang bermazhab H}anba>li dalam Abu> Muh}ammad ‘Abd Alla>h ibn Ah}mad ibn

MENARA TEBUIRENG, Vol. 10, No. 01 September 2014 61


Muhammad Ismul Abdi

pendapat yang disampaikan oleh Abu> Ish}a>q al-Shayra>zi> yang bermazhab


Sha>fi‘i yang beranggapan bahwa wakaf harus dengan menggunakan akad yang
dilafalkan (al-qawl), beliau menyatakan:

.
Artinya:
Wakaf tidak sah kecuali dengan dilafalkan, maka apabila seseorang
membangun masjid dan salat di dalamnya atau mengizinkan orang-orang
untuk melaksanakan salat di dalamnya, tidaklah menjadikannya sebagai
wakaf. Karena wakaf itu untuk menghilangkan sifat kepemilikan dengan
tujuan mendekatkan diri kepada Allah (‘ala> wajh al-qurbah), sehingga
tidak menjadi sah kecuali dengan dilafalkan bagi yang mampu
sebagaimana dalam hal memerdekakan budak.
Dengan memahami pengetian ini, maka musala, surau dan langgar yang
banyak dijumpai di sekitar pemukiman dan digunakan berjama’ah adalah
masjid dan berlaku hukum masjid, walaupun menggunakan nama musala atau
surau dan disunnahkan beri’tikaf dan haram berdiam diri bagi yang berhadas
besar.9

Muh}ammad ibn Quda>mah al-Maqdi>si al-H}anba>li, al-Ka>fi, III (Riyad: Da>r Hijr, 1417
H/1997 M), h. 579. Lihat juga: ‘Abd al-Ghani al-Ghani>mi al-H}anafi, al-Luba>b fi> Sharh}
al-Kita>b, II (Beirut: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, t.th.), h. 186.
8
Abu> Ish}a>q Ibra>hi>m ibn ‘Aly ibn Yu>suf al-Shayra>zi, al-Muhadhdhad fi> Fikih al-Ima>m
al-Sha>fi‘i, 2 (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1416 H/1995 M), h. 326.
9
Dalam persoalan i‘tikaf ulama sepakat bahwa hanya dapat dilaksanakan di dalam
masjid, namun terdapat perbedaan pendapat mengenai kriteria masjid, apakah semua
masjid ataukah hanya masjid jami’. Mayoritas ulama termasuk Imam Malik dan Imam
H}anafy menjelaskan bahwa i’tikaf dilakukan dalam setiap masjid yang dilaksanakan
salat berjama’ah, sebagaimana dikutib oleh al-Sarkhasi:

Namun Imam Sha>fi‘i menambahkan harus berada pada masjid yang digunakan salat
jumat (masjid jami’) dan adapula yang menyatakan bahwa i’tikaf hanya dapat
dilakukan di dalam 3 (tiga) masjid: Masjid al-H}ara>m, Masjid Nabawi, dan Masjid al-
Aqs}a>. Pendapat ini diperoleh dari H}udhaifah. Abu> Muh}ammad ibn Ah}mah ibn

62 MENARA TEBUIRENG, Vol. 10, No. 01 September 2014


Paradigma masjid

Berkenaan dengan pembahasan ini, perlu penulis sampaikan bahwa


selain penjelasan tersebut terdapat pula segolongan ulama yang berusaha
membedakan antara term masjid dengan musala, yang mendefinisikan musala
sebagai tempat yang digunakan untuk mendirikan sebagian macam salat dan
bukan sebagian yang lainnya.10 Mengenai definisi ini penulis cenderung
memahami sebagai tempat yang dibangun bukan secara khusus sebagai tempat
melaksanakan ibadah salat, seperti kamar Nabi yang juga digunakan untuk
salat (sekarang ini hampir di setiap rumah mempunyai ruang khusus ini).
Sedangkan yang digunakan salat jumat adalah masjid jami’.11
Terma jami’ merupakan kata sifat yang melekat pada sebuah masjid
besar. Keterangan ini sebagaimana dikatakan oleh Hisha>m ibn ‘Uma>r:

Muh}ammad ibn Quda>mah al-Maqdisy al-H}anba>ly, al-Mughny, IV (Riya>d}: Da>r ‘A>lam


al-Kutub, 1997), h. 461-461. Lihat pula: Sayyid Abu> Bakr ibn Muh}ammad al-Dimya>t}i
al-Mis}ri, H}ashiyah I‘a>nah al-T}a>libi>n, III (t.t.: H}aramayn, t.th.), h. 160-161.
10
Muh}ammad ibn Muh}ammad al-Mukhta>r al-Shanqi>t}i, Sharh} Za>d al-Mustaqni‘, V (t.t.:
t.p., t.th.), h. 91. Bandingkan, Zakaria al-Ans}a>ri, Asna al-Mat}a>lib Sharh} Rawd} al-T}a>lib,
II (Kairo: Da>r al-Kitab al-Isla>mi, t.th.), h. 462-463., al-Sharwani, H}ashiyah al-Sharwa>ni
‘ala> Tuh}fah al-Muh}taj bi Sharh} al-Minhaj, III (Beirut: Da>r al-Fikr, t.th.), h. 464-465.,
Muh}ammad ibn Shiha>b al-Di>n al-Ramli, Niha>yah al-Muh}taj ila> Sharh} al-Minhaj, III
(Beirut: Da>r al-Fikr, t.th.), h. 216., dan Muh}ammad Nawawi ibn ‘Umar al-Ja>wi,
Niha>yah al-Zayn Sharh} Qurrah al-‘Ayn (Beirut: Da>r al-Fikr, t.t.), h. 269.
11
Masjid ini dikenal dengan istilah al-Ja>mi‘ yang secara harfiyah berarti tempat
berkumpulnya manusia secara rutin. al-T}a>hir Ah}mad al-Za>wi, Tarti>b al-Qa>mu>s al-
Muh}i>t} ‘ala> T}ari>qah al-Mis}ba>h} al-Muni>r wa Asa>s al-Bala>ghah, I (Beirut: Da>r al-Fikr,
t.th.), h. 528.
12
Su‘a>d Ma>hir Muh}ammad, Masa>jid Mis}r wa Awliya>’uha> al-S}alih}u>n, I (Kairo:
Jumhu>riyyah Mis}r al-‘Arabiyyah, 1983), h. 30-31.

MENARA TEBUIRENG, Vol. 10, No. 01 September 2014 63


Muhammad Ismul Abdi

Artinya:
Saat ‘Umar ibn al-Khat}t}a>b telah merebut beberapa negara, beliau
menulis surah kepada Abu> Mu>sa>, di Bashrah, memerintahkan untuk
mendirikan masjid jami’ dan beberapa masjid untuk sekumpulan
orang (kabilah), sehingga mereka berkumpul di masjid jami’ saat
hari jumat. Beliau juga menulis surah yang sama kepada Sa’d ibn
Abi> Waqa>s}, di Kufah, dan kepada ‘Amr ibn al-‘A>s} di Mesir, serta
kepada para pemimpin pasukan di Syam. Sehingga, seluruhnya
mengikuti perintah ‘Umar.

2. Fungsi Masjid dalam Lintas Sejarah


Secara umum ada 3 (tiga) fungsi utama masjid, sebagaimana
disebutkan dalam al-Qur’an surat al-Nu>r (24): 36-37, yaitu: 1)
mengagungkan nama Allah, 2) mengingat dan menyebut nama Allah,
dan 3) bertasbih atau memuji Allah.13
Optimalisasi kompleksitas fungsi masjid ini dapat kita temui
sepanjang sejarah perjalanan dakwah Nabi. Perhatian besar beliau yang
paling tampak saat dan pasca hijrah adalah mengenai keberadaan
masjid.14 Sebagai contoh adalah Masjid al-H}ara>m yang kemudian
menjadi media sosialisasi ajaran Islam secara terbuka di Makkah dan

13
Bertasbih dalam konteks ini bukanlah cukup membaca subh}a>na Alla>h, namun
mencakup orang-orang yang tidak dibutakan oleh masalah perdagangan (mu’amalah)
sehingga melupakan 1) ingat kepada Allah, 2) mendirikan salat, dan 3) menunaikan
zakat. Orang seperti ini adalah orang yang telah mendapatkan bimbingan, pertongan,
dan hidayah (nu>r Alla>h) melalui hati nuraninya sebagaimana dijelaskan dalam ayat
sebelumnya (al-Nu>r ayat 35). Lafal dipahami
sebagai perumpamaan, bahwa mendapatkan hidayah tersebut adalah melalui masjid. Di
sini jelas tampak begitu besar fungsi masjid, bukan hanya sebagai tempat salat,
persembunyian perang, terlebih sebagai tempat memupuk iman dan sebagai tempat
memulai langkah keluar untuk memperoleh petunjuk (nu>r) Allah. Lihat: Ahmad Muhsin
Kamaludiningrat, “Meningkatkan Fungsi dan Peran Masjid dalam Dakwah dan
Pembinaan Masyarakat Madani Beriman dan Bertaqwa Melalui Jogjakarta Serambi
Madinah”, Jurnal Ulama, Vol. III, No. 1 (April 2010), h. 5-6.
14
Khairuddin Wanili, Ensiklopedi Masjid: Hukum, Adab dan Bid’ahnya, terj. Darwis
(Jakarta: Darus Sunnah Press, 2008), h. xvi.

64 MENARA TEBUIRENG, Vol. 10, No. 01 September 2014


Paradigma masjid

mendapatkan reaksi negatif dari penduduk Quraish, khususnya kaum elit


(feodal).15
Di samping itu, setelah sampai di kota Madinah, hal pertama yang beliau
lakukan setelah mempersaudarakan 2 (dua) golongan besar, antara kaum
muhajirin dan kaum anshar adalah membangun masjid yang dikenal dengan
sebutan masjid Nabawi. Fakta ini adalah sebagai sebuah bukti konkret betapa
besar perhatian beliau terhadap keberadaan masjid yang dalam
perkembangannya sebagai wadah sentral dalam membentuk peradaban besar
dalam dunia Islam.
Dalam perspektif historis, masjid merupakan wadah sentral yang paling
strategis dalam menggali, membina dan mengembangkan potensi umat Islam
dalam mewujudkan sumberdaya manusia yang berkualitas. Hal ini dibuktikan
oleh Nabi, saat setelah hijrah ke Madinah, dengan bermodal bangunan masjid
Nabawi yang sangat sederhana mampu merubah peradaban Islam yang
berpengaruh di sepanjang sejarah dunia Islam.16
Perubahan terus bergulir sepanjang masa, ungkapan tersebut cukup
menggambarkan keadaan masyarakat Madinah ketika itu. Masyarakat Madinah
di bawah komando Nabi mampu berkembang dengan pesatnya sehingga
berpengaruh pada fungsi masjid yang semakin komplek.17 Di sinilah beliau
mengajarkan ilmu agama sekaligus membangun kekuatan militer, di tempat
sederhana ini pula Nabi bertindak sebagai hakim dalam menyelesaikan
problematika umat yang beragam. Ringkasnya, dalam perkembangan
selanjutnya masjid Nabawi selain sebagai tempat sentral peribadatan umat
Islam, juga berfungsi sebagai markas besar pemerintahan baik sipil ataupun
militer.

15
Menurut Fazlur Rahman kaum arab Makkah lebih sulit menerima Islam dari pada
penduduk Madinah, dikarenakan karena mereka melihat bahwa Islam bukan hanya
mengancam piliteis mereka, tetapi juga merupakan ancaman yang serius terhadap
struktur sosial dan kepentingan perdagangan mereka. Lihat: Rohimin, Jihad; Makna
dan Hikmah (Jakarta: Erlangga, 2006), h. 68.
16
Hal ini ditempuh oleh Nabi melalui jalur pendidikan. Pada awalnya (sebelum hijrah
ke Madinah) proses pendidikan Islam masa Islam klasik berlangsung secara informal,
dengan menjadikan rumah-rumah sebagai tempat proses transfer keilmuan. Nabi
menjadikan rumah sahabat Arqa>m ibn Abi> al-Arqa>m sebagai proses pembelajaran
sekaligus tempat pertemuan dengan para sahabatnya, sehingga dikenal dengan istilah
da>r al-arqa>m. Di rumah inilah Nabi menyampaikan dan menanamkan dasar-dasar agama
dan mengajarkan al Qur’an kepada mereka.
17
Harun Nasution, Islam Rasional (Bandung: Mizan, 1996), h. 248.

MENARA TEBUIRENG, Vol. 10, No. 01 September 2014 65


Muhammad Ismul Abdi

Kondisi ini terus bertahan sampai beliau wafat, masjid Nabawi tetap
sebagai pusat pemerintahan. Kemudian kepemimpinan dilanjutkan oleh Abu>
Bakr al-Si}ddi>q melalui ba’iat di thaqi>fah Bani> Sa‘i>dah untuk menggantikan
amanat Nabi sebagai khalifah pertama pengganti Nabi.18 Tidak ada perubahan
urgensi fungsi masjid sampai habis masa kepemimpinan al-khulafa>’ al-
ra>shidu>n.
Namun disadari atau tidak fungsi masjid dalam perkembangannya saat ini
mengalami pasang surut yang sangat signifikan berbanding lurus dengan
perubahan konstalasi masyarakat Islam. Urgensi fungsi masjid semakin
bertambahnya usia semakin tereduksi dengan berdirinya lembaga-lembaga
khusus yang bervisi sama dengan salah satu fungsi masjid, misalnya lembaga-
lembaga pendidikan baik formal maupun agama (diniyah dalam bentuk
madrasah ataupun taman pendidikan al-Qur’an), lembaga penegak hukum dan
lain sebagainya. Selain itu, masjid era modern ini lebih dipahami secara sempit,
sebatas tempat ibadah seperti salat, dzikir, dan i’tikaf.
Lebih ekstrim lagi pergeseran fungsi masjid ini adalah masjid hanya
sebatas sebagai ajang menonjolkan fanatisme mazhab, golongan atau bahkan
individu.19 Saat ini, tidak sulit kita menjumpai masjid berdiri megah yang
dimiliki oleh golongan, perkumpulan, atau organisasi Islam tertentu, misalnya
masjid Ahmadiyah, Masjid LDII, Masjid Muhammadiyah, Masjid NU dan
masjid-masjid aliran, golongan, atau organisasi lainnya.
Dewan Masjid Indonesia (DMI) menyatakan bahwa saat ini pembangunan
masjid di seluruh wilayah Indonesia terus berkembang dengan pesat.20 Dari
data Departemen Agama (sekarang Kementerian Agama) tercatat pada tahun
2004, jumlah masjid sebanyak 643.834 buah, meningkat dari data tahun 1977
yang sebanyak 392.044 buah. Diperkirakan, jumlah masjid dan mushala di
Indonesia pada tahun 2009 antara 700 hingga 800 ribu buah. Namun kuantitas
tempat ibadah ini tidak diimbangi dengan perencanaan dan pengelolaan yang

18
Ah}mad Shalabi, al-Siy>asah fi> al-Fikr al-Isla>mi (Kairo, al-Mis}riyyah, 1983), h. 35-38.
19
Abdurrahman al-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat
(Jakarta : Gema Insani Press, 1995), h. 136-137.
20
Dewan Masjid Indonesia (DMI) adalah organisasi tingkat nasional dengan tujuan
untuk mewujudkan fungsi masjid sebagai pusat ibadah, pengembangan masyarakat dan
persatuan umat dengan asas Islam dan bersifat sebagai organisasi independen yang
mandiri dan tidak terkait secara struktural dengan organisasi sosial kemasyarakatan dan
organisasi sosial politik manapun. Organisasi ini didirikan pada10 Jumadil Ula 1392 H
tepatnya pada 22 Juni 1972 M dengan maksud untuk meningkatkan keimanan,
ketaqwaan, akhlaq mulia dan kecerdasan umat serta tercapainya masyarakat adil
makmur yang diridhai Allah SWT, dalam wilayah Negara Republik Indonesia.

66 MENARA TEBUIRENG, Vol. 10, No. 01 September 2014


Paradigma masjid

baik, sehingga terkesan jauh dari kemampuan untuk menjalankan fungsi masjid
secara optimal21.
Jumlah masjid dan mushalla yang berdiri tidak berbanding lurus dengan
pelaksanaan fungsinya secara optimal. Pada tingkat praktis, hanya terdapat
sebagian kecil dari ribuan bangunan tersebut yang mampu menjalankan
fungsinya dengan baik. Umumnya, hanya beberapa masjid dan musala di
wilayah Indonesia yang berjumlah besar itu diiringi dengan perbaikan dan
pemberlakuan manajemen pengelolaan yang berkualitas. Sehingga, wajah
masjid yang tampak kerap kali hanya digunakan untuk melaksanakan salat 5
(lima) waktu. Di luar waktu-waktu tersebut kerap sepi dan lenggang dari
kegiatan-kegiatan positif ke-Islam-an. Jama’ahnya pun tidak terlalu banyak,
kecuali pada momen tertentu seperti saat salat jumat dan hari raya yang jatuh 2
(dua) kali dalam setahun.

3. Aspek Legalitas Mendirikan Masjid


Dalil paling mendasar dalam pembahasan kali ini adalah mengenai
perintah untuk memakmurkan masjid, sebagaimana yang disebutkan dalam al-
Qur’an surat al-Tawbah (9): 18 tentang memakmurkan masjid:

.
Artinya:
Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang
yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap
21
Optomalisasi fungsi masjid berdasarkan kajian dan perencanaan Dewan Masjid
Indonesia (DMI), terukur dengan keberhasilan masjid dalam mengemban 3 (tiga) fungsi
utama yang harus terpenuhi dengan baik. Fungsi tersebut adalah: pertama, masjid
sebagai tempat ibadah, baik dalam arti sempit ataupun dalam arti luas, selama dilakukan
dalam batas-batas syari’at. Kedua, masjid sebagai wadah pengembangan masyarakat
melalui berbagai sarana dan prasarana yang dimiliki oleh masjid. Ketiga, masjid sebagai
pusat komunikasi dan persatuan umat. Data ini bersumber dari hasil kajian Dewan
Masjid Indonesia (DMI) tahun 2009. Lihat: Administrator, “Kreativitas Takmir Masjid
Perlu Ditingkatkan”, dalam
http://dmi.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1:kreativitas-takmir-
masjid-perlu-ditingkatkan&catid=6:pembinaan-masjid&Itemid=2 (4 Desember 2012),
h. 1.
22
Al-Qur’an [9]: 18.

MENARA TEBUIRENG, Vol. 10, No. 01 September 2014 67


Muhammad Ismul Abdi

mendirikan salat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada


siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang
diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat
petunjuk.
Muh}ammad ‘Ali al-S}a>bu>ni dalam Rawa>i‘ al-Baya>n Tafsi>r A>ya>t al-
Ah}ka>m menjelaskan bahwa ‘Ima>rah al-Masjid dalam konteks ayat ini memiliki
2 (dua) pengertian, yaitu inderawi (h}issi) meliputi membangun masjid dan
merawatnya dan abstrak (ma‘nawi) meliputi menjadikan masjid tersebut
sebagai pusat peribadatan.23
Dalam ayat tersebut, keutamaan memakmurkan masjid hanya dapat
dicapai oleh orang yang beriman kepada Allah dan taat kepada-Nya, meyakini
adanya hari akhir, menjaga salat24 dan menunaikan kewajiban zakat,
mempunyai rasa takut kepada Allah. Bahkan Allah akan menjadi saksi dan
memberikan tanda keimanan bagi orang yang memakmurkan masjid ini.25
Masdar Farid Masu’di menterjemahkan dan memahami konsep praktis
memakmurkan masjid dengan mengerahkan segala upaya, dengan mendaya
gunakan pikir, gerak tubuh (tindakan), dan hati untuk membangun kehidupan
manusia dengan penuh mengedepankan manfaat yang positif dan bermartabat.
Tindakan ini merupakan bentuk manivestasi kesalihan sosial di dunia yang

23
Pendapat mengenai ayat memakmurkan masjid ini menurut analisa penulis merupakan
konklusi dari beberapa pendapat para ulama yang dikutip dalam kitabnya. Sebagian
menyatakan, bahwa maksud dari memakmurkan masjid adalah berkaitan dengan
perintah untuk membangun masjid dan mendapatkan balasan yang besar sebagaimana
yang tertera dalam beberapa hadis. Sedangkan sebagian ulama lain menyatakan, bahwa
ayat ini berkaitan dengan memakmurkan masjid dengan melaksanakan salat dan ibadah
di dalamnya, serta rangkaian kegiatan sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah,
dengan dasar surah al-Nu>r (24): 36 tentang bertasbih kepada Allah di masjid-masjid
yang di dalamnya dimuliakan dan disebut-sebut nama-Nya. Atas dasar pendapat inilah
Shaikh ‘Aly al-S}a>bu>ny menarik sebuah kesimpulan dengan memberikan komentar
bahwa inilah hasil upaya jumhur ulama, namun selanjutnya tergantung realitas
lapangan. Lihat: Muh}ammad ‘Ali al-S}a>bu>ni, Rawa>i‘ al-Baya>n Tafsi>r A>ya>t al-Ah}ka>m, I
(Damaskus: Maktabah al-Ghaza>li, 1980 M/1400 H), h. 569-573.
24
Dalam persoalan mendirikan salat ini, Wahbah al-Zuh}ayli menjelaskan bahwa dalam
kategori ini adalah salat lima waktu yang diwajibkan (mafru>d}ah) dalam sehari semalam
tepat pada waktunya. lihat: Wahbah al-Zuh}ayli, al-Tafsi>r al-Waji>z ‘ala> Ha>mish al-
Qur’a>n al-‘Az}i>m wa Ma‘ah Asba>b al-Nuzu>l wa Qawa>‘id al-Tarti>l (Damaskus: Da>r al-
Fikr, t.th.), h. 190.
25
‘Ima>d al-Di>n ibn Kathi>r al-Dimashqi, Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m, VII (Kairo:
maktabah Awla>d al-Shaikh li al-Tura>th), h. 158.

68 MENARA TEBUIRENG, Vol. 10, No. 01 September 2014


Paradigma masjid

tidak lain adalah bentuk pengejawantahan dari kesalihan personal yang secara
khusus dilakukan di rumah-Nya (masjid/musala).26
Dalil lain yang perlu diperhatikan dalam pembahasan ini adalah hadis
mengenai keutamaan membangun masjid, yang dari penelusuran penulis
menemukan dalam banyak riwayat dengan redaksi yang berbeda, antara lain
adalah hadis muttafaq ‘alayh:

.
Artinya:

Nabi saw bersabda: “barang siapa yang membangun masjid –


Bukayr berkata, “aku kira ia berkata ‘demi mengharap ridla
Allah’.” – maka Allah akan membangunkan untuknya yang serupa
dengannya di surga”.

Dalam riwayat Ibn Ma>jah dan dinilai sebagai hadis s}ah}i>h} oleh al-
Alba>ni28 disebutkan:

26
Masdar Farid Ma’udi, Memakmurkan Masjid Nahdliyin untuk Kejayaan Umat dan
Bangsa (Jakarta: P3M, 2006), h. 17-22.
27
Hadis ini diriwayatkan melalui jalur yang sama: ‘Uthma>n ibn ‘Affa>n, ‘Ubayd Alla>h
al-Khawla>ni, ‘Ashim ibn ‘Umar ibn Qata>dah, Bukayr, ‘Amr, Ibn Wahb, dan hanya
terdapat perbedaan jalur periwayatan pada sanad pertama , yaitu oleh Yah}ya> ibn
Sulayma>n dalam riwayat al-Bukha>ry dan oleh Ah}mad ibn ‘I>sa> serta Ha>ru>n ibn Sa‘i>d al-
Ayly. Lihat Abu> ‘Abd Alla>h Muh}ammad ibn Isma>‘i>l al-Bukha>ri, al-Ja>mi‘ al-S}ah}i>h}, I
(Kairo: al-Mat}ba‘ah al-Salafiyyah, 1400 H), 162. Dan Muslim ibn H}ajja>j al-Qushayri,
al-Ja>mi‘ al-S}ah}i>h}, 2 (t.t.: t.p., t.th.), h. 68.
28
Muh}ammad ibn Sulayma>n al-Maghriby, Jam‘ al-Fawa>id min Ja>mi‘ al-Us}u>l wa
Majma‘ al-Zawa>’id, I (Beirut: Da>r Ibn H}azm, 1418 H/1998 M), h. 199.

MENARA TEBUIRENG, Vol. 10, No. 01 September 2014 69


Muhammad Ismul Abdi

.
Artinya:
Nabi saw bersabda: “barang siapa membangun masjid karena Allah,
seperti sangkar burung atau lebih kecil, maka Allah akan
membangunkan rumah untuknya di surga”.

Dalam riwayat al-Nasa’i dalam kitab sunan-nya yang dinilai s}ah}i>h oleh
al-Alba>ni:

.
Artinya:
Nabi saw bersabda: “barang siapa membangun masjid yang di
dalamnya disebut nama Allah, maka Allah akan membangunkan
rumah untuknya di surga”.

Dari beberapa ragam redaksi, baik sanad maupun matan hadis tersebut,
kata kunci yang perlu dipertegas adalah mengenai maksud dari kata bina>’ (bana>

29
Abu> ‘Abd Alla>h Muh}ammad ibn Yazi>d al-Quzwayni, Sunan ibn Ma>jah, 2 (Beirut:
Da>r al-Ji>l, 1418 H/1998 M), h. 59.
30
Abu> ‘Abd al-Rah}ma>n Ah}mad ibn Shu‘ayb ibn ‘Ali, Sunan al-Nasa>’i: H}akama ‘ala>
Ah}a>di>thihi> wa A>tha>rihi wa ‘Allaq ‘Alayh Muh}ammad Na>s}ir al-Di>n al-Alba>ni (Riyadh:
Maktabah Sa‘d ibn ‘Abd al-Rah}ma>n al-Ra>shid), h. 115.

70 MENARA TEBUIRENG, Vol. 10, No. 01 September 2014


Paradigma masjid

/ membangun). Dengan mengambil salah satu dari redaksi hadis tersebut,


misalnya dari redaksi hadis riwayat al-Bukha>ri, sebagaimana dijelaskan dalam
Fath} al-Bar>i bahwa hadis ini disampaikan oleh ‘Uthma>n ketika banyak sahabat
yang menentang kebijakannya untuk merenovasi masjid Nabawi yang terjadi
pada tahun 30 H. Kata ini ini dipahami sebagai bentuk kata yang berarti
merenovasi atau membangun secara fisik.31
Menurut al-Bagha>wi dalam Sharh} al-Sunnah, bahwa pertentangan yang
dilakukan oleh para sahabat sehubungan dengan pembangunan masjid adalah
kebijakannya yang menggunakan batu berlukis, bukan perluasannya. Pada
dasarnya, ‘Uthma>n tidak membangun masjid dari awal, namun hanya
memperluas dan merenovasinya. Dengan melihat fakta ini, dapat dipahami
bahwa yang dimaksud dengan membangun adalah merenovasi, sebagaimana
kata tersebut digunakan untuk membangun dari awal. Demikian pula yang
dimaksud dengan kata masjid dalam hadis ini adalah sebagian masjid.32
Dalam perkembangan selanjutnya terdapat perkembangan makna kata
bina>’ dengan memperhatikan keadaan umat Islam yang banyak mendirikan
bangunan masjid dengan megah namun tidak diimbangi dengan
memakmukaannya, dengan salat dan dzikir, menjadi dalam 2 (dua) kategori,
yakni membangun secara fisik (hakiki) dan abstrak (majas), berupa
memakmukannya33.
Pemahaman ini muncul dengan melihat fakta di lapangan, bahwa banyak
sekali bangunan masjid megah namun tidak diimbangi dengan kegiatan
berbasis masjid (memakmurkan masjid) dan dengan memperhatikan hadis Nabi
dari Ibn ‘Abba>s:

31
Ah}mad ibn ‘Ali ibn H}ajar al-‘Asqala>ni, Fath} al-Ba>ri bi Sharh} al-Bukha>ri, I (Beirut:
Da>r al-Ma‘rifah, t.th.), h. 544. Secara lengkap tentang kronologi kebijakan ‘Uthma>n
dapat dilihat dalam Musa> Sha>hi>n La>shi>n, al-Manhal al-H}adi>th fi> Sharh} al-H}adi>th:
Ah}adi>th Mukhta>rah min S}ah}i>h} al-Bukha>ri H}asba Minhaj al-Ma‘a>hid al-Azhariyah al-
As}il> ah, I (Kairo: Da>r al-Shuru>q, 1424 H/23 M), h. 114. Bandingkan dengan Muh}y al-
Di>n al-Nawa>wi, al-Kawa>kib al-Dira>ri:S}ah}i>h} al-Bukha>ri bi Sharh} al-Kirma>ni, IV
(Beirut: Da>r Ih}ya>’ al-Tura>th al-‘Arabi, 1401 H/1981 M), h. 109.
32
H}usayn ibn Mas‘u>d al-Bagha>wi,Sharh} al-Sunnah, II (Beirut: al-Maktabah al-Isla>mi,
1403 H/1983 M), h. 347-351.
33
Shiha>b al-Di>n Ah}mad ibn Muh}ammad al-Khat}i>b al-Qist}ala>ni, Min Irsha>d al-Sa>ri> ila>
S}ah}i>h} al-Bukha>ri, I (t.t.: t.p., 1323 H), h. 439 dan 443.

MENARA TEBUIRENG, Vol. 10, No. 01 September 2014 71


Muhammad Ismul Abdi

.
Artinya:
Dari Ibn ‘Abba>s berkata: Rasu>l Alla>h saw bersabda: “aku tidak
diperintahkan untuk bermegahan dalam hal masjid”, dan Ibn ‘Abba>s
berkata “niscaya menghiasi masjid (dengan emas dan hiasan lainnya
dengan tujuan bermegahan) sebagaimana yang dilakukan oleh kaum
Yahudi dan Nasrani”.
Dalil lain yang berhubungan dengan hadis membangun masjid ini antara
lain yang berkonotasi perintah adalah hadis dari ‘A>ishah:

.
Artinya:
Dari ‘A>ishah berkata: “Rasu>l Alla>h telah memerintahkan untuk
membangun masjid di setiap daerah (dusun) dan seyogyanya untuk
membersihkan dan memberikan wangi-wangian”.
Ibra>hi>m ibn S}a>lih} al-Khad}i>ri, seorang hakim (qa>d}i) di Mahkamah Tinggi
(mah}kamah al-kubra>) Riyadh, memberikan komentar mengenai hadis ini yang
memberikan derajat shahih dan secara tekstual menunjukkan ketetapan hukum
untuk mendirikan masjid adalah sebuah kewajiban. Sedangkan dasar lain
mengenai kewajiban membangun masjid ini adalah akibat korelasi dengan
adanya kewajiban salat berjama’ah bagi umat Islam. Dengan adanya kewajiban
melakukan salat secara berjama’ah, maka membangun masjid juga merupakan
sebuah kewajiban, dengan logika hukum karena masjid merupakan perantara

34
Al-Bagha>wi,Sharh} al-Sunnah, h. 348. Hadis ini disampaikan dalam kitab Sunan Abu>
Da>wud, kita>b al-s}ala>h, bab fi> bina>’ al-masjid dengan sanad s}ah}i>h} dan diriwayatkan pula
oleh al-Bukha>ri dalam kitabnya.
35
Abu> Da>wud Sulayma>n ibn al-‘Ash‘th al-Sijista>ni, Sunan Abi> Da>wud, I (Beirut: Da>r
Ibn H}azm, 1418 H/1997 M), h. 225.

72 MENARA TEBUIRENG, Vol. 10, No. 01 September 2014


Paradigma masjid

untuk terlaksananya perintah salat berjama’ah. Atas dasar ini masjid


dikategorikan sebagai perkara yang bersifat primer (d}aru>riyyah) bagi umat
Islam.36 Namun apabila pertumbuhan kuantitas pembangunan tempat ibadah
tidak terkontrol dengan baik akan berakibat buruk bagi persatuan umat Islam
sendiri. Sehingga, mendirikan tempat ibadah (masjid) di wilayah yang banyak
masjidnya bukan lagi menjadi amal yang bernilai positif, malah sebaliknya
dianggap sebagai amal yang tercela. al-Qard}a>wi memberikan perumpamaan
apabila ada seseorang yang dengan semangat menyumbangkan hartanya untuk
membangun masjid di wilayah yang sudah banyak berdiri masjid, namun ia
enggan mendermakan hartanya tersebut untuk dakwah Islamiyah yang lain,
maka orang tersebut tidak lain adalah orang yang pekak (tuli) terhadap ajaran
Islam. Beliau memberikan alasan “karena mereka lebih percaya kepada
membangun batu dari pada membangun manusia”.37

C. PENUTUP
Sudah sepatutnya masjid kembali kepada fungsinya seperti
semula. Salah satu faktor yang mempengaruhi tergerusnya fungsi masjid
adalah semakin menjamurnya bangunan masjid akibat pemahaman
masyarakat yang parsial terhadap sebuah dalil. Untuk itu melalui tulisan
ini, penulis berharap kepada seluruh pembaca untuk turut berperan aktif
dalam upaya meluruskan pemahaman masyarakat, sehingga masjid-
masjid yang telah berdiri megah dan menjamur tersebut bukan hanya

36
Ibra>hi>m ibn S}a>lih} al-Khad}i>ri, Ah}ka>m al-Masa>jid fi> al-Shari>‘ah al-Isla>miyyah, I
(Riyadh: Da>r al-Fad}i>lah, 1421 H/2001 M), h. 299 dan 325. Terdapat perbedaan hukum
dalam persoalan mendirikan masjid ini, ‘Ali al-‘Azi>zi yang menyatakan bahwa
mendirikan masjid tergolong dalam kategori sunnah muakkadah, sesuai dengan
uangkapannya:

Rasulullah saw bersabda: “bangunlah masjid dan jadikanlah sebgai tempat salat
berjamaah”. Perintah Rasul ini berakibat hukum sunah muakkad (sangat dianjurkan).
Lihat: ‘Ali al-‘Azi>zi, al-Sira>j al-Muni>r, I (Mesir: Mus}t}afa> al-Halabi, 1377 H/1957 M),
h. 24.
37
Membangun manusia dalam konteks ini adalah dakwah Islamiyah, memberantas
kekufuran dan kemusyrikan, mendukung kegiatan Islam untuk menegakkan syari’at
agama, atau kegiatan-kegiatan lain yang memiliki tujuan besar. Sebagaimana dalam
buku fiqh prioritasnya dalam bab kebutuhan umat terhadap fikih prioritas. Lihat Yu>suf
al-Qard}a>wi, Fiqh Awla>wiyya>t: Dira>sah Jadi>dah fi> Wud}u>‘ al-Qur’a>n wa al-Sunnah
(Mesir: Muassasah al-Su‘u>diyah, 1426 H/2005 M), h. 15.

MENARA TEBUIRENG, Vol. 10, No. 01 September 2014 73


Muhammad Ismul Abdi

sebagai tanaman batu hias belaka, namun dapat membawa manfaat yang
baik bagi umat manusia, khususnya bagi umat Islam.

BIBLIOGRAPHY

‘Asqala>ni. t.t. Ah}mad ibn ‘Ali ibn H}ajar. Fath} al-Ba>ri bi Sharh} al-
Bukha>ri, I. Beirut: Da>r al-Ma‘rifah.
‘Azi>zi. 1957. ‘Ali. al-Sira>j al-Muni>r, I. Mesir: Mus}t}afa> al-Halabi, 1377
H.
Ali, Atabik dan Muhdlor, Ahmad Zuhdi. 1999. Kamus Kontemporer al-
‘Ashri. Yogyakarta: Multikarya Grafika.
Bagha>wi, H}usayn ibn Mas‘u>d. 1983. Sharh} al-Sunnah, II. Beirut: al-
Maktabah al-Isla>mi, 1403 H/s.
Bukha>ri. 1400 H. Abu> ‘Abd Alla>h Muh}ammad ibn Isma>‘i>l. al-Ja>mi‘ al-
S}ah}i>h}, I. Kairo: al-Mat}ba‘ah al-Salafi>yah.
Dimashqi, ‘Ima>d al-Di>n ibn Kathi>r. t.t. Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m, VII.
Kairo: Maktabah Awla>d al-Shaikh li al-Tura>th.
Faridl, Miftah. 1985. Masjid. Bandung: Pustaka.
Fawza>n, ‘Abd Alla>h ibn S}a>lih}. 1421 H. Ah}ka>m Hu}d}u>r al-Masjid. t.t.:
t.p..
Ibn ‘Ali, Abu> ‘Abd al-Rah}ma>n Ah}mad ibn Shu‘ayb. Sunan al-Nasa>’i:
H}akama ‘ala> Ah}a>di>thihi> wa A>tha>rihi wa ‘Allaq ‘Alayh
Muh}ammad Na>s}ir al-Di>n al-Alba>ni. Riyadh: Maktabah Sa‘d ibn
‘Abd al-Rah}ma>n al-Ra>shid, t.th..
Kamaludiningrat, Ahmad Muhsin. “Meningkatkan Fungsi dan Peran
Masjid dalam Dakwah dan Pembinaan Masyarakat Madani
Beriman dan Bertaqwa Melalui Jogjakarta Serambi Madinah”,
Jurnal Ulama, Vol. III, No. 1 (April 2010).
Khad}i>ri, Ibra>hi>m ibn S}a>lih}. 2001. Ah}ka>m al-Masa>jid fi> al-Shari>‘ah al-
Isla>miyyah, I. Riyadh: Da>r al-Fad}i>lah, 1421 H.
Ma’udi, Masdar Farid. 2006. Memakmurkan Masjid Nahdliyin untuk
Kejayaan Umat dan Bangsa. Jakarta: P3M.

74 MENARA TEBUIRENG, Vol. 10, No. 01 September 2014


Paradigma masjid

Maghribi, Muh}ammad ibn Sulayma>n. 1998. Jam‘ al-Fawa>id min Ja>mi‘


al-Us}u>l wa Majma‘ al-Zawa>’id, I. Beirut: Da>r Ibn H}azm, 1418 H.
Muh}ammad, Su‘a>d Ma>hir. 1963 Masa>jid Mis}r wa Awliya>’uha> al-
S}alih}u>n, I. Kairo: Jumhu>riyyah Mis}r al-‘Arabiyyah.
Nahlawi, Abdurrahman. 1995. Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan
Masyarakat. Jakarta : Gema Insani Press.
Nasution, Harun. 1996. Islam Rasional. Bandung: Mizan.
Qard}a>wi, Yu>suf. 2005. Fiqh Awla>wiyya>t: Dira>sah Jadi>dah fi> Wud}u>‘ al-
Qur’a>n wa al-Sunnah. Mesir: Muassasah al-Su‘u>diyah, 1426 H.
Qist}ala>ni Shiha>b al-Di>n Ah}mad ibn Muh}ammad al-Khat}i>b. 1323 H. Min
Irsha>d al-Sa>ri> ila> S}ah}i>h} al-Bukha>ri, I. t.k.: t..t.
Qurt}u>bi (al), Abu> ‘Abd Alla>h Muh}ammad ibn Ah}mad ibn Abu> Bakr.
2006. Al-Ja>mi‘ li Ah}ka>m al-Qur’a>n wa al-Mubayyin li Ma>
Tad}ammanahu min al-Sunnah wa A>y al-Furqa>n, 2. Beirut:
Muassasah al-Risa>lah.
Qushayri, Muslim ibn H}ajja>j. t.t. al-Ja>mi‘ al-S}ah}i>h}, 2. t.k.: t.p.
Quzwayni, Abu> ‘Abd Alla>h Muh}ammad ibn Yazi>d. 1998. Sunan ibn
Ma>jah, 2. Beirut: Da>r al-Ji>l, 1418 H.
Rohimin. 2006. Jihad; Makna dan Hikmah. Jakarta: Erlangga.
S}a>bu>ni, Muh}ammad. 1980. ‘Ali. Rawa>i‘ al-Baya>n Tafsi>r A>ya>t al-
Ah}ka>m, I. Damaskus: Maktabah al-Ghaza>li, 1400 H.
Shalabi, Ah}mad. 1983. Al-Siy>asah fi> al-Fikr al-Isla>mi. Kairo, al-
Mis}ri>yah.
Shanqi>t}i (al), Muh}ammad ibn Muh}ammad al-Mukhta>r. t.t. Sharh} Za>d al-
Mustaqni‘, V. t.k.: t.p., t.t.
Shayra>zi (al), Abu> Ish}a>q Ibra>hi>m ibn ‘Aly ibn Yu>suf. 1995. Al-
Muhadhdhad fi> Fikih al-Ima>m al-Sha>fi‘i, 2. Beirut: Da>r al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1416 H.
Sijista>ni, Abu> Da>wud Sulayma>n ibn al-‘Ash‘th. 1997. Sunan Abi>
Da>wud, I. Beirut: Da>r Ibn H}azm, 1418 H.
Wanili, Khairuddin. 2008. Ensiklopedi Masjid: Hukum, Adab dan
Bid’ahnya, terj. Darwis. Jakarta: Darus Sunnah Press.

MENARA TEBUIRENG, Vol. 10, No. 01 September 2014 75


Muhammad Ismul Abdi

Za>wi, al-T}a>hir Ah}mad. t.t. Tarti>b al-Qa>mu>s al-Muh}i>t} ‘ala> T}ari>qah al-
Mis}ba>h} al-Muni>r wa Asa>s al-Bala>ghah, I. Beirut: Da>r al-Fikr.
Zarkashi, Muh}ammad ibn ‘Abd Alla>h. 1999. I’la>m al-Sa>jid bi Ah}ka>m al-
Masa>jid. Kairo: Lajnah Ih}ya>’ al-Tura>th al-Isla>mi, 1420 H.
Zuh}ayli, Wahbah. al-Tafsi>r al-Waji>z ‘ala> Ha>mish al-Qur’a>n al-‘Az}i>m wa
Ma‘ah Asba>b al-Nuzu>l wa Qawa>‘id al-Tarti>l. Damaskus: Da>r al-
Fikr, t.th..

76 MENARA TEBUIRENG, Vol. 10, No. 01 September 2014

Anda mungkin juga menyukai