AGAMA ISLAM
Dosen pengampuh :
FATIHUL KHOIRS.PDI.,M.PD
Disusun oleh :
UNIVERSITAS BHAYANGKARA
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya ucapkan kehadirat Allah SWT atas rahmat serta hidayah-
Nya, sehingga saya bisa menyelesaikan makalah yang berjudul “konsep dan
fungsi masjid dalam membangun peradapan islam Tidak lupa saya ucapkan terima
kasih kepada bapak Fatihul Khoirs.PdI.,M.Pd. selaku Dosen Pengampu mata
kuliah Agama Islam yang telah membimbing saya dalam memberi materi pada
makalah ini.
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................
DAFTAR ISI.....................................................
BAB...................................................................
PENDAHULUAN.............................................
BAB 11..............................................................
PEMBAHASAN................................................
BAB 111............................................................
PENUTUP.........................................................
3.1 Kesimpulan..................................................
DAFTAR PUSTAKA........................................
BAB I
PENDAHULUAN
Masjid adalah simbol keislaman. Ia tidak dapat dipisahkan dari kehidupan umat
Islam, karena masjid merupakan bentuk ketundukan umat kepada Allah swt. Kata
masjid terulang 28 kali dalam Alquran dalam berbagai bentuk. Secara bahasa
masjid berasal dari kata sajada-yasjudu-sujudan yang secara etimologis beraarti
patuh; taat; tunduk dengan penuh hormat. Meletakkan dahi, kedua tangan, lutut,
dan kaki ke bumi, atau bersujud adalah bentuk lahiriyah yang paling nyata dari
makna-makna tersebut. Itulah sebabnya mengapa bangunan yang dikhususkan
untuk shalat dinamai masjid, “tempat bersujud”.
BAB II
PEMBAHASAN
1
B. MASJID DAN PENDIDIKAN
Pada masa nabi Muhammad Saw dan khalifah Abu Bakar Shiddiq
masjid masih berfungsi sebagai tempat ibadah dan pendidikan Islam tanpa
ada pemisahan yang jelas antara keduanya hingga masa Amirul
Mukminin, Umar ibn Khattab. Pada masanya, di samping atau di beberapa
sudut masjid dibangun kuttab-kuttab untuk tempat belajar anak-anak.
Kuttab atau maktab “berasal dari kata dasar ‘kataba’ yang artinya menulis
atau tempat menulis, jadi kuttab adalah tempat belajar menulis. Sebelum
datangnya Islam kuttab telah ada di negeri arab meskipun belum banyak
dikenal oleh masyarakat”. Ahmad Syalabi menulis bahwa “kuttab adalah
tempat memberi pelajaran menulis, dimana tempat belajar membaca dan
menulis ini teruntuk bagi anak-anak”.
Sejak masa inilah pengaturan pendidikan anak-anak dimulai. Hari
Jum’at adalah hari libur mingguan sebagai persiapan melaksanakan shalat
Jum’at. Khalifah Umar ibn Khattab mengusulkan agar para pelajar
diliburkan pada waktu dzuhur hari kamis, agar mereka bersiap-siap
menghadapi hari Jum’at. Usul ini kemudian menjadi tradisi hingga
sekarang.
Sebagai institusi pendidikan Islam periode awal, masjid
menyelenggarakan kajian-kajian baik dalam bentuk diskusi, ceramah dan
model pembelajaran yang memiliki bentuk atau format tersendiri yang
disesuaikan dengan tingkat perkembangan masyarakat muslim pada masa
itu yang pada masa-masa berikutnya terus mengalami inovasi dan
pembaruan. Hasil inovasi dan pembaruan tersebut sebagai konsekwensi
dari tuntutan dan kebutuhan masyarakat muslim terhadap pendidikan Islam
yang terus mengalami perubahan dan peningkatan.
Format dasar pendidikan masjid adalah lingkaran studi, lebih
dikenal dalam Islam sebagai `ilm al-Halaqat ‘atau singkatnya: Halaqa.
Halaqa, dieja Halqa dalam edisi baru Ensiklopedi Islam, yang
didefinisikan sebagai ‘pertemuan orang yang duduk membentuk lingkaran.
Lingkaran (halaqa) adalah bentuk tertua dari pengajaran Islam,
sejak masa Nabi Muhammad, yang berperan memimpin kegiatan bagi para
pengikutnya baik pria maupun wanita. Dalam halaqa tradisional, guru
duduk di atas bantal membelakangi dinding atau pilar. Para siswa duduk
dalam setengah lingkaran di sekitar guru, sesuai peringkat
pengetahuannya. Pada awal Islam, para guru di halaqa termasuk laki-laki
dan perempuan. Situs pertama untuk kalangan belajar berada di masjid
(masjid). Guru terkenal dikaitkan dengan kota dan masjid tertentu, dan
biasanya juga untuk nama pilar bagi ulama terkenal yang duduk di sana.
Lingkaran belajar juga diadakan di lembaga lain dan rumah. Siswa
melakukan perjalanan untuk duduk dalam lingkaran seorang sarjana
terkenal. Tradisi merekam pemaparan pengajar berkembang menjadi
pengajaran yang lebih sistematis. Metode yang dilakukan para guru dalam
mengampu mata pelajaran, memungkinkan siswa mereka untuk
mengajukan pertanyaan dan menguji pengetahuan mereka. Kesuksesan
belajar dihargai dengan surat, atau sertifikat belajar (ijazah). Tradisi halaqa
formal dan informal berlanjut sampai hari ini dalam kebudayan Muslim.
Meski belum terstruktur, kelompok belajar yang disebut halaqa ini
pada akhirnya berkembang menjadi lembaga formal. Pada mulanya
seorang guru menjadi syaikh secara alami. Pada tahap selanjutnya dengan
persiapan formal seorang syaikh halaqa dapat diangkat menjadi pengurus
masjid. Pada akhirnya, syaikh halaqa berkembang menjadi penafsir yang
menetapkan hukum sebagaimana termaktub dalam al Qur`an dan hadits.
Pada tahap selanjutnya para ulama secara khusus diangkat menjadi guru
agama dan memimpin berbagai halaqa sehingga sejarah lembaga
pendidikan tinggi berikutnya berawal pada terbentuknya berbagai halaqa
lainnya di berbagai masjid.
Di dalam format pendidikan masjid berupa halaqa tersebut terdapat
beberapa subjek pengajar yang masing-masing secara hirarkis memiliki
tugas dan fungsi yang berbeda dan saling mendukung, yaitu : 1. Syaikh
yang berarti guru utama yang juga disebut mudarris dan bertugas menjadi
imam masjid pemimpin shalat jama’ah, khotib shalat jum’at, pengajar dan
administrator dalam proses pendidikan masjid, 2. Na`ib, sebagai asisten
syaikh yang sewaktu-waktu menggantikan syaikh dalam mengajar jika
syaikh berhalangan atau menunjuknya untuk mengajar, 3. Mu’id, sebagai
juru ulang (repetitor) materi-materi yang telah diajarkan oleh syaikh atau
mudarris kepada santri atau murid yang tidak sempat mengikuti pertemuan
belajar, dan 4. Mufid, sebagai tutor yang bertugas membantu murid-murid
yang lebih muda atau pemula tetapi belum dianggap mampu mengulang
ceramah mudarris seperti halnya mu’id.
Dalam halaqa yang diselenggarakan di masjid siapapun bisa
bergabung baik statusnya sebagai murid yang terdaftar ataupun sekedar
pengunjung yang berminat mengikuti kajian. Mereka yang menjadi murid
pada halaqa tersebut diberi tugas untuk melakukan pembacaan terhadap
sumber-sumber keilmuan penunjang agar tidak mengalami kesulitan dalam
memahami uraian mudarris ketika proses kajian berlangsung, juga dituntut
untuk berkonsentrasi secara sungguh-sungguh. Kegiatan diskusi aktif pun
diintensifkan untuk menggali lebih dalam untuk menangkap wawasan
lebih luas tentang ajaran Islam.
Kadang-kadang dalam satu masjid terdapat beberapa halaqa
dengan mudarris yang masing-masing mengajara satu ilmu, seperti ilmu
tafsir, fiqih, tarikh dan sebagainya. Di masjid Amr ibn ‘Ash (13 H),
misalnya, yang mula-mula diajarkan di masjid ini ialah pelajaran agama
dan budi pekerti. Kemudian secara berangsur-angsur ditambahkan
beberapa mata pelajaran. Pada waktu imam Syafi’i datang ke masjid ini
untuk menjadi guru pada tahun 182 H, ia melihat sudah ada delapan buah
halaqa yang penuh dengan pelajar. Pada masa Umayyah terdapat masjid
sebagai pusat ilmu yakni Cordoba, masjid ash- Shahra, masjid Damaskus,
dan masjid Qairawan. Pada masa Abbasiyyah, terdapat juga masjid
sebagai pusat ilmu, periode pertama 132-232 H (750-847 M), yakni masjid
Basrah, yang didalamnya terdapat halaqa al- Fadh, halaqa al Fiqh,
halaqa al- tafsir wa al hadits, halaqa al- Riyadiyyah, halaqa al Sirr wa al-
Adab (belum ada madrasah/sekolah).
Beberapa data historis di atas hanyalah menggambarkan sedikit
dari puluhan ribu masjid yang secara faktual telah menyelenggarakan
proses pendidikan Islam dengan ragam disiplin keilmuan Islam dan
memberikan sumbangan penting bagi proses transmisi keilmuan dari
periode ke periode. Pemilahan materi ajar pun belum dilakukan secara
sistematis dan terstruktur yang pada perkembangan selanjutnya
pembakuan kurikulum terstruktur tersebut dilakukan pada lembaga
pendidikan Islam yang formal yaitu : madrasah.
Kemunculan madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam
merupakan fase terpenting dalam sejarah intelektual pendidikan Islam
yang mengubah secara signifikan format penyelenggaraan pendidikan
Islam menjadi lebih sistematis dan terstruktur. Format halaqa yang semula
digunakan dalam kajian-kajian keilmuan Islam bergeser ke lembaga baru
bernama madrasah yang menggunakan sistem kelas dalam praktek
pengajaran dan pembelajarannya.
Faktor yang mendorong perlunya pendirian madrasah sebagai
pengganti fungsi pendidikan masjid adalah kenyataan bahwa kemajuan
ilmu pengetahuan telah melahirkan kelompok intelektual baru, tentunya
memajukan dan mengembangkan lembaga pendidikan seperti madrasah
merupakan usaha untuk menyediakan lahan baru bagi mereka.
C. MASJID DAN PEMERINTAHAN
Pada masa perkembangan Islam di Madinah, kegiatan umat
muslim terpusat di masjid. Seperti yang telah dipaparkan, masjid menjadi
sarana tempat berdiskusi, bertukar pikiran, menyampaikan wahyu, serta
pengkajian Aqidah. Selain itu semua kegiatan kepemerintahan Islam juga
dilakukan di Masjid. Rasulullah SAW menjadikan masjid sebagai tempat
gedung parlemen tempat mengatur segala urusan kepemerintahan. Para
sahabat dari berbagai kabilah berkumpul dalam satu majlis yang bertempat
di masjid nabawi untuk berdiskusi, bertukar pikiran atau hanya untuk
berkumpul bersama Rasulullah.
Namun fungsi masjid sebagai pusat peradaban pada masa
Rasulullah ini lambat laun bergeser dengan berdirinya Istana sebagai pusat
pemerintah. Semua urusan keduniawian berangsur-angsur bergeser ke
istana. Pada saat itu, peran masjid hanya untuk ibadah semata.
Hal yang sama juga terjadi di Indonesia, khususnya pada era
kerajaan Islam Jawa. Lokasi masjid sebagai tempat ibadah terpisah dari
istana. Istana dilambangkan sebagai pusat peradaban manusia dijadikan
sebagai pusat pemerintahan . Sedangkan masjid, adalah bagian dari unsur
ketuhanan yang hanya digunakan untuk kegiatan ibadah mahdhoh seperti
shalat dan dzikir saja.
D. MASJID DAN PEMBANGUNAN EKONOMI
Masjid sebagai sentral kegiatan umat muslim tidak akan lepas oleh
kegiatan ekonomi. Sebuah peradaban akan dianggap berhasil jika ia dapat
menghasilkan stabilitas ekonomi pada masyarakatnya. Oleh karena itu
pengelolaan masjid masa kini harus mampu mengembalikan peranan
masjid dalam mengatasi keterbelakangan umat, khususnya menanggulangi
kemiskinan dan kebodohan. Seperti lembaga Baitul Mal pada zaman
Rasulullah yang berfungsi mengatur urusan perputaran zakat dan infaq dan
penyalurannya kepada faqir miskin.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Masjid merupakan lembaga pendidikan Islam yang murni lahir dari umat
Islam sendiri yang pada masa awal menjadi institusi sentral dan menjadi basis
utama sebagai tempat ibadah, pendidikan, pemerintahan sosial dan peran-peran
lain yang berhubungan langsung dengan persoalan-persoalan keumatan.
Begbagai fungsi Masjid yang bisa disimpulkan dari pemaparan diatas
antara lain :
1. Masjid sebagai pusat peribadatan (Fungsi Keagamaan)
2. Masjid sebagai pusat pemerintahan dan peradaban
3. Masjid sebagai pusat persaudaraan (Ukhuwah Islamiyah)
4. Masjid sebagai pusat pendidikan
5. Masjid sebagai pengumpulan dana (Baitul Mal)
6. Masjid sebagai simbol persamaan
Pola baku pendidikan pada masjid adalah berupa halaqa (lingkaran studi)
yang menyelenggarakan kajian-kajian ilmu-ilmu keislaman seperti al Qur`an,
hadits, fiqih, tafsir, ilmu bahasa dan lain sebagainya dengan tokoh guru utama
yang disebut syaikh atau mudarris dibantu oleh na`ib, mu`id dan mufid. Masa itu
masjid seakan menjadi lembaga pendidikan primadona yang sangat diminati oleh
para pencari ilmu dari berbagai daerah. Keahlian dan nama besar syaikh sendiri
sebagai pemimpin halaqa menjadi magnet tersendiri yang menentukan apakah
halaqa-halaqa tersebut memiliki banyak pengikut ataukah sedikit.
Namun seiring perkembangan zaman dan merunyaknya tuntutan
kehidupan masyarakat muslim yang kompleks posisi masjid sebagai lembaga
pendidikan Islam terganti oleh lembaga pendidikan Islam lain (madrasah) yang
muncul kemudian. Sedangkan Fungsi kepemerintahan masjid tergantikan dengan
berdirinya Istana.
Meskipun demikian optimalisasi fungsi-fungsi masjid sampai saat ini
masih terus dilakukan umat Islam terutama masjid-masjid kota. Tak jarang
ditemukan masjid-masjid kota tak hanya diperuntukan sebagai sarana tempat
ibadah tetapi pula dilengkapi fasilitas perpustakaan, ruang administrasi, ruang
belajar baca tulis al Qur`an. Bahkan pada masjid-masjid tertentu dijadikan sebagai
obyek wisata religi yang ramai dikunjungi karena keindahan dan kemegahan
arsitektur masjid tersebu, seperti masjid Istiqlal di Jakarta yang diklaim sebagai
masjid terbesar di Asia Tenggara, masjid Dian al Mahri di Depok yang terkenal
dengan sebutan Masjid Kubah Emas, masjid Agung Semarang yang memiliki
payung elektrik seperti masjid Nabawi Madinah dan sebagainya.
Salah satu komponen penting dalam pengembangan masjid adalah Remaja
Masjid. Remaja masjid menjadi penting untuk menghidupkan masjid karena sifat
dasar dari remaja dan pemuda itu sendiri yaitu penuh ide kreatifitas dan inovasi.
Sehingga kegiatan masjid akan lebih beraneka dan tidak monoton serta mampu
menarik jama’ah dari kalangan muda. Yang tidak kalah penting adalah tujuan
untuk kaderisasi, generasi muda yang cinta masjid kelak akan menjadi penerus
sebagai pengurus masjid. Tidak hanya menjadi pengurus masjid, optimalisasi
masjid untuk menghasilkan generasi cinta masjid diharapkan mampu
menghasilkan pemimpin-pemimpin yang cinta masjid, seperti halnya sahabat-
sahabat Rasulullah SAW.
Daftar Pustaka