Anda di halaman 1dari 14

TUGAS MAKALAH

AGAMA ISLAM

Dosen pengampuh :

FATIHUL KHOIRS.PDI.,M.PD

Disusun oleh :

DIKCY ARDIANSYAH : 2214121005

PROGRAM STUDI S1 TEKNIK ELEKTRO

UNIVERSITAS BHAYANGKARA

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya ucapkan kehadirat Allah SWT atas rahmat serta hidayah-
Nya, sehingga saya bisa menyelesaikan makalah yang berjudul “konsep dan
fungsi masjid dalam membangun peradapan islam Tidak lupa saya ucapkan terima
kasih kepada bapak Fatihul Khoirs.PdI.,M.Pd. selaku Dosen Pengampu mata
kuliah Agama Islam yang telah membimbing saya dalam memberi materi pada
makalah ini.

Saya berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan


pengalaman bagi pembaca. Saya sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak
kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan
pengalaman saya. Untuk itu saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Surabaya, 27 september 2022

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................

DAFTAR ISI.....................................................

BAB...................................................................

PENDAHULUAN.............................................

1.1 Latar belakang......................................


1.2 Rumusan Masalah................................
1.3 Tujuan masalah.....................................

BAB 11..............................................................

PEMBAHASAN................................................

2.1 Konsep dan fungsi masjid dalam membangun peradapan islam

BAB 111............................................................

PENUTUP.........................................................

3.1 Kesimpulan..................................................

DAFTAR PUSTAKA........................................
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masjid adalah simbol keislaman. Ia tidak dapat dipisahkan dari kehidupan umat
Islam, karena masjid merupakan bentuk ketundukan umat kepada Allah swt. Kata
masjid terulang 28 kali dalam Alquran dalam berbagai bentuk. Secara bahasa
masjid berasal dari kata sajada-yasjudu-sujudan yang secara etimologis beraarti
patuh; taat; tunduk dengan penuh hormat. Meletakkan dahi, kedua tangan, lutut,
dan kaki ke bumi, atau bersujud adalah bentuk lahiriyah yang paling nyata dari
makna-makna tersebut. Itulah sebabnya mengapa bangunan yang dikhususkan
untuk shalat dinamai masjid, “tempat bersujud”.

Dalam pengertian masjid merupakan bangunan tempat shalat kaum Muslim.


Tapi karena akar katanya mengandung makna tunduk dan patuh, hakikat masjid
menjadi tempat melakukan segala aktivitas yang mengandung kepatuhan
kepada Allah swt. Alquran menegaskan: “ Sesungguhnya masjid-masjid itu
adalah milik Allah, maka janganlah kamu menyembah sesuatu didalamnya selain
Allah.” (QS. Jinn {72} : 18). Rasulullah saw. bersabda:“Telah dijadikan untukku
(dan untuk umatku) bumi sebagai masjid dan sarana penyucian diri”. (HR
Bukhari dan Muslim melalui Jabir bin Abdullah)

1.2 Rumusan Masalah

1. Konsep dan fungsi masjid dalam membangun peradapan islam

1.3 Tujuan Makalah

1. Menambah cara berfikir mahasiswa untuk menganalisis suatu permasalahan

2. Meningkatkan pengetauhan mahasiswa tentang konsep dan fungsi masjid

3. Agar mahasiswa bisa mengaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konsep dan fungsi masjid dalam membangun peradapan islam


A. MASJID DALAM MASA PERIOE AWAL ISLAM
Pada periode awal Islam yaitu pada masa Rasulullah Saw. masjid
memiliki peran signifikan dan strategis baik ketika di Makkah atau di
Madinah. Di Makkah, masjid al Haram menjadi tempat sosialisasi wahyu
dari Allah secara terbuka sehingga mengundang reaksi keras dari golongan
musyrikin Quraisy seperti dialami oleh Abdullah ibn Mas’ud. Demikian
pula sewaktu nabi singgah di Quba dalam perjalanannya ke Yatsrib,
selama 4 (empat) hari beliau mendirikan masjid yang kemudian dikenal
dengan sebutan masjid Quba, masjid yang pertama kali dibangun oleh nabi
pada tahun ke- 13 kenabiannya atau tahun ke- 1 hijriah (28 Juni 622 M).
Masjid Quba ini merupakan tempat peribadatan umat Islam pertama yang
kemudian menjadi model atau pola dasar bagi umat Islam dalam
membangun masjid-masjid di kemudian hari. Masjid Quba disamping
sebagai tempat peribadatan yang menjadi fungsi utamanya, juga sebagai
tempat pendidikan dan pengajaran agama Islam. Untuk itu, Rasulullah
menempatkan Mu’adz ibn Jabal sebagai imam sekaligus guru agama di
majid Quba ini. Selain itu, Rasulullah sendiri kerap berkunjung ke masjid
ini, baik dengan mengendarai unta ataupu berjalan kaki, dan menunaikan
shalat.
Kemudian setibanya di Yatsrib, langkah pertama yang dilakukan
Rasulullah Saw. adalah membangun masjid yang sangat sederhana,
berukuran 35 x 30 m2. Dengan berlantaikan tanah, dinding terbuat dari
tanah yang dikeringkan, tiangnya dari batang pohon kurma dan atapnya
dari pelepah dan daunnya. Masjid ini kemudian dikenal dengan sebutan
Masjid Nabawi. Di sebelah timur masjid, dibangun tempat tinggal
Rasulullah yang tentunya lebih sederhana lagi dari masjid, dan di sebelah
barat dibangun sebuah ruangan khusus untuk orang-orang miskin
muhajirin, yang kemudian dikenal dengan sebutan al shuffah.
Di Masjid Nabawi inilah, seperti dijelaskan Quraish Shihab, fungsi-
fungsi penting yang terkait dengan kehidupan masyarakat muslim pada
masa itu dijalankan dengan baik karena Rasulullah sendiri yang secara
langsung memimpin pemberdayaan masjid sebagai tempat dan basis utama
mengelola masyarakat muslim dengan sebaik-baiknya yang di kemudian
hari melahirkan sebuah masyarakat ideal yang disebut masyarakat
madani.1
Selain dari dua masjid di atas, Rasulullah dan para sahabat juga
membangun dan memperhatikan beberapa masjid dalam waktu yang
berbeda antara lain : masjid Qiblatain, masjid Salman, masjid Sayyidina
Ali, masjid Ijabah, masjid Raya, masjid Suqiya, masjid Fadikh, masjid
Bani Quraizhah, Masjid Afr dan masjid al Aqsha yang notebene masjid
tertua kedua setelah masjid al haram di Makkah.
Pada masa Khulafa al Rasyidin juga dibangun beberapa masjid
baru di wilayah-wilayah yang berhasil dikuasai. Di Bayt al Maqdis,
misalnya, khalifah Umar ibn Khattab membangun sebuah masjid yang
berbentuk lingkaran (segi delapan), dindingnya terbuat dari tanah liat,
tanpa atap, tepatnya di atas bukit Muriah. Masjid ini kemudian dikenal
dengan nama masjid Umar. Di Kufah pada tahun 17 H Sa’ad ibn Abi
Waqqash, sebagai panglima perang, membangun sebuah masjid dengan
bahan-bahan bangunan dari Persia lama dari Hirah dan selesai dibangun
pada tahun 18 H. Masjid ini sudah memiliki mihrab dan menara. Di kota
Basrah, pada tahun 14 H juga dibangun sebuah masjid oleh ‘Utbah ibn
Ghazwan. Di Madain, pada tahun 16 H. Sa’ad ibn Abi Waqqash
menjadikan sebuah gedung sebagai masjid. Di Damaskus, pada tahun 14
H. gereja St. John dibagi dua, sebagian (sebelah timur) menjadi milik
muslim dan dibuat sebagai masjid oleh Abu Ubaidah ibn Jarrah. Di Fustat,
Mesir, pada tahun 21 H. Amr ibn ‘Ash, ketika menjadi panglima perang
untuk menaklukan daerah tersebut membangun masjid al ‘Atiq.

1
B. MASJID DAN PENDIDIKAN
Pada masa nabi Muhammad Saw dan khalifah Abu Bakar Shiddiq
masjid masih berfungsi sebagai tempat ibadah dan pendidikan Islam tanpa
ada pemisahan yang jelas antara keduanya hingga masa Amirul
Mukminin, Umar ibn Khattab. Pada masanya, di samping atau di beberapa
sudut masjid dibangun kuttab-kuttab untuk tempat belajar anak-anak.
Kuttab atau maktab “berasal dari kata dasar ‘kataba’ yang artinya menulis
atau tempat menulis, jadi kuttab adalah tempat belajar menulis. Sebelum
datangnya Islam kuttab telah ada di negeri arab meskipun belum banyak
dikenal oleh masyarakat”. Ahmad Syalabi menulis bahwa “kuttab adalah
tempat memberi pelajaran menulis, dimana tempat belajar membaca dan
menulis ini teruntuk bagi anak-anak”.
Sejak masa inilah pengaturan pendidikan anak-anak dimulai. Hari
Jum’at adalah hari libur mingguan sebagai persiapan melaksanakan shalat
Jum’at. Khalifah Umar ibn Khattab mengusulkan agar para pelajar
diliburkan pada waktu dzuhur hari kamis, agar mereka bersiap-siap
menghadapi hari Jum’at. Usul ini kemudian menjadi tradisi hingga
sekarang.
Sebagai institusi pendidikan Islam periode awal, masjid
menyelenggarakan kajian-kajian baik dalam bentuk diskusi, ceramah dan
model pembelajaran yang memiliki bentuk atau format tersendiri yang
disesuaikan dengan tingkat perkembangan masyarakat muslim pada masa
itu yang pada masa-masa berikutnya terus mengalami inovasi dan
pembaruan. Hasil inovasi dan pembaruan tersebut sebagai konsekwensi
dari tuntutan dan kebutuhan masyarakat muslim terhadap pendidikan Islam
yang terus mengalami perubahan dan peningkatan.
Format dasar pendidikan masjid adalah lingkaran studi, lebih
dikenal dalam Islam sebagai `ilm al-Halaqat ‘atau singkatnya: Halaqa.
Halaqa, dieja Halqa dalam edisi baru Ensiklopedi Islam, yang
didefinisikan sebagai ‘pertemuan orang yang duduk membentuk lingkaran.
Lingkaran (halaqa) adalah bentuk tertua dari pengajaran Islam,
sejak masa Nabi Muhammad, yang berperan memimpin kegiatan bagi para
pengikutnya baik pria maupun wanita. Dalam halaqa tradisional, guru
duduk di atas bantal membelakangi dinding atau pilar. Para siswa duduk
dalam setengah lingkaran di sekitar guru, sesuai peringkat
pengetahuannya. Pada awal Islam, para guru di halaqa termasuk laki-laki
dan perempuan. Situs pertama untuk kalangan belajar berada di masjid
(masjid). Guru terkenal dikaitkan dengan kota dan masjid tertentu, dan
biasanya juga untuk nama pilar bagi ulama terkenal yang duduk di sana.
Lingkaran belajar juga diadakan di lembaga lain dan rumah. Siswa
melakukan perjalanan untuk duduk dalam lingkaran seorang sarjana
terkenal. Tradisi merekam pemaparan pengajar berkembang menjadi
pengajaran yang lebih sistematis. Metode yang dilakukan para guru dalam
mengampu mata pelajaran, memungkinkan siswa mereka untuk
mengajukan pertanyaan dan menguji pengetahuan mereka. Kesuksesan
belajar dihargai dengan surat, atau sertifikat belajar (ijazah). Tradisi halaqa
formal dan informal berlanjut sampai hari ini dalam kebudayan Muslim.
Meski belum terstruktur, kelompok belajar yang disebut halaqa ini
pada akhirnya berkembang menjadi lembaga formal. Pada mulanya
seorang guru menjadi syaikh secara alami. Pada tahap selanjutnya dengan
persiapan formal seorang syaikh halaqa dapat diangkat menjadi pengurus
masjid. Pada akhirnya, syaikh halaqa berkembang menjadi penafsir yang
menetapkan hukum sebagaimana termaktub dalam al Qur`an dan hadits.
Pada tahap selanjutnya para ulama secara khusus diangkat menjadi guru
agama dan memimpin berbagai halaqa sehingga sejarah lembaga
pendidikan tinggi berikutnya berawal pada terbentuknya berbagai halaqa
lainnya di berbagai masjid.
Di dalam format pendidikan masjid berupa halaqa tersebut terdapat
beberapa subjek pengajar yang masing-masing secara hirarkis memiliki
tugas dan fungsi yang berbeda dan saling mendukung, yaitu : 1. Syaikh
yang berarti guru utama yang juga disebut mudarris dan bertugas menjadi
imam masjid pemimpin shalat jama’ah, khotib shalat jum’at, pengajar dan
administrator dalam proses pendidikan masjid, 2. Na`ib, sebagai asisten
syaikh yang sewaktu-waktu menggantikan syaikh dalam mengajar jika
syaikh berhalangan atau menunjuknya untuk mengajar, 3. Mu’id, sebagai
juru ulang (repetitor) materi-materi yang telah diajarkan oleh syaikh atau
mudarris kepada santri atau murid yang tidak sempat mengikuti pertemuan
belajar, dan 4. Mufid, sebagai tutor yang bertugas membantu murid-murid
yang lebih muda atau pemula tetapi belum dianggap mampu mengulang
ceramah mudarris seperti halnya mu’id.
Dalam halaqa yang diselenggarakan di masjid siapapun bisa
bergabung baik statusnya sebagai murid yang terdaftar ataupun sekedar
pengunjung yang berminat mengikuti kajian. Mereka yang menjadi murid
pada halaqa tersebut diberi tugas untuk melakukan pembacaan terhadap
sumber-sumber keilmuan penunjang agar tidak mengalami kesulitan dalam
memahami uraian mudarris ketika proses kajian berlangsung, juga dituntut
untuk berkonsentrasi secara sungguh-sungguh. Kegiatan diskusi aktif pun
diintensifkan untuk menggali lebih dalam untuk menangkap wawasan
lebih luas tentang ajaran Islam.
Kadang-kadang dalam satu masjid terdapat beberapa halaqa
dengan mudarris yang masing-masing mengajara satu ilmu, seperti ilmu
tafsir, fiqih, tarikh dan sebagainya. Di masjid Amr ibn ‘Ash (13 H),
misalnya, yang mula-mula diajarkan di masjid ini ialah pelajaran agama
dan budi pekerti. Kemudian secara berangsur-angsur ditambahkan
beberapa mata pelajaran. Pada waktu imam Syafi’i datang ke masjid ini
untuk menjadi guru pada tahun 182 H, ia melihat sudah ada delapan buah
halaqa yang penuh dengan pelajar. Pada masa Umayyah terdapat masjid
sebagai pusat ilmu yakni Cordoba, masjid ash- Shahra, masjid Damaskus,
dan masjid Qairawan. Pada masa Abbasiyyah, terdapat juga masjid
sebagai pusat ilmu, periode pertama 132-232 H (750-847 M), yakni masjid
Basrah, yang didalamnya terdapat halaqa al- Fadh, halaqa al Fiqh,
halaqa al- tafsir wa al hadits, halaqa al- Riyadiyyah, halaqa al Sirr wa al-
Adab (belum ada madrasah/sekolah).
Beberapa data historis di atas hanyalah menggambarkan sedikit
dari puluhan ribu masjid yang secara faktual telah menyelenggarakan
proses pendidikan Islam dengan ragam disiplin keilmuan Islam dan
memberikan sumbangan penting bagi proses transmisi keilmuan dari
periode ke periode. Pemilahan materi ajar pun belum dilakukan secara
sistematis dan terstruktur yang pada perkembangan selanjutnya
pembakuan kurikulum terstruktur tersebut dilakukan pada lembaga
pendidikan Islam yang formal yaitu : madrasah.
Kemunculan madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam
merupakan fase terpenting dalam sejarah intelektual pendidikan Islam
yang mengubah secara signifikan format penyelenggaraan pendidikan
Islam menjadi lebih sistematis dan terstruktur. Format halaqa yang semula
digunakan dalam kajian-kajian keilmuan Islam bergeser ke lembaga baru
bernama madrasah yang menggunakan sistem kelas dalam praktek
pengajaran dan pembelajarannya.
Faktor yang mendorong perlunya pendirian madrasah sebagai
pengganti fungsi pendidikan masjid adalah kenyataan bahwa kemajuan
ilmu pengetahuan telah melahirkan kelompok intelektual baru, tentunya
memajukan dan mengembangkan lembaga pendidikan seperti madrasah
merupakan usaha untuk menyediakan lahan baru bagi mereka.
C. MASJID DAN PEMERINTAHAN
Pada masa perkembangan Islam di Madinah, kegiatan umat
muslim terpusat di masjid. Seperti yang telah dipaparkan, masjid menjadi
sarana tempat berdiskusi, bertukar pikiran, menyampaikan wahyu, serta
pengkajian Aqidah. Selain itu semua kegiatan kepemerintahan Islam juga
dilakukan di Masjid. Rasulullah SAW menjadikan masjid sebagai tempat
gedung parlemen tempat mengatur segala urusan kepemerintahan. Para
sahabat dari berbagai kabilah berkumpul dalam satu majlis yang bertempat
di masjid nabawi untuk berdiskusi, bertukar pikiran atau hanya untuk
berkumpul bersama Rasulullah.
Namun fungsi masjid sebagai pusat peradaban pada masa
Rasulullah ini lambat laun bergeser dengan berdirinya Istana sebagai pusat
pemerintah. Semua urusan keduniawian berangsur-angsur bergeser ke
istana. Pada saat itu, peran masjid hanya untuk ibadah semata.
Hal yang sama juga terjadi di Indonesia, khususnya pada era
kerajaan Islam Jawa. Lokasi masjid sebagai tempat ibadah terpisah dari
istana. Istana dilambangkan sebagai pusat peradaban manusia dijadikan
sebagai pusat pemerintahan . Sedangkan masjid, adalah bagian dari unsur
ketuhanan yang hanya digunakan untuk kegiatan ibadah mahdhoh seperti
shalat dan dzikir saja.
D. MASJID DAN PEMBANGUNAN EKONOMI

Masjid sebagai sentral kegiatan umat muslim tidak akan lepas oleh
kegiatan ekonomi. Sebuah peradaban akan dianggap berhasil jika ia dapat
menghasilkan stabilitas ekonomi pada masyarakatnya. Oleh karena itu
pengelolaan masjid masa kini harus mampu mengembalikan peranan
masjid dalam mengatasi keterbelakangan umat, khususnya menanggulangi
kemiskinan dan kebodohan. Seperti lembaga Baitul Mal pada zaman
Rasulullah yang berfungsi mengatur urusan perputaran zakat dan infaq dan
penyalurannya kepada faqir miskin.

Masjid seharusnya bisa berperan dalam mengumpulkan, mengelola


dan menyalurkan zakat. Tak hanya zakat fitrah saja yang harus dikelola
oleh masjid, namun juga zakat penghasilan, pertanian, perniagaan dan
perusahaan.

Di sisi lain, perlu adanya edukasi kepada masyarakat bahwa


membayar zakat bisa dilakukan kapan saja, tak harus di bulan Ramadhan.
Zakat yang berkaitan dengan bulan Ramadhan hanya zakat fitrah saja.
“Zakat-zakat yang lain tidak ada kaitannya dengan bulan Ramadhan,
kecuali kalau misalkan haul-nya masa perputaran tahunnya memang jatuh
pada bulan Ramadhan. Zakat perniagaan apabila dia sudah berputar satu
tahun dianggapnya dia harus mengeluarkan zakat, tidak harus menunggu
pada bulan Ramadhan. Zakat pertanian itu kalau di panen harus
dikeluarkan zakatnya. Andaikata panennya tiap bulan ya harus
mengeluarkan zakat tiap bulan. Begitu aturannya,” ungkap Imam Besar
Masjid Istiqlal Jakarta, Prof KH Ali Mustafa Yaqub, yang juga seorang
pakar hadits. (Republika, Jum’at, 3 September 2010).

Edukasi tentang zakat dapat dijelaskan takmir masjid saat sholat


Jumat atau acara pengajian rutin. Masjid dapat memanfaatkan media
massa dan teknologi informasi sebagai media informasi kepada
masyarakat. Yang lebih utama, masjid harus mampu mengelola dan
memberdayakan dana zakat tersebut. Penyaluran zakat harus diupayakan
tidak bersifat konsumtif yang habis pada waktu itu saja. Jadi, harus
diupayakan dana zakat yang diberikan itu berupa pemberian modal kerja,
pelayanan kesehatan, program pendidikan, bahkan layanan jenazah gratis
bagi kaum dhuafa.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Masjid merupakan lembaga pendidikan Islam yang murni lahir dari umat
Islam sendiri yang pada masa awal menjadi institusi sentral dan menjadi basis
utama sebagai tempat ibadah, pendidikan, pemerintahan sosial dan peran-peran
lain yang berhubungan langsung dengan persoalan-persoalan keumatan.
Begbagai fungsi Masjid yang bisa disimpulkan dari pemaparan diatas
antara lain :
1. Masjid sebagai pusat peribadatan (Fungsi Keagamaan)
2. Masjid sebagai pusat pemerintahan dan peradaban
3. Masjid sebagai pusat persaudaraan (Ukhuwah Islamiyah)
4. Masjid sebagai pusat pendidikan
5. Masjid sebagai pengumpulan dana (Baitul Mal)
6. Masjid sebagai simbol persamaan

Pola baku pendidikan pada masjid adalah berupa halaqa (lingkaran studi)
yang menyelenggarakan kajian-kajian ilmu-ilmu keislaman seperti al Qur`an,
hadits, fiqih, tafsir, ilmu bahasa dan lain sebagainya dengan tokoh guru utama
yang disebut syaikh atau mudarris dibantu oleh na`ib, mu`id dan mufid. Masa itu
masjid seakan menjadi lembaga pendidikan primadona yang sangat diminati oleh
para pencari ilmu dari berbagai daerah. Keahlian dan nama besar syaikh sendiri
sebagai pemimpin halaqa menjadi magnet tersendiri yang menentukan apakah
halaqa-halaqa tersebut memiliki banyak pengikut ataukah sedikit.
Namun seiring perkembangan zaman dan merunyaknya tuntutan
kehidupan masyarakat muslim yang kompleks posisi masjid sebagai lembaga
pendidikan Islam terganti oleh lembaga pendidikan Islam lain (madrasah) yang
muncul kemudian. Sedangkan Fungsi kepemerintahan masjid tergantikan dengan
berdirinya Istana.
Meskipun demikian optimalisasi fungsi-fungsi masjid sampai saat ini
masih terus dilakukan umat Islam terutama masjid-masjid kota. Tak jarang
ditemukan masjid-masjid kota tak hanya diperuntukan sebagai sarana tempat
ibadah tetapi pula dilengkapi fasilitas perpustakaan, ruang administrasi, ruang
belajar baca tulis al Qur`an. Bahkan pada masjid-masjid tertentu dijadikan sebagai
obyek wisata religi yang ramai dikunjungi karena keindahan dan kemegahan
arsitektur masjid tersebu, seperti masjid Istiqlal di Jakarta yang diklaim sebagai
masjid terbesar di Asia Tenggara, masjid Dian al Mahri di Depok yang terkenal
dengan sebutan Masjid Kubah Emas, masjid Agung Semarang yang memiliki
payung elektrik seperti masjid Nabawi Madinah dan sebagainya.
Salah satu komponen penting dalam pengembangan masjid adalah Remaja
Masjid. Remaja masjid menjadi penting untuk menghidupkan masjid karena sifat
dasar dari remaja dan pemuda itu sendiri yaitu penuh ide kreatifitas dan inovasi.
Sehingga kegiatan masjid akan lebih beraneka dan tidak monoton serta mampu
menarik jama’ah dari kalangan muda. Yang tidak kalah penting adalah tujuan
untuk kaderisasi, generasi muda yang cinta masjid kelak akan menjadi penerus
sebagai pengurus masjid. Tidak hanya menjadi pengurus masjid, optimalisasi
masjid untuk menghasilkan generasi cinta masjid diharapkan mampu
menghasilkan pemimpin-pemimpin yang cinta masjid, seperti halnya sahabat-
sahabat Rasulullah SAW.

Daftar Pustaka

________, Masjid Dalam Perspektif Sejarah Intelektual Pendidikan


Islam.
https://www.academia.edu/attachments/ 31259586/download_file.
Diunduh pada 24 Desember 2013.

JK: Jadikan Masjid Sebagai Solusi Permasalahan Umat


http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/13/11/10/JK-
Jadikan-Masjid-Sebagai-Solusi-Permasalahan-Umat. Diakses pada 21 Desember
2013.

Agama Bab 15 : Paradigma Baru Fungsi dan Peran Masjid


http://niswiulfini.blogspot.com/2013/07/Agama-Bab-15-Paradigma-Baru-
Fungsi-dan-Peran-Masjid.html. Diakses pada 21 Desember 2013.

Kristono, Anton, Optimalisasi Peran Masjid Sebagai Pusat


Pemberdayaan Umat.
http://blog.kompasiana.com/2011/10/Optimalisasi-Peran-Masjid-Sebagai
Pusat-Pemberdayaan-Umat. Diakses pada 21 Desember 2013.

Taufik, Ahmad, dkk. 2013. Pendidikan Agama Islam. Surakarta: Yumna


Pustaka.

Anda mungkin juga menyukai