Anda di halaman 1dari 19

Arsitektur nusantara:

MASJID GEDHE KAUMAN


YOGYAKARTA

Identifikasi Arsitektur Masjid

Hal Bentuk, Filosofi Dan Nilainilai,


Material, Serta Faktor Pembentuk

OKTAVI E.H., M.T


Arfiani s., m.t

ARSITEKTUR

BAGUS S.H.
ONIVIA A.N.

SAINS & TEKNOLOGI

UIN SUNAN AMPEL SURABAYA

Arsitektur nusantara:

MASJID GEDHE KAUMAN


YOGYAKARTA
Identifikasi Arsitektur Masjid
HINDU-BUDHA:
Bentuk, Filosofi Dan Nilainilai, Material, Serta Faktor Pembentuk

2016

PENYUSUN:
BAGUS SYAFIUL HUDA
ONIVIA ADETYA NINGRUM
DOSEN PEMBIMBING:
OKTAVI ELOK HAPSARI, M.T
Arfiani sYARIAH, m.t

PROGRAM STUDI ARSITEKTUR


FAKULTAS SAINS & TEKNOLOGI
UIN SUNAN AMPEL SURABAYA

Kata pengantar
Kami panjatkan puji syukur ke hadirat Allah S.W.T. yang telah mencurahkan nikmat serta
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan pembuatan paper yang berjudul MASJID
GEDHE KAUMAN YOGYAKARTA ini.
Ucapan terima kasih juga tak lupa kami sampaikan kepada :
1. Ibu Aani Syariah, M.T. selaku dosen pembimbing dalam pembuatan paper kami,
2. Serta tak lupa kami haturkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
dalam proses pembuatan makalah ini baik secara langsung maupun tidak langsung
yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu tetapi tidak mengurangi rasa hormat
kami.
Kami menyadari bahwa dalam pembuatan paper ini masih terdapat banyak kekurangan
dan keterbatasan dalam hal menganalisis Masjid Gedhe Kauman ini. Oleh karena itu kami
menerima kritik maupun saran yang bersifat membangun untuk lebih meningkatkan kualitas paper
ini dan sebagai batu loncatan agar penulis dapat membuat paper yang lebih berkualitas dimasa
yang akan datang.
Demikian yang dapat kami sampaikan, kami berharap makalah ini dapat menambah
wawasan dan menjadi sumber referensi bagi pihak yang membutuhkannya.
Surabaya, 20 Maret 2016

Penyusun

Daftar isi
BAB I
PENDAHULUAN......5
1.1 LATAR BELAKANG......5
1.2 TUJUAN PENULISAN......6
1.3 BATASAN PENELITIAN......6
1.4 SISTEMATIKA PENULISAN......7

BAB II
HINDU-BUDHA
PADA MASJID......8
2.1 SINKRETISME
ISLAM DAN
BUDAYA JAWA......8
2.2 AKULTURASI
ISLAM DAN
BUDAYA JAWA......9

BAB IIi
MASJID GEDHE
KAUMAN......12

BAB iv
penutup......18

3.1 MASJID GEDHE KAUMAN


YOGYAKARTA(MASJID
AGUNG YOGYAKARTA)......12
3.1 REVIEW RANCANGAN......14
3.1.1 Bentuk......14
3.1.2 Filosofi dan NilaiNilai......15
3.1.3 Material......16
3.1.4 Faktor Pembentuk......17

4.1 kesimpulan......18
4.2 lesson learned......19

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Pada zaman sekarang ini bangsa
Indonesia dikenal sebagai bangsa yang
mayoritas penduduknya itu ialah Islam, akan
tetapi perkembangan Islam pada akhir
Majapahit menimbulkan dampak yang sangat
luas terhadap berbagai tatanan kehidupan
Foto
Masjid
dan nilai-nilai budaya pada saat itu. Pertemuan
Gedhe
Kauman
tiga agama besar, yaitu Islam, Hindu dan Budha
dari arah
pintu
yang mempunyai ajaran dan nilai-nilai budaya
gerbang
yang sangat kompleks, ternyata dapat berjalan
kompleks
masjid.
dengan lancar.1 Tidak hanya dalam bentuk
religi atau keagamaan saja, melainkan nilai-nilai tersebut tersebar juga kedalam suatu
bentuk bangunan arsitektur Islam yang disebut dengan Masjid.
Kata Masjid berasal dari bahasa Arab yang dipinjam dari bahasa Aramaika
berarti tempat atau rumah ibadah, dari kata dasar Sajada yang berarti tempat
bersujud. Sejak abad ke-tujuh, dimana Islam dan bahasa Arab berkembang pesat, kata
ini lebih spesik merujuk pada rumah ibadah Muslim.2 Sedangkan Kata Arsitektur berasal
dari bahasa Yunani, yaitu: Architekton yang terbentuk dari dua suku kata yakni, arche dan
tektoon. Arche berarti yang asli, yang utama yang awal. Sedangkan tektoon Menunjuk
pada sesuatu yang berdiri kokoh, tidak roboh, stabil, dan sebagainya. Jadi kata
arsitektur hanya punya pandangan teknis statika bangunan belaka. Architektoon artinya
pembangunan utama atau sebenarnya: tukang ahli bangunan yang utama.3
Arsitektur di Indonesia memang tidak bisa dipandang sebagai gejala yang
tunggal dan homogen, tetapi sebagai budaya yang kompleks dan majemuk, yang makna
kehadirannya tidak bisa didenisikan dengan pasti. Wujud arsitektur di Indonesia bisa
merujuk pada hal yang kongkrit dan objektif (anatomi bangunan, struktur, bentuk), tetapi
juga hal yang abstrak atau ideal (kosmologi, simbolisme, gaya, jatidiri, karakter).

1 Mahmud

Manan, Transformasi Budaya Unsur-unsur Hinduisme dan Islam pada Akhir Majapahit (abad XV-XVI M) dalam
Hubungannya dengan Relief Penciptaan Manusia di Candi Sukuh Karanganyar Jawa Tengah, Puslitbang Lektur Keagamaan,
Jakarta, 2010, h.1.
2 Ridwan al-Makassary, Amelia Fauzia, Irfan Abubakar, dkk, Masjid dan PembangunanPerdamaian, CSRC, Jakarta, 2001, h. 25.
3 Y.B. Mangungwijaya, Wastu Citra, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2013, h. 431.

Foto Masjid Gedhe Kauman dulu dan sekarang

Akulturasi adalah perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat akibat paparan
atau perjumpaan dengan budaya baru, memberikan dampak yang signikan terhadap
perkembangan arsitektur di Indonesia. Masuknya pengaruh sistem kepercayaan dan kebudayaan dari
India, Cina, Arab, dan Eropa telah memungkinkan bertumbuhkembangnya berbagai ragam jenis
bangunan dan ekspresi arsitektural, yang memiliki nilai historis serta karakteristik sik yang unik.
Arsitektur merupakan hasil ekspresi dari sebuah cipta, rasa, karsa, dan karya mausia yang
diwujudkan menjadi suatu bentuk (rupa) yang bisa dijadikan sebagai suatu eksistensi sejarah.
Kehidupan manusia tidak bisa lepas dari sebuah arsiteksi, entah itu arsiteksi morphis dalam wujud
manusia, atau pula arsiteksi manusia dalam berkehidupan. Dalam memahami arsitektur pun
mengandung banyak falsafah yang mengantarkan kita kepada jalan yang lurus (shirathal mustaqim).
Arsitektur merupakan khazanah peradaban dan kekayaan sejarah yang tak ternilai harganya.
Arsitektur bisa menjadi penyambung pesan antar generasi selanjutnya. Dan khususnya pada
peradaban Islam di Jawa, arsitektur menjadi salah satu jalan interelasi dakwah sehingga Islam bisa
diterima di Bumi Nusantara.

1.2 TUJUAN PENULISAN


Tujuan dari paper ini adalah untuk mengidentikasi bahwa arsitektur Masjid Gedhe Kauman
dipengaruhi oleh arsitektur Hindu Budha dalam hal bentuk, loso dan nilainilai, material, serta faktor
pembentuk.

1.3 BATASAN PENELITIAN


Paper ini membahas mengenai arsitektur Masjid Gedhe Kauman yang dipengaruhi oleh
arsitektur Hindu-Budha dalam hal:
A) bentuk,
B) loso dan nilai nilai,
C) material, dan
D) faktor pembentuk.

1.4 SISTEMATIKA PENULISAN


BAB I PENDAHULUAN: Bab ini beriskan pendahuluan dari pembahasan Paper Masjid Gedhe Kauman
kedepannya dengan adanya latar belakang, tujuan penulisan, batasan
penelitian, dan sistematika penulisan.
1.1 LATAR BELAKANG: Berisikan kajian yang melatarbelakangi dari penelitian Masjid Gedhe
Kauman dan alasan diperlukan penelitian.
1.2 TUJUAN PENULISAN: Berisikan tujuan dari penyusun untuk mengetahui nilai Hindu-Budha
pada Masjid Gedhe Kauman.
1.3 BATASAN PENELITIAN: Berisikan ruang lingkup penelitian berupa: bentuk, loso dan nilainilai, material, dan faktor pembentuk dari Masjid Gedhe Kauman.
1.4 SISTEMATIKA PENULISAN: Berisikan garis besar penulisan paper ini.
BAB II HINDU-BUDHA PADA MASJID: Bab ini berisikan topik-topik penelitian yang mendukung
pembahasan paper ini berupa sinkretisme islam dan
budaya jawa dan akulturasi islam dan budaya jawa.
BAB III MASJID GEDHE KAUMAN: Bab ini berisikan:
3.1 REVIEW RANCANGAN: Berisikan data-data tentang rancang-bangun Masjid Gedhe
Kauman berupa bentuk, loso dan nilai-nilai, material, dan
faktor pembentuk.
3.1.1 Bentuk: Berisikan data bangunan berupa bentukan dari Masjid Gedhe Kauman.
3.1.2 Filoso dan Nilai-Nilai: Berisikan data dari berbagai sumber tentang
solo/pemaknaan dan nilai-nilai yang terkandung
pada Masjid Gedhe Kauman.
3.1.3 Material: Berisikan data yang memuat jenis dan bahan material yang dipakai pada
Masjid Gedhe Kauman.
3.1.4 Faktor Pembentuk: Berisikan data berupa faktor-faktor pembentuk akulturasi pada
Masjid Gedhe Kauman..
BAB IV PENUTUP: Bab terdiri atas:
4.1 KESIMPULAN: Berisikan ikhtisar dari pembahasan Masjid Gedhe Kauman sebelumnya.
4.2 LESSON LEARNED: Berisikan pembahasan kesimpulan yang diintegrasikan dengan Al Quran
dan Al Hadits.

BAB II
HINDU-BUDHA
PADA MASJID
2.1 SINKRETISME
ISLAM DAN
BUDAYA JAWA

Foto
Masjid Gedhe
Kauman
yang
menggunakan
atap tumpang.

Secara etimologi, sinkretisme berasal dari perkataan syin dan kretiozein atau kerannynai, yang
berarti mencampurkan elemen-elemen yang saling bertentangan.4 Membaca lahirnya sinkretisme
Islam-Jawa ada baiknya jika dihubungkan dengan masuknya Islam di Jawa. Ketika Islam masuk di Jawa,
ada dua hal yang perlu dicatat. Pertama, pada waktu itu hampir secara keseluruhan dunia Islam dalam
keadaan mundur. Dan kedua, sebelum kedatangan Islam di Jawa, agama Hindu, Budha dan
kepercayaan asli yang berdasarkan animisme dan dinamisme telah bertukar dikalangan masyarakat
Jawa. Oleh karena itu, dengan datangnya Islam terjadi pergumulan antara Islam di satu pihak, dengan
kepercayaan-kepercayaan yang ada sebelumnya di pihak lain. Akibatnya, muncul dua kelompok
dalam menerima Islam.5
A. Pertama, yang menerima Islam secara total
B. Kedua yang menerima Islam tetapi belum dapat melupakan ajaran-ajaran lama.
Pandangan hidup masyarakat Jawa sangat tepo seliro dan bersedia membuka diri serta
berinteraksi dengan orang lain. Menurut Marbangun Hardjowirogo, masyarakat Jawa lebih
menekankan sikap atau etika dalam berbaur dengan seluruh komponen bangsa yang bermacammacam suku dan bahasa, adat dan termasuk agama. Karena manusia Jawa sadar bahwa tak mungkin
orang Jawa dapat hidup sendiri. Pandangan demikian senada dengan lsafat Tantularisme khas Jawa
yang mengajarkan humanisme dalam segala bidang dan menentang segala bentuk ekslusivisme dan
sektarianisme.

4
5

Darori Amin, Islam & Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2000, h. 87.
Ibid., h. 93-94.

Sebelum Islam tumbuh dan berkembang di Jawa, tradisi yang berlangsung adalah dan ajaran
Hindu-Budha maupun kepercayaan dinamisme dan animisme. Kemudian muatan-muatan simbolis
maupun nilai-nilai Jawa serta agama dipadukan pada saat penyebaran Islam. Berbicara mengenai
budaya Jawa, maka yang kita rujuk adalah tradisi Hindu-Budha yang saat itu menjadi entitas budaya
yang sangat besar di tanah Jawa. Proses sinkretisasi antara Islam dengan Jawa yang berlangsung
lembut, menyatu, dan bersifat total, pada akhirnya menjadikan Islam-Jawa seakan-akan tidak bisa
dipisahkan sampai satu sama lain.6
Ritual menjadi simbol Jawa yang tak dapat menghindar pula dari sinkretisasi dengan Islam.
Ritual hal ini mengacu kepada tradisi-tradisi dalam budaya Jawa yang berusaha selalu menggapai
keamanan dan ketentraman serta menghindari bencana dan kekacauan. Misalnya, dalam konteks
masyarakat tradisonal di Jawa, pergantian waktu dan perubahan fase kehidupan diyakini sebagai
saat-saat genting yang perlu dicermati dan diwaspadai. Untuk itu, mereka mengadakan crisis rites dan
rites de passage, yakni upacara peralihan yang berupa slametan, makan bersama (kenduri), prosesi
dengan benda-benda keramat, dan sebagainya.7
Di samping dua aspek (agama dan ritual) tadi, sinkretisme Islam-Jawa sangat kentara dengan
penggabungan antara agama dengan budaya lokal. Yang dimaksud dengan menggabungkan Islam
dengan budaya lokal dalam konteks ini adalah melaksanakan syari'at Islam dengan kemasan budaya
Jawa. 8 Dengan demikian, substansi syariat yang
dijalankan tetap sesuai dengan koridor ajaran Islam,
Foto
Jam di
tetapi tampilan luarnya mengadopsi tradisi-tradisi lokal.
gerbang

2.2 AKULTURASI ISLAM


DAN BUDAYA JAWA
Akulturasi menurut kamus Antropologi adalah
pengembalian atau penerimaan satu atau beberapa
Unsur kebudayaan yang saling berhubungan atau saling bertemu. Islam diposisikan sebagai
kebudayaan asing dan masyarakat lokal sebagai penerima kebudayaan asing tersebut. Misalnya
masyarakat Jawa yang memiliki tradisi slametan yang cukup kuat, ketika Islam datang maka tradisi
tersebut tetap berjalan dengan mengambil unsurunsur Islam terutama dalam doa-doa yang dibaca.
Wadah slametannya tetap ada, tetapi isinya mengambil ajaran Islam.
Menurut Koentjaraningrat (1981), terdapat lima hal dalam proses akulturasi:
1. Keadaan masyarakat penerima, sebelum proses akulturasi mulai berjalan.
2. Individu-individu yang membawa unsur kebudayaan asing itu.
3. Saluran-saluran yang dipakai oleh unsur kebudayaan asing untuk masuk ke kebudayaan asing
tadi.
4. Reaksi dari individu yang terkena kebudayaan asing.9
6

7
8
9

h ps://bangunaninteletual.wordpress.com/2008/05/16/sinkre sme-sebagai-bentuk-danciri-islam-jawa/ Diunduh pada


tanggal.17 Maret 2016, 17.00
Darori Amin, op. Cit., h. 104.
Ibid., h. 107.
Mega Maulida (2013) Akulturasi dan Kebudayaan Islam, Diunduh pada tanggal 17 Maret 2016, pkl. 13.30 dari
h p://ovaovi.blogspot.com/2013/12/makalah-akulturasi-dan-kebudayaanislam.html

Masjid
Gedhe
Kauman
yang
meng
gunakan
model
HinduBudha.

Seiring dengan terjadinya interaksi manusia, maka terjadi pula komunikasi dan penyebaran
kebudayaan. Proses difusi atau penyebaran unsur kebudayaan itu terjadi karena dua hal, pertama:
adanya migrasi bangsa atau kelompok dari suatu tempat ke tempat lain, dan mereka membawa
pula unsurunsur kebudayaannya ke tempat yang baru. Kedua, penyebaran unsur kebudayaan yang
sengaja dibawa oleh individu-individu tertentu seperti pedagang, pelaut, mubaligh, atau tokoh
agama. Akibat dari pertemuan pendukung dari unsur-unsur kebudayaan yang berbeda itu, ada
hubungan simbiotik yang hampir tidak berpengaruh terhadap bentuk kebudayaan masingmasing.
Adapula unsur kebudayaan yang secara tidak sengaja ikut masuk dengan damai ke dalam
kebudayaan penerima.10
Sejalan dengan perkembangan Islam yang pesat dan menyebar di berbagai wilayah
tertutama di pulau Jawa, tersebar pula lah pola-pola yang berhubungan dengan arsitektur Islam
yang disebut dengan bangunan Masjid. Masjid pun banyak tumbuh di berbagai wilayah Islam
tersebut. Bangunan Masjid di berbagai wilayah mengalami penambahan ornamen-ornamen seni
untuk menambah unsur estetik Masjid seperti hiasan kaligra pada interior Masjid, penambahan
menara yang digunakan untuk menyeru orang-orang beriman untuk shalat, dan adanya makam
disekitar Masjid.

Foto
Suasana Masjid Gedhe Kauman
menjelang maghrib
Foto
Suasana Masjid Gedhe Kauman
menampung semua jamaah solat

10

Sri Suhandja Sukri, Ij had Progresif Yasadipura II (Dalam Akulturasi Islam dengan Budaya Jawa), Gama Media, Yogyakarta,
2004, h. 326-327.

10

Masjid menjadi bangunan yang penting dalam syiar Islam, untuk itu Masjid dijadikan sebagai
sarana penanaman budaya Islam sehingga dalam pengertian ini terjadilah pertemuan dua unsur dasar
kebudayaan, yakni kebudayaan yang dibawa oleh para penyebar Islam yang terpateri oleh ajaran
Islam dan kebudayaan lama yang telah dimilki oleh masyarakat setempat. Keragaman bentuk
arsitektur Masjid jika dilihat dari satu sisi merupakan pengayaan terhadap khasanah arsitektur Islam.
Arsitektur Masjid yang bernuansa lokal secara psikologis telah mendekatkan masyarakat setempat
pada Islam. Tampilan arsitektur Islam tidak lagi hanya Masjid, tetapi telah tampil dalam bentuk karya
sik yang lebih luas, hal ini karena Masjid sebagai arsitektur Islam merupakan manifestasi keyakinan
agama seseorang.11
Kalau dilihat dari masa pembangunannya, Masjid sangat dipengaruhi pada budaya yang
masuk pada daerah itu. Masjid dulu, khususnya di daerah pulau Jawa, memiliki bentuk yang hampir
sama dengan candi Hindu-Budha. Hal ini karena terjadi akulturasi budaya antara budaya setempat
dengan budaya luar. Ketika Islam masuk di Jawa keberadaan arsitektur Jawa yang telah berkembang
dalam konsep dan loso Jawa tidak dapat dinakan oleh Islam. Jadi, agar Islam dapat diterima
sebagai agama orang Jawa, maka simbol-simbol Islam hadir dalam bingkai budaya dan konsep Jawa,
yang kemudian memunculkan kreativitas baru sebagai hasil berasimilasinya dua kebudayaan dan
sekaligus sebagai pengakuan akan keberadaan keunggulan muslim Jawa dalam karya arsitektur.12
Foto satelit
Letak Masjid
Gedhe Kauman
di sebelah barat
Alun-Alun

Foto satelit
Letak Masjid
Gedhe Kauman
pada Provinsi
DI. Yogyakarta
Foto Lambang Kasultanan Yogyakarta
pada gerbang Masjid Gedhe Kauman

11
12

Darori Amin, op. cit., h. 187-188.


Ibid., h. 188-189.

11

BAB IIi
MASJID GEDHE
KAUMAN
3.1 MASJID GEDHE KAUMAN YOGYAKARTA
(MASJID AGUNG YOGYAKARTA)
Kasultanan Yogyakarta merupakan sebuah kerajaan islam yang berada di Pulau Jawa
sebelah selatan-tengah. Kerajaan tersebut memiliki sebuah tatanan yang sangat kompleks.
Terdapat empat komponen yang tak terpisahkan dari sistem tatanan kawasan Kasultanan Mataram
di Yogyakarta, yaitu alun-alun, kraton, pasar, dan masjid. Pembangunan Masjid Gedhe Kauman
(Masjid Agung Yogyakarta) dibangun untuk menegaskan identitas ke-islam-an dari Kasultanan
Mataram di Yogyakarta oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I bersama Kyai Faqih Ibrahim
Diponingrat (Penghulu Kraton I) dan Kyai Wiryokusumo. Masjid ini dibangun pada Ahad Wage, 29
Mei 1773 M atau 6 Robi'ul Akhir 1187 H, sebagai sarana beribadah bagi keluarga raja serta
sebagai kelengkapan sebuah kerajaan islam. Dalam pembangunannya, masjid merupakan
bangunan sik yang diutamakan. Tercatat ada masjid besar sebagai pusat peribadatan umum umat
Islam di Ibukota Kerajaan.

Foto-Foto Kenampakan Masjid Agung Yogyakarta

Masjid Gedhe Kauman, Yogyakarta atau disebut dengan Masjid Agung Yogyakarta tidak
lepas dari sejarahnya yang diprakasai dengan pemindahan Ibukota Ngayogyakarta dari
Kotagede ke daerah Kauman Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta dibangun pada saat
pemerintahan Sultan Hamengkubuwono I tahun 1773 M
Masjid ini dibangun pada masa Pemerintahan Hamengku Buwono I dengan arsiteknya
bernama K. Wiroyokusumo. Seperti pada umumnya, masjid ini berada di barat Alun-Alun Utara
Kraton. Dengan mempertahankan arsitektur tradisional jawa. Konsep tata ruang seperti halnya
masjid-masjid jawa pada umumnya memiliki beberapa komponen utama. Masjid Agung
Yogyakarta ini merupakan milik Kasultanan Yogyakarta yang berfungsi sebagai tempat beribadah
sebagai wujud hubungan antara manusia dengan Tuhan.

12

Kompleks Masjid Agung Yogyakarta memiliki luas keseluruhan 16.000 m2. Tidak hanya
memiliki halaman yang luas dan pagar keliling yang tebal, tetapi juga memiliki unit-unit ruang, yaitu
Pagongan (tempat perangkat gamelan), Pajagan (pos jaga), Pengulon (rumah kyai), makam, kantor
sekretariat, dewan ta'mir, dan kantor urusan agama. Sedangkan luas bangunannya 2.758 m2 yang
terdiri dari serambi, ruang utama, mimbar, dan pawastren (ruang putri). (Sugiyanti: 1999)
Masjid Agung Yogyakarta telah mengalami renovasi beberapa kali akbita bencana alam
berupa gempa bumi. Pada tahun 1867 M, serambi masjid runtuh dan dibangun kembali sesuai
aturan ndalem (pihak Kraton) dengan bahan khusus pula dengan diperlebar dua kali lipatnya.
Tahun 1917 M, dibangun Gedung Pajagan (ruang penjaga). Dan pada tahun 1933 M semua atap
sirap diganti dengan atap seng wiron (bergelombang), lantai serambi dari batu kali diganti dengan
tegel kembang dan lantai utama diganti marmer dari Italia.
Pada awal masuk ke bangunan masjid, terdapat blumbang (kolam) yang mengelilingi
serambi masjid. Kolam ini berfungsi sebagai tempat penyucian diri dari kotoran duniawi yang
melekat pada badan. Konsep penempatan kola mini masih mempertahankan konsep makrokosmos
dari peribadatan agama Hindu tentang penyucian diri.

Foto Blumbang/kolam wudhu Masjid


Agung Yogyakarta zaman dahulu.

Foto Blumbang/ kolam wudhu


Masjid Agung Yogyakarta sekarang

13

3.1 REVIEW RANCANGAN


3.1.1 Bentuk
Masjid Kuno di Jawa menurut Sutjipto berasal dari bangunan tardisional yang bernama
pendopo. Istilah pendopo ini sendiri didapat dari kata "mandapa" yang dalam bahasa sansekerta
mengacu pada suatu bagian di kuil Hindu yang berbentuk persegi dan dibangun langsung diatas
tanah. Di Jawa, bangunan ini mengalami suatu proses penggabungan budaya sehingga menurut
Sutjipto bangunan "pendopo" ini adalah cikal bakal dasar arsitektur bangunan masjid di Jawa
(Sugiyanti :1999).
Menurut G.F Fijper ciri khas masjid agung kuno milik Keraton di Jawa antara lain sebagai
berikut (Sugiyanti:1999);
1. Fondasi bangunan berbentuk persegi, masif, dan agak tinggi.
2. Berdiri diatas tanah yang padat, atapnya meruncing ke atas dengan jumlah ganjil,
mempunyai ruangan tambahan di barat untuk mihrab.
3. Halaman sekeliling masjid dibatasi oleh tembok dengan satu pintu masuk dari depan
yang disebut gapura.
4. Mempunyai serambi di depan atau di samping kedua sisinya (utara & selatan),
5. Denahnya segiempat, dibangun di sisi barat alun-alun,
6. Mihrab tidak menghadap ke kiblat mutlak,
7. Dibangun dari bahan alam,
8. Terdapat parit/blumbang di sekeliling atau didepan masjid
Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta ang merupakan contoh bangunan Masjid Keraton di
Yogyakarta. Dimana masjid tersebut masih menganut dari cirri khas dari Masjid Agung kuno
Keraton Yogyakarta dari segi denahnya.
Berdasarkan dari pernyataan di atas, diperoleh bahwa bentuk sik dari Masjid Gedhe
Kauman adalah segiempat dengan simetris pada sisi depannya. Bentuk denah segiempat
merupakan bentukan yang sangat esien dalam bangunan, tidak membuang space yang
berblebihan. (Architecture Form Space and Order; Francis D.K. Ching)

Denah masjid agung kuno di Pulau Jawa

14

Foto sekeliling Masjid Gedhe Kauman


Foto bentukan atap tumpang Masjid
Gedhe Kauman

3.1.2 Filosofi dan NilaiNilai


Filoso berasal dari kata lsafat yang berarti pandangan hidup seseorang atau sekelompok
orang yang merupakan konsep dasar mengenai kehidupan ang dicita citakan. Sedangkan arti kata
nilai adalah suatu keyakinan mengenai cara bertingkah lakudan tujuan akhir yang diinginkan individu
dan digunakan sebagai prinsip atau standar dalam hidup nya. Setiap hal memiliki loso dan makna
begitu pula dengan Masjid Gedhe Kauman ini memiliki loso dan nilai dari setiap rancangan nya,
diantaranya:
1.
Pagar dari masjid ini terdapat hiasan berupa buah waluh, dibalik penempatan buah waluh
dipagar masjid adalah los umat Hindu yang selalu meletakkan sesembahan bagi DewaDewinya diatas pagar rumah mereka, oleh orang islam penempatan sesembahan tersebut
diganti dengan buah waluh sebagai symbol untuk mengingatkan kita kepada Allah SWT. Lidah
orang jawa dulu sulit mengucapakn kata Allah secara jelas tetapi lebih mudah mengucap
Wallahi, itulah sebab mengapa buah waluh yang digunakan sebagai simbol.
2.
Pada awal masuk ke dalam halaman Masjid akan menemui blumbang/kolam keliling yang
mengintari serambi Masjid. Pada awalnya blumbang ini berukuran 4m setelah dilakukan
renovasi, blumbang ini berukuran lebar 1,25m (Hidayah: 1995), konsep air dan tempat suci
masih dipertahankan sebagai konsep makrokosmos dalam suatu peribadatan baik dari agama
pendahulunya (Hindu). Fungsi blumbung ini digunakan untuk mencucikan diri sebelum masuk
masjid. Akan tetapi sekrang blumbang tersebut tidak diairi oleh air lagi (mengering).
3.
Atap masjid ini bertumpang tiga dengan gaya tradisional jawa bernama Tajuk Lambang Teplok
dengan sebuah mustaka yang berbentuk daun kluwih dan gadha yang ditopang oleh tiangtiang dari kayu jati jawa. Atap yang berbentuk Tajuk Lambang Teplok tersebut bermakna setiap
orang ingin mencapai kesempurnaan hidup baik di dunia maupun di akhirat haruslah dapat
melampaui 3 tingkatan, yakni hakekat, syari'at, dan ma'rifat. Selain itu, mustaka yang berbentuk
daun kluwih dan gadha juga mempunyai makna. Daun kluwih berarti seseorang akan mempunyai
keistimewaan bila telah melampaui 3 tingkatan tadi. Sedangkan Gadha yang berbentuk huruf
Alif melambangkan bahwa yang disembah hanyalah Allah Yang Satu (Esa). Jadi pada intinya,
gambaran atap masjid ini mempunyai maksud bahwa orang yang telah memaknai hakekat,
syariat, dan ma'rifat, maka hidupnya akan selalu dekat dengan Allah Yang Maha Esa.
Bangunan masjid ini syarat akan makna dan sejarah, sehingga perlu diadakan pamet atau papan
informasi tentang sejarah dan loso yang terkandung di dalamnya, agar tidak salah pahamdan kita
bisa mengikuti ajaran islam yang telah membaur dengan lingkungan sekitar, sesuai denga motto islam
Rohmatan Lil Alamin

15

3.1.3 Material
1. Pada bagian serambi depan masjid, terdapat kayukayu jati yang menyangga atap masjid ini
yang diberi warna cerah dengan komposisi utama putih, emas dan merah. Tiang tiang di
serambi ini menyangga atap yang juga tersusun dari kayu jati dan menariknya susunan kayu ini
direkatkan tanpa menggunakan paku.
2. Saat memasuki bagian utama masjid, terlihat jelas bangunan utama masjid ditopang oleh
gelondongan kayu dengan ukuran besar yang diperkirakan berumur ratusan tahun, warna
coklat mendominasi ruang utama ini.
3. Lantai dari serambi ini pada awalnya bermaterialkan batu kali, akan tetapi pada tahun 1933
atas prakarsa dari Sri Sultan Hamengku Buwana VIII lantai ini kemudian diganti dengan tegel
kembangan yang indah.
4. Pada ruang inti dilengkapi dengan maskura (tempat pengaman sholat untuk raja) letaknya
disamping kiri belakang mihrab, terbuat dari kayu jati bujur sangkar. Disamping kanan kiri
terdapat tempat tombak dan didalamnya berlantaikan marmer dan posisinya lebih tinggi dari
yang luar. Maskura ini digunakan apabila Sultan berkenan sholat berjamaah di Masjid Gedhe.
Penggunaa kayu memang tidak mencemari lingkungan, akan tetapi penggunaannya yang
berlebihan akan mengakibatkan alam murka, begitupun dengan material lantai untuk saat ini.

Foto lantai serambi masjid


A. Foto puncak ang

B. Foto maskura (tempat

penyangga masjid dengan

pengaman sholat untuk

ornamen yang indah

raja)

C. Foto prasa tanggal

D. Foto mimbar kho b

pembangunan masjid

A.

B.
C.

D.

16

3.1.4 Faktor Pembentuk


Faktor pembentuk disini lebih menekankan kepada faktor-faktor terjadinya akulturasi dari
budaya jawa (hindu-budha) dengan islam, sehingga terbentuk suatu langgam baru dalam dunia
arsitektur terutama pada bangunan Masjid Gedhe Kauman.
Pada awal perkembangan agama Islam di Pulau Jawa pastinya mengalami proses selektif
dari budaya islam yang masuk ke dalam masyarakat Hindu-Budha tanpa adanya kekerasan.
Sehingga sebagian nilai-nilai lama masih terkandung dalam budaya yang baru. Ajaran Islam
yang masuk tanpa adanya kekerasan menjadikan unsur-unsur kebudayaan lama yang masih
ada bersifat terbuka. Karena itulah arsitektur islam mengalami akulturasi dengan budaya lama,
baik dari siknya sampai losonya.
Dalam berarsitektur seseorang harus memperhatikan kaidahkaidah atau nilainilai yang
sudah ada di masyarakat dan memikirkan kaidah-kaidah baru yang akan dimasukkan.
Kaidahkaidah inilah harus dipadukan dengan baik dalam karya arsitektur islam sehingga
tidak terjadi benturan budaya. Pertimbangan memadukan unsur-unsur budaya lama dengan
budaya baru dalam arsitektur islam sudah menunjukkan adanya akulturasi dalam proses
perwujudan arsitektur islam, khususnya di Pulau Jawa. Apalagi pada awal perkembangan
agama Islam di Jawa dilakukan dengan proses selektif tanpa kekerasan, sehingga sebagian
nilai-nilai lama masih tetap diterima untuk dikembangkan.
Kaidah Islam dalam membuat masjid adalah arah kiblat, tempat imam (mihrab), tempat
solat, tempat ber-wudhu (adanya pemisahan ruang antara pria dan wanita). Sedangkan
adanya bentuk meru, pendopo (mandapa), dan gerbang merupakan kaidah-kaidah dalam
Hindu-Budha. Kemudian kesan mengayomi, adanya serambi dan kentongan merupakan
kaidah kaidah asli dari bumi nusantara. Kaidahkaidah itu semua mempunyai jiwa dan kesan
tersendiri dan tidak bisa diubah. Tetapi dengan mengubah beberapa unsur berdasarkan
kaidahkaidah Islam dan memadukannya dengan kaidah-kaidah yang sudah ada dan memiliki
kesamaan makna, akhirnya dapat dihasilkan suatu karya yang merangkum kaidahkaidah
tersebut . Hal ini yang menyebabkan terwujudnya bentuk baru tanpa menentang kaidahkaidah
yang sudah ada sebelumnya, sehingga rangkuman kaidah kaidah tersebut dapat berfungsi
lebih baik bagi masyarakat yang menganut agama Islam. Jadi akulturasi dalam arsitektur Islam
pada awal perkembangannya di Jawa, diperkenakan oleh wali (waliyullah sebagai orang
yang dianggap dekat dengan Allah dan diyakini memiliki berbagai kelebihan). Karena itulah
para wali sangat dihormati dan disegani karena selain bertugas mengajarkan agama Islam,
beliau juga masih menghormati kebudayaan yang berkembang sebelum masuknya agama Islam
dan diterapkan oleh kerajaan-kerajaan islam setelahnya.
Foto gerbang masuk kompleks masjid

17

BAB iv
penutup
4.1 kesimpulan
Masjid Gedhe Kauman (Masjid Agung Yogyakarta) dibangun pada masa Kasultanan
Mataram Islam pertama di Yogyakarta oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I bersama Kyai Faqih
Ibrahim Diponingrat (Penghulu Kraton I) dan Kyai Wiryokusumo. Masjid ini dibangun pada Ahad
Wage, 29 Mei 1773 M atau 6 Robi'ul Akhir 1187 H, sebagai sarana beribadah bagi keluarga raja
serta sebagai kelengkapan sebuah kerajaan islam dengan luas keseluruhan 16.000 m2.
Masjid Gedhe Kauman memiliki bentukan dasar berupa Pendopo, mengacu pada suatu
bagian di kuil Hindu yang berbentuk persegi dan dibangun langsung diatas tanah. Bentukan atap
tumpang dengan tiga lapis mengisyaratkan bahwa hidup harusnya melalui tiga tahapan: hakekat,
syariat, dan marifat untuk menuju Allah Sang Robbul Alamin. Dengan adanya kolam penyucian diri,
maka sesorang sebelum menghadap Allah harus suci badan dan raganya. Dan sebagainya,

Foto-Foto Masjid Agung Yogyakarta

Telah dibahas di depan bahwa masjid kuno di jawa masih membaurkan diri dengan budaya
dan agama setempat yaitu Hinda-Budha (akulturasi) dengan membentuk suatu budaya baru yaitu
ajaran yang kita sebagian orang jawa anut hingga sekarang, karena agama islam merupakan
Rohmatan Lil Alamin agama yang mengayomi semua makhluk di alam semesta. Jadi tidak serta
merta agama dipaksakan dalam kehidupan sehari-hari, akan tetapi tetap dalam koridor Islam.

18

4.2 lesson learned


Kelebihan manusia diatas makhluk lain terletak pada kemampuannya dalam menciptakan
kebudayaan dan peradabannya. QS At-Tin ayat 4 dijelaskan, bahwa manusia adalah makhluk
yang terbaik bentuk ciptaannya (Ahsanu Taqwim), baik dari segi sik (raga) maupun psikhis (jiwa).
Secara kejiwaan, Allah me-lengkapi manusia dengan akal dan nafsu secara seimbang,
sehingga muncul dari diri manusia tiga daya atau potensi yang meliputi cipta, rasa dan karsa.
Dengan ketiga potensi/daya tersebut, manusia mampu melahirkan kebudayaan dan
peradabannya, sehingga mengantarkan-nya menjadi makhluk yang terunggul dan terhormat
diatas makhluk Allah lainnya.
Jadi, kelebihan manusia atas makhluk lainnya terletak pada ke-mampuannya dalam
menciptakan kebudayaannya sendiri, sehingga paslah jika manusia disebut sebagai makhluk
berbudaya. Allah menyinggung kelebihan manusia atas makhluk lainnya dalam QS Al-Isro', [17]:
70
"Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam. Kami angkut mereka di
daratan dan di lautan. Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka
dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan."
Oleh karena itu, kehidupan manusia tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan dan
peradabannya. Dan dari budaya dan peradaban muncullah seni budaya yang memiliki ciri khas
masing-masing dari setiap kelompok manusia. Salah satu karya dari peradaban tersebut adalah
masjid, yang merupakn hasil dari intepretasi diri masyarakat setempat berupa budaya masingmasing dengan prinsip-prinsip islam. Contohnya bangunan masjid-masjid khas Indonesia,
terutama di Pulau Jawa yang merupakan bentuk akulturasi (pembauran) dengan bangunan candi,
pura, stupa dan memiliki ciri-ciri dan corak khusus.

Foto bagian
serambi masjid
dan atap dalam

Foto bagian
dalam masjid
dengan soko
guru sebagai
tiang utama

19

Anda mungkin juga menyukai