ARSITEKTUR
BAGUS S.H.
ONIVIA A.N.
Arsitektur nusantara:
2016
PENYUSUN:
BAGUS SYAFIUL HUDA
ONIVIA ADETYA NINGRUM
DOSEN PEMBIMBING:
OKTAVI ELOK HAPSARI, M.T
Arfiani sYARIAH, m.t
Kata pengantar
Kami panjatkan puji syukur ke hadirat Allah S.W.T. yang telah mencurahkan nikmat serta
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan pembuatan paper yang berjudul MASJID
GEDHE KAUMAN YOGYAKARTA ini.
Ucapan terima kasih juga tak lupa kami sampaikan kepada :
1. Ibu Aani Syariah, M.T. selaku dosen pembimbing dalam pembuatan paper kami,
2. Serta tak lupa kami haturkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
dalam proses pembuatan makalah ini baik secara langsung maupun tidak langsung
yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu tetapi tidak mengurangi rasa hormat
kami.
Kami menyadari bahwa dalam pembuatan paper ini masih terdapat banyak kekurangan
dan keterbatasan dalam hal menganalisis Masjid Gedhe Kauman ini. Oleh karena itu kami
menerima kritik maupun saran yang bersifat membangun untuk lebih meningkatkan kualitas paper
ini dan sebagai batu loncatan agar penulis dapat membuat paper yang lebih berkualitas dimasa
yang akan datang.
Demikian yang dapat kami sampaikan, kami berharap makalah ini dapat menambah
wawasan dan menjadi sumber referensi bagi pihak yang membutuhkannya.
Surabaya, 20 Maret 2016
Penyusun
Daftar isi
BAB I
PENDAHULUAN......5
1.1 LATAR BELAKANG......5
1.2 TUJUAN PENULISAN......6
1.3 BATASAN PENELITIAN......6
1.4 SISTEMATIKA PENULISAN......7
BAB II
HINDU-BUDHA
PADA MASJID......8
2.1 SINKRETISME
ISLAM DAN
BUDAYA JAWA......8
2.2 AKULTURASI
ISLAM DAN
BUDAYA JAWA......9
BAB IIi
MASJID GEDHE
KAUMAN......12
BAB iv
penutup......18
4.1 kesimpulan......18
4.2 lesson learned......19
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Pada zaman sekarang ini bangsa
Indonesia dikenal sebagai bangsa yang
mayoritas penduduknya itu ialah Islam, akan
tetapi perkembangan Islam pada akhir
Majapahit menimbulkan dampak yang sangat
luas terhadap berbagai tatanan kehidupan
Foto
Masjid
dan nilai-nilai budaya pada saat itu. Pertemuan
Gedhe
Kauman
tiga agama besar, yaitu Islam, Hindu dan Budha
dari arah
pintu
yang mempunyai ajaran dan nilai-nilai budaya
gerbang
yang sangat kompleks, ternyata dapat berjalan
kompleks
masjid.
dengan lancar.1 Tidak hanya dalam bentuk
religi atau keagamaan saja, melainkan nilai-nilai tersebut tersebar juga kedalam suatu
bentuk bangunan arsitektur Islam yang disebut dengan Masjid.
Kata Masjid berasal dari bahasa Arab yang dipinjam dari bahasa Aramaika
berarti tempat atau rumah ibadah, dari kata dasar Sajada yang berarti tempat
bersujud. Sejak abad ke-tujuh, dimana Islam dan bahasa Arab berkembang pesat, kata
ini lebih spesik merujuk pada rumah ibadah Muslim.2 Sedangkan Kata Arsitektur berasal
dari bahasa Yunani, yaitu: Architekton yang terbentuk dari dua suku kata yakni, arche dan
tektoon. Arche berarti yang asli, yang utama yang awal. Sedangkan tektoon Menunjuk
pada sesuatu yang berdiri kokoh, tidak roboh, stabil, dan sebagainya. Jadi kata
arsitektur hanya punya pandangan teknis statika bangunan belaka. Architektoon artinya
pembangunan utama atau sebenarnya: tukang ahli bangunan yang utama.3
Arsitektur di Indonesia memang tidak bisa dipandang sebagai gejala yang
tunggal dan homogen, tetapi sebagai budaya yang kompleks dan majemuk, yang makna
kehadirannya tidak bisa didenisikan dengan pasti. Wujud arsitektur di Indonesia bisa
merujuk pada hal yang kongkrit dan objektif (anatomi bangunan, struktur, bentuk), tetapi
juga hal yang abstrak atau ideal (kosmologi, simbolisme, gaya, jatidiri, karakter).
1 Mahmud
Manan, Transformasi Budaya Unsur-unsur Hinduisme dan Islam pada Akhir Majapahit (abad XV-XVI M) dalam
Hubungannya dengan Relief Penciptaan Manusia di Candi Sukuh Karanganyar Jawa Tengah, Puslitbang Lektur Keagamaan,
Jakarta, 2010, h.1.
2 Ridwan al-Makassary, Amelia Fauzia, Irfan Abubakar, dkk, Masjid dan PembangunanPerdamaian, CSRC, Jakarta, 2001, h. 25.
3 Y.B. Mangungwijaya, Wastu Citra, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2013, h. 431.
Akulturasi adalah perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat akibat paparan
atau perjumpaan dengan budaya baru, memberikan dampak yang signikan terhadap
perkembangan arsitektur di Indonesia. Masuknya pengaruh sistem kepercayaan dan kebudayaan dari
India, Cina, Arab, dan Eropa telah memungkinkan bertumbuhkembangnya berbagai ragam jenis
bangunan dan ekspresi arsitektural, yang memiliki nilai historis serta karakteristik sik yang unik.
Arsitektur merupakan hasil ekspresi dari sebuah cipta, rasa, karsa, dan karya mausia yang
diwujudkan menjadi suatu bentuk (rupa) yang bisa dijadikan sebagai suatu eksistensi sejarah.
Kehidupan manusia tidak bisa lepas dari sebuah arsiteksi, entah itu arsiteksi morphis dalam wujud
manusia, atau pula arsiteksi manusia dalam berkehidupan. Dalam memahami arsitektur pun
mengandung banyak falsafah yang mengantarkan kita kepada jalan yang lurus (shirathal mustaqim).
Arsitektur merupakan khazanah peradaban dan kekayaan sejarah yang tak ternilai harganya.
Arsitektur bisa menjadi penyambung pesan antar generasi selanjutnya. Dan khususnya pada
peradaban Islam di Jawa, arsitektur menjadi salah satu jalan interelasi dakwah sehingga Islam bisa
diterima di Bumi Nusantara.
BAB II
HINDU-BUDHA
PADA MASJID
2.1 SINKRETISME
ISLAM DAN
BUDAYA JAWA
Foto
Masjid Gedhe
Kauman
yang
menggunakan
atap tumpang.
Secara etimologi, sinkretisme berasal dari perkataan syin dan kretiozein atau kerannynai, yang
berarti mencampurkan elemen-elemen yang saling bertentangan.4 Membaca lahirnya sinkretisme
Islam-Jawa ada baiknya jika dihubungkan dengan masuknya Islam di Jawa. Ketika Islam masuk di Jawa,
ada dua hal yang perlu dicatat. Pertama, pada waktu itu hampir secara keseluruhan dunia Islam dalam
keadaan mundur. Dan kedua, sebelum kedatangan Islam di Jawa, agama Hindu, Budha dan
kepercayaan asli yang berdasarkan animisme dan dinamisme telah bertukar dikalangan masyarakat
Jawa. Oleh karena itu, dengan datangnya Islam terjadi pergumulan antara Islam di satu pihak, dengan
kepercayaan-kepercayaan yang ada sebelumnya di pihak lain. Akibatnya, muncul dua kelompok
dalam menerima Islam.5
A. Pertama, yang menerima Islam secara total
B. Kedua yang menerima Islam tetapi belum dapat melupakan ajaran-ajaran lama.
Pandangan hidup masyarakat Jawa sangat tepo seliro dan bersedia membuka diri serta
berinteraksi dengan orang lain. Menurut Marbangun Hardjowirogo, masyarakat Jawa lebih
menekankan sikap atau etika dalam berbaur dengan seluruh komponen bangsa yang bermacammacam suku dan bahasa, adat dan termasuk agama. Karena manusia Jawa sadar bahwa tak mungkin
orang Jawa dapat hidup sendiri. Pandangan demikian senada dengan lsafat Tantularisme khas Jawa
yang mengajarkan humanisme dalam segala bidang dan menentang segala bentuk ekslusivisme dan
sektarianisme.
4
5
Darori Amin, Islam & Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2000, h. 87.
Ibid., h. 93-94.
Sebelum Islam tumbuh dan berkembang di Jawa, tradisi yang berlangsung adalah dan ajaran
Hindu-Budha maupun kepercayaan dinamisme dan animisme. Kemudian muatan-muatan simbolis
maupun nilai-nilai Jawa serta agama dipadukan pada saat penyebaran Islam. Berbicara mengenai
budaya Jawa, maka yang kita rujuk adalah tradisi Hindu-Budha yang saat itu menjadi entitas budaya
yang sangat besar di tanah Jawa. Proses sinkretisasi antara Islam dengan Jawa yang berlangsung
lembut, menyatu, dan bersifat total, pada akhirnya menjadikan Islam-Jawa seakan-akan tidak bisa
dipisahkan sampai satu sama lain.6
Ritual menjadi simbol Jawa yang tak dapat menghindar pula dari sinkretisasi dengan Islam.
Ritual hal ini mengacu kepada tradisi-tradisi dalam budaya Jawa yang berusaha selalu menggapai
keamanan dan ketentraman serta menghindari bencana dan kekacauan. Misalnya, dalam konteks
masyarakat tradisonal di Jawa, pergantian waktu dan perubahan fase kehidupan diyakini sebagai
saat-saat genting yang perlu dicermati dan diwaspadai. Untuk itu, mereka mengadakan crisis rites dan
rites de passage, yakni upacara peralihan yang berupa slametan, makan bersama (kenduri), prosesi
dengan benda-benda keramat, dan sebagainya.7
Di samping dua aspek (agama dan ritual) tadi, sinkretisme Islam-Jawa sangat kentara dengan
penggabungan antara agama dengan budaya lokal. Yang dimaksud dengan menggabungkan Islam
dengan budaya lokal dalam konteks ini adalah melaksanakan syari'at Islam dengan kemasan budaya
Jawa. 8 Dengan demikian, substansi syariat yang
dijalankan tetap sesuai dengan koridor ajaran Islam,
Foto
Jam di
tetapi tampilan luarnya mengadopsi tradisi-tradisi lokal.
gerbang
7
8
9
Masjid
Gedhe
Kauman
yang
meng
gunakan
model
HinduBudha.
Seiring dengan terjadinya interaksi manusia, maka terjadi pula komunikasi dan penyebaran
kebudayaan. Proses difusi atau penyebaran unsur kebudayaan itu terjadi karena dua hal, pertama:
adanya migrasi bangsa atau kelompok dari suatu tempat ke tempat lain, dan mereka membawa
pula unsurunsur kebudayaannya ke tempat yang baru. Kedua, penyebaran unsur kebudayaan yang
sengaja dibawa oleh individu-individu tertentu seperti pedagang, pelaut, mubaligh, atau tokoh
agama. Akibat dari pertemuan pendukung dari unsur-unsur kebudayaan yang berbeda itu, ada
hubungan simbiotik yang hampir tidak berpengaruh terhadap bentuk kebudayaan masingmasing.
Adapula unsur kebudayaan yang secara tidak sengaja ikut masuk dengan damai ke dalam
kebudayaan penerima.10
Sejalan dengan perkembangan Islam yang pesat dan menyebar di berbagai wilayah
tertutama di pulau Jawa, tersebar pula lah pola-pola yang berhubungan dengan arsitektur Islam
yang disebut dengan bangunan Masjid. Masjid pun banyak tumbuh di berbagai wilayah Islam
tersebut. Bangunan Masjid di berbagai wilayah mengalami penambahan ornamen-ornamen seni
untuk menambah unsur estetik Masjid seperti hiasan kaligra pada interior Masjid, penambahan
menara yang digunakan untuk menyeru orang-orang beriman untuk shalat, dan adanya makam
disekitar Masjid.
Foto
Suasana Masjid Gedhe Kauman
menjelang maghrib
Foto
Suasana Masjid Gedhe Kauman
menampung semua jamaah solat
10
Sri Suhandja Sukri, Ij had Progresif Yasadipura II (Dalam Akulturasi Islam dengan Budaya Jawa), Gama Media, Yogyakarta,
2004, h. 326-327.
10
Masjid menjadi bangunan yang penting dalam syiar Islam, untuk itu Masjid dijadikan sebagai
sarana penanaman budaya Islam sehingga dalam pengertian ini terjadilah pertemuan dua unsur dasar
kebudayaan, yakni kebudayaan yang dibawa oleh para penyebar Islam yang terpateri oleh ajaran
Islam dan kebudayaan lama yang telah dimilki oleh masyarakat setempat. Keragaman bentuk
arsitektur Masjid jika dilihat dari satu sisi merupakan pengayaan terhadap khasanah arsitektur Islam.
Arsitektur Masjid yang bernuansa lokal secara psikologis telah mendekatkan masyarakat setempat
pada Islam. Tampilan arsitektur Islam tidak lagi hanya Masjid, tetapi telah tampil dalam bentuk karya
sik yang lebih luas, hal ini karena Masjid sebagai arsitektur Islam merupakan manifestasi keyakinan
agama seseorang.11
Kalau dilihat dari masa pembangunannya, Masjid sangat dipengaruhi pada budaya yang
masuk pada daerah itu. Masjid dulu, khususnya di daerah pulau Jawa, memiliki bentuk yang hampir
sama dengan candi Hindu-Budha. Hal ini karena terjadi akulturasi budaya antara budaya setempat
dengan budaya luar. Ketika Islam masuk di Jawa keberadaan arsitektur Jawa yang telah berkembang
dalam konsep dan loso Jawa tidak dapat dinakan oleh Islam. Jadi, agar Islam dapat diterima
sebagai agama orang Jawa, maka simbol-simbol Islam hadir dalam bingkai budaya dan konsep Jawa,
yang kemudian memunculkan kreativitas baru sebagai hasil berasimilasinya dua kebudayaan dan
sekaligus sebagai pengakuan akan keberadaan keunggulan muslim Jawa dalam karya arsitektur.12
Foto satelit
Letak Masjid
Gedhe Kauman
di sebelah barat
Alun-Alun
Foto satelit
Letak Masjid
Gedhe Kauman
pada Provinsi
DI. Yogyakarta
Foto Lambang Kasultanan Yogyakarta
pada gerbang Masjid Gedhe Kauman
11
12
11
BAB IIi
MASJID GEDHE
KAUMAN
3.1 MASJID GEDHE KAUMAN YOGYAKARTA
(MASJID AGUNG YOGYAKARTA)
Kasultanan Yogyakarta merupakan sebuah kerajaan islam yang berada di Pulau Jawa
sebelah selatan-tengah. Kerajaan tersebut memiliki sebuah tatanan yang sangat kompleks.
Terdapat empat komponen yang tak terpisahkan dari sistem tatanan kawasan Kasultanan Mataram
di Yogyakarta, yaitu alun-alun, kraton, pasar, dan masjid. Pembangunan Masjid Gedhe Kauman
(Masjid Agung Yogyakarta) dibangun untuk menegaskan identitas ke-islam-an dari Kasultanan
Mataram di Yogyakarta oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I bersama Kyai Faqih Ibrahim
Diponingrat (Penghulu Kraton I) dan Kyai Wiryokusumo. Masjid ini dibangun pada Ahad Wage, 29
Mei 1773 M atau 6 Robi'ul Akhir 1187 H, sebagai sarana beribadah bagi keluarga raja serta
sebagai kelengkapan sebuah kerajaan islam. Dalam pembangunannya, masjid merupakan
bangunan sik yang diutamakan. Tercatat ada masjid besar sebagai pusat peribadatan umum umat
Islam di Ibukota Kerajaan.
Masjid Gedhe Kauman, Yogyakarta atau disebut dengan Masjid Agung Yogyakarta tidak
lepas dari sejarahnya yang diprakasai dengan pemindahan Ibukota Ngayogyakarta dari
Kotagede ke daerah Kauman Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta dibangun pada saat
pemerintahan Sultan Hamengkubuwono I tahun 1773 M
Masjid ini dibangun pada masa Pemerintahan Hamengku Buwono I dengan arsiteknya
bernama K. Wiroyokusumo. Seperti pada umumnya, masjid ini berada di barat Alun-Alun Utara
Kraton. Dengan mempertahankan arsitektur tradisional jawa. Konsep tata ruang seperti halnya
masjid-masjid jawa pada umumnya memiliki beberapa komponen utama. Masjid Agung
Yogyakarta ini merupakan milik Kasultanan Yogyakarta yang berfungsi sebagai tempat beribadah
sebagai wujud hubungan antara manusia dengan Tuhan.
12
Kompleks Masjid Agung Yogyakarta memiliki luas keseluruhan 16.000 m2. Tidak hanya
memiliki halaman yang luas dan pagar keliling yang tebal, tetapi juga memiliki unit-unit ruang, yaitu
Pagongan (tempat perangkat gamelan), Pajagan (pos jaga), Pengulon (rumah kyai), makam, kantor
sekretariat, dewan ta'mir, dan kantor urusan agama. Sedangkan luas bangunannya 2.758 m2 yang
terdiri dari serambi, ruang utama, mimbar, dan pawastren (ruang putri). (Sugiyanti: 1999)
Masjid Agung Yogyakarta telah mengalami renovasi beberapa kali akbita bencana alam
berupa gempa bumi. Pada tahun 1867 M, serambi masjid runtuh dan dibangun kembali sesuai
aturan ndalem (pihak Kraton) dengan bahan khusus pula dengan diperlebar dua kali lipatnya.
Tahun 1917 M, dibangun Gedung Pajagan (ruang penjaga). Dan pada tahun 1933 M semua atap
sirap diganti dengan atap seng wiron (bergelombang), lantai serambi dari batu kali diganti dengan
tegel kembang dan lantai utama diganti marmer dari Italia.
Pada awal masuk ke bangunan masjid, terdapat blumbang (kolam) yang mengelilingi
serambi masjid. Kolam ini berfungsi sebagai tempat penyucian diri dari kotoran duniawi yang
melekat pada badan. Konsep penempatan kola mini masih mempertahankan konsep makrokosmos
dari peribadatan agama Hindu tentang penyucian diri.
13
14
15
3.1.3 Material
1. Pada bagian serambi depan masjid, terdapat kayukayu jati yang menyangga atap masjid ini
yang diberi warna cerah dengan komposisi utama putih, emas dan merah. Tiang tiang di
serambi ini menyangga atap yang juga tersusun dari kayu jati dan menariknya susunan kayu ini
direkatkan tanpa menggunakan paku.
2. Saat memasuki bagian utama masjid, terlihat jelas bangunan utama masjid ditopang oleh
gelondongan kayu dengan ukuran besar yang diperkirakan berumur ratusan tahun, warna
coklat mendominasi ruang utama ini.
3. Lantai dari serambi ini pada awalnya bermaterialkan batu kali, akan tetapi pada tahun 1933
atas prakarsa dari Sri Sultan Hamengku Buwana VIII lantai ini kemudian diganti dengan tegel
kembangan yang indah.
4. Pada ruang inti dilengkapi dengan maskura (tempat pengaman sholat untuk raja) letaknya
disamping kiri belakang mihrab, terbuat dari kayu jati bujur sangkar. Disamping kanan kiri
terdapat tempat tombak dan didalamnya berlantaikan marmer dan posisinya lebih tinggi dari
yang luar. Maskura ini digunakan apabila Sultan berkenan sholat berjamaah di Masjid Gedhe.
Penggunaa kayu memang tidak mencemari lingkungan, akan tetapi penggunaannya yang
berlebihan akan mengakibatkan alam murka, begitupun dengan material lantai untuk saat ini.
raja)
pembangunan masjid
A.
B.
C.
D.
16
17
BAB iv
penutup
4.1 kesimpulan
Masjid Gedhe Kauman (Masjid Agung Yogyakarta) dibangun pada masa Kasultanan
Mataram Islam pertama di Yogyakarta oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I bersama Kyai Faqih
Ibrahim Diponingrat (Penghulu Kraton I) dan Kyai Wiryokusumo. Masjid ini dibangun pada Ahad
Wage, 29 Mei 1773 M atau 6 Robi'ul Akhir 1187 H, sebagai sarana beribadah bagi keluarga raja
serta sebagai kelengkapan sebuah kerajaan islam dengan luas keseluruhan 16.000 m2.
Masjid Gedhe Kauman memiliki bentukan dasar berupa Pendopo, mengacu pada suatu
bagian di kuil Hindu yang berbentuk persegi dan dibangun langsung diatas tanah. Bentukan atap
tumpang dengan tiga lapis mengisyaratkan bahwa hidup harusnya melalui tiga tahapan: hakekat,
syariat, dan marifat untuk menuju Allah Sang Robbul Alamin. Dengan adanya kolam penyucian diri,
maka sesorang sebelum menghadap Allah harus suci badan dan raganya. Dan sebagainya,
Telah dibahas di depan bahwa masjid kuno di jawa masih membaurkan diri dengan budaya
dan agama setempat yaitu Hinda-Budha (akulturasi) dengan membentuk suatu budaya baru yaitu
ajaran yang kita sebagian orang jawa anut hingga sekarang, karena agama islam merupakan
Rohmatan Lil Alamin agama yang mengayomi semua makhluk di alam semesta. Jadi tidak serta
merta agama dipaksakan dalam kehidupan sehari-hari, akan tetapi tetap dalam koridor Islam.
18
Foto bagian
serambi masjid
dan atap dalam
Foto bagian
dalam masjid
dengan soko
guru sebagai
tiang utama
19