Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

Gedung Kesenian Jakarta sebagai bentuk peninggalan sejarah pada masa penjajahan Belanda,
menjadi keunikan tersendiri dalam bidang asitektur. Gedung ini dibangun dengan gaya empire
yang kemudian seiring berjalannya waktu disesuaikan dengan kondisi lingkungan di Indonesia.

1.1 Latar Belakang

Seni pertunjukan dalam kehidupan manusia sudah sangat tua usianya dan memiliki fungsi yang
bermacam-macam. Seni pertunjukan bisa berfungsi sebagai ritual kesuburan, memperingati
daur hidup sejak dari kelahiran manusia, masa akil balik, pernikahan, bahkan sampai
meninggal. Menurut Soedarsono (1999), seni juga dipakai untuk mengusir wabah penyakit,
melindungi masyarakat dari berbagai ancaman bahaya, sebagai hiburan pribadi, sebagai
presentasi estetis, sebagai media propaganda, sebagai penggugah solidaritas sosial, sebagai
pembangun integritas sosial, sebagai pengikat solidaritas nasional dan sebagainya.

Seperti telah kita ketahui, bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai
kebudayaan/ keseniannya. Keragaman seni dan budaya datang dari berbagai suku di Indonesia
yang sangat kaya. Sebagai contoh di pulau Jawa, mempunyai tiga suku yang cukup besar. Jawa
Barat, mempunyai seni musik angklung dan calung yang terbuat dari bambu. Tarian Jaipong,
Pertunjukan Wayang Golek, Pencak Silat, Debus, Tarling dari Cirebon. Jawa Tengah
mempunyai musik gamelan, tarian Sri Bedoyo yang merupakan warisan nenek moyang yang
luhur, Wayang kulit, dan lain sebagainya. Jawa Timur mempunyai Wayang Orang, Reog
Ponorogo, dan lain sebagainya. Dari pulau Sumatra yang terkenal dengan budaya Melayu,
diantaranya adalah seni tari pergaulan Serampang Dua Belas. Dengan masyarakat heterogen
kota Jakarta yang multi ras dan multi suku/adat, dan untuk membantu terpeliharanya seni
budaya maupun untuk menjalin persahabatan lewat kesenian, diperlukan gedung kesenian yang
memadai dan baik, tidak hanya dari segi penampilan luar atau arsitektur bangunan yang baik
tetapi juga dari fasilitas dan faktor kenyamanan untuk pengguna.

Gedung Kesenian, bisa dipandang sebagai fenomena yang multi status yaitu sebagai fasilitas
berkesenian yang mana merupakan wadah atau tempat untuk para seniman melakukan kegiatan
berkesenian, sebagai karya budaya yang sewajarnya dipertahankan dan dilestarikan, dan juga
sebagai komoditi dimana melalui gedung kesenian ini ada peristiwa ekonomi dimana
didalamnya terdapat seniman menjual karya seninya kepada umum. Di masa kini, menyaksikan
pertunjukkan, tidak saja untuk fungsi hiburan, tetapi juga telah menjadi gaya hidup. Gedung
Kesenian Jakarta didirikan pada masa pemerintahan Belanda di Indonesia merupakan gedung
bersejarah yang masih tetap berfungsi sebagai tempat pementasan berbagai macam bentuk
kesenian, kini dilindungi sebagai gedung warisan budaya. Dalam perkembangannya Gedung
Kesenian Jakarta telah mengalami perkembangan masa, perubahan lingkungan sosial budaya
dan iklim, sehingga menarik dan penting untuk diulas.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana sejarah didirikannya Gedung Kesenian Jakarta?

2. Bagaimana gaya dan karakteristik bangunan serta kaitannya dengan periode didirikannya
Gedung Kesenian Jakarta?

3. Bagaimana ciri-ciri bangunan kolonial yang ada pada Gedung Kesenian Jakarta?

1.3 Tujuan dan Manfaat

1. Mengetahui sejarah didirikannya Gedung Kesenian Jakarta

2. Mengetahui gaya dan karakteristik bangunan serta kaitannya dengan periode didirikannya
Gedung Kesenian Jakarta

3. Mengetahui ciri-ciri bangunan kolonial yang ada pada Gedung Kesenian Jakarta
BAB III

METODE PENELITIAN

Dimulai dari area teras, terdapat Pintu masuk utama kearah lobby. Teras bagian depan dari
bangunan megah GKJ ini memiliki 2 (dua) pintu utama yang berukuran 181 x 250 cm, pintu
ini dicat berwarna hitam.

Gambar 1. Pintu masuk utama

Terdapat beberapa elemen bangunan dan interior disekitar lokasi pintu tersebut seperti kolom
dengan kepala profil bergaya klasik begitu pula dengan list plafon yang berukuran besar
bergaya klasik. Pintu ini terlihat pendek bila dibandingkan dengan proporsi ketinggian ruang
depan GKJ.

ketinggian ceiling pada lobby hanya setinggi 2,4 meter

Foyer area atau ruang tunggu penonton atau Pre-function area terletak disisi samping dari ruang
auditorium. Ruangan ini mempunyai ceiling yang cukup tinggi (4,5 meter). Ruangan ini
menggunakan lantai marmer. Penggunaan warna dan permainan pada dinding terasa datar,
walaupun sepanjang dinding telah diberi hiasan poster-poster pertunjukan yang telah
dimainkan di GKJ.

Penyelesaian ceiling dengan menggunakan profil bergaya kolonial dari segi estetis, untuk
pencahayaan dilakukan pemasangan lampu chandelier, ditambah dengan penerangan dari
lampu dinding yang berjajar sepanjang dinding. Penerangan pada siang hari memanfaatkan
pencahayaan alami dari jendela-jendela kaca yang berukuran besar yang ada dalam ruang
foyer.
Auditorium terbagi menjadi 2 bagian, yaitu area penonton dan area panggung. Auditorium
dengan kapasitas 395 kursi di bagian bawah, dan 77 kursi di bagian balkon. Ruang auditorium
mempunyai ketinggian 10 meter sampai dengan posisi ceiling tertinggi. . Lantai area penonton
menggunakan carpet berwarna merah. Dinding ruangan ini sebagian besar ditutup panil.
Dinding tersebut secara dominan dicat warna putih. Plafon berbentuk melengkung setengah
lingkaran, telah dilengkapi dengan sistem akustik.

Gambar 2. auditorium

Area panggung, mempunyai ketinggian 80 sentimeter dari lantai penonton. Permukaan lantai
peninggalan lama menggunakan kayu, dan kini tetap menggunakan lantai dari bahan kayu
solid. . Permukaan lantai panggung rata, tidak ada area yang dapat diturun-naikkan dengan
sistem hidrolik pada lantai. Pada bangunan ini disediakan level kayu untuk panggung tambahan
bila diperlukan dalam pementasan. Level kayu yang tersedia masing-masing berukuran (180 x
90 x 20 sentimeter) sebanyak 25 buah. Ukuran panggung GKJ tinggi 4,5 meter, lebar 10,5
meter, kedalaman 14,8 meter. Panggung GKJ mempunyai layar utama berwarna merah, selain
itu juga dilengkapi dengan beberapa lapis layar di bagian dalam. Pilihan warna layar, yaitu
hitam, biru, abu-abu, krem, merah dan kuning. Bar penggantung layar ini juga dapat digunakan
untuk menggantung gambar latar belakang bila diperlukan dalam sebuah pertunjukan. Bagian
atas panggung juga dilengkapi dengan 5 line penggantung lampu, di setiap line disediakan
masing-masing 14 titik lampu (lihat lampiran IV).
Gambar 3. Tampak bukaan layar panggung

Tampak muka layar utama dari panggung GKJ, dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa
proporsi dari bidang layar utama yang bisa dibuka tutup, dengan bidang layar bagian atas yang
tidak terbuka (bidang lengkungan setengah lingkaran di bagian atas) terlihat lebih dominan
pada bagian lengkung tersebut.

Belakang layar dan service area, Gedung Kesenian Jakarta dilengkapi dengan ruangan -
ruangan pendukung panggung yang lokasinya berada di bagian belakang, seperti 2 ruang rias
yang telah dilengkapi dengan TV monitor. . Ada pula ruang tunggu pemain sebelum
pementasan yang juga disebut green room, lokasinya tepat berada di belakang panggung.
Ukuran ruang green room ini 6,20 X 10,70 meter. Di bagian belakang dari green room terletak
store room.

Pada bagian belakang panggung, masih berdekatan dengan green room, juga disediakan toilet
wanita dan pria bagi para pemain dan crew yang bertugas, lokasi toilet berada pada sisi kanan
dan kiri panggung.

Estetika dan Suasana dakan ruangan auditorium ini didominasi oleh warna merah (yang
digunakan pada karpet, curtain dan kursi penonton). Hampir keseluruhan dinding ruang dalam
dicat warna putih. Sedangkan ornamen hias pada dinding balkon dan kolom di bagian pinggir
ruang auditorium diberi warna emas. Warna yang digunakan pada furniture ruangan ini
diantaranya carpet, pelapis sofa dan kursi (upholstery) adalah warna ruby gelap (merah gelap).

balkon detail Ionic dikombinasikan dengan finishing warna emas. Untuk kolom penyangga
balkon, digunakan kepala kolom model korithia.
Gambar 4. Detail kepala kolom korithia Gambar 5. Detail kolom model Ionic

Untuk kolom utama pada tampak panggung digunakan kolom dengan model mahkota kolom
komposit yang merupakan perpaduan dari model korinthia dengan model Ionic.
BAB IV
PEMBAHASAN

Perkembangan Arsitektur Antara Tahun 1870-1900

Sejarah perkembangan gaya desain kolonial di Indonesia dimulai saat masuknya


penjajahan Belanda ke tanah air khususnya daerah Jawa. Menurut Handinoto dalam “Daendels
dan Perkembangan Arsitektur di Hindia Belanda Abad 19” kedatangan Jenderal Willem
Daendels ke Jawa Tengah dan Jawa Timur membuat pengaruh dalam bidang gaya desain
bangunan. Pada waktu itu Daendels membawa pengaruh gaya desain Empire dari Eropa, lebih
tepatnya Perancis. Namun dengan berjalannya waktu mulai adanya penyesuaian dengan
lingkungan iklim Indonesia, maka bangunan tersebut berubah dan dikenal dengan bangunan
Indis disamping adanya budaya baru yang muncul karena adanya perkawinan antar orang
Eropa dengan orang Jawa yang membentuk budaya baru serta mempengaruhi aspek kehidupan
keluarga tersebut dari segi makanan, pakaian, hingga bangunan.
Hadirnya orang Belanda di Jawa ( Indonesia ) yang kemudian menjadi penguasa telah
banyak mempengaruhi segi-segi kehidupan masyarakat pribumi, termasuk segi kebudayaan
beserta hasil-hasilnya. Percampuran gaya Eropa dan Indonesia yang meliputi tujuh unsur
universal budaya menimbulkan budaya baru yang didukung sekelompok masyarakat penghuni
kepulauan Indonesia, khususnya keluarga keturunan Eropa (Belanda) dan pribumi.
Percampuran gaya hidup Belanda dengan gaya hidup pribumi khususnya Jawa ini disebut
sebagai gayahidup Indis.
Gaya arsitektur kolonial abad 19 sampai tahun 1900 sering disebut sebagai gaya
arsitektur Indische Empire Style. Di Hindia-Belanda gaya tersebut diterjemahkan secara bebas
sesuai dengan keadaan. Dari hasil penyesuaian ini terbentuklah gaya yang bercitra kolonial
yang disesuaikan dengan lingkungan serta iklim dan tersedianya material pada waktu itu. Gaya
Indis tersebut tidak saja diterapkan pada rumah tempat tinggal tetapi juga pada bangunan umum
lain seperti gedung-gedung pemerintahan dan lainnya. Bahkan gaya Indis tersebut kemudian
meluas sampai pada semua lapisan masyarakat dikurun waktu tahun 1850-1900-an.
“Indische Empire Style” adalah suatu gaya arsitektur kolonial yang berkembang pada
abad ke 18 dan 19, sebelum terjadinya “westernisasi” pada kotakota di Indonesia di awal abad
ke 20. Pada mulanya gaya arsitektur tersebut muncul di daerah pinggiran kota Batavia
(Jakarta), sekitar pertengahan abad ke 17, tapi kemudian berkembang di daerah urban, dimana
banyak terdapat penduduk Eropa. Munculnya gaya arsitektur tersebut adalah sebagai akibat
dari suatu kebudayaan yang disebut sebagai “Indische Culture”, yang berkembang di Hindia
Belanda sampai akhir abad ke 19.
Gaya Indis merupakan suatu gaya seni yang memiliki ciri khusus yang tidak ada
duanya, yang lahir dalam penderitaan penjajahan kolonial. Kata Indis dapat dijadikan sebagai
tonggak peringatan yang menandai suatu babakan zaman pengaruh budaya Eropa (Barat)
terhadap kebudayaan Indonesia. Salah satu wujud kebudayaan yang terpengaruh oleh gaya
Indis adalah bentuk bangunan atau arsitektur rumah yang merupakan wujud ketiga dari
kebudayaan yang berupabenda-benda hasil karya manusia. Bangunan rumah Indis pada tingkat
awal lebih bercirikan Belanda, hal ini dikarenakan pada awal kedatangannya mereka membawa
kebudayaan murni dari negeri Belanda, namun lama-kelamaan kebudayaan mereka bercampur
dengan kebudayaan orang Jawa sehingga hal tersebut ikut mempengaruhi gaya arsitektur
mereka. Gaya atau style adalah bentuk yang tetap atau konstan yang dimiliki oleh seseorang
atau kelompok baik dalam unsur-unsur kualitas maupun ekspresinya. Gaya dapat diterapkan
sebagai ciri pada semua kegiatan seseorang atau masyarakat misalnya gaya hidup, seni, budaya
atau peradabannya (life style: styleof civilazation) pada waktu atau kurun waktu tertentu. Suatu
karya dapat dikatakan mempunyai gaya
Bentuk bangunan rumah tinggal para pejabat pemerintah Hindia-Belanda yang
memiliki ciri-ciri perpaduan antara bentuk bangunan Belanda dan rumah tradisional disebut
arsitektur Indis. Melalui proses yang perlahan-lahan serta adanya pertimbangan fungsi dan
pengaruh budaya maka masing-masing bentuk mengalami perkembangan sehingga menjadi
banyak macamnya, memiliki bentuk (vorm), hiasan (versening) dan benda itu selaras
(harmonis) sesuai bahan materiil yang digunakan.

Gaya arsitektur Hindia Belanda abad ke-19 yang dipopulerkan Daendels kemudian
dikenal dengan sebutan The Empire Style. Gaya ini oleh Handinoto juga dapat disebut sebagai
The Dutch Colonial. Gaya arsitektur The Empire Style adalah suatu gaya arsitektur neo-klasik
yang melanda Eropa (terutama Prancis, bukan Belanda) yang diterjemahkan secara bebas.
Hasilnya berbentuk gaya Hindia Belanda (Indonesia) yang bergaya kolonial, yang disesuaikan
dengan lingkungan lokal dengan iklim dan tersedianya material pada waktu itu (Akihary dalam
Handinoto, 1996: 132). Ciri-cirinya antara lain: denah yang simetris, satu lantai dan ditutup
dengan atap perisai. Karakteristik lain dari gaya ini diantaranya: terbuka, terdapat pilar di
serambi depan dan belakang, terdapat serambi tengah yang menuju ke ruang tidur dan kamar-
kamar lain. Ciri khas dari gaya arsitektur ini yaitu adanya barisan pilar atau kolom (bergaya
Yunani) yang menjulang ke atas serta terdapat gevel dan mahkota di atas serambi depan dan
belakang. Serambi belakang seringkali digunakan sebagai ruang makan dan pada bagian
belakangnya dihubungkan dengan daerah servis (Handinoto, 1996: 132-133).

Beberapa Aliran yang Mempengaruhi Perkembangan Arsitektur Kolonial di Indonesia


Gaya Neo Klasik (the Empire Style / the Dutch Colonial Villa) (tahun 1800)
Ciri – Ciri dan Karakteristik :
a. Denah simetris penuh dengan satu lanmtai atas dan ditutup dengan atap perisai.
b. Temboknya tebal
c. Langit – langitnya tinggi
d. Lantainya dari marmer
e. Beranda depan dan belakang sangat luas dan terbuka
f. Diujung beranda terdapat barisan pilar atau kolom bergaya Yunani
(doric, ionic, korinthia)
g. Pilar menjulang ke atas sebagai pendukung atap
h. Terdapat gevel dan mahkota diatas beranda depan dan belakang
i. Terdapat central room yang berhubungan langsung dengan beranda depan dan
belakang,
kiri kananya terdapat kamar tidur
j. Daerah servis dibagian belakang dihubungkan dengan rumah induk oleh galeri.
Beranda
belakang sebagai ruang makan.
k. Terletak ditanah luas dengan kebun di depan, samping dan belakang.

Elemen-elemen bangunan bercorak Belanda yang banyak digunakan dalam arsitektur


kolonial Hindia Belanda (Handinoto, 1996:165-178) antara lain: a) gevel (gable) pada tampak
depan bangunan; b) tower; c) dormer; d) windwijzer (penunjuk angin); e) nok acroterie (hiasan
puncak atap); f) geveltoppen (hiasan kemuncak atap depan); g) ragam hias pada tubuh
bangunan; dan h) balustrade.

Gambar.

Sumber: Handinoto. 1996. Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Surabaya
1870-1940. Diterbitkan atas Kerja Sama Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada
Masyarakat Universitas Kristen Petra Surabaya dan Penerbit Andi. Yogyakarta: Andi Offset

1. Berbagai Elemen Bangunan Gedung Kesenian Jakarta yang Menunjukan


Karakteristik Arsitektur Kolonial

1.1 Bagian fisik dari bangunan (fasad dan denah)


Gambar.

Sumber: http://gandamayu.blogspot.com

Denah dari Gedung Kesenian Jakarta adalah berbentuk simetris dengan pembagian
kursi penonton yang di bagi 2

Pilar yang tinggi dan besar


serta bentuknya yang
simetris
Gambar.
Sumber: Rachmayanti,sri. 2010. perjalanan sejarah gedung kesenian Jakarta. Jakarta. Jurusan
Desain Interior, Fakultas Komunikasi dan Multimedia, Bina Nusantara University
Terdapat gevel pada
bangunan

Gambar.
Sumber: Rachmayanti,sri. 2010. perjalanan sejarah gedung kesenian Jakarta. Jakarta. Jurusan
Desain Interior, Fakultas Komunikasi dan Multimedia, Bina Nusantara University

detail pilar
yang
digunakan di
gedung
kesenian
Jakarta

Gambar .
Sumber: Rachmayanti,sri. 2010. perjalanan sejarah gedung kesenian Jakarta. Jakarta. Jurusan
Desain Interior, Fakultas Komunikasi dan Multimedia, Bina Nusantara University

Gedung Kesenian Jakarta pada awal berdirinya diprakarsai oleh Raffles, dan
pembangunannya pada masa gubernur jenderal Daendles di tahun 1814, dilokasi dimana
Schowburg Weltevreden ini dibangun, berada dalam landmark kawasan elit pemerintahan
Hidia Belanda pada saat itu, dimana di area lapangan banteng dibangun lapangan besar
Waterloo Square yang tepat berada dimuka istana atau rumah tinggal Gubernur Jenderal.
Bangunan ini bergaya empire. Fungsi awal GKJ adalah sebagai gedung pertunjukan dan tempat
pertemuan utnuk kalangan atas. Menurut Heuken (2007), selain Schouwburg Weltevreden, di
Batavia juga mempunyai gedung pertemuan umum Sositet De Harmonie dan Sositet
Concordia. Kedua bangunan yang disebutkan belakangan telah tidak ada lagi, dilokasi dimana
bangunan tersebut berdiri, telah dibangun bangunan lain. Sehingga bangunan GKJ sebagai
warisan budaya bangsa patutlah dilestarikan eksistensinya. Dipandang dari segi sosial,
penonton GKJ pada masa awal dibangun hanya kalangan penguasa, pejabat dan kaum ningrat
Belanda. Salah satu contohnya adalah dalam kunjungannya ke Batavia di 13 Febuari 1837,
Pangeran Hendrik dari Belanda mendapat sungguhan sandiwara berjudul ‘Graff Lodewijk van
Nassau’ di Schowburg (nama GKJ pada masa Belanda).
Sebagai gedung bersejarah peninggalan masa lalu yang masih berfungsi sama sampai
sekarang yaitu sebagai gedung pertunjukan yang mempertontonkan berbagai perunjukan
maupun kesenian baik seni international (musik klasik, tari-tarian dari manca Negara, teater)
maupun seni lokal bangsa Indonesia (wayang orang, tarian dan musik daerah).
Fasad dan tampak bangunan gedung bersejarah ini sudah menuunjukan ciri khas
karakteristik bangunan colonial bergaya “Indische Empire Style” yakni seperti
1. Gedung memiliki bagian fasad yang simetris
2. Gedung memiliki denah yang simetris
3. Gedung ini memiliki pilar bergaya yunani
4. Memiliki langit langit yang tinggi
5. Memiliki tembok yang bercat putih dan tebal
6. Pilar menjulang ke atas sebagai pendukung atap
7. Terdapat gevel dan mahkota diatas beranda depan dan belakang

1.2 Bagian interior Bangunan


Untuk mendukung suasana seni pertunjukan dalam dari pertunjukan maka yang harus
di perhatikan adalah suatu desain interior di dalam gedung. Pembagian atau program ruang dari
gedung kesenian Jakarta mulai dari depan, seperti: teras, lobi—yang merupakan ruangan
transisi antara bagian luar gedung dengan bagian dalam—kemudian ruang auditorium bagian
bawah, dan balkon, foyer sisi kanan dan kiri, toilet penonton yang berada di area foyer sisi
kanan dan kiri. Panggung, green room, ruang rias, ruang dekorasi, gudang, dan toilet pemain
di bagian belakang gedung.
Dimulai dari area teras, terdapat Pintu masuk utama kearah lobby. Desain dari pintu ini kurang
mendukung penampilan dari keseluruhan bangunan dimana pada arsitektur maupun interior
mencerminkan GKJ yang bergaya Neo-klasik.

Ceiling Lobby
Foyer area atau ruang tunggu penonton atau Pre-function area, adalah ruang yang
berfungsi sebagai ruang tunggu penonton (foyer kiri, foyer kanan), terletak disisi samping dari
ruang auditorium. Ruangan ini mempunyai langit-langit yang cukup tinggi (4,5 meter).
Ruangan ini difungsikan sebagai ruang tunggu maupun untuk tea break atau ruang untuk
mengudap pada saat istirahat diantara pertunjukan. Pemilihan lantai marmer sudah tepat
karena ruangan dipakai untuk menghidangkan makanan dan minuman terkadang air tertumpah
ke lantai, sehingga mudah untuk dibersihkan. Penggunaan warna putih, dan sepanjang dinding
diberi hiasan poster-poster pertunjukan yang telah dimainkan di GKJ.
Ciri ruangan yang memiliki langit-langit cukup tinggi, pemilihan lantai marmer dan
penggunaan warna putih yang dominan adalah ciri khas dari bangunan arsitektur kolonial
khususnya termasuk gaya “Indische Empire Style”.
Gambar.
Sumber: Rachmayanti,sri. 2010.desain interior gedung kesenian jakarta. Jakarta. Jurusan
Desain Interior, Fakultas Komunikasi dan Multimedia, Bina Nusantara University

Re-Function Area
Penyelesaian ceiling dengan menggunakan profil bergaya kolonial dari segi estetis
sudah baik, pemasangan lampu chandelier memberikan kesan mewah dan berfungsi sebagai
penerangan merata pada seluruh ruang foyer ini, ditambah dengan penerangan dari lampu
dinding yang berjajar sepanjang dinding. Penerangan pada siang hari memanfaatkan
pencahayaan alami dari jendela-jendela kaca yang berukuran besar yang ada dalam ruang
foyer.
Penggunaan ornamen lampu chandelier merupakan salah satu ciri dari kemegahan
arsitektur kolonial belanda yakni gaya “Indische Empire Style”.

Gambar.
Sumber: Rachmayanti,sri. 2010.desain interior gedung kesenian jakarta. Jakarta. Jurusan
Desain Interior, Fakultas Komunikasi dan Multimedia, Bina Nusantara University
Auditorium
Auditorium terbagi menjadi 2 bagian, yaitu area penonton dan area panggung.
Auditorium dengan kapasitas 395 kursi di bagian bawah, dan 77 kursi di bagian balkon.
Ruang auditorium mempunyai ketinggian 10 meter sampai dengan posisi ceiling
tertinggi, membuat ruangan ini berkesan megah dan luas. Lantai area penonton menggunakan
carpet berwarna merah. Dinding ruangan ini sebagian besar ditutup panil yang difungsikan
sebagai penyerap suara untuk efek akustik yang baik. Dinding tersebut secara dominan dicat
warna putih. Plafon berbentuk melengkung setengah lingkaran, telah dilengkapi dengan sistem
akustik untuk membantu penyerapan suara pada bagian lengkungan ceiling sisi belakang.
Area panggung, mempunyai ketinggian 80 sentimeter dari lantai penonton. Permukaan
lantai peninggalan lama menggunakan kayu, dan kini tetap menggunakan lantai dari bahan
kayu solid. Lantai jenis ini baik untuk jenis pertunjukan tari. Permukaan lantai panggung rata,
tidak ada area yang dapat diturun-naikkan dengan sistem hidrolik pada lantai seperti tuntutan
beberapa panggung untuk pentas opera atau drama modern, dan pertunjukan drama
kontemporer. Pihak pengelola GKJ menyediakan level kayu untuk panggung tambahan bila
diperlukan dalam pementasan. Level kayu yang tersedia masing-masing berukuran (180 x 90
x 20 sentimeter) sebanyak 25 buah. Ukuran panggung GKJ tinggi 4,5 meter, lebar 10,5 meter,
kedalaman 14,8 meter. Ukuran ini bila mengacu pada standard belum termasuk dalam
kelompok panggung untuk pementasan skala kecil (12 meter). Panggung GKJ mempunyai
layar utama berwarna merah, selain itu juga dilengkapi dengan beberapa lapis layar di bagian
dalam. Pilihan warna layar, yaitu hitam, biru, abu-abu, krem, merah dan kuning. Bar
penggantung layar ini juga dapat digunakan untuk menggantung gambar latar belakang bila
diperlukan dalam sebuah pertunjukan. Bagian atas panggung juga dilengkapi dengan 5 line
penggantung lampu, di setiap line disediakan masing-masing 14 titik lampu.
Tampak muka layar utama dari panggung GKJ, dapat dilihat bahwa proporsi dari
bidang layar utama yang bisa dibuka tutup, dengan bidang layar bagian atas yang tidak terbuka
(bidang lengkungan setengah lingkaran di bagian atas) terlihat lebih dominan pada bagian
lengkung tersebut. Secara pandangan visual terlihat kurang baik dan megah. Pada bidang
tersebut akan lebih baik dari segi penampilan bila ketinggian bidang.
Belakang layar dan service area, Gedung Kesenian Jakarta dilengkapi dengan
ruanganruangan pendukung panggung yang lokasinya berada di bagian belakang, seperti 2
ruang rias yang telah dilengkapi dengan TV monitor sehingga pemain dapat melihat apa yang
dipentaskan dari ruang rias. Ada pula ruang tunggu pemain sebelum pementasan yang juga
disebut green room, lokasinya tepat berada di belakang panggung. Ukuran ruang green room
ini 6,20 X 10,70 meter. Di bagian belakang dari green room terletak store room, yang
difungsikan sebagai ruang untuk mempersiapkan dekorasi panggung.
Gambar .
Sumber: Rachmayanti,sri. 2010.desain interior gedung kesenian jakarta. Jakarta. Jurusan
Desain Interior, Fakultas Komunikasi dan Multimedia, Bina Nusantara University

Bangunan ini merupakan bangunan baru yang dibuat pada saat konservasi di tahun
1984. Ruang ini dibatasi dengan pintu geser yang cukup besar sehingga dekorasi panggung
yang ditempatkan dibelakang dapat mudah dipindahkan ke panggung area. Pada bagian
belakang panggung, masih berdekatan dengan green room, juga disediakan toilet wanita dan
pria bagi para pemain dan crew yang bertugas, lokasi toilet berada pada sisi kanan dan kiri
panggung.
Estetika dan Suasana dakan ruangan auditorium ini didominasi oleh warna merah (yang
digunakan pada karpet, curtain dan kursi penonton). Hampir keseluruhan dinding ruang dalam
dicat warna putih. Sedangkan ornamen hias pada dinding balkon dan kolom di bagian pinggir
ruang auditorium diberi warna emas. Kedua warna tersebut merupakan perlambangan warna-
warna kerajaan, royalty, yang melambangkan kemewahan. Warna ruby gelap (merah gelap),
melambangkan luxury (kemewahan), dan memberi nuansa interior yang mahal. Warna ini
umumnya dipakai dengan dukungan material yang berkualitas baik, seperti pada carpet, pelapis
sofa dan kursi (upholstery). Warna tersebut, menurut Starmer (2005), menimbulkan efek
mewah, sangat berkualitas dan dari kalangan atas (plush, fine and jet set). Warna seperti
tersebut diatas memberi suasana klasikal, ruang yang berberkesan sopan dan elegan, serta
berdetail. Dari segi ceiling langit- langit yang mencapai 10 meter dan ornament serta warna
yang di tonjolkan merupakan ciri dari gaya arsitektur kolonial gaya “Indische Empire
Style”dengan menggambakan secara apik kemewahan dari arsitektur klasik.
Efek dari pemilihan warna dalam ruang, terutama aplikasi aksen pada finishing warna
emas di ruang auditorium terlihat memberi suasana mewah dan berkelas. Finishing dengan efek
emas atau prada ini dapat menggunakan lembaran prada yang berwarna emas yang lebih
berkilau, selain dengan finishing menggunakan cat kuas.
Gambar.
Sumber: Rachmayanti,sri. 2010.desain interior gedung kesenian jakarta. Jakarta. Jurusan
Desain Interior, Fakultas Komunikasi dan Multimedia, Bina Nusantara University

Detail ornamen dalam GKJ terlihat cukup konsisten, menggunakan tema yang sama.
Dalam teori kajian tentang bentuk estetik dalam karya seni oleh De Witt H. Parker, digunakan
asas tema dan asas variasi menurut tema, juga asas tata jenjang. Dimana tema yang diangkat
adalah Empire-Rococo detail pengulangan bentuk dan tema detail ornamen dapat dilihat pada
dinding sisi balkon dan pada ceiling. Tema dekorasi pada exterior bangunan, tetap dibawa ke
dalam dekorasi interior. Dalam gambar dibawah ini terlihat detail relief flora disertai bentuk
figur orang, begitupun detail ornamen di sisi balkon, menggunakan detail relief flora dan
bentuk figur seorang wanita.
Bentuk kepala kolom yang digunakan dalam ruang auditorium menggunakan beberapa
model. Setiap desain kepala kolom melambangkan arti tersendiri, penggunaan kolom model
Ionic pada exterior bangunan juga mengalami pengulangan pada bagian interior, terlihat pada
desain kepala kolom di balkon detail Ionic dikombinasikan dengan finishing warna emas.
Untuk kolom penyangga balkon, digunakan kepala kolom model korithia. Untuk kolom utama
pada tampak panggung digunakan kolom dengan model mahkota kolom komposit yang
merupakan perpaduan dari model korinthia dengan model Ionic. Model dari pilar dengan gaya
seperti ini banyak di terapkan di bangunan bersejarah di Indonesia, akibat dari campur tangan
penjajahan.

Gambar.
Sumber:Rachmayanti,sri. 2010. perjalanan sejarah gedung kesenian Jakarta. Jakarta. Jurusan
Desain Interior, Fakultas Komunikasi dan Multimedia, Bina Nusantara University

Model komposit tampak lebih megah dan mewah, model ini banyak dipakai untuk
bangunan istana, penguasa negara, dan pengembang budaya. Model komposit dalam kolom
bangunan yang besar tinggi menjuang ini merupakan salah satu dari ciri khas gaya “Indische
Empire Style”. Karpet di dalam ruang auditorium menggunakan warna merah mendukung asas
kesatuan utuh (the principle of organic unity) dari De Witt, dimana warna merah mermpunyai
hubungan timbal balik dari beberapa bagian dalam ruang seperti pada lantai, kursi, curtain,
sehingga mendukung keserasian dan kesesuaian tema Empire yang ingin dicapai. Pemakaian
lantai karpet juga baik untuk membantu penyerapan suara.

Gambar.
Sumber: Rachmayanti,sri. 2010. perjalanan sejarah gedung kesenian Jakarta. Jakarta. Jurusan
Desain Interior, Fakultas Komunikasi dan Multimedia, Bina Nusantara University

GKJ pula mendapat pengaruh percampuran kebudayaan antara Barat dan Timur,
Hadirnya orang Belanda di Jawa ( Indonesia ) yang kemudian menjadi penguasa telah banyak
mempengaruhi segi-segi kehidupan masyarakat pribumi, Percampuran gaya Eropa dan
Indonesia yang meliputi budaya menimbulkan budaya baru yang didukung keluarga keturunan
Eropa (Belanda) dan pribumi. Percampuran gaya hidup Belanda dengan gaya hidup pribumi
khususnya Jawa ini disebut sebagai gayahidup Indis. Hal ini tampak pada ornament pada
gedung kesenian Jakarta yaitu pada bentuk ornamen hias di pilar tampak muka bangunan,
terdapat kemiripan dengan ragam budaya dari bentuk motif hias pada desain tameng dari
Kalimantan. Sedangkan pada sisi sebelah Utara dan Selatan, penutup kaca bagian atas,
menggunakan motif ragam hias yang juga banyak kita temui di rumah-rumah bergaya Kolonial
Betawi.

Gambar.
Sumber: Rachmayanti,sri. 2010. perjalanan sejarah gedung kesenian Jakarta. Jakarta. Jurusan
Desain Interior, Fakultas Komunikasi dan Multimedia, Bina Nusantara University
Gedung Kesenian Jakarta dalam perjalanan perkembangannya telah mengalami
beberapa kali perubahan seturut periode masanya. Terlihat ada perubahan yang sangat jelas
terlihat, hilangnya patung pada bagian tengah arch sisi kiri dan kanan gedung. Selain perubahan
yang terlihat jelas pada tampak bangunan, di dapati beberapa perkembangan menarik dalam
beberapa bidang yakni
Pertama, dalam bidang lingkungan Biofisik atau Ekologi. Lingkungan di sekitar GKJ
mengalami perubahan yang sangat berbeda. Wilayah Pasar Baru kini telah menjadi tempat
yang ramai, lokasi GKJ tepat berada di sudut jalan, antara jalan Gedung Kesenian dan
bersebelahan dengan gedung Kantor Pos Jakarta. Beraneka ragam kendaraan melalui jalan
tersebut, menimbulkan kebisingan suara dan debu. Hal lain yang membuat lingkungan biofisik
berubah adalah perubahan iklim kota Jakarta yang semakin panas, karena telah terjadi
perubahan lingkungan lansekap dari pepohonan maupun taman, padatnya kendaraan yang
berada di sekitar GKJ. Ketiga hal tersebut diatas, suara/ kebisingan, debu dan panasnya iklim,
mempengaruhi perkembangan perubahan bentuk arsitektur dari GKJ. Sisi lobi samping kanan
dan kiri dari gedung telah diberi penutup kaca, untuk mengantisipasi pemakaian air conditioner
pada ruang lobby samping tersebut. Selain mengantisipasi kondisi iklim panas dan debu, juga
untuk mengurangi faktor kebisingan suara dari kendaraan yang berlalu lalang di kedua sisi
GKJ.
Kedua, perubahan dalam hal sosiokultural dari pengunjung GKJ. Di masa awal
berdirinya GKJ pertunjukkan yang dimainkan oleh tentara Inggris, di Schwouburg pada masa
pendudukan Inggris yang dipimpin oleh Raffles menduduki Batavia pada tahun 1811,
merupakan komunitas sandiwara dari dan oleh para serdadu Inggris. Pada masa penjajahan
Belanda setelah diresmikannya gedung ini di tanggal 7 Desember 1821 fungsinya berubah
menjadi gedung pertunjukan bergengsi. Digunakan oleh kalangan menengah ke atas.
Menampilkan kesenian yang dibawakan oleh seniman dari luar negeri (Rusia, Belanda dan
Paris). Jenis seni yang ditunjukan: musik, tari, opera. Sejak 1929 barulah digelar wayang orang,
sebanyak empat kali setahun. Menjelang runtuhnya pemerintahan Hindia Belanda, di gedung
Schouwburg tercatat adanya grup sandiwara pribumi (1941). Kini makna simbolik dari gedung
Kesenian ini adalah sebagai tempat untuk bersosialisasi pada kalangan menengah keatas, dari
kalangan berkelas dan berbudaya tinggi.
Ketiga, perubahan dalam hal teknologi, dalam mengantisipasi perkembangan dunia
seni pertunjukkan yang saat ini sering dipentaskan dalam GKJ, maka telah dilakukan beberapa
penambahan fasilitas pada ruang pertunjukkan dan panggung seperti: lighting system, sound
system, camera CCTV, Air Conditioning, telepon, fax, internet. Semua unsur teknologi baru
yang ditambahkan pada GKJ dirasakan perlu pada saat ini untuk mendukung pertunjukan yang
telah makin mengalami perkembangan dan pengaruh modernisasi. Penambahan teknologi
diatas juga untuk tujuan kenyamanan bagi penonton yang datang. AC semakin dirasakan
perlunya disebabkan temperatur udara/ iklim yang telah berbeda dari dulu hingga sekarang,
seperti berkurangnya pohon, bertambahnya kendaraan bermotor, sehingga suhu kota Jakarta
yang terasa lebih panas.
Gedung Kesenian Jakarta, sebagai gedung peninggalan bersejarah dan dilindungi/ harus
dilestarikan keberadaannya. Gedung dengan desain yang unik dan khas dari masa itu (Empire
Style), termasuk sebagai gedung yang terdaftar di no 57 dalam Daftar Bangunan Cagar Budaya
di DKI Jakarta, klasifikasi golongan: A, sehingga sesuai dengan ketentuan peraturan bangunan
cagar budaya. Gedung Kesenian Jakarta merupakan saksi sejarah yang telah ikut berperan
penting dalam dunia kesenian di Tanah Air, sejak dari awal didirikannya sampai sekarang
masih tetap dapat berfungsi mengikuti perkembangan jaman, masih memenuhi 3 asas Trinitas
teori Vitruvius, yaitu dari segi fungsi, kekuatan dan keindahan masih tetap dapat kita rasakan
sampai saat ini.

Daftar pustaka

Handinoto. 1996. Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Surabaya 1870-
1940. Diterbitkan atas Kerja Sama Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
Universitas Kristen Petra Surabaya dan Penerbit Andi. Yogyakarta: Andi Offset

Rachmayanti,sri. 2010. perjalanan sejarah gedung kesenian Jakarta. Jakarta. Jurusan Desain
Interior, Fakultas Komunikasi dan Multimedia, Bina Nusantara University
Rachmayanti,sri. 2010.desain interior gedung kesenian jakarta. Jakarta. Jurusan Desain
Interior, Fakultas Komunikasi dan Multimedia, Bina Nusantara University
http://gandamayu.blogspot.com diakses tanggal 24 november 2018 pukul 12:35 wita

Heuken, S. J. A. (2007). Historical sites of Jakarta. Jakarta: Cipta Loka Caraka.


Republik Indonesia. (1999). Undang-undang Museum dan Cagar Budaya. Jakarta: Lembar
Negara No. 27.

Starmer, A. (2005). The color scheme bible: Inpirational palletes for the interior designer.
Singapore: Page One.

Anda mungkin juga menyukai