Anda di halaman 1dari 23

BENTENG HERITAGE

1. Museum
Museum Benteng merupakan restorasi dari sebuah bangunan tionghoa yang sudah
berdiri sejak tahun 1820 yang berlokasi di Jalan Cilame nomor 20 Pasar Lama
Tangerang, museum ini didirikan pada tanggal 11 November 2011 oleh bapak Udaya
Halim karena kecintaannya terhadap budaya peranakan tionghoa, museum ini sekarang
sudah didaftarkan oleh beliau kepada pihak UNESCO agar terdaftar sebagai museum
yang diakui dunia, karena persyatannya harus terdapat empat bangunan dalam satu
wilayah, oleh karena itu bapak Udaya Halim selain memasukan Masjid Kali Pasir, beliau
juga memasukan Museum Benteng Heritage, Vihara/Klenteng Bon Tek Bio, dan Rumah
Burung/Roemboer, pihak UNESCO sangat mengapresiasi apa yang telah dilakukan oleh
bapak Udaya Halim tersebut, tetapi sayang sampai sekarang belum ada keputusan dari
pihak UNESCO.
Museum ini terdapat 3 (Tiga) bangunan namun hanya 2 (dua) bangunan yang
sudah menjadi milik museum, 1 (satu) bangunan lainnya masih milik orang lain, sebelum
di restorasi bangunan museum ini dijadikan gudang tempat penyimpanan ikan asin dan
kelonton, meskipun terdapat 3 (tiga) bangunan tetapi semua bangunan menyatu dengan
tampak depan melebar menghadap ke arah jalan, karena menurut penjelasan bapak Udaya
Halim semua bangunan tionghoa berjumlah 1,3,5 tetapi tidak ada angka 4, begitu juga
dengan dengan jumlah tangga pada setiap bangunan tionghoa, beliau juga menjelaskan
bagaimana filosofi orang-orang tionghoa bahwa jikalau membuat sebuah rumah harus
bisa bertahan sampai 7 (Tujuh) turunan, oleh karena hal tersebut mereka berpikir dengan
sangat keras, agar bangunan rumah yang mereka tempati dapat bertahan samapi tujuh
turunan, baik itu dari segi arsitektural, konstruksi, dan lain sebagainya. Pertama kali
masuk teras museum sudah langsung terasa nuansa bangunan etnis tionghoa dengan
terdapat patung singa yang mengapit pintu museum, kemudian masuk ke bagian depan
bangunan museum langsung terlihat altar keluarga dengan diapit pintu di sebelah kanan
dan kirinya, menurut informasi dari bapak Udaya Halim bahwa orang tionghoa
mengaplikasikan teori simetris juga di dalam membuat bangunan, cukup banyak
ornamen-ornamen klasik tionghoa yang dipajang di ruangan ini.
(Ruang Depan Museum Heritage)

Selanjutnya kami masuk ke ruang tengah, lantai di ruang ini beralaskan ubin
terakota berwarna merah, bagian belakang rumah yang langsung berhubungan dengan
tetangga ditempatkan sebuah bukaan yang cukup besar sebagai sirkulasi udara dan
cahaya, di ruang tengah terdapat meja dan kursi kayu tempat menjamu tamu atau
wisatawan yang mengunjungi tempat tersebut, selain itu ada sebuah moon gate bekas
pertunjukan opera berwarna merah dan emas yang sudah berusia sekitar 200 tahun, diatas
moon gate dipasang lampion yang menambah cantik benda tersebut ditambah dengan
cahaya matahari yang masuk dari sela-sela plafon menambah unsur estetikanya, pada
dinding ruang ini dipajang kaligrafi-kaligrafi kanji tionghoa dan pada sudut ruangan
terlihat sebuah piano klasik yang menambah anggun ruangan tersebut.

(Ruang Tengah/Photo diambil dari ruang belakang)


(Ruang Belakang yang dahulu digunakan sebagai dapur dan WC)

Bapak Udaya Halim juga menjelaskan bagaimana kesulitan dalam menjaga


bangunan-bangunan tersebut, beliau menjelaskan apa saja yang dapat merusak kelestarian
sebuah bangunan salah satunya adalah pohon Ficus/Beringin, karena pohon ini memiliki
akar yang dapat menjalar kedalam pondasi rumah, yang akan mengakibatkan pondasi
tersebut retak dan rusak. Untuk itu beliau selalu mengawasi semua bangunan khususnya
yang termasuk ke dalam Benteng Heritage agar bersih dari segala pohon yang dapat
mengakibatkan kerusakan.
Kemudian beliau juga menjelaskan tahapan restorasi bangunan tua yang harus
dilakukan, diantaranya jika kita membeli bangunan tua yang akan direstorasi hendaknya
kita membeli dengan “sampah” bangunan yang terdapat didalamnya, karena beliau
menjelaskan, bisa saja di dalam tumpukan “sampah” tersebut terdapat ornamen-ornamen
yang menjadi bagian dari bangunan tersebut, karena jikalau salah satu elemen tidak ada
misalnya beliau mencontohkan gagang pintu, maka kita harus mencarinya dengan bahan
yang sama, atau minimal mendekati bahan tersebut. Kemudian beliau juga menjelaskan
kenapa di museum tersebut tidak dipasang Air Conditioner (AC), dikarenakan karena
banyaknya meterial kayu pada bangunan tersebut yang akan mengakibatkan kekeringan
jikalau dipasang Air Conditioner (AC), dan untuk menjaga Stabilitas dimensi kayu oleh
karena itu bapak Udaya Halim membuat bukaan yang besar untuk memasukan sirkulasi
alami masuk ke dalam bangunan museum tersebut.
(Plafon dari kayu)

(Bukaan Pintu yang besar sebagai sirkulasi udara dan cahaya)

Selain itu beliau juga menjaga agar tembok dinding bangunan tidak lembab
dengan menggunakan cat organik yang bebas dari thinner dan benda-benda kimia
berbahaya lainnya, karena jenis cat ini ramah lingkungan dan membuat dinding bisa
“bernafas”. Karna beliau membeli bangunan tersebut dari orang lain, maka sudah
terdapat beberapa perubahan yang sudah dilakukan oleh pemilik sebelumnya, beliau pak
Udaya Halim harus membongkar lantai dan mengembalikannya menjadi lantai semula
yaitu keramik terakota yang beliau dapatkan dari bekas mercusuar di banten yang sudah
dibongkar karna sayang tidak digunakan, oleh karena itu beliau beli dan kemudian
memasangnya di museum Benteng Heritage, ia juga menekankan Inventarisasi semua
sarana maupun prasarana baik itu material asli maupun material tambahan dalam bentuk
catatan maupun photo.

(Dinding menggunakan cata alami)

Kemudian setelah mendengarkan penjelasan pak Udaya Halim di lantai satu, kami
menuju ke lantai 2 (dua), tangga yang menghubungkan kedua lantai ini terbuat dari kayu
yang permukaannya dihaluskan dengan finishing pernis membuat tangga tersebut terlihat
futuristik, dengan hipotenusa yang terjal sekitar 45 derajat, menjadikan sebuah
pertanyaan, dan menurut pemandu bahwa hal itu disesuaikan dengan feng shui rumah,
lantai 2 (dua) ini berbahan kayu berbeda dengan lantai satu yang berbahan keramik
terakota.

(Tangga kayu yang


sebelum naik ke lantai dua kami diharuskan untuk melepas sepatu dikarenakan
untuk menjaga kebersihan museum, setelah semuanya naik kemudian kami dipersilahkan
duduk selanjutnya pemandu kami memutarkan sebuah film tentang sejarah pabrik kecap
di tangerang yang awalnya kata kecap tersebut berasal dari kata Kwe Tjap yang artinya
asing dan gurih, , terdapat 2 (dua) pabrik kecap yang masih beroperasi hingga saat ini
yaitu pabrik kecap Teng Giok Seng cap Istana yang berdiri sekitar tahun 1882 dan pabrik
kecap Siong Hin (SH) yang berdiri tahun 1920, pada film tersebut diperlihatkan
bagaimana tahapan membuat kecap mulai dari memilih bahan sampai meracik kecap
secara manual menggunakan tungku tradisional.

(Penjelasan Pabrik Kecap Benteng Tangerang)


Setelah itu kami diperlihatkan cara atau teknik membuka pintu rumah orang
tionghoa, menurut pemandu kami tiap-tiap pintu rumah orang tionghoa memiliki kunci
pintu rumah yang hanya diketahui oleh pemilik rumah tersebut cara membukanya, dan
kami perhatikan semua material kayu yang berada di lantai ini masih sangat kokoh semua
padahal sudah berusia ratusan tahun, dan semua masih berfungsi dengan normal.
(Pintu orang tionghoa)

Di ruangan ini banyak sekali peninggalan koleksi sejarah kehidupan etnis


tionghoa zaman dahulu, mulai dari kisah pertama kali orang tionghoa datang ke bumi
Indonesia yang dibuatkan dalam sebuah poster Poster panglima perang Cheng Ho yang
merupakan seorang muslim, menurut penuturan pak Udaya Halim merupakan orang
tionghoa pertama yang ke Indonesia, poster tersebut di tempel di salah satu bagian
dinding ruangan yang berada di lantai tersebut, sampai ke alat-alat rumah tangga.
(Poster Panglima Cheng-Ho)

Selanjutnya kami diajak ke ruang sebelahnya oleh pemandu kami untuk melihat
film dokumenter tentang pernikahan orang tionghoa yang dilakukan dengan akulturasi
antara budaya tionghoa dengan budaya betawi dan sunda/jawa, dijelaskan oleh beliau
bahwa pernikahan orang tioghoa dilakukan selama tiga hari, dan kedua mempelai tidak
pernah bertemu sebelumnya, kemudian ketika mereka bertemu, mempelai wanita
memakai kertas merah berbentuk warna V dikeningnya, jika kertas tersebut bisa nempel
di keningnya maka dipastikan wanita tersebut masih perawan, begitulah kepercayaan
orang tionghoa mengenai pernikahan, di ruangan tersebut juga terdapat peralatan rumah
tangga.
(Peralatan Pernikahan)

Diruangan tersebut terdapat juga meja untuk bermain mahyong, domino dan lain
sebagainya, pak Roby sebagai pemandu kami juga menjelaskan bagaimana orang
tionghoa zaman dahulu bisa berhari-hari bermain mahyong dikarenakan disamping meja
tersebut terdapat tempat untuk menyimpan makanan dan minuman.

(Meja Domino)

kemudian kami diperlihatkan juga berbagai koleksi jenis timbangan yang dipakai
untuk menimbang opium, pak roby juga sedikit menjelaskan bagaimana candu (opium)
telah menjadikan perang antara tiongkok dengan inggris pada tahun 1800-an.
(Timbangan)

Setelah kami berkeliling di lantai 2 (dua) selanjutnya kami dipersilahkan untuk


memasuki ruang koleksi pribadi dari pak Udaya Halim, ruang tersebut masih berada di
lantai 2 (dua), di ruang tersebut banyak sekali koleksi pribadi mulai dari kamera pertama
yang pertama kali muncul di dunia dan menurut keterangan beliau bahwa kamera tersebut
hanya tinggal 3 (tiga) buah lagi di dunia, dan bapak Udaya Halim memiliki salah satunya,
sampai kamera canggih buatan zaman sekarang, dan kemera-kamera tersebut terjejer
rapih dalam sebuah rak, kemudian kami diajarkan bagaimana cara menghasilkan gambar
yang baik dengan menggunakan sebuah kamera.

(Kamera pertama di dunia dipegang pak Udaya Halim)

Benteng Heritage merupakan museum yang mempunyai prospek yang cerah bagi
perkembangan pariwisata, khususnya di Kota Tangerang, karena museum ini cukup
komplit untuk mengenali kebudayaa tionghoa di Indonesia khususnya di Kota Tangerang,
karena presiden Soekarno pernah berkata “Jangan sekali-kali melupakan sejarah”, karena
sejarah tersebut dapat menjadi cermin bagaimana selanjutnya kita harus menyongsong
masa depan yang lebih baik lagi.

2. Pasar Lama Tangerang


Pasar Lama Tangerang berada di depan Museum Benteng, pasar tersebut mulai
buka dari pagi hari sampai tengah sampai menjelang tengah hari sebelum Adzan Dzuhur,
di pasar tersebut bermacam-macam kebutuhan masyarakat diperjual belikan mulai dari
sayu-mayur, buah-buahan sampai bahan sandang pangan dan kebutuhan keluarga
lainnya, terdapat juga toko-toko kepunyaan orang tionghoa yang menjual kebutuhan
untuk sarana ibadah mereka, karena pasar ini satu wilayah juga dengan klenteng Bon Tek
Bio, yang biasanya ramai dikunjungi oleh para peziarah maupun wisatawan pada hari
Ahad.

(Pasar Lama Tangerang)

Pasar ini bisa dikatakan kurang tertata dengan baik karena semua produk bahan
keringan seperti kain, toko kelontong, dll digabung dalam satu wilaya dengan bahan
basahan seperti penjula ikan dan sayuran, andaikan ada keinginan dari pemerintah
setempat untuk menata pasar ini, mungkin bisa dijadikan alternatif destinasi wisata yang
lebih baik bagi banyak kalangan, terlebih terdapat warisan tempat dan budaya di sekitar
pasar tersebut.
(Kondisi dalam pasar)

Pasar ini bisa dikatakan sebagai contoh dari kerukunan umat bergama karena
selain terdapat Masjid Kali Pasir di wilayah ini, terdapat juga klenteng Bon Tek Bio,
termasuk percampuran pedagang di pasar ini antara orang melayu dengan orang tionghoa
bercampur dengan kesatuan dan kerukunan yang sangat kuat, karena terdapat rasa saling
menghargai dan menghormati sesama manusia makhluk ciptaan Allah SWT.
Pasar Lama Tangerang sudah berada sejak zaman dahulu kala, Pasar Lama
Tangerang adalah pasar tertua di Tangerang yang konon menjadi cikal bakal Kota
Tangerang, pasar ini bisa dijadikan destinasi wisata alternatif bagi para wisatawan baik
lokal maupun mancanegara, karena selain bisa berwisata kuliner di pasar ini, kita juga
bisa belajar mengenai sejarah peninggalan kebudayaan dan bangunan yang banyak
terdapat di sekitar pasar ini seperti Masjid Kali Pasir, Museum Benteng, Rumah Burung,
dan lain sebagainya.

3. Rumah Burung (Roemboer)


“Roemah Boeroeng” Tangga Ronggeng yang berada di tepi sungai Cisadane yang
diantaranya terdapat jalan Kali Pasir menjadi tempat ke 4 (empat) yang didaftarkan
sebagai syarat diterima sebagai warisan budaya dunia yang diakui oleh UNESCO, begitu
penurutan dari pak Robby sebagai Pemandu kami pada waktu itu, tetapi sebelumnya
kami sempat mengunjungi Tangga Jamban yang berada di pinggir sungai Cisadane
menjadi tempat mandi dan cuci kakus pada zaman dahulu karena pada waktu itu tidak
boleh terdapat jamban (toilet) di dalam rumah, begitu penuturan dari pak Roby sebagai
Pemandu kami, yang konon tempat ini juga tempat singgah pertama kapal tionghoa
karena dahulunya juga digunakan sebagai dermaga.
(Tangga Jamban)

Selanjutnya kami mengunjungi Rumah Burung, walaupun tempat ini sudah ada
sejak zaman dahulu kala, tetapi tempat ini sangat bersih dan di rawat dengan sangat baik
terlihat dari kekokohan bangunan tersebut, menurut penuturan Pemandu kami kenapa
dimakan rumah burung karena dahulu gedung ini digunakan sebagai sarana burung walet.

(Rumah Burung)
Rumah ini memiliki tiga lantai dimana kesan oriental sangat terasa dengan banyak
sekali ornamen-ornamen tionghoa pada tiap-tiap lantainya, pada lantai pertama terdapat
meja bundar dan 2 (dua) buah kursi panjang dari marmer yang didatangkan dari Lasem
begitu penuturan dari pak Roby sebagai Pemandu kami, kemudian banyak photo
peranakan tionghoa zaman dahulu yang ditempel pada dinding lantai tersebut.

(Meja Bundar)

(Kursi Marmer)

Kemudian pada lantai 2 (dua) disini dijadikan sebagi tempat penyimpanan


berbagai koleksi barang-barang terdahulu seperti radio, pemutar musik, televisi dan lain
sebagainya, selain itu disini juga terdapat sebuah meja panjang yang dijadikan sebagai
tempat untuk latihan kaligrafi hurup kanji.
(Salah satu koleksi dilantai 2)

Selanjutnya pada lantai 3 (tiga), di tempat ini dijadikan sebagai tempat makan
bagi para tamu yang biasanya dijadikan sebagai gala Dinner yang bisa menampung
sampai seratus orang, begitu penuturan dari pak Roby.

(Ruang makan/Lantai 3)

Sebetulnya rumah burung ini bisa dijadikan destinasi wisata yang cukup
menjanjikan jikalau pemerintah setempat mampu mempromosikan rumah ini secara
maksimal, karena selain lokasinya yang mudah dijangkau dengan kendaraan pribadi,
tempat ini juga cukup mudah dijangkau dengan kendaraan umum.
Rumah Burung ini menjadi salah satu tempat yang sudah didaftarkan ke
UNESCO sebagai warisan cagar budaya dan bangunan terutama bangunan peranakan
tionghoa yang dapat menjadi destinasi wisata yang cukup menjanjikan dan bisa
mendatangkan keuntungan bagi semua pihak baik swasta maupun pemerintah, asalkan
mampu mempromosikan tempat ini secara maksimal, diyakini akan mampu
mendatangkan banyak turis baik lokal maupun mancanegara.

4. Klenteng Bon Tek Bio


Klenteng ini adalah klenteng tertua yang berada di Indonesia karena sudah berada
sekitar tahun 1684, klenteng ini berada tidak jauh dari museum Benteng Heritage dan
masih dalam satu kawasan dengan Pasar Lama Tangerang, klenteng ini sangat ramai
dikunjungi khususnya di hari minggu banyak sekali orang berlalu lalang di klenteng ini
baik itu wisatawan maupun peziarah yang akan melakukan ibadah di klenteng ini, ada
juga para peneliti selalu menyempatkan pergi ke tempat ini untuk melakukan penelitian
baik itu dari segi arsitektural maupun konstruksinya.

(Klenteng Bon Tek Bio)

Walaupun sudah lama berdiri tetapi klenteng ini masih kokoh tidak hanya
berfungsi untuk menciptakan kenyamanan bagi para penggunanya, akan tetapi juga
sebagai seni yang dapat memanjakan mata kita dengan unsur-unsur estetikanya, mulai
dari bagian luar sampai bagian dalamnya banyak sekali unsur estetika yang sedap
dipandang mata bagi para pecinta seni, dan bagi para peneliti konstuksi dari klenteng ini
dapat dijadikan sebagai pedoman bagaimana membuat konstruksi yang kuat, kokoh dan
tahan lama. Pada umumnya akan terdapat Hiolo dan Altar di setiap klenteng, begitu juga
di klenteng Boen Tek Bio terdapat sebuah Altar dan Hiolo atau tempat menyimpan hio
dari kuningan yang konon dibawa langsung dari cina pada tahun 1800-an.
(Hiolo tahun 1800-an)

Di klenteng ini dan umumnya klenteng dimanapun berada ornamen kayu sangat
mendominasi di setiap sudut ruangan terutama pada bagian dalam bangunan, kayu-kayu
pada klenteng ini diperkirakan dibuat pada abad ke 16, klenteng ini awalnya sangat
sederhana, tetapi dipugar secara besar-besaran sekitar pada tahun 1800-an dengan
mendatangkan langsung para ahli dari China, kemudian terdapat penambahan berupa
halaman serta sayap kiri dan kanan dari bangunan sebelumnya.

(Penambahan Bangunan di sisi kanan dan kiri)

Denah bangunan klenteng ini berbentuk persegi panjang dan konstruksinya dari
bahan kayu, klenteng ini menghadap ke arah selatan dengan terdapat 2 (dua) buah pintu
gerbang untuk para pengunjung ataupun peziarah yang hendak melakukan ibadah di
tempat ini, klenteng ini juga dibangun ruang tambahan dari ruang utama, yang dijadikan
sebagai tempat belajar agama, di klenteng ini juga terdapat beberapa pintu bulat yang
sangat futuristik salah satunya yang menghubungkan altar utama dan ruang lainnya yang
dinamakan gerbang kebenaran.
Klenteng Bon Tek Bio adalah warisan budaya yang sudah termasuk ke dalam
Museum Heritage yang sudah didaftarkan ke UNESCO, untuk itu ini sudah menjadi
pekerjaan rumah bagi kita semua khususnya pemerintah Kota Tangerang agar cagar
budaya ini diakui oleh dunia lewat badan dunia yaitu UNESCO, tidak ada yang tidak
mungkin asal kita mampu bekerja sama dengan baik antara semua pihak untuk
kepentingan kita bersama.

5. Masjid Kalipasir
Masjid Kalipasir merupakan masjid peninggalan kerajaan Padjajaran, masjid ini
terletak tidak jauh dari klenteng Boen Tek Bio, masjid ini sudah berdiri sejak tahun 1500-
an, masjid ini terletak tidak jauh dari sungai Cisadane, tepatnya sebelah timur dari
bantaran sungai tersebut, masjid ini berada di area pemukiman orang tionghoa,
pembangunan masjid ini juga dibangun oleh masyarakat muslim sekitar dibantu oleh
orang-orang tionghoa yang mencerminkan kerukunan antar umat beragama dapat terjalin
dengan baik pada masa itu. Dahulu tempat ini dijadikan sebagai tempat untuk sholat
jumat dengan menyematkan nama Masjid Jami’ Kalipasir, akan tetapi sekarang sudah
tidak dipergunakan untuk sholat jumat, akan tetapi untuk sholat fardhu 5 (lima) waktu.

(Masjid Kalipasir)

Pada awalnya bentuk bangunan masjid ini dibangun dengan sangat sederhana, yang
mana konsrtuksinya terbuat dari pohon kelapa dan atapnya pun dari daun kelapa itu
sendiri, kepengurusan masjid ini dilakukan secara turun-temurun karena pada awalnya
pembangunan masjid ini dilakukan oleh pangeran Kahuripan dari Bogor, untuk itu
kepengurusan selanjutnya dilanjutkan oleh raden-raden dari keturunan pangeran tersebut,
pada awalnya masjid ini tidak memiliki menara, akan tetapi pada tahun 1904 dibangunlah
sebuah menara di samping masjid ini, yang menarik dari masjid ini adanya akulturasi
antara budaya islam dan tionghoa, tetapi masjid ini dalam pembangunannya tidak ada
campur tangan arsitek ataupun ahli bangunan dari arab maupun tionghoa sama sekali, ini
membuktikan kepintaran dan kedalaman ilmu agama orang-orang islam kita terdahulu,
mereka tidak canggung untuk menerapkan kebudayaan dari mana saja asal tidak
mengusik ketauhidan kita kepada Allah SWT, masjid ini telah beberapa kali direnovasi
tetapi 4 (empat) pilar tiang penyangga di sebelah dalam yang tebuat dari kayu dan tampak
mulai keropos sehingga harus ditambah dengan besi disekeliling kayu tersebut agar
bangunan tetap bisa disangga dengan baik, karena untuk kepentingan cagar budaya untuk
itu ornamen ini tetap dipertahankan sebagaimana aslinya.

(Tiang Penyangga)
Ornamen lain yang dipertahankan adalah kubah yang berbentuk cungkup yang
diatasnya diletakan sebuah ornamen yang berbentuk ornamen tionghoa, untuk itu kubah
ini tetap dipertahankan dalam keadaan semula seperti saat awal pembangunan masjid.

(Kubah Cungkup)
selain itu terdapat menara di samping masjid ini yang jika dilihat sepintas mirip
dengan sebuah pagoda china.
(Menara Masjid)

Bangunan masjid ini berbentuk empat persegi panjang, kemudian mihrab yang
berada di masjid ini berbentuk miring karena menyesuaikan dengan arah kiblat, denga
posisi dengan posisi seperti itu otomatis akan menjadikan shaft (barisan) sholat akan
ikutan miring dengan posisi bangunan, ini dikarenakan pada awal pembangunan jika
posisi bangunan akan disesuaikan dengan arah kiblat, maka akan membongkar bangunan-
bangunan disekitarnya, hikmah yang bisa kita petik dari kondisi ini adalah begitu
toleransinya umat islam pada masa tersebut, sehingga mengalah demi terjalin kerukunan
umat beragama asalkan tidak mengganggu ketauhidan kita kepada Allah SWT. Pada
zaman dahulu masjid ini selain sebagai tempat ibadah tetapi sebagai pusat perlawanan
kaum pribumi islam melawan penjajah Belanda maupun Jepang.
(Mihrab dan Mimbar yang miring)

Bangunan masjid ini sebenarnya masih sangat kokoh dan layak untuk dikunjungi
baik oleh para peziarah maupun oleh peneliti maupun para arkeolog, tetapi di dalam
bangunan masjid kurang bersih dan area sekitar masjid kurang tertata dengan rapih,
sebagaimana sebuah tempat yang akan dipromosikan sebagai tempat tujuan wisata
Masjid ini sangat menjanjikan untuk dijadikan sebagai destinasi wisata religi bagi
siapapun juga khususnya yang beragama islam, karena kita dapat mengetahui asal mula
perkembangan masjid di kota tangerang khususnya yang dapat menambah wawasan
khasanah pengetahuan kita tentang masjid yang merupakan rumah Allah SWT, akan
tetapi harus ada keseriusan dari pemerintah setempat untuk merevitalisasi masjid tersebut
apabilagi ditambah dengan revitalisasi sungai Cisadane yang berada disekitar masjid,
InsyaAllah akan banyak orang yang akan berkunjung kesana karena kesan yang berbeda
dengan masjid-masjid pada umumnya terutama setalah kita melihat masjid tersebut dan
mendengar sejarah bagaimana masjid tersebut dibangun serta bagaimana masjid tersebut
dijadikan sebagai tempat pejuang islam berkumpul untuk melawan penjajah pada masa
itu.

6. Pabrik Kecap
Pabrik Kecap Benteng letaknya berada tidak jauh di bantaran sungai Cisadane,
pabriknya masih berada di Pasar Lama Tangerang, dinamakan kecap benteng karena
letaknya dekat dengan benteng belanda zaman dahulu.
(Pabrik Kecap Benteng Teng Giok Seng)

Pabrik Kecap Benteng ini didirikan pada tahun 1882, dan sampai saat ini pabrik
kecap benteng ini merupakan pabrik kecap tertua di Indonesia yang masih beroperasi,
Pabrik Kecap Benteng atau lebih dikenal Teng Giok Seng masih menjalankan usaha
rumahan dengan menempati bangunan yang dibangun sejak tahun 1882, bangunan pabrik
kecap ini tidak terlalu luas, yang lebih mirip rumah daripada pabrik dan selain pabrik
diseberangnya terdapat sebuah bangunan yang dijadikan sebagai kantor administrasi dan
ruang penyimpanan stock kecap. Pabrik ini dikelola secara turun-temurun dan sekarang
sudah generasi kelima yang mengelola pabrik tersebut, di pabrik ini sekarang hanya
terdapat enam tungku yang semuanya diolah secara manual, oleh karenanya pabrik ini
Cuma hanya dapat memproduksi kecap 200-300 botol perhari dan dipasarkan disekitar
tangerang dan jakarta, tetapi kalau soal rasa, dijamin lebih enak dari kecap pabrikan
karena kecap ini diolah dengan tangan-tangan terampil yang sudah dijamin keahliannya
karena resep turun temurun makanya kualitas rasa pasti terjamin, karena pembuatannya
sangat rumit jadi tidak bisa ditiru oleh siapapun kecuali oleh keturunannya, oleh karena
itu kecap benteng menjadi primadona bagi para koki karena lebih legit dan terasa lebih
kental
(Pengolahan Kecap Benteng)

Bangunan Pabrik Kecap Benteng ini sebenarnya bisa dijadikan destinasi wisata
bagi para pecinta seni dan budaya juga para arsitektur karena banyak yang bisa dipelajari
dari bangunan pabrik/rumah ini yang dapat dijadikan referensi untuk memahami
bagaimana sebuah bangunan dapat berdiri kokoh hingga ratusan tahun, tentunya ini
membutuhkan perencanaan dan pembuatan bangunan serta pemilihan material secara
matang, serta didukung tenaga terampil yang akan menjadikan bangunan tersebut selain
kokoh sarat akan makna yang terkandung disetiap sudut ruangan.

Kesimpulan :
Selama seharian di Benteng Heritage kami cukup puas dengan pengalaman dan
ilmu yang didapatkan, dan tidak bisa dipungkiri bahwa di negara kita Indonesia banyak
sekali potensi wisata yang dapat dikembangkan lebih jauh seperti Benteng Heritage,
dimana ia telah mampu untuk mengembangkan sektor pariwisata khususnya tentang
budaya tionghoa yang berada di Kota Tangerang, pelajaran yang bisa dipetik diantaranya
adalah tentang perlunya kesadaran semua pihak untuk melestarikan kebudayaan kita
semua yang bisa dijadikan potensi pariwisata yang dapa mendatangkan manfaat baik itu
ilmu pengetahuan maupun wisatawan yang berkunjung ke tempat tersebut.

Anda mungkin juga menyukai