Anda di halaman 1dari 2

Ada 3 elemen yang tidak dapat dilepaskan jika membicarakan arsitektur.

Pertama
adalah tipe, kedua adalah fungsi, dan ketiga adalah Tektonika. Hal ini terlihat korelatif
dengan teori vitruvius mengenai venusitas (keindahan / bentuk ideal), utilitas
(kegunaan / fungsi) dan firmitas (ketahanan atau ketangguhan). Tipe kerap dikaitkan
dengan 2 yang lain, pertama dengan fungsi melalui tipologi fungsional dan kedua
dengan tektonika melalui tipologi berdasarkan sistem struktural.
Dimitriy Porphyrios mengatakan bahwa tujuan arsitektur adalah untuk membangun
suatu wacana tektonika yang selain menjawab pragmatika penyediaan ruangan bagi
manusia juga mempresentasikan tektonika sebagai mitos. Di sisi lain, Kenneth
Frampton menyarankan bahwa selayaknya kita kembali kepada unit struktural
sebagai intisari Arsitektur yang tak tereduksi lagi. Baginya, unit struktural mengacu
pada hubungan antar komponen tektonika yaitu sambungan, yang merupakan simpul
di mana dunia menjadi ada.
Menurut Kenneth Frampton, tektonika berawal dari kata Yunani tekton yang
mempunyai arti tukang kayu atau bangunan. Dari istilah yang pada konotasinya
wadah kemudian bergeser yang lebih umum yaitu konstruksi, cara membangun
nantinya menjadi salah satu aspek dalam puisi. Sampai pada pemahaman sekarang
yakni seni sambungan, aspek puisi dari konstruksi. Ini sebuah evolusi etimologis dari
sifatnya ontologis ke representatif. Juga merupakan reduksi dari yang dimaksudkan,
yaitu bukan sekedar komponen struktural semata melainkan juga dalam kaitannya
dengan keberadaan formal keseutuhan dari gabungan berbagai komponen struktural
tersebut. Dalam esainya Frampton mengungkapkan bahwa ada 3 kondisi yang terkait
dengan tektonika :
1. Objek teknologi yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan langsung. Objek
Tektonik, juga mempunyai makna, yang pertama elemen konstruksi yang
dibentuk untuk menekankan peran statika atau status kultur.
2. Objek skenografis yang digunakan untuk memberikan sesuatu yang tidak ada
atau tersembunyi
3. Objek tektonika yang muncul dalam 2 tipe, yaitu mode ontologis ( Semper
menyebutnya sebagai struktural teknis) dan tipe representasional ( Semper
menyebutnya struktural simbolis )
Lebih jauh dijelaskan bahwa Semper menggolongkan bangunan menjadi 2 cara
berdasarkan penangan bahan, tectonic of the frame (penggabungan berbagai ukuran
rangka), dan stereotomic of compressive mass (menumpuk menyusun satuan-satuan
jenis). Bahan untuk cara pertama biasanya kayu, bambu atau anyaman, sedangkan
yang kedua biasanya batu, bata, tanah yang dipadatkan lalu jadi beton.
Tektonik frame bergerak menjulang ke atas ringan, sementara stereotomic base
menghunjam menancap masuk ke dalam bawah berat, antara langit dan bumi, antara
terang dan gelap, antara ringan dan berat, antara immaterialitas dan materialitas.
Tektonika rangka merupakan perwujudan balok – balok dengan berbagai panjang
digabung – gabungkan untuk membentuk suatu medan keruangan dan stereotomika
massa padat yang ditumpuk – tumpuk membentuk ruang. Hal ini secara ontologis
akan bermakna bahwa struktur rangka cenderung mengarah pada dematerialisasi
massa dan bersifat ringan. Di sisi lain, bentukan massa akan bersifat lembam dan
tertanam pada tanah.
Dalam arsitektur kita bisa melihat perwujudannya dalam tradisi budaya antara budaya
tektonik rangka ringan dengan budaya pejal berat atau perpaduan keduanya dengan
derajat pengungkapan yang bervariasi. Semper menekankan bahwa sambungan juga
merupakan peralihan sintaks tatkala seseorang melintasi dari massa stereotomik ke
rangka tektonik dan bahwa peralihan inilah yang merupakan intisati arsiktektur.
Sementara Bottchier membedakan antara kernform yang merupakan bentuk
struktural yang esensial dan kunstfor yang merupakan pengkayaan.
Fenomena arsitektur dapat dilihat sebagai produk yang dihasilkan dari hubungan
berkaitan di antara segitiga manusia, alam dan teknologi. Sejauh ini, peradaban
manusia berangkat dari keadaan alami, teknologi yang dihasilkan berada di bawah
sistem kebumian (tellurgical) yang ada, dan dalam batas sifat – sifat itu pulalah
teknologi itu bekerja. Gratifasi misalnya, adalah sistem tellurgis yang harus dihadapi
dan diselesaikan. Telaah arsitektural yang berangkat dari sisi itu, menggambarkan
bagaimana manusia memecahkan masalah beban dari pendukungnya secara otentik.
Fenomena gratifasi mendorong mahklok manusia untuk mengkaji bahan – bahan
bangunan sebagau sarana untuk mendukung beban. Pemecahan dan penyelesaian
yang kemudian di pilih merupakan keputusan penting. Suatu budaya tersendiri, itulah
budaya tektonik, yakni budaya mengerjakan sesuatu menuju ke pencapaian tujuan
(menahan beban). Pada titik itu pula manusia memperlihatkan keihayan (ingenuity)
dalam menanggapi berbagai gejala alam di suatu lingkungan tertentu, dalam
menganbil keputusan untuk menggunakan bahan – bahan lokal terbaik untuk memikul
beban tertentu, sesudah tawar – menawar dengan gejala imperatif alami itu tentu saja
proses pengambilan keputusan seperti itu tidak berlangsung dalam sekejap. Manusia
belajar dan mengamati segala akiban yang ditimbulkan oleh keputusan yang telah
diambilnya. Melalui pengalaman empirik yang berlapis – lapis setapak demi setapak.
Sedikit demi sedikit dan semakin cermat. Dan dalam kecermatan muthakirnya,
terciptalah ungkapan lokal yang otentik, yang sejati, yang menggambarkan ciri – ciri
lokalitas yang tak terbantahkan. Semuanya mencermintkan pemenuhan kebutuhan
secara menyeluruh

Anda mungkin juga menyukai