Anda di halaman 1dari 8

TEORI DAN SEJARAH ARSITEKTUR 2

ARSITEKTUR TEKTONIK

OLEH :
ULIL AMRI
D51115303
TEKNIK ARSITEKTUR
UNIVERSITAS HASANUDDIN

ARSITEKTUR TEKTONIK
Arsitektonik atau architectonic memiliki pengertian :
struktur logis yang diberikan oleh akal (terutama melalui pemanfaatan pembagian
berlipat-dua dan berlipat tiga), yang harus digunakan oleh filsuf sebagai rencana untuk
mengorganisasikan isi sistem apa pun.
Berdasarkan etimologi, istilah arsitektonik atau architectonic berasal dari :
Dalam Bahasa Latin yaitu architectonicus
Artinya dari, berhubungan dengan, atau sesuai dengan prinsip-prinsip arsitektur
Dalam Bahasa Yunani yaitu architektonikos, dari architektn
Artinya terorganisir dan memiliki struktur terpadu yang menyarankan sebuah desain
arsitektur.Tektonika berasal dari kata tekton dan sering ditulis sebagai kata tektonamai
dalam bahasa Yunani yang secara harafiah berarti pertukangan kayu atau pembangun.
Dalam bahasa Sansekerta, istilah ini dapat disamakan dengan kata taksan yang juga
berarti seni pertukangan kayu yang menggunakan kapak. Istilah yang sama juga
ditemukan dalam puisi Vedic yang juga berarti pertukangan kayu. Kemudian dalam
Homer istilah ini diartikan sebagai seni dari konstruksi secara umum.
Berikut ini adalah penjelasan mengenai arsitektonik menurut beberapa tokoh :

Kenneth Frampton (1995) dalam bukunya Studies in Tectonic Culture, menyebutkan


bahwa tektonika berasal dari kata tekton dan sering ditulis sebagai kata tektonamai dalam
bahasa Yunani, yang secara harfiah berarti pertukangan kayu atau pembangun. Dalam
bahasa Sansekerta dapat disamakan dengan kata taksan yang juga berarti seni
pertukangan kayu yang menggunakan kapak.
Adolf Heinrich Borbein pada tahun 1982 (Frampton, 1995) pada studi Philologi nya
yang mengatakan bahwa tektonika menjadi seni dari pertemuan atau sambungan; seni
dalam hal ini ditekankan pada tekne, sehingga tektonika ternyata bukan hanya bagian dari
bangunan tetapi juga obyek atau sebagai karya seni pada arti yang lebih sempit.
Penggunaan istilah tektonika secara arsitektural dipakai di Jerman dan muncul di buku
pegangan karya Karl Otfried Muller berjudul "Handbuch der Archeologie der Kunst
(Handbook of the Archeology of Art) 1830,yang mendefinisikan tektonik sebagai
penggunaan sederet bentuk seni pada peralatan, bejana bunga, pemukiman dan tempat
pertemuan, yang dibentuk dan dikembangkan di satu sisi pada penerapannya dan di sisi
lain untuk menguatkan ekspresi perasaan dan pengertian atau buah pikiran seni.
Tektonika pada arsitektur sering kali dilakukan karena ingin memberikan penekanan
pentingnya suatu bagian tertentu dari bangunan dan keinginan mengekspresikan sesuatu
perasaan yang mendalam pada bangunan.
Karl Botticher dalam bukunya The Tektonic of Helen 1843 dan 1852,
menginterpretasikan kata tektonik sebagai pemberi arti pada sistem ikatan yang lengkap
dari semua bagian kuil Yunani menjadi keseluruhan yang utuh, termasuk rangka dari
sculpture dalam segala bentuk.
Tahun 500 SM di Yunani diklaim sebagai masa munculnya (raison d etre) tradisi
arsitektur. Secara etimologi, kata arsitektur atau arche-tekton lahir dari tradisi Yunani.

Dalam ranah metode berpikir Yunani terdapat pola pencampuran antara mitologi,
mistisisme, dan matematika yang terangkum dalam ilmu filsafat Yunani. Dari dasar itulah
terbentuk wujud arsitektur Yunani seperti arsitektur kuil tempat pemujaan terhadap dewa
(kuil Parthenon), sistem proporsi matematis Golden Section yang lahir dari konsep
Pythagoras serta kolom -kolom Doric, Ionic, Corinthian sebagai sistem simbol
feodalisme Yunani.
Sementara itu Semper mengklasifikasikannya pada bangunan menjadi dua prosedur yang
mendasar, yaitu tektonika dari rangka ringan yang terdiri dari komponen-komponen linier
dikelompokan membentuk matrik spasial dan stereotomik bagian dasar dimana massa
dan volume terbentuk dari elemen-elemen berat.
Pada tahun 1973 Eduard Sekter dalam Structure, Construction and Tectonics
mendefinisikan tektonik sebagai ekspresi yang ditimbulkan oleh penekanan struktur dari
bentuk konstruksi, dengan demikian hasil ekspresi tektonika tidak dapat diperhitungkan
hanya sebagai istilah pada struktur dan konstruksi saja.

Dalam esainya Frampton mengungkapkan bahwa ada 3 kondisi yang terkait dengan
tektonika:
1.
Objek teknologis yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan langsung. Tectonic
object, juga mempunyai makna, yang pertama elemen konstruksi yang dibentuk untuk
menekankan peran statika atau status kultur
2.
Objek skenografis yang digunakan untuk memerikan sesuatu yang tidak ada atau
tersembunyi
3.
Objek tektonika yang muncul dalam 2 moda, yaitu moda ontologis (Semper
menyebutnya sebagai structural technical) dan moda representasional (Semper
menyebutnya structural symbolic) Lebih jauh dijelaskan bahwa Semper
menggolongkan bangunan menjadi 2 cara berdasarkan penanganan bahan, tectonic of
the frame (penggabungan berbagai rangka berbagai ukuran), dan stereotomic of
compressive mass (menumpuk menyusun satuan-satuan jenis). Bahan untuk cara
pertama biasanya kayu, bambu atau anyaman, sedang yang kedua biasanya batu, bata,
tanah yang dipadatkan lalu jadi beton.
Tectonic frame bergerak menjulang ke atas ringan, sementara stereotomic base menghunjam
menancap masuk ke dalam bawah berat, antara langit dan bumi, antara terang dan gelap, antara
ringan dan berat, antara immaterialitas dan materialitas. Tektonika rangka merupakan
perwujudan balok-balok dengan berbagai panjang digabung-gabungkan untuk membentuk suatu
medan keruangan dan stereotomika massa padat yang ditumpuk-tumpuk membentuk ruang. Hal
ini secara ontologism akan bermakna bahwa struktur rangka cenderung mengarah pada
dematerialisasi massa dan bersifat ringan. Di sisi lain, bentukan massa akan bersifat lembam dan
tertanam pada tanah. Dalam arsitektur kita bisa melihat perwujudannya dalam tradisi budaya
antara budaya tektonik rangka ringan dengan budaya pejal berat atau perpaduan keduanya
dengan derajat pengungkapan yang bervariasi. Semper menekankan bahwa sambungan juga
merupakan peralihan sintaks tatkala seseorang melintasi dari massa stereotomik ke rangka
tektonik dan bahwa peralihan inilah yang merupakan intisari arsitektur. Sementara Botticher
membedakan antara kernform yang merupakan bentuk structural yang esensial dan kunstform
yang merupakan pengkayaan.

Fenomena arsitektur dapat dilihat sebagai produk yang dihasilkan dari hubungan kait berkait
di antara segitiga manusia, alam dan teknologi. Sejauh ini, peradaban manusia berangkat dari
keadaan alami, teknologi yang dihasilkan berada di bawah sistem kebumian (tellurgical) yang
ada, dan dalam batas sifat-sifat itu pulalah teknologi itu bekerja. Grafitasi misalnya, adalah
sistem telurgis yang harus dihadapi dan diselesaikan. Telaah arsitektual yang berangkat dari sisi
itu, menggambarkan bagaimana manusia memecahkan masalah beban dan pendukungnya secara
otentik. Fenomena grafitasi mendorong makhluk manusia untuk mengkaji bahan-bahan
bangunan sebagai sarana untuk mendukung beban. Pemecahan dan penyelesaian yang kemudian
di-pilih-nya merupakan keputusan penting. Suatu budaya tersendiri. Itulah budaya tektonik,
yakni budaya mengerjakan sesuatu menuju ke pencapaian tujuan (menahan beban). Pada titik itu
pula manusia memperlihatkan kelihayan (ingenuity) dalam menanggapi berbagai gejala alam di
suatu lingkungan tertentu, dalam mengambil keputusan untuk menggunakan bahan-bahan lokal
terbaik untuk memikul beban tertentu, sesudah tawar-menawar dengan gejala imperative alami
itu. Tentu saja proses pengambilan keputusan seperti itu tidak berlangsung dalam sekejap.
Manusia belajar dan mengamati segala akibat yang ditimbulkan oleh keputusan yang telah
diambilnya. Melalui pengelaman empirik yang berlapis-lapis, setapak demi setapak, sedikit demi
sedikit, pilihan-pilihannya semakin menajam, semakin efisien, demi setapak, sedikit demi sedikit
dan semakin cermat. Dan dalam kecermatan mutakhirnya, terciptalah ungkapan lokal yang
otentik, yang sejati, yang menggambarkan ciri-ciri lokalitas yang tak terban-tahkan. Semuanya
mencerminkan pemenuhan kebutuhan secara pepak dan menyeluruh.

Bentuk merupakan perwujudan Architectonic yang mengandung nilai kesemestaan


dalam regionalisme arsitektur Nusantara.
adanya bentuk-bentuk arsitektural pada bangunan rumah tinggal di beberapa daerah yang
mempunyai kesamaan dalam bentuk dasar. Hal ini dapat ditemukan dalam bentuk arsitektur
rumah tinggal Jawa yang mempunyai bentuk atap joglo dengan bentuk rumah tinggal Sumba
yang disebut sebagai Uma. Bentuk atap yang memusat di tengah dan yang disebut menara pada
rumah sumba memberikan fungsi pendinginan, karena udara panas dalam ruang akan tersedot ke
atas melalui lorong
menara tersebut, sehingga udara akan terus bergerak dan ini mengakibatkan ruangan menjadi
dingin. Pemikiran ini rupanya dilatar belakangi oleh kondisi alam yang panas kering. Sementara
itu pada bentuk atap rumah Jawa yang biasa disebut dengan Joglo, juga mempunyai menara tepat
ditengah, akan tetapi menara tersebut tidak setinggi Uma di Sumba. Dasar pemikirannya berbeda
dengan Uma, karena potensi alam dan lingkungannya berbeda. Jawa mempunyai curah hujan
yang cukup tinggi, sementara suhu udara panas tidak terlalu tinggi, yang dibutuhkan adalah
aliran udara yang cukup dengan memberikan pembukaan pada ke empat sisi dindingnya

Kesemestaan juga dapat dijumpai pada bentuk arsitektur rumah Batak


Toba yang disebut Banua dan Toraja yang disebut Tongkonan, keduanya
mempunyai bentuk atap melengkung di kedua ujungnya menjulang ke atas.
Bentuk ini lebih didasarkan pada orientasi yang mengarah ke gunung.
Keduanya merupakan rumah panggung, dengan kolong bagian bawah yang
difungsikan sebagai tempat untuk hewan piaraan dan tempat peralatan.
Kemiripan kolong dengan penyelesaian bentuk yang dikarenakan struktur
menjadikan hal ini semakin memperkuat adanya nilai kesemestaan yang
sama antara rumah Batak Toba dan rumah Toraja (Tongkonan).

Demikian juga dengan bentuk arsitektur rumah Batak Karo dengan


Lobo di Ngata Toro
Sulawesi Tengah. Bentuk atap, rumah panggung, bentuk dinding yang
melebar ke atas. Dari
diskusi yang telah dilakukan keduanya mempunyai fungsi yang berbeda
yakni Batak Karo
adalah sebagai rumah tinggal untuk beberapa keluarga, sedangkan Lobo
dipergunakan untuk
pertemuan warga dan penerimaan tamu-tamu penting dalam masyarakat,
walaupun demikian
bentuk ini sangat dipengaruhi oleh kondisi alam setempat. Alam Ngata Toro
dan alam Batak
Karo mempunyai persamaan berada pada daerah yang tinggi atau
pegunungan. Atap yang lebar
memberikan pengertian akan kebutuhan perlindungan terhadap matahari
dan hujan yang cukup banyak dan panas di pegunungan yang cukup

menyengat pada siang hari, sehingga atap besar diperlukan guna memberi
pernaungan

Dari beberapa contoh di atas nilai kesemestaan terasa sekali selalu muncul
ketika eksekusi dalam bentuk mempunyai kesamaan. Kesamaan yang di
artikan sebagai kesemestaan memperlihatkan cara berpikir dan
pengetahuan yang sama walaupun unsur lokalitas tetap menjadi ciri yang
dapat membedakan antara keduanya atau lebih.
Struktur dan detail konstruksi mengandung nilai kesetempatan dan
kesemestaan pada
perwujudan architectonic dalam arsitektur Nusantara.
Antara struktur dan detail konstruksi seringkali tidak dapat dipisahkan
dalam tinjauannya, bahkan kadang menjadi satu kesatuan yang utuh. Dalam
beberapa kasus detail-detail konstruksi merupakan bagian yang erat
hubungannya dengan pengetahuan dan kemampuan teknologi yang
dipunyai masyarakatnya, bahkan sampai pada kepercayaan yang dianutnya.
Kesamaan prinsip struktur pada bangunan antara satu daerah dengan
daerah lainnya dikarenakan oleh kondisi geologis alam, ketersediaan bahan
dan pengetahuan terhadap konsep berteduh (secara prinsip), sehingga
bukan merupakan perlindungan semata terhadap gangguan alam tetapi
terlebih karena perlindungan terhadap cuaca.
Sebagai contoh struktur yang mempunyai kesamaan adalah struktur
bangunan rumah Jawa Joglo dengan bangunan Uma di Sumba. Keduanya
mempunyai empat saka guru atau empat tiang utama sebagai struktur
utamanya. Hal ini termauk juga bagaimana balok-balok melintang diatas
saka guru merupakan beban yang memperberat struktur, sehingga tahan
terhadap gaya lateral.

Sedangkan detail konstruksi secara arsitektural memperlihatkan bentuk dan


penggunaan
ornamen yang berbeda, disinlah letak lokalitas masing-masing daerah. Pemakaian
material dari
kayu memperlihatkan bahwa kayu pasti banyak terdapat dikedua tempat tersebut.
Penyelesaian
kayupun secata teknologi memperlihatkan tingkat pengetahuan yang berbeda.
Kayu pada
bangunan rumah Jawa mempunyai bentuk geometris segi empat, sedangkan di
Sumba dibiarkan
tetap dalam bentuk geometris bulat seperti aslinya, bahkan tiang tidak harus lurus ,
kalau pohon
tersebut batangnya agak sedikit bengkok, ya bengkok itupun tetap dipakai seperti
apa adanya

Seperti telah disebutkan di atas, detail pertemuan antara kolom dan


balok diselesaikan dengan cara yang berbeda tetapi tidak menghilangkan
hakekat keindahan serta karakter material. Dari pembahasan dan diskusi
yang telah dilakukan ada berbagai alasan dan sebab. Selain karena logika
terhadap gaya dan beban serta kekuatan, ada faktor lain yang ikut
memperkuat bentuk tersebut yakni faktor yang dikaitkan dengan
kepercayaan. Dengan demikian maka ketika eksekusi dilakukan untuk
menentukan bentukan, terjadilah bentuk detail pada arsitektur Jawa dengan
membuat sunduk kili dan kemudian dilapisi dengan kain sebelum di atasnya
ditumpangi balok (untuk menahan gaya geser), sedangkan detail pertemuan
antara kolom dan balok pada arsitektur Sumba di perjelas dengan
memberikan piringan untuk menempatkan balok di atasnya. Hal ini

menunjukkan ekspresi potensi masing-masing daerah yang berbeda yang


kemudian dikatakan sebagai nilai kesetempatan.

DAFTAR PUSTAKA
https://en.wikipedia.org/wiki/Architectonics
http://staffweb.hkbu.edu.hk/ppp/pf/PKglos.htm
https://disimplivity.blogspot.co.id/2010/01/arsitektonik.html
https://www.researchgate.net/publication/292965442_B018_ARCHITECTONIC_PADA_ARSITEKTUR_NUSANTARA_SEBAGAI_CERMINAN_RE
GIONALISME_ARSITEKTUR_DI_INDONESIA

Anda mungkin juga menyukai