Anda di halaman 1dari 11

ARSITEKTUR JENGKI

Sampai saat Majalah Arsindo ini sampai ditangan pembacanya. Berapa


banyak langgam Arsitektur yang telah hadir dihadapan kita? Pasti susah
untuk menghitungnya. Tetapi kalau kepada setiap arsitek Indonesia
ditanya mengenai langgam-langgam tadi, dengan lancar
mereka akan menjelaskannya. Terutama langgam mancanegara. Misalnya,
Post Medern, Modern, Art Deco dan lain sebagainya. Tapi jika mereka
ditanya apakah mereka tahu bahwa khasanah arsitektur Indonesia pernah
punya langgam yang mencerminkan semangat
kemerdekaan. Rasanya tidak banyak yang tahu. Melalui hasil wawancara
dengan Ir. Joseph Priyotomo. M.Arch mengenai arsitektur Jengki ini
diharapkan akan menambah wawasan para arsitek Indonesia mengenai
langgam arsitekturnya sendiri.

Kelahiran Arsitektur Jengki

Pada tahun-tahun awal setelah kemerdekaan sekitar tahun 1950-1960-


an. Sebagai hasil dari kemerdekaan. Timbul semangat pembebasan diri
dari segala hal yang berbau kolonialisme. "Dilain sisi, kemerdekaan itu
terjadi pada saat kita tidak memiliki tenaga ahli asing", jelas Ir. Joseph.
Tenaga ahli asing yang ada sebagian besar orang
Belanda. Karena adanya pertikaian antara Indonesia dengan Belanda
mengenai Irian Jaya, mereka harus meninggalkan Indonesia.
Pembangunan tidak boleh berhenti. "Sementara itu timbul keinginan kuat
untuk menampilkan jati diri bangsa yang merdeka", tutur arsitek yang
akrbat dipanggil pak Joseph ini. Dalam keadaan yang serba sulit ini,
pemerintah Indonesia memanfaatkan siapa saja yang mampu bekerja
dibidang konstruksi. Kebetulan kemampuan bekerja ini dimiliki oleh
mereka yang pernah bekerja di perusahaan konstruksi pada masa
pendudukan. Misalnya kantor Pekerjaan Umum, Biro Arsitek atau
Kontraktor Belanda. Kebanyak dari mereka hanya lulusan STM. Sebab
lembaga pendidikan yang dimiliki untuk mendidik ahli bangunan pada
masa itu hanya sampai tingkat STM. Mereka inilah yang dipaksa
melakukan pembangunan. Karena hanya lulusan STM, tentu saja ilmu
arsitektur mereka tidak seperti yang sarjana. Tetapi keuntungan yang
mereka peroleh pada masa itu, STM pada masa itu juga diajarkan dasar-
dasar ilmu arsitektur. "Inilah yang menjadi pegangan para lulusan STM
pada masa itu" tambah pak Joseph.
Para tenaga ahli dadakan ini punya kesempatan untuk menunjukkan
skil ke Indonesia-annya. Namun didalam hati, mereka juga
mempertanyakan ilmu arsitektur yang dimiliki. Usaha mempertanyakan
ini tidak sempat mereka renungkan. Tetapi harus segera ditunjukkan
dengan jawabannya. Karena mereka harus langsung bekerja. Pada waktu
itu, semangat nasionalisme yang kuat sedang tumbuh disetiap hati
rakyat Indonesia, termasuk para ahli dadakan ini. Dengan landasan
nasionalisme yang kuat, timbul usaha untuk tidak membuat apa yang
telah dibuat Belanda. Dengan kata lain tidak boleh seperti itu. "Nah, itulah
yang mendasari lahirnya Arsitektur Jengki" kata pak Joseph.
Ternyata rumah bergaya Jengki itu adalah gaya bangunan yang
menghancurkan arsitektur berbau kolonial dan merupakan sebuah nafas
kebangkitan jaman baru Indonesia yang merdeka, jauh dari unsur
penindasan. -Bisa dikatakan arsitektur Rumah Jengki, adalah arsitektur
Rumah Rakyat hal ini mirip dengan Hitler saat membuat mobil rakyat
-Volkswagen.

Ciri-ciri Arsitektur Jengki

Langgam arsitektur Kolonial pada waktu itu banyak didominasi oleh


bidang-bidang vertikal dan horisontal. Langgam Arsitektur Jengki justru
berlawanan. Arsitektur Jengki bermain dengan garis lengkung dan
lingkaran. Misalnya, jendela yang tidak simetris, overstek yang meliuk-
liuk, garis dinding yang dimiringkan. Bentuk-bentuk yang tidak
semestinya pada masa itu. "Arsitektur Jengki hanya mengolah perwajahan
bangunan, baik itu luar maupun dalam", jelas pak Joseph lagi. Selain
wajah bangunan, juga perabot rumah. Misalnya meja tamu dan kursinya.
Bentuk tata ruangnya masih mengikuti tata ruang bangunan Kolonial. Hal
ini terjadi karena keterbatasan ilmu arsitektur tadi.
Arsitektur Jengki juga mempergunakan bahan-bahan bangunan asli
Indonesia. Bahan yang dipergunakan harus bahan jadi, tidak boleh
mentah maksudnya dari perancangannya ketika itu. Untuk menunjukkan
bahwa bangsa Indonesia mampu mengolah sendiri bahan bangunan yang
diperlukan. Hasilnya adalah permukaan bangunan yang dikasarkan,
misalnya. Dikasarkan bukan kerikil, karena kerikil yang diolah semacam
itu buatan Belanda.
Permukaan kasar dibuat dari semen yang disemprotkan ke dinding dan
pemakaian roster. Pada bagian penutup atap juga diolah sedemikian rupa.
Kalau pada waktu itu bangunan Jengki dibuat seperti jambul. "Sepertinya
sengaja menghilangkan yang berbau Belanda. Sehingga saya dapat
mengambil kesimpulan bahwa Arsitektur Jengki murni hasil pemikiran
bangsa Indonesia. Saya juga mencoba melihat literatur luar negeri kalau
mungkin
ada satu langgam yang dipakai untuk Arsitektur Jengki.
Ternyata tidak ada", tambahnya. Melihat hal ini pak Joseph mengambil
kesimpulan bahwa Arsitektur Jengki adalah murni karya bangsa Indonesia.
Tidak berkiblat kepada aliran arsitektur manapun di dunia termasuk juga
Arsitektur Nusantara (kata Indonesia ada setelah 17 Agustus 1945).

Semangat dekoratif yang dimiliki oleh para arsitek pada saat itu cukup
kuat dan bagus. Unsur dekoratif inilah yang oleh pak Joseph dianggap
mewakili arsitektur Nusantara. Kalau kita perhatikan, pada setiap
arsitektur tersebut? Dekoratifnya. Jadi Arsitektur Jengki menghadirkan
Arsitektur Nusantara lewat unsur ini. Bukan lewat bentuk. "Semangat
Bhineka Tunggal Ika hadir melalui arsitektur Jengki. Oleh sebab itu saya
dapat mengatakan bahwa Arsitektur Jengki adalah arsitektur Indonesia
yang pertama", tegas arsitek alumni ITS tahun 1976 ini.
Contoh bangunan dengan arsitektur Jengki ini dapat kita lihat pada
rumah-rumah dikawasan Kebayoran Baru untuk Jakarta. Di Surabaya
misalnya Stadion Gelora Pancasila, Pabrik Coklad di Jl. Kalisari dan rumah
tinggal di Jl. Embong Ploso 12 (saat tulisan ini dibuat sudah dirobohkan).
Biasanya unsur Jengki lebih banyak hadir pada bangunan rumah tinggal.
Mengenai hal ini pak Joseph menambahkan, "tidak adanya dana untuk
membangun menyebabkan lebih banyak rumah tinggal". Hal ini juga
diakui oleh Van Lier Dame ketika berjumpa dengan beliau. Van Lier Dame
pada sekitar tahun 1950 bekerja di Indonesia sebagai arsitek. Dia
mengakui bahwa kendala utama yang dihadapi oleh Indonesia ketika itu
adalah kelangkaan bahan dan kemiskinan uang. Sehingga merekapun
dituntut bekerja secara efisien.

Mengapa Disebut Jengki? Ada beberapa pendapat mengapa


langgam ini disebut Jengki. Misalnya dari kata Yangkee, sebutan untuk
tentara Amerika dalam arti yang negatif. Namun arsitek Malang 48 tahun
silam ini mengambil dari sebuah metode pakaian pada waktu itu, seperti
misalnya celana Jengki, baju jengki, mode yang sedang trend sekitar
tahun 50-an.
Saat ini di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya banyak sekali
hadir bangunan dengan langgam yang mirip dengan Jengki. Menjawab
pertanyaan ini, Pak Joseph menjelaskan bahwa tidak bisa disamakan.
Mengapa? karena arsitektur Jengki ketika itu merupakan pembongkaran
terhadap arsitektur Belanda. Kalaupun ingin disebut sebagai dekonstruksi,
maka yang kita lihat sekarang ini adalah dekonstruksi babak II. Langgam
yang
hadir melalui tangan-tangan arsitek muda ini oleh pak Joseph dikatakan
beraliran Lead Modern. Arsitektur Jengki hadir pada masa itu karena
semangat ingin bebas dari pengaruh
kolonial, sedang bentuk-bentuk yang hadir sekarang ini tentu hadir
dengan semangatnya sendiri.
Model arsitektur rumah Jengki meledak antara tahun 1955-1970. Setelah
tahun 1970 agak menyusut diganti dengan rumah-rumah bergaya Spanyolan,
rumah bergaya Spanyolan merupakan tren besar arsitek rumah di jaman Orde
Baru, tapi di jaman ini tidak seperti jaman Hindia Belanda atau jaman Bung
Karno, jaman Orde Baru adalah jaman paling ngaco dalam bentuk arsitektur
baik itu sebagai tipologi atau sebagai ikonik. Tipe rumah di Jaman Orde Baru
macam-macam dan banyak bentuknya, tapi kebanyakan bergaya norak, ini
disebabkan karena cara berpikir orang kaya baru yang tidak paham bentuk, tidak
mengerti filsafat arsitektur dan asal gemebyar, namun gagal menciptakan
keseimbangan antara lahan dan bangunan sehingga menciptakan struktur ruang
yang teduh.
Arsitektur Jengki pernah hadir menambahkan khasanah arsitektur Indonesia.
Lahir oleh karena keadaan yang memaksa. Kalau sampai saat ini kita masih
disibukkan dengan mencari bentuk arsitektur Indonesia (yang ke-2?) dan belum
menemukannya, mungkinkah karena semangat, tujuan dan keadaan yang
mendasarinya berbeda? Jawabannya terletak pada jati diri kita masing-masing
yang sekarang ini mengaku dirinya sebagai Arsitek Indonesia.
Di tahun 2000-an ini anak muda senangnya dengan bangunan
minimalis, mereka melihat minimalis lebih sebagai tren saja ketimbang
fungsi sesungguhnya yaitu mengefektifkan ruang, orang Belanda lebih
paham bangunan minimalis karena di Belanda wilayahnya kecil-kecil jadi
mereka terbiasa dengan rumah yang kecil tapi efektif sama dengan
Jepang, di Indonesia agak lain, rumah minimalis hanya dijadikan gengsi
sosial, tapi tidak dijadikan sebagai kesadaran bentuk karena banyaknya
bangunan minimalis malah boros ruang.

Arsitektur Indonesia
Majalah Komunikasi Arsitek Indonesia
`[1;32;40 mRainbow V 1.11 for Delphi - Test Drive
Deretan rumah bergaya Jengki tahun
1955, di Jalan Pakubuwono VI (Sumber
Photo : Kebayoran Baru Tempo Doeloe)

(bekas gedung bioskop bergaya jengki)

(bekas balai pertemuan bergaya jengki)


Sejarah Arsitektur
Kontemporer Indonesia

Sebelum masa kemerdekaan dunia arsitektur di Indonesia didominasi oleh


karya arsitek Belanda. Masa kolonial tersebut telah mengisi gambaran baru pada
peta arsitektur Indonesia. Kesan tradisional dan vernakuler serta ragam etnik di
Negeri ini diusik oleh kehadiran pendatang yang membawa arsitektur arsitektur
di Indonesia.
Bentuk arsitektur di Indonesia asli kemudian dimulai dari sebuah institusi
arsitektur di era setelah kemerdekaan. Selama periode tersebut sampai
sekarang arsitektur berkembang melalui proses akademik dan praktek arsitektur
pada sebuah arsitektur kontemporer Indonesia.
Di masa penjajahan Belanda sebenarnya mata kuliah arsitektur diajarkan
sebagai bagian dari pendidikan insinyur sipil. Namun, setelah Oktober 1950,
sekolah arsitektur yang pertama didirikan di Institut Teknologi Bandung yang
dulu bernama Bandoeng Technische Hoogeschool (1923). Disiplin ilmu arsitektur
ini diawali dengan 20 mahasiswa dengan 3 pengajar berkebangsaan Belanda,
yang pada dasarnya pengajar tersebut meniru system pendidikan dari tempat
asalnya di Universitas Teknologi Delft di Belanda. Pendidikan arsitektur
mengarah pada penguasaan keahlian merancang bangunan, dengan fikus pada
parameter yang terbatas, yaitu fungsi, iklim, konstruksi, dan bahan bangunan.
Semenjak konflik di Irian Barat pada tahun 1955 semua pengajar dari
Belanda dipulangkan ke negaranya, kecuali V.R. van Romondt yang secara
rendah hati bersikeras untuk tinggal dan memimpin sekolah arsitektur sampai
tahun 1962. Selama kepemimpinannya, pendidikan arsitektur secata bertahan
memperkaya dengan memberikan aspek estetika, barat ke tanah Indonesia.
Sekitar awal 1910-an beberapa karya arsitek Belanda seperti Stasiun Jakarta
Kota, Hotel Savoy Homan dan Villa Isola di bandung sudah memberikan
pemandangan barubudaya dan sejarah ke dalam sebuah pertimbangan desain.
Van Romondt berambisi menciptakan Arsitektur Indonesia baru, yang berakar
pada prinsip tradisional dengan sentuhan modern untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat kontemporer. Dengan kata lain Arsitektur Indonesia adalah
penerapan gagasan fungsionalisme, rasionalisme, dan kesederhanaan dari
desain modern, namun sangat terinspirasi oleh prinsip-prinsip arsitektur
tradisional.

KEMAJUAN, MODERNITAS, DAN MONUMENTALITAS

Pada tahun 1958, mahasiswa arsitektur ITB sudah mencapai 500 orang,
dengan 12 orang lulusan. Yang kemudian beberapanya menjadi pengajar. Pada
bulan September 1959, Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) didirikan. Sejak tahun 1961,
kepemimpinan sekolah arsitektur berpindah tangan pada bangsa Indonesia
dengan Sujudi sebagai ketuanya. Kemudian Sujudi mendirikan sekolah arsitektur
di perguruan tinggi lainnya. Masa ini juga juga dipelopori oleh Sujudi cs. bersama
teman-temannya yang menamakan diri ATAP.
Awal tahun 1960-an, literature barat mulai masuk dalam diskursus
pendidikan arsitektur di Indonesia. Karya dan pemikiran para arsitek terkemukan
seperti Walter Gropius, Frank Lloyd Wright, dan Le Corbusier menjadi referensi
normative dalam diskusi dan pelajaran.

Iklim politik pada saat itu juga sangat berpengaruh terhadap pola fikir
masyarakat terhadap teori dan konsep arsitektur modern. Karena di masa
kepemimpinan Sukarno, modernitas diberikan olah kepentingan simbolis yang
merujuk pada persatuan dan kekuatan nasional. Sukarno telah berhasil
mempengaruhi secara mendasar karakter arsitektur yang diproduksi pada masa
iai memegang kekuasaan. Modern, revolusioner, dan heroik dalam arsitektur
membawa kita pada program pembangunan besar-besaran terutama untuk
ibukota Jakarta. Ia berusaha mengubah citra Jakarta sebagai pusat pemerintahan
kolonial menjadi ibukota Negara yang merdeka dan berdaulat yang lahir sebagai
kekuatan baru di dunia.
Pada akhir 1950-an Sukarno mulai membongkar bangunan-bangunan lama
dan memdirikan bangunan baru, pelebaran jalan, dan pembangunan jalan bebas
hambatan. Gedung pencakar langit dan teknologi bangunan modern mulai
diperkenalkan di negeri ini. Dengan bantuan dana luar negeri proyek-proyek
seperti Hotel Indonesia, Pertokoan Sarinah, Gelora Bung Karno, By pass,
Jembatan Semanggi, Monas, Mesjid Istiqlal, Wisma Nusantara, Taman Impian Jaya
Ancol, Gedung DPR&MPR dan sejumlah patung monumen.
Ciri khas proyek arsitektur Sukarno adalah kemajuan, modernitas, dan
monumentalitas yang sebagian besar menggunakan langgam International
Style. Seorang arsitek yang memiliki hubungan dekat dengan Presiden Sukarno
pada masa itu adalah Friedrich Silaban. Ia terlibat hampir semua proyek besari
pada masa itu. Desainnya didasari oleh prinsip fungsional, kenyamanan,
efisiensi, dan kesederhanaan. Pendapatnya bahwa arsitek harus memperhatikan
kebutuhan fungsional suatu bangunan dan factor iklim tropis seperti temperatur,
kelembaban, sirkulasi udara, dan radiasi matahari. Desainnya terekspresikan
dalam solusi arsitektur seperti ventilasi silang, teritisan atap lebar, dan selasar-
selasar.

KESATUAN DAN KERAGAMAN BUDAYA

Sejak kejatuhan Sukarno pada tahun 1965, pemerintahan Orde Baru di


bawah kepemimpinan Suharto menyalurkan investasi asing ke Jakarta dan telah
melaksanakan rencana modernisasi dengan tujuan pembangunan ekonomi di
Indonesia. Proyek yang ditinggalkan Sukarno kemudian diselesaikan oleh
Gubernur DKI Jakarta pada saat itu Ali Sadikin.
Ali Sadikin juga bermaksud menjadikan Jakarta sebagai tujuan wisata bagi
wisatawan dari Timur dan Barat. Sehingga pada tahun 1975, dikembangkan
suatu program konservasi bagian Kota Tuan di Jakarta dan beberapa situs-situ
sejarah lainnya. Program ini sedikit demi sedikit mengubah sikap masyarakat
terhadap warisan arsitektur kolonial.
Sejak awal 1970-an, kondisi ekonomi di Indonesia semakin membaik, yang
berdampak pada kebutuhan akan jasa perencanaan dan perancangan arsitektur
berkembang pesat. Maka munculla biro-biro arsitektur yang menangani proyek
badan pemerintahan, BUMN, dan para orang kaya baru. Sayangnya para
arsitek professional di Indonesia tidak siap menerima tantangan besar tersebut.
Yang tidak memiliki pilihan doktrin fungsional dari arsitektur modern
membelenggu pengembangan karakter unik dalam arsitektur kontemporer pada
masanya. Sementara itu kalangan elit dan golongan menengah keatas
mengekspresikan kekayaan dan status sosialnya melalui desain yang
monumental dan eklektik dengan meminjam ornamen arsitektur Yunani, Romawi,
dan Spanyol.
Kekecewaan terhadap kecenderungan meniru dan eklektik ini membawa
arsitek Indonesia pada suatu gagasan untuk mengembangkan karakter
arsitektur Indonesia yang khas. Suharto memegang peran utama untuk
membangkitkan kembali kerinduan pada kehidupan pedesaan Indonesia, melalui
tema-tema arsitektur etnik. Jenis arsitektur ini kemudian dipahami sebagai
langgam resmi yang dianjurkan. Ditandai juga dengan pembangunan Taman Mini
Indonesia Indah (TMII).

Para arsitek muda sebagian besar juga kecewa terhadap tendensi eklektis
dari arsitektur modern di dalam negeri. Yang kemudian semakin menyoroti
secara simpatik pada arsitektur tradisional. Mereka menyoroti perbedaan kontras
antara arsitektur modern dengan arsitektur tradisional sedemikian rupa sehingga
arsitektur tradisional diasosiasikan dengan nasional, dan arsitektur modern
dengan asing dan barat.

MENCARI IDENTITAS ARSITEKTUR INDONESIA

Pada pertengahan tahun 1970-an, masalah langgam dan identitas arsitektur


nasional menjadi isu utama bagi arsitek Indonesia. Terhadap masalah langgam
dan identitas arsitektur nasional pandangan arsitek Indonesia menjadi tiga
kelompok yang berbeda. Kelompok pertama berpendapat bahwa arsitektur
Indonesia sebenarnya sudah ada, terdiri atas berbagai jenis arsitektur tradisional
dari berbagai daerah. Implikasinya adalah penerapan elemen arsitektur
tradisional yang khas, seperti atap dan ornamen. Kelompok arsitek kedua
bersikap skeptis terhadap segala kemungkinan untuk mencapai langgam dan
identitas arsitektur nasional yang ideal. Kelompok ketiga adalah sebagian
akademisi arsitektur yang secara konsisten mengikuti langkah bapak mereka,
V.R. van Romondt. Mereka berpendapat bahwa arsitektur Indonesia masih dalam
proses pembentukan, dan hasilnya bergantung pada komitmen dan penilaian
kritis terhadap cita-cita budaya, selera estetis, dan perangkat teknologi yang
melahirkan model dan bentuk bangunan tradisional pada masa tertentu dalam
sejarah. Mereka yakin bahwa pemahaman yang lebih mendalam terhadap prinsip
tersebut dapat memberikan pencerahan atau inspirasi bagi arsitek kontemporer
untuk menghadapi pengaruh budaya asing dalam konteks mereka sendiri.
Dalam periode 1980-1996 institusi keprofesian dan pendidikan arsitektur
mengalami perkembangan pesat, Pertumbuhan sector swasta yang subur serta
investasi dengan korporasi arsitektur asing mulai mengambil alih segmen pasar
kelas atas di ibukota dan daerah tujuan wisata seperti Pulau Bali. Dapat
dikatakan bahwa arsitektur kontemporer di Indonesia tidak menunjukkan deviasi
yang radikal terhadap perkembangan arsitektur modern di dunia pada
umumnya.
Sebenarnya pada pertengahan 1970-an telah ada usaha untuk menciptakan
suatu langgam khusus, suatu bentuk identitas Indonesia, tetapi hanya terbatas
pada proyek arsitektur yang prestisius seperti bandara udara internasional hotel,
kampus, dan gedung perkantoran. Sangat jelas bahwa proyek penciptaan
langgam dan identitas arsitektur Indonesia termotivasi secara politis.

ARSITEKTUR KONTEMPORER INDONESIA

Awal tahun 1990-an ditandai pengaruh postmodernisme pada bangunan


umum dan komersil di Jakarta dan kota besar lainnya. Hadirnya kontribusi
signifikan dari para arsitek muda yang berusaha menghasilkan desain yang khas
dan inovatif untuk memperkaya khasanah arsitektur kontemporer di Indonesia.
Di antaranya adalah mereka yang terhimpun dalam kelompok yang sering
dianggap elitis, yaitu Arsitek Muda Indonesia (AMI). Dengan motto semangat,
kritis, dan keterbukaan kiprah AMI juga didukung oleh kelompok muda arsitek
lainnya seperti di Medan, SAMM di Malang, De Maya di Surabaya dan BoomArs di
Manado. Untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi usaha kreatif di kalangan
arsitek praktisi, Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) juga mulai memberikan
penghargaan desain (design award) untuk berbagai kategori tipe bangunan.
Karya-karya arsitektur yang memperoleh penghargaan dimaksudkan sebagai
tolok ukur bagi pencapaian desain yang baik dan sebagai pengarah arus bagi
apresiasi arsitektural yang lebih tinggi.
Penghargaan Aga Khan Award dalam arsitektur yang diterima Y.B.
Mangunwijaya pada tahun 1992 untuk proyek Kali Code, telah berhasil
memotivasi arsitek-arsitek Indonesia untuk melatih kepekaan tehadap tanggung
jawab sosial budaya.
Krisis moneter tahun 1997 mengakibatkan jatuhnya pemerintahan Orde Baru
telah melumpuhkan sector property dan jasa professional di bidang arsitektur.
Diperlukan hampir lima tahun untuk kembali, namun kerusakan yang sedemikian
parah mengakibatkan kemunduran pada semua program pembangunan
nasional.
Kini, arsitek kontemporer Indonesia dihadapkan pada situasi paradoksikal:
Bagaimana melakukan modernisasi sambil tetap memelihara inti dari identitas
budaya? Karya-karya kreatif dan kontemporer kini menjadi tonggak baru dalam
perkembangan arsitektur Indonesia. Dengan pemikiran dan isu baru yang
menjadi tantangan arsitek muda. Seiring pergerakan AMI memberikan semangat
modernisme baru yang lebih sensitif terhadap isu lokalitas dan perubahan
paradigma arsitektur di Indonesia.

EKOLOGI, FLEKSIBILITAS, DAN TEKNOLOGI

Dunia arsitektur dewasa ini juga kini dihadapkan pada suatu isu baru. Krisis
energi karena sumber daya alam yang dieksploitasi sejak era industrialisasi
dunia kini terasa gejalanya. Perubahan iklim, pemanasan global, dan bencana
lainnya menjadi dampak dari krisis energi dan perusakan lingkungan. Jelas sekali
dunia konstruksi menjadi salah satu penyebabnya. Sepertinya pernyataan
tentang isu berkelanjutan melalui konferensi internasional yang menghasilkan
pernyataan:

Sustainable development is development that meets the needs of the


present without compromising the ability of future generations to meet their own
needs(Bruntdland report, 1987)

Kini menjadi keharusan karena tekanan keadaan.

Fenomena ini yang kemudian memberikan pelajaran bagi arsitektur


kontemporer Indonesia. Dimana modernitas, lokalitas dan faktor ekologis kita
yang memiliki iklim tropis harus dikedepankan. Pencarian beralih menuju
arsitektur modern tropis. Beberapa arsitek muda kini juga berlomba-lomba untuk
menyelamatkan keberadaan bumi ini. Seperti Adi Purnomo yang banyak
menghasilkan karya rumah tinggal yang kaya akan area hijau, Jimmy Priatman
yang berhasil membuat bangunan hemat energi dan masuk nominasi Aga Khan
Award, dan tokoh arsitek muda lainnya.
Isu lainnya yang menjadi berkembang adalah ketersediaan lahan. Kurang
berhasilnya penerapan otonomi daerah pemerintahan reformasi kita ini tetap
menjadikan kota sebagai pusat perekonomian nasional. Akibatnya lahan di
perkotaan semakin menipis. Membuat karya arsitektur selain ramah lingkungan
kini dihadapkan pada suatu kenyataan penyempitan ruang binaan. Bangunan
yang efisien dengan keadaan dan compact dengan segala bentuk keadaan
mulai ditinjau dalam penerapan arsitektur kontemporer.
Tantangan ini yang kemudian menjadi pekerjaan rumah (PR) para arsitek
muda kita sekarang dan untuk masa akan datang. Menjaga unsur lokalitas dan
arus globalitas, antara tradisi dan isu terkini harus segera dijawab dengan
sebuah karya yang nyata dan berkesinambungan.
Bangun Bergaya Kontemporer :

(Museum Idonesia, bangunan bergaya kontemporer)

(rumah adat
modern, bangunan
bergaya
kontemporer
Indonesia)
(Keong Mas Taman Mini Indonesia Indah. Bangunan
bergaya kontemporer)

Anda mungkin juga menyukai