Anda di halaman 1dari 2

ARSITEKTUR UNTUK KEMANUSIAAN

Yang dapat diketahui dari awal penjelasan pak Galih tentang buku ini, adalah
sebuah kritik atas pendidikan arsitektur yang berbasis 'gambar' atau picture.
Ada kemungkinan para pembaca akan dituntut untuk dapat memahami
sepenuhnya pemikiran pak Galih ini dalam jangka waktu tertentu sesuai
kapasitas pemahamannya. Namun hal ini bisa jadi penting, karena kita dapat
melihat kepentingannya untuk 'memahami' arsitektur tidak hanya sekedar
gambar-menggambar (seperti dijelaskan dalam bab Pembuka buku ini).

Melalui buku ini, kita dapat memahami bahwa arsitektur adalah soal ruang,
bukan soal gambar, sebagaimana dalam karya-karya pak Eko Prawoto. Disini
berarti apa yang terjadi dalam ruang adalah sesuatu yang 'dirasakan' bukan
hanya difoto atau digambar. Melalui pemahaman ini kita menuju pada
arsitektur yang lebih tanggap terhadap lingkungan, dimana kita tidak hadir
dalam konteks individualistik, dimana desain hanya menjadi seseuatu yang
ditancapkan begitu saja di lahan, tapi adalah bangunan yang dapat
menumbuhkan sensasi ketika mengalami ruangnya, dan sensasi ini tidak
dapat digantikan oleh apapun.

Karenanya, berbagai hal yang tadinya tidak 'nampak' dalam proses desain,
akan muncul dengan nyata dalam ruang tempat bangunan itu tumbuh.
Gemerisik dedaunan, sepatu yang berjejer di muka pintu, anjing menyalak
dikejauhan, suara adzan, tangisan anak kecil di seberang jalan, adalah
bagian dari arsitektur tempat ia berada, dan disinilah arti dari kehadiran ruang
arsitektur, untuk bersama dengan alam guna merajut pengalaman dalam diri
manusia.

Apa yang hadir dari arsitektur 'kampungan' kemudian menjadi bernilai,


meskipun hadir dalam wujud yang sederhana dan dianggap ketinggalan
jaman oleh orang kota, tetapi ia seringkali (dan sangat mungkin) hadir dalam
tingkat kematangan desain. Tidak berlebihan, namun menyelesaikan dan
memenuhi fungsinya untuk mengatasi alam tanpa berlebihan atau berniat
untuk menonjolkan diri. Arsitektur 'kampungan' yang seringkali diungkapkan
dengan cara meremehkan, ternyata hadir justru menjadi solusi reaktif yang
sangat-sangat matang dan beralasan.

Arsitektur 'kampungan' diwujudkan pak Eko Prawoto dalam arsitekturnya,


dalam buku ini dijelaskan sebagai mutiara2 baru dengan benih2 kemanusiaan
yang hakiki, dimana ia dapat berjalin padu dengan alam. Arsitektur
'kampungan' yang tidak lagi dianggap sebagai arsitektur dengan konotasi
'rendah', namun memiliki konotasi kualitas tinggi.
A City for All
Pada pergantian abad lebih dari setengah populasi dunia akan
tinggal di daerah perkotaan. kecepatan ini cepat urbanisasi
memaksa pemikiran ulang prioritas pembangunan, dan buku ini
membahas beberapa inisiatif mereka.

Buku ini dibuka dengan pengenalan isu pembangunan perkotaan,


mengambil perspektif pembangunan manusia sebagai tema sentral.
praktek terbaik dalam pemukiman manusia yang berkelanjutan di
seluruh dunia dieksplorasi melalui analisis sifat keragaman di kota,
masalah organisasi dan partisipatif, dan pertanyaan tentang gender.

Kontributor melihat pengalaman tinggal dan bekerja di berbagai


kota, menciptakan rumah yang aman dan lingkungan, dari desain
dan penciptaan lingkungan yang berkelanjutan, dan penyediaan
layanan kesehatan dan transportasi. Bab meneliti bagaimana
perempuan, orang tua, dan orang-orang dengan cacat pengalaman
hidup di kota. materi studi kasus ini menguji pengalaman perkotaan
di berbagai negara seperti India, Indonesia, Somalia, Peru, Spanyol
dan Inggris. Sepanjang, kontributor membahas contoh praktis
menghargai perbedaan dan keragaman, yang menggambarkan
kebutuhan untuk kota inklusif - sebuah kota untuk semua.

Anda mungkin juga menyukai