Yang dapat diketahui dari awal penjelasan pak Galih tentang buku ini, adalah
sebuah kritik atas pendidikan arsitektur yang berbasis 'gambar' atau picture.
Ada kemungkinan para pembaca akan dituntut untuk dapat memahami
sepenuhnya pemikiran pak Galih ini dalam jangka waktu tertentu sesuai
kapasitas pemahamannya. Namun hal ini bisa jadi penting, karena kita dapat
melihat kepentingannya untuk 'memahami' arsitektur tidak hanya sekedar
gambar-menggambar (seperti dijelaskan dalam bab Pembuka buku ini).
Melalui buku ini, kita dapat memahami bahwa arsitektur adalah soal ruang,
bukan soal gambar, sebagaimana dalam karya-karya pak Eko Prawoto. Disini
berarti apa yang terjadi dalam ruang adalah sesuatu yang 'dirasakan' bukan
hanya difoto atau digambar. Melalui pemahaman ini kita menuju pada
arsitektur yang lebih tanggap terhadap lingkungan, dimana kita tidak hadir
dalam konteks individualistik, dimana desain hanya menjadi seseuatu yang
ditancapkan begitu saja di lahan, tapi adalah bangunan yang dapat
menumbuhkan sensasi ketika mengalami ruangnya, dan sensasi ini tidak
dapat digantikan oleh apapun.
Karenanya, berbagai hal yang tadinya tidak 'nampak' dalam proses desain,
akan muncul dengan nyata dalam ruang tempat bangunan itu tumbuh.
Gemerisik dedaunan, sepatu yang berjejer di muka pintu, anjing menyalak
dikejauhan, suara adzan, tangisan anak kecil di seberang jalan, adalah
bagian dari arsitektur tempat ia berada, dan disinilah arti dari kehadiran ruang
arsitektur, untuk bersama dengan alam guna merajut pengalaman dalam diri
manusia.