Anda di halaman 1dari 14

TEORI BUDAYA dari Buku "WASTU CITRA"

Y.B Mangunwijaya

Pengantar Ilmu Budaya Bentuk Arsitektur

Sendi Sendi Filsafatnya Beserta Contoh-Contoh Praktis

Disusun Oleh :

Ina Aryanti Sukmalatifah

2111992011

Dosen Pengampu Mata Kuliah Teori Budaya :

Prof. Dr. I Wayan Dana

Drs. Raja Alfirafindra, M.Hum

PROGRAM STUDI S1 SENI TARI


FAKULTAS SENI PERTUNJUKAN
INSTITUT SENI INDONESIA YOGYAKARTA
Jl. Parangtritis Km. 6.5 Sewon, Bantul, 55188 Daerah Istimewa Yogyakarta
2023
Pendahulan

Arsitektur adalah seni dan ilmu dalam merancang bangunan dan struktur lainnya. Dalam artian
yang lebih luas, arsitektur mencakup merancang dan membangun keseluruhan lingkungan
binaan, mulai dari level makro yaitu perencanaan kota, perancangan perkotaan, arsitektur
lanskap, hingga ke level mikro yaitu desain bangunan, desain perabot dan desain produk.
Arsitektur juga merujuk pada hasil-hasil proses perancangan tersebut.

Arsitektur adalah penciptaan suasana, perkawinan guna dan citra. Bukan dalam kemewahan
bahan atau tinggi teknologinya letak harganya. Bahan-bahan yang sederhana justru lebih
mampu mencerminkan refleksi keindahan puisinya, karena lebih bersih dari godaan maupun
kepongahan (YB. Mangunwijaya, 1988;348).

Dalam bidang arsitektur Yusuf Bilyarta Mangunwijaya atau yang biasa dipanggil Romo
Mangun dijuluki sebagai bapak arsitektur modern Indonesia. Beliau memiliki banyak karya
arsitektural yang sangat diapresiasi ditingkat nasional maupun global. Salah satu karya Romo
Mangun pernah mendapat penghargaan Aga Khan Award for Architecture (AKAA), yaitu
karya rancangan permukiman di tepi Kali Code, Yogyakarta. Romo Mangun juga dikenal
sebagai seorang sastrawan atau penulis. Buku tentang pengetahuan arsitektur yang ditulis oleh
Romo Mangun berjudul “Wastu Citra”, dalam bukunya tersebut beliau menjelaskan sudut
pandangnya tentang sebuah teori Guna dan Citra dalam merancang sebuah bangunan.

Dalam sudut pandang Romo Mangun, Arsitektur haruslah mempunyai bentuk yang
fungsional, benar, dan wajar, sebab arsitektur bukanlah sebuah bangunan kosong tidak
memiliki makna melainkan juga menjadi bagian dari lingkungan. Arsitektur yang menjadi
bagian dari lingkungan juga tidak dapat lepas dari faktor budaya setempat.

Buku ini mengajarkan bagaimana sesuatu, khususnya bangunan (wastu) semestinya tidak
hanya mempunyai fungsi guna tapi juga citra (estetika, keindahan), dan tentunya mempunyai
nilai filosofis tertentu. Benar dari segi tempat dan waktu. Mengindahkan keakraban dan
manusiawi, sehingga otak dan hati tidak terlantar. Maka, yang benar akan menjadi indah.

Konsistensi Romo Mangun dalam berkiprah, bahkan sampai lintas bidang, membuat
konsekuensi yang paradoksal : merepotkan sekaligus memudahkan.

1
Merepotkan, karena untuk membahas tiap karyanya, perlu mengaitkan juga kiprah dan
pandangannya di bidang yang ada hubungannya dengan karya tersebut.

Memudahkan, karena bila ada pertanyaan yang belum terjawab bisa didapat dari pemahaman
atas kiprah dan pandangannya dibidang lain itu.

Teori Dwilogi Mangunwijaya

Menurutnya, sebuah bangunan meskipun benda mati tetapi memiliki jiwa dan citra sang
pembangunnya. Maka membangun rumah atau bangunan lain, ada dua lingkungan masalah
yang perlu diperhatikan, yaitu lingkungan masalah Guna dan lingkungan masalah Citra

Berarsitektur bagi Romo Mangunwijaya bukanlah sekedar masalah bentuk dan ruang saja,
kepeduliannya pada masalah sosial-sosial budaya mengantar sebuah karya-rancang
bangunannya adalah sebuah wahana untuk kehidupan yang berkesinambungan

Berbeda dari pandangan hampir semua pemikir teori dan pengulas karya arsitektur, Wastu
Citra justru menghindarkan seni membangun dari konsep kata arsitektur.

Kata ‘arsitektur’, ‘arsitek’, ‘karya arsitektur’, mengandung pengertian yang mendahulukan


kreativitas desain, kemampuan teknik, kemampuan mengatasi tantangan elemen-elemen alam
seperti iklim dan topografi serta inovasi di bidang desain penemuan material baru yang efektif
atau memukau. Para arsitek berkompetisi menjadi selebriti, genit dan mencari sensasi dengan
merancang karya yang serba memukau demi pujian dari para pengulas. Dunia industri pun
berlomba menghasilkan material yang paling inovatif dalam mengatasi tantangan desain
sekaligus paling indah ditangkap indera.

Dunia arsitektur adalah wajah semesta manusia yang sangat sensasional dan penuh otoritas.
Sebuah wujud karya arsitektur secara langsung menggerakkan rasa sekaligus dapat memerintah
manusia untuk datang atau menjauh. Sebuah bangunan dapat sengaja memancing manusia
untuk datang atau memberitahunya untuk bertindak sesuai harkatnya. Setiap karya arsitektur
adalah cermin di hadapan masing-masing manusia. Seseorang dapat melihat kelayakannya
dalam ruang melalui tampilan desain arsitektur yang dirasakannya.

Karya arsitektur dengan demikian adalah bagian dari cara manusia menempatkan semua
manusia dalam berbagai kategori, berbagai nilai atau kelas. Buku Wastu Citra menunjukkan
hal yang sebaliknya. Alih-alih memanfaatkan kata arsitektur yang begitu lumrah dan

2
berwibawa, Romo Mangun menunjukkan sebuah pendekatan total pada seni membangun
dengan memasukkan budi bahasa ke antara berbagai perkakas desain. Budi bahasa adalah unsur
terpenting definisi manusia menurut Aristoteles: manusia adalah makhluk yang berbudi bahasa.

Wastu Citra mengetengahkan kerumitan nasib manusia di dunia sekaligus keagungan


perenungan budi bahasa yang dicapai selama beribu tahun dalam mencerap pengalaman
seluruh sejarah. Manusia itu rumit, ia senantiasa mencari tempat yang sesuai baginya dalam
semesta dan dengannya ia meratap dan bertarung melawan beratnya situasi hidup, tetapi
sekaligus ia merayakan keindahan hidup dalam budi bahasa yang bisa diwariskan.

Seni membangun adalah perayaan dan warisan tersebut. Manusia membangun untuk
menciptakan ulang semesta. Ia belajar dari warisan pengetahuan dan kebijaksanaan
tradisi budi bahasa. Kata ‘Wastu’ atau ‘Vastu’ datang dari bahasa India kuno yang berarti
sebuah sastra seni membangun yang dirumuskan dari rangkaian kedalaman pemahaman
tentang semesta, tentang hierarki alam, pergerakan roda waktu, tempat dan tugas manusia
dalam semesta. Citra berarti pancaran, wajah, perwujudan dari kedalaman pemahaman tersebut

Romo Mangun menyebut beberapa hal penting dalam kaitannya dengan sebuah bangunan.

1. Bahasa dan Ungkapan


2. Guna dan Critra
3. Bentuk-bentuk Arsitektural Selaku Simbol Kosmologis
4. Bentuk-bentuk Dasar Orientasi diri
5. Arsitektur Selaku Cermin Sikap Hidup
6. Teladan dari India
7. Arsitektur Barat dan Filsafatnya
8. Hikmah dari Pemikiran Yunani
9. Hikmah dari Arsitektur Jepang
10. Penghayatan Gatra dan Penghayatan Ruang
11. Gaya Arjuna dan Rahwana
12. Kemantapan dan Gerak
13. Mencari Kembali Makna Arsitektur.

3
5 BAB Pembahasan

Bentuk Bentuk Dasar Orientasi Diri

Halaman 123

● Orientasi diri adalah naluri kodrati untuk mencegah kita hanyut dalam kepastian. Maka
penghayatan kiblat sangatlah fundamental bagi manusia bila ingin sehat jiwanya.
● Salah satu bentuk Orientasi diri dalam satu tarian kaum Afrika. Konsentrasi plus :
Menghadap Ke Atas.

Disudut alun-alun Denpasar Bali ada Pura yang dibuat monumental dari batu putih dan yang
diberi sebutan PUSERING JAGAT, artinya Pusar Dunia. Untuk muslimin dan muslimat, pusat
dunia adalah Ka'bah di Mekah; untuk orang Kristen Golgotha di Yerusalem. Penghayatan
adanya pusat dunia", atau poros, sentrum merupakan penghayatan manusia berjiwa religius
yang sangat mendalam, lagi sangat wajar.

Manusia tidak dapat hidup dalam ruang kosong atau ruang homogen, seolah segala titik itu
sama saja. Ia membutuhkan ORIENTASI, pengkiblatan diri. Seperti pada pengalaman sehari-
hari matahari terbit dan terbenam. Begitu kuatnya perasaan perasaan orientasi pada matahari,
sehingga banyak bangsa percaya mataharilah yang menjadi sumber segala kehidupan (bangsa
Aztec di Meksiko misalnya, bangsa Jepang kuno, dan pemujaan saudara-saudara di Bali kepada
Sang Surya, Dewa Matahari). Ketergantungan hidup dari matahari sangatlah dibenarkan sains.

CITRA dasar GUNUNG, POHON, STUPA, PAGODA, atau POROS, POKOK selaku Pusat
Dunia masih mendapat pengungkapannya dalam bentuk BAIT-BAIT, KUIL- KUIL keramat
ataupun ISTANA dan KOTA KOTA SUCI . Bait-bait dan kuil pemujaan merupakan peniruan
atau lebih tepat penghadiran Semesta Raya, sumber-sumber daya gaib untuk wilayah keliling.
Maka banyak tanah kuil di tanah Babilon . Kuil dan Menara bangsa Babilon sering disebut juga
: Gunung Rumah, Rumah Gunung Segala Negeri, dsb. Sebutan Negeri Iran adalah Airyanam
Vaejah artinya Pusat dan Jantung Dunia. Setiap bangsa besar selalu merasa diri selaku pusering
jagat.

4
Oleh karena itu dalam wujud bangunan dimana-mana pun kita menjumpai beberapa citra dasar
yang selalu saja kembali dalam pelbagai macam bentuk. Gunung dalam sekian banyak
kebudayaan selalu dihayati selaku Tanah Tinggi, tempat yang paling dekat dengan dunia Atas.

Dalam berarsitektur orang secara spontan merasakan penghayatan dasar "yang tinggi"
dengan lawannya "yang rendah" . Yang tinggi dihubungkan dengan segala hal yang mulia,yang
ningrat, yang aman, yang menguasai sekitar. Yang Rendah lazim dihubungkan dengan realita
yang kurang baik, yang bahaya, kaum bawahan. Maka spontan dua citra lalu muncul; yakni
gunung dan sila, atau tugu, tiang. Kombinasi dua citra itu : gunung sekaligus pusar atau poros

● Puncak Gunung selalu dihubungkan dengan tempat tinggal para dewata, gunung-
gunung Olimpia, Mahameru Himalaya, Agung, dan Sebagainya. Suku Inka di Machu
Picchu(Peru) bahkan diam diatas puncak gunung tinggi yang menakjubkan. Sebagian
atas alasan keamanan, tetapi terutama karena penghayatan religius mereka
● Pohon kehidupan, gunung, dan rumah memiliki makna kosmis bagi banyak suku
bangsa. Ketiga-tiganya merupakan dimensi-dimensi dari astu kesatuan seluruh semesta.

Bila gunungan disebut juga kekayon, artinya pepohonan, (dan memang gunungan selalu
dilukisi sebatang pohon besar), jelaslah bahwa citra gunung dan pohon dirasakan sesaudara,
sebentuk dasar. Maka teranglah, mengapa pohon(beringin misalnya di alun alun istana Jawa
atau di perempatan jalan desa) merupakan keharusan. Disitu pohon yang tinggi besar rindang,
yang berbentuk ongok ongokan atau gunung, langsung dihubungkan dengan bentuk meru,
Kahyangan. Pohon adalah lambang semesta ada. Bentuk Pohon tidak jauh dari bentuk Stupa
atau Pagoda.

TAMPAKLAH bagaimana setiap karya bangunan merupakan upaya penghadiran semesta atau
Kahyangan Raya . Oleh karena itu proses karya pembangunan juga merupakan penghadiran
penciptaan Semesta Raya.

5
Teladan Dari India

Halaman 169

Sebenarnya watak orang India tidak emosional, bahkan sebaliknya. Seperti orang orang
Yunani, manusia India memandang segala yang ia lihat dan alami itu sebagai suatu kosmos
yang agung. Bahkan secara radikal manusia India berkata

"Hanya Esa, hanya Esa-lah yang sejati tunggal, yang mutlak" Ke-esa-an tunggal yang mutlak
inilah yang dipegang teguh oleh manusia India selaku akar segala pemikiran lebih lanjut yang
tidak hanya satu, maka tidak mungkinlah ada kesejatian dalam segala yang serba banyak dan
macam-macam beraneka rupa di sekeliling kita dan di seluruh semesta ini.

● Pembebasan diri dari belenggu kesemuan Maya dapat dijalankan antara lain dalam
penghayatan tari-tarian yang mengejawantahkan tarian kosmos Dewa Syiwa, Dewa
penghancur kurungan Maya. Tidak perlu orang harus beragama Hindu atau Budha dulu,
agar dapat merasakan seni tari selaku olah pembebasan diri. Banyak frustasi dan rasa
terkekang manusia modern pun disembuhkan melalui seni tari dan seni lainnya.
Arsitektur dengan Citra yang benar pun dapat menjadi pembentuk jiwa sehat juga.
● Menari dalam arti asli bukan pementasan keelokan saja, tegapi esensinya ialah
mengarsitekturkan gerak kosmos dalam ruang.

Manusia yang bijaksana ialah manusia yang sadar akan tipuan itu. Oleh karena itu ia sadar
bahwa ia harus membebaskan diri dari maya artinya sadar bahwa diri kita dan diri segala yang
konkret ada (disebut dengan istilah: atman).

Dengan kata lain : manusia, menurut pandangan orang India, harus melakukan perjalanan
penuh perjuangan dan penekanan diri, untuk pergi dari keadaan maya yang semu ini; dan
semakin membersihkan diri, semakin menghening, sehingga bersih bebas tanpa rupa tanpa
napsu, tanpa hasrat, meniadakan diri. Jalan peniadaan diri (dari yang maya itu) ke dalam
keheningan murni mutlak (nirvana) itulah hakikat pandangan India beserta ungkapan-ungkapan
kebudayaanya.

Bagi kita yang hidup di abad ke-20 ini, tentulah penghayatan mitos sudah dilengkapi dengan
penghayatan ontologis. Artinya : dilepas dari ikatan-ikatan mutlak dengan hal gaib atau
pengangan anganan yang tidak empiris, tidak dapat diraba, dipegang dan diukur secara eksak.

6
Penghayatan ontologis langsing memegang dan memandang benda dan gejala sebagai benda
atau biasa yang dapat diukur, dicari sebab musababnya secara fisik apa adanya.

NAMUN dalam pengertian arsitektur modern pun masalahnya pada hakikatnya masih sama,
yakni bagaimana kita dengan citra-citra dan pelambangan benruk yang tersedia, tetap masih
dapat menciptakan arsitektur modern yang tidak berjiwa rendah. Kekosongan nirvana menurut
kepercayaan India sebetulnya tidak hanya kosong negatif belaka, tetapi diberi arti benar benar
positif; kekosongan yang penuh berisi. Seperti peniadaan benda yang dapat berubah wujud
menjadi energi murni. Menurut hukum massa materi-energi Einstein pun "pengosongan" tidak
selalu harus bersifat negatif belaka. Karena energi adalah suatu bentuk materi, dan materi
adalah salah satu bentuk energi, maka "pengosongan" materi (yang berubah bentuknya menjadi
kepenuhan energi).

Buku Wastu Citra tidak mengarahkan kita untuk mematuhi paham klasik India tersebut. Romo
Mangun menggagas budi bahasa sebagai citra manusia. Kata Wastu dimaksudkan untuk
membuat para pembelajar arsitektur untuk berhenti sejenak dalam proses desain untuk
menjelajah sejarah budi bahasa lokal di tempat dimana ia melaksanakan tugasnya. Wastu Citra
adalah undangan untuk memperlakukan seni membangun sebagai daya ungkap kemanusiaan
yang luhur. Untuk itulah Romo Mangun membahasakan seni membangun dengan kata
Wastu Citra, dan menghindari kata ‘arsitektur’.

BAB Hikmah Dari Yunani

Halaman 261

Sumber esensial kebudayaan Barat ialah kebudayaan Yunani Klasik Antik (sejak kira-kira abad
ke-5 SM). Oleh karena itu kita hanya paham juga tentang buah-buah pikir maupun seni Yunani
klasik itu.

ORANG Yunani memang rasional dan tokoh-tokoh pemikirnya selalu mempertanyakan


hakikat segala sesuatu . Dalam berarsitektur pun mereka mencari hakikat bangunan itu dan
mencoba mengungkapkannya dalam bentuk. Mereka berpendapat, bahwa segala bangunan,
(artinya: yang bangun atau dengan kata lain berdiri), berhakikat 2 prinsip :

1. Ada unsur yang dipikul atau di topang


2. Unsur lain yang memikul atau menopang

7
Bila yang di-pikul atau me-mikulnya ada keseimbangan, artinya serba stabil, maka hakikat
bangunan sudah tertemulah dan justru itulah yang harus diekspresikan, yakni tekoon. Tektoon
menunjuk pada segala hal yang stabil, yang tidak roboh, yang dapat diandalkan.

Kebenaran prinsip tektoon sangat memuaskan jiwa manusia Yunani yang suka berabstraksi
rasional, yang gemar menganalisa dan berpikir tajam tentang hukum alam yang universal. Hal
itu sangat diekspresikan dalam oenataan reka bentuk bangunan-bangunan Yunani; dan yang
kelak menjadi ideal zaman renaissance (abad ke-14-16) dan Klasisis (abad ke 17) serta
neoklasik (abad ke-18) di Amerika dan lain-laiin bahkan sampai di Indonesia sekalipun (Istana
merdeka di Jakarta, Bank Indonesia, dll). Begitulah kata Tektoon tadi masuk ke dalam
perbendaharaan kata resmi dan populer : archetektoon menjadi architecture (bahasa Inggris),
architectuur (bahasa Belanda) yang diIndonesiakan menjadi arsitektur.

● Prinsip Tektoon di Yunani klasik begitu mendalam pada jiwa penghayatan arsitek
Barat, sehingga dalam arsitektur super modern pun, seperti yang dikerjakan oleh Mies
Van der Rohe pada Galeri Nasional di Berlin, Jerman, Citra tektoon tadi direalisasikan
secara sengaja dan bening murni klasik dengan bahan bahan teknologi tinggi. Segala
detail disini sangat bersih dalam iklim citra logika bening dan matematika eksak.

Buah arsitektur yang berkualitas selalu punya daya citra yang khas, memiliki kekuatan terhadap
persepsi maupun cita rasa psikologis orang yang menghadapinya. Disinilah tugas arsitek. Ibarat
menimpa keris yang berpamor, bukan cuma benda yang dapat efektif menusuk orang. Atau
selaku modiste, sutradara, dan sebagainya. Memancarkan pamor citra.

Memanfaatkan hikmah para pemikir pemikir tanpa penjiplakan mutlak-mutlakan, tetapi secara
arif. Yang penting, wajib berarsitektur dengan sebenar, sejujur, dan sewajar mungkin, karena
kita semua menginginkan manusia beserta arsitektur sebagai ekspresi bangsa yang berbudi baik
dan yang berbudaya suka memperbaiki. Teristimewa di negeri kita yang masih harus bergulat
menemukan identitas kebudayaan.

8
Tektonika adalah salah satu segi terkuat dari karya Mangunwijaya. Hampir

seluruh karyanya dibentuk dari sikap hormatnya pada bahan dan bagaimana

memperlakukannya. Ia berperan sebagai manusia pembangun sebaik-baiknya:

tukang. (Mahatmanto,1999:18). Konsep tektonika arsitektur yang begitu logis

namun berpuisi. Di titik inilah Romo Mangun tak tergantikan.

Tektonika dituliskan Y.B Mangunwijaya (1988:262) yang beliau bangun dari

hikmah pemikiran Yunani. Segala bangunan berhakikat dua prinsip : (1) ada unsur

yang dipikul atau ditopang dan (2) unsur lain yang memikul atau menopang. Bila

antara yang dipikul dan memikulnya ada keseimbangan, artinya serba stabil, maka

hakikat bangunan sudah tertemulah dan justru itulah yang harus diespresikan, yakni

tektoon. Tektoon menunjuk pada segala yang stabil, yang tidak roboh, yang dapat

diandalkannya.

BAB Penghayatan Gatra dan Penghayatan Ruang

Halaman 363

Bila memandang pada karya-karya arsitektur Yunani, tampaklah bahwa orang orang Yunani
punya selera khusus, suka menikmati segala hal yang berat, yang memiliki volume-volume
penuh, kompak, padat. Pertama itu terbawa oleh bahan yang mereka pakai; batu granit,
marmer;pendek kata serba batu yang tentunya bersifat keras, kompak, padat, berat. Maka tidak
mengherankan, bila dalam alam penghayatan orang Yunani, berarsitektur berarti mengolah
tektoon, statika bangunan (agar batu-batu berat ditopang stabil) ; dengan kata lain, karena bahan
pokoknya batu alam, maka konsepsi arsitektur Yunani mengolah atau bermain dengan gatra-
gatra (volume-volume) atau massa-massa materi.

Manusia Yunani pada dasarnya memang ahli memahat patung; dan dunia patung (lain dari
lukisan, seperti yang dihasilkan bakat-bakat manusia Cina atau Jepang) selalu terolah dari
gatra-gatra selaku bentuk seni pahat. Orang Yunani manusia pecinta gatra. Kenikmatan

9
estetikanya ada pada kepuasan memandang gatra-gatra selaku bentuk bentuk seni pahat. Dan
itu harus selaku dipandang dwngan jarak tertentubdiluar gatra gedung tentu saja. Sebab,
bagaimana mungkin memandang dan menikmati patung dari dalam patung. Tetapi itu lalu
berarti, bahwa orang Yunani melalaikan tugas membentuk ruang-ruang. Dan memanglah
begitu: orang dan arsitektur Yunani bukan pembentuk ruangan yang pandai. Ruangan dalam
rumah-rumah orang Yunani, apalagi dalam bait bait ibadat mereka, pas pasan saja dapat
digunakan fungsional, seperti dalam candi candi kita dan arsitektur gedung pemujaan Hindu.
Tetapi memang seni ruang jangan dicari dalam dunia arsitektur Yunani.

Murid-murid bangsa Yunani, yakni bangsa Romawi-lah menyempurnakan seni gatra


dengan bakat genius Romawi dengan seni ruang. Berarsitektur dalam selera Yunani ialah
membangun monumen yang heroik dan sedap dilihat dari jauh. Lain sekali dari seniman
seniwati ruang seperti orang orang Cina, orang Jepang, dan teriatimewa orang Bali. Pendekar-
pendekar anti seni gatra lain ialah bangsa-bangsa India, Jawa-Hindu, Mesir, Maya, dan Aztek.

● Arsitektur bangsa-bangsa kuna di daerah Meksiko dan Peru mencitrakan bangsa yang
seperti Mesir Kuna, penuh keyakinan diri, berperangai tuan kuasa, tega keji, Garis
goresnya tidak melengkung luwes seperti India, tetapi melengkung jantan nyaris lurus,
dengan sudut sudut serba kejut, berselera gatra gagah padat.

KEBUDAYAAN Mesir lebih Kuna daripada Kebudayaan Yunani. Dalam banyak ide dan
citarasa, arsitektur Yunani melalui jalan panjang terpengaruh dan seperasaan dengan arsitektur
Mesir. Juga arsitektur Mesir seperti di Yunani rumbuh dari cara-cara teknik serta reka-bentuk
yang aslinya mempergunakan bahan-bahan sederhana, kayu dan gelagah gelagah papirus yang
banyak tumbuh di tepi sungai Nil.

BANGUNAN-BANGUNAN Kebudayaan Aztek dan Maya di Meksiko, Kolombia, Chili


dalam ungkapan luarnya sesaudara dengan bangunan-bangunan Mesir Kuna. Bangsa-bangsa
Aztek dan Maya mendirikan juga Piramid-piramid Mesir dimaksud selaku Makam-makam
para Maharaja, sedangkan piramida kebudayaan Aztek dan Maya dipakai sebagai kuil korban-
korban manusia serba keji. Para arsitwk mesir hanya membangunbmakam-makam, tetapi
bangsa Aztek dan Maya sungguh-sungguh mencipta dalam arti wastu yang luas : tata kota, tata
rumah, tata lingkungan, tata pertahanan, dan sebagainya dengan ambisi dan pencapaian ordo
yang hebat.

Kita harus mempelajari kedua duanya : seni gatra dan seni ruang. Itulah wastu dalam arti utuh
dan lengkap. Sebab, ruangan barulah ruangan apabila memperoleh batas-batasnya.

10
Ruang tak punya batas hanya angkasa raya. Batas-batas ruang adalah bidang-bidang. Dan
karena bidang kerempeng belaka tidak ada gunanya dalam kehidupan sehari hari, selain untuk
pagar atau papan iklan, maka bidang bidang batas ruang biasanya diambil dari gatra-gatra yang
dinding luarnya tentulah selaku merupakan bidang-bidang.

BAB Gaya Arjuna dan Rahwana

Halaman 397

Tiang Mesir tampak sangat sederhana, walaupun garis garis alur melintang pada tiang, beserta
bantalan anatar pucung tiang dan balok yang ditopangnya cukup memberi kesan hiasan.
Bentuk-bentuknya serba mengekang diri, penuh disiplin, dan dapat dikatakan berwatak lelaki
yang stabil, teguh, tenang, tidak banyak cingcong. Bagaikan seorang pengawal raja, yang hanya
tahu tugasnya yang pokok, tanpa dapat diselewengkan ke arah ulah yang bukan-bukan. Tiang
ini bagaikan tokoh wayang Bima (Werkudara) dalam hal keseluruhan wataknya, tidak kenal
basa basi dan jujur apa adanya. Tiang ini juga dapat diibaratkan gaya tari atau gamelan Jawa,
yang anggun seperti Arjuna sang jago perang yang sakti tetapi sangat tenang, penuh rasa pasti
terhadap diri sendiri.

● Gaya tari jawa tengah dan gaya tari Bali, kedua duanya punya pengagumnya sendiri,
dan kedua duanya saling melengkapi. Kita pun membutuhkan orang yang tenang dan
stabil untuk kedudukan atau tugas tugas tertentu; namun untuk tugas tugas yang lain
sering sebaliknya : dibutuhkan orang orang yang penuh gelora dan semangat berapi-
api. Demikian pula dalam pemilihan bentuk-bentuk karya-karya wastu kita harus
mempertimbangkanya masak-masak, pola mana yang kita pilih, agar selaras dengan
sasaran yang ingin kita capai atau yang ditugaskan kepada sang Sthapati.
● Cita-cita manusia jawa ialah menjadi ksatria anggun yang mengemban kesialan bahkan
ketidakadilan tanpa raut kesal satupun; namun yang dengan girang atau jaya tetap jua
menguasai emosinya. Ia mencari yang ningrat, bahkan juga yang rumit dan rohani.
Maka seninya ditandai oleh pengekangan diri serta penyelesaian detail-detail rumit
kecil. Dipihak lain manusia Bali suka yang lebih ekspresif dalam lawak maupun
seriosa. Ia membanjir dengan warna kencana dan warna warni bergelora. Musiknya
meski kaya dan bermelodi, punya watak khas serba meletus, dan ledakan ledakan yang
tiba-tiba dalam gerak cepat penuh gairah menandai kekhususan irama-irama tati yang
meluapkan energi. Sedangkan manusia Jawa berjiwa pangeran atau budak, manusia

11
Bali lebih memiliki sikap warganegara merdeka yang penuh harga diri. Berlawanan
sekali dengan manusia Jawa yang cenderung pada mistik, dan yang gemar
memperdalam diri dengan uraian-uraian yang mendalam, manusia Bali lebih suka pada
hal hal yang konkret.
● Orang Barat menyebut watak dan citra yang tenang stabil dengan sebutan watak Apollo.
Dewa Apollo dicitrakan oleh orang Yunani sebgaai lelaki muda tampan, tenang
bagaikan Arjuna (Jawa). Sebaliknya watak Deaa Dyonisios adalah Dewa dalam
keadaan mabuk, hidup vital bergelora tak terkendalikan, Rahwana. Lepas semua
jangkar napsunya, sehingga ia mengambang antara sadar dan tidak sadar.
● Brangasan. Watak Dyonisios atau Rahwana dalam tari Jawa

SIFAT Dyonisios tidak harus lebih buruk dari sifat Apollo. Disini belum dipersoalkan mana
yang lebih baik atau mana perlu diberantas. Kedua-duanya punya fungsi sendiri dan benar-
benar sebagian dari bakat vital manusiawi.

Teori Obyektif berpendapat bahwa keindahan adalah sifat (kualitas) yang memang telah
melekat pada bendanya (yang disebut) yang merupakan obyek. Ciri yang memberi keindahan
itu adalah perimbangan antara bagian-bagian pada benda tersebut, sehingga asas-asas tertentu
mengenai bentuk dapat terpenuhi.

Teori Subyektif mengemukakan bahwa keindahan itu hanyalah tanggapan perasaan dalam diri
seseorang yang mengamati benda itu. Jadi kesimpulannya tergantung pada
penyerapan/persepsi pengamat yang menyatakan benda yang dimaksud itu indah atau tidak

12
Pesan Romo Mangun kepada para pembelajar

Wastu Citra melekatkan bangunan, ruang, lingkungan terbangun kepada perilaku kita sehari-
hari. Ketika ia dikritik karena desainnya perlu perawatan sangat rutin, ia menjawab bahwa
bangunan adalah perwujudan tubuh manusia yang meluas, karena itu perlu diperhatikan setiap
hari, dirawat dan dibersihkan rutin.

Ia juga dikritik karena penggunaan material bambu serta kayu yang tidak akan bertahan lama
dan karenanya turut berperan memusnahkan hutan. Ia mempersoalkan mengapa kayu menjadi
langka: karena lahan hutan beralih fungsi. Desainnya dianggap tidak standar, melawan
ketersediaan bahan bangunan sehingga membuat para tukang harus membuat sendiri material
atap, dinding dan ubin lantai. Bangunan Romo Mangun mahal justru pada ongkos kerja. Ia
memang suka bermain dengan bahan dasar beton, tanah lempung serta kelenturan batang besi.
Beliau menjawab bahwa para tukang memang harus dibayar tinggi untuk kerja membangun.
Kreativitas yang tidak didikte oleh industri merupakan penghargaan pada budi bahasa yang
unik pada masing-masing manusia dalam menciptakan ulang semesta.

● Referensi Buku

Mangunwijaya, Y. B. (1989). Wastu citra: pengantar ke ilmu budaya bentuk arsitektur, sendi-
sendi filsafatnya, beserta contoh-contoh praktis. PT Gramedia Pustaka Utama.

13

Anda mungkin juga menyukai