SURAKARTA
Disusun Oleh :
Azalia Farika Andit
2011912011
JURUSAN TARI
FAKULTAS SENI PERTUNJUKAN
INSTITUT SENI INDONESIA YOGYAKARTA
2021
A. Latar Belakang
Seni tari adalah satu dari beberapa kesenian yang dikembangkan di Indonesia.
Seni tari Jawa, diekspresikan melalui gerak tubuh para penari yang di dalamnya
menggambarkan bentuk ekspresi atau pengungkapan yang disertai kandungan maksud-
maksud dan tujuan tertentu. Salah satu tarian yang cukup populer adalah Tari
Gambyong , eksotisme gerak, keindahan busana dan sering ditampilkan pada saat
penyambutan tamu adalah beberapa hal yang identik dengan tarian ini.
Kesenian lahir dari daya cipta, rasa dan karsa komunitas masyarakat yang
ditujukan untuk berbagai kegiatan, seperti untuk hiburan tetapi juga yang bersifat ritual.
Dalam suatu kesenian biasanya mengekspresikan perasaan kolektif dan ekspresi yang
muncul menunjukkan tingkat peradaban dan nilai-nilai tertentu yang dianut suatu
masyarakat. Seni tari adalah satu dari beberapa kesenian yang dikembangkan di
Indonesia dan diekspresikan melalui gerak tubuh para penari yang di dalamnya
mengandung maksud-maksud dan tujuan tertentu. Secara umum tari-tarian di Indonesia
mempunyai tiga fungsi, yaitu : tari sebagai bagian dari ritus, tari sebagai sarana untuk
mendapatkan kesenangan, tari sebagai pelengkap kebesaran seseorang atau suatu
lingkungan tertentu.
Melihat perkembangan kesenian daerah khususnya tari di Jawa Tengah ada yang
menarik perhatian penulis, bagaimana tari Gambyong ini mengalami perubahan dari
masa ke masa. Terlihat adanya perubahan pada tari gambyong ini, yang awalnya tarian
rakyat dari kalangan kelas rendah dibawa ke istana dan menjadi kesenian tinggi.
Kemudian ada perubahan lagi, setelah masuk sebagai budaya aristokrat terjadi
perombakan yang dilakukan pada unsurunsur dalam tari atau pakem dari tarian ini. Mulai
dari perubahan pada susunan gerakan tari, durasi, busana, iringan musik dan tata riasnya
yang seolah-olah lebih ke arah praktis di mana disesuaikan dengan lingkungan
masyarakat namun maknanya yang tinggi masih melekat hingga saat ini.
Masyarakat Surakarta tempo dulu akan mempertunjukkan tarian ini sebagai
undangan kepada Dewi Sri atau Dewi Padi. Tujuan diadakannya pertunjukan Tari Tayub
ini agar Dewi Sri memberkahi sawah dengan hasil panen yang maksimal. Maka dari itu
Tayub sebagai tarian yang memiliki konsep kesuburan, yang dikarenakan berkaitan erat
dengan keberadaan Dewi Sri.
Awal mulanya Tari Gambyong ini ditarikan sebagai pengawal dari tayuban
(upacara kesuburan) sebelum mereka menari dalam pasangan bersama seorang pria. Baru
setelah tarian Gambyong ini selesai dilanjutkan dengan tarian berpasangan. Jadi pada
intinya, tayuban terdiri dari 2 bagian namun mulai berkurang penyelenggaraannya, maka
Gambyong berkembang mandiri menjadi tarian yang berdiri sendiri. Artinya, Gambyong
dipentaskan tanpa harus diikuti dengan tayuban, sehingga bagi penari pada umumnya
dirasakan sebagai tarian yang berdiri sendiri sebagai tarian yang sangat dikenal luas oleh
masyarakat.
Gambyong Pareanom adalah tari Gambyong pertama yang dikembangkan oleh
Mangkunegaran, setelah itu muncul beberapa versi lain dari tarian Gambyong ini yang
disesuaikan dengan beberapa kondisi yang ada. Sebagai cikal bakal dari tari Gambyong
lainnya, tarian ini memiliki ciri khas yang berbeda dengan Tari Gambyong yang lahir
setelahnya. Eksotisme gerak, keindahan busana dan sering ditampilkan sebagai tarian
penyambutan tamu adalah hal yang sangat menarik untuk dibahas dalam tulisan ini.
B. Pembahasan
I. Lembaga Budaya
1. Gambaran Wilayah Geografis dan Administratif
Kota Surakarta secara geografis berada pada jalur strategis lalu lintas ekonomi
perdagangan maupun kepariwisataan diantaranya Jogjakarta-SoloSemarang (Joglo
Semar) – Surabaya dan Bali. Kota Surakarta merupakan wilayah otonom dengan status
kota di Provinsi Jawa Tengah. Secara administrasi, batas wilayah Kota Surakarta sebelah
utara berbatasan dengan Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Boyolali, sebelah
selatan berbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo, sebelah timur berbatasan dengan
Kabupaten Karanganyar, dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Karanganyar
dan Kabupaten Boyolali.
Kota Surakarta yang sering dikenal dengan kota solo telah berkembang sebagai salah
satu kota besar di Indonesia dengan berbagai atribut kota yang melekat seperti kota
budaya, pariwisata, jasa, pelajar olahraga vokasi dan berbagai atribut lain. Kota Surakarta
juga dikenal dengan sebutan Solo The Spirit of Java, Solo City of Batik dan Solo City of
Charm. Keragaman atribut kota itu menggambarkan besarnya potensi dan tingkat
keberhasilan pembangunan yang dilaksanakan di kota Surakarta. Namun demikian
dibalik keberhasilan yang telah diraih, pembangunan kota Surakarta saat ini dan dimasa
yang akan datang masih banyak yang harus ditingkatkan sekaligus menjadi tantangan
dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
2. Gambaran sebagai Wilayah Budaya
Kebudayaan Solo yang masih kental hadir disetiap sudut kota, menjadikan keunikan
tersendiri bagi Solo. Tiap sudut kota juga berhiaskan ornamen khas Solo yang masih
bertahan hingga sekarang, seperti gapura berlukiskan motif batik, patung-patung wayang
menghias jalan-jalan, lampu kota ala zaman dahulu juga masih tergantung indah,
restoran-restoran dengan suasana tempo dulu, belum lagi beberapa gedung perkantoran
yang tetap dipertahankan keaslian arsitekturnya dari zaman ke zaman. Pemandangan ini
membawa wisatawan yang singgah merasa betah.
Kesenian tradisional seperti wayang orang, wayang kulit, ketoprak, dan lain-lain juga
masih terus dilestarikan oleh masyarakat. Seminggu sekali kesenian-kesenian tadi
dipentasankan di Sriwedari untuk menjaga keeksisanannya. Diluar itu, jika ada perayaan
tertentu, kesenian-kesenian tersebut juga ikut serta memeriahkan. Dapat dikatakan bahwa
serba-serbi peninggalan nenek moyang begitu arifnya dijaga oleh masyarakat Kota Solo.
Mereka paham betul bagaimana menyimpan kekayaan tradisional agar kelak 2 dapat
dinikmati anak cucu. Keramahan masyarakatnya juga membuat Solo begitu hangat. Tak
heran, Solo dinobatkan sebagai salah satu World Heritage City oleh UNESCO.
3. Sejarah sebuah Wilayah
a. Berdasarkan Legenda
Pada tahun 1745, kerajaan di Kartasura dibongkar dan diangkut dalam sebuah
prosesi ke Surakarta, di tepi Sungai Bengawan Solo. Setelah pindah ke Desa Sala,
kerajaan Mataram menghadapi perlawanan hebat dari Raden Mas Said dan Pangeran
Mangkubumi. Perlawanan Mangkubumi berhenti setelah muncul kesepakatan dalam
bentuk Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755. Dalam perjanjian tersebut
menghasilkan keputusan penting berupa, pembagian Kerajaan Mataram menjadi dua,
yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat. Dengan
adanya perjanjian tersebut, kerajaan Mataram berakhir.
Sejarah nama Kota Solo sendiri dikarenakan daerah ini pada dahulu banyak
ditumbuhi tanaman pohon Sala, yaitu sejenis pohon pinus. Masyarakat mengenalnya
dengan nama pohon Peluru Meriam. Dalam sejarah dan asal-usul perkembangan Kota
Solo, Desa Sala berubah nama menjadi Kota Solo hanya dikarenakan salah penyebutan
orang-orang Eropa. Pada masa itu, orang-orang Belanda sulit untuk menyebutan nama
Sala, menggunakan huruf “a”. Kemudian, berubah menjadi “o” sehingga pelafalannya
berubah menjadi Solo. Selain itu, Surakarta juga digunakan sebagai nama eks
karesidenan yang terdiri dari tujuh wilayah di Soloraya, yakni Boyolali, Sragen,
Wonogiri, Klaten, Karanganyar, Solo, dan Sukoharjo.
b. Berdasarkan Catatan Musafir dan Data Arkeologi
Surakarta mempunyai peran penting tidak hanya sebagai kota kerajaan namun
juga telah tumbuh menjadi salah satu kota kolonial yang berfungsi sebagai Karesidenan,
sehingga membawahi wilayah-wilayah satelit di sekelilingnya. Sebagai Ibu Kota
Kerajaan Kasunanan, Pusat Pemerintahan Mangkunegaran, dan juga sebagai Kota
Karesidenan, Surakarta terus malakukan modernisasi.
Sejarah kelahiran kota Surakarta (Solo) dimulai pada masa pemerintahan Raja
Paku Buwono II di keraton Kartosuro. Masa pemberontakan Mas Garendi (Sunan
Kuning) dibantu kerabat-kerabat keraton yang tidak setuju dengan sikap Paku Buwono II,
mengadakan kerjasama dengan Belanda. Salah satu pendukung pemberontakan adalah
Pangeran Sambernyowo (RM Said) yang merasa kecewa. Pangeran Sambernyowo
kecewa karena daerah Sukowati yang dulu diberi-kan oleh keraton kartosuro kepada
ayahandanya dipangkas. Paku Buwono meng-ungsi kedaerah Jawa Timur (Pacitan dan
Ponorogo), karena terdesak. Berkat bantuan pasukan Kompeni dibawah pimpinan Mayor
Baron Van Hohendrof serta adipati Bagus Suroto dari Ponorogo pemberontakan berhasil
dipadamkan. Setelah mengetahui keraton Kartosuro dihancurkan.
Tanggal 16 Juni merupakan hari jadi pemerintah kota Surakarta. Secara de facto
tanggal 16 Juni 1946 terbentuk pemerintah daerah kota Surakarta yang berhak mengatur
dan mengurus rumah tangganya sendiri dan sekaligus menghapus kekuasaan kerajaan
Kasunanan dan Mangkunegaran.
4. Aspek Sosial
a. Pola Perkampungan
Kota Surakarta dalam lingkungan tradisional kraton Kasunanan dan Mangkunegaran,
tersusun dari permukiman para putra dan putri raja, pejabat tinggi, menengah, dan
rendah, serta rakyat pada umumnya. Lingkungan-lingkungan permukiman tersebut
berkelompok berdasarkan peran/tugas mereka dalam sistem kehidupan pemerintahan
kerajaan (tradisional). Nama nama perkampungan biasanya memakai nama jabatan, gelar,
atau peran profesi penghuni utamanya.
Dalam sistem pemerintahan Kraton, terdapat 8 bupati Nayaka yang dikepalai oleh
Patih. Kampung Kepatihan terletak di sebelah utara Tugu. Kampung Sewu, tempat bupati
Sewu, berada di bagian timur kota, dari arah Tugu ke timur. Kampung Penumping,
kampung Bumigede, dan kampung Kaparak berada di bagian barat kota.
Kampung yang disebut menurut nama putra dan putri raja antara lain, Mangkubumen,
Kalitan, Jayakusuman, Adiwijayan, Singosaren, dan Suryobratan. Kampung-kampung ini
berada di bagian barat dan barat daya kraton. Kampung yang dinamakan berdasarkan
profesi antara lain, Carikan, Sraten, Kalangan, Punggawan, Patangpuluhan. dan Gurawan.
Kampung-kampung ini berada di bagian selatan, barat daya, barat dan barat laut dari
kraton Kasunanan.
Permukiman orang-orang yang bekerja sebagai tukang/pengrajin, bernama kampung
Serengan, Kawatan, Kemasan, Kundhen, Gerjen, Gapyukan, Jlagran, dan Slembaran.
Kampung-kampung tersebut berada di sebelah barat dan barat daya dari kraton. Hasil dari
kerajinan-kerajinan tersebut berupa perlengkapan rumah tangga dan perhiasan.
Permukiman industri yang lain adalah jenis sandang, yaitu kampung Laweyan, Kabangan
dan Mutihan. Ketiga kampung yang berada di bagian barat kota ini saling menunjang
(terkait) dalam pembuatan kain, benang, dan kain Batik beserta pewarnaannya.
Terdapat pusat-pusat kegiatan perdagangan, yang telah berkembang sejak masa
pemerintahan kerajaan, berupa pasar. Kegiatan pasar ini sebagai penunjang kegiatan
ekonomi masyarakat dan kraton, pada awalnya berlangsung pada hari pasaran tertentu.
Pasar-pasar tersebut selanjutnya dinamakan sesuai dengan hari bukanya, yaitu pasar Pon,
pasar Legi, dan pasar Kliwon. Pasar Pon terletak di sebelah selatan (depan) istana
Mangkunegaran. Pasar Legi terletak di sebelah utara istana Mangkunegaran, sedangkan
pasar Kliwon terletak di sebelah timur alun-alun Utara. Terdapat pasar lain yang menjadi
pasar utama kraton yaitu pasar Gedhe (Harionegoro). Pasar Gedhe ini menjadi pasar
induk setelah dijadikan limpahan dari pasar kraton yang berada di Gladag, sebelah utara
alun-alun Lor.
b. Mata Pencaharian
Ada pun ekonomi masyarakat Surakarta, mata pencaharian terdiri dari petani,
pekerja tani, wirausaha, pekerja industri, pekerja bangunan, pedagang, angkutan,
pensiunan, dan lain-lain. terdapat tiga jenis pekerjaan yang terbilang besar jumlahnya.
Pekerjaan terbesar sebagai karyawan swasta, diikuti dengan pelajar/mahasiswa,
selanjutnya disusul yang belum/tidak bekerja. Hal tersebut menginformasikan bahwa
sebagian besar jenis pekerjaan penduduk di Kota Surakarta pada sektor swasta. Proporsi
dari ketiga jenis pekerjaan tersebut,lebih didominasi laki-laki dibanding perempuan.
c. Sistem Kekerabatan
Garis keturunan yang dianut oleh masyarakat jawa adalah bilateral. Sedang istilah
kekerabatannya menunjukan klasifikasi menurut angkatan/urutan keturunan. Dalam hal
ini semua kakak laki-laki serta kakak wanita ayah dan ibu, beserta para isteri maupun
suami mereka di klasifikasikan menjadi satu dengan menggunakan istilah siwa atau uwa
(Pakdhe, Budhe). Sedang adik-adik dari pihak ayah dan ibu diklasifikasikan ke
dalam·dua golongan yang dibedakan menurut jenis kelamin, yaitu paman (Pak Lik) untuk
para adik laki-!aki dan bibi (Bu Lik) untuk para adik perempuan. Dalam adat perkawinan
masyarakat Jawa terdapat ketentuan bahwa seseorang (laki-laki dan perempuan) tidak
boleh kawin apabila: a). keduanya adalah saudara sekandung; b). anak-anak dua orang
laki-laki bersaudara sekandung (disebut pancer lanang atau pancer wali): c). sedulur
misan, yaitu saudara sepupu yang disebut nakdulur: d). apabila pihak laki-laki lebih muda
menurut garis keturunan dari pada pihak perempuan. Perkawinan antara dua orang laki-
laki dan perempuan yang tidak terikat oleh hubungan kekerabatan seperti tersebut di atas
diperkenankan. Perkawinan lazimnya dilakukan antara seorang perawan (gadis) dengan
seorang jaka (jejaka). Ada juga perkawinan yang disebut "ngarang wulu", yaitu
perkawinan antara seorang duda dengan seorang wanita, adik kandung almarhum
isterinya. Perkawinan wayuh, yaitu perkawinan antar seorang laki-laki yang masih
beristeri dengan wanita lain.
Diwayuh berarti dimadu (disebut juga poligami). Sebelum dilangsungkan suatu
perkawinan, lazimnya didahului dengan suatu lamaran dari pihak laki-laki kepada
keluarga si gadis. Lamaran tersebut dapat dilakukan oleh orang tua anak laki-laki atau
wakil orang tuanya. Lamaran itu diterima oleh pihak orang tua si gadis. Jika orang tua si
gadis telah meninggal, lamaran tersebut dapat diterima oleh wali atau kerabat dekat
menurut garis keturunan laki-laki, misalnya kakak kandung atau kakak ayah si gadis.
Melamar seorang gadis untuk diperjodohkan dalam bahasa Jawa disebut nakokake.
Sampai sekarang terutama di desa, masih ada perkawinan antara gadis dan jejaka yang
belum saling mengenal. Perkawinan semacam ini biasanya terjadi atas kehendak kedua
pihak orang tua, sehingga dapat disebut "kawin paksa". Jika antara gadis dan jejaka
belum saling mengenal, maka dilakukan pertemuan pertama oleh pihak laki-laki untuk
melihat calon isterinya. Peristiwa ini disebut "nontoni". Setelah terdapat kesepakatan
antara pihak si gadis dengan pihak laki-laki, maka dilanjutkan dengan mengadakan
upacara pertunangan beberapa waktu kemudian. Pertunangan itu disebut "peningsetan ",
yang artinya si gadis telah diikat oleh seseorang (jejaka) dalam kata lain "wis
dipacangake". Dalam masyarakat Jawa berlaku suatu adat bahwa untuk menentukan hari
perkawinan harus diperhitungkan hari kelahiran kedua calon pengantin serta hari pasaran
masing-masing. Misalnya kelahiran si jejaka pada hari Senin Pon dan si gadis pada hari
Kemis Pahing, maka harus dicari hari yang baik untuk mengadakan akad nikah atau ijab
kabul. Beberapa hari sebelum dilangsungkan upacara pernikahan, biasanya dilakukan
upacara "asok tukon" atau "srahsahan", yaitu pihak keluarga laki-laki menyerahkan
sejumlah uang atau barang, atau kombinasi antara keduanya kepada orang tua atau wali
calon pengantin wanita. Upacara itu merupakan tanda maskawin yang disaksikan oleh
kerabat-kerabatnya. Selain sistem perkawinan dengan cara melamar seperti di atas, dalam
masyarakat Jawa dikenal juga sistem perkawinan "magang", (jejaka sebelum menikah
mengabdikan dirinya pada kerabat si gadis) Bentuk yang lain yaitu sistem perkawinan
"triman ", yaitu perkawinan yang terjadi karena seseorang memperoleh isteri sebagai
pemberian atau hadiah dari salah satu lingkungan keluarga tertentu, misalnya keluarga
keraton a tau keluarga priyayi agung. Sedang wanita yang dihadiahkan itu telah
diperisterinya lebih dahulu. Bentuk perkawinan lainnya yaitu yang disebut "ngunggah-
unggahi ", yaitu apabila dari pihak kerabat 40 si gadis yang melamar jejaka.
d. Sistem Kemasyarakatan
Sebagai wilayah multietnis, Surakarta memiliki interaksi yang unik antara masing-
masing etnis. Interaksi etnis Jawa dengan Arab tidak memiliki banyak masalah. Etnis
Jawa memiliki keterbukaan dan bisa menerima etnis Arab dalam segala aktivitasnya.
Orang-orang keturunan Arab sebagian besar dari mereka bergerak dalam bidang ekonomi
dan industry batik. Berbeda dengan interaksi antara etnis Jawa dan etnis Tionghoa,
interaksi keduanya sering menimbulkan masalah dan tidak jarang berupa bentrok fisik.
Permusuhan dengan etnis Tionghoa mulai muncul sejak tahun 1911.
5. Aspek Kultural
a. Agama dan Kepercayaan
Masjid Agung Surakarta merupakan elemen yang tidak dapat dipisahkan begitu
saja dari proses perkembangan sejarah Islam di Jawa umumnya dan Keraton Surakarta
Hadiningrat khususnya. Secara terstruktur, masjid menjadi ciri identitas agama Islam.
Masjid merupakan suatu karya budaya yang hidup, karena masjid merupakan karya
arsitektur yang selalu diciptakan, dipakai oleh masyarakat muslim secara luas, dan
digunakan terus-menerus dari generasi ke generasi. Karena itu, sebagai bangunan
religius, masjid adalah representasi dari komunitas umat Islam yang melahirkan dan
memakmurkannya, sangat kaya dengan nilai-nilai kearifan lokal. Masjid Agung
Surakarta merupakan bukti keberadaan Islam yang terdapat di Kasunanan Surakarta.
Keberadaan Agama Islam tidak hanya dapat dilihat dari para pemeluknya, akan tetapi
dapat dilihat dari beberapa peninggalanpeninggalannya. Peninggalan Masjid Agung
Surakarta yang dapat disaksikan di Kasunanan Surakarta merupakan perpaduan antara
kebudayaan Islam dan kebudayaan setempat.
Masjid Agung Surakarta merupakan lambang sejarah tentang kehidupan manusia
Jawa sepanjang masa, khususnya di Kasunanan Surakarta. Lambang sejarah pada Masjid
Agung Surakarta dapat diartikan bahwa bangunan tersebut merupakan hasil karya yang
diciptakan dengan penghayatan tinggi, dan dapat dikatakan mewakili perjalanan hidup
manusia yang mendukungnya.
Masjid Agung Surakarta sendiri merupakan salah satu simbol keislaman di
Kasunanan Surakarta. Tingginya kesadaran religius Raja dan masyarakat, membuat
perkembangan agama Islam dan pengelolaan masjid sebagai cahaya terang semakin
meningkat. Pembangunan masjid dilakukan oleh Raja-Raja Kasunanan untuk
menyempurnakan Masjid Agung Surakarta dan berbagai ajaran agama disampaikan.
Agama Islam merupakan sistem keyakinan, sedangkan budaya Jawa adalah falsafah
kehidupan yang diyakini masyarakat Jawa. Berbagai terobosan dan pembangunan yang
berkaitan dengan Masjid Agung, tidak lepas dari pendidikan agama dan kepercayaan
masyarakat pendukungnya. Unsur arsitektur bangunan Masjid Agung Surakarta memiliki
nilai yang dapat diambil dari maknanya, terutama nilai religius. Religi mengandung
segala keyakinan bayangan manusia tentang sifat-sifat tuhan, tentang alam ghaib, tentang
segala nilai, norma dan ajaran religi, yang bersangkutan.
b. Bahasa
Bahasa Jawa Surakarta adalah dialek bahasa Jawa yang diucapkan di
daerah Surakarta dan sekitarnya. Dialek ini menjadi standar bagi pengajaran bahasa Jawa.
Meskipun satu rumpun, bahasa Jawa di tiap daerah di Jawa Tengah mempunyai ciri-ciri
tersendiri yang khas mencerminkan dari mana asal bahasa Jawa tersebut. Bahasa yang
digunakan di Surakarta adalah bahasa Jawa Surakarta dialek Mataraman (Jawa
Tengahan) dengan varian Surakarta. Dialek Mataraman/Jawa Tengahan juga dituturkan
di daerah Yogyakarta, Magelang timur, Semarang, Pati, Madiun, hingga sebagian besar
Kediri. Meskipun demikian varian lokal Surakarta ini dikenal sebagai “varian halus”
karena penggunaan kata-kata krama yang meluas dalam percakapan sehari-hari, lebih
luas daripada yang digunakan di tempat lain. Bahasa Jawa varian Surakarta digunakan
sebagai standar bahasa Jawa nasional (dan internasional, seperti di Suriname). Walaupun
dalam kesehariannya masyarakat Solo menggunakan bahasa nasional bahasa Indonesia,
namun sejak kepemimpinan wali kota Joko Widodo maka bahasa Jawa mulai digalakkan
kembali penggunaannya di tempat-tempat umum, termasuk pada plang nama-nama jalan
dan nama-nama instansi pemerintahan dan bisnis swasta.
c. Kesenian
Dalam perkembangannya, Kota Surakarta mengalami perkembangan di berbagai
bidang, termasuk kebudayaan. Kebudayaan tumbuh sangat subur dan mengakar sangat
kuat di Surakarta, di antaranya bahasa, religi, transportasi, seni, festival dan perayaan.
Surakarta merupakan kota pusat kebudayaan Jawa. Hal ini di kuatkan dengan kondisi
masyarakatnya yang masih banyak berpegang pada nilai-nilai tradisonal. Ini
membuktikan bahwa kebudayaan Jawa telah mengakar dengan kehidupan masyarakat
Surakarta. Seiring meningkat pesatnya Ilmu Teknologi dan Informasi secara global di
kota ini, belakangan ini memberikan berbagai pengaruh bagi masyarakat. Salah satunya
adalah menyebabkan terkikisnya nilai-nilai budaya daerah di kalangan 7 masyarakat,
khususnya remaja dan anak-anak usia dini. Budaya seni tradisional yang dulunya melekat
dikalangan anak-anak usia dini baik sebagai ketrampilan maupun media bermain kini
sudah jauh dari masa kanak-kanak.
Penyebab lunturnya budaya yaitu biasanya orang-orang yang mulai hidup di kota
besar lambat laun akan terlepas dari kebiasaan hidup yang tradisional. Selain media-
media elektronik, media cetak juga berpengaruh terhadap lunturnya kebudayaan. Sebab
didalam media cetak banyak juga dijumpai beberapa budaya asing yang membawa
dampak negatif. Hal ini cukup berpengaruh terhadap posisi seni budaya tradisional di
Kota Surakarta. Di kota ini seni dan budaya masih cukup mengakar pada masyarakat kota
banyak upaya dari upaya dari pemerintah untuk mempertahankan seni dan budaya
tradisonal Kota Surakarta. Pemerintah dan masyarakat sepertinya memiliki banyak upaya
untuk lebih kreatif dalam menarik minat dan perhatian masyarakat antara lain dengan
mengadakan event – event budaya seperti karnaval dan festival. Kota Surakarta atau yang
lebih dikenal dengan Kota Solo merupakan kota budaya yang dikenal hingga skala
internasional. Berbagai event budaya telah digelar di Kota ini dengan keberhasilannya
dalam mengundang kagum dan perhatian baik dari masyarakat Surakarta, masyarakat
luar kota bahkan warga asing. Hal itu dikarenakan event – event tersebut sebagian besar
berskala internasional, maka tak heran jika banyak wisatawa mancanegara yang
menyempatkan diri menonton event tersebut.
Ada beragam kebudayaan yang ada di daerah Surakarta, di antaranya adalah
sekaten, Tari Bedhaya Ketawang, Kirab Pusaka 1 Suro, Solo Batik Carnival, dan Grebeg
Sudiro. Sekaten adalah perayaan yang dilaksanakan setiap bulan mulud untuk
memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW. Pada tanggal 12 Maulud
diselenggarakan Grebeg Maulud. Kemudian diadakan pesta rakyat selama dua minggu.
Selama dua minggu ini pesta rakyat diadakan di Alun-alun utara. Pesta rakyat
menyajikan pasar malam, arena permainan anak dan pertunjukan-pertunjukan seni dan
akrobat. Pada hari terakhir Sekaten, diadakan kembali acara Grebeg Maulud di Alun-alun
Utara.
Tari Bedhaya Ketawang adalah sebuah tari yang amat disakralkan dan hanya
digelar dalam setahun sekali. Konon di dalamnya sang Ratu Kidul ikut menari sebagai
tanda penghormatan kepada raja-raja penerus dinasti Mataram. Asal mulanya tari
Bedhaya Ketawang hanya diperagakan oleh tujuh wanita saja. Dalam perkembangan
selanjutnya, karena tari ini dianggap sebuah tarian khusus dan dipercaya sebagai tari yang
amat sakral kemudian diperagakan oleh sembilan orang. Berbeda dengan tarian lainnya,
Bedhaya Ketawang ini semula khusus diperagakan oleh abdi dalem Bedhaya Keraton
Surakarta Hadiningrat. Iramanya pun terdengar lebih luruh (halus) dibanding dengan tari
lainnya semisal Srimpi, dan dalam penyajiannya tanpa disertai keplok-alok (tepuk tangan
dan perkataan) Dikatakan tari Bedhaya karena tari ini menyesuaikan dengan gendingnya,
seperti Bedhaya Gending Ketawang Ageng (Karya Penembahan Senapati) Bedhaya
Gending Tejanata dan Sinom (karya PB IX) Bedhaya Pangkur (karya PB VIII),
Miyanggong (karya PB IV), Duradasih (karya PB V), dan lainnya. Siapa sebenarnya
pencipta tari Bedhaya Ketawang itu sendiri sampai sekarang memang masih simpang
siur.
Kirab Pusaka 1 Suro yaitu acara yang ditujukan untuk merayakan tahun baru 1
suro. Rute yang ditempuh kurang lebih sejauh 3 km, yaitu Keraton – Alun-alun Utara –
Gladak – Jl. Mayor Kusmanto – Jl. Kapten Mulyadi – Jl. Veteran – Jl. Yos Sudarso – Jl.
Slamet Riyadi – Gladak kemudian kembali ke Keraton lagi. Pusaka- pusaka yang
memiliki daya magis tersebut dibawa oleh para abdi dalem yang berbusana Jawi Jangkep.
Kirap yang berada di depan adalah sekelompok Kebo Bule bernama Kyai Slamet
sedangkan barisan para pembawa pusaka berada di belakangnya. Acara ini di
selenggarakan oleh Keraton Surakarta dan Puro Mangkunegaran yang dilaksanakan pada
malam hari menjelang tanggal 1 suro.
Solo Batik Carnival adalah sebuah festival tahunan yang diadakan oleh
pemerintah Kota Surakarta dengan menggunakan batik sebagai bahan utama pembuatan
kostum. Para peserta karnaval akan membuat kostum karnaval dengan tema-tema yang di
tentukan. Para peserta akan mengenakan kostumnya sendiri dan berjalan di atas catwalk
yang berada di jalan Slamet Riyadi. Karnaval ini diadakan setiap tahun pada bulan Juni
sejak tahun 2008.
Grebeg Sudiro adalah perayaan yang diadakan untuk memperingati Tahun Baru
Imlek dengan perpaduan budaya Tionghoa-Jawa. Festival yang dimulai sejak 2007 ini
biasa dipusatkan di daerah Pasar Gedhe dan Balong (di kelurahan Sudiroprajan) dan
Balai Kota Surakarta.
II. ISI BUDAYA
1. Tema
Daerah Surakarta rupanya juga memiliki jenis tarian lain yang cukup terkenal.
Sebuah tarian klasik yang juga menjadi ikon kesenian Kota Surakarta saat ini. Tari
Gambyong adalah salah satu bentuk tarian klasik yang berasal dari Jawa Tengah,
tepatnya Kasunanan Surakarta. Tak cuma menarik masyarakat lokal saja, eksotisme tari
Gambyong bahkan ramai diminati para turis mancanegara yang berkunjung di Indonesia.
Minat masyarakat terhadap tarian ini tercermin dari didirikannya sanggar-sanggar tari
sebagai media pelestarian kesenian lokal ini. Dalam perjalanan sejarahnya, dari sejak
kemunculannya hingga sekarang ini, kesenian tari Gambyong telah mengalami berbagai
perkembangan. Jika dahulu tarian ini hanya ditampilkan untuk kalangan Keraton saja,
kini tarian Gambyong telah banyak disajikan secara terbuka untuk masyarakat. Tarian ini
telah menjadi bagian dari kekayaan budaya di Jawa Tengah. Pada dasarnya, Gambyong
diciptakan untuk penari tunggal, namun kini tarian ini lebih banyak dibawakan oleh
sejumlah penari dengan unsur blocking panggung, sehingga harus melibatkan garis dan
gerak yang sebar besar. Meskipun tarian ini tergolong sebagai tarian tradisional, dimana
kesenian-kesenian daerah di zaman ini telah tergerus dengan arus globalisasi dan
kesenian-kesenian yang lebih modern, tarian ini masih memiliki pasarnya sendiri. Nilai
Estetis dalam Tari Gambyong mencakup bentuk secara menyeluruh, tidak hanya terbatas
pada keindahan indera saja, tetapi juga kenikmatan jiwa.
2. Tempat
Tari klasik adalah tari yang lahir, tumbuh, dan berkembang di kalangan Istana
atau kraton yang digunakan untuk upacara-upacara adat kraton seperti, penobatan raja,
ulang tahun raja dan keluarganya, pernikahan putra-putri raja, penyambutan tamu-tamu
raja, penobatan putra-putra raja, khitanan putra-putri raja. Di masyarakat umum tari
klasik juga mempunyai peranan yang sangat kuat, yakni sebagai media upacara, tontonan,
dan hiburan. Tari gambyong merupakan tari klasik sabagai identitas Jawa Tengah
berfungsi sebagai penyambutan tamu. Sebagai bentuk tari hasil dari perpaduan tari rakyat
dan tari istana atau keraton, Tari Gambyong memiliki bentuk yang khas. Sifat spontan
dan komunikatif tari rakyat, berpadu dengan sifat halus, luwes, dan lembut dari tari
istana. Selain itu, tari ini mempunyai gerakan-gerakan yang menarik, banyak berliku, dan
bersifat luwes, memikat dan lincah, serta bernilai teknik cukup tinggi. Tarian ini lebih
ditampilkan ketika ada acara sakral seperti pernikahan, syukuran, peringatan serta sebagai
bentuk penghormatan kepada tamu. Tari Gambyong dipentaskan di lingkungan istana,
pendopo, dan tempat-tempat pementasan lainnya.
3. Waktu
Tari Gambyong merupakan suatu tarian yang disajikan untuk menyambut tamu
atau mengawali suatu resepsi perkawinan. Ciri khas, selalu dibuka dengan gendhing
Pangkur. Tariannya terlihat indah dan elok apabila si penari mampu menyelaraskan gerak
dengan irama kendang dan gending. Tari ini merupakan tari hiburan yang dilaksanakan
atau dilakukan sebagai tarian penyambutan atau ucapan selamat datang terhadap tamu-
tamu yang datang ke Pura Mangkunegaran. Tari Gambyong Pareanom ini menceritakan
kecantikan dan kebahagiaan yang ada karena datangnya atau adanya kunjungan terhadap
tuan rumah. Pada zaman ini, Tari Gambyong Jawa Tengah memiliki perubahan nilai
estetis dan dipadati oleh koreografi yang menarik. Nilai khas tari Gambyong terletak
pada ornamen-ornamen gerak tari dan keharmonisan pada gerak dan pola irama kendang.
Penghayatan total dan disertai dengan wilet yang bagus akan sangat menambah nilai
sensualnya. Hal ini merupakan daya tarik bagi penonton untuk menikmati pertunjukan
tari Gambyong ini. Sejalan dengan perkembangan tersebut pada saat ini yang dapat
menjadi penari Gambyong Pareanom tidak saja mereka yang masih remaja namun juga
dalam rentang usia yang lebih panjang yaitu mulai usia 10 tahun hingga 40 tahun.
4. Pelaku
Tari Gambyong Pareanom adalah tarian tunggal wanita yang dapat ditarikan
secara duet, maupun kelompok sesuai dengan keinginan dari koreografernya sehingga
Tari Gambyong yang ditarikan oleh beberapa kelompok akan memiliki versinya sendiri,
seperti jumlah penari, gerak tari dan desain pola lantai sesuai dengan interpretasi dari
koreografer. Pada acara-acara besar terutama pada hari besar atau hari raya umat
Hindu, biasanya tarian ini ditampilkan sebagai hiburan sekaligus meramaikan acara
perayaan. Tari Gambyong Pareanom yang disajikan ditarikan secara berkelompok,
namun sebenarnya tari Gambyong adalah tari tunggal.
5. Pakaian
Perkembangan busana tari Gambyong yang beragam saat ini lebih terkesan
dekoratif dan kurang memperhatikan kesesuaian tari. Meskipun demikian,
perkembangan busana itu tetap membuat penyajian tari Gambyong semakin beragam dan
menarik. Penyajian tari Gambyong dapat mencapai nilai estetis apabila dilakukan oleh
penari yang memiliki dasar tari yang kuat. Kemantapan sajian tari dari seorang
penari dipengaruhi oleh latar belakang budaya yang membentuk diri penari, di samping
faktor kebiasaan dan kematangan.
6. Perlengkapan
Bagi seorang penari, tata rias wajah merupakan hal yang paling penting untuk
mengubah karakter pribadi menjadi karakter yang dibawakan sebagai wujud ekspresi
serta memberikan daya tarik tersendiri ketika pementasan berlangsung. Tata rias yang
digunakan pada Tari Gambyong adalah rias korektif atau rias cantik. Rias korektif
digunakan untuk mempertegas garis-garis wajah penari sehingga terlihat lebih cantik.
Riasan Tari Gambyong sendiri disesuaikan menurut zaman. Zaman dulu riasan tarian ini
hanya sederhana, tetapi zaman sekarang ini sudah ada pelajaran rias, pelajaran sanggul,
dan pelajaran berbusana. Riasan Tari Gambyong berbeda dengan wireng. Riasan wireng
biasanya lebih tebal sedikit agar balance dengan pakaian. Tata riasnya dimulai dari
foundation, dilapisi dengan bedak, lalu dengan menggunakan pencil alis penari membuat
alis cantik, kemudian memoleskan eye shadow pada kelopak mata, menggunakan bulu
mata, menambahkan eye liner untuk mempertegas alis dan mata penari, kemudian
menambahkan blush on dipipi dan terakhir penari menggunakan lipstick untuk bibir.
Dalam Tari Gambyong, properti yang digunakan adalah selendang atau yang
biasa disebut dalam bahasa jawa nya adalah sampur. Sampur melambangkan kelembutan
wanita-wanita Jawa merupakan selendang sempit dan panjang sebagai pelengkap saat
menari yang disampirkan atau dililitkan dipinggang. Sampur adalah properti yang sangat
penting dan tidak bisa dihilangkan dari tari Gambyong.
Jika suatu pertunjukan tidak dihadiri oleh penonton maka tidak lengkap rasanya
suatu kesenian atau lebih tepatnya tari gambyong ditampilkan. Karena penonton sangat
menentukan berhasil atau tidaknya suatu pertunjukan. Dengan apresiasi dan tanggapan
serta tepuk tangan yang diberikan penonton, maka pertunjukan tari gambyong dinilai
berhasil menghibur penonton. Penonton tari gambyong berasal dari beberapa kalangan,
baik itu dari kalangan biasa, kalangan menengah dan kalangan atas ataupun pejabat-
pejabat penting.
7. Musik
Instrumen pengatur ritme yang utama adalah kendang. Iringan Tari Gambyong
menggunakan kendang ciblon (kendang berukuran sedang). Kendang berperan/berfungsi
sebagai pemimpin pada iringan tari karena kendang yang menentukan irama. Pemain
kendang dengan jari-jari mereka yang lentur membuat suara yang dihasilkan berbeda-
beda pada instrument kendang untuk mengiringi tari. Pola-pola kendangan yang
dilakukan bervariasi dengan membuat kombinasi dengan berbagai suara yang disesuaikan
dengan gerak-gerak tari. Hubungan yang erat antara kendang dan gerak-gerak tari
Gambyong ini juga menjadi ciri tarian ini.
Pada mulanya Tari Gambyong Pareanom adalah tarian yang belum memiliki
aturan rangkaian gerak. Penari perlu untuk menampilkan gerakan tari yang sesuai dengan
iringan terutama irama dari kendang. Namun pada tahun 1950 terjadi penyusunan
rangkaian gerak dengan iringan yang mengikuti gerakannya sehingga Tari Gambyong
Pareanom yang biasa ditarikan hinggan saat ini adalah rangkaian gerak yang telah
dipadatkan.
8. Tempo dan Ritme
Ciri khas dari Tari Gambyong memang berbeda dengan lainnya. Di mana dapat
dilihat pada gerakan yang diciptakan yaitu Beksan. Mulai dari awal sampai akhir,
memang tidak mudah melakukannya karena penari sendiri tetap mengedepankan
keluwesan baik itu tangan, kaki, anggota tubuh hingga kepala. Tempo yang
dipertontonkan tidak sembarangan, pelan dan sangat hati-hati. Sehingga, kecantikan dari
seorang wanita jawa dapat terpancar dari pertunjukan terebut. Selain cantik, penari
sendiri menggambarkan kelembutan dan keanggunannya. Gerakan kaki harus sesuai
dengan iringan gamelan. Sementara, ekspresi muka harus tersenyum di mana hal ini
menunjukkan kecantikan alam dari dalam diri penari. Iringan musik atau gamelan untuk
tari Gambyong sendiri memang lebih halus dan lembut. Hal ini senada dengan
gerakannya yang tidak terburu-buru. Di mana alat musik utama untuk pertunjukkan ini
adalah kendang, sehingga mampu mengatur dan memainkan tempo.
9. Pola Lantai
Pola lantai gerakan adalah garis yang dilalui penari di atas lantai. Pola baris tari
Gambyong ada yang lurus dan ada yang lengkung. Sementara itu, formasi penari
beriringan memiliki kesan kekuatan dan kebersamaan. Arah hadap tarian ini yaitu ke
samping, ke depan, dan ke belakang. Gerakan tari gambyong terdiri dari 3 bagian yaitu
gerakan awal (maju beksan), gerakan utama (beksan), dan gerakan penutup (mundur
beksan). Tarian dimulai ketika alunan gending pangkur yang menjadi nyanyian awal
mengundang penari naik ke panggung.
Pola lantai tari gambyong menonjolkan gerakan kaki, tangan, tubuh, dan kepala.
Keunikan gerakannya yaitu pandangan penari sering melihat ke arah jari tangan.
Pergerakan kaki bergerak harmonis mengikuti alunan musik pengiring. Penggarapan pola
lantai pada tari Gambyong dilakukan pada peralihan rangkaian gerak, yaitu pada saat
transisi rangkaian gerak satu dengan gerak berikutnya. Sedangkan perpindahan posisi
penari biasanya pada gerak penghubung, yaitu srisig, singget ukel karna, kengser dan
nacah miring. Selain itu dilakukan pada rangkaian gerak berjalan (sekaran mlaku)
ataupun gerak di tempat (sekaran mandheg). Tari Gambyong sebagai tarian wanita
mempunyai regulasi-regulasi dalam implementasi geraknya sehingga prevasi geraknya
tampak dibatasi. Hal ini dilakukan agar sifat kewanitaan yang halos dapat dipertahankan
atau ditonjolkan. Dalam tarian wanita jarang ditemukan luapan emosi, tetapi harus selalu
lembut, halos dan sopan. Sifat wanita yang ideal dan luhur ini selalu dihormati dengan
ungkapan seni yang halus. Oleh karena itu, tidak ada gerak lengan yang lebih tinggi dari
bahu, tidak pernah ada gerak meloncat, dan kedua papa selalu rapat. Bentuk badan wanita
yang halus dan kelenturan anggota badannya menyempurnakan garis-garis kewanitaan
menjadi sangat indah. Ini dapat tercapai dengan naluri dan budi pekerti yang halus.
Dinamika dalam Tari Gambyong dapat dilihat dari perubahan gerak awal yang
pelan dan diiringi dengan musik mendayu-dayu, kemudian selanjutnya gerak yang luwes
dan lemah gemulai disesuaikan dengan musik yang mengiringi. Jadi pada Tari
Gambyong, dinamika yang digunakan adalah dinamika pelan ke sedang. Level gerak
pada Tari Gambyong, pada level tinggi ke medium lalu dilanjutkan ke level rendah, lalu
temponya dari lambat ke sedang sehingga tari terlihat lebih indah dengan berbagai
dinamika yang ditampilkan. Desain lantai pada tari Gambyong tergantung jumlah penari
bisa solo, berdua maupun lima bahkan lebih. Desain lantai yang dilalui oleh penari dalam
Tari Gambyong tidak banyak, hanya ada beberapa pola yang sederhana berupa garis
lurus, garis membentuk huruf V, garis lengkung, dan melingkar.
Tari Gambyong Pareanom dapat ditarikan secara tunggal atau bahkan secara
masal. Penari dengan jumlah yang banyak serta dibekali keterampilan menari yang baik,
dapat menghasilkan garap pola lantai yang beragam dan bervariasi. Pembuatan pola
lantai ini memungkinkan adanya interaksi serta komunikasi antara datu penari dengan
penari yang lainnya. Hal ini membuat sajian Tari Gambyong Pareanom menjadi lebih
menarik. Penataan juga dapat dilakukan pada level (tinggi rendah posisi penari) untuk
gerak-gerak yang dilakukan di tempat. Garap level ini bisa dilakukan pada gerakan ulap-
ulap, pilesan, tawing taweng, dan gerak di tempat lainnya. Adanya garap level bertujuan
untuk menambah variasi gerak.
III. NORMA BUDAYA
1. Tari Gambyong dalam Upacara Larung Sesaji
Ritual larung sesaji merupakan salah satu bentuk kekayaan budaya bangsa.
Larungan sesaji adalah sebuah tindakan religi dengan paham animisme dan dinamisme
dimana mitos dan magis tetap lekat dalam pribadi Jawa di Desa Ngebel. Tradisi larung
sesaji di Telaga Ngebel selalu digelar rutin setiap malam 1 Suro dalam penanggalan Jawa
dan tradisi tersebut masih eksis hingga saat ini. Tujuannya sebagai ungkapan rasa syukur
kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Bagi masyarakat umum di Desa Ngebel dengan
dilaksanakan upacara adat ini sangat membantu dalam menjaga persatuan dan
kegotongroyongan di antara mereka.
Di dalam kegiatan ritual terdiri dari beberapa rangkaian acara yang setiap tindakan
memiliki makna simbolik. Tindakan-tindakan simbolis dalam setiap prosesi memiliki arti
atau tujuan walaupun dengan berbagai macam cara yang berbeda, namun pada akhirnya
tetap bermuara pada permohonan kepada Sang Pencipta. Sejarah larung sesaji berpangkal
dari mitos sebagai bagian dari kehidupan masyarakat Jawa yang masih sulit dipisahkan
dalam pola pemikiran hingga saat ini. Upacara larung sesaji di Telaga Ngebel dilakukan
dalam 2 kali. Upacara larung sesaji pertama diadakan pada malam satu suro yang
dianggap sebagai ritual yang sakral bagi para pini sepuh Telaga Ngebel. Prosesinya
berupa siram jamas, tirakatan & damar jiwo, dan larungan. Upacara larung sesaji kedua
dilaksanakan pada tanggal satu suro yang digunakan oleh Disbudpar untuk menarik
wisatawan berkunjung ke Telaga Ngebel. Prosesinya berupa penyambutan, arak-arakan,
dan larungan. Pada upacara larung sesaji tanggal 1 Suro selalu menampilkan Tari
Gambyong. Tari Gambyong merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan saat
upacara larung sesaji. Walaupun tidak berhubungan langsung dengan ritual, tetapi Tari
Gambyong wajib ditampilkan dan harus selalu ada saat upacara larung sesaji tanggal 1
suro. Fungsi Tari Gambyong dalam upacara larung sesaji adalah fungsi primer untuk
menyambut tamu dan fungsi sekunder untuk hiburan.