Anda di halaman 1dari 16

GARAP KENDANG: DARI KETUK TILU MENJADI JAIPONGAN

(Oleh Yosep Nurdjaman Alamsyah) I. Ketuk Tilu A. Gambaran Umum Tentang Ketuk Tilu Ketuk tilu merupakan salah satu genre kesenian di dalam tatanan karawitan Sunda. Ada sebuah sumber yang menyatakan bahwa kesenian ketuk tilu ini sudah ada di tataran Parahiyangan pada tahun 1809. Sampai saat ini belum ada sumber yang mengungkap siapa tokoh yang menciptakan atau yang memunculkan kesenian ketuk tilu ini. Pada mulanya kesenian ketuk tilu berfungsi sebagai media ritual yakni digunakan oleh masyarakat sebagai bentuk rasa syukur kepada Dewi Sri ketika penduduk atau masyarakat sudah melaksanakan panen padi. Namun, seiring dengan perkembangan jaman dan kondisi rakyat pada waktu itu yakni sudah masuk penjajah ke tataran Parahiyangan dan semakin parahnya kondisi ekonomi ini masyarakat pada itu sehingga jenis kesenian ketuk tilu

dialihfungsikan menjadi sebuah jenis kesenian yang sifatnya hiburan. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan untuk menambah penghasilan, seniman ketuk tilu pada waktu itu menampilkan jenis kesenian ini dengan cara keliling dari satu tempat ke tempat yang lain. Kesenian ketuk tilu ini sering juga dijadikan sebagai media untuk menghibur para penjajah Belanda yang ketika itu doktrinasi Belanda kepada Negara Indonesia khususnya di wilayah Parahiyangan masih sangat kuat. Biasanya ketuk tilu dijadikan jamuan untuk para Belanda yang akan bersenang-senang, apalagi munculnya penari atau ronggeng sebagai ikon dalam kesenian ini yang menjadi daya tarik bagi

para Belanda tersebut, sehingga pada waktu itu ketuk tilu citranya menjadi kurang baik karena sering terjadi suatu transaksi untuk lahan prostitusi. Entah apa yang melatarbelakangi fenomena prostitusi ini, apakah karena faktor ekonomi?, faktor paksaan?, atau faktor kebutuhan dari sisi biologis?, yang memunculkan peluang terjadinya prostitusi tersebut. Penulis tidak bisa memberikan sebuah kepastian akan penyebab sebuah fenomena prostitusi ini terjadi, apakah semua dari faktor-faktor di atas masuk ke dalam kategori penyebabnya atau malah salah satu dari faktor-faktor tersebut atau sama sekali tidak. Hal ini menurut penulis perlu ada sebuah reaserch yang lebih mendalam mengenai kesenian ketuk tilu, karena kesenian ini merupakan cikal bakal timbulnya jenis-jenis kesenian yang baru yang merupakan perkembangan dari ketuk tilu di masa decade berikutnya.
B. Instrumen dalam Karawitan Ketuk Tilu

Dalam sebuah jenis kesenian yang utuh, di dalamnya pasti terdapat sebuah iringan musik yang mengiringi jalannya sebuah pertunjukan jenis kesenian tersebut. Begitupula dengan kesenian ketuk tilu, alat waditra atau instrumen atau istilah karawitan Jawanya adalah ricikan yang mengiringi ketuk tilu ini terbagi menjadi tiga kategori, diantaranya adalah:
1.

Waditra atau instrumen yang dimainkannya dengan cara di pukul, adapun ricikannya diantarannya adalah bonang, kecrek, dan goong;

2.

Waditra atau instrumen yang dimainkannya dengan cara di tepul, adapun ricikannya diantarannya adalah kendang; dan

3.

Waditra atau instrumen yang dimainkannya dengan cara di gesek, adapun ricikannya diantarannya adalah rebab.

Adapun satu lagi yang tidak kalah pentingnya dengan waditra yang lain, yakni pentingnya seorang sinden1. Sesuai dengan fungsinya bahwa peran sinden di dalam ketuk tilu ini merupakan salah satu unsur yang harus ada, karena fungsi seorang sinden ini sangat signifikan dalam jalannya sebuah pertunjukan ketuk tilu. Lagu-lagu yang disajikan terdiri dari Kidung (lagu wajib pada pertunjukan Ketuk Tilu), Erang (juga lagu wajib), Emprak atau Emprak kagok, Polos yang berkembang menjadi Polos Tomo dan kadang-kadang disambung dengan naek Geboy, Berenuk Awi Mundur, Kaji-kaji, Gorong, Tunggul Kawung, Gondang, Sorong Dayung, Cikeruhan, Prangprangtarik, Renggong Gaya Buyut, Ngarambat, Karawangan Bangket Barlen, Solontongan, Soloyong dan Paleredan, Geseh, Kembang Beureum, Sonteng, Ombak Banyu, Engko, Mainang, sebagainya. Teks lagunya berbentuk pantun, yaitu dua kalimat pertama merupakan cangkang (sampiran/kulit) dan dua kalimat terakhir merupakan eusi (isi). Pantun tersebut bersifat kebirahian2 dan asmara, gembira, humoritas. Selain teks-teks lagu yang sudah dipersiapkan sebelum main, juga kadang-kadang ronggeng melantunkan lagu yang teksnya dibuat seketika (waktu main). Selain vokal yang menjadi sebagai salah satu unsur yang pokok dalam pertunjukan ketuk tilu ini, ada satu ricikan atau waditra yang sangat pokok atau kataknlah jantung dari pertujuka ketuk tilu ini yakni waditra kendang. Kenapa penulis berani menyebutkan bahwa waditra kendang merupakan unsur yang sangat pokok dalam pertunjukan ketuk tilu ini? Alasannya adalah bahwa peran kendang dalam pertunjukan ini apabila dilihat dari sisi fungsinya yakni sebagai pengatur irama, wirahma, untuk
1

Sinden adalah seorang vokalis yang melantunkan lagu-lagu yang terdapat dalam repertoar ketuk tilu. 2 Kebiharian adalah yang sifatnya biasa dalam kehidupan sehiri-hari.

mengisi gerak tari yang di bawakan oleh ronggeng, dan lain sebagainya. Pembahasan lebih detail mengenai kendang dalam ketuk tilu akan diuraikan pada sub-bab berikutnya.
C. Kedudukan Kendang dalam Ketuk Tilu

Peran

serta

waditra

kendang

di

dalam

keutuhan

pertunjukan ketuk tilu ini sangat signifikan, karena kendang di dalam ketuk tilu selain berfungsi sebagai pembawa alur lagu, tempo, irama, dinamika bagi jenis kesenian lainnya yang tentunya memakai waditra kendang di dalamnya. Misalnya jenis kesenian kiliningan, celempungan, pencak silat, dal sebagainya. Kendang di dalam ketuk tilu juga berfungsi untuk mengiringi tarian-tarian yang dibawakan oleh penari atau ronggeng, yang dimana setiap motif koreografi atau tariannya mempunyai motif tepak kendang yang berbeda, kemudian juga di dalam ketuk tilu, kendang berfungsi untuk mengakhiri (ngagoongkeun). Kendang juga oleh berfungsi ronggeng untuk atau mengisi aksentuasi-aksentuasi berlangsung. spontanitas yang kemungkinan terjadi ketika pertunjukan tari yang dibawakan pasangannya ini bersifat Biasanya ada aksentuasi-aksentuasi lainnya. Struktur penyajian kendang ketuk tilu pada dasarnya sama dengan struktur penyajian pada kiliningan, yaitu terdiri dari angkatan wirahma, tataran wirahma, dan pungkasan wirahma. Perbedaan terletak dalam bentuk motif, ritme, dan nama-nama ragam dasar tepak kendang yang disajikan. Adapun strukturnya adalah:
a. Angkatan wirahma, yaitu tepak sorong pondok atau tepak

tanpa

kesepakatan antara penari dengan pengendang dan pangrawit

sorong panjang;

b. Tataran wirahma, yang terdiri dari:


1. 2. 3.

Angin-angin atau tepak ngayun; Tepak ongkari; Tepak jalak pengkor; Tepak lagu, yaitu motif-motif tepak sebagai ciri khas yang berkaitan dengan kepentingan irama lagu yang disajikan;

4.

5.

Tepak ibing, yaitu motif-motif tepak untuk mengisi gerak penari, yang besar kemungkinan menyajikan gerak-gerak spontanitas dari penari; dan

6.

Tepak mincid, yang terdiri dari mincid salancar dan mincid rangkep.

c. Pungkasan wirahma, yaitu tepak sorong.

II.

Jaipongan A. Gambaran Umum Tentang Jaipongan Jaipongan merupakan salah satu jenis pertunjukan genre

tari yang diciptakan oleh Gugum Gumbira. Walaupun pada saat ini jaipongan sudah berumur kurang lebih 32 tahun, masyarakat Sunda masih menganggap bahwa jaipongan merupakan karya kreativitas baru dalam wacana seni tari tradisional Sunda. Hal itu disebabkan sampai saat ini belum ada lagi karya-karya tari lain yang muncul setelah jaipongan. Iyus Rusliana mengelompokkan jaipongan ke dalam

rumpun tari rakyat3. Hal itu dikarenakan sifatnya yang memiliki kebebasan, komunikatif, dan terdapatnya keterlibatan penonton
3

Tari rakyat adalah sebuah bentuk tarian yang berasal dari rakyat itu sendiri.

sebagai partisipan pertunjukan dengan berbagai ekspresi, serta tanpa memiliki aturan-aturan estetik yang baku. Edi Mulyana menyebutkan dalam tesisnya, bahwa: dalam jaipongan terdapat dua pola pertunjukan yang berkembang di masyarakat Sunda, yaitu pertunjukan jaipongan sebagai media apresiasi, dan pertunjukan jaipongan sebagai media hiburan. (Mulyana, 2009:100). 1. Jaipongan Sebagai Media Apresiasi Pertunjukan jaipongan sebagai media apresiasi yaitu

pertunjukan jaipongan yang disajikan khusus sebagai suatu tontonan. Sehingga penonton/audience dalam hal ini hanya berkedudukan sebagai penikmat atau pemerhati pertunjukan, dengan kata lain penonton berfungsi sebagai apresiator. Oleh karena itu, nilai-nilai estetik yang terdapat di dalamnya ditata secara terstruktur, dan dipola seolah-olah dibakukan malalui suatu kesepakatan. Pembakuan dalam hal ini maksudnya adalah untuk

menentukan bingkai suatu struktur, agar penampilannya tertata dengan rapih. Misalnya, ketika repertoar tari yang akan disajikan adalah tari Keser Bojong, maka struktur gerak, susunan gerak, struktur karawitan, lagu, dan susunan tepak kendang, berorientasi kepada garap tari Keser Bojong yang telah ada. Ketika muncul sebuah gagasan untuk mengembangkan atau menggubah aspek-aspek yang berkaitan dengan nilai estetik, harus melalui suatu proses kesepakatan yang dilakukan sebelum pertunjukan. Dengan demikian, penampilan jaipongan untuk kepentingan apresiasi ini sangat menghindari unsur-unsur improvisasi yang dapat mempengaruhi keutuhan sajiannya. 2. Jaipongan Sebagai Media Hiburan

Pertunjukan jaipongan pertunjukan jaipongan

sebagai media hiburan, ialah ajang ungkapan ekspresi

sebagai

penonton yang terlibat menjadi bagian dari pertunjukan, sebagai penari partisipan. Dalam hal ini peran karawitan terutama kendang yang erat kaitannya dengan gerakan tari, sangat membutuhkan keahlian. Sehingga konsep ngendangan tari, yaitu pengendang mengikuti dan melayani seluruh ekspresi gerak yang diperagakan oleh penari, sangat diperlukan. Walaupun tidak terdapat kesepakatan antara penari (partisipan) dan pangrawit menari (terutama pengendang), Jika biasanya penari-penari terkadang tersebut menuntut agar ungkapan ekspresi mereka dalam dapat terpenuhi. tidak terpenuhi mengakibatkan suatu konflik. Bagi memiliki kelompok-kelompok kemampuan lebih jaipongan yang dipandang pelayanan

dalam

memberikan

terhadap penari-penari partisipan, yang di daerah Karawang dan Subang (Jawa Barat) disebut bajidor. Rutinitas pertunjukan jaipongan sebagai media apresiasi pada awalnya lebih banyak pada rutinitas pertunjukan sebagai media hiburan. Hal itu terjadi terutama mulai dari awal lahirnya jaipongan yaitu tahun 1980an, sampai dengan tahun 1990-an. Faktor penyebabnya adalah sanggar-sanggar tari atau kelompok-kelompok kesenian yang ada, sifatnya hanya baru meniru apa yang terdapat dalam media radio cassette yang diproduksi oleh Jugala Record milik Gugum Gumbira. Aspek karawitann pada jaipongan bukan sekedar sebagai penyerta tarian, melainkan sebagai salah satu aspek yang dapat menandakan identitas jaipongan, bahkan dapat dikatakan unsur karawitan lebih dominan sebagai ciri jaipongan. Hal itu dapat dibuktikan apabila suatu penampilan jaipongan melepas

tariannya, artinya hanya tinggal sajian karawitannya saja, rasa jaipongan tetap tampak. Sebaliknya, sajian gerak tari jaipongan apabila tanpa disertai sajian karawitan jaipongan, rasa jaipongannya akan hilang. Tetapi untuk menjaga keutuhan penyajiannya keberadaan unsur tari dan karawitan jaipongan tidak dapat dipisahkan. Apabila unsur karawitan pada jaipongan dikatakan lebih dominan dan menandai identitas jaipongan, yang terletak pada konsep musikal dan media ungkap musikal. Gugum Gumbira menyatakan bahwa konsep dasar dalam mewujudkan jaipongan adalah kebebasan.4 Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan untuk keluar dari aturan-aturan yang baku, yang terdapat dalam tatanan tari konvensional. Untuk mewujudkan konsep musikal seperti itu, ketika eksplorasi unsur karawitan, Gugum Gumbira menyarankan kepada para pangrawit yang saat itu dikomandoi oleh almarhum Nandang Barmaya, untuk berorientasi kepada konsep karawitan tari pencak silat kedua jenis yang lazim pula disebut kendang penca dan tari tersebut terdapat unsur-unsir karawita ketuk tilu. Menurut pandangan Gugum Gumbira, dalam karawitan kebebasan yang diinginkannya, paling tidak terdapat ruang yang elastis untuk mengungkapkan berbagai ekspresi gerak. Disamping itu, bunyi-bunyi yang dihasilkan dalm kendang penca dan ketuk tilu terkesan lebuh lugas, tegas, dan terdapat tekanantekanan bunyi yang dapat memperkuat ekspresi gerak. Konsep yang diambil dalam kendang penca adalah bagian irama yang terdapat pada padungdung kendor5. Dalam irama
4

Pemaparan dalam Diskusi Jaipongan Gaya Bajidoran, Diselenggarakan Universitas Padjadjaran Bandung, 20 Juni 2008. 5 Padungdung kendor adalah salah satu bentuk bagian dalam repertoar kendang pencak, dimana pada bagian ini seorang penari mengekspresikan estetik gerakannya dengan bebas, kemudian seorag pengendang juga

padungdung kendor,

terdapat kebebasan untuk pesilat dalam

menentukan waktu bergerak, bentuk gerak, ritme gerak, tempo gerak, durasi gerak, dan susunan gerak. Dalam mengisi atau mempertegas gerak-gerak tersebut dilakukan oleh waditra kendang anak, untuk menjaga keutuhan irama dilakukan oleh waditra kendang indung dan waditra bend6, yang berjalan dengan konstan. Sedangkan keutuhan melodi lagu dibawakan oleh waditra tarompet. Konsep kebebasan irama padungdung kendor inilah yang diadaptasi untuk dijadikan bahan dasar konsep karawitam jaipongan yang dikehendaki oleh Gugum Gumbira, sehingga warna suara dari kendang anak dan kendang indung ini selanjutnya diadaptasi menjadi konsep suara kendang jaipongan. Konsep yang diambil dari ketuk tilu adalah kebebasan dalam memperlakukan struktur tepak kendang. Struktur tepak kendang dalam ketuk tilu ialah dibangun dari beberapa ragam tepak kendang, diantaranya:
a. Tepak sorong, sebagai permulaan sajian; b. Tepak

pangjadi,

untuk

menstabilkan

irama

yang

dimainkan;
c. Tepak angin-angin atau sering pula disebut tepak ngayun,

ongkari,

tepak

rubuh

atau

sering

pula

disebut

ngagoongkeun. Disajikan dua atau tiga periode, atau sesuai dengan yang dikehendaki oleh penari.
d. Tepak lagu, yaitu tepak kendang yang khusus sebagai ciri

dari

lagu

yang

dimaksud.

Tetapi

tidak

semua

lagu

mempunyai tepak lagu; e. Tepak mincid anca;


mengikuti secara spontan gerakan-gerakan yang dibawakan oleh seorang penari tersebut. 6 Bend adalah kempul yang berukuran kecil, yang frekuensi nadanya sama dengan nada Panelu Alit atau Galimer Alit pada laras Salendro.

f. Kembali ke nomor c dan d;


g. Tepak mincid kerep atau sering juga disebut mincid

rangkep;
h. Tepak sorong, sebagai penutup sajian, atau beralih kepada

lagu lain. Dari kedua konsep dasar itulah para pemikir karawitan saat itu mengolah konsep musikal karawitan jaipongan yang dikehendaki oleh Gugum Gumbira. Dengan demikian konsep dasar karawitan jaipongan yang digarap ialah:
1) Struktur yang dibentuk untuk mengadaptasi dari struktur

penyajian yang terdapat pada perangkat ketuk tilu;


2) Kendang

dijadikan gerak, yang

waditra dengan terdapat

utama pada

dalam

mengisi konsep kendang

kebutuhan kebebasan penca;

mengadaptasi perangkat

3) Bunyi kendang mengadopsi dari bunyi kendang yang

digunakan pada perangkat kendang penca;


4) Lagu-lagu

yang

digarap

mengadaptasi

dari

lagu-lagu

kliningan. Sehingga konsep penyajian gamelan kiliningan dan waditra gamelan kiliningan dijadikan sebagai dari perangkat karawitan jaipongan. Dengan demikian, yang membedakan yang membedakan karawitan jaipongan dengan karawitan lainnya dalam kepentingannya sebagai karawitan tari terletak pada tepak kendang, baik disertai atau tanpa disertai garap waditra bonang, kempul, dan kecrek. Hal itu dapat dibuktikan pada kenyataannya di lapangan, bahwa ketika penyajian lagu-lagu jaipongan dengan menggunakan tepak kendang kiliningan, penyajian yang dimaksud adalah penyajian kiliningan. Atau sebaliknya, ketika penyajian lagu-lagu kiliningan dengan menggunakan tepak

10

kendang jaipongan, maka sajian yang dimaksud adalah sajian jaipongan.


B. Instrumen dalam Karawitan Jaipongan

Sama halnya dengan bentuk kesenian yang lain, bahwa jaipongan dalam sebuah rumpun karawitan mempunyai seperangkat gamelan yang dikhususkan untuk iringan dan mengiringi jaipongan itu sendiri. Waditra atau instrumen gamelan yang terdapat dalam karawitan jaipongan, pengklasifikasiannya sama dengan instrument gamelan yang terdapat dalam ketuk tilu yakni terbagi menjadi tiga kategori, diantaranya sebagai berikut:
1.

Waditra atau instrumen yang dimainkannya dengan cara di pukul, adapun ricikannya diantarannya adalah bonang, kecrek, saron, demung, rincik, dan goong;

2.

Waditra atau instrumen yang dimainkannya dengan cara di tepuk, adapun ricikannya diantarannya adalah kendang; dan

3.

Waditra atau instrumen yang dimainkannya dengan cara di gesek, adapun ricikannya diantarannya adalah rebab. Unsur vokal dalam karawitan jaipongan posisinya sama

seperti dalam karawitan ketuk tilu, yakni sebagai penegasan jenis lagu yang dibawakan dalam karawitan jaipongan. Repertoar lagu yang terdapat dalam karawitan jaipongan sudah sangat banyak jumlahnya, karena setiap tahun para creator karawitan jaipongan selalu menambahkan sumbangsih kreatifitas baru. Dalam satu tahun bisa mengeluarkan 20 sampai 30 lagu karawitan jaipongan yang baru. Bayangkan saja dari pertama muncul rekaman karawitan jaipongan tahun 1980-an sampai

11

sekarang, sudah berapa puluh atau bahkan berapa ratus judul lagu yang sudah dikeluarkan melalui media rekaman. Adapun lagu-lagu karawitan jaipongan yang pertama keluar pada era tahun 1980-an, diantaranya adalah lagu Oray welang, Kawung Anten, Keser Bojong, dan masih sangat banyak lagi judul-judul lagunya, tentunya dengan perkembangan baik dari segi karawitannya maupun dari bentuk tarian jaipongannya. Selain vokal yang dijadikan sebagai salah satu unsur yang pokok dalam pertunjukan karawitan jaipongan, ada satu ricikan atau waditra yang sangat pokok atau kataknlah jantung dari pertujukan jaipongan ini yakni waditra kendang. Pembahasan mengenai kedudukan kendang di dalam karawitan jaipongan, seberapa pentingnya posisi kendang dalam jaipongan, akan di bahas dalam sub-bab berikutnya. C. Kedudukan Kendang dalam Karawitan Jaipongan Kendang dalam jaipongan pada dasarnya merupakan waditra yang dapat membedakan antara perangkat jaipongan dan perangkat karawitan lainnya, baik sebagai waditra mandiri, maupun sebagai karawitan tari atau karawitan teater. Dengan kata lain, garap kendang berfungsi untuk membedakan karawitan jaipongan, dengan karawitan lainnya. Di sisi lain, pada umumnya fungsi kendang dalam

karawitan tari, ialah selain untuk menjaga keutuhan sajian lagu, kendang berfungsi pula untuk melayani kepentingan estetik tari, malalui ragam-ragam komposisi tepak. Begitu pula fungsinya dalam jaipongan. Dengan demikian, apabila dilihat dari fungsinya secara umum, kendang dalam jaipongan tidak berbeda dengan fungsi kendang pada perangkat karawitan tari lainnya. Tetapi

12

faktor

kebebasan

yang

dibentuk

dalam

garap

kendang

jaipongan, menandakan terdapatnya perbedaan fungsi kendang dalam jaipongan lainnya. Kekhasan garap kendang jaipongan tidak hanya terletak pada komposisi setiap ragamnya saja, akan tetapi ditentukan pula oleh frekuensi setiap bunyi kendang. seperti yang telah disinggung di atas, bahwa bunyi kendang jaipongan diadopsi dari bunyi kendang pada perangkat kendang penca, terutama bunyi muka kendang bagian kumpyang yang mengadopsi bunyi kumpyang kendang anak, yang memiliki frekuensi bunyi tinggi. Frekuensi bunyi yang tinggi dalam kendang jaipongan tidak berarti asal tinggi, akan tetapi disesuaikan dengan nadanada yang terdapat dalam waditra-waditra pengiringnya. Adapun ketentuannya adalah:
1.

dengan fungsi kendang dalam karawitan tari

Muka kendang kutiplak dilaras dengan nada singgul gembyang tinggi (sama dengan nada singgul alit pada waditra saron) laras salendro;

2.

Muka kendang kumpyang/congo, dilaras pada nada panelu atau loloran (sama dengan nada loloran atau panelu pada wadita saron) laras salendro;

3.

Muka

kendang

katipung/kentrung,

dilaras

pada

nada

galimer (sama dengan nada galimer pada waditra saron) laras salendro;
4.

Muka

kendang

gedug

sebetulnya

sulit

untuk

diukur

akurasinya, karena frekuensi bunyinya terlalu rendah, seperti halnya bunyi bedug. Tetapi para pengendang sering menyesuaikannya dengan bunyi galimer pada laras salendro.

13

Untuk menimbulkan kualitas bunyi yang baik, pelarasan kendang seperti itu ditentukan oleh ukuran kendang yang khusus, yaitu ukuran kendang dengan panjang antara 65 cm sampai dengan 70 cm serta diameter muka gedug 35 cm sampai dengan 40 cm, dan diameter muka kumpyang/congo antara 20 cm, sampai dengan 25 cm. sedangkan ukuran kulanter yang biasa dipergunakan untuk kutiplak dan katipung panjang 35 cm, sampai 40 cm, dengan diameter muka kutiplak antara 12 cm, sampai 15 cm. Oleh karena bunyi kendang jaipongan bunyi yang relative tinggi, maka rentangan kulit muka kendang, terutama bagian kumpyang harus tetap berada dalam rentangan tinggi. III. kesimpulan Dari paparan yang sudah penulis ungkapkan, bahwa dari dua fokus utama yang menjadi pokok dalam tulisan ini adalah karawitan ketuk tilu dan karawitan jaipongan. Dalam wacana yang di beberkan oleh penulis bahwa disitu terjadi sebuah perkembangan bentuk jenis karawitan dari ketuk tilu jaipongan, yang dimana di atas tahun dijelaskan 1890an, menjadi mulai tahun tahun bahwa sampai kapan

keberadaan dari jenis kesenian ketuk tilu ini mulai ada di bumi Parahiyangan kira-kita 1970/80an. Penulis pada tidak bisa menyebutkan

pastinya keberadaan dari jenis karawitan ketuk tilu ini, karena belum ada sumber yang menjelaskan tentang historis tentang ketuk tilu ini yang lebih pasti. Pada era tahun 80an muncul seorang koreografer yang sangat kreatif yakni yang bernama Gugum Gumbira. Gugum adalah seorang maestro yang menciptakan jaipongan, secara tidak langsung dia sudah melakukan sebuah perubahan yang

14

sangat monumental dalam dunia tari. Dalam prosesnya yang cukup panjang, Gugum ketika menciptakan jaipongan, dia mempunyai acuan atau referensi dari bentuk tarian yang sebelumnya. Gugum dalam proses kretifnya mengacu pada bentuk kesenian pencak silat dan ketuk tilu. Dari paparan di atas, jelas bahwa jaipongan merupakan bentuk perkembangan dari jenis kesenian ketuk tilu. Dalam proses penciptaan jaipongan Gugum tidak berdiri sendiri, dia bekerja sama dengan para pangrawit yang pada waktu itu di ketuai oleh Nandang Barmaya. Gugum memberikan masukan kepada para pangrawitnya bahwa dalam penciptaan jaipongan ini acuannya pada bentuk jenis katawitan pencak silat dan karawitan ketuk tilu. Unsur yang paling pokok dalam karawitan untuk mengiringi jaipongan tersebut yakni dominasinya dipegang oleh waditra kendang. maka, secara langsung bentuk dan ragam tepak kendang untuk mengiringi jaipongan ini adalah gabungan antara ragam motif tepak kendang pencak silat dan ketuk tilu. Akan tetapi yang lebih mendominasi dari kedua genre tersebut adalah karawitan ketuk tilu, karena yang lebih diutamakan dalam konsep jaipongan ini adalah konsep kebebasan, yang dimana penjelasan mengenai konsep kebebasan ini sudah dibahas di atas. Daftar Pustaka

Herdiani, Een, 2003. Jaipongan Di Karawang, Kontinuitas dan Perubahan, Jakarta: Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation.

15

http://babadsunda.blogspot.com/2010/11/ketuk-tilu.html. 2011. 14.24. http://bsba.facebook.com/topic.php? uid=156182209704&topic=30937. 24-5-2011. 14.53. http://wie_2.tripod.com/kesenian.htm. 4-6-2011. 13.42. http://www.bandungkab.go.id/index.php?

10-5-

option=com_content&task=view&id=322&Itemid=216. 125-1011. 10.14. http://www.kaskus.us/showpost.php? p=121344449&postcount=22. 10-5-2011. 14.00. Mulyana, Edi, 2009. Kreativitas Gugum Gumbira dalam

Penciptaan Jaipongan, Tesis untuk mencapai derajat Sarjana S-2 pada Institut Seni Indonesia, Surakarta. Sunarto, 2009. Tepak Kendang Jaipongan Suanda, Tesis untuk mencapai derajat Sarjana S-2 pada Institut Seni Indonesia, Surakarta.

16

Anda mungkin juga menyukai