Anda di halaman 1dari 173

KATA PENGANTAR

MEMAKNAI EKSPRESI PERSONAL


DALAM RANAH ESTETIKA POLITIK IDENTITAS

Terbitnya buku yang berjudul “Kepahlawanan Tari Ngremo Surabayan Refleksi


Cita, Citra, dan Politik Identitas dalam ruang Estetik” tentu sangat menggembirakan bagi
para pengkaji seni tari, pasalnya Wahyudiyanto telah mengambil langkah yang positif
dalam rangka publikasi ilmiah tentang seni tari, mengingat hingga saat ini buku semacam
ini masih dianggap langka bahkan sangat dijauhi oleh para penerbit.
Tari Ngemo adalah tari yang sering disaksikan pada pertunjukan Ludruk atau
ditarikan oleh para remaja pada perayaan 17 Agustusan (HUT Kemerdekaan RI)
menyimpan kandungan nilai sosial politik, di samping nilai estetik. Wahyudiyanto telah
menelusuri tari Ngremo dalam relung dinamika diakronik; perjalanan waktu selama tari
Ngremo diekspresikan penari-penarinya.
Wahyudiyanto tampak tidak hanya melihat tari Ngremo sebagai sebuah fenomena
estetik yang berupa struktur gerak yang memiliki pola gending yang khas Jawa Timur.
Namun penerawangan dan penafsirannya mengarah pada pemikiran konstruktif masyarakat
pendukungnya.
Realitas seni adalah realitas kreatif, individual, dan imajinatif. Ternyata realitas tari
Ngremo tidak demikian, tetapi sebuah ekspresi personal dalam ruang estetik masyarakat
pendukungnya; maka ada hubungan yang signivikan antara konstruksi gerak yang disebut
”tari” dengan realitas masyarakatnya, seperti khasus Tari Ngremo di Surabaya.
”Kepahlawanan” sebagai tema pokok dalam ekspresi personal yang kreatif dan
spontan secara diakronis ditumbuhkan oleh komunitas pendukungnya (Ludruk) sebagai
sebuah ”perjuangan”. Makna ”Pejuang” dan ”Pahlawan” secara tidak disadari ternyata
dipadu padankan untuk memaknai sebuah gerakan nasionalis arek-arek Surabaya,
kemudian diperluas ruang lingkup geografinya menjadi ”Jawa Timur”.
Pada awal abad XX, ikon yang sangat kuat dalam kerangka kehidupan berbangsa
dan bernegara adalah ”pejuang”, mereka yang rela membela tanah air tanpa pamrih akan
mendapatkan predikat kehormatan sebagai ”Pahlawan”, sebutan tersebut sangat prestisius
bagi penyandangnya, yaitu para ”kesatria”. Ikon-ikon tersebut sudah tersedia dalam pikiran
masyarakat Jawa, yaitu ditumbuhkan dari epos Mahabarata (kisah Wayang). Sehingga
pemaknaan getaran jiwa para pengreman yang berada dalam ruang lingkup seni

iii
pertunjukan Ludruk secara sadar atau tidak terimplikasikan, mereka benar-benar
mengalami sebuah traspormasi mental yang secara konstruktif melahirkan getaran emosi
(greged) heroik.
Pemaknaan tersebut tampaknya biasa dan wajar-wajar seja, tetapi menjadi sangat
konstruktif ketika disimak melalui kajian keilmuan. Sehingga penelusuran Wahyudiyanto
menemukan pernaik-pernik berupa pengakuan, ungkapan, pernyataan, atau diplomasi dari
narasumber menemukan ”makna sosial” nya yang pas, dan khas, yaitu Ngremo dimaknai
sebagai sebuah ekspresi jiwa kepahlawanan.
Kajian politik identitas dalam buku ini yang tampak masih samar-samar adalah agen
transfomator mengusung makna ”kepahlawanan”, apakah mereka yang bergerak dalam
bidang politik memang benar-benar menyadari bahwa kesenian adalah salah satu media
konstruktif dalam membangun mentalitas, atau dalam sisi yang lain sebagai sebuah strategi
persuasi dalam menggerakan semangat nasionalis. Jika hal ini memang benar-benar belum
terjaring atau tertangkap, maka ada peluang yang potensial dalam menelusuri lebih
mendalam, yaitu dengan menggandeng para ahli sejarah atau pakar politik. Bahwa strategi
persuasi yang mampu mengkonstruk mentalitas masyarakat dan menanamkan dalam
pikiran mereka melalui ”tari” menjadi sesuatu keniscayaan. Sehingga para politisi praktis
tidak hanya berpikir praktis, bahwa ”tari” adalah sebuah alat untuk memeriahkan perhelatan
politik.
Kasus Ngremo yang dicermati oleh Wahyudiyanto merupakan sumbangan yang
positif bagi Jawa Timur, khususnya Ibu Kota Provinsi; Surabaya. Sehingga dimungkinkan
sebagian dari buku yang sedikit teknis ini (mengetengahkan paparan teknik tari) perlu
dibaca oleh para penyelenggara negara, khususnya mereka yang terkonsentrasikan pada
jabatan strategis penentu polese publik, khususnya National buellding konstrukif
(pembentuk jiwa nasionalisme).
Pada waktu lampau, transformasi epos Mahabarata ke Jawa bukan sebuah
kebetulan, tetapi sebuah upaya strategis yang dirancang oleh para ahli pikir pada zamannya
untuk menyiapkan Jawa masa depan. Orang-orang Jawa adalah komunitas yang memiliki
genetik tidak responsif; kedekatannya dengan alam membuat mentalitasnya lemah. Kondisi
ini tentunya tidak akan menguntungkan dalam membangun sebuah komunita politik
(kerajaan). Dengan kekuatan otot tidak mungkin menghasilkan sebuah semangat herok,
tetapi dengan lakon wayang yang ditransformasi epos India melalui agama Hindu, ternyata
menghasilkan amunisi masa rakyat yang hebat luar biasa.

iv
Pada kasus Ngremo sebagai spirit heroik tentunya memiliki kaitan yang pelik
dengan para konstruktor massa rakyat dengan berbagai kepentingan politik, setidaknya
yang tahu dan sadar adalah mereka yang berkecimpung dalam seni pertunjukan Ludruk.
Maka sekali lagi, buku ini perlu dibaca oleh pengamat ludruk, juragan ludruk, pemain
ludruk, atau penonton ludruk. Mengingat mereka adalah pelaku utama dalam terbentuknya
konstruksi mental nasionalisme arek-arek Surabaya. Pasalnya yang menjadi penting bukan
sekedar informasi dalam buku ini, tetapi refleksi yang pernah mereka alami, rasakan, dan
hayati tentang kondisi holistik ludruk dan semangatnya yang dinamis. Berikutnya juga
dimungkinkan dapat disimak secara lebih cermat bagi para perwira meliter yang secara
khusus ikut serta membina kesenian pada era tahun 1970-an. Ludruk ternyata bukan sebuah
tontonan masyarakat yang hanya bernilai hiburan, tetapi dalam jiwa ludruk dan Tari
Ngremo telah mengalirkan sebuah semangat mempertahankan hidup di tengah kegelisahan
sosial, tekanan ekonomi, dan gejolak politik yang tidak setabil di Indonesia.
Sekali lagi, bukan karena informasi buku ini yang penting untuk direnungi, tetapi
sebuah reflesi dan penghayatan kembali yang mendalam dari sebuah ekspresi personal yang
didukung oleh komunalitas masyarakat seni pertunjukan rakyat. Maka jika anda telah
membaca buku ini dan memiliki sejawat yang terlibat langsung dengan pertunjukan
Ludruk, khususnya Tari Ngremo, buku ini menjadi sangat dalam dan luas ketika buku ini
dapat dicermati bersama dengan para pelaku ludruk. Mengingat dalam perkembangan
ludruk itu sendiri, seniman ludruk merupakan insan yang paling cerdas dan responsif
dalam mencermati persoalan sosial. Wahyudiyanto dalam buku ini adalah mencermati
persoalan sosial dalam ranah estetika politik identitas; persoalan kegelisan pencarian
kejatidirian yang tidak mampu terungkapkan dalam bentuk kata kata, tetapi terakumulasi
dalam sebuah ekspresi gerak tari, yaitu Tari Ngermo.
Kajian estetika politik dalam kesenian, khususnya seni pertunjukan memang masih
sangat langka, bahkan kepakaran untuk kajian ini dapat dikata belum ada. Banyak penulis
sosial yang tertarik, tetapi perkembangan kajian tersebut menjadi sebuah cabang ilmu
masih belum tergarap secara intensif. Maka buku ini memberikan andil yang cukup besar,
setidaknya penggalian fenomena budaya dalam ranah politik dapat memberikan sumbangan
pada kesadaran bangsa ini.
Jika menyimak tulisan Wahyudiyanto, tampak sebuah orientasi genetik yang
seringkali digunakan untuk membangun sebuah image politis. Setidaknya pada instingtif
dari masyarakat awam; dapat disimak secara lebih rinci, bahwa image masyarakat pada

v
umumnya dalam memandang sesuatu selalu berorentasi ke atas. Maka, komulatif image
estetik yang terbangun dalam tari Ngremo adalah sebuah ketidak sadaran dalam
membangun kejatidirian, sebab yang terkonstruksi dalam tari Ngremo sebenarnya adalah
sebuah pola paternalistik dan juga pola orentasi dalam ranah tradisi besar (tradisi induk)
yaitu berorentasi pada keraton Jawa. Hal ini dapat disimak juga pada image berpolitik
bangsa ini, yang hingga saat ini masih kental dengan patronisme ”kepriyayian”. Bahwa
budaya yang diciptakan atau dilegitimasi oleh para bangsawan; kini lebih ditentukan pada
elite penguasa dan penyelenggara negara itu sesuatu yang bagus, berguna, atau sempurna.
Maka itu yang dianggap paling ”estetik”. Hal ini dapat dibenarkan, bahwa terangkatnya tari
Ngremo menunjukan bahwa pikiran genetika dari pada pendukung seni pertunjukan Ludruk
memang demikian.
Terbentuknya tari Ngremo bukan persoalan individual penari, tetapi persoalan ini
adalah sebuah akumulatif image yang terfokuskan, seperti halnya munculnya
kepemimpinan rakyat; bahwa sikap stereotif dari masyarakat Jawa yang sejak akhir abad IX
menolak sistem feodalistik. Sehingga semangat mencarian ”ketokohan rakyat” juga
menjadi bagian yang sangat penting dalam perjalanan cita rasa estetika politik di Jawa.
Sehingga jika melihat fenomena tari Ngremo di Jawa Timur tidak ubahnya menyimak
munculnya pahlawan-pahlawan rakyat, seperti Bung Tomo, S. Supriyadi, dan yang lainnya.
Wahyudiyanto tidak meluaskan korelasi tersebut, tetapi lebih memberikan tekanan
teknik, hal ini dapat dimaklumkan. Sebab tulisan dari pakar tari tentunya akan berimplikasi
lebih mendalam pada persoalan struktur koreografi yang digunakan sebagai pembuktian,
maka hal ini merupakan salah satu pembeda yang tajam dalam perkembangan kepakaran.
Tulisan dari pakar seni pertunjukan dapat dipastikan lebih memberikan penekanan pada
aspek teknis, sementara pakar sosial lebih memahamai aspek-aspek fenomenologoinya.
Jika buku ini sudah di tangan anda, maka saya sebagai bagian dari pengembang seni
pertunjukan merasa bangga dan sekaligus bahagia. Buku semacam ini memang
membutuhkan dukungan yang besar dari berbagai pihak, mengingat perkembangan ilmu
kesenian di Indonesia berjalan sangat lambat...... semoga dikemudian hari ada perubahan
yang lebih signivikan.
Drs. Robby Hidajat, M.Sn.
Kaprodi Pendidikan Seni Tari dan Musik
Fakultas Sastra
Universitas Negeri Malang

vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Buku ”Kepahlawanan Tari Ngremo Surabayan Refleksi Cita, Citra dan politik
Identitas dalam ruang Estetik” ini berasal dari Tesis penulis yang telah
dipertanggungjawabkan di hadapan Dewan Penguji pada tanggal 28 Desember 2004 di
Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta (sekarang Institut Seni Indonesia ISI Surakarta).
Untuk penulisan buku ini sudah barang tentu diperlukan penyuntingan.
Buku ini terwujud berkat bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu
pada kesempatan yang baik ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebanyak-
banyaknya kepada Prof. Dr. Hermien Kusmayati selaku pembimbing. Juga kepada tim
penguji yang terdiri dari Prof. Dr. Rahayu Supanggah, S.Kar., Prof. Dr. Soetarno, DEA dan
Ibu Prof. Dr. Hermien Kusmayati.
Terima kasih yang tak terhingga disampaikan pula kepada Ketua, Direktur
Pascasarjana, Ketua Program Studi Tari Pascasarjana, yang telah memberikan kesempatan
studi dan beasiswanya. para dosen Program Studi Seni Tari Pascasarjana, dan keluarga
besar STSI Surakarta yang telah banyak memberikan dukungan ilmu dan motivasinya.
Terima kasih diucapkan pula kepada Ketua Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta
Surabaya, Koordinator Kopertis Wilayah VII di Surabaya yang telah memberikan ijin studi
pascasarjana. Tak lupa pula disampaikan terima kasih setulusnya kepada narasumber tari
Ngremo diantaranya: Munali Pattah (Almarhum), Marsudi Utomo, Ali Markasan, Dr.
Soetrisno R, M.Si., Drs. Mujiono, S.Sn., Tribroto Wibisono, S.Pd., Drs.Handoyo, Drs.
Arief Rofiq, M.Si., Soenarto AS, S.Sn., Sariono, S.Sn. Luwar, M.Sn., Joko Susilo, S.Sn.
Bambang Sukma Pribadi, para pimpinan sanggar tari di Surabaya, para penari Ngremo
Ludruk, dan seluruh teman sejawat yang tidak dapat penulis sebut satu-persatu yang telah
banyak memberikan informasi dan dukungannya. Demukian pula kepada Drs. Robby
Hidajat, M.Sn. diucapkan terima kasih setinggi-tingginya karena berkenan memberikan
pengantar pada buku ini.
Ucapan tulus pula penulis sampaikan kepada istriku tercinta “Trinil Windrowati,
M.Sn. anak-anakku tersayang Yudistira Pambudi Tirtana dan Renanda Bayu Harsi yang
dengan sabar dan setia memdampingi penulis dalam penyelesaian buku ini. Akhirnya kami
sampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada Dewan Kesenina Jawa Timur (DKJT)
yang telah menerbitkan buku ini. Semoga apa yang telah diberikan kepada penulis
mendapatkan pahala dari Allah Tuhan Yang Maha Kuasa. Amin.
Wahyudiyanto

vii
DAFTAR ISI

UCAPAN TERIMA KASIH i


KATA PENGANTAR ....................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................. vii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................ ix
DAFTAR TABEL ............................................................................ xi

BAB I TARI NGREMO DI SURABAYA ASAL USUL DAN 1


PEMBENTUKANNYA

1.1 Latar Belakang .................................................................................... 1


1.2 Asumsi Dasar ...................................................................................... 7
1.3 Konseptualisasi ..................................................................................... 10

1.3.1 Ngremo ............................................................................... 10


1.3.2 Pahlawan ................................................................................ 12
1.3.3 Politik ............................................................................... 13

BAB II SURABAYA GAMBARAN UMUM DAN PENDUDUKNYA 17

2.1 Sejarah Lisan dan Kepahlawanan kota Surabaya .................................. 16


2.2 Wilayah dan Pemerintah Kota Surabaya ............................................... 21
2.3 Kependudukan dan Ekonomi ................................................................. 27
2.4 Agama, Sosial politik, dan Budaya ...................................................... 28
2.5 Stratifikasi dan Pola Interaksi Sosial ..................................................... 30
2.6 Dinamika Sosial Budaya ...................................................................... 33

BAB III PENGARUH POLITIK TERHADAP KEHIDUPAN TARI NGREO 37


SURABAYAN DI SURABAYA

3.1 Menguatnya Kehidupan Politik dalam Interaksi Sosio Budaya .......... 37


3.2 Kebijakan Politik Pemerintah Terhadap Kehidupan Kesenian ............. 40
3.3 Pengaruh Politik Pada Tema Tari Ngremo di Surabaya ...................... 45
3.4 Identifikasi Tari Ngremo ...................................................................... 51
3.5 Posisi Tari Ngremo dalam Struktur Prtunjukan Ludruk ...................... 54
3.6 Situasi Ngremo dalam Pertunjukan Ludruk ......................................... 58
3.7 Tari Ngremo di Surabaya ..................................................................... 62
3.8 Munali Pattah dan Ludruk Radio Republik Indonesia (RRI) Surabaya . 64
3.9 Perkembangan Tari Ngremo Surabaya Mutakhir ................................ 67

viii
BAB IV MAKNA SIMBOLIK BENTUK TARI NGREMO SURABAYAN DI 70
SURABAYA

4.1 Bentuk Tari Ngremo Surabayan Sebagai Wujud Presentasi Simbolis Sosio
Kultural dan Politik ....................................................................... 70
4.2 Karakteristik Tari Ngremo Surabayan .................................................... 72
4.3 Gerak dalam Tari Ngremo Surabayan .................................................... 73

4.3.1 Bentuk Sikap Tancep ............................................................. 79

4.3.1.1 Bentuk dan Sikap Tubuh ....................................... 79


4.3.1.2 Bentuk dan Sikap Gerak Tungkai ........................ 81
4.3.1.3 Bentuk dan Sikap Gerak Lengan dan Tangan ....... 85
4.3.1.4 Bentuk dan Sikap Gerak Leher dan Kepala .......... 85

4.4 Tata Rias dan Tata Busana dalam Tari Ngremo .................................... 87

4.4.1 Tata Rias Bentuk Sawunggaling ............................................. 89


4.4.2 Tata Rias Bentuk Cakraningrat ............................................. 89
4.4.3 Tatat Busana Sawunggalingan .............................................. 90
4.4.4 Tata Busana Cakraningratan ................................................. 91

4.5 Aspek Musikal pada Tari Ngremo Surabayan ....................................... 96


4.5.1 Instrument ............................................................................. 96
4.5.1.1 Unsur-unsur Lagu ..................................................
4.5.1.1.1 Melodi ................................................ 98
4.5.1.1.2 Teks .................................................... 104

4.6 Peranan Musik dalam Tari Ngremo ........................................................ 111


4.7 Aspek Nilai Filosofis dan Nilai Politis ................................................... 113
4.8 Tata Pentas dan Penonton Pertunjukan Tari Ngremo .............................

BAB V NGREMO SEBAGAI TARIAN LUDRUK KEBERADAANNYA DI


TENGAH MASYARAKAT SURABAYA 122
5.1 Pandangan Masyarakat Surabaya Terhadap Ludruk dan Tari Ngremo
Surabayan ................................................................................................ 122

5.1.1 Seniman Sebagai Tokoh Masyarakat Seni ............................. 126


5.1.2 Institusi Pendidikan Seni ....................................................... 132
5.1.3 Masyarakat Umum Pemerhati Seni Tari ............................... 136

BAB VI PENUTUP ........................................................................................... 145


5.1 Kesimpulan ................................................................... 145
5.2 Saran ..................................................................................................... 147

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 148

ix
GLOSARI ...................................................................................... 155
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 : Cak Durasim diabadikan dalam wujud monumen dan nama


gedung pertunjukan di Taman Budaya Jawa Timur ................. 47

Gambar 2 : Lerok Besutan yang sampai saat ini masih dapat disaksikan
meskipun sangat langka ........................................................... 52

Gambar 3 : Tari Ngremo Tahun 1920-an ................................................. 53

Gambar 4 : Tari Ngremo akhir tahun 1930-an awal tahun 1940-an (penari
Ngremo Ludruk Organisasi pimpinan Cak Durasim) ................ 53

Gambar 5 : Para travesti menari dan menyanyi bersama dalam suatu pola
pentas yang disebut bedayan Ludruk ..................................... 55

Gambar 6 : Personil ludruk tampil di atas pentas dalam suatu pola adegan
yang disebut dagelan .............................................................
56
Gambar 7 : Adegan Ludruk dalam suatu pentas di pendopo ...................... 56
Gambar 8 : Adegan Ludruk dalam suatu pentas di panggung prosenium
lengkap dengan dekorasi ........................................................ 57

Gambar 9 : Tari Ngremo Jugag wujud kreatif seniman dalam pemadatan


gerak dan waktu, pada awalnya disajikan untuk kebutuhan
menyambut pesta olah raga Asia Tenggara ke XV di Jakarta ... 68

Gambar 10 : Tancep pada tari Ngremo ketika akan melantumkan kidungan 78

Gambar 11 : Tari Ngremo Ludruk yang telah mendapat sentuhan kreatif


mencapai kesempurnaan bentuk ekspresi ................................. 82

Gambar 12 : Tari Ngremo garapan institusi seni lebih kental dengan


penyempurnaan bentuk fisik ................................................. 83

Gambar 13 Gerakan angkat kaki tinggi-tinggi pada ragam gerak sabetan ... 84

Gambar 14 : Ciri busana Cakraningratan khas Munali Pattah ....................... 88

Gambar 15 : Tata rias tari Ngremo Sawunggalingan .................................. 90

Gambar 16 : Tara rias tari Ngremo Cakraningratan ................................... 90

Gambar 17 : Busana tari Ngremo Sawunggalingan .................................... 91

x
Gambar 18 : Busana tari Ngremo Sawunggalingan ..................................... 91

Gambar 19 : Pengembangan busanan tari Ngremo Cakraningratan yang


dimulai akhir tahun 1960-an ..................................................... 92
Gambar 20 : Pembaratan busana. Potret Hamengku Buwana VIII (1921-
1939) dalam seragam militer (prajurit) Belanda satu pihak
digunakan jas ketat, kaus kaki dan celana, serta lencana dan di
lain pihak menutup kepala, kain (dengan motif parang rusak),
keris dan peralatan menyisir (khas Jawa) ................................. 95

Gambar 21 : Tari Ngremo ditarikan secara masal menyambut Wapres Tri


Sutrisno di Surabaya tahun 1995 ........................................... 133

Gambar 22 : Tari Ngremo yang disajikan oleh anak usia sekolah pra dasar ..... 134

Gambar 23 : Tari Ngremo Gaya (Jombang) yang kaya dengan permainan


sampur, badan ngligo, iket kepala model iket Bali ..................... 137

Gambar 24 : Tari Ngremo gaya Malangan fariasi sampur pada lengan kiri dan
busana yang menbedakan dengan gaya Surabayan atau
Jombang. ........................ 137

Gambar 25 : Tari Ngremo kolosal tahun 1970-an di lapangan Kodam


Brawijaya Surabaya dalam rangka peringatan hari besar
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia disambut meriah oleh
masyarakat ....................................................... 140

xi
DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Jadwal Program Kegiatan Taman Budaya Jawa Timur Tahun


2003 ........................................................................................ 34

Tabel 2 : Kalender Wisata Surabaya 2003 ............................................. 35

Tabel 3 Kalender Kegiatan di Balai Pemuda Surabaya 2003 36

Tabel 4 : Bentuk Sikap Tancep ............................................................... 79

Tabel 5 : Pengenalan awal tari Ngremo .............................................. 138

Tabel 6 : Harapan Keberlanjutan Tari Ngremo ................................... 140

Tabel 7 : Tingkat pemahaman masyarakat terhadap substansi tari


Ngremo .............................................................................. 142

xii
1

BAB I

TARI NGREMO DI SURABAYA


ASAL USUL DAN PEMBENTUKANNYA

1.1 Latar Belakang

Pagupon omahe dara


Melok Nippon awak sengsara

Pagupon rumah burung dara


Ikut Nippon aku sengsara
(Darma, 2007:70)

Epygrap yang mengawali tulisan ini adalah kidungan Ngremo. Sebait syair yang
melegenda di Jawa Timur karena mampu mewakili situasi ketika masyarakat Surabaya --
khususnya-- dalam tekanan politik tentara Jepang yang keras. Cak1 Durasim dengan
berani menyuarakan kondisi masyarakat pada waktu itu kemudian meninggal dalam
keadaan tragis. Melalui kidungan Ngremo itu Cak Durasim di kemudian hari dikenal
sebagai pahlawan oleh para seniman di Surabaya dan sekitarnya. Ngremo sebagai bagian
dari pertunjukan Ludruk selanjutnya lekat dalam kehidupan masyarakat Surabaya dan
Jawa Timur. Sebegitu lekat karena Ngremo selalu dihadirkan kembali pada banyak
kesempatan. Selain untuk mengawali acara pergelaran Ludruk Ngremo hadir pula pada
momen-momen kesenian seperti pertunjukan tayub (tandakan), Wayang Kulit Jawa
Timuran, dan Kentrung. Di pelosok-pelosok kampung, lorong-lorong kota, pada acara
festival, pentas seni, lomba tari, dan peringatan HUT Kemerdekaan RI. Pada upacara
formal kenegaraan atau sekedar penyerta kegiatan seremonial Ngremo menjadi bagian
dari kegiatanya. Awal mula Ngremo dikenal masyarakat karena selalu hadir bersama
Ludruk, pada perkembangan berikutnya Ngremo mampu menunjukkan eksistensinya
sendiri di luar pertunjukan Ludruk bahkan Ngremo seringkali dipergelarkan dengan cara
kolosal.

1
Cak adalah tambahan kata di depan nama orang untuk sebutan saudara tua laki-laki di wilayah budaya di
Jawa Timur. Misalnya Cak Durasim, Cak Kartolo dan lain-lain. Sebutan cak ini seperti halnya atau sejajar
dengan kata Mas di depan nama orang laki-laki yang disebut untuk wilayah budaya di Jawa Tengah, dan
Abang untuk wilayah budaya di Jawa Barat.
2

Ngremo pada perkembangan mutakhir ini adalah tari dengan wujudnya yang khas
menggambarkan figur tokoh pejuang yang di kenal dalam sejarah. Cakraningrat,
Sawunggaling, Pangeran Situbondo, Untung Suropati, dan tokoh terdepan lainnya
merupakan figur yang menyejarah karena keberanian, kepedulian, dan gagasan tentang
kemerdekaan. Ketika sejarah diceritakan kembali melalui pertunjukan-pertunjukan
Ludruk dan atau teater tradisional lain yang berkembang di Jawa Timur, maka figur-figur
itu terangkat karisma dan citranya yang bergelora, selanjutnya diidolakan sebagai yang
terbaik dari masyarakat. Penari dalam Ludruk menyerap ideasi estetik itu kemudian
diangkat kembali dalam wujud estetik lain yaitu tari Ngremo. Yang kita pahami sampai
sekarang ini adalah Ngremo dari aspirasi cerdas bergelora itu. Inilah realitas seni
pertunjukan yang menyuarakan situasi dan kondisi masyarakatnya. Seni dan kesenian
semacam ini mempunyai akar sejarah yang signivikan di dalam membentuk sebuah
kebudayaan menyeluruhnya. Adalah Ngremo --dan Ludruk sebagai induk semangya--
merupakan satu rangkaian peristiwa membudaya yang menggenggam sejarah perjuangan
politik dan budaya masyarakat Surabaya dan sekitarnya.
Dalam konteks kebudayaan maka kesenian ini adalah sistem budaya merupakan
manifestasi dari keadaan masyarakatnya. Bentuk karya seni yang lahir dari sistem budaya
adalah cerminan dari kondisi sosial yang nyata. Tersebab itu kesenian tidak pernah berdiri
lepas dari masyarakatnya. Sebagai salah satu bagian penting dari kebudayaan, kesenian
adalah ungkapan kreativitas dari kebudayan itu sendiri. Masyarakatlah yang menyangga
kebudayaan, dengan demikian kesenian adalah mencipta, memberi peluang untuk
bergerak, memelihara, menularkan, mengembangkan untuk kemudian menciptakan
kebudayaan baru lagi. 2

Ngremo adalah karya cipta budaya kesenian demikian juga: lahir, hidup, tumbuh,
dan berkembang mengikuti arah ke mana masyarakat yang melahirkan dan
menyangganya. Sebagai bentuk sastra setengah lisan, Ngremo lahir dari masyarakat
pedesaan di Jombang.3 Tarian yang bermula dari pertunjukan Lerok Besutan ini semula

2
Periksa Umar Kayam, 1981.
3
Ludruk yang bermula Lerok adalah pertunjukan teater tradisional di Jawa Timur awal pertumbuhannya
dari Jombang sekitar tahun 1907. Pertama kali dirintis oleh seorang petani bernama Pak. Santik berasal dari
desa Ceweng, Kecamatan Goda, Kabupaten Jombang. Data ini diambil dari musyawarah Ludruk se Jawa
Timur yang berlangsung di Surabaya pada tanggal 21 s/d 22 Juni 1968.
3

berfungsi sebagai kegiatan ritus 4 bagi para seniman Besutan. Penyajian ritual yang gerak
geriknya di kemudian hari menjadi istilah Ludruk 5 ini terus berkembang sampai dengan
menemukan bentuknya seperti sekarang ini.
Begitu keadaannya maka Ngremo dan Ludruk lekat sebagai satu kesatuan
pertunjukan teater tradisional khas Jawa Timur ini, meskipun pada perkembangannya
Ngremo dapat tumbuh di luar Ludruk dan bahkan mampu berdiri sebagai suatu disiplin
pertunjukan tari murni. Perubahan ini disebabkan karena kegiatan membudaya suatu
masyarakat terus bergerak menyesuaikan diri dengan kondisi budaya yang terus
berkembang.
Surabaya sebelum dan pasca kemerdekaan merupakan lahan subur bagi
pertumbuhan dan perkembangan Teater Ludruk. Lebih-lebih ketika sebagai Ibu Kota
Provinsi Jawa Timur, (Ibu Kota pemerintahan provinsi Tingkat I) sekaligus Ibu Kota
pemerintahan kota (Tingkat II), Surabaya merupakan pusat pertumbuhan dan
perkembangan berbagai bidang kehidupan budaya. Budaya agama, budaya pendidikan,
budaya politik, budaya ekonomi, dan budaya berkesenian. Sebagai pusat pertumbuhan
berbagai kehidupan budaya maka Surabaya sangat lazim menjadi pusat berkumpulnya
orang-orang dari berbagai lapisan masyarakat. Pedagang, pegawai atau karyawan,
agamawan, politikus, budayawan, guru, seniman, sampai dengan tukang dan buruh rumah
tangga dan atau buruh bangunan sekalipun. Dari masyarakat Surabaya sendiri atau
masyarakat dari luar Surabaya yang sudah barang tentu dengan berbagai motif, tujuan dan
kepentingan.
Sebagai pusat pertumbuhan budaya ekonomi, Surabaya adalah tempat mengadu
untung bagi orang-orang untuk mencari sumber ekonomi. Tempat bagi setiap orang yang
ingin mencari penghasilan. Maka demikian pula Ludruk adalah pertunjukan komersial.
Sebagai pertunjukan komersial perkumpulan Ludruk berpindah dari satu tempat ke
tempat lain mencari penghasilan secara ekonomi dalam upaya memenuhi tuntutan hidup.
Surabaya merupakan salah satu tempat tujuan bagi perkumpulan Ludruk untuk
mendulang rupiah dengan cara menawarkan jasa hiburannya. Ludruk dari Jombang pada

4
Tarian yang diperagakan tokoh Besut dalam pertunjukan Lerok Besutan adalah bagian dari ritus para
seniman Ludruk terhadap keyakinannya atas “sangkan paraning dumadi” disajikan untuk doa keselamatan
bagi segenap masyarakat yang terlibat dalam pertunjukan. Diperkirakan Lerok Besutan ini mulai
berkembang pada tahun 1911 sampai 1920. Sartono, “Cerita Singkat/Sinopsis Seni Ludruk” Makalah tidak
di terbitkan, Mojokerto: Kasi Kebudayaan Depdikbud Mojokerto, Halaman 8)
5
Ludruk dari kata gela-gelo dan gedrak-gedruk yang merupakan tarian dalam pertunjukan Lerok Besutan
(W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1968)
4

tahun 1930-an yang pertama kali datang ke Surabaya tidak labih juga dimotivasi oleh
kepentingan ekonomi.
Awal-awal perkembangan Ludruk di Surabaya tumbuh bersama dengan
kehidupan politik kolonial di Indonesia. Pada tahun 1930-an dan 1940 merupakan titik
keberlanjutan dari komitmen para nasionalis lokal yang telah tumbuh kesadaran
nasionalisme yaitu kesadaran berbangsa dan bernegara yang sebelumnya telah
menghasilkan rumusan sumpah pemuda. Di Surabaya, berjuang untuk mencapai dan
mempertahankan kemerdekaan Indonesia adalah kata yang sudah bulat. Di pihak lain,
Belanda yang ditunggangi Inggris ingin menguasai kembali Surabaya sebagai wilayah
jajahan yang setelah sebelumnya Jepang mengusirnya selama dua tahun lebih. Tekat
masyarakat Surabaya dalam mencapai dan merebut kembali kemerdekaan adalah satu
titik kulminasi yang kemudian membuahkan torehan sejarah bagi Surabaya yakni sebagai
kota pahlawan.
Kota pahlawan bagi Surabaya merupakan identitas politik. Identitas ini secara
simbolik memberi penanda bagi Surabaya bahwa sejarah politik Surabaya sarat dengan
peristiwa perjuangan. Perjuangan panjang kemudian melahirkan identitas kepahlawanan
merupakan cerminan nilai heroisme masyarakat Surabaya di dalam merebut dan
mempertahankan kemerdekaan Surabaya dari invasi asing. Tarian Ngremo yang tumbuh
di Surabaya ini juga mendapat predikat yang sama dengan identitas Surabaya yakni tari
Ngremo dengan nilai kepahlawanan. Kepahlawanan tari Ngremo yang diidentifikasi dari
semangat heroisme ini diduga merupakan bentuk sinergi kepentingan politik lokal dengan
kepentingan masyarakat seni pertunjukan Ngremo Ludruk di Surabaya. Suatu
kepentingan bersama yakni ketika negara di satu sisi ingin secara politik memiliki
kedaulatan mandiri dalam berbangsa dan bernegara. Seniman di sisi yang lain memiliki
cita-cita ingin segera terbebas dari cengkraman penjajah, kepentingan ekonomi,
kepentingan ideologi dan kepentingan-kepentingan lain yang berlipat-lipat itu mendorong
naluri kesenimanan dan naluri politiknya untuk lebur dalam momentum perjuangan.
Sinergi kepentingan ini kemudian menumbuhkan sikap solidaritas kolektif dari
seluruh komponen bangsa (dan termasuk di dalamnya seniman Ngremo Ludruk) untuk
bersama berjuang meraih dan mempertahankan kemerdekaan dengan caranya sendiri-
sendiri. Sikap nasionalisme yang nampak pada sifat patriotik ini oleh seniman Ngremo
divisualisasikan dalam wujud seni pertunjukan tari. Masuknya ideologi militeristik ke
dalam kesenian ini melahirkan estetika definitif dalam tari Ngremo yakni kepahlawanan.
5

Dengan demikian kepahlawanan sebagai ideologi militer dalam wacana kehidupan


berbangsa dan bernegara di Surabaya dijadikan identitas politik, pada dimensi lain
mentransformasi menjadi identitas budaya. Tari Ngremo yang khas perwujudan imajiner
dari para bangsawan pejuang setempat selanjutnya merupakan Simbol budaya di
Surabaya.

Perubahan tema Ngremo yang religius berkembang menjadi tema politis ini secara
teoretis merupakan konskuensi logis dari sifat masyarakat yang terus berubah. Perubahan
masyarakat ini disebabkan oleh pengaruh-pengaruh dari luar kebudayaan masyarakat
maupun oleh kemauan masyarakat itu sendiri. Pengaruh dari luar yang dimaksud
meliputi: kondisi politik, ekonomi, kepercayaan, pendidikan masyarakat, keamanan, dan
lain-lain. Perubahan-perubahan ini secara individual dipersepsikan oleh seniman sebagai
realitas yang bergerak. Gerakan kebudayaan suatu masyarakat tersebut pada saat yang
sama memberikan inspirasi bagi seniman dalam kegiatan berkeseniannya. Sehingga
pengaruh-pengaruh perubahan itu lekat menjadi bagian inspirasi dari kegiatan kesenian
yang secara nyata mengubah bentuk atau wujud dan fungsi kesenian itu sendiri.
Dalam perspektif tari Ngremo ini perubahan tema diawali dari pertama kali
munculnya rombongan Ludruk dari Jombang di Surabaya tahun 1931. Ludruk ini
menampilkan cerita-cerita perjuangan melawan penjajah kendatipun tokoh pejuang pada
akhir cerita mati di tangan penjajah (Hendrowinoto, 1987: 8). Periode ini merupakan
masa awal tari Ngremo yang berkembang di Surabaya menuju arena perjuangan karena
Ludruk sebagai teater rakyat telah bersama-sama dengan para pejuang kemerdekaan
menggalang partisipasi masyarakat seluas-luasnya untuk berjuang mengusir penjajah.
Brandon (1967:284) menyebutkan:

In the late nineteenth early twentieth centuries, when European countries and the
United States had colonized most of Southeast Asia, lokal nationalists sometimes
tried to use theatre performances as a means of arousing the people against
foreign rule.

Terjemahan:
Pada akhir abad 19 dan awal aba 20 ketika Eropa dan Amerika menjajah sebagian
besar Asia Tenggara, kaum nasionalis lokal kerap kali mencoba menggunakan
pertunjukan-pertunjukan kesenian sebagai satu alat untuk membangkitkan rakyat
dalam melawan pemerintah asing.
6

Di Indonesia ketika pemerintah nasionalis berjuang mencari cara-cara untuk


mengerahkan dukungan masa, mass media konvensional --radio, bioskop, surat kabar--
ada di tangan Belanda. Tak ada yang lebih wajar daripada berpaling pada drama bayang-
bayang wayang, cara tradisional dari ekspresi budaya orang Jawa sebagai suatu alat untuk
menceritakan kepada rakyat tentang kebijakan pemerintah (Brandon, 1967: 287). Upaya
menggunakan seni pertunjukan untuk menggalang masa ini dilakukan melalui
kementerian penerangan dan URIL (unit moril) yaitu lembaga di dalam ketentaraan yang
bertugas menghibur pasukan di dalam komando. Sebagian besar dikonsentrasikan di
Jawa, di mana tradisi-tradisi seni pertunjukan kuat dan lebih dari setengah penduduk
Indonesia tinggal. Di Jawa Timur rombongan-rombongan Ludruk juga disewa dan
dibentuk oleh pemerintah ( Brandon, 1967: 289).
Tatkala Bangsa Indonesia ingin segera terbebas dari penjajahan Belanda dan
Jepang, tentara dengan seniman Ludruk di Surabaya memberikan dorongan moral,
menggelorakan semangat kepada masyarakat untuk memanggul senjata, berjuang merebut
dan mempertahankan kemerdekaan. Upaya membangkitkan semangat berjuang dengan
memanggul senjata itu lebih lagi dikarenakan oleh lemahnya institusi sipil dalam
menjalankan fungsi sebagaimana mestinya, yaitu dengan perjuangan diplomasi tidak lagi
mampu merebut dan mempertahankan kemerdekaan yang kemudian melahirkan tentara
rakyat (Said, 2001: 2).
Perlawanan rakyat yang merupakan embrio dari kemunculan tentara nasional, di
wilayah Surabaya dan sekitarnya, anggotanya juga terdiri dari pemain Ludruk
(Supriyanto, 1992: 34). Dalam kaitan ini Ludruk dan tentara membaur menjadi satu
memberikan semangat, menggalang solidaritas masyarakat yang ditumbuhkan melalui
saluran kesenian dan sekaligus berjuang secara fisik menghadapi penjajah. Begitu
bersemangat sampai-sampai diketahui salah satu tokoh penari Ngremo bernama Gondo
Durasim, karena keberaniannya mengkritik pemerintahan kolonial ditangkap tentara
Jepang pada waktu mengadakan pertunjukan (Supriyanto, 1992: 13). Selanjutnya
dikabarkan bahwa Cak Durasim meninggal dunia sesudah dikeluarkan dari penjara.
Berawal dari peristiwa pergerakan menentang penjajah itu Ngremo bersama
Ludruk terus menerus menggelar pertunjukannya dengan lakon-lakon perjuangan,
meskipun dalam pementasannya seringkali dengan cara sembunyi-sembunyi atau dengan
persyaratan ijin pentas dari pemerintahan kolonial (Geertz,1982:392). Tatkala Ludruk
dalam pusaran politik pergerakan, Ludruk seringkali menyajikan lakon-lakon keprajuritan
7

dengan mengambil tokoh-tokoh pejuang setempat yang menjadi idola masyarakat seperti:
Cakraningrat, Sawunggaling, Untung Surapati, Pak Sakerah, dan Jayengrana (Supriyanto,
1992: 58). Ngremo menyesuaikan diri menunjukkan karakter dengan penampakan estetik
yang rinci. Penampakan fisik yang karakteristik diusahakan untuk membantu kehadiran
gerak sebagai pernyataan kegagahan dan kewibawaan.

Dalam buku Rites of Modernization Simbolic And Social Aspects of Indonesian


Prolelarian Drama tulisan James L. Peacock (1968: 41) juga disebutkan:

“Marhaen and Tresno Enggal are two troupes most famed for their factional or
party loyalitas-Marhaen to PKI, Tresno Enggal to the army”

Terjemahan:

Marhaen dan Tresno Enggal adalah dua perkumpulan kesenian Ludruk yang
keduanya mempunyai orientasi eksistensi yang berbeda. Ludruk Marhaen lebih
condong kepada Partai Komunis (PKI) sedangkan Tresno Enggal bergabung
dengan militer.

Militer dalam hal ini adalah melalui URIL (urusan moril) TNI-AD Dam VIII Brawijaya
yang bertempat di Malang.
Laporan Peacock ini menandaskan bahwa setelah kemerdekaan Ludruk masih
diliputi oleh situasi politik dan bahkan secara terang-terangan melibatkan diri pada
kegiatan politik praktis. Sebagian mengikuti ideologi partai komunis dan sebagian yang
lain bergabung dengan institusi militer. Orientasi politik tersebut merupakan jalan untuk
memperjuangkan ideologi sesuai dengan cita-cita masyarakat pada perkumpulan Ludruk.
Konsekuensi logis dari pilihan perjuangan itu melahirkan lakon-lakon cerita dengan tema
yang berbeda pula. Ludruk Marhaen lebih memilih cerita kerakyatan sedangkan Ludruk
Tresno Enggal dan Ludruk yang seideologi melanjutkan pertunjukannya dengan
menghadirkan cerita-cerita keprajuritan.
Setelah Gerakan 30 September 1965 (G30 S. PKI) meletus merupakan masa
vakum bagi pertunjukan Ludruk. Pada tahun 1968 Ludruk muncul kembali dengan
dibina militer Dam VIII Brawijaya. Pada tahun-tahun itu pula Ngremo secara terpisah
dari Ludruk mulai dikenalkan kepada masyarakat umum. Melalui institusi kesenian
binaan militer (Yayasan Pusat Latihan Tari Candra Wilatikta yang pertunjukannya
dipusatkan di Pandaan Pasuruan) Tari Ngremo diajarkan di luar pertunjukan Ludruk. Tari
8

Ngremo selanjutnya hadir tidak hanya bersifat personal tetapi berkembang menjadi
kolosal dengan karakter kekompakan pada geraknya.
Pada tahun 1970-an Ngremo selain berkembang di Surabaya juga berkembang di
Jombang, Malang, Mojokerto, Madura dan daerah di sekitarnya. Muncul beraneka ragam
Ngremo ketika kemudian dilombakan dan difestivalkan. Sebutan Ngemo gaya Surabayan,
gaya Jombangan, gaya Malangan, gaya Madura, dan gaya-gaya lainnya merupakan
dampak dari diselenggarakannya festival-festival dan lomba tari Ngremo. Ketika berbagai
corak Ngremo hadir di forum lomba maka untuk menggeneralisasikan Ngremo yang
berbeda-beda tersebut digunakan nama daerah tempat tumbuh dan kembang tari Ngremo
yang di kemudian hari melekat sebagai nama gaya Ngremo tersebut. Tari Ngremo yang
dikembangkan oleh Munali Pattah di Surabaya melalui institusi seni dan sekolah seni
inilah yang dikemudian hari dikenal dengan tari Ngremo Suroboyoan atau akrab disebut
Ngremo Surabayan. Sebutan itu untuk memberi tanda suatu ciri khusus dan sekaligus
memudahkan untuk mengenalinya.
Pada masa Orde Baru ketika konsep pembangunan diterapkan, seni budaya juga
merupakan subyek yang perlu dikenai pembangunan. Peraturan-peraturan yang berkaitan
dengan pembangunan menyentuh pada ranah kesenian. Implementasinya adalah
munculnya pembinaan-pembinaan kesenian oleh pemerintah. Dalam hubungan ini tari
Ngremo tidak luput dari pembinaan oleh pemerintah kota Surabaya dan pemerintah
provinsi Jawa Timur. Melalui Pelatihan-pelatihan, pembinaan sanggar-sanggar tari,
sekolah seni, bantuan busana tari Ngremo ke seluruh kantong-kantong seni di Jawa
Timur, festival Ngremo, dan bentuk-bentuk pertunjukan lainnya. Tema sentral tari
Ngremo semakin dimantapkan oleh kegiatan pembinaan tersebut, sedangkan melalui
kidungan orientasi tema perjuangan kembali bergeser dari perlawanan kepada penjajah,
kritik sosial, berubah menjadi penyambung pesan pembangunan dengan mendukung dan
menyampaikan kebijakan-kebijakan pemerintah. Pada terminologi ini Kayam (1985: 23)
menandaskan:

Pada zaman Republik Indonesia, seni Ludruk masih hidup dan berkembang
sebagai kesenian rakyat tradisional yang berbentuk teater. Hanya saja kalau pada
masa sebelumnya kesenian ini berfungsi sebagai penyalur kritik sosial, pada masa
yang kemudian fungsinya bergeser menjadi penyampai kebijakan pemerintah.
9

Perubahan orientasi perjuangan di dalam perkumpulan Ludruk sebagai perubahan fungsi


dalam kesenian ini lebih dapat dicermati dari sastra kidungan yang dilantumkan oleh
dagelan atau pelawak Ludruk dan kidungan tari Ngremo (penjelasan lebih lanjut pada bab
berikutnya).

1.2 Asumsi Dasar


Memperhatikan fenomena sosial budaya yang terus menerus berelasi dengan
institusi sosial politik melahirkan interaksi dinamis. Dalam kehidupan budaya kesenian,
konteks relasi ini telah nyata menciptakan ruang estetik yang khas. Tari Ngremo
Surabayan dengan nilai kepahlawanan merupakan bentuk interaksi sosial politik dengan
sosial budaya kesenian tari. Karena interaksi dinamis ini tari Ngremo mengalami
perubahan bentuk dan karakternya.
Fenomena tersebut dapat dipahami bahwa terdapat dua entitas yang berhubungan.
Pertama, entitas pemerintahan negara dan lembaga-lembaga yang menopang
keberadaannya. Kedua, entitas masyarakat yang terwadahi dalam lembaga kesenian.
Kedua entitas tersebut karena didorong oleh kondisi sosial politik dalam situasi tertentu
berinteraksi satu sama lain menghadirkan sintesa kebudayaan. Pengaruh politik negara
baik berupa dominasi dan tekanan, pemberian fasilitas dan sanjungan, seniman dengan
demikian lebih dominan mengekspresikan persepsi eksternalnya.
Latar belakang sosial politik menghadirkan tari Ngremo Surabaya ini dengan
karakter yang tegas, lugas dan dinamis. Seperti ungkapan Munali Pattah, karena
seringnya tampil di dalam komunitas kemiliteran, Pattah mengatakan bahwa tari Ngremo
adalah ‘satria’. Ke’satria’ dalam alam tradisional adalah tata nilai yang diilhami oleh
khasanah budaya lokal yang terlebih dahulu mengkonstruksi. Khasanah budaya lokal
tersebut dibentuk oleh kekayaan nilai-nilai epos Mahabarata, Ramayana, Siklus Panji dan
cerita rakyat lainnya yang selanjutnya mewarnai wajah khas karakter budaya jawa secara
umum. Perilaku-perilaku khas yang tercermin dalam perwatakan setiap figur peranan
pada cerita-cerita itulah yang menginspirasi para pengreman tentang nilai-nilai termasuk
dalam merekonstruksi satria dalam perwujudan tari Ngremo.
Kasadaran ‘baru’ itu ditunjukkan dalam tampilan tari Ngremo dengan jiwa yang
lebih gagah, wibawa, dan tagas. Pernyataan Munali Pattah demikian itu muncul setelah
sebelumnya Munali Pattah pernah mengatakan bahwa Ngremo pada awalnya adalah
lemah lembut seperti tari Gambyong yang ditarikan oleh penari laki-laki. Tidak terlihat
10

tekanan-tekanan gerak yang memperlihatkan sifat karakter seorang satria. Gerakannya


cenderung lembut dan terus mengalir mengikuti karakter irama gending-nya (Pattah,
wawancara 1993: Maret, 19).
Mencermati idealitas ‘baru’ dalam format ‘satria’ tersebut dapat dipandang bahwa
perubahan tema tari Ngremo lebih didorong oleh semangat perjuangan dalam konsep
kemiliteran. Kepahlawanan model militeristik ini kemudian menjadi orientasi dinamis
merupakan estetika difinitif dalam tari Ngremo. Pada titik ini kesenian merupakan produk
budaya yang dihasilkan, dipelihara, dikontrol dan dikembangkan oleh suatu tradisi
tertentu akan memberikan konskuensi dalam proses kehidupan budaya (Hadi, 1991: 99).
Ngremo sebagai konsekuensi kesenian yang dibentuk oleh konstelasi politik perjuangan
dapat dicermati dari proses pembentukan karakteristiknya dalam wacana kebudayaan.
Kehadiran Ngremo lebih dirasakan sebagai pernyataan ideologi perjuangan dalam format
kemiliteran yang kemudian mendapat penerimaan oleh seniman dan masyarakatnya.
Tari Ngremo Surabayan sebagai sebuah bentuk pertunjukan merupakan fenomena
yang berbeda dengan tari Ngremo gaya lain seperti Ngremo Malangan dan Ngremo
Jombangan. Secara kinetik derajat tingkah laku tari Ngremo Surabayan cenderung
menggambarkan ‘satria’ dengan ciri karakter yang khas: keanggunan, kegagahan, dan
kewibawaan. Tari Ngremo Malangan lebih halus dan Ngremo Jombangan dapat dilihat
ketrampilan menggunakan sampur dengan olah teknik kecil-kecil dan lincah.
Busana yang dikenakan tari Ngremo menggunakan pendekatan budaya setempat
merujuk pada tokoh yang mempunyai status priyayi, yaitu tokoh masyarakat kelas
penguasa yang keberpihakannya lebih menonjol kepada nasib rakyat dan bangsanya.
Ngremo Malangan yang eksistensial dengan busana yang berorientasi pada busana topeng
Malang, sedangkan Tari Ngremo Jombangan yang lekat dengan kondisi pedesaan maka
pengaruh kuat pada tari Ngremo ini adalah sifat-sifat kerakyatan.
Ngremo di Surabaya sebagai hasil interaksi dengan politik perjuangan telah
mengalami perubahan bentuk fisik maupun temanya. Kepahlawanan sebagai orientasi
estetik menghadirkan atribut tari Ngremo yang khas perwujudan fisik pahlawan imajiner
khas Jawa Timur. Perkembangan tari Ngremo yang khas ini membedakan dengan tari
Ngremo lain yang juga berkembang di habitatnya sendiri dan juga tumbuh berkembang di
Surabaya. Keberadaanya mendapat penerimaan secara luas dari masyarakat
pendukungnya di Surabaya dan sekitarnya.
11

Dialektika kebudayaan tersebut dapat menjelaskan bahwa fenomena sosial budaya


yang selalu bersinggungan dengan politik menyebabkan tari Ngremo telah mengalami
perubahan keberpihakan otonominya. Pengaruh ideologi dari luar dirinya membawa tari
Ngremo menuju pada pemaknaan simbolis yang mengarah pada pembentukan estetik
yang difinitif. Nilai Kepahlawanan sebagai rintisan menuju sikap nasionalisme model
kemiliteran memasuki ruang estetik diangkat untuk mempengaruhi, menguasai dan
menggiring masyarakat ke tingkat ideologi politik.
Nilai kepahlawanan tari Ngremo dalam ruang budaya mempunyai makna sejajar
dengan kepahlawanan dalam ruang politik kota Surabaya sebagai kota pahlawan.
Aparatus negara dan seniman (penari Ngremo) sebagai intelektual organik6 pemerintah
telah turut serta membantu menciptakan legitimasi atas nilai simbolis pada tari Ngremo
sebagai identitas politik dan identitas budaya kota Surabaya.
Kondisi politik dan pemanfaatan institusi kesenian di tingkat kota Surabaya dalam
menumbuh kembangkan tari Ngremo ini membawa pengaruh dan konsekuensi logisnya
pada perkembangan bentuk dan penyebarannya. Perkembangan mutakhir bentuk fisik dan
ide tematik pada tari Ngremo dapat diamati sangat kental dengan simbol-simbol
keprajuritan yang khas sebagaimana pemahaman dunia tradisional budaya setempat.
Kelekatan simbol khas budaya setempat ini yang membawa pengaruh langsung pada
penerimaan masyarakat.
Selanjutnya tari Ngremo yang personal berkembang ke arah perubahan pola gerak
dan teknik disesuaikan dengan kebutuhan penyajiannya. Pada sisi penyebaran tari
Ngremo melalui jalur-jalur pendidikan resmi (sekolah), sanggar dan jalur kebijakan dari
pemerintah melalui pelatihan-pelatihan, Ngremo dikenai semacam hukum wajib yang
harus dikuasai secara teknik oleh anak didik di sekolah-sekolah tingkat dasar dan
menengah di Surabaya.

6
Dalam pandangan Gramsci intelektual organik adalah: semua orang yang mempunyai fungsi sebagai
organisator. Dalam perspektif negara maka inteletual organik meliputi tiga wilayah penting;1) bidang
produksi: para manajer, insinyur dan teknisi, 2) dalam masysrakat sipil: politisi, penulis terkemuka dan
akademisi, penyair, seniman, wartawan dan sebagainya, dan 3) dalam aparat negara: pegawai negeri,
tentara, jaksa dan hakim. Roger Simon, Gagasan-Gagasan Politik Gramsci, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
2001, hal. 145).
12

1. 3 Konseptualisasi

1.3.1 Ngremo.
Terdapat dua istilah dipakai sebagai sebutan untuk tarian pembuka pertunjukan
Ludruk ini. Pertama adalah sebutan Remo. Istilah Remo oleh Poerwadarminta dalam
Kamus Umum Bahasa Indonesia diangkat dari kata rekma (rambut dalam bahasa Jawa).
Poerwadarminta melihat bahwa tarian dalam pertunjukan Ludruk terdapat pola gerak
yang menggunakan rambut sebagai obyek gerak yakni pola gerak ngore rekma (mengurai
rambut). Dari batasan ini dapat dipahami bahwa di dalam tari Ngremo rambut atau rekma
dipergunakan sebagai obyek penciptaan pola gerak tari.
Kedua adalah sebutan Ngremo. Istilah Ngremo setidaknya diambil dari dua subyek
matter dalam tarian itu sendiri. Pertama sebutan nama Ngremo diambil dari cara dalam
menempatkan sampur, yakni letak sampur yang melekat pada kedua bahu pada tari
Gambyong Surabayan (tari putri pada pertunjukan Ludruk sebelum munculnya tari
Ngremo putra). Kedua merupakan istilah dari suatu pola gerak yang menggambarkan
aktifitas mengurai rambut ( ngore rekma). (Pattah, wawancara, 2001: Oktober 13). Pattah
menambahkan perihal kedua subyek yang dipakai sebagai istilah Ngremo tersebut bisa
saja diterima lantaran keduanya (penempatan sampur dan pola gerak ngore rekma)
memang melekat di dalam tari Ngremo. Persoalan yang terpenting adalah bagaimana
seorang penari Ngremo mampu menyajian jiwa satria dalam pertunjukan tariannya.
Sependapat dengan istilah Ngremo dan pernyataan Pattah ini, Wibisono menandaskan:
Ngremo bisa saja diistilahkan dari ngore rekma dan permainan sampur tetapi bahwa
Ngremo adalah getaran jiwa dan emosi seseorang yang mewakili masyarakat Jawa Timur
dalam menampilkan siasat-siasat dan kelakuan-kelakuan masyarakatnya melalui gerak
anggota badan dan ruang ekspresi yang spontan ( Wibisono, tanpa tahun: 3).
Esensi yang patut dicermari adalah ngore rambut. Ngore adalah kata kerja aktif,
ngore rambut sudah merupakan satu kalimat aktif yang menunjukkan aktifitas kerja.
Ketika kalimat kerja aktif dipaki sebagi istilah atau sebutan nama, maka terdapat
kesadaran tunggal tentang kebermaknaan kalimat tersebut. Kesadaran yang dimaksud
adalah bahwa ngore rambut yang kemudian menjadi Ngremo merupakan aktivitas atau
kegiatan yang sengaja dilakukan untuk mencapai sesuatu. Sesuatu dalam konteks ini
dimengerti sebagai usaha mengekspresikan jiwa semangat masyarakat Jawa Timur
dengan sifat ke-satria-annya melalui gerak-gerak anggota tubuh. Oleh karenanya istilah
13

Ngremo merupakan bentukan dari kesadaran (koncsiousness) sebagai suatu pengalaman


(experience) yang terartikulasikan dalam kenyataan empiris. Jadi Ngremo (ngore rekma)
lebih bersifat aktif dari pada Remo (rekma) yang bendawi. Namun demikian bahwa istilah
Ngremo dan Remo sudah menjadi nama atau istilah dari tarian dalam pertunjukan
Ludruk. Kedua istilah itu dalam kehidupan membudayanya dipakai secara bersama-sama
untuk menyebut tari pembuka pertunjukan Ludruk ini dan tidak dipertentangkan
pemakaiannya.
Dalam tulisan ini sengaja dipakai istilah Ngremo. Menurut hemat penulis bahwa
istilah Ngremo lebih mempunyai kekuatan makna yakni aktivitas ungkap atau ekspresi
budaya masyarakat yang setiap karakternya memiliki nilai-nilai khas. Nilia-nilai khas
tersebut selalu diaktualkan melalui pertunjukan Ludruk sehingga tari Ngremo merupakan
intisari dari cerminan cerita-cerita Ludruk. Kenyataan ini dapat ditelusur dari tema-tema
lakon Ludruk pada setiap generasi yang selalu diikuti oleh karakteristik tari Ngremo.
Ludruk yang istilahnya berasal dari pola-pola gerak tari, selanjutnya tarian dalam Ludruk
telah menemukan bentuk dan penamaan tersendiri meskipun tidak secara harfiah terkait
dengan istilah Ludruk lagi tetapi esensi tari Ngremo merupakan cerminan dari tema-tema
Ludruk. Pemilihan istilah Ngremo juga didasari oleh sebutan yang selalu dipakai oleh
para praktisi tarian itu sendiri utamanya penari Ngremo Ludruk.
Penggunaan istilah Ngremo ini bukan berarti mengabaikan istilah yang ditemukan
oleh para pakar bahasa. Tetapi dalam konteks ini pemilihan istilah Ngremo lebih
berorientasi pada pemilik budaya Tari tersebut yang akrab menggunakan nama atau
istilah yang dibuatnya sendiri.

1.3.2 Pahlawan
Secara harfiah pahlawan berarti orang yang gagah berani atau pejuang yang gagah
berani (kamus Umum Bahasa Indonesia, 1982: 692). Gagah berani adalah sifat yang
sebenarnya dimiliki oleh setiap orang yang sudah barang tentu dengan takaran dan kadar
yang berbeda-beda. Ada orang yang sesungguhnya nampak gagah dan juga berani. Ada
orang yang gagah saja dan ada pula yang berani saja. Gagah lebih bersifat jasmaniah yang
lebih ditampakkan pada aspek tubuh fisik. Sedang berani lebih bersifat rohaniah yang
muncul dalam aspek psikhis. Sifat gagah lebih berorientasi pada pesan matrial, sifat
berani lebih pada energial dan berorientasi pada pesan moral. Gagah hadir setiap saat baik
dibutuhkan dan atau tidak dibutuhkan. Sedangkan berani bersifat kondisional dan
14

utamanya muncul apabila orang dihadapkan pada pilihan yang sulit. Pilihan sulit yang
dimaksud adalah ketika orang yang pada saat martabat paling prinsipil dan atau hak yang
paling azasi direndahkan oleh orang dari pihak lain. Upaya untuk merebut,
mempertahankan, dan merehabilitasi, kembali martabat dan atau hak azasi yang telah
direndahkan adalah sifat berani yang nampak dipertunjukkan. Namun demikian sikap
yang nampak dipertunjukkan sebagai sifat berani belum dikatakan sebagai pahlawan
karena pahlawan sebagai istilah substansinya menghendaki pemenuhan sejumlah
persyaratan-persyaratan.

Dalam perspektif berbangsa dan bernegara maka pahlawan adalah 1) seseorang


tokoh legendaris dengan kemampuan atau kekuatan yang sangat besar, 2) seseorang yang
dikagumi karena kualitas atau pencapaiannya 3) seseorang dari suatu partai politik atau
kelompok pembela kemerdekaan nasional atau pemerintah nasional yang kuat.
Pemahaman pahlawan seperti ini dikategorikan sebagai kaum nasionalis (Dictionary Of
Modern Politik Ideology, 1982). Seseorang dengan sifat seperti dipersyaratkan tersebut
yang dapat dikatakan sebagai pahlawan. Dengan kata lain bahwa orang yang memiliki
sifat (gagah dan berani yang lebur dalam tindakan nyata) seperti tersebut di atas saja
dianggap telah mengemban nilai-nilai kepahlawanan.
Dalam dunia pewayangan, teater, drama, nilai-nilai kepahlawanan melekat pada
figur atau tokoh-tokoh yang digolongkan dalam kategori “satria”. Jagad pewayangan
mengasumsikan kesatria lazim diduduki oleh saudara laki-laki raja yang relatif masih
muda dengan gelar raden (rahadian). Sebagai seorang prajurit seorang kesatria wajib
menegakkan watak-watak utama yang layak dijadikan tauladan. Terdapat tokoh Sumantri
di Maespati, Suryaputra di Awangga dan Kumbakarna di Panglebur Gangsa. Kesatria-
kesatria tersebut memiliki watak kesetiaan terhadap raja dan atau pimpinan di atas
segalanya. Watak tersebut dikatakan sebagai watak utama atau luhur karena meliputi
sikap teguh, tulus, berani mati membela negara dan kehormatan raja serta kehormatanya
sendiri, jujur, taat, merendahkan diri dan tidak sombong (watak poromarto) (Setiyono,
2002:12-17).
Watak yang selanjutnya melahirkaan sikap-sikap teguh, jujur, tulus, taat, berani,
adalah sikap subyektif manusia yang dikategorikan sebagai sikap seorang kesatria
senyatanya memang sulit untuk dapat diukur, namun dalam dunia pertunjukan wayang
sikap-sikap tersebut ditampakkan dalam berbagai bahasa. Bahasa tutur (melalui huruf-
15

huruf dalam bahasa sastra), dan bahasa tubuh (sabet) yang ditampakkan lewat tingkah
laku dari elemen-elemen tubuh. Dari penampakan-penampakan tersebut dapat dihayati
ungkapan-ungkapan tentang fikiran, perasaan, dan kesejatian dirinya. Oleh karenanya
perilaku-perilaku seperti bertutur kata yang tegas, penampakan tubuh yang tegap, dada
dibusungkan, tangan berkacak pinggang, dan gerakan-gerakan dengan ruang-ruang
tertentu menghadirkan kesan tegap, mantap, sigap, adalah indikator-indikator orang yang
memiliki sikap berwibawa, gagah dan berani. Sabet dan sastra dalam dunia pewayangan
merupakan acuan dasar bagi dunia tari tradisional (yang memiliki kesejajaran budaya dan
tema-tema pertunjukan) di dalam membangun suasana yang dapat menunjukkan sikap
wibawa dan gagah berani tersebut.

1.3.3 Politik.
Politik dalam bahasa Arab disebut “syiasyah” kemudian diterjemahkan menjadi
siasat, yang dalam bahasa Inggris “politics”. Politik berarti cerdik dan bijaksana yang
selanjutnya diartikan sebagai cara untuk mewujudkan tujuan (Kamus Sosiologi, 1983).
Dalam (Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1982:763) Politik dideskripsikan sebagai 1)
pengetahuan mengenai ketata negaraan atau kenegaraan, 2) segala urusan dan tindakan,
kebijaksanaan, kebijakan, dan siasat. Dengan demikian maka berbicara politik pada
hakekatnya adalah membicarakan negara, karena dalam ilmu politik, (teori politik)
menyelidiki negara sebagai lembaga politik yang mengatur dan mempengaruhi hidup
masyarakat dalam berbangsa dan bernegara.

“Political Science, then, is going to be study of the state, its aims and purposes,
the institutions by which those are going to be realizet, its relation with its
individual members and with other states, and also what men have thought, side
and witten all these questions”. (Soltau, 1950:207).

Terjemahan :

Ilmu politik, untuk selanjutnya akan dianggap pelajaran tentang negara, maksud
dan tujuan negara, lembaga yang melaksanakan tujuan tersebut, hubungan antar
negara dan warga negaranya, serta hubungan antar negara, dan juga apa yang
dipikirkan warganya, ditulis tentang berbagai pertanyaan (artikulasi serta agregasi
kepentingan)
16

Pengertian senada dirumuskan oleh Gettel (1933: 56)

“Political science is the science of the state. It deals with: the relation of
individuals to one another insofar as the state regulates them by law, the relation
of individual or groups of individuals to the state, the relation of state to state”.

Terjemahan :

Ilmu politik adalah ilmu suatu negara, hal tersebut berlaku baik antar seseorang
dengan orang lain yang paling ujung sekalipun disentuh oleh hukum, hubungan
antar perorangan ataupun kelompok dengan negara, serta hubungan negara dengan
negara.
Johan Kaspar Bluntschli, 1933: 95) merumuskan sebagai berikut:

Political Science: “The science which is concerned with the state, which endeavor
to understand and comprehend the state its conditions, in its essentials nature, in
various forms or manifestations its development”.
Terjemahan :
Ilmu Politik adalah ilmu yang memperhatikan masalah kenegaraan, yaitu berusaha
keras untuk mengerti dan paham kondisi situasi negara, yang bersifat penting,
dalam berbagai bentuk manifestasi pembangunan.

Berbagai batasan tersebut membawa pemahaman bahwa obyek forma politik


adalah negara, kekuasaan pemerintah, kebijakan, kewenangan, kelompok orang (yang
terwadai dalam institusi militer, partai-partai politik, dan atau organisasi-organisasi politik
serta organisasi masa lainnya), individu --perilaku pejabat--, pengaturan konflik, hukum
dan atau peraturan perundangan yang mengatur hubungan negara dengan warga
rakyatnya, serta subyek dan obyek pembangunan.
Obyek forma politik tersebut dijalankan dan sekaligus menjalankan tujuan-tujuan
negara yang dikomando oleh kekuasaan pemerintah. Entitas negara yang didiami oleh
sekelompok orang sebagai komando menjalankan mekanisme pencapaian tujuan negara.
Entitas negara berhadapan dengan entitas rakyat yang mayoritas adalah warga negara.
Warga negara atau rakyat merupakan subyek dan obyek pencapaian tujuan negara yang
diformulasikan dengan kata pembangunan.
Dalam Konteks Indonesia maka pembangunan adalah jargon politik pemerintah
dalam mencapai tujuan-tujuan negara. Dari jargon pembangunan ini kemudian berbagai
17

aturan diciptakan dan diimplementasikan dari tingkat pusat sampai ke tingkat lokal di
daerah-daerah. Pembangunan yang merupakan tujuan-tujuan peningkatan kualitas hidup
lebih dari sebelumnya dipahami oleh negara sebagai proses perbaikan dari sub-ordinat
menuju titik ordinat (yang kurang baik menjadi lebih baik, lemah menjadi kuat, yang
gelap menjadi terang, yang macet menjadi lancar, yang punah dihidupkan kembali dan
seterusnya-dan seterusnya). Konsep ini sebagai indikator dijadikan landasan perumusan
peraturan-peraturan untuk dasar dilaksanakannya pembangunan. Indonesia yang
multikultural dengan kesenian daerah sebagai kekayaan budaya lokal tidak luput dari
sasaran pembangunan. Munculnya doktrin-doktrin, peraturan perundangan yang
berkenaan dengan penanganan kesenian membawa implikasi praktis pada kehidupan
selanjutnya.
18

BAB II
SURABAYA
GAMBARAN UMUM DAN PENDUDUKNYA

2.1 Sejarah Lisan dan Kepahlawanan Kota Surabaya

Seperti laporan para peneliti sejarah bangsa-bangsa bahwa perkembangan


peradaban masyarakat banyak diketahui bermula dari lembah-lembah, sehingga dikenal
peradaban sungai Nil, sungai Indus, sungai Tigris, Euprhrat, sungai Mekong, kemudian
sungai Musi dan sebagainya. Maka dengan nilai kesejarahan ini nama Surabaya dikenal
sebagai peradaban yang perkembangan awal masyarakatnya hidup bersemayam di sekitar
sungai Brantas.
Ujunggaluh sebagai ujung muara sungai brantas --atau kalimas yang pusatnya
berada di kotamadya Surabaya sekarang-- secara historis adalah pusat lalu lintas perairan
dan dermaga bagi berlabuhnya kapal-kapal perdagangan (Soekadri K, 1975: 99) dan
militer. Nama Ujunggaluh begitu penting untuk disebutkan karena dari tempat itu dapat
ditelusur perkembangan peradaban masyarakat dan sejarah Surabaya sebagai kota
pahlawan berawal.
Nama Surabaya pada tahun 1358 adalah saat pertama kali disebut dalam penulisan
resmi atau prasasti. Pada Prasasti Trowulan I seperti dikutip Wiwiek Hidayat dalam kertas
kerjanya disebutkan Surabaya sebagai tempat penambangan atau penyeberangan.
Disebutkan juga dalam surat Negara Kertagama bahwa bilamana Raja (Majapahit) berada
di Jenggala, Raja mengunjungi laut di Surabaya terus menuju ke Buwun (Bawean). (Yen
ring Jenggala lot sabha nerpati ring Surabhaya menulus mere Buwun). Ini terjadi pada
tahun 1365 (Hidayat, 1975: 89).
Namun dari manakah nama Surabaya berasal, pertanyaan itu yang sampai sekarang
belum secara pasti mendapat jawaban yang jelas. Para sejarawan telah berupaya keras
menggali untuk menemukan asal-muasal istilah Surabaya. Dari hasil penelitian para
sejarahwan itu terdapat banyak variasi yang kemudian dapat dikemukakan. Sebagaimana
kebiasaan masyarakat bahwa mitos selalu mewarnai kehidupan membudayanya. Cerita
sekitar istilah Surabaya selain penafsiran dari simbol-simbol budaya melalui kebahasaan
terdapat pula cerita rakyat yang turut memberikan penguatan.
19

Seperti yang ditulis oleh Wiwiek Hidayat yang juga mensarikan dari pendapat para
pakar sejarah mengenai istilah Surabaya. Beberapa penafsiran itu misalnya; bahwa
Surabaya adalah lambang kejayaan masa lampau. Berasal dari kata Sura dan Baya yang
diartikan selalu unggul dalam menghadapi setiap bahaya. Penafsiran istilah seperti ini
diinspirasikan oleh kenyataan sejarah di sekitar delta Brantas sabagai pusat peradaban.
Gerak ekonomi, kebudayaan, kepercayaan dan kekuasaan politik sebagai sumber aktivitas
masyarakat terus menerus mengalami gejolak akibat dari persaingan dan kepentingan-
kepentingan. Bersaing merebutkan kepentingan-kepentingan itulah yang seringkali
menimbulkan konflik. Para pendatang yang mencoba untuk menguasai daerah baru secara
paksa selalu mendapat perlawanan dari masyarakat setempat dengan cara gagah perkasa.
Perlawanan dari setiap invasi dengan cara peperangan seringkali dilakukan oleh
masyarakat. Dan dalam catatan sejarah masyarakat Surabaya selalu dapat unggul
menghadapi musuh-musuhnya, maka istilah Sura-ing-Baya dikaitkan dengan berani dalam
setiap menghadapi bahaya (Timoer, 1975: 134).
Surabaya juga ditafsirkan dengan peristiwa penting yang terjadi pada tahun 1293,
yaitu Sura yang ada hubungannya dengan Sora panglima dari Madura dalam bala tentara
Wijaya yang berhasil mengusir tentara Tar-Tar ekspedisi Ku Bilai Khan. Bayan berarti
desa, kampung atau kutha (benteng). Keberhasilan Sora dalam pertempuran di Ujunggaluh
ini yang kemudian mendapat penghargaan berupa kekuasan di desa-desa sekitar
Ujunggaluh. Maka Surabaya berarti desa atau tanah yang menjadi kekuasaan panglima
Sora (Hidayat, 1975: 88).
Dalam mitologi masyarakat setempat terdapat cerita menarik yang secara
psikologis memberikan penguatan cukup kokoh dan simbolisasinya dipakai sebagai
lambang dan identitas kotamadya Surabaya. Seperti diceritakan oleh Soenarto Timoer
bahwa nama Surabaya diambil dari cerita tentang pertarungan ikan sura dan buaya. Secara
ringkas Timoer menuturkan demikian:
Pada zaman dahulu pernah terjadi perkelahian antara ikan laut sebangsa hiu
yang disebut ikan sura dan seekor buaya untuk berebut mangsa. Keduanya
sama kuat, tangkas, berani, cerdik dan rakus, sehingga dalam perkelahian
itu tidak ada yang menang atau kalah. Akhirnya karena jemu berkelahi
terus tiada berkesudahan, buaya mengusulkan, agar masing-masing
mencari mangsanya di daerahnya sendiri.

Ikan sura berkuasa sepenuhnya di dalam air mencari mangsa di air, sedang
buaya yang berkuasa sepenuhnya di daratan mencari mangsanya di daratan,
masing-masing termasuk segala-galanya yang terdapat di air dan di
20

daratan. Sebagai batas daerah kekuasaan ikan sura ditentukan tempat yang
dicapai air pada waktu surut. Ikan sura menerima usul tersebut dan
merekapun bersepakat. Pada suatu hari ikan sura berpikir dan teringat
bahwa dalam perjanjian mereka hanya menyinggung tentang air, sama
sekali tidak menyinggung tentang laut. Sungai-sungaipun, demikian
pikirnya, berisi air pula, dan pada waktu air laut surut, sungai-sungain
itupun tidak menjadi kering, dengan demikian tidak ada alasan bagian
mengapa ia tidak mencari mangsanya di sungai-sungai itu pula. Dan
pikiran itu dilaksanakan, tetapi perbuatanya itu akhirnya diketahui oleh
buaya.

Setelah terjadi konflik, masing-masing mengemukakan alasan-alasanya,


tetapi keduanya menolak dan saling mempertahankan argumentasinya
sendiri-sendiri, maka merekapun berkelahi lagi. Pertarungan berlangsung
seru dan dahsyat, saling terjang dan saling terkam, saling gigit, pukul
sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama air di sekitar menjadi merah
oleh darah yang keluar dari luka kedua binatang raksasa itu. Dalam
pertarungan sengit itu buaya mendapat gigitan di pangkal ekor sebelah
kanan sehingga sampai sekarang ekor itu selalu bengkok ke kiri. Namun
demikian buaya berhasil mempertahankan daerahnya, dan hiu terhalau
kembali ke laut (Timoer, 1975: 135).

Dari beberapa tutur terdapat beragam variasi. Sebagian dongeng tanpa arti apa-apa
dan sebagian dongeng lainnya mengandung kiasan, sesuatu yang dikaitkan dengan
peristiwa sejarah atau legenda. Sebagai bagian dari tafsiran legenda yang menyejarah,
Surabaya merupakan makna dari pertempuran prajurit Kretanegara melawan pemberontak.
legenda Surabaya yang dalam latar belakang sejarah Kretanegara secara ringkas dituturkan
oleh Soenarto Timoer:
Pada abad XIII terjadi drama percintaan antara seorang putri raja Prabu
Kretanegara. Sang putri jatuh cinta kepada seorang pemuda tampan dan perkasa
bernama Wirabaya. Percintaan terlarang itu tidak direstui oleh permaisuri karena
tidak dalam derajat keturunan yang sama-sama bangsawan kerajaan. Setelah
sidang pengadilan, menghasilkan vonis hukuman penggal kepala bagi keduanya.

Karena rasa cintanya Wirabaya membebaskan diri dari hukuman dengan


membawa lari sang putri ke arah selatan menuju wilayah kerajaan Jenggala
(mungkin daerah sekitar Wanakrama sekarang). Sebelum sampai di Jenggala, di
persimpangan (sekarang disebut simpang) Margayasa, Wirabaya dan sang putri
berpapasan dengan perdana mentri kerajaan Kretanegara bernama Wirasura yang
telah mendapat tugas dari ratu untuk mencari dan mengembalikan sang puteri ke
istana (diperkirakan di sekitar kramat gantung).

Tekad sang putri untuk sehidup-semati dengan Wirabaya mendapat penentangan


dari Wirasura dan terjadilah pertarungan untuk memperebutkan sang putri.
Tempat itu sekarang ini dinamakan kampung Surabayan. Perebutan itu terjadi
antara Margayasa sampai Bubutan sekarang (berasal dari kata rebut-rebutan).
Kemudian Sang putri terpegang oleh Wirasura terjadilah kejar-mengejar hingga
21

jauh sampai di daerah tanaman genjer-genjer (termpat itu sekarang menjadi


kenjeran). Di daerah ini Wirabaya berhasil merebut Sang Putri dari tangan
Wirasura dan disembunyikan di semak-semak tanaman genjer-genjer tersebut.
Perlu diketahui bahwa Wirabaya dan Wirasura adalah orang-orang keluaran
perguruan ilmu sejati dan masing-masing memiliki kesaktian sendiri-sendiri.
Wirabaya dapat menyelam lama di dalam sungai, sedangkan Wirasura dapat
sembunyi di dalam laut.

Karena lelah bertarung, maka Wirasura mulai menggunakan ilmunya dengan


menyelam menjadi ikan hiu (Sura), sedangkan Wirabaya menjelma menjadi
seekor Buaya. Menurut dongeng itu, jasad Wirasura ketinggalan di pantai laut
dan hanyut dalam air, sedangkan jasad Wirabaya selalu dibawa oleh Sang Putri
kemana-mana, mengikuti jalannya pertempuran sepanjang sungai sampai ke laut
dekat pantai (muara sungai). Karena Wirabaya tidak dapat bertahan lama
bertempur dalam air laut, ia lalu mengadakan taktik perang undur-undur (defensif
aktif) hingga pertempuran kembali berlangsung sampai di daerah delta selatan
masuk melalui sungai-sungai kecil yaitu kali anyar, kali sari, laki ondo, berputar
lagi ke sungai plampitan sampai sekitar semut sekarang ini, kembali lagi sampai
di bawah jembatan merah sekarang ini. Konon perkelahian itu demikian
sengitnya yang ditonton oleh beribu-ribu orang sepanjang tepian sungai sambil
bersorak-sorak kegirangan. Air sungai menjadi merah oleh darah kedua
makhluk itu yang menempias mengenai orang menonton di sekitarnya. Jembatan
menjadi merah karena darahnya, sehingga disebut Jembatan Merah.

Karena tenaga sudah habis, fisik Wirabaya menjadi lemah sekali, lalu menyerah
kalah (mati). Tetapi tenaga Wirasurapun demikian payahnya hingga akhirnya
tewas juga dan terkapar di atas bangkai Wirabaya. Bangkai-bangkai tersebut
dikerubuti semut dan dimakan oleh semut yang banyak sekali, sehingga tempat
itu disebut semut (Timoer, 1975:136).

Dalam variasi cerita mengenai asal usul nama Surabaya itu belum diketahui secara
pasti cerita mana yang paling dekat mencapai kebenarannya. Namun yang pasti bahwa dari
semua cerita yang diajukan menggambarkan nilai-nilai perjuangan. Baik perjuangan
bersifat personal sampai pada perjuangan untuk menuju kemerdekaan kolektif. Gambaran
tentang kegagah-beranian setiap tokoh yang digambarkan menceritakan bagaimana
karakter, sikap, dan tindakan masyarakat yang hidup di wilayah Surabaya. Dapat
dipastikan bahwa lambang Kotamadya Surabaya yang diambil dari legenda pertempuran
ikan Sura dan Buaya (kurang jelas dari variasi mana cerita diambil) merupakan cerminan
sikap kegagahan dan keberanian masyarakat Surabaya dalam menghadapi setiap intervensi
dan invasi asing.
Dalam satu peristiwa penting yang lain yaitu ketika Raden Wijaya bertempur
melawan tentara Tartar ekspedisi Kaisar Ku Bilai Khan pada tahun 1293 (Sugiyarto, 1975:
183). Ujunggaluh sebagai pusat berlabuhnya kapal-kapal militer dan markas besar tentara
Tar-Tar yang dipimpin oleh panglima Kau Hsing merupakan daerah penting sebagai
22

peringatan kebesaran Wijaya menghalau kembali tentara Tar-Tar. Ujunggaluh dan daerah
di sekitarnya seperti tegal sari dan pacekan (Sukadri K, 1975: 98) adalah daerah yang di
situ sejarah kepahlawanan masyarakat Surabaya mulai ditampakkan.
Tepatnya pada tanggal 26 Mei 1293 Ketika pasukan Tar-Tar yang dipimpin Kau
Hsing dan pasukan Shihpi sedang dalam perjalanan dari kediri menuju Ujunggaluh,
pasukan Wijaya datang dari kanan dan kiri jalan untuk melakukan penyerangan. Pasukan
Shihpi terputus dari induknya. Untuk mencapai markas besar ia harus berjuang menangkis
serangan-serangan Raden Wijaya sepanjang lebih kurang 157 kilo meter. Pasukan Wijaya
yang terdiri dari pasukan desa Majapahit, pasukan Sumenep dan pasukan rakyat desa di
sepanjang lembah kali Brantas telah menguasai jalan masuk ke markas besar tentara Tar-
Tar di Ujunggaluh. Di Ujunggaluh yang rakyatnya telah dikuasai Tar-Tar selama lebih dari
dua bulan, membantu Raden Wijaya --yang masih keturunan Singasari-- yang dipandang
lebih berhak menguasai tanah Jawa.
Di sinilah dapat dilihat adanya kesatu-paduan dari unsur-unsur pemerintah militer
dan rakyat Ujunggaluh menentang Tar-Tar yang akan merampas kemerdekaan rakyat
Jawa atau Indonesia dan rakyat Ujunggaluh (Surabaya) khususnya. Berkat kesatu-paduan
antara militer pemerintah dengan rakyat Ujunggaluh peristiwa penyerangan menghasilkan
kemenangan. Peristiwa ini menjadi penting karena Ujunggaluh atau Surabaya telah
dibebaskan oleh Wijaya dari cengkraman Tar-Tar. Selanjutnya Raden Wijaya oleh rakyat
Ujunggaluh dianggap sebagai ‘pahlawan Utama di antara para Pahlawan’
(sanggramacura) atau sebagai ‘pahlawan yang menakutkan karena keberaniannya dalam
menghadapi bahaya’ (curabhaya) (Sukadri K, 1975: 103).
Enam setengah abad kemudian setelah Indonesia menyatakan kemerdekaan pada
tanggal 17 Agustus 1945 sampai bulan Nopember 1945 telah jatuh korban puluhan ribu
rakyat yang dikenal dengan arek-arek Surabaya. Kembali kepada keberanian yang luar
biasa, untuk mempertahankan harga diri dari kemerdekaan yang telah dicapai. Dengan
semangat yang berkobar-kobar arek-arek Surabaya melawan tentara sekutu yang
diboncengi oleh tentara NICA di seluruh pelosok kota Surabaya. Dengan menggunakan
senjata ringan hasil rampasan dari Jepang berupa senapan Jepang dan karaben Belanda,
senjata-senjata tajam baik yang kuno maupun yang baru seperti keris, tombak, celurit,
golok dan yang terbanyak adalah bambu runcing. Dalam puncak peristiwa yang terjadi
adalah pada tanggal 10 Nopember 1945 yang kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan
23

Nasional, Arek-arek Surabaya berguguran sebagai bunga bangsa mempertahankan


kemerdekaan.
Untuk mengenang dan menghargai jasa para pahlawan yang patriotik-heroik arek-
arek Surabaya itu, selain diabadikan sebagai Hari Pahlawanan Nasional, Surabaya juga
dikenal sebagai Kota Pahlawan. Untuk menunjang Surabaya sebagai kota Pahlawan, maka
Pemerintah Daerah bersama-sama pimpinan ABRI setempat dengan partisipasi masyarakat
dari berbagai golongan telah memasukkan program pembangunan daerahnya baik yang
berjangka pendek maupun jangka panjang untuk :
1. Membangun tugu, monumen-monumen, patung-patung pahlawan di tempat
tempat terjadinya peristiwa yang sangat mengenaskan, seperti tugu pahlawan
raksasa di muka kantor Gubernur, patung rakyat berjuang di muka hotel
Oranye (sekarang LMS), Jembatan Merah, di alun-alun Contong, Muka Toko
Siola, Muka bioskup Ria dll.
2. Membangun dan memelihara makam pahlawan.
3. Terus-menerus mengadakan survey pada musium-musium perjuangan.
4. Mendirikan musium perjuangan di Dukuh Kupang.
5. Peningkatan pemeliharaan tempat-tempat bersejarah, antara lain Balai
Pemuda, GNI dan lain-lain.
6. Mendirikan dan memelihara Panti-panti Asuhan Anak Yatim Piatu korban
Revolusi.
7. Membuat relief-relief, lukisan-lukisan pertempuran Surabaya pada tempat
tertentu, antara lain, kisah-kisah pertempuran Surabaya, baik jaman Raden
Wijaya, maupun Revolusi Indonesia 1945.
8. Membangun kota Surabaya sedemikian Rupa sehingga setiap pengunjung
yang datang di Surabaya melihat dan merasakan suasana bahwa Kota
Surabaya sungguh-sungguh sebagai Kota Pahlawan (Pakiding, 1975: 125).

2.2 Wilayah dan pemerintahan Kota Surabaya

Bermula dari Ujunggaluh, Surabaya merupakan kampung kecil yang terletak di


muara sungai Brantas tempat pertemuan para pedagang. Lama kelamaan berkembang
menjadi kota sederhana, suatu tempat konsentrasi penduduk dengan segala aktivitas sosial-
24

ekonomi. Dari sederhana itu berkembang sehingga makin ramai dan kompleks. Dari
tempat pemukiman penduduk berkembang menjadi pusat kegiatan ekonomi, politik,
kebudayaan, industri, perniagaan, modal dan sebagainya. Sebagai pewaris Ujunggaluh
tidak mengherankan kalau di Kotamadya Surabaya sekarang ini masih banyak kampung-
kampung yang memakai nama kali. Misalnya Kalisari, Kaliwaron, Kalikepiting,
Darmokali, Ketabangkali, Kalidami dan lain-lain.
Karena sudah memenuhi syarat sebagai kota dan bertepatan diundangkan keputusan
disentralisasi dari pemerintah Hindia Belanda tahun 1904 sebagai dasar hukumnya. Maka
pada tanggal 1 April 1906 kota Surabaya diresmikan menjadi ‘Kotapraja Otonom’
(Stansgemeente) (Pakiding, 1975: 114). Sejak saat itu Kota Surabaya sebagai badan hukum
publik mempunyai hak bergerak mengatur dan mengurus rumah-tangga daerahnya sendiri,
walaupun masih ditekankan kepada kepentingan kesejahteraan dan keamanan masyarakat
penjajah (Belanda).
Pada masa berkobarnya Perang Dunia II dan pada saat revolusi fisik Indonesia, kota
Surabaya hancur oleh peperangan dan barulah mendapat rehabilitasi menurut kemampuan
keuangan dan fasilitas yang ada baik yang berasal dari Daerah sendiri maupun berupa
subsidi dari pemerintah pusat setelah kemerdekaan.
Pada masa Orde Baru barulah titik berat pembangunan secara menyeluruh
dicanangkan. Melalui tahapan lima tahun (PELITA) kesempatan digunakan sebaik-
baiknya oleh pimpinan Kotamadya Surabaya untuk meletakkan dasar Pemerintahan dan
pembangunan materiel spirituil, dengan mengajak berbagai lembaga intelektual dan
membentuk Master Plan serta Badan Perencana Pembangunan Daerah Kota Surabaya.
Kota Surabaya adalah juga Ibu Kota Provinsi Jawa Timur. Berstatus Daerah Tingkat
II dengan nomenclatur ‘Kotamadya Daerah Tingkat II’ berdasarkan Undang Undang No. 5
tahun 1974 tentang pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Daerah Tingkat II adalah daerah
yang setingkat lebih rendah dari Daerah Tingkat I yang dalam Undang-Undang Dasar 1945
pasal 18 disebut ‘Provinsi’.
Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya yang selanjutnya disebut Pemerintah Kota
Surabaya, dikepalai oleh seorang Kepala Daerah yang bergelar Walikotamadya, Kepala
Daerah Tingkat II. Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan
Daerah Tingkat II (Tingkat II Surabaya). Dalam mengemban pemerintahan Kota
Surabaya, Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Surabaya tidaklah berdiri sendiri
melainkan didukung oleh segenap pucuk pimpinan instansi-instansi Tingkat II Kotamadya
25

Surabaya terutama yang tergabung dalam lembaga MUSPIDA, yakni Dan Rem
084/Baskara Jaya, Dan Tabes Kepolisian Surabaya, Dan Lantamal Surabaya, Dan Lanud
Perak, Ketua Pengadilan Negeri Surabaya, Kepala Kejaksaan Negeri Surabaya. Disamping
itu terdapat pula instansi-instansi dan Dinas-Dinas vertikal lainnya, termasuk pula
pimpinan perusahaan-perusahaan Daerah.
Secara administarasi Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya dibagai
dalam lima wilayah kerja pembantu Walikotamadya. Dasar pertimbangan pembagian kota
Surabaya menjadi tiga wilayah administrasi ialah bahwa berhubung luasnya daerah kerja
akibat penambahan lima kecamatan baru yang diambil dari kabupaten Surabaya (sekarang
Gresik), ditambah dengan adanya perkembangan-perkembangan baru dalam masyarakat
maka diwujudkan bentangan pengawasan untuk memperlancar roda pemerintahan dan
pemberian pelayanan yang sebaik-baiknya kepada warga kota.
Sampai dengan saat ini Surabaya memiliki 31 kecamatan dan 163 desa/kelurahan.
Jumlah kecamatan dan desa/kelurahan yang cukup banyak itu dikelola dalam lima wilayah
Surabaya. Tiap wilayah membawahi/mengkoordinir beberapa kecamatan. kelima Wilayah
Pembantu Walikotamadya tersebut ialah: Surabaya pusat, Surabaya Utara, Surabaya
Timur, Surabaya Selatan, dan Surabaya Barat.
Untuk menyelenggarakan pemerintahan Daerah dibentuk Sekretariat Daerah dan
Dinas-dinas Daerah (pasal 13 Undang-undang No. 5 tahun 1974). Di samping itu
Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Surabaya dalam fungsinya sebagai administrator
pemerintahan, administrator pembangunan, dan administrator sosial yang sekaligus
berfungsi sebagai ‘Penguasa Tunggal’ di daerahnya, Walikotamadya Kepala Daerah
Tingkat II Surabaya mengkoordinir pula instansi-instansi vertikal yang ada di kota
Surabaya.
Secara geografis Kota Surabaya adalah terletak di pantai utara Jawa (selat Madura)
pada garis bujur Timur: 112 derajat. 30’ - 113 derajat. 0’. Garis Lintang Selatan: 7 derajat.
0’ - 7 derajat. 30’. Batas daerah administratif meliputi: sebelah Utara: Selat Madura,
Sebelah Selatan: Kabupaten Sidoarjo, Sebelah Timur: Selat Madura, dan Sebelah Barat:
Kabupaten Gresik. Luas keseluruhan mencapai 291,78 kilometer persegi atau 29178
hektar, dengan suhu udara maksimum 33 derajat selsius dan suhu udara minimal 18.7
derajat selsius. Lembab nisbi maksimum 100 %, lembab minimum 44 % dengan arah
angin musim kemarau jurusan tenggara dengan kekuatan rata-rata 10 knot. Musim hujan
jurusan angin Barat Daya kekuatan rata-rata 12 knot.
26

Pengaruh alam yang berupa hujan, angin besar dan letusan gunung kelut sering
terjadi yang menyebabkan suhu udara terasa panas -seperti disebutkan dalam Pararaton- (
Sugiyarto, 1975: 51) sampai abad 19 mencapai lebih dari 17 kali. Muntahan pasir dan
tanah yang dibawa ke hilir mengakibatkan erosi dan pendangkalan anak sungai yang
banyak di sekitar muara kali Brantas menjadi tertutup dan menjadi tempat hunian manusia.
Peristiwa alam yang sering terjadi tersebut seringkali memberikan tantangan-
tantangan kepada penghuni sepanjang kali Brantas yang kemudian dijawab dengan
tindakan-tindakan yang sepadan dengan pemikiran-pemikiran yang mendalam guna
mengatasi kesulitan tersebut. Gemblengan mental fisik oleh tempaan alam itu menjiwai
tata kehidupan masyarakat sehingga mendasari kehidupannya sebagai bangsa yang militan.
Keadaan alam yang demikian besar dan sulit memberikan pengaruh besar kepada penghuni
sepanjang sungai Brantas; Ujunggaluh menjadi tempat penting yang kemudian
meyebabkan lahirnya Surabaya sebagai tempat yang ditakdirkan selalu harus ‘Wani ing
Pekewuh’ berani menghadapi kesukaran.
Surabaya sebagai Ibu Kota Provinsi sudah barang tentu menjadi pusat pemerintahan
Propinsi Jawa Timur. Oleh karenanya Surabaya sebagai pangkalan untuk melaksanakan
dan mengendalikan segenap kegiatan IPOLEKSOSBUD HANKAM (Ideologi, Politik,
Ekonomi, Sosial Budaya dan Pertahanan Keamanan), dengan demikian Surabaya dijadikan
konsentrasi urusan pemerintahan Tingkat Provinsi Jawa Timur. Urusan pemerintahan
bertambah kompleks sifatnya bukan hanya pada tingkat propinsi tetapi juga pada tingkat
Kotamadya Surabaya sendiri. Dengan pola pembangunan Jawa Timur yang dituangkan
dalam konsep; GERBANG KERTOSUSILA (Gersik, Bangkalan, Mojokerto, Sidoarjo dan
Lamongan) dan Surabaya sebagai pusat kawasan ekonomi untuk melayani kelima daerah
tersebut. Dengan pola GERBANG KERTOSUSILA tersebut Surabaya di kemudian hari
diharapkan menjadi kota ideal dan representatif sebagai pusat Pemerintahan Propinsi Jawa
Timur, pusat pembangunan GERBANG KERTOSUSILA dan pusat pemerintahan
Kotamadya Surabaya sendiri.
Selain sebagai pusat pembangunan Pemerintaha Provinsi Jawa Timur, Surabaya
sendiri mencanamgkan pola pembangunan yang dikenal dengan kota WANTAH
INDAMARDI yakni; Pahlawan Pemerintahan, tempat pengembangan Industri, per-
Dagangan, Maritim, dan pendidikan dengan menyertakan lembaga ilmiah perguruan-
perguruan Tinggi, kekuatan-kekuatan sosial untuk merencanakan pembangunan dan
pengembangan kota Surabaya.
27

Sebagai Kota Pahlawan dan Kota Pemerintahan telah disinggung lebih awal dalam
tulisan ini. Sedangkan sebagai Kota Industri Surabaya, melalui PT. Surabaya Industri
Estate Rungkut (PT. SIER) dan didukung oleh Bapenas dan Pemerintah Daerah Provinsi
Jawa Timur, Surabaya memjadi kota industri yang megah. Tujuan utama PT. SIER lebih
diutamakan untuk menggalakkan pembangunan industri di Surabaya dan sekitarnya
dengan mengarahkan lokasi induatri pada tata ruang yang serasi dan berencana.
Salah satu industri yang menjadi prioritasnya adalah industri perumahan.
Pembangunan perumahan di jadikan landasan untuk mengantisipasi percepatan
pertumbuhan penduduk kota Surabaya yang cenderung semakin meningkat yang setiap
taun diperkirakan kenaikannya mencapai 4 ½ persen.
Sebagai Kota Dagang Surabaya sangat strategis. Surabaya terletak di kawasan bagian
utara Propinsi Jawa Timur yang merupakan pintu gerbang bagi keluar dan masuknya
pedagang-pedagang asal Kalimantan, Maluku, Sulawesi, Madura, Bali, Lombok,
Sumbawa, Flores dan Irian Jaya. Selain itu juga merupakan tempat letak pusat pelabuhan
dagang yang dapat menghubungkan dan mengangkut hasil-hasil bumi Indonesia ke luar
negeri dan memasukkan barang-barang import luar negeri ke Indonesia.
Tanjung Perak yang cukup besar dan dapat menampung berpuluh-puluh kapal,
membuka kesempatan yang luas bagi usaha perdagangan baik interinsulir maupun
internasional. Sekitar kompleks Kembang Jepun (letaknya di utara kota) merupakan pusat
perdagangan. Dibagian selatan sekitar Tunjungan, Embong Malang, Blauran, Praban dan
beberapa tempat lain merupakan tempat-tempat pusat perbelanjaan dan pertokoan.
Sementara itu joint venture antara pemerintah dan swasta maupun yang pure swasta telah
menghasilkan puluhan super-market. Dapat disebutkan di sini seperti pusat perbelanjaan
Pasar Turi Baru, Pasar Tambak Rejo, Pasar Blauran, Pasar Genteng dan masih banyak lagi
bertebaran di pusat dan di pinggiran kota Surabaya seperti Wijaya, Apollo, Toko Nam,
Aurora, Siola Tanjung Anom dan lain-lain yang saat ini bertebaran gedung-gedung pusat
perbelanjaan. Untuk menunjang lalu lintas perdagangan tersebut telah dibangun terminal-
terminal angkutan antar lain; Joyoboyo Wonokromo, Oso Wilangun Jembatan Merah,
Purabaya Bungurasih, Cargo Terminal dan sebagainya.
Ramainya Surabaya sebagai pusat perdagangan dari berbagai daerah dan kota-kota di
Indonesia, Surabaya menjadi sangat dikenal. Melihat keadaan demikian Pemerintah
Kotamadya Surabaya memanfaatkan sebaik-baiknya kondisi dan situasi ini untuk
mendorong dan mengarahkan para pedagang untuk meluaskan usahanya. Dengan demikian
28

Surabaya sebagai pusat pergadangan dari berbagai jenis barang dan jasa-jasa yang besar
dan luas.
Terkait dengan perdangangan, Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya sebagai pelabuhan
yang terkenal sejak dahulu yang terletak di sebelah timur, Ujung, merupakan Pangkalan
Armada Angkatan Laut yang terbesar di Indonesia. Sebagai badan authority yang mandiri,
Tanjung Perang mempunyai master Plan sendiri yang menyesuaikan dengan perencanaan
kota Surabaya secara keseluruhan. Memiliki fasilitas pemeliharaan dan perbaikan kapal,
bahkan sampai pada industri perkapalan umum rakyat.
Makna strategis pelabuhan Tanjung Perak Surabaya adalah karena negara Indonesia
merupakan negara kepulauan yang sudah tentu banyak menggunakan sarana angkutan
melalui laut untuk menghubungkan keperluan-keperluannya. Jasa angkutan laut yang
dimiliki dan pelabuhan sebagai tempat persinggahan setiap kapal yang datang dapat
menambah pemasukan dana bagi Surabaya. Dengan demikian Surabaya sebagai Kota
Maritim dapat diandalkan sebagai penunjang pembangunan Surabaya untuk meningkatkan
kesejahteraan warganya. Dan yang penting pada tahun 2008 ini sedang dilaksanakan
pembangunan infastruktur jembatan Suramadu yang direncanakan tahun 2009 sudah dapat
dioperasionalkan.
Usaha sadar dari para leluhur untuk memberi bekal kepada generasi yang akan
melanjutkan, mengganti dan menjalankan tongkat estafet keberlangsungan kehidupan
berbangsa dan bernegara, selain berupa harta benda juga berupa ilmu dan pengetahuan
yang memadai. Karena dengan Ilmu dan pengetahuan, generasi berikutnya akan menjadi
sehat jasmani dan rohani, memiliki pengetahuan dan ketrampilan,dapat mengembangkan
kreativitas dan bertanggung jawab,dapat menyuburkan kecerdasan yang tinggi dan disertai
budi pekerti yang luhur mencintai bangsanya dan mencintai sesamanya (GBHN) yang pada
gilirannya akan mampu mewarisi dan melanjutkan apa yang ditinggalkan.
Kesadaran untuk membekali warga masyarakatnya (baik secara umum dan utamanya
masyarakat Surabaya), yang kemudian Kotamadya Surabaya mencanangkan Surabaya
sebagai kota pendidikan. Usaha seperti itu didukung oleh kebijakan-kebijakan yang
menunjang tercapainya program Surabaya sebagai kota pendidikan antara lain:
a. Memperbanyak/membangun gedung sekolah dasar dan yang sederajat yang
memenuhi syarat-syarat pendidikan, higienis dan estetika.
b. Memberikan bantuan dan fasilitas kepada sekolah-sekolah lanjutan dan
perguruan tinggi
29

c. Memberikan bantuan/fasilitas kepada gedung-gedung kesenian, badan-badan


pendidikan, group sekolah tari, menyanyi, melukis dan pentas.
d. Memberikan bantuan/fasilitas kepada group olah raga, pendidikan bela diri dan
lain-lain.
e. Memberikan bantuan/fasilitas kepada badan-badan usaha sosial yang
menyelenggarakan berbagai jenis pendidikan dan usaha-usaha kebudayaan yang
lain.
f. Membina generasi muda dalam berbagai lapangan pendidikan, pengajaran untuk
memberikan arahan tentang kesadaran sebagai warga negara dan calon-calon
yanga akan memimpin bangsa (Pakiding, 1975: 130).
Dalam pada itu sekolah-sekolah utamanya pendidikan di tingkat perguruan tinggi
bertebaran di Surabaya mencapai lebih dari limapuluh sekolah. Pembagiannya meliputi
sekolah tinggi, institut dan universitas yang terdiri dari sekolah berstatus negeri maupun
swasta.

2.3 Kependudukan dan Ekonomi

Penduduk kota Surabaya sangat heterogen yang meliputi; warga pribumi (WNI) dan
beberapa etnis asing (WNA) seperti etnis Cina, arab dan warga asing lainnya yang tercatat
sebagai warga kota Surabaya. Warga asli Indonesia terdiri dari penduduk yang telah lama
tinggal di Surabaya dan atau penduduk orban yang menetap juga warga pendatang
musiman. Jumlah penduduk mencapai 2.885.862 (kompas 22 September 2008) dengan
perbandingan 45,50 % pria dan 54.50 % wanita.
Penduduk kota Surabaya secara ekonomi sangat beragam berdasarkan tingkat
pendapatan atas dasar pekerjaannya. Profesi atau pekerjaan masyarakat Surabaya meliputi
pegawai negeri (sipil/ABRI), petani, pedagang, nelayan, seniman, buruh/pembantu rumah
tangga dan lain-lain. Sebagai pegawai pemerintah baik sipil maupun ABRI sudah tentu
memiliki kemapanan pendapatan meskipun masih dirasakan kurang stabil pada tingkat
kesejahteraannya. Sedangkan untuk petani maupun nelayan di wilayah Surabaya atu di luar
Surabaya yang rata-rata yang lahan pertanian, kondisi cuaca sangat berpengaruh terhadap
lahan pekerjaannya, sehingga sangat menggantungkan kemurahan alam secara alami pula.
30

curah hujan yang hanya memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan penggarapan


lahan yang hanya sekali dalam setahun, atau musim ikan yang tidak selalu tetap
menyebabkan para petani atau nelayan seringkali pergi ke kota untuk mencari pekerjaan
sampingan dan seringkali pula menetap di kota besar. Surabaya sebagai pusat pergerakan
ekonomi menjadi tujuan utama untuk mencari pekerjaan baru. Pekerjaan yang dimasuki
adalah pekerjaan sektor formal maupun sektor nonforlal. Sektor formal misalnya pekerja-
pekerja keahlian, industri yang memerlukan derajat kependidikan tertentu, ketrampilan
maupun pekerjaan sektor non formal seperti pembantu rumah tangga, pekerja bangunan,
penjaja barang-barang untuk kebutuhan rumah tangga, yang kurang memeprhatikan
formalitas pendidikan (Manning, 1985: 379). Penduduk pendatang yang kemudian
memperoleh pekerjaan dan menjadi warga Surabaya inilah yang mempercepat laju
pertumbuhan penduduk Surabaya.
Selain jenis-jenis pekerjaan formal seperti disebutkan di atas, kesenian, baik tari,
musik maupun bentuk-bentuk kesenian lain dewasa ini dipakai sebagai mata pencaharian
tambahan. Maraknya festival-festival, hajatan masyarakat, kegiatan seremonial kenegaraan
yang selalu melibatkan kesenian, merupakan lahan yang baik bagi praktisi-praktisi
kesenian. Pendapatan dari hasil berkesenian ini cukup menjanjikan karena setiap
pertunjukan rata-rata mencapai Rp. 100.000,- bahkan lebih. Volume kesempatan untuk
bisa tampil sangat tergantung dari kualitas personal dan relasinya dengan masyarakat
penanggap.

2.4 Agama, Sosial Politik, dan Budaya

Dawson dalam Zoetmulder mengemukakan pandangannya tentang peranan agama


bagi kehidupan umat manusia:
Agama adalah kunci sejarah, kita tidak dapat memahami hakekat tata masyarakat
tanpa mengerti agama. Kita tidak dapat memahami hasil-hasil budaya mereka tanpa
mengerti kepercayaan keagamaan yang menjadi latar belakangnya. Dalam semua
jaman, hasil utama budaya didasarkan pada gagasan-gagasan keagamaan dan
diabdikan untuk tujuan keagamaan (Zoetmulder, 1965: 327)

Sebelum Islam masuk dan menyebar di Surabaya, agama Hindu dan Budha telah
lebih dahulu berkembang di Surabaya yang pada masa lampau masih bernama Ngampel
Dento. Setelah Majapahit runtuh, agama Islam menguasai, mulai tersebar dan Ngampel
menjadi pusat penyebaran agama Islam di wilayah Surabaya.
31

Hadirnya Islam satu sisi bukan sekedar persoalan kebenaran dalam beragama, lebih
dari itu di belakangnya tersirat pergulatan, pertarungan kepentinga kekuasaan dan politik
yang keras (Karim, 2002 :370). Pada sisi lain agama sebagai ajaran memberikan pengaruh
pada pola tingkah laku kepada manusia untuk memberikan jiwa pengabdianya kepada
kehidupan baik bersifat rohaniah maupun jasmaniah.
Kehidupan jasmaniah yang meliputi pencapaian kesejahteraan melalui material
kebendaan dapat diperoleh melalui perdagangan, jasa, maupun dalan kehidupan politik
kekuasaan negara. Melalui legitimasi keagamaan seringkali kekuasaan menggunakan
kekuatan hukum yuridis maupun moral keagamaan mengajak manusia untuk mengikuti
ideologi negara yang tujuanya agar tercipta kondisi yang diinginkan oleh situasi negara.
Oleh karenanya agama memiliki tempat yang penting dalam sebuah wilayah negara selain
sebagai lembaga kebenaran seringkali juga diposisikan sebagai penguat keadaan tertentu.
Agama Islam, Agama Nasrani, Hindu, Budha dan kepercayaan kepada Tuhan Yang
Maha Esa berkembang bersama-sama di Surabaya. Fasilitas sarana ibadah sangat memadai
dibangun untuk memberikan pelayanan pelaksanna keagamaan. Islam sebagai agama
mayoritas di Surabaya dapat hidup berdampingan dengan toleransi yang cukup tinggi
dalam hidup bermasyarakat. Dalam sejarah, peranan agama-agama cukup penting dalam
membangkitkan semangat perjuangan. Pidato Soetomo pada masa mempertahankan
kemerdekaan memberikan pengaruh yang dalam bagi para pejuang Surabaya sehingga
gelora yang dibangun mengantarkan perjuangan mencapai kemenangan. Nilai-nilai
kepahlawanan dibuktikan dengan peran sertanya agama-agama dalam masa-masa revolusi
fisik. Hingga saat ini pemerintah maupun agama-agama terus menerus menciptakan
kondisi psikologis masyarakat Surabaya untuk selalu menggelorakan semangat
kepahlawanan dalam mengisi pembangunan.
Kehidupan sosial politik di Surabaya sangat dinamis. Sebagai Ibu Kota Propinsi
yang segala kegiatan terpusat di dalamnya, Surabaya tidak pernah sepi dari kegiatan
politik. Semenjak pemilu tahun 1955 yang ditandai dengan ketidak stabilan politik
merupakan hambatan bagi pelaksanaan pembangunan. Beragamnya partai politik yang ada
mencapai 27 macam partai politik. Perjuangan pembangunan tidak menjadi prioritas tetapi
setiap partai berjuang untuk kepentingan partai sendiri-sendiri.
Setelah peristiwa pemberontakan G 30 S/PKI 1965 dan pemerintahan berpindah
dari Orde Lama ke Orde Baru mulailah pembangunan dengan tahapan PELITA-nya, titik
berat pembangunan secara menyeluruh dan terencana. Partai politik tinggal tiga yakni
32

Partai Persatuan Pembangunan, Golkar, dan Partai Demokrasi Indonesia. Pada puncaknya
Golkar sebagai Single Mayority menempatkan seluruh kepentingan atas nama negara.
Kontrol terhadap masyarakat sangat ketat dengan dasar traumatik terhadap bangkitnya
Partai Komunis Indonesia. Seni budaya Ludruk dan seni-seni yang lain sebagai wahana
artikulasi nilai-nilai masyarakat tidak luput dari kontrol politik kekuasaan. Ideologi
kekuasaan kemudian secara pelan mulai memasuki area seni dengan asumsi pesan
pembangunan.
Bergulirnya Orde Reformasi dan berlanjut dengan era keterbukaan yang semakin
transparan ditandai dengan munculnya banyak parta politik mengisi ruang-ruang aspirasi
masyarakat. Dominasi partai politik tidak lagi pada single mayority golkar tetapi aspirasi
secara transparan merata pada partai-partai politik yang ada.

2.5 Stratifikasi dan Pola Interaksi Sosial

Berbagai etnis telah menjadi penduduk/warga Surabaya, kepercayaannya yang


beragam, sistem kekerabatan, tingkat ekonomi, sistem pencaharian, bahasa, tingkat
berbudaya, pola tingkah laku yang berbeda-beda antara etnis yang ada merupakan ciri khas
kota Surabaya. Stratifikai masyarakat lebih nampak ditentukan oleh jenis profesi, ekonomi,
jabatan formal, pendidikan dan layanan jasa yang diberikan kepada masyarakat umum.
Dari Keadaan masyararakat yang heterogen dan kompleks tersebut sangat sulit untuk
menentukan tingkat intraksi diantara setiap warga negaranya.
Penduduk Surabaya yang berasal dari Warga Keturunan Cina, Arab dan warga
keturunan asing lainnya orientasi pola hidupnya ditentukan oleh sistem pencaharian
berdagang dan sebagian kecil biro jasa pada tingkat pelayanan publik. Sedangkan
penduduk pribumi (menetap dan atau musiman) sebagaian besar pola hidup ditentukan
oleh mata pencaharian sebagai pejabat, pegawai pemerintah (ABRI, sipil), swasta,
karyawan perusahaan negara maupun swasta, biro jasa publik maupun buruh rumah
tangga, pertanian, nelayan, dan mata pencaharian nonformal lain seperti pekerja bangunan
dan lain-lain.
Berbagai jenis mata pencaharian yang juga membedakan jenis etnis, secara
langsung menempatkan kelompok-kelompok masyarakat pada tingkat pencapaian status
sosial tertentu. Cina dan Arab yang kehidupan berdagangnya lebih dapat menghasilkan
33

pendapatan yang lebih tinggi dari jenis pencaharian yang lain menempatkan warga
keturunan tersebut pada status sosial yang disebut sebagai (orang gedongan). Sementara
warga pribumi yang pejabat, pegawai pemerintah sipil, ABRI, karyawan, masih dibilang
sangat sedikit yang menikmati kesejahtraan cukup yang bisa juga dikelompokkan sebagai
orang gedongan. Apalagi yang berada pada tingkat buruh suatu perusahaan, buruh rumah
tangga, pertanian, nelayan berada pada tingkat ekonomi menengah ke bawah dikenal
dengan istilah orang kcil (wong cilik).
Dalam sistim sosial budaya yang rumit tersebut, terjadi variasi interaksi yang cukup
beragam. Timbulnya bahasa pergaulan yang didasari oleh bahasa melayu Indonesia turut
menciptakan sitem hubungan antar warga menjadi non hirarkis. Yakni bahasa-bahasa
pergaulan dalam perdagangan, pendidikan, dan sebagian dalam sitem birokrasi.
Sebagai warga pribumi (Jawa) sebenarnya telah tertata secara hirarkhis pola
interaksi. Dalam keluarga misalnya, pola interaksi antara anak dan orang tua, istri dan
suami dan seterusnya ditentukan oleh penggunaan bahasa Jawa yang herarkhis. Anak ada
tuntutan penggunaan bahasa jawa (krama) sebagai bentuk penghormatan kepada orang
tuanya. Demikian pola Istri kepada suami, kepada mertua dan seterusnya pola interaksi
diatur juga dalam sistem penggunaan bahasa. Meluas lagi dalam tataran lingkungan di luar
keluarga. Pola hubungan kemasyarakatan ditentukan juga melalui penggunaan bahasa.
Masyarakat umum dengan pihak yang dianggap penting dalam suatu struktur masyarakat,
orang yang berpendidikan, sesepuh (orang yang dituakan dalam) masyarakat, ada semacam
norma yang mengatur tentang penghormatannya. Sehingga scara bertingkat nampak dalam
tutur bahasa yang digunakan.
Dalam suatu pertemuan seperti rapat di kantor-kantor kota besar, kecamatan, dan
sampai di desa-desa yang pernah penulis ikuti, dapat dilukiskan bahwa pola interaksi yang
hirarkhis tersebut tidak hanya dilaksanakan dalam bahasa lisan saja tetapi juga dalam pola
tingkah laku yang lain. Tempat duduk yang disediakan oleh panitia rapat tidak serta merta
bisa ditmpati oleh sembarang orang. Ada semacam aturan bahwa kursi paling depan
merupakan tempat khusus bagi yang dianggap mempunyai status maupun kepentingan, dan
kursi yang berderet ke belakang sudah menjadi bagian dari anggota yang lain sehingga
seklompok orang tidak atau menempati kursi yang disediakan sudah diatur berdasarkan
derajat (prestise), pangkat (statu sosial) dan semat (tingkat kekayaan).
34

Apabila dalam sebuah pertemuan selain menggunakan bahasa nasional, maka


bahasa Jawa juga digunakan untuk menunjukkan identitas daerah setempat. Bahasa krama
madya dipakai untuk penghormatan kepada yang lebih tua, dihormati sedangkan bahasa
Ngoko dipergunakan untuk sekelompok orang yang sederajat, sebaya dan lebih akrab (lihat
Hutomo, 1996:1).

Pada kegiatan sosial kemasyarakatan, perdagangan, bahasa yang digunakan sangat


bervariasi tergantung pada jenis etnis dan strata mana interaksi berlangsung. Bersilang
etnis maka yang paling aman dan interaktif adalam bahasa melayu nasional yang pasaran
(tidak baku dalam penggunaan istilah dan intonasinya). Pada kegiatan politik birokrasi,
bahasa nasional dipergunakan untuk berinteraksi.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa di dalam masyarakat di Surabaya dikenal 5


pola interaksi sosial, yaitu: 1) pola interaksi yang dilandasi oleh hubungan darah dan
perkawinan, 2) Pola patron-klien yakni hubungan yang didasari oleh sifat kepengayoman,
misalnya antara buruh dan majikan, 3)pola pertetanggaan (aktor geografis yang dianggap
berprestasi dalam kelompok masyarakat), 4) pola pertemanan (yang dilandasi oleh pilihan
–biasanya kesederajadan) dan 5) pola kedinasan (dilandasi oleh birokrasi).

Hubungan berdasarkan pertalian darah dan perkawinan nampak sekali dalam


kehidupan sehari-hari sebagai orang Jawa scara umum yang dilakukan dari yang paling tua
dengan yang lebih muda. Mbah, bapak-ibu, anak, cucu. Menyamping; bude-pakde, bulik-
paklik/paman, dari anak; ego, adik, mas, cak, mbakyu/yuk. Terdapat adik misanan, adik
mindoan, mas/cak dan mbakyu/yuk misanan, mas, mbkyu mindoan, adik, mas dan
mbakyu/yuk keponakan, putu, putu keponakan, buyut.

Hubungan patron-klien terdapat pada intraksi antara pemilik modal usaha seperti
perusahaan dengan karyawan atau buruh perusahaan. Pemilik modal berperan sebagai
pengayom, di pihak lain seperti karyawan atau buruh bertidak sebagai yanag diayomi.
Hubungan patron-klien ini terjai pula pada kehidupan kesenian seperti pada wayang kulit
yakni antara dalang dan penabuh gamelan.

Dalam kehidupan kesenian tari terjadi dalam institusi seni baik pemerintah maupun
sanggar-sanggar tari. Ketika datang penanggap yang membutuhkan paket tarian, maka
pemimpin intelektual bidang kesenian dan pemimpin sanggar bertindak sebagai juragan
35

dan penari sebagai karyawan atau buruh. Dalam hal ini keberadaan pemimpin dalam
kelompok kesenian tersebut sebagai superordinat dan pelaku kesenian sebagai subordinat.
Faktor Produki dalam bidang kesenian menjadi tanggungan seniman dan atau sanggar-
sanggar tari tetapi dalam urusan pemasaran menjadi hak pemimpin intelektual organik.

2.6 Dinamika Sosio-Budaya

Seni budaya di wilayah Surabaya hidup dan berkembang dalam topangan institusi
komersial. Seperti halnya pendidikan seni formal dan sanggar-anggar seni maka kesenian
diluar institusi tersebut bersifat ritual keagamaan seperti hadrah, solawatan dan sejenisnya.
Selebihnya adalah kesenian yang diproduksi oleh industri hiburan. Secara garis besar dapat
dipetakan menjadi tiga (3) kelompok. (1) tradisi rakyat, (2) populer, dan (3) dikategorikan
sebagai budaya kreatif.

Pengelompokan ini didasari oleh pengamatan dan informai dari berbagai sumber.
Tradisi rakyat yang dimaksud di sini adalah kelompok budaya (kesenian) etnik sebagai
produk kelanjutan masa lalu dari suatu kultur yang tumbuh berkembang di wilayah
surabaya dengan segenap para pendukungnya. Budaya populer atau budaya massa adalah
kesenian yang merupakan produk budaya Indonesia kontemporer (sepeti musik dangdut).
Kesenian ini Juga dapat dipandang sebagai kesenian raktyat (Oetomo, 1995:2-3), dan
budaya kratif merupakan pengecualian dari kedua budaya tersebut. Kesenian kategori ini
adalah hasil kreatifitas dari konsp-konsep kesenian yang diproduk oleh lembaga-lembaga
akademis. Kesenian ini meliputi musik, tari, kerupaan, instalasi dan multi media yang lain.

Ketiga kategori seni budaya tersebut tumbuh dan berkembang di Surabaya dan
memiliki pendukungnya masing masing. Kehidupan seni tradisi rakyat seperti Ludruk
tinggal satu kelompok yang masih menunjukkan eksistensinya di Wonokromo, kethoprak
(Siwom Budoyo) di Taman Hiburan Rakyat , hidup di Surabaya meskipun kondisinya
sangat memprihatinkan. Wayang Kulit (gaya Surakarta dan Jawa Timur) sekali waktu
hadir menyemarakkan perhelatan instituional. Kesenian tersebut hanya dapat menunjukkan
eksitensinya manakala diperlukan oleh hajatan institui-institusi tertentu karena masyarakat
pada umumnya tidak mampu mengundang untuk tampil mengingat ongkos biaya yang
tidak mampu dijangkau. Kecuali Ludruk di Wonokromo dan Ketoprak di Taman Hiburan
36

Rakyat (THR) di Surabaya dapat dinikmati karena ongkos yang murah dan bahkan
seringkali gratis.

Tari tradisional dan karya karya pengembangannya hidup subur terwadai dalam
intitusi kesenian seperti sekolah-sekolah kesenian dan sanggar-anggar tari. Aktifitas
lembaga kesenian ini sangat dinamis dalam upaya meningkatkan eksistensi kesenian
tradisional. Sebagai muatan materi pendidikan yang selalu tumbuh materi-materi baru
untuk menandai keberadaan dan eksistensi sebuah lembaga kesenian merupakan bentuk
kompetisi antar intitusi tersebut menjadikan gerak kehidupan seni di surabaya sangat
dinamis. Apalagi ditunjang oleh keperluan pembinaan seni tradisi yang seringkali
diselenggarakan oleh pemerintah kota melalui lomba-lomba tari di tingkat sekolah dasar,
menengah sanpai dengan tingkat festival.

Kesenian populer telah hidup dengan sendirinya karena ditopang oleh industri
hiburan dengan pendukung dan sarana yang memadai Sehingga sebagai sebuah hiburan
massa oleh karena itu kehadirannya sangat diminati oleh masyarakat pada umumnya.
Sementara itu seni dalam kategori seni kreatif hidup dalam topangan seniman dengan
komunitas yang sangat terbatas sehingga eksistensinya berputar dari festival ke festival
itupun menunggu ada kesempatan untuk diundang sebagai peserta. Cukup beruntung seni
dalam katgori seni tradisi karena kesempatan untuk hadir mengisi jadwal-jadwal kegiatan
yang sudah menjadi program pemerintah yang rutin. Secara acak dapat dilihat pada
program-program kegiatan yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah terkait dengan
pemberdayaan kesenian tradisional atau seni tradisi rakyat. (Periksa tabel berikut)

Tabel 1

Jadwal Program Kegiatan Taman Budaya Propinsi Jawa Timur 2005


No. Kegiatan JAN PEB MAR APR MEI JUN JUL AGST SP OKT NOP DES

1. Launching Program 

2. Pekang Komposer 

3. Pameran Seni Rupa 

4. Surabaya Full Musik 

5. Festival Teater Remaja 


37

6. Duta Kesenian Antar 


Propinsi

7. Pekan Koreografer 

8. Fetival Seni Islami 

9. Pemberdayaan Kawasan 
Selatan

10. Temu Taman Budaya se 


Indonesia

11. Binnale Seni Rupa 

12. Festival Wayang Kreatif 

13. Gong Musik dan 


pemberian Award
Kesenian

Tabel 2

Kalender Wisata Surabaya 2003

No. Kegiatan JAN PEB MAR APR MEI JUN JUL AGST SP OKT NOP DES

1. Festifal Tari Ngremo 

2. Ftival Penganten Pegon 

3. Ketoprak di THR 
urabaya

4. Wayang Orang THR 

5. Pagelaran Ludruk di 
THR Surabaya

6. Srimulat di THR urabaya 

7. Wyang kulit i THR 


urabaya

8. Pameran Promosi 
Surabaya dan Pemilihan
Cak & Ning

9. Pergelaran Muik patrol 

10 HUT Hari Pahlawan 

11. Reog 
38

Tabel 3

Kalender Kegiatan di Balai Pemuda Surabaya 2003

No. Kegiatan JAN PEB MAR APR MEI JUN JUL AGST SP OKT NOP DES

1. Kerajinan rakyat 

2. Perglaran Band 

3. Pergelaran musik rakyat 

4. Pergelaran keroncong 

5. Pagelaran tari Ngremo 

6. Festival Ngremo 

7. Prgelaran jaranan dan 


campurari

8. Pameran lukis dan foto 

9. Pergelaran Reog dan 


wayang kulit

Kesenian tradisi kerakyatan mendapat dukungan obtimal dari pemerintah kota Surabaya
maupun propinsi Jawa Timur. seni populer hidup dengan kekuatannya kapital dunia indutri
hiburan. Oleh karenanya bertempat di pusat-pusar hiburan dan keramaian kota seperti di
THR, Taman Remaja, dan di pusat perbelanjaan (mall).

Berbagai kelompok kesenian tersebut tanpa bersinggungan satu dengan yang lain
telah memiliki komunitas pendukungnya masing masing. Hal ini disebabkan oleh sifat
heterogenitas penduduk Surabaya yang sejak semula memiliki kecenderungan beragan
terhadap prilaku budaya. Namun demikian dapat dipahami bahwa perlakuan pemerintah
yang cenderung mengutamakan kehadiran kesenian rakyat dalam program-program
kegiatan institui pemerintah terebut merupakan implemntasi dari kebijakan atas pembinaan
kebudayaan daerahnya. Dapat dilihat juga festival “A Cross Culture Fest 2008” yang
dilaksanakan tanggal 4 s/d 6 Juni 2008 dikuatkan oleh surat Keputusan Wali Kota
Surabaya Nomor: 188.45/96/436.1.1/2008 dengan mata acara sebagai berikut: 1)
Pergelaran kompetisi tari Ngremo dan Yosakoi, 2) pergelaran promosi ragam seni budaya
(didatangkan dari daerah dan negara-negara asia), 3) peragaan busana manten pegon, 4)
work shop seni, dan 5) Bazar kuliner. Kegiatan ini rutin diselenggarakan setiap tahun.
39

BAB III

PENGARUH POLITIK TERHADAP


KEHIDUPAN TARI NGREMO SURABAYAN DI SURABAYA

3.1 Menguatnya Kehidupan Politik dalam Interaksi Sosio Budaya

Tatkala Indonesia tumbuh kesadaran untuk menjadi negara berdaulat yang


kemudian pada puncaknya mencapai negara merdeka, awal-awal kehadirannya ditandai
dengan pencarian sebuah model nasional yang baru. Sikap nasionalisme sebagai ideologi
baru sedang tumbuh dari sebuah masyarakat yang demokratis di dalam republik yang
merdeka memerlukan pertanggungjawaban kolektif maupun idividual yang lebih besar
bagi terwujudnya nasional baru itu. Perubahan sikap dan perilaku yang didorong oleh
keinginan untuk hidup mandiri dan ingin terus maju membawa dampak perubahan yang
mendasar. Peran negara dalam mewarnai pola sikap dan tindakan masyarakatnya menjadi
fenomena kebudayaan.
Dalam kehidupan kesenian nampak sekali perubahan-perubahan fungsi lamanya
untuk disesuaikan dengan konteks masyarakat yang terus berubah. Pemikiran mistis yang
membawa sikap perilaku magis mengalami pengikisan sejalan dengan pola pikir baru yang
dibawa oleh sikap modern yang terus bergulir. Pemanfaatan nilai-nilai sosial atas seni pada
periode ini telah membuka wacana baru. Kehadiran-istana-istana, yang kemudian menjadi
republik dan kesadaran masyarakat terhadap modernitas menciptakan ruang baru yang
lebih sekuler telah mengisi konteks seni. Abad 20 utamanya di Indonesia kehadiran seni-
seni baru yang fungsi lamanya telah bergeser. Nasionalisme adalah tatanan nilai baru yang
kemudian memasuki ruang-ruang estetis.
Hubungan politik pemerintahan dengan kehidupan kesenian sebagaimana laporan
Brandon utamanya pada masa pergerakan sudah merupakan hubungan politis hegemonik.
Kaum nasionalis seringkali mempergunakan rombongan-rombongan seni pertunjukan
tradisi populer sebagai alat untuk membangkitkan rakyat di dalam melawan pemerintah
asing. Ludruk di Jawa Timur adalah bentuk teater tradisional yang pada masa pergerakan
telah nyata menjadi media pemerintah untuk menumbuhkan sikap nasionalisme tersebut.
Lakon-lakon yang dipanggungkan sebagian besar lakon anti-kolonial dan pro-nasionalis.
Namun demikian bahwa sampai dengan ketika kemerdekaan diproklamirkan
kehidupan kesenian belum dianggap memiliki kekuatan untuk menyatakan diri sebagai
40

bagian dari institusi yang mempunyai peran penting dalam pembentukan kepribadian
bangsa. Pada tahun 1946 para seniman timbul kesadaran dan kemudian merealisasikan
gagasan untuk mendirikan perkumpulan kebudayaan Gelanggang Seniman Merdeka
(Moeljanto, 1995: 31). Kebudayaan dalam pengertian kesenian diupayakan untuk
menempati hak dan kewajibannya mengambil bagian dalam mengisi ruang sosial. Kata
‘merdeka’ merupakan jiwa yang diakuinya sebagai kemerdekaan berpikir, berserikat,
mengeluarkan pendapat, berekspresi dan merdeka dari tekanan politik apapun, juga ada
spirit nasionalisme (Purwasito, 2002: 343). Gagasan itu kemudian dikukuhkan dengan
diumumkannya Surat Kepercayaan Gelanggang di Jakarta 18 Februari 1950. Inti dari Surat
Kepercayaan Gelanggang adalah menegakkan kembali nilai-nilai humanisme dalam
kegiatan kebudayaan. Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) kemudian lahir pada tanggal
17 Agustus 1950. Perjuangan Partai Komunis Indonesia (PKI) melalui kebudayaan (baca=
kesenian) dan Manifesto Politik (Manipol Usdek) dan politik sebagai panglima menjadi
dasar kegiatannya.
Pada sisi lain militer menyuarakan doktrin Pembinaan Potensi Perang Revolusi
Indonesia. Doktrin ini menekankan perlunya penggalangan kekuatan-kekuatan progresif-
revolusioner domestik dan internasional. Tugasnya adalah menghimpun secara maksimal
semua potensi yang laten, semua daya dan dana dibidang ideologi, politik, sosial budaya,
dan militer, baik di dalam maupun di luar negeri. Diperkenalkan ‘senjata sosial/budaya’
yakni mempergunakan secara sistematis semua hasil kebudayaan, kesenian, ilmu
pengetahuan, ideologi maupun personilnya sebagai alat ofensip dalam rangka mencapai
kemajuan dari tujuan revolusi (Said 2002: 59-61).
Doktrin militer tersebut merupakan suatu bentuk pertahanan yang menggabungkan
fungsi politik dan militer menjadi satu dengan melibatkan seluruh rakyat sipil ke dalamnya
di bawah pimpinan militer (Feith, 2001: 40). Doktrin ketiga dari Tri Ubaya Cakti inilah
yang dikemudian hari mewujudkan dirinya menjadi ‘Dwifungsi ABRI’ adalah alat efektif
bagi militer untuk menggunakan potensi rakyat. Kesenian dan personilnya tak luput dari
sasaran pembinaan militer untuk selalu terlibat yang diatasnamakan untuk kepentingan
revolusi Indonesia.
Situasi politik masa demokrasi terpimpin tersebut sangat dominan di dalam
memberikan pengaruh dan bahkan menentukan sikap dan pola tingkah laku masyarakat.
Kesenian menjadi obyek dan turut larut dalam situasi politik yang sedang berlangsung.
41

Partai politik dominan mempergunakan kesenian untuk menjual ideologinya kepada


masyarakat. Seni didaulat sebagai kendaraan pengantar pesan hingga media indoktrinasi.
Di Bali, pada tahun 1960-an, pernah dibius oleh hingar-bingarnya pertunjukan
Janger yang sarat dengan titipan pesan-pesan ideologi partai. Saat itu ada sebutan Janger
Palu Arit yang tiada lain adalah corong PKI. Di pihak yang lain adalah Janger Banteng
diklaim sebagai milik Partai Nasional Indonesia (PNI). Lirik-lirik lagu dari kedua Janger
yang selalu bersaing itu melulu berisi hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan ideologi
kedua kekuatan sosial politik yang dominan itu (Suartaya, 2003: 2).
Seperti juga pernyataan Peacock yang menggambarkan bahwa kesenian Ludruk
secara ideologis terpecah menjadi dua benar-benar nyata. Politik sebagai orientasi
perjuangan ideologi menyeret Ludruk untuk menentukan eksistensinya. Sehingga pada
waktu itu terdapat Ludruk Marhaen yang oleh Peacock digeneralisasikan ke dalam
kelompok Ludruk yang cenderung ke perjuangan kaum kiri (PKI), sedangkan Ludruk
Tresno Enggal digolongkan ke dalam kelompok Ludruk yang condong ke perjuangan
kaum nasionalis, bekerja sama dengan URIL (TNI-DAM VIII Brawijaya).
Perkumpulan Ludruk Marhaen yang cenderung mengikuti ideologi dan perjuangan
Partai Komunis Indonesia pada masa jayanya berulangkali mendapat undangan Presiden
RI, Dr. Ir. Soekarno untuk melakukan pementasan di Istana Negara. Berdasarkan
pengakuan Rukun Astari (pelawak dan sekaligus pendiri Ludruk Marhaen), tercatat 16 kali
Ludruk Marhaen menerima undangan Presiden Soekarno. Beberapa lakon Ludruk yang
pernah dipentaskan Ludruk Marhaen yang kemudian difilmkan ialah Kunanti di Yogya,
Memburu Menantu, Mawar Merah di Lereng Bukit, dan lakon Pak Sakerah. Di samping
prestasi tersebut, Ludruk Marhaen juga mendapat kesempatan sebagai penghibur militer di
Trikora II-B (Tri Komando Rakyat II-B), yang pernah mendapat piagam penghargaan dari
Panglima Mandala Mayjen TNI Soeharto pada tanggal 10 Agustus 1962 (Supriyanto,
1992: 13).
Sampai peristiwa G-30-S/PKI 1965 meletus terjadi masa vakum bagi eksistensi
kesenian. Tragedi itu berpengaruh besar terhadap kehidupan dan utamanya sejarah Ludruk
di Jawa Timur. Setelah terjadi pemberontakan PKI tersebut, perkumpulan Ludruk yang
bernaung atau berafiliasi dengan Lekra Lembaga Kebudayaan Rakyat/onderbow PKI)
dibekukan oleh pemerintah. Perkumpulan Ludruk yang anggotanya tidak terlibat kegiatan
PKI, karena keadaan genting pada tahun 1965-1966, belum berani menyelenggarakan
pementasan. Setahun kemudian pihak TNI AD Dam VIII Brawijaya berusaha
42

menghidupkan kembali perkumpulan Ludruk di Jawa Timur, yang didukung oleh seniman-
seniman Ludruk yang tidak terlibat kegiatan Lekra atau PKI.
Perkumpulan Ludruk Putra Bakti (eks Ludruk Malang Selatan) di Malang dilebur
menjadi Ludruk Anoraga. Pada tahun 1971, di bawah pembinaan Inmindam VIII
Brawijaya Ludruk mengalami peleburan. Selengkapnya sebagai berikut:
eks Ludruk Marhaen di Surabaya dilebur menjadi Ludruk Wijaya Kusuma Unit I
eks Ludruk Anoraga di Malang, dilebur menjadi Ludruk Wijaya Kusuma Unit II
eks Ludruk Urill A di Malang, dilebur menjadi Ludruk Wijaya Kusuma Unit III,
dibina oleh Korem 083 Brawijaya, Malang
eks Ludruk Tresno Enggal di Surabaya dilebur menjadi Ludruk Wijaya Kusuma
Unit IV, dan
eks Ludruk Kartika di kediri dilebur menjadi Ludruk Wijaya Kusuma Unit IV
(Supriyanto, 1992: 14).
Lebih lanjut Supriyanto menuturkan bahwa pembinaan Ludruk secara efektif pada
masa Orde Baru diawali melalui upaya penataan kembali masing-masing perkumpulan
Ludruk di Jawa Timur. Musyawarah seniman Ludruk se Jawa Timur dimulai pada tanggal
21 sampai 22 Juni 1968 yang membahas makalah tentang ‘Sejarah Ludruk di Jawa Timur’,
makalah ‘Usaha Pembinaan Ludruk/Pelestarian Ludruk’, di samping itu berbagai pidato
dari para pejabat TK I di Jawa Timur dan ceramah perjuangan Orde Baru dari Panglima
Dam VIII Brawijaya. Musyawarah Ludruk dihadiri lebih dari 23 perkumpulan Ludruk
yang tersebar di berbagai daerah/kota di Jawa Timur.
Sesudah periode 1975 sampai selanjutnya menjadi perkumpulan Ludruk
profesional dan bersifat independen. Beberapa perkumpulan Ludruk sering melakukan
pementasan antara lain: Ludruk Mandala, Ludruk Gadjah Mada, Ludruk Suzana, Ludruk
Gema Tribrata (Surabaya), Ludruk Baru Budi (Jombang), Ludruk Wijaya Kusuma
(Malang), Ludruk Persada (Malang), Ludruk RRI (Surabaya) dan masih banyak lagi
perkumpulan Ludruk yang belum dapat disebutkan dalam tulisan ini.

3.2 Kebijakan Politik Pemerintah Terhadap Kehidupan Kesenian

Dalam bidang seni budaya, semenjak tahun 1950-an, pemerintah secara mendasar
telah aktif menunjukkan kekuatan mengurusi langsung kehidupan seni budaya. Secara
43

yuridis negara telah menangani kesenian dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.
65/1951 yaitu tentang pelaksanaan penyerahan sebagian daripada urusan pemerintah pusat
dalam lapangan pendidikan, pengajaran dan kebudayaan kepada propinsi. Ditegaskan
dalam Bab II pasal. 2 ayat (1). Huruf f. bahwa pemerintah propinsi mempunyai tugas
untuk memimpin dan memajukan kesenian daerah.
Peraturan Pemerintah tersebut ditindak lanjuti oleh Putusan Bersama Menteri
Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan dan Mentri Dalam Negeri tentang cara
melaksanakan Peraturan Pemerintah No. 65/1951 (LN No. 110 tahun 1951) yang
menyatakan bahwa Dewan Pemerintah Daerah Kabupaten, Kota Besar, dan Kota Kecil
yang bersangkutan yang dalam hal ini dikuasakan oleh Kabupaten, Kota Besar, dan Kota
Kecil tersebut dalam Peraturan Pemerintah No. 65/1951 yang tugasnya sesuai dengan
Peraturan Pemerintah tersebut.
Pada Tingkat Propinsi, Peraturan Pemerintah tersebut ditindaklanjuti dengan
dikeluarkannya Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Propinsi Jawa Timur tanggal 29
Desember 1952 Nomor BH. 31/11619 telah dibentuk Dinas Pendidikan Dasar dan
Kebudayaan Propinsi Jawa Timur semula disebut Jawatan Pendidikan Pengajaran dan
Kebudayaan Propinsi Jawa Timur yang menyelenggarakan tugas dan wewenang
pengurusan di bidang Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan.
Dasar hukum pelaksanaan penanganan kesenian tersebut dikuatkan lagi oleh
Peraturan Daera Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur No. 6 Tahun 1979, tentang
Pembentukan, Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan
Propinsi Tingkat I Jawa Timur. Ditegaskan dalam pasal I ayat (2) huruf j) Yang
menyebutkan: Memajukan Kesenian Daerah, adalah berupa usaha untuk menggali,
mengembangkan dan membina kesenian daerah di Jawa Timur, yang merupakan bagian
dari kebudayaan bangsa Indonesia. Pasal 5 ayat (2) huruf b. menyebutkan tugas Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan Daerah yaitu mengarahkan dan memajukan kesenian daerah
sepanjang urusan ini telah diserahkan kepada Pemerintah Daerah Tingkat I.
Dari sisi birokratis, tugas Sub Dinas Kebudayaan dan Pendidikan Luar Sekolah
dijelaskan pula dalam pasal 23 huruf a. Yakni: Mengadakan usaha-usaha untuk memajukan
kesenian daerah. Satu tingkat di bawah Sub Dinas Kebudayaan adalah seksi-seksi. Seksi
Kebudayaan pada Sub Dinas Kebudayaan dan Pendidikan Luar Sekolah mempunyai tugas:

1. Menggali, membina dan memajukan kesenian daerah serta kesenian


44

kreasi baru;
2. Menyelenggarakan usaha-usaha (seperti lomba/festival kesenian) untuk
meningkatkan kegiatan kesenian kebudayaan lainnya;
3. Memberikan pembinaan dan bantuan kepada setiap usaha untuk memajukan
kesenian daerah;
4. Merencanakan dan melaksanakan pengadaan alat-alat kesenian untuk
meningkatkan kegiatan kesenian;
5. Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh Kepala Sub Dinas Kebudayaan
dan Pendidikan Luar Sekolah.
Pada tema ini dapat dipahami bahwa meluasnya peranan birokrasi pemerintah
adalah bagian penting untuk membicarakan keikutsertaan pemerintah terhadap penanganan
kesenian. Menguatnya politik pemerintahan baik dilakukan oleh aktor-aktor birokrasi dan
militer atas masyarakat sipil empirik akan berhadapan dengan persoalan-persoalan budaya
yang dalam hal ini kebudayaan lokal. Oleh karena itu proses menguatnya tekanan politik di
Indonesia sangat memperhitungkan peran penting dari kebudayaan lokal. Artinya peran
besar birokrasi pemerintah mendapatkan pemahaman dari pendekatan kultural. Kebijakan
yang dirumuskan tidak lepas dari keterlibatan rumusan yang menyangkut kebijakan
mengenai kehidupan sosio kultural yang di dalamnya adalah kehidupan kesenian. Dengan
demikian dapat dimengerti bahwa perilaku pemerintahan di Indonesia lebih didorong oleh
kenyataan bahwa rezim yang berkuasa sangat tergantung pada birokrasi untuk
merumuskan dan melaksanakan kebijakan administrasi kebijakannya dan juga pada pihak
militer demi keamanan nasional (Harold Crouch, 1986: 1).
Munculnya undang-undang ataupun peraturan-peraturan pemerintah yang
melandasi setiap rekayasa pemerintah terhadap kehidupan politik, ekonomi, kebudayaan
dan keamanan didominasi oleh kebijakan dari birokrasi negara. Ini suatu bukti bahwa
negara berada di atas masyarakat, sementara masyarakat selalu tergantung pada apa yang
menjadi kehendak yang diputuskan oleh negara. Masyarakat kehilangan partisipasinya
untuk mewarnai keputusan publik.
Dalam konteks kesenian di Jawa Timur, dapat disimak kebijakan pemerintah
mengenai kehidupan kesenian melaui pendekatan birokrasi. Munculnya kebijakan tersebut
didasari oleh kondisi faktual kesenian yang tersebar di area budaya di wilayahnya.
Kesenian Jawa Timur dapat dicermati dari pembentukannya. Bahwa kesenian di Jawa
Timur dibentuk oleh budaya adati yang tersebut di berbagai wilayah budaya dan etnik.
45

Munardi menyatakan bahwa secara mendasar kesenian di daerah Jawa Timur lebih
bersifat kerakyatan, tumbuh dan berkembang secara marginal. Hal tersebut dapat diamati
pada pertumbuhan dan tebaran pengaruh yang merata, beragam tanpa ada keseragaman
gaya, karakter, maupun ciri keseragaman pengaruh sentralisasi program. Secara prinsipil
kondisi tersebut jauh berbeda dari kesenian yang bersifat istana sentris ( A.M. Munardi,
1985: 8).
Hasim Amir memilah Kesenian Jawa Timur ke dalam dua kelompok lingkungan
yaitu (1) kesenian pedesaan, (2) kesenian perkotaan. Pemilahan budaya sebagai lingkungan
tempat tumbuh dan berkembangnya kesenian bergerak dari tradisi agraris yang sebagian
besar tersebar di wilayah pedesaan menuju ke arah yang lebih urban (desa berubah menjadi
kota yang lebih industrialis), dengan demikian sangat wajar jika kesenian dipilah menjadi
dua lingkungan perkembangan kota dan desa (Hasim Amir 1984:3).
Keberagaman gaya dan karakter serta pemilahan dua lingkungan pertumbuhan
kesenian tersebut merujuk pada kondisi faktual kesenian di Jawa Timur yang pada saat
hidupnya dalam kondisi senjang dan rapuh. Potensi keragaman kesenian yang senjang dan
rapuh itu tersebar di berbagai sentra budaya di Jawa Timur merupakan aset bagi
kepentingan negara untuk ditumbuh kembangkan. Dengan asumsi bahwa kerapuhan dan
kesenjangan kesenian yang ada merupakan hambatan bagi pembangunan nasional.
Kerapuhan dipahami sebagai kondisi sulit bagi kesenian itu sendiri untuk mengembangkan
diri di dalam lingkungan sosial budayanya sendiri. Regenerasi tidak kunjung datang,
sementara pelakunya sudah tua dan satu persatu mulai rapuh. Perangkat artistik mulai
lusuh (busana, perangkat panggung) tidak mampu memperbarui karena faktor dana yang
tidak memadai. Proses aktualisasi, sosialisasi diri pada kesenian tersebut terhambat atau
terhenti sama sekali karena pertunjukan tidak lagi mampu menarik masyarakat untuk
menikmati.
Faktor kesenjangan didasarkan pada cita rasa dan selera masyarakat terhadap
kesenian-kesenian tradisional yang sudah semakin luntur oleh tumbuhnya kesenian-
kesenian pop, temporer yang dikemas cukup presentatif yang disalurkan melalui berbagai
media. Sisi yang lain bahwa kesenjangan terjadi pada pribadi seniman yang sebagian besar
adalah masyarakat agraris pedesaan. Secara sosio budaya, seniman memiliki keterbatasan
wawasan, pengetahuan, skill/ketrampilan seni dan sikap profesionalisme. Bahwa
berkesenian bukanlah profesi pokok seniman melainkan sarana untuk meluangkan waktu
di sela-sela kegiatan ekonominya seperti bersawah, berdagang dan sebagian pegawai
46

negeri. Konsekuensi logisnya adalah sikap kreatif dan intensitas penuh kerja seni untuk
menjawab kebutuhan ekspresi seni yang berorientasi ke depan (dihadang oleh kekuatan
kapitalisme) tidak terakomodir.
Kerapuhan dan kesenjangan tersebut yang mendasari munculnya kebijakan-
kebijakan birokrasi pemerintah untuk ikut campur dalam kehidupan kesenian. Pola
pembinaan diterapkan sebagai program kerja secara rinci diuraikan dalam program
tahunan. Pola kerja tahunan tersebut proses implementasi yang secara strategis didukung
oleh asas sentralistik. Program tahunan kemudian dirujuk oleh setiap kabupaten dan kota-
kota di seluruh Jawa Timur sebagai pedoman untuk kegiatan pembinaan kesenian di
daerahnya.
Merujuk pada pola pikir tersebut dirumuskan pola pembinaan kesenian yang
berorientasi pada substansi-substansi kehidupan kesenian yaitu: (1)seniman, (2) kelompok
kesenian, (3) sarana dan prasarana. Secara faktual pola pembinaan tersebut
dioperasionalisasikan dalam bentuk program pembinaan yang kegiatannya meliputi:
a. Kegiatan diskusi, sarasehan, seminar, penataran, lokakarya dan penelitian.
b. Kegiatan memberikan bantuan sarana dan prasarana
c. Kegiatan lomba, festival, pekan seni budaya, pentas seni.
Pada tingkat operasional kegiatan tahunan, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
Propinsi Jawa Timur pada tahun anggaran 1989/1990 dan tahun anggaran 1991/1992 telah
mengalokasikan anggaran untuk pembelian satu motif busana tari Ngremo untuk dibagikan
kepada 37 Daerah Tingkat II se Jawa Timur.
Implementasi kebijakan tentang pembinaan kesenian yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur selanjutnya mengalami
perluasan makna. Selain pelestarian seni budaya daerah sebagai dasar pikiran untuk
menyelenggarakan pembinaan, hajatan besar seperti peringatan hari jadi (hari ulang tahun)
ibukota yang diselenggarakan oleh pemerintah Daerah Tingkat II menjadi dasar
argumentasi dilaksanakannya pembinaan kesenian. Seperti yang dilaksanakan di Surabaya
adalah cerminan dari perluasan makna pembinaan kesenian. Dalam rangka menghadapi
hari jadi kota Surabaya, pemerintah kota Surabaya dengan merujuk instruksi sekretaris
kota Surabaya mengeluarkan peraturan pemerintah tertanggal 29-30 April 2003 berupa
petunjuk pelaksanaan atau petunjuk teknis pelatihan tari Ngremo.
Dalam petunjuk pelaksanaan (juklak) Pelatihan Tari Ngremo tertanggal 29-30 April
2003 disebutkan bahwa maksud dan tujuan diselenggarakannya Pelatihan Tari Ngremo
47

adalah untuk meningkatkan Sumber Daya Manusia SDM guru/pelatih tari Ngremo Jugag
untuk mempersiapkan siswa peraga tari Ngremo Jugag secara massal. Penggalangan
peraga dalam jumlah yang besar tersebut adalah mempersiapkan acara tari untuk
melengkapi Hari Ulang Tahun Surabaya ke 710 tahun 2003. Program utama dari pelatihan
tersebut adalah selain tersedianya peraga tari Ngremo dalam jumlah besar/massal juga
meningkatkan kemampuan dan keseragaman teknis tari Ngremo Jugag.
Dinas Pendidikan Kota melalui Sub Dinas Pendidikan Kesenian Surabaya sebagai
penyelenggara menghimpun dana penyelenggaraan dari iuran atau partisipasi dari setiap
peserta pelatihan. Setiap orang dikenakan biaya sebesar Rp. 40.000,- dan berlaku bagi
seluruh guru kesenian di tingkat Sekolah Dasar se Kota Madya Surabaya. Setiap peserta
mendapat kompensasi berupa kaset dan konsumsi selama pelatihan. Penyelenggaraan
pelatihan Ngremo seperti ini secara rutin dilaksanakan setiap tahun menjelang peringatan
hari Jadi Kota Surabaya.
Atas dasar uraian tersebut di atas dapat dipahami perihal kebijakan pemerintah
tentang kesenian daerah diambil berdasarkan pemikiran para budayawan setempat yang
disarikan dari penyelenggaraan pada acara seminar-seminar budaya di Jawa Timur.
Kesimpulan para budayawan tentang kesenian daerah di Jawa Timur yang marginalitas,
keberagaman yang unik, mengalami kesenjangan dan kerapuhan. Kesimpulan ini
selanjutnya dijadikan acuan oleh pemerintah untuk mengambil kebijakan tentang
pelesatarian dan pembinaan-pembinaan kesenian daerah di Jawa Timur.

3.3 Pengaruh Politik dalam Perubahan Tema Tari Ngremo di


Surabaya
Pada masa penjajahan Belanda lakon cerita Pak Sakerah menjadi pujaan rakyat
banyak. Tetapi pada akhirnya tokoh Sakerah yang hebat itu harus juga kalah dengan
Belanda. Demikian Juga cerita ‘ Hardjo Tani’ yang melawan Belanda. Belanda tak mampu
membendung sikap perlawanan Hardjo Tani dalam membantu petani. Tetapi pada akhir
cerita, Hardjo Tani yang mempunyai kesaktian itu harus mati di tangan penjajah Belanda
karena rahasia kesaktiannya dibuka oleh saudaranya. Cerita lain seperti Sawunggaling,
Untung Surapati, Maling Caluring dan cerita perlawanan yang lain, meskipun para tokoh
selalu kalah dalam akhir cerita, mungkin juga kekalahan ini disengaja karena mungkin ada
perasaan takut atau permintaan dari Belanda, tetapi telah ada gambaran tentang perlawanan
48

secara terang-terangan terhadap penjajahan. Oleh karenanya pada periode ini dikenal
dengan Ludruk Perjuangan (Hendrowinoto 1987: 9).
Sejaman dengan masa perjuangan politik dokter Soetomo dengan partai politiknya
(Partai Indonesia Raya--Parindra--) pada tahun 1933 seniman Ludruk bernama Gondo
Durasim mendirikan perkumpulan Ludruk bernama Ludruk Organisasi. Ludruk Organisasi
ini populer pada masa pendudukan Jepang. Ludruk yang dipimpin sendiri oleh Durasim ini
dikenal dengan keberaniannya mengkritik pendudukan Jepang di Indonesia. Keberanian
Durasim mengkritik kolonial Jepang dinyatakan dengan sikap tegas melalui pertunjukan.
Sikap keberanian Durasim melawan Jepang melalui Ludruknya ini yang menegaskan
bahwa Ludruk benar-benar terlibat secara politik. Ludruk menjadi sejajar dengan gerakan
massa.
Tokoh Ludruk Durasim menjadi teman seperjuangan dengan para pejuang-pejuang
lain yang hanya dibedakan dengan cara masing-masing. Situasi ini mengantarkan Ludruk
pada tataran yang paling tinggi dalam kancah politik nasional. Selain sebagai pernyataan
perlawanan terhadap penjajahan, Ludruk Durasim menjadi tontonan bagi pejuang yang
telah kendor semangatnya. Melalui Ludruk ini semangat dipulihkan kembali. Ludruk
Durasim tidak mau kompromi dengan Jepang. Sikap perlawanannya paling puncak
diperlihatkan pada pergelarannya di desa Mojorejo (kabupaten Jombang). Tidak dengan
menggunakan jalan cerita, tetapi melalui kidungan dalam tari Ngremo, Durasim menyindir
Jepang dengan syair kidungan sebagai berikut:

Pagupun omahe doro


Melok Nippon awak sengsara
Terjemahan :
Pagupon rumah burung dara
ikut Nippon aku sengsara

1. Cak Durasim diabadikan dalam wujud monumen dan nama


gedung pertunjukan di Taman Budaya Jawa Timur
49

Akibat kidungan di atas, Durasim ditangkap Jepang. Durasim dan kawan-kawan dipenjara.
Menurut penuturan Satari, mantan sri panggung Ludruk Organisasi, Durasim meninggal
dunia pada bulan Agustus 1944 setelah dikeluarkan dari penjara (Supriyanto, 1992: 13).
Kehadiran Ludruk utamanya di Surabaya sangat pesat setelah kemerdekaan
Republik Indonesia tercapai. Seperti digambarkan sebelumnya, Ludruk pernah mencapai
istana setidaknya 16 kali untuk memenuhi undangan Presiden. Kesempatan langka yang
dialami oleh Ludruk yang berasal dari kalangan rakyat pedesaan Kehadirannya di markas
militer untuk menghibur para prajurit juga adalah anugrah yang membawa pengalaman
yang mendalam.
Peristiwa yang pernah dialami oleh salah satu penari Ngremo dari Malang tatkala
mengadakan pergelaran Ludruk bersama Ludruk Nusantara yang dipimpinnya pada tahun
1950-an pada acara menyambut kedatangan Presiden Soekarno di Surabaya. Selesai
pergelaran cak Subur mendapat ucapan selamat dari Presiden, sambil berjabat tangan
Presiden berkata dengan semangat: tari Ngremo harus selalu maju ! itu semangat patriot
arek-arek Jawa Timur ! (Arek-arek Jawa Timur yang dimaksud adalah pemuda Surabaya)
(Hidajat, 2001: 117). Sejak peristiwa itu cak Subur merasa terstimulir oleh ucapan
Presiden. Perasaan bangga sekaligus tertantang untuk terus mengembangkan tari Ngremo.
Pada suatu pertunjukan di Ngantang, desa Batu Malang sekitar awal tahun 1960-an
ketika melakonkan Sawunggaling, Cak subur teringat pertemuannya dengan Presiden
Soekarno. Cakraningrat dalam lakon Sawunggaling mengilhami kreativitas Ngremo Cak
Subur. Tokoh Priyayi (wong agung) dari Madura yang dalam drama Ludruk menampilkan
karakteristik khas (gagah, tegas, tangkas) diapresiasi untuk mewakili identitas Jawa Timur.
Tema tari Ngremo pada saat itu mulai merujuk pada tokoh pejuang dari keluarga
bangsawan lokal. Tari Ngremo yang merujuk pada karakteristik tokoh Cakraningrat
kemudian dikenali dengan sebutan Ngremo Pangeranan (Pattah Wawancara, 2003
Pebruari 13).
Ungkapan ide-ide karakteristik ke dalam bentuk tari Ngremo tersebut merupakan
akumulasi dari pengalaman penari Ngremo setelah sebelumnya mengalami peristiwa
revolusi fisik di masa pergolakan. Ideologi dari tokoh-tokoh yang dianggap penting
mewakili suatu kelompok Nasionalis sangat mempengaruhi perjalanan kreativitas
keseniannya. Ditunjang dengan pengalaman penyerapan terhadap nilai-nilai kepahlawanan
tokoh pejuang di daerahnya, seniman seperti cak Subur mampu menghadirkan sosok
kepahlawanan imajiner yang kental dan khas Jawa Timur.
50

Dapat dikatakan bahwa munculnya tampilan sosok pahlawan imajiner tersebut


lebih didorong dan disemangati oleh kepentingan politik dalam format situasi yang
menghendaki keterlibatan masyarakat untuk mendukung kepentingannya bersama
pemerintah. Situasi yang membutuhkan gelora dari seluruh elemen masyarakat ketika
negara pada tingkat kondisi lemah dalam gerakan revolusi dan pembangunan sehingga
menginginkan dukungan moral berupa semangat untuk berjuang. Dalam kerangka itu
kehadiran Ngremo dengan karakter kepahlawanan yang sanggup menggiring masyarakat
ke tingkat emosi tertentu menjadi sangat penting dan dibutuhkan. Maka ucapan Presiden
Soekarno tentang semangat patriotik dalam tari Ngremo merupakan upaya untuk
memberikan legitimasi bahwa gerakan revolusi yang dibangun belum selesai dan tetap
memerlukan dukungan semangat perjuangan meskipun melalui kerangka etetika.
Secara terbuka Soekarno memberi pengakuan terhadap pentingnya faktor dukungan
moral bagi seluruh komponen bangsa, termasuk melalui kesenian untuk membangkitkan
gelora semangat perjuangan. Wacana yang terucapkan oleh Soekarno secara politis sudah
jelas merupakan upaya untuk mendapatkan dukungan strategis, semangat resistensi
terhadap pendudukan bangsa asing kembali. Wacana patriotik itulah yang terus menerus
sebagai sumber inspirasi bagi seniman Ngremo untuk mengisi batin kepenariannya.
Perkembangan selanjutnya muncul tari Ngremo Sawunggaling yang merupakan
reaksi dari penari Ngremo yang lebih muda. Ngremo Cakraningrat atau pangeranan sudah
dianggap terlalu lamban dalam gerak dan penampilannya karena sosok priyayi Madura
tersebut sudah relatif tua. Sawunggaling nama lainnya Jaka Bereg adalah sosok idola yang
lebih muda dan bersemangat, dikenal kegigihannya dalam menentang Belanda yang ingin
menguasai Surabaya (Pattah, wawancara, 2003: Pebruari 13).
Kekuatan inspirasi kepahlawanan dalam tema tari Ngremo semakin terbentuk
ketika pembinaan kesenian Ludruk dimulai oleh kalangan militer pada tahun 1968.
Kegiatan yang diselenggarakan meliputi seminar atau diskusi-diskusi dan dilanjutkan
dengan pementasan Ludruk. Peserta yang dihadirkan adalah kelompok-kelompok Ludruk
se Jawa Timur yang tidak kurang dari 23 perkumpulan. Dilanjutkan pada tahun 1971 di
bawah naungan Kodam VIII Brawijaya. Hasil dari pembinaan itu adalah dileburnya
beberapa Perkumpulan Ludruk Marhaen yang bernaung di bawah bendera PKI maupun
perkumpulan Ludruk yang sebelumnya mengikuti ideologi kemiliteran, sehingga muncul
perkumpulan Ludruk bernama Wijaya Kusuma I - V .
51

Secara formal kesenian dibina oleh negara Sejak munculnya Peraturan Pemerintah
No. 65/1951. Pembinaan itu dilakukan dalam kesesuaiannya ideologi kesenian dengan
ideologi negara. Ideologi kesenian selanjutnya diharapkan dapat mendorong masyarakat
pendukungnya untuk mendukung program negara dalam rangka pembangunan nasional.
Pada awal kemerdekaan yang terpenting adalah melaksanakan revolusi yang belum selesai.
Gelora semangat untuk membebaskan Republik Indonesia dari kolonial secara keseluruhan
masih terus ditumbuhkan, sehingga semangat untuk perjuangan harus tetap melekat pada
setiap warga masyarakat. Oleh karena itu sebenarnya tari Ngremo telah diawali
pembinaanya oleh negara melalui keterlibatannya dengan militer dalam membebaskan
Surabaya dari Belanda. Ngremo bersama Ludruk jauh sebelum negara Indonesia merdeka
bersama tentara rakyat menciptakan kobaran semangat untuk berjuang melawan penjajah.
Ludruk berjuang telah dimulai pada tahun 1931 dengan membawakan lakon ‘Siti
Muninggar Pendekar Wanita’ yang pertama kali di Surabaya dan lakon-lakon perjuangan
lainya seperti telah disebutkan sebelumnya. Dilanjutkan dengan Ludruk Organisasi
pimpinan Gondo Durasim yang menentang secara terang-terangan kepada pendudukan
Jepang. Pada masa-masa revolusi fisik (1945-1950) Munali Pattah tak hanya membiarkan
diri sibuk berkesenian, tetapi melalui kesenian ikut larut dalam situasi perjuangan waktu
itu. Bersama Cak Durasim, Munali Pattah menggabungkan diri dalam gerakan
kemerdekaan yang bernama Alap-Alap. Apa yang dilakukan kelompok ini adalah
menyebarkan semangat kemerdekaan pada rakyat melalui sarana kesenian Ludruk. Karena
itu senjata yang mereka gunakan adalah gongseng dan sampur untuk menari Ngremo
(Kidung, 2003: 46).
Keterlibatan seniman Ngremo dalam pertunjukan Ludruk untuk ikut serta dalam
kegiatan perjuangan kemerdekaan tidak lepas dari peran cerita rakyat setempat. Motivasi
para seniman Ngremo atau Ludruk tumbuh dari penyerapannya terhadap sejarah
kekuasaan raja-raja Jawa. Tokoh-tokoh bangsawan lokal dalam masa kerajaan Jawa yang
tidak setuju dengan adanya penindasan oleh bangsa asing memberikan inspirasi yang
mendalam kepada seniman Ngremo. Para bangsawan muda seperti, Pangeran Situbondo,
Cakraningrat, Sawunggaling, Untung Surapati, atau para pemberani dari kalangan rakyat
seperti Sakerah, Sarip Tambakyoso, Harjo Tani, dan tokoh-tokoh fiktif bernafaskan sejarah
seperti “Djoko Sambang pendekar gunung gangsir” dan yang lain memberikan dorongan
semangat juang kepada para seniman. Kenyataan itu bisa dicermati dari cerita Ludruk pada
52

masa perjuangan kemerdekaan yang selalu mempertunjukkan perjuangan tokoh sejarah


dan tokoh cerita rakyat tersebut.
Pendudukan Jepang di Indonesia secara moral juga turut memberi rangsangan
semangat perjuangan. Untuk menghadapi kekuatan sekutu, Jepang menyadari
keterbatasannya dalam penyiapan kekuatan militer. Melalui para pemuda Indonesia,
Jepang menyiapkan tenaga tambahan dan mendidik pemuda-pemuda Indonesia dengan
keras dan disiplin tinggi. Meskipun mendidik pemuda Indonesia dimaksudkan untuk
keperluan kekuasaan Jepang di Indonesia, semangat kebangsaan pemuda kita tumbuh pesat
seperti halnya tentara Jepang yang gigih membela Kaisar-nya. Pengalaman masa
pendidikan ketentaraan oleh Jepang memberikan inspirasi semangat juang kepada pemuda-
pemuda Indonesia secara umum. Dilanjutkan dengan perang gerilya yang dirintis oleh
tentara pada masa kepemimpinan Jenderal Sudirman. Pada waktu ketika Presiden (dengan
diplomasinya) tidak kuasa menghadapi tekanan pemerintah kolonial, tentara mengambil
sikap otonomi ketentaraan dan tetap merebut kembali kemerdekaan. Tentara
memberdayakan potensi rakyat untuk ikut serta terlibat perjuangan dengan cara bergerilya
dan memanggul senjata.
Sikap militer seperti ditunjukkan pada perang gerilnya diperlihatkan kembali
tatkala Surabaya dalam keadaan darurat. Tentara bersama rakyat tidak sepaham dengan
keputusan Presiden (pimpinan sipil) untuk tidak melawan pendudukan tentara Inggris yang
akan menduduki kembali Indonesia (baca: Surabaya). Dengan keberanian yang tinggi
terjadilah peristiwa 10 Nopember 1945, meskipun banyak korban dari tentara dan rakyat.
Peristiwa tersebut mengantarkan Surabaya sebagai kota pahlawan (30 Tahun Indonesia
Merdeka, 1945-1955, 1997:64). Dalam situasi seperti itu, seniman Ngremo turut serta
dalam proses dukungan solidaritas massa. Lewat pertunjukan Ngremo dalam Ludruk terus
menggelorakan semangat para pemuda dan elemen-elemen masyarakat pejuang yang
sudah kendor semangatnya (Hendrowinoto, 1987: 8).
Dari peristiwa tersebut dapat dikatakan bahwa proses pembentukan estetik tari
Ngremo dengan definisi kepahlawanan berakar dari situasi politik yang keras. Situasi yang
mengarahkan nilai-nilai dalam kehidupan masyarakat menjadi setara dengan format
nasionalisme dalam kerangka ‘nation state’. Pada kondisi demikian seniman turut larut
membawa ideologi politik ke dalam format keseniannya. Dalam kasus ini tari Ngremo
yang pada awal pertumbuhan dikategorikan sebagai tari gembira, berubah estetiknya
53

mengental nilai kepahlawanan. Proses politik dalam pergerakan pembebasan Tanah Air
dengan wacana nasionalisme memasuki ruang estetika tari Ngremo.
Keberadaan tari Ngremo yang berubah tersebut berawal dari Gondo Durasim,
ketika memasukkan nilai-nilai politik ke dalam Ngremo yang tidak melalui gerak tarinya
tetapi lewat kidungan. Menurut Munali Pattah, bahwa gerak dan busana Ngremo pada
masa Cak Durasim masih merujuk pada Ngremo Besutan (lihat tari Ngremo tahun 1920
dengan busana yang khas). Tari Ngremo pada dekade Durasim lemah lembut dengan pola
gerak yang belum mendapat pembakuan. Kesan rena-rena (bermacam-macam) pada pola
gerak masih melekat pada konstruksi tari Ngremo.
Perubahan pada unsur-unsur gerak dan penggunaan busana untuk menyesuaikan
tema Ngremo yang terus berkembang menuju kemantapan pada nilai kepahlawanan terjadi
pada tahun 1960-an. Tatkala Cak Subur mengadakan pergelaran di desa Ngantang, Batu,
Malang, mulai tumbuh kesadaran untuk mengembangkan tari Ngremo. Pertama kali
diawali dari perubahan busana secara mendasar untuk mencari identitas tokoh pangeran
pejuang lokal dengan meminjam busana dari ketoprak. Di Surabaya Munali Pattah
mengembangkan gerak tari Ngremo tatkala saringkali mengadakan pergelaran untuk
menghibur para tentara. Gerak tari Ngremo yang lemah lembut mendapat tekanan pada
sikap atau pola gerak tertentu sehingga kesan gagah, tegas, trampil, wibawa, mulai
diperlihatkan. Busana yang dikenakan ikut juga mengalami perubahan untuk
menyesuaikan kebutuhan ungkapan karakter yang sedang berubah itu.

3.4 Identifikasi Tari Ngremo

Merujuk pada istilah yang dikemukanan oleh Poerwadarminta bahwa nama Ludruk
berawal dari perilaku gerak pada sebuah tarian. Gerakan gela-gelo dan gedrug-gedrug
pada tarian yang kemudian digabungkan itu merupakan awal dipakainya sebutan Ludruk
pada teater tradisional khas Jawa Timur tersebut. Sedangkan nama Remo atau Ngremo
asal-usulnya juga diambil dari aspek gerak atau atribut yang melekat pada konstruk tarian
tersebut. Dengan demikian tarian yang kemudian diberi nama tari Ngremo adalah lekat
dengan pertunjukan Ludruk.
Informasi yang lebih jelas menyebutkan bahwa tari Ngremo dapat dikenali paling
dekat dengan Lerok Besutan. Tarian tersebut disajikan oleh tokoh Besut yang menari
rena-rena (bermacam-macam gerakan) dalam pentas yang dilengkapi dengan sesajian.
54

Tarian ini sebagai bagian dari ritus para seniman Ludruk terhadap keyakinannya atas
‘Sangkan Paraning Dumadi’ (asal-usul dan tujuan hidup manusia) disajikan untuk doa
keselamatan bagi segenap masyarakat yang terlibat dalam pertunjukan. Diperkirakan Lerok
besutan ini mulai berkembang pada tahun 1911 hingga tahun 1920 (Sartono, 1982: 8).
Informasi mengenai tarian Ngremo juga dapat ditemui dari laporan Hendrowinoto
yang menyebutkan bahwa Lerok Besutan mempunyai tokoh ‘Kakang Besut’ yang dalam
sajiannya juga mementingkan tari dan nyanyian kidung (Sarinah No. 121, 1987: 6).
Informasi tentang tokoh Besut juga dari lerok besut (Periksa gambar: 2). Pada awalnya
memakai busana celana panjang warna hitam, tanpa kemeja dan atau mengenakan kemeja
putih berlengan panjang, rompi hitam, dan kopiah berwarna merah. Iringan musik yang
digunakan ialah gamelan laras slendro yang terdiri atas kendang, saron, kempul, gong, dan
slenthem (Supriyanto 1992: 11).

2. Lerok Besutan yang diduga awal kelahiran tari Ngremo sampai saat ini maih
dapat disaksikan meskipun sangat langka (poto koleksi: Djoko Prakosa)

Pada periode 1920-an, bersamaan dengan perkembangan Lerok Besutan, tari


Ngremo digambarkan sebagai tari gembira yang melambangkan maksud persembahan
kepada Sang Murbeng Dumadi. Gerakan tarinya bermacam-macam, yakni gerak tari
topeng, tari wayang orang, tari ketoprak, dan tari sandur. Karena tersusun dari bermacam-
macam gerak tari, tari itu disebut tari rena-rena (Jawa: bermacam-macam gerak tari).
Mengingat penarinya memakai sampur/remong, akhirnya lahir tari Ngremo/remong
(Sartono, 1982: 11). Sifat terbuka dan belum membakukan pola-polanya pada unsur gerak
yang tetap ini seperti yang di ungkapkan oleh Hidajat bahwa berbagai unsur gerak dari tari
55

lain secara leluasa dapat dijadikan perbendaharaan geraknya. Kondisi saat itu dapat
disimak dari beberapa unsur gerak tari Ngremo terdapat unsur gerak dari Lumaksana dan
kiprah tari putra gagah gaya Surakarta, gerak Topeng Malang, Beskalan, yang kesemuanya
dijadikan perbendaharaan gerak tari Ngremo (Hidajat, 2001: 116).
Untuk menyesuaikan dengan perkembangan Lerok Besutan tersebut tari Ngremo
menetapkan pilihan tata busana khas seperti :

1. Penari memakai celana hitam ( kain saten hitam)


2. Penari berbaju putih, berdasi hitam
3. Memakai ikat kepala berwarna merah atau peci hitam.
4. Pada telinga kiri penari dipasang giwang
5. Mengenakan kaus kaki dan kaki kanan penari memakai gongseng. (Periksa
gambar: 3 dan 4).
Pada tahun 1932 Lerok Besutan
berkembang menjadi Ludruk
Sandiwara/panggung (yang setahun
sebelumnya didahului oleh Ludruk Stambul
Jawi). Ciri-ciri Ludruk Besutan masih
digunakan oleh Ludruk Sandiwara ini. Ciri-
ciri itu meliputi: 1) tarian Ngremo, 2)
kidungan/tembang khas Jawa Timur, 3)
dagelan (lawakan). Dikatakan sebagai
Ludruk Sandiwara atau Sandiwara Ludruk
karena ada beberapa kemiripan dengan Teater
Barat. Kesamaan itu bisa di dekati melalui

3. Tari Ngremo tahun 1920-an (repro: koleksi


beberapa aspek pertunjukan antara lain
Robby Hidajat) menggunakan gedung pertunjukan,
menggunakan naskah cerita meskipun dalam Ludruk naskah tidak terlalu mengikat para
pemainnya, dioperasikan oleh sebuah organisasi.

Rombongan Ludruk Sandiwara yang dipertunjukkan di Surabaya pada tahun 1931


pertama kali menggelarkan cerita ’Siti Muninggar Pendekar Wanita’. Sesuai dengan lakon
yang dibawakan, Ludruk ini lebih banyak menyajikan pertunjukan pencak silat dan
56

kekerasan. Selanjutnya menyajikan cerita


‘Pak Sakerah’, ‘Sarip Tambakyoso’,
‘Hardjo Tani’, ‘Maling Caluring’,
‘Sawunggaling’, ‘Untung Surapati’ dan
cerita-cerita yang lain.
Nampak sekali ada maksud
tertentu dalam perkumpulan Ludruk ini
di samping sebagai tontonan untuk
mendapatkan keuntungan finansial. Ada
semacam niatan untuk menyampaikan
pesan kepada penonton tentang
pentingnya menyikapi keadaan

masyarakat yang sedang berjalan. 4. Tari Ngremo akhir tahun 1930-an awal tahun
Resistensi terhadap penjajahan Belanda 1940-an (penari Ngremo Ludruk Organisasi LO
pimpinan Cak Durasim) (repro: koleksi Henri
sudah mulai ditampakkan meskipun Supriyanto)

kadang tersamar atau pada akhir cerita tokoh lokal pasti dikalahkan oleh pihak Belanda.
Tari Ngremo sebagai pembuka oleh karenanya menempati urutan yang paling awal
dalam struktur pertunjukan Ludruk. fungsi tarian ini adalah untuk menyampaikan ucapan
selamat datang, sebagai tanda dimulainya pertunjukan Ludruk, Juga sebagai sarana untuk
menarik penonton agar segera mendatangi tempat pertunjukan. Untuk mengidentifikasi
keberadaan tari Ngremo, secara kronologis dapat diketengahkan struktur pertunjukan
Ludruk. Selanjutnya dielaborasi tentang bagaimana penampilan tari Ngremo dalam
pertunjukan Ludruk.

3.5 Posisi Tari Ngremo dalam Struktur Pertunjukan Ludruk

Berdasarkan konfensi yang ada pada pertunjukan Ludruk, sampai pada periode
sekarang ini tidak ada perubahan dalam struktur pertunjukannya. Secara garis besar
struktur pementasan Ludruk dapat dijelaskan sebagai berikut: pertama adalah pembuka.
Bagian ini ditandai dengan penampilan tari Ngremo, kedua adalah bedayan, ketiga
dagelan, dan keempat adalah penyajian cerita/lakon.
Pertama, tari Ngremo atau juga disebut tari Ludruk. Disebut tari Ludruk karena
tarian ini lekat dengan pertunjukan Ludruk, meskipun istilah tari Ludruk menjadi tidak
57

populer. Penampilan tari Ngremo ini biasanya diperagakan oleh penari putra yang
kemudian disebut Ngremo gaya putra, dan atau diperagakan oleh penari putra atau putri
berpenampilan putri yang selanjutnya disebut Ngremo gaya putri. Perbedaan Ngremo gaya
putra dan Ngremo gaya putri terletak pada volume gerakan dan penampakan
karakteristiknya yang sejajar dengan kodrat jenis kelamin penarinya. Ngremo gaya putra
lebih luas volume gerak dan lebih tegas karakter tematiknya dan begitu sebaliknya. Pada
perkembangannya Ngremo jujga ditampilkan oleh penari putri berpenampilan putra (silang
jenis). Kidungan selalu mewarnai tari Ngremo Ludruk ini, sedangkan jenis suaranya juga
tergantung pada pembawaan jenis tariannya. Berisi ucapan selamat datang dan pesan-pesan
tertentu, menyesuaikan visi dan misi dari Ludruk itu sendiri.
Kedua, bedayan adalah beberapa atau hampir seluruh personil Ludruk (laki-laki)
yang berdandan serta bergaya wanita (Periksa gambar: 5). Para pemain hadir satu demi
satu di atas pentas, pada posisi berbaris, menari sambil menyanyikan kidungan Jula-Juli.
Pada bagian ini pertama kali diperkenalkan peran travesti pada pertunjukan Ludruk, yang
di dalam bagian lakon juga terdapat peran travesti ini disesuaikan dengan karakter dan
perannya.
Atraksi bedayan dipertunjukkan dengan menggunakan dua pendekatan busana. 1)
atraksi bedayan yang menggunakan busana tradisional khas Jawa yakni: baju kebaya,
memakai konde/sanggul dan perhiasan secukupnya, 2) atraksi bedayan dengan
menggunakan busana dengan pakaian bebas seperti pakaian pesta, rekreasi dan pakaian
keseharian. Sejumlah peraga travesti ini dengan pakaian mencolok, dipandu oleh seorang
pemandu acara (MC), satu
persatu berlenggak-lenggok
di atas pentas seperti
peragawati sedang beraksi.

Istilah bedayan ini


sebenarnya mengacu pada
sebuah nama tarian keraton
Jawa Tengah (Surakarta
dan Yogyakarta) yaitu tari
5. Para travesti menari dan menyanyi bersama dalam suatu pola Bedhaya. Tari Bedhaya ini
pentas yang disebut bedhayan Ludruk
58

adalah tarian yang secara umum dibawakan oleh sembilan penari putri dengan keindahan
gerak yang tinggi dengan ukuran kesenian keraton. Sedangkan tari bedayan dari Ludruk
merupakan tarian yang menggunakan gerak dan suara (kidungan Jula-Juli) di hadapan
rakyat biasa. Di bidang seni tari tetap dianut tiga watak seni tari yaitu wirasa artinya arah
atau filsafat keindahan, wirama artinya irama musik gamelan dan kidungan Jula-Juli,
wiraga artinya keindahan tari itu sendiri (Geerzt, 1983;382-383).

Ketiga, dagelan yang dibawakan oleh beberapa pelawak Ludruk (Periksa gambar:
6). Biasanya terdiri antara dua, tiga sampai lima personil, baik dalam peran pria atau
wanita. Sebelum menyanyikan kidungan, seorang pelawak yang muncul pertama kali
menyampaikan prolog tentang apa saja yang biasanya tentang kesulitan hidup sehari-hari,
ekonomi, politik dan persoalan rumah tangga. Selanjutnya menyanyikan kidungan Jula-Juli
dan dilanjutkan dengan lawakan yang dapat juga semata-mata lawakan (kata-kata humor)
atau juga dengan suatu fragmen lakon yang bersifat humor. Bagian lawakan ini juga
tidak terkait dengan lakon cerita yang akan dipertunjukkan oleh Ludruk ini dan hanya
kadang-kadang pada akhir lawakan diselipkan informasi tentang cerita atau inti lakon.

Bagian keempat adalah


mempertunjukkan lakon yang
sebenarnya (Periksa gambar: 7
dan 8). Lakon yang dipentaskan
bersumber pada babad, roman
sejarah, legenda, cerita rakyat,
cerita pendek, kisah hidup sehari-
hari. Pada perkembangan terakhir
6. Personil Ludruk tampil di atas pentas dalam suatu pola ini, cerita-cerita film atau sinetron
adegan yang disebut dagelan
seringkali juga memberi inspirasi
untuk menyusun lakon-lakon Ludruk. Film-film India, sinetron tentang kisah cinta para
remaja dan kisah-kisah misteri lainnya. Menggunakan bahasa Jawa dialek khas Jawa
Timur sehari-hari (yang oleh Geertz disebut bahasa Jawa ngoko kasar). Diiringi musik
gamelan laras slendro dan pelog dengan gending Jula-Juli Surabayan dalam segala garapan
iringan.
59

Pertunjukan lakon
dibagi dalam beberapa
adegan. Pada pergantian
adegan kadang-kadang
diselingi dengan kidungan,
yang membawakan pantun-
pantun sindiran juga lagu-
lagu kreasi baru yang sedang
populer. Para penonton
biasanya juga memesan lagu
kepada para pengidung ini 7. Adegan Ludruk dalam suatu pentas di pendapa
dengan menuliskan pada
secarik kertas. Kertas pesanan tersebut dibungkus dengan disertai barang sebagai imbalan
seperti: rokok, kuwe dan barang lainnya dan kadang-kadang juga uang. Keterlibatan
penonton dalam pertunjukan seperti ini terjadi juga pada pertunjukan wayang orang dan
kethoprak. Ada semacam komunikasi psikologis dari kedua pihak yang menunjukkan
keakraban sehingga pertunjukan
Ludruk sangat digemari oleh
masyarakat pendukungnya.

Pada bagian-bagian
penyela dalam setiap adegan ini
yang seringkali sisipan-sisipan
pesan dari berbagai pihak
mewarnai pertunjukan nya.
Pemerintah atau pihak lembaga
yang berkepentingan terhadap promosi ideologi negara (program-program pemerintah)
selain lewat jalur lakon cerita, lewat selingan pergantian adegan ini memasukkan pesan-
pesannya. Tidak jarang pula perusahaan-perusahaan memanfaatkan momen ini
8. Adegan Ludruk dalam suatu pentas di panggung prosenium memperkenalkan produknya,
lengkap dengan dekorasi
sehingga Ludruk (utamanya
Ludruk dalam siaran radio atau televisi) marak dengan pesan-pesan sponsor.
60

Ludruk di pentaskan di arena terbuka, bentuk panggung atau bentuk pentas konvensional
lengkap dengan latar belakang dekorasi menggunakan lukisan realistis. Ludruk dalam
tradisi masyarakat pendukungnya dipentaskan untuk pesta-pesta perkawinan, khitanan,
kaulan dan segala keramaian yang lain. Di samping itu Ludruk (seperti juga yang
dilakukan oleh rombongan-rombongan ketoprak, wayang orang) dipentaskan untuk
menarik uang karcis bagi penontonnya di gedung-gedung pertunjukan semi permanen yang
didirikan di pinggiran kota, di pusat-pusat keramaian, di pasar malam dan sebagainya.
Dalam bentuk siaran dipancarkan lewat radio-radio pemerintah dan non pemerintah, juga
banyak yang telah dikasetkan dengan disponsori oleh perusahaan obat-obatan, minuman
dan sebagainya.
Perkembangan Ludruk benar-benar surut memasuki tahun 1990-an seiring dengan
tumbuh dan berkembangnya berbagai bentuk hiburan yang ditawarkan oleh aneka jenis
media yang mendukungnya. Kemajuan teknologi informasi ditanggapi oleh sebagian besar
seniman Ludruk dengan sikap negatif yang dianggap sebagai akar surutnya pertunjukan
Ludruk. Kenyataan tersebut menjadi awal kecemburuan terhadap bentuk alternatif hiburan
yang sedang marak di berbagai media, sekaligus sebagai faktor yang memperjelas adanya
indikasi bahwa pertunjukan Ludruk kurang mampu beradaptasi dengan kemajuan
teknologi.
Tari Ngremo memiliki persoalan kehidupan tersendiri ketika Ludruk sudah tidak
lagi akomodatif terhadap persoalan-persoalan yang sedang menggejala di masyarakat.
Kapan Ngremo ‘melepaskan diri’ dari pertunjukan Ludruk sulit dihitung secara pasti
dengan angka tahun. Setidaknya Ngremo dikenal dan dipentaskan secara terpisah oleh
masyarakat (yang bukan perkumpulan Ludruk) tatkala Munali Pattah mengajarkan tari
Ngremo tersebut kepada masyarakat seni secara umum. Diawali di Pusat Latihan Tari
Tjandra Wilatikta, di SMKI dan seterusnya di IKIP Surabaya, STKW Surabaya.
Selanjutnya tari Ngremo tersebar lewat sanggar-sanggar tari yang bermunculan di
Surabaya.

3.6 Situasi Ngremo dalam Pertunjukan Ludruk

Tari Ngremo Pada pertumbuhan awal dapat diidentifikasi secara lebih jelas di
dalam pertunjukan Lerok Besutan. Besut naik pentas kemudian melakukan penghormatan
61

ke arah empat penjuru mata angin (timur, selatan, barat, dan utara), setelah itu melakukan
tarian rena-rena. Di atas pentas dilengkapi dengan sesajian 7 (Supriyanto, 1982: 45).

Tujuan disajikannya tarian tersebut adalah untuk menghormati danyang. Danyang


itu merupakan kompleksitas kepercayaan orang abangan Hindu dan Budha. (Peacock,
1968: 35-36). Penghormatan yang berupa sajian bagi orang Jawa abangan merupakan
upacara ritus atau selamatan (selametan) adalah untuk membina hubungan yang serasi
antara manusia dan roh halus di sekitarnya agar mereka tidak mengganggu orang-orang
yang bersangkutan. Selametan itu dilengkapi dengan hidangan makanan (sajen), sebab roh
halus ikut menikmati bau-bau makanan yang dihidangkan (Geertz 1983: 17-18). Ditafirkan
oleh Bachtiar bahwa ritus tersebut sebenarnya merupakan pemujaan terhadap Sangkan
Paraning Dumadi (dari mana manusia itu berasal, apa, dan siapa dia pada masa kini, dan
ke arah tujuan hidup mana yang dituju) (Bachtiar, 1973: 85-118).
Berdasarkan pandangan di atas bahwa tari Ngremo semula ditarikan Besut
merupakan ritus seniman Ludruk terhadap ‘Sangkan Paraning Dumadi’ dan doa
permohonan agar manusia di muka bumi ini selamat. Dalam bahasa khas Jawa Timur
‘kabeh slamet gak ana apa-apa’. Jadi sebenarnya tari Ngremo merupakan simbolisasi
harapan secara religi agar seluruh kejadian di atas pentas, pengundang pementasan, serta
seluruh penonton tetap selamat.
Secara berkelanjutan tarian Ludruk ini tetap merupakan wujud dari kesatuan
struktur pertunjukan teater tradisional khas Jawa Timur. Sampai periode tertentu tarian ini
dapat lepas dan berdiri sendiri sebagai satu bentuk disiplin seni pertunjukan tari secara
mandiri. Namun demikian tidak menyebabkan Ludruk kehilangan tarian ini sebab
kehadirannya tetap merupakan kesatuan utuh pertunjukannya meskipun fungsi utamanya
lebih tegas sebagai ucapan selamat datang untuk para penonton.
Sebagai pertunjukan rakyat, Ludruk dan Ngremo di dalamnya tumbuh dari
masyarakat pedesaan. Ia lahir, hidup dan berkembang berawal dari masyarakat pedesaan,
masyarakat kota kecil atau masyarakat tingkat bawah, dan kampung di kota-kota besar
(Peacock, 1968: 15). Kesenian rakyat ini berbeda dengan kesenian klasik yang tumbuh dan
berkembang di lingkungan kerajaan (kraton) yang sudah mencapai puncaknya seperti
wayang kulit, wayang golek, langendriyan (Kasim, 1980-1981: 113). Kesenian rakyat

7
Sesajian yang dimaksud terdiri dari a) suruh ayu, kinangan lengkap dengan daun sirih warna kuning, b)
pisang ayu (pisang raja satu tandan), c) kain putih (bahasa Jawa: lawe), d) uang logam (bahasa Jawa: dhuwit
saren)
62

mendapat dukungan dari masyarakatnya yaitu masyarakat dengan kategori rakyat yang
dibedakan dengan masyarakat dalam kategori priyayi yang hidup di lingkungan keraton.
Sebagai seni pertunjukan rakyat maka tingkat kemampuan, kesesuaian dan
apresiasi sangat ditentukan oleh kondisi lingkungannya. Oleh karena itu Ludruk yang
hidup di masyarakat pedesaan tidak memiliki gedung pertunjukan yang baku. Secara
konvensional Ludruk menempati area yang paling sederhana yaitu di atas tanah yang diberi
alas tikar dan yang sejenis dengan keluasan area pentas yang disesuaikan dengan
lingkungannya dan kebutuhan pentas. Lebih meningkat lagi arena pentas dinaikkan lebih
tinggi dari tanah dengan membuat panggung khusus. Ludruk yang sudah profesional,
memiliki atau menempati gedung pertunjukan biasanya bentuk prosenium dengan
kelengkapan dekorasi yang cukup artistik dan menjual karcis sebagai pendukung
kehidupan perkumpulannya.
Untuk kelengkapan pertunjukan biasanya panggung dilengkapi dengan alat
elektronika untuk mengeraskan suara pemain Ludruk, yaitu dengan menggantungkan kabel
mikrofon yang diikatkan di kayu sebagai penyangga atap panggung, pertunjukan menjadi
semakin marak. Secara umum Ludruk dipertunjukkan pada malam hari setelah
penyelenggaraan acara resmi hajatan usai. Perlengkapan yang menyertai seperti instrumen
musik gamelan ditempatkan secara khusus di sekitar panggung. Tobong untuk tempat anak
Ludruk merias diri, dan peralatan pendukung lainnya seperti properti pertunjukan,
peletakannya disesuaikan dengan ruang yang ada.
Untuk memberitahu dan menarik penonton bahwa pertunjukan akan dimulai, para
penabuh gamelan membunyikan gending Jula-Juli atau gending Surabayan dengan keras
dan dengan tempo yang relatif cepat. Pada waktu yang bersamaan seringkali
diperdengarkan bunyi petasan bertubi-tubi di sekitar panggung pementasan. Secara
konvensional situasi gemuruh ini dimaksudkan untuk memacu stimulus penonton dengan
tujuan agar segera mencari tempat disekitar panggung untuk menyaksikan jalannya
pertunjukan.
Tatkala kondisi penonton siap secara emosional, penari Ngremo muncul dengan
busana pangeran imajiner khas Jawa Timur. Seperti seorang satria menghadapi musuh,
penari Ngremo berjalan di tepian pentas, pelan tetapi tegas. Sorot matanya tajam dan nanar
terus menyapukan pandangannya ke penjuru penonton di sekitar arena panggung sampai
batas jangkauan penglihatannya dan sesekali berinteraksi dengan senyumnya terkesan
angker dan dingin. Sementara gending Jula-Juli atau gending Surabayan, atau gending
63

Krucilan yang mendahuluianya terus menerus menciptakan suasana karakteristik


berwibawa, gagah, tegas dan dinamis. Kondisi awal yang terbangun dalam situasi seperti
ini hadir sebagai prilaku umum dalam pertunjukan Ngremo Ludruk.
Ada banyak pola ragam gerak dalam struktur tari Ngremo. Pola-pola ragam gerak
itu dinamai: tindak lamba, gedruk lamba, gedruk rangkep, iket, tebaan, keter, sabetan,
ngombak, nggendewa lamba dan rangkep, ceklean, lawung, tumpang tali, singgetan,
ngundang bolo, telisik lombo dan rangkep, entrog, tatasan, grajakan, kipatan sampur,
klewesan. Ada pula jenis ukel seperti: ukel pakis, ukel karna, ukel asta, tatasan.
Selanjutnya nama ragam gerak sebutan nama binatang yaitu: ayam alas, nglandhak.
Begitu juga terdapat jenis gerak yang berjalan seperti: tresek, tindak, lenggang, dan istilah
gerak sebagai fariasi misalnya: keter, hoyog, seblak, penthangan. Sebagai akhir dari
struktur Ngremo selalu ditutup dengan gerak bumi langit.8 Kidungan sebagai ucapan
selamat datang kepada para penonton yang merupakan ciri utama Ngremo Ludruk tidak
pernah dilupakan.
Bermacam-macam pola ragam gerak tari Ngremo tersebut terangkai dalam
komposisi membayangkan struktur garap tari dengan kualifikasi tari tunggal yang cerdas.
Namun demikian secara koreografis Ngremo bukanlah wujud tari yang sudah baku dan
selesai. Penari sebagai pelaku, secara berkelanjutan menempati posisi sebagai pelestari dan
pembaharu. Penari potensial seperti Munali Pattah (yang dikenal dengan gaya Surabayan-
nya) adalah penari Ngremo Ludruk, karena kematangan jiwa kesenimanannya secara wajar
dan alami melakukan inovasi-inovasi.
Proses pembentukan terus menerus Ngremo dimulai dari kesadaran spontan penari
pada saat menari di atas pentas. Di dalam pertunjukan Ludruk tidak ada tradisi membuat
jadwal bagi penari Ngremo untuk kegiatan latihan di luar acara pentas, tidak ada kegiatan
yang bersifat korektif atau evaluatif dari kegiatan kepenariannya. Perubahan-perubahan
begitu saja terjadi di atas panggung. Improvisasi merupakan suatu proses yang terus
menerus dilakukan pada saat menari. Oleh karenanya spontanitas dan improvisasi terus-
menerus itulah yang membentuk konstruksi tari Ngremo. Sependapat dengan penyampaian
Tri Broto Wibisono (1991\1992).dalam kertas kerjanya:
‘.......unsur-unsur kreativitas tersebut terdapat pada adanya usaha-usaha
mengemukakan pengisuan gerak wilet, cak-cakan, sekaran, kecepatan, dinamik.
Kehadiran unsur unsur kreativitas tersebut tanpa adanya rencana terlebih dahulu,
8
Istilah-istilah pola ragam gerak tersebut merupakan istilah khas dari budaya masyarakat tari Ngremo di
Surabaya.
64

hadir pada saat penari sedang dalam situasi tari, Sehingga kebiasaan semacam ini
seringkali diartikan sebagai laku spontanitas’.

Spontan tidak diartikan kosong tanpa pengalaman, tanpa adanya kehidupan


sebelumnya. Spontan justru muncul karena referensi yang menumpuk di dalam memori
tubuh dan fikirannya. Harol Rug menyatakan: dalam keadaan menari kondisi kejiwaan
berada pada batas ambang ‘antechambre’ yaitu terletak di antara sadar dan tidak sadar.
Dalam keadaan seperti ini kreativitas memainkan peranannya (Hawkins, 2002: 5).
Disebabkan unsur spontan muncul dari setiap penari, oleh karena itu tari Ngremo
menjadi sangat personal. Sifat individual pada tari Ngremo ini mewujudkan gaya tertentu
yang spesifik. Tari Ngremo Surabayan misalnya memiliki ciri khas yang tegas, gagah dan
agak tenang. Berbeda dengan Ngremo Jombangan yang cenderung lincah, cepat dan ada
kesan sombong. Begitu juga Ngremo yang tumbuh di Malang sedikit lebih banyak variasi
gerak dibandingkan dengan gaya Surabayan. Pemakaian busana tari Ngremo secara umum
(khas pangeranan-bangsawan imajiner Jawa Timur) yakni kain jenis bludru warna hitam
dengan sulaman mote motif bunga-bungaan mencirikan tokoh pahlawan imajiner khas
Jawa Timur mendukung penampakan karakter yang gagah dan tegas.
Sebagai ciri tarian tunggal maka koreografi tari Ngremo memiliki teknik gerak
yang khas pada setiap penarinya. Kekhasan gerak didasari keunikan yang nampak pada
pembawaan (cak-cakan atau wilet) khas penari Ngremo sendiri. Dalam setiap perkumpulan
Ludruk sangat dibutuhkan penari Ngremo yang potensial. Keuntungan yang diperoleh
adalah, selain mampu menyedot penonton, memiliki penari Ngremo potensial secara
psikologis dapat mengangkat popularitas perkumpulan Ludruk. Indikasi dari kenyataan ini
adalah seringkali didapati perkumpulan Ludruk yang ngebon9 penari Ngremo untuk
mendongkrak popularitas perkumpulannya. Dengan demikian firtuositas penari Ngremo
dapat menghadirkan banyak penonton, yang dalam konteks ini Ngremo turut menentukan
situasi pertunjukan Ludruk.

9
Ngebon adalah meminjam personil dari perkumpuln lain. Dalam pertunjukan Ludruk, Ngebon penari
Ngemo atau pemeran-pemeran idola untuk tokoh tertentu yang dianggap penting dalam sebuah sajian
pertunjukan seringkali dilakukan untuk mengangkat kondisi pertunjukan agar dalam situasi-situasi tertentu
dalam pertunjukan menjadi lebih dinamis dan hidup. Istilah Ngebon ini seringkali kita jumpai pula dalam
kegiatan olah raga seperti sepak bola, bola voli dan jenis olah raga lain.
65

3.7 Tari Ngremo di Surabaya


Munali Pattah telah mengawali penyebaran tari Ngremo kepada masyarakat pada
tahun 1968 merupakan sejarah perkembangan tari Ngremo keluar dari kesenian Ludruk.
Bersama dengan Yayasan Pusat Latihan Tari Chandra Wilatikta Surabaya Munali
menghasilkan sekelompok sajian tari Ngremo kolosal. Ngremo Kolosal tersebut digelarkan
pada peristiwa festival Ramayana di Prambanan Jawa Tengah tahun 1969. Dengan
demikian selain tari Ngremo dalam Ludruk maka terdapat tari Ngremo di luar Ludruk yang
lebih singkat dan padat. Pemadatan yang dilakukan oleh Munali Pattah tersebut selanjutnya
disebarkan melalui institusi kesenian seperti: Sekolah Tinggi kesenian Wilwatikta (STKW)
Surabaya, IKIP (sekarang UNESA), dan SMKI Surabaya (sekarang SMK Negeri 9).
Sampai saat ini berkembang sanggar-sanggar tari menggeluti tari Ngremo ini sebagai
materi pokok pembelajarannya. Sanggar tari yang dominan memanfatkan tari Ngremo
sebagai muatan pembelajarannya adalah Yayasan Bina Tari Jawa Timur, Raff Dance
Company, dan Sanggar Tari Bima Respati.
Selain tari Ngremo Surabayan ini (dengan berbagai variasi pengembangan oleh
institusi kesenian yang ada) telah berkembang pula gaya Ngremo yang lain seperti gaya
Toebi (meskipun relatif sedikit pendukungnya), dan gaya jombangan (Bollet). Masing-
masing gaya dipelajari dan dikembangkan lagi oleh institusi kesenian tersebut sebagai
kekayaan ragam tari Ngremo. Hasil dari Pengembangan di Surabaya ini berdampak pada
perubahan wujud busananya untuk disesuaikan dengan karakter Ngremo Surabayan.
Pembinaan tari Ngremo Surabayan seringkali dilakukan oleh pihak pemerintah
kota. Sebagai kesenian tari yang dijadikan maskot kota Surabaya keberadaannya menjadi
lebih istimewa dibandingkan dengan kesenian lainnya. Sebagai pilar budaya Surabaya tari
Ngremo eksistensinya lebih menonjol. Festival Ngremo, Lomba Ngremo dan pergelaran-
pergelaran tari Ngremo yang khusus dan atau hanya sekedar menyertai sebuah hajatan
pemerintah dan atau masyarakat menjadi semacam keharusan.
Produktivitas Ngremo baru bermunculan dari hasil binaan pemerintah kota ataupun
dari sanggar-sanggar tari yang mendapat fasilitas dari Pemerintah kota. Namun demikian
sekali waktu timbul ketegangan di antara seniman Ngremo ketika dalam sebuah forum
perlombaan. Perhatian penyelenggara atas tari Ngremo binaan lebih diutamakan dari pada
Ngremo bawaan seniman di luar jalur pembinaan. Oleh karena itu Ngremo di luar
pembinaan pemerintah kota seringkali tersisih dari kompetisi.
66

Perbedaan cara pandang tentang ungkapan karakteritik tari Ngremo selalu dijadikan
perdebatan dalam sebuah forum penjurian, dalam diskusi tari Ngremo maupun wacana-
wacana yang lain. Kondisi ini menciptakan ketegangan di antara seniman dari kelompok-
klompok Ngremo. Satu pihak berkehendak mempertahankan karakter Ngremo yang luwes
wirama, wirasa dan wiraga-nya, di pihak lain ingin yang dinamis dari sisi ungkap
geraknya. Ketrampilan fisik, kekuatan otot tubuh, dan bentuk yang sempurna dijadikan
acuan dari kelompok ini. Kelompok-kelompok yang saling berseteru mencapai puncak
ketegangan ketika bertemu dalam sebuah forum lomba dan fetival tari Ngremo. Keduanya
saling berebut mempertahankan idealisasi tentang karakteritik Ngremo yang telah
dibangunnya masing-masing. Seperti ungkapan Tribroto Wibisono dalam sebuah
wawancara, Tribroto (Wawancara, 24 Mei 2004) menyampaikan:
Ngremo itu Luluh gerak dan iramanya sehingga yang penting tidak nampak ada
perasaan tegang baik oleh penari maupun yang menonton).

Dipihak lain seperti pimpinan Sanggar Bima Respati, Sariono (wawancara, 20 April 2004)
mengatakan:
Gerak dalam tari itu utama. Gerak harus tampil kuat dan sempurna bentuk dan
lintasan garisnya sehingga tidak boleh penari mencuri sebagian gerak demi untuk
mengejar seleh (wawancara, 20 April 2004).

Perbedaan cara memahami ungkapan karakteritik Ngremo inilah yang memicu


perelisihan di antara para seniman dan atau para pembina tari Ngremo. Dalam hal ini Juri
seringkali dijadikan tumpuan kesalahan karena dianggap berpihak pada kelompok tertentu.
Kondisi seperti ini secara rutin terjadi dalam setiap penyelenggaraan kegiatan dimaksud di
atas. Kondisi kompetitif itulah yang menciptakan situasi dinamis dalam reproduksi tari
Ngremo. Dengan demikian dinamisasi tari Ngremo merupakan bentuk-bentuk perbaruan
yang dilakukan melalui pelatihan-pelatihan baik oleh pemerintah kota maupun oleh
anggar-sanggar tari di Surabaya.

3.8 Munali Pattah dan Ludruk Radio Republik Indonesia (RRI)


Surabaya
Munali Pattah adalah penari Ngremo Ludruk. Dilahirkan di Sidoarjo tanggal 17
Mei 1924 dari pasangan Pattah dan Sutiah. Pasangan orang tua Munali Pattah tersebut
hidup dalam lingkungan seniman Ludruk (ayahnya adalah tokoh dan guru silat). Sehingga
67

semenjak kecil Munali Pattah sangat akrab dengan kehidupan Ludruk. Banyak
pengalaman, pengetahuan yang sudah didapatkan dari Ludruk. Begitulah, ketika usianya
menginjak angka 14 tahun (1938), munali Pattah bergabung dengan Ludruk Rukun Makno
(wawancara, 2003: Pebruari 13).
Pengalaman yang mula-mula dimiliki adalah sebagai pawestren (travesti --peran
putri yang diperagakan laki-laki--) dalam pertunjukan Ludruk. Atas seleksi tari Ngremo
yang diadakan oleh Ludruk RRI Surabaya pada tahun 1957, Munali Pattah diterima
sebagai penari Ngremo dalam perkumpulan Ludruk RRI Surabaya. Sampai dewasa ini tari
Ngremo Gaya Munali Pattah digunakan sebagai acuan dalam pengembangan tari Jawa
Timur khususnya di Surabaya. Dengan demikian Tari Ngremo Surabaya merupakan hasil
kreativitas yang mata rantainya tidak lepas dari peran Munali Pattah. Kreativitas dari
pribadi seniman yang telah didorong oleh kehidupan politik negara yang kuat pada saat
bersamaan dengan pembentukan tari Ngremo. Dan kreativitas tari Ngremo mendapat
dukungan dan pengikut kuat di wilayah Surabaya dan sekitarnya.
Munali Pattah diangkat menjadi pegawai negeri sipil tahun 1963 dan menari
Ngremo adalah profesi tetap sebagai tulang punggung Ludruk Radio Republik Indonesia
(RRI) Surabaya. Selain sebagai penari, Munali Pattah seringkali menerima peran dalam
Ludruk berkarakter Madura sebagai ciri khasnya. Oleh karena itu dapat diketahui bahwa
tari Ngremo gaya Munali Pattah ini lebih cenderung pada karakter Madura karena tema
kepahlawanan mengambil tokoh pangeran pejuang dari Madura yaitu Cakraningrat.
Namun demikian bahwa tokoh lain seperti Pangeran Situbondo, Sawunggaling tetap
menjadi acuan tema yang mengisi jiwa tari Ngremo Surabaya. Dalam perkembangannya,
tari Ngremo Surabaya lebih termotivasi pada kualitas dan identitas daya ungkap penarinya
yang lebih kental untuk memberikan ciri khas kultur Surabaya. Dengan demikian
semangat kepahlawanan itu menggambarkan secara khas masyarakat Jawa Timur yaitu
tegas, lugas, gagah dan berwibawa.
Munali Pattah sebagai penari Ngremo Ludruk telah diangkat sebagai pegawai
negeri sipil tahun 1960. Pada tahun 1968 bersama dengan Yayasan Pusat Latihan Tari
Tjandra Wilatikta Surabaya bekerja sama untuk menyusun tari Ngremo massal. Yayasan
Pusat Latihan Tari Tjandra Wilatikta Surabaya berdiri tahun 1963 dipimpin oleh Mayor
Moch Said memprakarsai pengembangan tari khas Jawa Timur yang sebelumnya lebih
berorientasi pada seni budaya gaya khas Surakarta. Yayasan ini diawali dengan masuknya
seniman Surakarta seperi Ngaliman, Raden Tumenggung Koesoema Kesawa, A. Tasman,
68

untuk mendukung terselenggarakannya sendratari Harjuno Wiwoho Khas Surakarta di


Surabaya. Oleh Angkatan Muda Cabang Surabaya (Seniman-seniwati muda yang muncul
dari 20 perkumpulan kesenian khas Surakarta yang ada di Surabaya) pergelaran sendratari
sukses dengan gemilang yang kemudian mengantarkan terlahirnya Yayasan Pusat Latihan
Tari Tjandra Wilatikta Surabaya. Selanjutnya Yayasan ini menyiapkan sendratari gaya
khas Jawa Timur (Danoesastro, 1994: 7).
Tari Ngremo hasil gubahan Munali Pattah yang dipergelarkan di Gedung Teater
Prambanan Jawa Tengah merupakan awal dari kerja kreatif Munali Pattah. Penyajiannya
lebih singkat, pola gerak lebih sederhana karena disesuaikan dengan penari yang banyak
untuk mencapai tingkat keseragaman dan kerampakan. Busana berorientasi pada kekayaan
busana khas tradisional Jawa Timur (mengambil pola dari motif candi di Jawa Timur) dan
menghilangkan ciri khas dari Ngremo Ludruk yaitu kidungan. Kerja sama ini merupakan
babak baru bagi Munali Pattah untuk mengembangkan tari Ngremo agar lebih kontekstual.
Namun juga disadari oleh Munali bahwa ada bagian-bagian yang tidak dapat dilakukan
olehnya adalah merubah ciri kepribadian Munali Pattah dalam busana tari Ngremo yang
untuk dipakainya sendiri.
Bersama dengan Institut Keguruan Ilmu Pndidikan (IKIP) Surabaya (sekarang
Unesa) Munali Pattah dipercaya untuk mengajarkan tari Ngremo yang lebih padat.
Kemudian dengan Sekolah Menengah Karawitan Indonesia Surabaya dan lembaga yang
berikutnya adalah Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya. Tari Ngremo
Surabaya yang sekarang ini awal mulanya merupakan hasil pemadatan yang dilakukan
oleh Munali Pattah.
Di Konservatori atau Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) Surabaya
(sekarang SMK 9) Soenarto AS seorang pengajar, pernah pada tahun 1979 belajar tentang
tari Ngremo kepada Munali Pattah. Dalam sebuah wawancara Soenarto AS mengatakan
bahwa tari Ngremo gaya Munali Pattah jelas strukturnya, gagah, tegas pola geraknya,
memiliki keluwesan sehingga memungkinkan untuk dikembangkan lebih lanjut. Pada
tahun berikutnya, setelah sebelumnya menguasai tari Ngremo gaya Munali Pattah,
Soenarto mencoba untuk memodifikasi materi gerak tari yang ada.
Dengan bekal perbendaharaan gerak tari pada tari Topeng Malang, Soenarto
mengubah beberapa repertoar gerak. Gerak tindak lombo pada setiap peralihan repertoar
gerak yang menggunakan tindak lombo diganti dengan labas pada tari Malangan.
Selebihnya adalah memperluas volume dan mempertegas setiap pola gerak, baik pola
69

gerak yang dilakukan pada pola gerak berjalan maupun gerak pada pola gerakan di tempat.
Kesan yang diperolah menurut Soenarto adalah lebih lincah, tegas dan gagah.
Mengacu pada busana tari Ngremo yang perna dikenakan pada pementasan di
panggung Teater Prambanan, Soenarto AS menggali lagi beberapa motif iket kepala dan
rapek untuk dikenakan pada tari Ngremo hasil modifikasinya. Dasar pemikiran sebagai
landasan Soenarto AS untuk melakukan pengembangan tari Ngremo Munali Pattah adalah
bahwa nilai kepahlawana tari Ngremo akan lebih nampak dan dapat dirasakan apabila
dinamisasi pola geraknya mendukung dan secara fisual, atribut yang dikenakan mengacu
pada pendekatan karakter yang tepat. Pada tahun yang sama Soenarto AS dengan Ngremo
modifikasi, bersama Taman Budaya Surabaya berangkat ke Jakarta untuk memenuhi
undangan pementasan di Istana Negara (Soenarto AS, wawancara 2003, 18 April).
Selanjutnya tari Ngremo modifikasi Soenarto AS oleh yang bersangkutan dijadikan materi
pembelajaran di SMKI dan STKW Surabaya.
Satu generasi dengan Munali Pattah yang dapat dikategorikan sebagai penari
Ngremo potensial adalah Toebi dan Kadek. Kedua penari Ngremo tersebut memiliki
kekhususan sendiri-sendiri. Secara struktur masih ada kesamaan dengan Ngremo Munali
Pattah tetapi berbeda dari sisi wilet dan pembawaannya. Keunikan Ngremo Toebi terdapat
pada ketrampilan dalam memainkan sampur dan kerumitan pola geraknya. Sedangkan
Ngremo Kadek nampak pada kemampuan personal Kadek sendiri dalam menafsirkan
karakter. Kemampuan dalam mengintegrasikan berbagai elemen dalam koreografi Ngremo
sehingga nampak sangat personal. Keunikan dari penari-penari Ngremo tersebut sangat
bersifat individual, sulit diikuti oleh orang lain sehingga kurang mendapat dukungan dari
mayarakat.

3.9 Perkembangan Tari Ngremo Surabayan Mutakhir


Angkatan yang lebih muda dari Munali Pattah dapat disebutkan di sini misalnya:
Bolet dari Jombang, Ali Markasan dari Jombang, Soetomo dari Mojokerto, Cattam AR
dari Malang. Beberapa nama tersebut dikenal sebagai model atau gaya yang menunjukkan
identitas daerah dari mana penari tersebut berasal. Bolet misalnya dikenal sebagai penari
Ngremo gaya bolet dari Jombang, Cattam AR dari Malang disebut Ngremo gaya Malangan
dan seterusnya. Masing masing gaya personal tersebut mempunyai keunikan dan
pendukung yang kuat dan tumbuh subur di Surabaya. Dari beberapa gaya tersebut, selain
70

Ngremo Surabayan, Ngremo Bolet dan Ali Markasan lebih nampak mewarnai
perkembangan tari Ngremo secara umum dewasa ini.
Di Surabaya, Tari Ngremo saat ini sudah mengalami perkembangan yang sangat
cepat. Kreativitas seniman-seniman yang lebih muda dari generasi sebelumnya berperan
cukup besar dalam merekayasa bentuk tari Ngremo. Ngremo ‘baru’ muncul merupakan
perpaduan dari berbagai kekuatan dari setiap gaya yang sudah dikenali masyarakat secara
luas. Yang paling mutakhir Ngremo saat ini adalah dikenal dengan istilah Ngremo Jugag.
Tari Ngremo tersebut lahir dan terpublikasi oleh kegiatan seremonial olah raga berskala
internasional SEA GAMES XV tahun 1997 di Jakarta. Lahirnya Ngremo baru tersebut
meskipun tidak merubah struktur yang baku tetapi pemadatan waktu dan vokabuler gerak,
warna baru yang digarap dari perpaduan berbagai kekuatan gaya Ngremo, mengangkat
ngremo terlihat semakin dinamis.
Mulai tahun 1980-an penciptaan Ngremo baru sebenarnya sudah mulai marak.
Kenyataan ini lebih dimotivasi oleh kegiatan pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah
terhadap tari Ngremo. Pembinaan dilakukan untuk kebutuhan lomba tari Ngremo, festival
tari Ngremo dan untuk kebutuhan-kebutuhan acara kenegaraan di tingkat propinsi, di
tingkat kota madya Surabaya dan kota-kota kecamatan di bawah pemerintahan kota
Surabaya.
Seperti juga Tari Ngremo Jugag, tari Ngremo ini merupakan tari Ngremo
kreativitas seniman atas instruksi pemerintah (Periksa gambar: 9). Tarian ini dilahirkan
untuk kebutuhan acara resmi yang diselenggarakan oleh negara, oleh karenanya konstruksi
koreografinya mengikuti keinginan negara. Waktu penyajian lebih pendek, cepat dan
padat, bersifat massal. Komposisi artistik dan formasi keruangan penari lebih diutamakan
di samping tidak merubah struktur koreografi tarinya sendiri.

Tari Ngremo sebagai identitas budaya kota Surabaya terus menerus diupayakan.
Kenyataan ini dapat dicermati dari instruksi sekretaris kota Surabaya untuk
mempersiapkan hari Jadi Kota Surabaya ke 710 yang dilaksanakan pada tahun 2003. Pada
saat mana tari Ngremo massal selalu dijadikan sajian pertama pada acara kebesaran kota
71

9. Tari Ngremo jugag wujud kreatif


seniman dalam pemadatan gerak dan
waktunya, pada awalnya disajikan
untuk kebutuhan menyambut pesta olah
raga Asia Tenggara ke XV di Jakarta
1997

Surabaya. Di kecamatan-
kecamatan yang masih dalam
wilayah Surabaya tidak luput
dari instruksi tersebut. Tari
Ngremo jugag menjadi fokus
dalam kegiatan pembinaan
sehingga terasa sekali Ngremo Jugag merupakan bagian dari sarana pengukuh Surabaya
sebagai Kota Pahlawan.
Merujuk pada petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis Pelatihan Tari Ngremo
Jugag se kota Surabaya, bahwa pelatihan dimaksudkan: (1) untuk meningkatkan sumber
daya manusia SDM guru/pelatih tari Ngremo Jugag untuk mempersiapkan siswa peraga
tari Ngremo jugag massal, (2) mempersiapkan acara tari untuk melengkapi HUT kota
Surabaya ke 710 tahun 2003. Sebagai sasaran dan tujuan dari kegiatan pelatihan adalah
untuk meningkatkan kemampuan dan kesaragaman teknis tari Ngremo jugag dan
tersedianya peraga tari Ngremo jugag massal (Pemkot Surabaya, 2003: April 16).
Pelatihan semacam itu secara rutin diselenggarakan setidaknya setiap tahun sekali
utamanya untuk memperingati hari jadi kota pahlawan. Para pembina pelatihan yang sudah
dipersiapkan oleh pemerintah kota Surabaya mengambil peran penting dalam kegiatan ini.
Pembina dan atau pelatih sudah barang tentu merupakan ciptaan baru oleh kekuasaan
kebudayaan negara. Keberadaannya dimaksudkan untuk tetap memberikan posisi teguh
pada kebenaran estetik yang diciptakan oleh negara yang diwakili oleh seniman organik
dalam kelompok-kelompok pembina seni. Asumsi tentang nilai estetik yang diproduksi
oleh negara memberikan legitimasi bagi estetika tari Ngremo Surabayan dan merupakan
rujukan bagi seniman-seniman tari Ngremo secara umum untuk pelestarian dan
pengembangannya. Oleh karenanya tari Ngremo Surabayan produk-produk pembinaan ini
selalu dipakai sebagai tolok ukur estetika tari Ngremo dan dalam kehidupannya selalu
meramaikan kegiatan budaya tari di Surabaya.
72

BAB IV
MAKNA SIMBOLIK
PADA BENTUK TARI NGREMO SURABAYAN

4.1 Ngremo Surabayan Sebagai Wujud Presentasi Simbolis Sosio Kultural


dan Politik

John Martin mendefinisikan bentuk sebagai berikut:

‘Bentuk organik adalah hubungan elemen-elemen, oleh karena itu suatu yang
ditentukan nasibnya sendiri, identitasnya adalah dikreasi dengan suatu fungsi inheren
yang berasal dari antara operasi unsur-unsur pokok, yang masing-masing sangat
diperlukan hubungannya dengan keutuhan’ (Martin dalam Hawkins, 1990: 114).

Berangkat dari pemahaman bahwa tari adalah ekspresi pengalaman berbudaya, maka
pernyataan John Martin tersebut terdapat dua pengertian bentuk. Secara fisik merupakan
hubungan elemen-elemen pokok dalam tari yang terorganisir secara utuh. Artinya bahwa
bentuk merupakan wujud rangkaian gerak atau pengaturan laku-laku (Ellfeldt, 1977: 15)
yang didukung oleh aspek estetik fisikal lain. Dengan demikian bentuk fisik tari Ngremo
terwujud atas beberapa elemen organik tari sehingga membentuk karakteristik yang khas.
Karakter tersebut terbentuk oleh gerak manusia dengan aspek komposisinya, tata rias, tata
busana, gending sebagai musik pengiring, dan panggung sebagai aspek pertunjukan.
Kedua, pengertian bentuk yang bukan berwujud benda. Bentuk yang dimaksud
adalah hakekat tari yang merupakan makna dari ungkapan. Dalam pengertian yang kedua ini
ditekankan bahwa bentuk bukanlah bendanya tetapi sebagai pengganti simbol yang selalu
menunjukkan di luarnya sendiri, ia menyatakan maksud dari tari dan mengikuti fungsinya.
Bentuk bukanlah barang atau bendanya tetapi ia ada di dalam wujud tari. Bentuk ada di
dalam kesan setelah kita mengamati rangkaian hubungan yang diorganisir secara teratur
dalam satu keutuhan struktur. Bentuk mewujud bersamaan dengan ide, terwadahi dalam
gerak dan elemen-elemen penyertanya.
Ide merupakan isi tari. Isi adalah pokok permasalahan yang diungkapkan dalam suatu
karya (Ellfeldt, 1977: 15). Ide yang menjadi isi karya tari berupa gambaran atau gagasan
pokok dinyatakan melalui simbol-simbol gerak dan aspek lain yang membentuk tari. Ia
merupakan hasil penafsiran seorang seniman terhadap kehidupan lingkungan alam,
73

masyarakat, maupun diri pribadinya. Keadaan lingkungan alam, masyarakat dan diri pribadi
yang terus berubah akan mempengaruhi orientasi nilai. ‘Orientasi nilai sebagai makna
pandangan hidup memberikan difinisi arti kehidupan manusia atau situasi kehidupan
manusia dan memberi wadah dalam menghadapi masalah-masalah dari hari ke hari’
(Suparlan, 1984: 161). Pengertian itu membenarkan bahwa setiap orang atau masyarakat
dalam lingkup sosial budaya tertentu mempunyai orientasi nilai sebagai pandangan hidup.
Tidak bedanya seorang koreografer selalu mempertimbangkan kehadiran nilai-nilai ini
sebagai isi tari yang dianggap baik dalam hidupnya. Tetapi nilai yang hidup dan berkembang
di masyarakat tidak begitu saja diangkat ke dalam wujud karya tari.
‘Dari pihak seniman, tantangannya adalah untuk memberikan penafsiran terhadap
hasil cerapan dari lingkungan, masyarakat dan pribadinya atas kerangka yang telah
ditentukan. Penafsiran inilah yang bisa berubah dari waktu ke waktu, dari pribadi ke pribadi’
(Sedyawati, 1981: 61). Dengan demikian maka alat utama seorang seniman dalam
menghadirkan nilai-nilai dalam karyanya adalah tafsir. Dari kegiatan menafsir seniman
mendapatkan pandangan tentang kondisi lingkungan. Gagasan yang didasari oleh nilai
tersebut merupakan sumber bagi terbentuknya sebuah karya.
Sistem nilai masyarakat Surabaya tidak ubahnya seperti preposisi tersebut dan telah
dijadikan dasar orientasi penciptaan karya seni. Bahwa sistem nilai sosial politik
masyarakatnya dominan menjadi orientasi ide karya seni seniman Ngremo. Sejarah peristiwa
heroik di Surabaya dalam wacana politik mengental dijadikan moto Surabaya sebagai kota
pahlawan. Moto Surabaya sebagai kota pahlawan adalah politik identitas pemerintahan kota.
Tata nilai yang politis ini terintegrasi dengan ideologi kesenian dan hasilnya mendapatkan
penerimaan secara wajar dalam kehidupan membudaya masyarakatnya.
Heroisme merupakan muatan yang paling lekat hadir sebagai inti pokok dari makna
kepahlawanan, kemudian oleh para agen-agen pemerintah terus diwacanakan ke dalam tata
nilai sosial kemasyarakatan. Melalui berbagai kesempatan atau momen-momen penting
seperti dalam peristiwa politik perjuangan, seluruh masyarakat termasuk juga masyarakat
seni Ludruk, Ngremo dikenalkan pada nilai heroisme ini untuk dipahami, dihayati, dan pada
gilirannya menjadi ideologi bersama. Ideologi politik dan kesenian terintegrasi secara
kultural, pada saat mana seniman Ngremo secara wajar menganggap dan menerima nilai
heroisme kepahlawanan militeristik ini menjadi bagian dari ideologinya, terciptalah Ngremo
seperti sekarang ini.
74

Nilai heroik itu pada perkembangan politik berikutnya terus diciptakan untuk
menghadirkan kesan dinamis bagi kepentingan politik kekuasaan di Surabaya. Itulah
sebabnya mengapa agen-agen pemerintah terus mengupayakan agar tari Ngremo yang kental
dengan nilai kepahlawanan dijadikan simbol kota Surabaya dan Jawa Timur karena secara
fungsional tari Ngremo mampu memberikan kembali gelora dan semangat tentang spirit
nasionalisme.

4.2 Karakteristik Tari Ngremo Surabayan

Karakter merupakan cerminan dari kesatuan garap elemen dasar tari yang
membentuk keindahan tari. Pengertian karakter meliputi: 1) konstitusi jasmaniah, yaitu
keadaan jasmaniah secara fisiologi merupakan sifat bawaan sejak lahir. 2) Tipologi karakter
dalam arti temperamen yang merupakan sifat seseorang yang disebabkan latar belakang
keturunan, kondisi emosi yang berpengaruh pada kecepatan bereaksi, kualitas kekuatan
gerak dan kesesuaian dengan suasana hatinya, serta 3) karakter sebagai watak yang
merupakan wujud dari tingkah laku atau tindakan yang sudah mempribadi (Tasman, 1996:
24-26).

Pengertian karakteristik yang dibangun oleh ketiga aspek kemanusiaan tersebut


dalam perspektif tari Ngremo melebur dalam bangunan rasa sebagai suasana dramatik.
Pemahaman karakter yang demikian itu menunjuk pada kualitas yang dipersamakan dengan
kemampuan serapan indra perasa merupakan makna dari rasa keindahan yang terpancar
dalam pencapaian kualitas tari Ngremo. Keindahan rasa yang terpancar dari nilai
kepahlawanan itulah karakter tari Ngremo dapat diidentifikasi.

Tari Ngremo Surabayan sebagai wujud ekspresi nilai-nilai perjuangan lebih


menampakkan sikap tegas, keras, cepat, sigap yang tetap dalam kewaspadaan merupakan
ciri-ciri ungkap yang penting. Sebagaimana terungkap dalam beberapa literatur bahwa ciri
sikap masyarakat Jawa Timur adalah lugas, spontan dalam bertutur kata, cepat dalam
bertindak, mudah marah dan cepat juga redanya. Jawa Timur khususnya Surabaya dalam
sejarah lebih diwarnai oleh peristiwa heroik membentuk masyarakat dengan temperamen
yang keras, tegas, lugas, dan spontan. Kondisi lingkungan itu terangkat keseluruhan dalam
kesenian.
75

Ciri karakteristik yang lain ditampakkan pada pemakaian busana tarinya. Interpretasi
tentang makna pahlawan militeristik menunjuk pada gambaran para pangeran pejuang
karismatik setempat pada masa lampau. Orientasi ini didasari oleh penafsiran bahwa pejuang
adalah seorang satria (Pattah, wawancara 2001, Oktober 13) dan gambaran itu lebih tepat
ditujukan pada tokoh-tokoh pejuang setempat yang sudah melegenda di masyarakat seperti :
Cakraningrat, Untung Suropati, Pangeran Situbondo, Sawunggaling dan para pejuang
karismatik Jawa Timur yang lain.

4.3 Gerak dalam Tari Ngremo Surabayan

Gerak dalam tari diperlukan untuk kebutuhan ekspresi. Oleh karena itu gerak sengaja
dibentuk, ditata, disusun berdasarkan peleburan antara ide rohaniah dan energi. Dalam istilah
yang lain bahwa gerak dalam tari adalah ekspresi simbolis yang dibentuk berdasarkan
maksud-maksud tertentu.

‘Tari dihasilkan dari perpaduan antara gerak lahir dan kekuatan batin. Dengan adanya
harmonisasi antara kekuatan jiwa yang diungkapkan melalui bentuk yang berirama
itulah lahir keindahan’ (Kussudiardjo, 1992: 1-2)

Kekuatan jiwa yang dikehendaki dalam pernyataan Kussudiardjo adalah pengalaman-


pengalaman batiniah seniman selama mengarungi hidup di lingkungannya. Dengan
dukungan berbagai unsur yang melingkupi, gerak yang berjiwa tersusun dalam satu struktur
koreografi.

Tari Ngremo mengacu pada gerakan-gerakan alam seperti: gerakan ayam alas,
gerakan nglandhak. Gerakan yang menirukan tingkah laku prajurit yang sedang perang
dengan perlengkapan senjatanya seperti: ngendewo, lawung, dan variasi-variasi gerak yang
lain. Keadaan ini dapat dipahami karena tari Ngremo pada awal tumbuh dan kembangnya
adalah tari Nglana, yaitu tarian yang menggambarkan pengembaraan seseorang untuk
mencari kematangan kehidupan mentalnya. Pengalaman pengembaraan yang bersifat
material jasmaniah dan mental spiritual selanjutnya tercermin dalam pola tingkah lakunya.
Alam material disapa, diamati, dipelajari, dan dihayati kemudian mendorong tindakan
assimilatif yang melahirkan peniruan-peniruan gerak alam. Sedangkan ide dasar ruhanianya
mengikuti gerak sosial yang terus menerus mengkondisi dalam kehidupan rielnya. Maka
76

tidak dapat dielakkan bahwa wujud tari Ngremo selalu mengikuti ruang dan waktu yang
teerus bergerak. Pada pembentukan awal itu gerak Ngremo terjelmakan dari realitas pada
jamannya yang ditarikan dengan pola ruang yang sempit, dan halus dalam pelaksanaannya.
Orientasi seniman pada waktu itu merujuk pada tokoh Janaka pada pewayangan yang
mempunyai karakteristik lembut dan sifat pengembaraannya (Pattah, wawancara, 2001:
Oktober 13).

Gerakan yang dibentuk melalui peniruan alam ini mendapatkan penghalusan (stilasi)
dan perubahan dari bentuk verbal menjadi gerakan untuk kebutuhan ekspresi tari sehingga
yang hadir kemudian adalah kesan-kesan dari gerakan alam tersebut. Sebagai sebuah
pengalaman pengembaraan, maka gerak dalam tari Ngremo merupakan interpretasi dari
penghayatan terus menerus terhadap lingkungan.

Dalam kehidupan membudaya, ekspresi tari tidak sekedar menyajikan gerakan


keseharian yang bersifat praktis. Gerak yang diwujudkan dalam tari merupakan hasil
kegiatan budaya. Gerak dan kesan gerak tari yang hadir adalah cerminan dari keadaan
lingkungan dari mana tari itu tumbuh. Keadaan ini seperti yang digambarkan oleh Sedyawati
(1981: 53). bahwa :

Seni pertunjukan tradisional di Indonesia berangkat dari kondisi tempat ia tumbuh


dalam lingkungan-lingkungan etnik yang berbeda satu sama lain. Keberlangsungan
dari suatu kesenian akan ditentukan oleh lingkungan-lingkungan etnik seperti dalam
tata cara atau adat yang merupakan hasil kesepakatan bersama secara turun temurun
berkenaan dengan perilaku.

Dalam perspektif ini, tari Ngremo adalah bagian dari kesenian tari Jawa yang secara spesifik
mempunyai kaidah khas tari Jawa. Sehingga standar nilai yang menyangkut rasa
keindahanya ditentukan oleh kaidah tradisi budaya Jawa. Secara garis besar Tari Jawa
menurut Sedyawati digambarkan sebagai berikut:

Tari Jawa pada umumnya ditandai sikap dada yang tegap, langkah yang serba tenang,
dan sangat lekat dengan tanah, gerak lengan dengan variasi arah yang halus tetapi
dengan posisi stabil pada siku, gerak serba halus tertahan berkelanjutan, gerak leher
tertoleh dalam variasi, selendang digunakan untuk memperluas kemungkinan bentuk,
wajah tenang tidak dimainkan (Sedyawati, 1986: 16).

Menurut hemat kami, generalisasi tari Jawa menurut Sedyawati ini masih bersifat
umum, yakni keadaan budaya tari di seluruh wilayah jawa yang meliputi Jawa Tengah, Jawa
77

Barat dan Jawa Timur. Sehingga secara umum pula, tari Jawa menurut konsep Sedyawati ini
bisa dimengerti sebagai konsep umum tentang tari Jawa, karena kalau kita melihat secara
rinci dari masing-masing wilayah budaya tari Jawa masih memiliki ciri unik yang
membedakan dari wilayah Jawa yang lain.

Jawa Timur yang juga wilayah Jawa ada kesamaan dengan pola yang diangkat oleh
Sedyawari tersebut, tetapi ada pula pola yang khusus sifatnya. Terkait dengan tari Ngremo
dapat diamati pada pola gerak yang ada. Bentuk gerak tari Ngremo mempunyai pola-pola
gerak yang menggunakan tenaga yang banyak bertumpu pada kaki dengan variasi pada gerak
tangan. Sedangkan gerakan tubuh (torso) sangat minim dilakukan dan terbatas pada pola
gerak-gerak tertentu seperti gerakan pada lambung. Gerakan-gerakan tangan cenderung
cepat, tegas dan patah-patah, tetap terkendali oleh sikap tubuh (torso) bagian dada yang
tegap dan tenang. Pola gerak pada bagian kepala terlihat lebih dinamis karena pola yang
digunakan adalah cepat dan patah-patah, pandangan atau sorot mata yang tajam. Dapat
dicontohkan di sini adalah gerak iket dan sabetan.

Iket merupakan bentuk gerak penghubung yang menggunakan pola ruang menyempit
dengan garis yang kontras, sedangkan sabetan merupakan pengembangan dari iket
dilanjutkan gerakan kaki dengan penggunaan tekanan tenaga yang cepat dan
berkesinambungan, dikombinasi dengan gerak kaki kanan terangkat dan bergetar. Dengan
demikian bahwa tari Ngremo secara umum mempunyai pola gerak yang bertumpu pada kaki
dengan variasi gerak tangan yang dinamis.

Untuk melihat karakteristik tari Ngremo diperlukan dengan melakukan analisis


gerak, karena ide kepahlawanan disalurkan diantaranya melalui gerak. Dengan demikian
pembahasannya selalu mempertimbangkan gerak-gerak yang hadir dalam tari. Sesuatu yang
penting diperhatikan adalah bahwa gerak dalam tari Ngremo tidak bermakna ikonik
(keterhubungan perilaku gerak dengan makna verbal) semisal ukel karna disejajarhubungkan
dengan sedang mendengar dan sejenisnya. Gambaran tari Ngremo yang secara simbolik
menciptakan kesan gagah akan disajikan dengan menguraian sikap dasar tari yang melandasi
pelaksanaan pola-pola gerak yang penting10.

10
Gerak yang penting di sini dimaksudkan adalah pola vokabuler gerak yang tersusun membentuk satu
kesatuan nama ragam gerak seperti: ragam gerak sabetan, ragam gerak lawung, ragam gerak ayam alas, dan
nama-ragam gerak yang lain.
78

.....dan sikap seseorang tidak terlihat tetapi tetap ada saja perilaku verbal tertentu
yang menunjukkan hal itu. Perilaku yang kelihatan itulah yang dapat
diterangkan.......(Liliweri, 1991:90)

Sikap yang terwujud dalam perilaku verbal pada pembicaraan ini adalah pola-pola tingkah
laku yang terlihat dalam kegiatan menari. Kegiatan menari tidak saja ketika penari
melaksanakan gerak tetapi diam atau kesempatan tidak melaksanakan gerak juga merupakan
kebutuhan dalam tari. Diam atau tidak sedang dalam melaksanakan pola-pola gerak tari
dalam tari Ngremo nampak jelas pada adeg ketika tancep. Tancep yang diam tetap dalam
keadaan membawa emosi tari yang dialiri ide tematik tari Ngremo. Melaksanakan sikap
dasar yang tepat pada tari Ngremo akan mengantarkan pada pelaksanaan pola gerak yang
penting tersebut pada tingkat ekspresi yang utuh yang orientasinya pada nilai kepahlawanan.
Oleh karenanya kesan gagah, berwibawa, mantap, tegas akan selalu tercermin pada
pelaksanaan gerak penting dimaksud.

Pertimbangan pemilihan sikap dasar tari pada tari Ngremo sebagai perabot analisis
didasari oleh suatu asumsi bahwa sikap gagah, wibawa, tegas dan tenang telah dicapai oleh
pelaksanaan seluruh pola ragam gerak yang setelah sebelumnya dibangun terlebih dahulu
oleh sikap dasar tari yang dialiri oleh emosi tari dengan persepsi nilai kepahlawanan yang
heroik. Asumsi tentang kepahlawanan benar-benar telah dicapai dengan baik oleh para
penari Ngremo yang mampu dengan sempurna menghayati nilai-nilai heroisme baik dalam
kenyataan empirik maupun yang tercipta dalam wacana budaya sastra maupun perilaku
budaya pertunjukan.

Pola gerak yang sudah tersusun membentuk nama pola ragam gerak seperti pola
ragam gerak ayam alas, nglandak, nggendewo dan ragam-ragam gerak yang lain karena
secara struktur koreografi ragam-ragam gerak tersebut sudah tersusun mengikuti pola ragam
gerak tema yang lama tidak dijadikan bagian dari analisis. Namun demikian yang perlu
dijelaskan adalah bahwa pelaksanaan sikap dasar tari yang baik membawa perubahan pada
unsur-unsur gerak yang mampu menciptakan rasa gerak dan membentuk karakter baru yaitu
dinamis dan bersemangat. Perubahan unsur-unsur gerak itu yang dapat dimaknai adalah
kekuatan, kecepatan, ketegasan dan kelincahan. Itupun tidak semata-mata diukur dengan
teknik hitungan detik atau scon.
79

Gerak yang lekat dengan ritme gending dapat diukur kedinamisan-nya dengan
perasaan yang berlaku di lingkungannya. Sampai secepat, sekuat, dan selincah apa gerak dan
musiknya hanya dapat dirasakan oleh komunitasnya sendiri yang sudah terbekali oleh ide-
ide tentang semangat dalam wilayah di lingkungannya. Sebagaimana pernyataan Soetomo
seorang pengendang tari Ngremo seperti berikut:

‘Saya tidak berusaha mengganti gending-gending yang ada dan juga tidak
mempercepat irama yang sudah biasa digunakan, karena gending dan irama yang ada
rasanya sudah pas dan enak’ (Soetomo dalam Supadmi 1993: 910).

Pernyataan ‘rasa-nya enak dan pas’ sukar untuk diukur dengan menentukan berapa
scon kecepatan irama gending yang diperdengarkan. Karena rasa dapat dipahami dengan
penghayatan dari komunitas yang tergabung dalam satu budaya Ludruk serta masyarakat
pendukungnya saja yang mampu memberikan pemahaman atas pernyataan itu.

Diskripsi sikap dasar tari yang dijadikan landasan pelaksanaan ragam gerak sangat
diperlukan sebagai bahan analisis karena selain memiliki bentuk, dan bentuk dari sikap dasar
tari itu sendiri perlu diuraikan yang penjelasannya sangat dibutuhkan untuk mengungkap isi
dibalik bentuk itu sendiri. Dengan demikian isi sebagai wujud interpretasi terhadap bentuk
merupakan satu kesatuan makna.

Sikap dasar tari Ngremo yang melandasi pelaksanaan seluruh pola ragam gerak
merupakan komponen dari aspek gerakan pada tari Ngremo yang sangat dominan karena
sikap dasar ini selalu hadir pada seluruh kegiatan menari. Sikap dasar tari ini menjadi jiwa
pada keseluruhan pelaksanaan pola ragam gerak. Oleh karena itu sikap dasar tari Ngremo
yang selanjutnya membawa perubahan-perubahan pada unsur-unsur gerak ini dijadikan
pilihan perangkat analisis untuk melihat dan memahami karakteristik tari Ngremo yang lekat
dengan nilai heroik dan kepahlawanannya.

Gerak sebagai analisis dibutuhkan dan dilakukan pada batas menguraikan pola gerak
terpilih sebagai kelompok dominan, yakni kemungkinan seluruh elemen tubuh memiliki
kesempatan untuk bergerak. Kemudian gerak secara mendasar dihubungkan dengan
interpretasi tari sampai pemahaman kualitas dan dalam hubungannya antar berbagai proses
pencapaian rasa (Adshead, 1988: 12).
80

Gerak sebagai obyek analisis memiliki makna dan karakter pada dirinya sendiri,
maka makna tersebut menuntun peneliti untuk mengamati, menginterpretasi, dan
memberikan penilaian pada suatu tari. Artinya: “tari tidak akan utuh sebagai sebuah kajian
tanpa adanya analisis gerak, tetapi juga tidak akan berarti tanpa keterkaitan dengan konteks
di luar gerak” (Brennan, 1998: 284).

Dipilihnya sikap dasar tari tersebut dipakai untuk melihat kekuatan karakter yang
terbangun dalam tari Ngremo dan untuk melihat perubahan unsur-unsur gerak yang terjadi
ketika sebelum dan sesudah Ngremo mengalami proses pembentukan karakter
kepahlawanan. Dengan dipilihnya sikap dasar tari pada tari Ngremo ini karena seluruh
elemen tubuh telah siap untuk melaksanakan seluruh pola ragam gerak. Seluruh elemen
tubuh yang siap dimanfaatkan untuk melakukan gerakan-gerakan pada tari Ngremo telah
dialiri oleh emosi tari yang terpersepsi dan terinspirasi oleh jiwa yang memuat nilai heroik
dan kepahlawanan. Oleh karena sikap dasar tari Ngremo ini merupakan jiwa dari
pelaksanaan seluruh pola ragam gerak maka selanjutnya dipilih menjadi perangkat analisis.

10. Tancep pada tari


Ngremo ketika penari akan
melantumkan kidungan
(koleksi: Wahyudiyanto, 2004))

Sikap dasar tari


dalam kaitan ini tidak
memiliki pola baku yang
tetap sebagaimana nama
seperti nama-nama ragam
gerak yang sudah ada.
Sikap dasar tari ini hadir
dalam keseluruhan
pembawaan para penari
ketika telah siap melaksanakan tarian Ngremo. Namun demikian bukan berarti tidak bisa
ditunjukkan mana sikap dasar tari pada wujudnya, sikap dasar tari Ngremo masih dapat
dicermati pada setiap komponen gerak maupun bentuk (wujud pembawaan sebagai cerminan
dari sikap menari) yang ada. Sikap dasar tari pada tari Ngremo nampak jelas ketika penari
Ngremo (Ludruk) pada awal memasuki arena pentas. Penari Ngremo berjalan mengelilingi
81

arena pentas dengan pandangan mata yang tajam menyapu ke semua arah. Pergelangan
tangan kiri dipegang tangan kanan (memainkan pols dekker) dan terlihat menahan nafas di
dalam dada. Sikap sebagai seorang yang sedang mempersonifikasikan dirinya seperti para
pangeran imajiner yang digambarkan dalam batin.

Pola yang lain nampak tatkala akan melantunkan kidungan. Pola ketika akan
melantunkan kidungan seperti itu dinamakan sikap tancep. Tancep adalah berdiri tegak
dengan kedua tungkai membuka, pandangan tajam lurus ke depan dan sesekali menyapukan
pandangannya ke arah kiri dan ke kanan (mengamati penonton), pinggang didorong ke
kepan, dada membusung, nafas teratur dan tertahan untuk menciptakan kesan gagah dan
tenang. Dalam analisis sikap dasar ini akan ditunjukkan pada sikap yang disebut dengan
tancep (Periksa gambar 10).

Dari kedudukan sikap dasar tari pada tari Ngremo sebagai pembentuk karakter dari
seluruh karakter gerak yang ada maka perabot analisis ditentukan yaitu sikap dasar tari yang
tercermin dalam bentuk tancep. Proses pembentukan tancep dan perubahan-perubahan
pelaksanan pola gerak setelah ide tari Ngremo berkembang menjadi patriotik secara rinci
dapat digambarkan sebagai berikut (Tabel 4):

Tabel 4

4.3.1 Bentuk Sikap Tancep

Nama Sikap Uraian komponen tubuh

posisi tancep adalah badan tegak, tegap, dada membusung, (mongal),


Tancep pandangan lurus horisontal ke depan. Tungkai kanan dan tungkai kiri
membuka ke samping. Pinggang (boyok) didorongkan ke depan (ndegeg).
Lengan kiri berkacak pinggang. Lengan kanan menjuntai ke samping kanan
bawah sejajar dengan arah tungkai kanan. pergelangan tangan kanan
ditekuk (ekstensi) keluar, jari-jari nyempurit. (periksa gambar 9)
82

4.3.1.1 Bentuk dan Sikap tubuh (torso).

Badan tegak, tegap, dada membusung, adalah sikap dasar menari yang dimiliki oleh
tradisi tari Jawa meskipun pada (tari Jawa Tengah-Surakarta dan Yogyakarta-) rinciannya
dibedakan oleh jenis tarian putra maupun putri, karakter alus maupun gagah. Sikap badan
tersebut merupakan dasar adeg tari Jawa yang dilaksanakan secara ketat. Tetapi sikap tegap,
dada membusung merupakan pengecualian dari sikap dasar tari masing-masing daerah di
Jawa.

Di Jawa Timur (di Malang dan di Madura) mempunyai tradisi tari Topeng, orientasi
tema ataupun ceritanya bersifat istana sentris dengan mengambil isi ceritanya dari siklus
panji dan Mahabarata sama halnya dengan tari tradis Jawa Tengah kraton. Sikap badan tegap
dada membusung tidak seperti pada taria Jawa Tengah yang menahan udara (nafas) sebagai
medium pembentuk sikap gagah. Di Jawa Timur cenderung melepas nafas. Pola, sikap, dan
pelaksanaan geraknya mengarah ke depan dada atau perut, berbeda dengan tari Jawa Tengah
yang cenderung bergerak ke samping.

Pola dan sikap gerak yang cenderung di depan dada atau perut itu menyulitkan
pelaksanaan sikap dada membusung dengan pengisian dan menahan udara atau nafas yang
penuh di dada atau di perut. Pelaksanaan gerak tersebut lebih efektif dengan pengurangan
atau pengosongan nafas, sehingga penggunaan sikap dada yang membusung pada sikap
dasar tarinya tidak kelihatan atau dada membusung pada sikap dasar tari di Jawa Timur tidak
terjadi. Gerak yang cenderung di depan tubuh, kesan gagah yang tampak menjadi sangat
berbeda dari tari Jawa (Surakarta dan Yogyakarta) yang dadanya membusung terbuka,
karena dada membusung membawa dampak udara ke dalam dada. Secara fisik bentunya
kelihatan lebih gagah.

Pada dekade awal tahun 1920 sampai 1930-an, tari Ngremo sejajar dengan keadaan
tari tradisional Jawa Timur secara umum. Meskipun badan sudah tegak tetapi tidak terlihat
dada membusung, karena tangan bergerak di depan tubuh, volume gerak cenderung masih
sempit. Keadaan ini dapat diamati pada sikap, pola, dan bentuk gerak yang terlihat
cenderung di depan tubuh.
83

Sikap dasar tari Ngremo Surabayan yang heroik dan mengandung nilai kepahlawanan
terwujud secara verbal pada bentuk tancep. Bentuk tancep tersebut secara fisik terdapat
kesamaan dengan tancep pada tari gaya Surakarta dan Yogyakarta utamanya tancep pada
karakter putra gagah. Kesamaan bentuk terdapat pada sikap badan tegak, tegap dan dada
membusung (ndegeg). Sikap tersebut merupakan ciri bentuk fisik yang digunakan untuk
mendapatkan kesan: kuat, tegap, gagah, dan berwibawa.

Seperti halnya tari Ngremo sebagai pengejawantahan dari sikap yang kuat, tegap,
gagah, dan berwibawa, merupakan interpretasi dari nilai-nilai kepahlawanan yang heroik.
Nilai-nilai tersebut dicurahkan oleh seniman Ngremo dengan menampilkan secara tubuh
fisik yang kuat, tegap, gagah, dan berwibawa melalui bentuk verbal seperti: badan tegak,
tegap dan dada membusung (mongal) tak beda halnya dengan sikap dasar tari Jawa Tengah
tersebut. Oleh karena itu tidak mustahil apabila sikap bentuk fisik tubuh yang tegak, tegap
dan dada membusung (mongal) yang dibangun pada sikap dasar tari Ngremo (yang dapat
dicermati dalam tancep --diam--) benar-benar dapat dirasakan kesan gagah dan
berwibawanya. Sikap dasar yang telah terbangun dengan kuat ini selanjutnya mendasari pada
pelaksanaan setiap gerak yang ada pada gerak-gerak penting dalam tari Ngremo.

Pembahasan berikutnya kita cermati pada komponen-komponen tubuh yang


mempunyai kesempatan untuk bergerak. Komponen-komponen tubuh yang bergerak
tersebut akan dicermati dari sisi perubahan-perubahannya. Perubahan yang dimaksud adalah
keadaan yang berbeda sebelum dan sesudah komponen-komponen tubuh bergerak
(selanjutnya membentuk pola-pola ragam gerak) ini mengalami perkembangan menjadi ide
kepahlawanan. Perubahan itu terjadi pada perkembangan unsur-unsur gerak, seperti:
pengolahan ruang, tempo dan ritme, dan tekanan-tekanan (penggunaan energi) yang
dilakukan pada ketika penari Ngremo sedang menari di atas pentas.

Komponen tubuh yang mempunyai kesempatan untuk bergerak diuraikan secara rinci
sebagai beriku:

4.3.1.2 Bentuk dan Sikap Gerak Tungkai.

Sikap kedua tungkai membuka ke samping dan dilanjutkan dengan sikap tajak maka
posisi kaki harus mendhak. Bentuk sikap kedua tungkai membuka ke samping mendhak
84

dengan tingkat level rendah yang maksimal adalah sejajar dengan dasar sikap tari Jawa
tengah.

Sikap kedua tungkai membuka dan mendhak untuk pelaksanaan gerak tari putra gagah
meghasilkan kesan gagah dan anteb apabila dilaksanakan dengan benar, yaitu kaki dibuka
lebar ke samping (kangkang), lutut kaki kanan dan lutut kaki kiri ditekuk rendah, tumpuan
tenaga dibagi dan dipusatkan pada kedua paha (tungkai atas) sedikit berat di paha kiri,
pinggang didorong ke depan (ndegek). Sikap adeg tanjak ini menghadirkan kesan kokoh,
gagah dan kuat (Periksa gambar: 11 dan 12). Sikap ini membedakan kesan genit karena
pelaksanaan sikap yang tidak sempurna, yakni tungkai tidak terbuka dengan baik dan
cenderung meringkus.

Tari Ngremo saat ini memiliki


ciri-ciri pada sikap adeg seperti tari
gagah gaya Jawa Tengah yang tegak,
tegap dan dada membusung. Volume
bentuk tungkai dengan sikap mendak
seperti pada tari gagah gaya Jawa
Tengah dengan variasi gerak dengan
volume yang luas menyamping. Dapat
dibandingkan dengan Ngremo masa
awal yang mana sikap kaki masih belum
semaksimal Ngremo sekarang ini. Dasar
gerak dari gerakan tayub (Wibisono,
Kanwil Dep P&K Jatim: 10) yang tidak

11. Tari Ngremo Ludruk yang telah mendapat sentuhan kreatif memperhatikan kesan gagah sehingga
mencapai kesempurnaan ekspresi. (foto koleksi:
Wahyudiyanto, 2004) mendak yang obtimal belum menjadi

orientasi pada Ngremo masa awal. Orientasi bentuk mendak maksimal yang terakhir ini
adalah untuk mendapatkan kesan gagah dan mantap.

Sebagaimana ‘satria’ Gatutkaca yang gagah perkasa, gerakannya trengginas, cepat,


kuat tetapi tidak brangasan, sikapnya tegas tetapi emosinya terkendali. Tari Ngremo
ini seperti satria Gatutkaca tetapi disesuaikan dengan kondisi Jawa Timur. Maka
85

gerakannya sedikit banyak ada unsur pencak silat (Pattah, wawancara, 2003.
Pebruari: 13).

‘Satria’ atau ‘kesatria’ sesungguhnya berarti prajurit. Terdapat dua macam karakter
satria dalam dunia pewayangan, satria dengan temperamen alus dan satria dengan watak
gagah perkasa. Interpretasi atau penafsiran Munali Pattah memilih sikap satria yang gagah
perkasa yakni sikap seorang pejuang, pahlawan nusa dan bangsa, seperti Gatutkaca. Dan
tidak lagi menggunakan tokoh Janaka sebagai lelananging jagad dalam memaknai sikap
pahlawan. Lelananging jagad adalah simbol manusia (lelaki) ideal dalam konsep ‘budaya
Jawa’. Seorang yang tampan rupawan (dikagumi banyak wanita), tampan budi (lemah
lembut dalam kata dan tindakan), unggul dalam ilmu raga dan ilmu batin, memiliki derajad
kebangsawanan bahkan pernah menjadi Raja di kahyangan. Meskipun ke dua satria tersebut
tidak digolongkan menjadi satria utama (seperti dalam Serat Tripama) tetapi memiliki sifat
sebagaimana seorang satria dan kedua tokoh ini lebih akrab di kalangan pecinta pertunjukan
wayang.

12. Tari Ngremo garapan institusi seni lebih


kental dengan penyempurnaan bentuk fisik (
foto koleksi: Wahyudiyanto, 2004)

Sifat menonjol Janaka sebagai


tokoh senapati perang melawan
berbagai bentuk ancaman, gangguan,
dan agresi, menginspirasi banyak
kaum nasionalis Indonesia
mengidolakan tokoh ini. Seperti
Sanusi Pane, sastrawan kelahiran
Muara Sipongi, Tapanuli, Sumatra
Barat yang dekat dengan budaya Jawa
ini menempatkan dan meneladani tokoh Arjuna dalam semangat resistensinya terhadap
kolonialis Belanda. Arjuna sebagai pahlawan model yang mendapat wejangan atau pesan
moral dari Kresna seperti diceritakan dalam Bagawat Gita untuk tetap bersemangat menuju
kancah peperangan. Sanusi Pane yang terpanggil jiwanya untuk berjuang melawan kolonial
Belanda menyalurkan perlawanan melalui puisinya berjudul ‘Arjuna’. Tokoh satria Permadi
86

atau Arjuna yang alus, lemah lembut, tetapi memiliki sifat tangguh dalam berjuang
menegakkan keadilan menginspirasi Sanusi pane seorang sastrawan.

Dalam kerangka tari Ngremo Surabayan, tokoh satria Arjuna ini oleh Munali Pattah
kurang dirasakan heroik karena penampilan gerak tidak cukup keras, cepat dan luas.
Dinamika tari sebagai penggugah emosi pemirsa menghendaki kualitas rasa yang dihadirkan
oleh visualisasi gerak fisik yang cepat, tegas, keras dengan volume gerak yang luas.

Munali Pattah yang akrab dengan institusi militer dan penari Ngremo yang lain lebih
memandang perjuangan bersifat militersistik lebih setara pada penampakan sifat
kepahlawanan yang gagah dan tegas. Oleh karena itu tokoh Arjuna sebagai orientasi awal
tari Ngremo berkembang menjadi gagah perkasa dengan memandang tokoh Gatutkaca
sebagai sarana reinterpretasi nilai kepahlawanan yang lebih sesuai dengan semangat
militeristik. Seniman Ngremo merasa lebih tepat apabila satria Gatutkaca yang lekat dengan
sikap dan pola gerak gagah (dalam tari Jawa Tengah) diadopsi untuk menyalurkan ide
semangat perjuangan meskipun masih diperlukan penyesuaian karakter dan dinamika khas
Jawa Timur.

Gerak mengangkat kaki


tinggi-tinggi (periksa gambar: 13)
juga tidak lazim dilakukan pada
masa tari Ngremo masa
sebelumnya dan tari Ngermo gaya
yang lain. Tari Ngremo
sebagaimana kesenian tari rakyat
pada umumnya, tidak
menggunakan gerak mengangkat
kaki sebagai suatu pola fokabuler
yang penting. Gerakan ini lazim
digunakan untuk tari-tari keraton

13. Gerakan angkat kaki tinggi-tinggi pada ragam gerak


(Surakarta dan Jogyakarta) jenis
sabetan. (foto koleksi: Wahyudiyanto, 2004) putra gagah, untuk penggambaran
masyarakat di sekitar lingkungan
87

kerajaan, seperti: raja, para punggawa raja, para satria kerajaan, dan para bangsawan
(penguasa) kerajaan yang lain. Sebagaimana perkembangan berikutnya, karena orientasi tata
nilai yang di adopsi sebagai ide tari Ngremo berubah, maka orientasi gerak juga ikut berubah
menyesuaikan karakter dan penggambaran tokohnya.

Gerakan berjalan sebagai penghubung maupun sebagai pola baku ragam gerak
memanfaatkan gerakan labas ( berjalan berjingkat) pada tari topeng malang. Ngremo pada
awal perkembangannya tidak menggunakakn gerak labas tari topeng malang ini, tetapi jalan
santai tanpa ada tekanan-tekanan tertentu pada gerakan kaki. Labas lebih mementingkan
kesan hentakan kaki ke tanah atau lantai untuk memberikan aksentuasi tenaga dan untuk
menghasilkan ketertiban langkah kesesuaiannya dengan pola irama secara keseluruhan.
Gerak labas tari Topeng Malang ini kemudian diadopsi tari Ngremo untuk membantu
menciptakan dinamisasi gerak dan irama.

4.3.1.3 Bentuk dan Sikap Gerak Lengan dan Tangan.

Sebagian besar pola dan pelaksanaan gerak tangan pada tari Ngemo Surabayan
menggunakan atau menciptakan ruang dan kesan gerak yang menyamping. Kalau terdapat
proses pelaksanaan gerak yang menggunakan ruang di depan tubuh, pada akhir pelaksanaan
pola ragam gerak selalu berakhir dengan sikap garis tubuh dan volume ruang yang luas
menyamping (lihat lampiran diskripsi gerak Ngremo). Pola gerak menyamping ini
memungkinkan dada kelihatan menonjol ke depan (mongal atau membusung). Keleluasaan
gerak tangan ke samping kiri dan kanan tubuh dengan pola-pola ruang gerak yang
membentuk garis lengkung, nampak sikap badan dengan kesan tegap dan gagah. Sikap dan
gerak tangan ke samping kanan kiri tubuh ini lazim bagi sikap dan gerak lengan untuk tari
Jawa Tengah dan tidak begitu nampak bagi tari Malang atau tari Topeng Madura kecuali
pada sikap tancep. Sebagaimana di sebutkan sebelumnya bahwa orientasi sikap gagah pada
tari Ngremo lebih menunjuk pada karakter satria gagah perkasa khas Jawa Tengah. Orientasi
ini berlanjut pada penggunaan dan pelaksanaan pada pola gerakan-gerakan tangan. Sebagai
ciri khas pada pola gerak tangan adalah gerakan silat yang cenderung cepat, patah-patah,
tetapi masih memiliki sifat tenang.
88

4.3.1.4 Bentuk dan Sikap Gerak Leher dan Kepala.

Pada bagian ini meliputi gerak leher atau pacak gulu dan pandangan mata atau
pandengan. Pada gerak leher pada prinsipnya ada dua macam bentuk. Pertama adalah gerak
leher yang disebut godheg yaitu gerak melingkar satu putaran penuh atau setengah lingkaran.
Gerak leher (godheg) satu lingkaran penuh dimulai dari arak hadap muka ke depan, diputar
ke kiri atau ke kanan satu lingkaran penuh dan berakhir kembali pada arah hadap semula.
Gerak leher setengah lingkaran dimulai dari arah hadap ke depan diputar ke kiri atau ke
kanan, berhenti pada pandangan muka ke kiri atau ke kanan, atau sebaliknya dimulai dari
arah hadap muka dari samping kiri atau kanan kemudian leher diputar kekanan atau ke kiri
sehingga wajah menghadap ke depan. Gerakan ini dilakukan untuk melengkapi ragam gerak
sebelumnya menambah penegasan karakter ragam gerak tersebut.

Ke dua adalah gerak kepala patah-patah, yaitu wajah menghadap ke depan dan
kepala direbahkan ke samping kanan dan samping kiri secara bergantian yang dilakukan
dengan cara hentakan sehingga menghasilkan gerak Patah-Patah. Gerakan kepala patah-
patah ini dilakukan tatkala pada pola bentuk gerak tertentu tidak digerakkan atau dalam
posisi diam kecuali gongseng yang terus bergerak bersamaan dengan kepala tersebut. Pola
gerak ini menghadirkan sikap gagah, tenang tetapi tetap dinamis.

Pandengan atau pandangan mata secara umum mengarah ke garis horisontal. Yaitu
ke arah depan, sudut depan kanan atau kiri, dan ke arah samping kanan atau samping kiri.
Sekali-sekali menundukkan pandangan ke arah depan bawah untuk menambah variasi
ekspresi muka. Variasai ekspresi muka ini memberikan imbangan kepada gerakan-gerakan
anggota tubuh yang lain sehingga secara keseluruhan tari Ngremo tampak ekspresif dan
dinamis. Lebih-lebih pandangan mata yang tajam dengan ekspresi muka yang mengeras
dapat menghunjam ke dalam jiwa setiap pemirsa mampu membawa imajinasi penonton pada
hayatannya. Ekspresi pandangan mata tari Ngremo ini berbeda dengan ekspresi pandangan
mata tari Jawa Tengahan yang cenderung ke dalam.

Semua harapan dan tujuan untuk mencapai kesan rasa gerak yang selaras, dan
penggambaran karakter yang diinginkan dilakukan dengan berbagai cara dan motif serta
tujuannya. Misalnya dengan cara perubahan pelaksanaan tempo gerak, aksentuasi tenaga
yang menghasilkan gerak patah-patah, dan volume yang luas. Kecepatan gerak merupakan
89

perkembangan penting dari gerak tari Ngremo ini. Sebagaimana dikehendaki oleh sifat tegas
dalam mengambil keputusan, wibawa dalam penampilan dan cepat dalam bertindak, maka
gerak tari ngremo pelaksanaannya berkembang dari lemah gemulai menjadi cepat, luas,
keras dan lebih bersemangat. Kebutuhan itu diperlukan untuk mendapatkan kesan-kesan
heroik.

Atas dasar analisis aspek karakter dan gerak dapat dipahami bahwa kesatria sebagai
rujukan karakter oleh seniman tari Ngremo diwujudkan secara kinestetik melalui gerak.
Kesatria sebagai konsep secara empiris didapatkan oleh seniman melalui kegiatan
pertunjukan-pertunjukan di dalam instansi militer, sikap dasar dan pola gerak terinspirasi
oleh sikap dasar tari pada tari Jawa Tengah (Surakarta dan Yogyakarta), sedangkan
persepsinya lebih banyak terinspirasi oleh karakter gagah pada satria dalam dunia
pewayangan, dan cerita rakyat yang berkait dengan perjuangan. Keadaan karakter dan gerak
pada tari Ngremo Surabayan ini tidak ditemukan pada tari Ngremo Jombang, Malang atau
gaya personal daerah lain.

4.4 Tata Rias dan Tata Busana dalam Tari Ngremo

Kebiasaan dalam tari tradisi, unsur-unsur fisual sebagai pendukung terwujudnya


maksud dari tema tari dipikirkan secara rinci dan cermat. Tata rias dan busana misalnya
menjadi bagian penting dan harus diusahakan pengadaannya. Sebagai perwujudan karakter,
maka penampakan secara fisik menjadi perhatian yang khusus. Dalam kaidah Jawa dikenal
istilah mungguh yaitu kesatuan bentuk dan isi-nya. Lebih jelasnya:

‘Kemungguhan dapat diartikan sebagai ketepatan wujud tari, wujud kesatuan tari,
wujud yang dijelmakan oleh penari dalam sajian tarinya. Wujud tari itu bukan hanya
mengenai bentuk (tangguh dan bleger) tubuh belaka. Demikian juga kemungguhan
bukan semata-mata ketepatan wujud kesatuan tari yang timbul dari bentuk (bleger)
tubuh yang ditarikan penari belaka, melainkan yang timbul dari kesatuan unsur-unsur
gerak dan bentuk tubuh dan unsur-unsur penunjangnya, seperti: tata rias, tata busana,
tata iringan, tata panggung (setting, dekorasi, dan lain-lain), dan tata cahaya’
(Humardani, 1991: 31)

“Bentuk (bleger) tubuh memang merupakan salah satu unsur penunjang penting
kemungguhan tari, tetapi sama sekali tidak berarti bahwa bentuk (bleger) tubuh itu
merupakan satu-satunya unsur yang menentukan kemungguhan tari. Gerak tari atau gerak
tubuh yang ditarikan merupakan unsur lain yang tidak kurang pentingnya, bahkan dalam tari
90

dapat lebih penting, karena tari pada hakekatnya adalah gerak tubuh yang indah. Demikian
pula dengan tata busanan juga dapat membantu kemungguhan”, (Humardani, 1991: 31).

‘Silang jenis’ yang berhubungan dengan mungguh, dijelaskan:

‘Jika hendak disajikan tari yang mengungkapkan sifat dan karakter tokoh pria, pada
hakekatnya tidak harus dilakukan oleh penari pria, melainkan oleh seorang penari
yang mampu mewujudkan sifat dan karakter tokoh tersebut melalui tarinya’ .
Humardani (1991: 32)

Dasar pemikiran ini membenarkan bahwa tari Ngremo dapat juga ditampilkan oleh penari
putri dengan keberhasilan yang baik mengenai perwujudan karakter yang diinginkan dalam
tari Ngremo sendiri. Sudah lazim dilakukan, penari putri dengan berhasil menarikan tari
Ngremo putra. Demikian juga penari putra yang berhasil menarikan tokoh putri. Keadaan
silang jenis sebagai konsep kemungguhan tari seperti ini terdapat juga di lingkungan
kelompok-kelompok kesenian tari seperti Topeng Dhalang di Malang, di Madura dan di
Situbondo (Topeng Kerte).

Tata rias dan tata busana merupakan faktor


pendukung terwujudnya kemungguhan tari.
Dalam kaitan ini tari Ngremo merupakan
jenis tarian tradisional yang selalu
mengindahkan perwujudan karakter khas
sebagaimana dikehendaki oleh tema tarinya.
Tata rias dan tata busana terlihat sangat
menonjol penampakanya. Munali Pattah
mengatakan:

‘Rias dan busana tarinya tidak saya rubah,


dari dulu ya begitu. Ada dua model rias
busana, model Sawunggalingan dan model
Cakraningratan’ (Wawancara, 2001, 13 Mei).

14. Ciri busana khas Munali Pattah (koleksi


Munali Pattah, 1993)
Pernyataan tersebut dapat dijelaskan
bahwa Munali Pattah memiliki busana
Ngremo khas yang tidak dikenakan oleh penari Ngremo lain. .(Periksa gambar: 14).
91

Secara garis besar disebutkan bahwa tata rias dan tata busana tari Ngremo terdapat
dua bentuk perwujudan karakter. Tari Ngremo untuk mewujudkan karakter Sawunggaling
dan tari Ngremo untuk mewujudkan karakter Cakraningrat. Kedua tokoh yang sudah
melegenda di wilayah Surabaya khususnya dan Jawa Timur pada umumnya dipakai sebagai
orientasi tema tari Ngremo. Dalam cerita-cerita Ludruk kedua tokoh ini seringkali hadir
dalam pertunjukannya, utamanya periode setelah kemerdekaan sampai tahun 1980-an.
Menjadi wajar apabila masyarakat cukup kenal dan bahkan akrab dengan kedua tokoh ini
sampai pada pemahaman karakternya, sehingga suatu ketika penampakan tari Ngremo yang
tidak sesuai dengan karakter kedua tokoh ini mendapat tanggapan kritis secara langsung dari
komunitas seni pertunjukan tradisional Jawa Timur ini.

Secara tradisional bentuk fisik kedua tokoh tersebut didekati serinci mungkin untuk
mendapatkan ciri dan karakter yang khas. Sebagai perwujudan tokoh, tata rias dan tata
busana tersebut adalah sarana untuk mengidentifikasi diri, di mana penari mendapatkan
gambaran wujud untuk mengimajinasikan figur tokoh yang sedang diekspresikan.
Selebihnya adalah untuk menunjukkan kejelasan garis-garis kontur wajah. Dengan demikian
penonton akan lebih jelas melihat wajah penari dari jarak yang relatif jauh. Namun pada
prinsipnya penggunaan bahan untuk menciptakan kesan tokoh karakteristik tersebut sama,
hanya goresan untuk menimbulkan kesan yang membedakannya. Penampakan wujud
imajiner wajah kedua tokoh tersebut dapat diamati pada bentuk tata rias sebagai berikut:

4.4.1 Tata Rias Bentuk Sawunggalingan.

Tokoh Sawunggaling digambarkan relatif masih muda sehingga penampakan wajah


kelihatan cerah dan bersih. Alis mblarak yaitu kecil dan tegas, mata tajam dan masih
bersinar-sinar. Untuk mendapatkan kesannya, shadow warna coklat muda dioleskan di sudut
mata sebagai bayangan. Garis mata menggunakan eye liner untuk menampakkan garis kecil
yang tipis. Godeg kecil sejajar dengan mata telinga, warna hitam. Rose (pemerah pipi) merah
muda dioleskan tipis di pipi bagian atas tidak terlalu melebar. Kumis coretan kecil (lemet)
dan bibir menggunakan lipstick warna merah muda. Visualisasinya nampak seperti pada
gambar 15.
92

4.4.2 Tata Rias Bentuk Cakraningratan.

Yang membedakan kedua tokoh tersebut adalah tingkat usia dan tempat tokoh
berasal. Sawunggaling dari Surabaya dan Cakraningrat dari Madura. Tokoh dari Madura ini
digambarkan lebih keras. Penampakan wajahnya diwujudkan dengan goresan rias lebih tebal
dan tajam. Alis Mangot (lebih tebal dari Sawunggaling), rose pipi lebih merah dan tebal,
godheg rangkap sampai pada jenggot (jambang), kumis lebih tebal dan kadang
menggunakan kumis palsu (terbuat dari rambut yang dibentuk menyerupai kumis).

15. Tata rias tari Ngremo Sawunggalingan 16. Tata rias tari Ngremo Cakraningratan
(koleksi: Wahyudiyanto 2004) (koleksi: Wahyudiyanto 2004)

Bayangan mata menggunakan shadow gelap, menggunakan celak, dan lipstick lebih
merah dan tebal. Visualisasi ini diusahakan untuk mendapatkan kesan karakter yang
dewasa, matang, tegas, keras tetapi sedikit lebih tua (hidajat, 1994: 89). Visualisasinya
sebagaimana dapat dilihat pada gambar 16.

4.4.3 Tata Busana Sawunggalingan.


Usia relatif lebih muda digambarkan dengan stamina fisik dan emosi yang masih
dominan bergelora. Penampakan bentuk fisik masih sehat, berotot, ditampakkan dengan
tanpa menggunakan kemeja (ngligo). Tutup kepala kemplengan (tanpa penutup rambut)
93

yaitu iket atau udeng dilingkarkan di kepala dengan tali menjulang ke atas (ditampilkan di
kepala bagian belakang). Biasa juga memakai selempang dari jenis kain bludru warna hitam
atau merah dengan ornamen bunga atau daun-daunan dari mote atau flasmen. Slempang di
kenakan pada bahu kanan melingkar ke pinggang bawah kiri memutar ke punggung dan
bertemu di bahu kanan belakang. Memakai celana panji dari jenis kain bludru warna hitam
atau merah (panjangnya sampai di bawah lutut).

Kain jarit (umumnya parang barong warna putih) dengan lipatan wiru di bagian
tengah dibentuk seperti dasi atau kupu tarung kemudian diikat dengan stagen melilit di
luarnya disusuli dengan epek timang. Untuk menambah kesan mewah dan gagah disisipi
ricikan boro samir dipasang di paha kanan dan kiri, serta kalung penaggalan. Keris bentuk
ladrangan diselipkan di pinggang kanan belakang yang di bagian ladrangan diikati sampur
atau rangkaian bunga melati menjuntai ke bawah. Memakai pols dekker dan atau gelang
dikenakan melingkar di kedua pergelangan tangan. Sampur warna merah atau putih
diikatkan di epek bagian pinggang kiri, dan kanan dilingkarkan ke belakang, sampur
menjuntai ke bawah. Secara fisual dapat dicermati pada gambar 17 dan 18.

17 .Busana tari Ngremo Sawunggalingan 18. Busana tari Ngremo Sawunggalingan


(koleksi: Wahyudiyanto 2004) (koleksi: Munali Pattah 1985)
94

4.4.4 Tata Busana Cakraningratan.

Selisih dari busana Sawunggalingan adalah bahwa busana Cakraningratan


mengenakan kemeja warna putih kain jenis saten atau kain jenis bludru warna hitam. Tutup
kepala menggunakan bentuk tutup liwet yaitu rambut bagian atas tertutup rapat dengan tali
menjulang ke atas ditempatkan di kepala bagian belakang. Mengenakan giwang di telinga
kiri. Selebihnya sama dengan busana Sawunggalingan. Pemakaian kemeja menambah kesan
kematangan dan kedewasaan. Pada busana Cakraningratan ini dilengkapi dengan
menggunakan tiruan rompi dan Ther yaitu di pundaknya menyandang tiruan bentuk
kepangkatan pembesar militer tentara kerajaan Belanda di Indonesia masa kolonial. (gambar:
13 dan 18).

Munculnya kreasi-kreasi dengan penambahan dan atau penggantian disain, warna


atribut-atribut sebagai upaya untuk semakin mendekatkan pada etnik Jawa Timur mulai
dilakukan ketika Pusat Latihan Candra Wilatikta pertama kali menampilkan tari Ngremo.
Melalui pendekatan sejarah, kelompok baru penggiat kesenian tari itu menjelajahi
khasanah busana khas Jawa Timur. Melalui pencarian literatur dengan mendatangi candi-
candi yang ada di Jawa Timur utamanya Candi Penataran ditemukan beberapa atribut seperti
rapek ( kain bersulam bentuk
setengah lingkaran memanjang
diikatkan menutupi bagian depan
bawah pusat) yang lazim dikenakan
pada Topeng Dalang (Malang)
(Sunarto AS, wawancara, 2003: 18
April). (Periksa gambar: 19)

19. Pengembangan busana Tari Ngremo


Cakraningratan yang dimulai akhir tahun
1960-an (repro koleksi: Dinas Pariwisata
Jawa Timur 1989)

Busana yang nampak pada


gambar 19 merupakan rintisan yang
dimulai oleh Yayasan Pusat
Latihan Candra Wilatikta tahun
95

1960-an. Pengembangan busana tari Ngremo tersebut berorientasi pada busana yang
dianggap sebagai busana khas Jawa Timur. Usaha pencarian khasanah busana Jawa Timur
tersebut dapat dikenali pada candi-candi di Jawa Timur. Sebagai bentuk yang nampak
seperti pada gambar 19 tersebut adalah bentuk yang disempurnakan merupakan kebijakan
dari Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Timur. Pada tanggal 20 Mei tahun 1978 adalah hari
peresmian Taman Budaya Jawa Timur yang membutuhkan kehadiran tari Ngremo secara
kolosal. Bidang Kesenian mengintroksikan penggarapan tari Ngremo melalui unsur gerak
yakni 1) pemadatan gerak (yang relatif panjang untuk diperpendek), 2) penyeragaman tari
Ngremo dan busana khas prajurit yang diambil dari khas busana ningrat (bangsawan
kerajaan Jawa) dari tokoh Madura yakni Cakraningrat (Soetrisno R. dan Mudjiono,
wawancara Mei 2005: 14)

Memperhatikan dengan seksama busana tari Ngremo ini, seperti dikenalkan tokoh
Sawunggaling dan Cakraningrat meskipun bersifat imajinatif. Dengan penggambaran
karakter tokoh bangsawan itu kita seperti diingatkan kembali untuk mengenang peristiwa
masa lampau yang kompleks. Setidaknya ingatan kita diajak kembali memasuki tahun 1920-
an. Pada masa itu tari Ngremo merupakan bentuk tarian yang terbilang sederhana.
Selanjutnya berorientasi pada status sosial dari budaya priyayi setelah sebelumnya juga
menunjukkan sebuah identitas muslim. Pengaruh Tayub pada dasar gerak, hadrah,
solawatan, kuntulan, pada busana juga masuk di dalamnya. Sungguhpun pengaruh budaya
Islam tidak dapat membangun kesatuan dasar yang cukup kuat tetapi budaya priyayi Jawa
terasa kental. Kedudukan priyayi khususnya di Jawa Timur merupakan simbol prestisius.
Seringkali orang dari kalangan rakyat kebanyakan ingin mencapai status tersebut, setidaknya
mereka mengidamkan sebagai pamong praja, atau guru sekolah.

Orientasi status ke-priyayi-an selanjutnya telah mengalami pergeseran karena tidak


lagi ditumbuhkan dari ikatan darah biru.

Tadinya golongan priyayi itu adalah kurang lebih ‘bangsawan’ aristrokrasi yang
dekat hubungannya dengan raja-raja Jawa. Secara harfiyah priyayi atau para yayi
adalah ‘adik’raja dan pada prinsipnya tinggi rendahnya prestise mereka tergantung
pada jauh dekatnya hubungan kekerabatan mereka dengan raja (Danys Lombard,
1996: 104).

Kedudukan kelompok sosial ini merupakan semacam perantara, penghubung antara raja dan
rakyat. Mereka menjadi bupati-bupati yang berkuasa dan mengabdi pada raja yang
96

mengangkatnya. Setelah terjadi perang antar raja-raja untuk saling menaklukkan dan
memperebutkan wilayah kekuasaan utamanya pada perang Jawa (1825-1830) yang sangat
besar, Belanda mengambil keuntungan dengan membina hubungan baik dengan mengangkat
mereka menjadi pembantu yang setia. Tersekutukan oleh keuntungan-keuntungan yang
mereka petik dari cultuurstelsel, para priyayi ini akhirnya menjadi pendukung kepentingan
Belanda. Sebagai imbalan tertinggi, mereka diperkenankan sampai batas tertentu ikut serta
dalam kebudayaan para penakluk mereka.

Pada paruh kedua sampai dasa warsa terakhir abad 19 ketika pemerintah kolonial
harus memperkuat administrasi negeri jajahannya, dengan sendirinya mereka mengangkat
pegawai-pegawai baru dari kalangan ‘bangsawan’ tua itu. Bagi para priyayi ini mengabdi
ratu Belanda menjadi kehormatan tertinggi sebagaimana dahulu mengabdi pada Susuhunan
yang merupakan kehormatan tertinggi bagi nenek moyang mereka, dan kedudukan
merekapun dikaitkan kembali pada suatu struktur herarki birokratis sebagai pejabat
pemerintah atau ‘pangreh praja’. Sekolah-sekolah Belanda didirikan karena pendidikan
tradisional para priyayi sudah tidak memadai lagi untuk mempersiapkan calon-calon bupati.
Sekolah ini disediakan hanya bagi putra-putra para kepala, agar mereka dapat mengetahui
sebagian kecil dari pengetahuan Barat. Jumlah sekolah sangat kecil tetapi secara keseluruhan
dapat membentuk golongan ‘elite’ Jawa awal abad 20 yang sebagian besar berasal dari
kalangan priyayi abad sebelumnya.

Dari sinilah tampak persinggungan budaya baru. Pembaratan atas para priyayi
nampak terjadi pada bagaimana cara bersikap, berbahasa dan berpakaian. Utamanya pada
cara berpakaian nampak sekali pembaratannya (gambar 19). Pengangkatan raja baru sampai
dengan para bupati-bupati mengenakan busana yang merupakan perpaduan busana khas
bangsawan Eropa dan bangsawan Jawa. Berbusana dengan cara baru tersebut diteruskan dan
semakin disempurnakan kekhasannya sampai pada masa-masa berikutnya.

Setelah kemerdekaan, sebagai kelompok tersendiri yang berpranata khusus sebagai


priyayi sebenarnya sudah tidak ada lagi. Gelar ningrat dalam porsi kedudukan sudah resmi
dihapus dan sistem administrasi kolonial seperti dulu pun tidak ada lagi kendati demikian
moral priyayi yang terbentuk dari konformisme Jawa dan disiplin Barat tetap berlaku
menonjol dan bersinar ke segala arah walaupun tidak dapat lagi dibicarakan pada perspektif
‘bangsawan’ pada abad sebelumnya.
97

Masa kolonial telah membuat konstruksi sosial baru yakni konstrusi sosial priyayi
yang lebih berorientasi pada tingkat pendidikan dan status kepegawaian seseorang,
umumnya sebagai pegawai pemerintah kolonial. Ketika Pemerintahan kolonial Belanda
mempekerjakan kaum Priyayi ini sebagai instrumen administrasi kekuasaannya. Pengertian
priyayi meluas termasuk orang kebanyakan yang ditarik ke dalam birokrasi akibat
persediaan aristokrasi asli sudah habis (Geertz, 1983: 308).

Orientasi baru pada status sosial priyayi inilah yang selalu didambakan oleh
masyarakat kendatipun masyarakat kebanyakan sekalipun. Kondisi ini berpengaruh kuat
pada ungkapan-ungkapan dalam pertunjukan ludruk dan penampilan tari Ngremo.
Penampilan sebagai figur yang santun dan lembut. Penghormatan dilanjutkan tidak hanya
salam kepada penonton Ludruk, tetapi sebuah sikap santun dalam menghormati tamu yang
datang untuk melihat penampilan prestisius sebagai seorang yang memiliki status ke-priyayi-
an.

20. Pembaratan busana. Potret Hamengku


Buwana VIII (1921-1939) dalam seragam
militer (prajuritan) Belanda satu pihak
digunakan jas ketat, kaus kaki dan celana,
serta lencana dan di lain pihak penutup
kepala, kain (dengan motif parang rusak),
keris dan peralatan menyisir (khas jawa)
(poto repro: Denys Lombard)

Situasi ini yang kemudian


Ngremo membuka diri dengan
mengadopsi atribut yang melekat
pada priyayi Jawa, misalnya:
pemakaian kain jenis ragam hias
parang, sembagen, garuda ageng
adalah jenis kain yang khusus
digunakan oleh penguasa, putra
mahkota dan permaisuri raja (Giari,
2003: 25). Begitu juga keris,
blangkon (iket) adalah busana khas
para priyayi Jawa. Adapun anting-anting –giwang-- (suweng) yang lazim digunakan oleh
priyayi Madura. Maka tidak mengherankan adanya kidungan bahasa Madura alus dan
98

giwang menunjukkan orientasi status kebangsawanan, karena dalam penjajahan Belanda


peran para Bupati Madura sangat menonjol dalam mengadakan perlawanan terhadap
Belanda. Kehadiran bentuk tari Ngremo dengan busana Cakraningratan merupakan sebuah
pernyataan yang lebih berorientasi pada priyayi, status kebangsawanan yang tetap berpihak
pada bangsanya. Begitu juga Sawunggaling merupakan wujud orientasi pada pahlawan muda
berasal dari desa mewakili semangat pemuda rakyat dalam perjuangan.

4.5. Aspek Musikal pada Tari Ngremo Surabayan


Aspek musikal, seperti juga tata rias dan tata busana merupakan unsur penunjang
kemungguhan tari. Meskipun kedudukannya sebagai penunjang, sebagaimana kelaziman
tarian tradisional pada umumnya, kehadiran aspek musikal ini tidak dapat diabaikan. Antara
gerak dan aspek musikal dirasakan sangat lekat membentuk keutuhan rasa tari. Sebagaimana
kedudukan Ngremo dalam budaya tari Jawa Timuran, maka aspek musikal yang menyertai
adalah dari jenis musik tradisional khas karawitan ‘Jawa Timuran’. Istilah Jawa Timuran ini
merujuk pada suatu corak jenis karawitan yang tumbuh di daerah sekitar Surabaya,
Mojokerto dan Jombang (Issatriadi dkk, 1986: 162), Malang, dan Kertosono (Munardi, : 1).
Apabila disandingkan dengan karawitan Jawa Tengahan maka yang menjadi ciri khas
karawitan Jawa Timuran terletak pada pola penabuhan bonang babok dan bonang penerus,
saron peking dan kendhang yang sangat menonjol.
Lebih lanjut melihat kaitan aspek musikal dalam tari Ngremo akan dibicarakan unsur
musikal yang terdiri dari instrumen dan lagu. Instrumen (alat musik) dalam Karawitan Jawa
Timuran meliputi beragam jenis alat-alat musik yang digunakan untuk menunjang
terselenggaranya permainan orkestra dalam mengiringi tari Ngremo. Untuk mengetahui lebih
dalam unsur-unsur musik dalam karawitan Jawa Timuran yang perlu diketahui adalah
kelompok alat musik yang digunakan, dan bagaimana peranan alat musik tersebut dalam
lagu. Sedangkan unsur lagu, akan disinggung tentang melodi lagu dan teks yang
dinyanyikan dalam lagu tersebut. Selanjutnya pada bagian ini akan dibahas pula bagaimana
peranan musik dalam keutuhan tari Ngremo.

4.5.1 Instrument

Instrumen (alat musik) yang digunakan dalam karawitan Jawa Timuran antara lain:
bonang babok dengan susunan jumlah 10 buah, bonang penerus dengan susunan jumlah 10
99

buah, demung satu rancak, dua rancak saron masing-masing terdiri dari 7 bilah atau satu
saron dengan susunan 9 bilah dan peking satu buah. Gender babok satu buah dan gender
penerus satu buah, gambang satu buah, Kendhang khas Jawa Timur (ukuran lebih besar,
panjang, berat dan keras mimbrannya) satu buah. Dua buah kethuk dengan nada 2 dan 3,
tiga buah kenong masing-masing dengan nada 1 (petit), 6 dan 5, kempul satu buah dengan
nada 6 atau 5 dan satu buah gong. Seruling, siter (kecapi) dan rebab juga dipakai tetapi
terbatas pada permainan orkestrasi pada lagu-lagu tertentu.
Adapun alat musik karawitan hampir keseluruhannya terbuat dari logam, yakni
peleburan antara tembaga dengan timah menjadi gangsa (perunggu). Olahan bahan logam
tersebut kemudian dibentuk berdasarkan kebutuhan warna atau tipe bunyi berupa bentuk
bilahan atau lempengan seperti pada jenis alat musik saron, Peking, gender, dan demung
yang kadang juga berbentuk lempengan tetapi ada variasi pencon di tengahnya, yakni
bentuk setengah bulatan menyembul ke luar dengan bidang cekung di belakangnya.
Karakter bunyi yang dihasilkan adalah keras, melengking dan tegas. Kecuali gender dibuat
berbentuk lempengan tipis dengan bantuan tabung bambu atau seng diletakkan di bawah
lempengan berfungsi sebagai resonator untuk menghasilkan bunyi tegas tetapi lembut.
Yang tergolong dalam bentuk pencon adalah bonang, kenong, kethuk, kempul dan
gong memiliki frekueksi getaran yang lebih banyak dari pada bentuk bilahan sehingga
menghasilkan gaung yang lebih panjang menghasilkan bunyi yang juga keras tetapi tidak
melengking, cenderung lembut lebih-lebih karena alat pemukulnya terbuat dari benda yang
lunak. Jenis alat musik pencon yang digantung lebih berdengung dari jenis alat musik
pencon yang diletakkan pada alat rancak atau pemangku tertentu, karena yang di gantung
memberi keluasan frekuensi getaran lebih bebas sehingga dengung dari bunyi juga lebih
lama.
Selebihnya adalah gambang, alat musik ini dibuat dari bilahan kayu yang disesuaikan
dengan nada-nada alat musik Karawitan jenis lain. Dimainkan dengan dua alat pemukul
menghasilkan bunyi khas yang berfungsi sebagai penghias atau variasi lagu. Kendhang
dengan membran dari kulit binatang (kambing atau sapi) dibunyikan dengan variasi pukulan
tangan dan permainan jari-jari menghasilkan beragam kualitas bunyi.
Berdasarkan uraian di atas dapat diidentifikasi bahwa hampir seluruh jenis instrumen
karawitan tersebut termasuk jenis alat musik perkusi. Tipe alat musik seperti itu baru
menghasilkan bunyi apabila dengan cara menggunakan alat tertentu yang dipukulkan ke
100

bagian tertentu pada jenis alat musik itu. Seruling adalah tergolong jenis alat musik
aerophone yakni dengan mengalirkan udara atau ditiupkan ke bagian lubang tertentu pada
alat musik itu, baru menghasilkan bunyi. Demikian pula siter atau kecapi adalah alat musik
seperti guitar yang menghasilkan bunyi apabila kawat-kawat yang direntang diperlakukan
dengan cara dipetik. Berbeda dengan rebab, alat musik ini meskipun juga menggunakan
kawat sebagai penghasil bunyi, tetapi karena yang dibutuhkan adalah bunyi berdengung
maka untuk membunyikannya dengan cara digesek dengan alat dari jenis serabut yang
direntang.
Alat musik yang berjenis-jenis nama dengan tipe bunyi khas dalam satu kesatuan
musik karawitan itu dinamakan gamelan. Seluruh jenis alat musik karawitan tersebut satu
dengan yang lain memiliki peran yang sama penting untuk membentuk suatu orkestrasi
musik karawitan, tetapi ada pembedaan kuantitas maupun kualitas bunyi. Hal mana pada
suatu jenis gendhing tertentu misalnya, kadang memerlukan dominasi sebagian dari jenis-
jenis instrumen musik saja. Atau itu bisa diamati pada satu jenis alat musik yang dipakai
untuk membuka atau memulai permainan orkestrasi, yakni apakah bonang, gender,
kendhang atau yang lain.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa permainan jenis musik seperti bonang
babok, bonang penerus, saron peking, slenthem dan kendhang yang dominan tersebut
merupakan ciri khas karawitan Jawa Timuran. Ciri-ciri ini dapat membedakan dengan
karawitan Jawa Tengahan yang lebih terdengar lembut dari suara rebab dan gender.
Perbedaan-perbedaan alat musik dengan tipe bunyi dan karakteristiknya ini menghasilkan
identifikasi etnik yang disebut gaya. Kita kenal perbedaan sekarang ini seperti karawitan
gaya Jawa Timuran atau gaya Jawa Tengahan dan gaya yang lain.

4.5.1.1 Unsur-Unsur Lagu.

Unsur-unsur lagu yang akan di bahas dalam penyajian orkestra musik karawitan
untuk tari Ngremo adalah mengenai melodi dan teks.

4.5.1.1.1 Melodi

Pada bagian ini dibahas terlebih dahulu unsur-unsur yang dapat membangun melodi
seperti; tangga nada, wilayah nada dan jumlah nada. Untuk mengidentifikasi nada-nada,
101

wilayah nada, yang digunakan pada musik karawitan untuk tari Ngremo mengacu pada
sistem yang lazim berlaku dalam Sistem Pengetahuan Karawitan Jawa Timuran.
Dalam sistem musik secara umum dikenal beberapa jenis tangga nada, seperti
diatonis yang memiliki tujuh urutan nada pokok dengan jarak nada yang pasti yakni; do, re,
mi, fa, sol, la, si, dan pentatonis yang terdiri dari lima urutan nada dengan jarak nada yang
sudah baku pula. Musik karawitan Jawa Timuran termasuk dalam kategori tangga nada
pentatonis dengan dua macam kelompok jenis tangga nada yang masing masing mempunyai
warna bunyi yang berbeda. Dalam sistem musik karawitan dinamai laras, yakni; laras
slendro dan laras pelog.
Dalam sistem penulisan nada, secara tradisional musik karawitan telah memiliki
simbol-simbol untuk mengidentifikasi setiap bunyi nada. Sehingga untuk membaca kembali
sebuah lagu dalam suatu sistem orkestrasi karawitan, cukup mengenali dan memahami
simbol-simbol yang sudah menjadi suatu bagian dari Sistem Pengetahuan Karawitan (Jawa
Timuran).
Mengidentifikasi laras slendro didapati nada yang terdiri dari nada; 1 - 2 - 3 - 5
- 6 (dibaca; ji - ro - lu - ma - nem ) dengan interval tinggi 1 (ji nada tinggi dengan istilah
pethit) dan tambahan satu bunyi 2 (ro nada tinggi dengan istilah penjerit). Sedangkan
interval rendah meliputi; 2 - 3 - 5 - 6.
Sebagaimana dipahami bahwa pathet adalah suatu sistem yang menentukan susunan
nada dalam permainan gamelan. Cara dalam menentukan pathet pada gamelan pada
karawitan Jawa Timur, di antaranya adalah dengan menggunakan bilahan gender. Gender
Slendro yang digunakan untuk menentukan pathet adalah gender yang berbilah sepuluh
dengan susunan nada sebagai berikut:

.
II III IV V VI VII VIII IX X
I
. . . .
3 5 6 1 2 3 5 6 1
2

Dari susunan nada pada bilah-bilah gender sebanyak sepuluh inilah kemudian timbul
nama-nama pathet slendro wolu, slendro sanga dan slendro sepuluh serta slendro pathet
serang. Adapun cara untuk menentukan pathet adalah dengan menghitung bilahan gender
102

dimulai dari kanan ke kiri sampai pada bilangan nama pathet yang dimaksud. Sebagai
contoh adalah pada gendhing Surabayan untuk musik tari Ngremo dengan laras slendro
pathet wolu.

Buka : 2 . 1 . 2 . 1 . 6 . (5)
6 . 5 . 6 . 2 . 6 . 5 . 2 . (1)
6 . 5 . 6 . 2 . 6 . 5 . 2 . (5)
P N P N P N P N

Untuk melihat bahwa gendhing Surabayan adalah pathet wolu dapat dilakukan
dengan cara sebagai berikut: bahwa nada 5 (ma) terletak pada bilah ke III dan ke VIII.
Kalau dihitung dari sebelah kanan yaitu dimulai dari bilah ke X maka bilah ke III jatuh pada
hitungan kedelapan, begitu juga kalau dihitung dari kiri ke kanan, hitungan ke delapan jatuh
pada nada 5 (ma). Selanjutnya nada 5 (ma) adalah berfungsi sebagai tonika, maka
dominantnya adalah nada 1 (ji) dan 2 (ro). Dan sebagai nada dominant bisa menjadi gong
fnalis juga.

Rumus Pathet wolu menjadi:

Tangga nada : 5 - 6 - 1 - 2 - 3 - 5
Fungsi nada : 5 sebagai tonika
1 dan 2 sebagai dominant
3 dan 6 sebagai sub-dominant
Skema deretan kemyung :

3-----------1-------------5------------2------------6
dominan
sub-dominan

Begitu selanjutnya kalau mencari pathet yang lain (pathet sanga dan pathet sepuluh)
menggunakan cara yang sama seperti cara untuk melihat pathet wolu tersebut di atas.
103

Melihat jumlah dan wilayah nada pada gendhing Surabayan meliputi empat nada
yakni : 1 - 2 - 5 - 6 (ji, ro, ma, nem) dalam wilayah satu oktaf yakni oktaf sedang. Empat
nada ini dikomposisikan menjadi alur melodi yang tersusun berdasarkan struktur gendhing
dalam bentuk lancaran nibani (Dinas P&K Jatim 1986: 163). Bentuk gendhing Surabayan
ini memiliki motif yang setiap satu putaran gendhing terdiri dari dua susunan komposisi
melodi yang dibedakan dengan nada final (gong), Yakni pada lagu yang pertama berakhir
dengan nada (gong) 1 (ji) dan satu lagu yang lain berakhir pada nada (gong) 5 (ma). Lebih
jelas dapat dilihat transkrip gendhing Surabayan di atas.
Melodi sebagai suatu rangkaian nada yang bervariasi dalam tinggi rendah dan
panjang pendek nada-nada (Miller : 37) pada gendhing Surabayan disusun dalam ritme yang
konstan. Tidak terdapat variasi ritme pada setiap jarak dalam komposisi nada-nadanya.
Hanya saja tatkala melakukan kegiatan orkestrasi dilakukan dengan permainan irama untuk
memenuhi kebutuhan rasa tari. Permainan orkestrasi itu menghadirkan variasi irama seperti
irama I (satu), irama II (dua) dan irama III (tiga).
Dalam melodi lagu gendhing Surabayan, terdapat sedikitnya tiga tingkatan aksen,
yakni aksen lemah, sedang dan kuat. Aksen lemah dalam melodi ditandai oleh bunyi nada
dari jenis alat musik kempul yang dibunyikan bersamaan dengan bunyi nada pada urutan
bilangan ganjil. Aksen sedang dalam melodi ditandai oleh bunyi nada dari jenis musik
kenong yang dibunyikan bersamaan dengan bunyi nada pada urutan bilangan genap.
Sedangkan aksen kuat diletakkan pada setiap akhir satu putaran lagu yakni terletak pada
nada final (gong). Dalam setiap satu putaran gendhing Surabayan terdapat delapan aksen
rendah, delapan aksen sedang dan dua aksen kuat.
Gendhing Surabayan dan gendhing Tropongan (lampiran 2) sebagai satu kesatuan
kemungguhan tari dibutuhkan tidak hanya dalam satu putaran gendhing saja tetapi diulang-
ulang untuk memenuhi kebutuhan komposisi tari. Dalam jumlah putaran gendhing yang
dibutuhkan tersebut menciptakan suatu kondisi konstan dan stabil karena selain durasi ritmis
yang diciptakan memang konstan dalam jarak dan aksentuasi tekanan bunyi nada, juga nada-
nada dibunyikan dengan tempo yang relatif cepat, sehingga rasa lagu pada kondisi cepat dan
konstan tersebut dapat membangkitkan kesan estetik yang tegas, kuat dan dimanis.
Sebagaimana telah disebutkan bahwa bunyi kendhang yang menonjol (transkripsi
pola tabuhan kendhang lihat lampiran 3) merupakan kekhususan bagi sebutan ciri khas
karawitan Jawa Timuran. Sama kedudukannya dengan musik tari Ngrmo ini, bahwa
104

kendhang merupakan faktor penting yang memberi jiwa pada tari Ngremo. Pada aspek
dominan sebagai ciri khusus gendhing Surabayan; bahwa secara teknik bunyi kendhang
adalah keras, cepat dan penuh. Teknik tabuhan dan pola musikal seperti itu memberikan
suatu pandangan tentang konsep musik tari, bahwa pola dan irama kendhang dalam konteks
Karawitan Jawa Timuran adalah selalu membimbing dan atau mungkus (memangku)
gerakan-gerakan tari. Konsep musik semacam itu menegaskan aksentuasi gerak tari Ngremo
nampak lebih lugas dan dinamis.
Memperhatikan secara seksama dan mendalam tentang musik karawitan ini maka
fungsi pathet tidak saja sebagai sistem penyusunan nada dalam suatu komposisi gendhing
pada sistem karawitan, tetapi secara auditif mampu menghadirkan rasa-rasa tertentu yang
dapat membentuk atau menciptakan karakteristik yang khas. Sebagai mana khasanah ‘rasa’
dalam budaya seni tari Jawa seperti sem, nges, anggun, wibawa, gagah, cakrak, luruh,
nglangut, wingit, dan yang lain adalah dimensi-dimensi batin manusia yang mampu
dibangkitkan melalui komposisi gendhing karawitan.
Kekayaan dan keragaman rasa tersebut merupakan bagian dari aspek-aspek
pembentuk karakter yang dapat diciptakan oleh kemampuan komposisi gendhing yang di
dalamnya pathet mempunyai peran. Oleh karenanya gendhing Surabayan dan atau gendhing
Jula-Juli serta gendhing Tropongan merupakan komposisi musik Karawitan Jawa Timuran
dipakai untuk menegaskan rasa gagah dan berwibawa dalam tari Ngremo.

Struktur lagu Iringan Tari Ngremo Surabayan.


Berdasarkan pengamatan terhadap sajian musik tari Ngremo dapat diidentifikasi
bahwa sajian musik tari Ngremo dalam pertunjukan Ludruk terdiri dari lima bagian, yaitu
bagian awal, menyajikan instrumen pembuka berfungsi sebagai pengantar untuk memasuki
bagian pokok iringan tari Ngremo. Pada bagian ini, kendhang sebagai pembimbing gerak
tari belum menyajikan pola-pola kendhangan untuk mengiringi tari. Penyajiannya dilakukan
beberapa kali putaran gendhing (tidak dapat dipastikan jumlahnya), karena sangat tergantung
pada dua hal; yaitu kesiapan penari memasuki arena pentas, dan dalam tradisi Ludruk,
gendhing Surabayan atau gendhing Jula-Juli ini di perdengarkan berkali-kali putaran untuk
memberi kesiapan penonton memasuki atau medekati arena panggung pertunjukan. Tempo
permainan orkestrasinya dapat bervariasi irama (irama I dan irama II), kadang-kadang
disertai dengan pola-pola gecul pada bagian kendhang.
105

Pada bagian kedua yaitu bagian musik untuk mengiringi gerak tari Ngremo. Pada
bagian ini tempo permainan orkestrasi lebih cepat dari sebelumnya. Pola tabuhan kendhang
sudah mengikuti komposisi gerak tari dengan menerapkan sistem permainan irama I (satu).
Antara bunyi tabuhan atau pola kendhang dengan gerak sangat lekat membimbing iramanya.
Kebiasaan dalam penyajian Ngremo Ludruk tidak dibatasi berapa kali putaran gendhing
tatapi secara umum seperti halnya tarian Jawa tengah yang ada istilah maju beksan, pada tari
Ngremo ini juga terdapat bagian serupa yakni yang sering disebut sebagai bagian A atau
pembukaan. Tempo permainannya cepat dan sedikitnya mencapai seperempat dari seluruh
vokabuler gerak tarinya.
Selanjutnya pada bagian tiga ketika memasuki kidungan yaitu penari Ngremo
melantunkan tembang. Pada bagian ini tidak ada aktifitas gerak tari tetapi mengikuti lagu
gendhing Surabayan atau Jula-juli penari melantunkan pantun-pantun khas Jawa Timur
(kidungan). Instrumen dibunyikan dengan permainan irama III (tiga). Pola permainan
kendhang tidak menonjol tetapi Bunyi bonang mendominasi melodi gendhing. Permainan
gendhing pada bagian ini juga menyesuaikan kemampuan Penari dalam parikan (berpantun),
tetapi secara umum terdapat sedikitnya tiga bait pantun yang dilagukan, sehingga siklus
gendhing sedikitnya mencapai enam kali putaran atau duabelas kali gong.
Bagian empat adalah dalam struktur penyajiannya disebut bagian B yakni pola
gendhing yang mengikuti kembangan (sekaran) gerak Ngremo (beksan). Penyajian diawali
irama I (satu) kemudian masuk irama II (dua), dan variasi-variasi permainan irama untuk
menyesuaikan kebutuhan tarinya. Penggunaan irama II dalam sistem tabuhan ini, nada yang
dibunyikan semakin jarang jaraknya dari setiap ritme permainan melodinya, tetapi pola
permainan kendhang semakin bervariasi sehingga nampak semakin rapat. Kidungan juga
dilakukan pada bagian ini tetapi penari tetap dalam situasi bergerak menari. Dalam
mengikuti permainan komposisi gerak, musik cenderung lirih (tidak terlalu keras),temponya
lambat, riang, dan ada kesempatan bermain gecul dalam pola gendhing dalam kaitan untuk
mendukung ungkapan pantun dan gerak-gerak gecul pada tarinya.
Bagian lima adalah bagian penutup (mundur beksan) atau disebut dengan bagian C
yakni gendhing beralih dari Gendhing Surabayan menjadi Gendhing Tropongan. Rasa yang
dibentuk oleh laras pelog ini berbeda dengan sebelumnya yang ber-laras slendro, tetapi
masih dalam pencapaian rasa semangat yang bergelora. Sebagaimana pada bagian awal,
struktur gendhing tari Ngremo pada bagian akhir ini kembali pada permainan orkestrasi yang
106

cepat. Tempo permainan kembali dengan menggunakan pola irama I. Secara imajiner
permainan melodi dan lagu dalam iringan tari Ngremo ini selalu bersemangat dan diakhiri
dengan alur ritmis yang terus meningkat.
Struktur lagu gendhing yang dilukiskan di atas membedakan dengan struktur lagu
gendhing yang dipakai dalam tari Ngremo yang bukan Ngremo Ludruk. Sebagai suatu
disiplin tari maka tari Ngremo yang bukan Ngremo Ludruk tidak menggunakan pantun
kidungan sebagai bagian dari struktur koreografi tari. Oleh karena itu terdapat pengurangan
unsur pertunjukannya yaitu tidak menggunakan gendhing irama III sebagai penguat
ungkapan kidungan. Begitu juga pada bagian kidungan mlaku (bergerak sambil berpantun)
tidak masuk dalam struktur pertunjukannya. Sehingga tidak ada kemungkinaan untuk
berimprovisasi dalam pola gecul (melucu).

4.5.1.1.2 Teks

Teks yang dimaksud pada bagian ini adalah untaian kata-kata yang disusun
membentuk suatu pengertian khas menurut bentuknya. Sebagai sastra lisan, bentuk teks yang
digunakan dalam pertunjukan Ludruk dan atau Ngremo dikenal dengan istilah kidungan.
Teks pada kidungan terdapat dua bentuk yakni berbentuk parikan atau wangsalan. Ciri-ciri
parikan atau wangsalan memiliki patokan: a) terdiri dari dua kalimat yang bentuknya
memakai purwakanti. B) satu kalimat terdiri dari dua gatra. c) Kalimat pertama pembukaan
dan mantapnya berada pada kalimat kedua (Soekoco, tanpa tahun: 17). Kidungan ini disebut
juga pantun kilat karena hanya terdiri dari dua baris berupa sampiran dan isi. Biasanya
kidungan dalam bentuk ini dinyanyikan pada gendhing yang menggunakan pola irama
tunggal atau I (satu).
Bentuk yang ke dua adalah pantun terdiri dari empat baris, yaitu dua baris pertama
disebut sebagai sampiran dan dua baris kedua disebut sebagai isi. Sebagaimana seperti pada
pantun kilat, pantun bentuk yang kedua ini juga memiliki bunyi akhir yang sama, yaitu bunyi
akhir pada sampiran sama dengan bunyi akhir pada isi. Tetapi sering kali juga aturan
semacam itu tidak selalu diikuti secara ketat ketika pada saat mana perhatian lebih
difokuskan pada makna isinya. Dicontohkan sebagai berikut:

Bayem rawa paribasane


Boten langkung lepat kawula
107

Bayem rawa mempunyai arti yang sama dengan kangkung, hal mana disamakan dengan
langkung sehingga kata rawa dan langkung terdapat perbedaan akhir bunyi. Tidak
menggunakan kata kangkung tetapi menggunakan bayem rawa untuk menyesuaikan atau
mendekati suku kata yang dibutuhkan. Penyesuaian ini berakibat pada pergeseran bunyi
akhir yang pada saat mana suku kata dan makna kata dijadikan fokus perhatiannya.
Ada perbedaan sifat antara kidungan Ngremo, kidungan lawakan, bedhayan, dan
kidungan adegan. Pada kidungan Ngremo bersifat resmi, tegas tidak terlalu banyak beragam
variasi irama (Subohadi, 1989: 6). Ini berbeda dengan kidungan lawakan, bedayan dan
adegan yang mempunyai kemungkinan variasi lagu beraneka ragam, seperti model pop
dangdut dan variasi lain. Kidungan pada tari Ngremo meskipun resmi, tegas tetapi tidak
selalu pengikuti konstruksi lagu secara ketat. Yang diutamakan adalah pada kalimat kidung
selalu berakhir dengan lagu gendhing yang sama. Adapun lagu kidungan dapat dideskripsi
sebagai ini :

. 2 . 1
. . . . . . . . . . . . . . . .

. 2 . (6)

1 2 22 . 22 23 . 2 . . 3 . 2 16 . 6
sugeng rawuh pi a - tur ku - la

. 2 . 1

. . . . 2 2 2 2 . . 2 2 21 1 1 1
a mir sa ni beksan ngremo saking

. 6 . 5

. . . . 2 2 23 21 2 6 1 1 6 5 . 5
a rek su ra ba - ya
108

Sebagaimana diketengahkan bahwa pantun-pantun kidungan merupakan bagian


penting dalam struktur pertunjukan Ngremo Ludruk. Lagu yang dikenakan sangat lekat
dengan lagu gendhing Surabayan meskipun kreativitas seniman Ngremo selalu memberi
warna lagu-lagu yang khas dan personal tetapi tetap tidak menyimpang dari konstruksi lagu
gendhingnya. Setiap seniman selain mempunyai warna, atau pola lagu (cengkok) yang khas
masing-masing juga memiliki beragam syair dengan kandungan isi sendiri-sendiri. Bahasa
yang digunakan khas Surabaya (Jawa Timur) yang oleh Geertz disebut bahasa Jawa Ngoko.
Berikut ini adalah contoh beberapa kidungan dengan bentuknya masing-masing. Teks ini
dideskripsikan dari beberapa sumber baik dari literatur tertulis maupun dari rekaman audio
visual pertunjukan Ngremo.

Sumendha atur saking kawula


Dhumateng para pamiarsa sedaya

Inilah yang kami haturkan


Kepada para penonton semua

Salam taklim dumateng kita sedaya


Amirsani kesenian Ngremo asli Surabaya

Salam Taklim tertuju kita semua


Menyaksikan kesenian Ngrema asli Surabaya

Langkung prayogi amaringana


Kritik saha pemanggih ingkang prayoga

Lebih baik anda memberi


Kritik dan pandangan yang baik

Syair ini sudah lazim dipakai oleh penari Ngremo untuk mengawali kidungan.
Sebagaimana fungsinya bahwa Ngremo adalah untuk tari pembuka atau tari penyambutan
penonton dalam pertunjukan Ludruk, sehingga sebagai awalnya dibuka dengan ucapan salam
kepada pemirsa yang hadir menyaksikan pertunjukan. Salam taklim sebagai ucapan
persahabatan, merupakan sarana pesan terjalinnya suatu keakraban antara semua yang
terlibat dalam situasi pertunjukan. Sebagai sifat terbuka, tidak lupa penari Ngremo selalu
menyampaikan kekurangan-kekurangan dalam penyambutan yaitu dengan rendah hati
memohon untuk dikritik dan diberi pandangan-pandangan yang dapat membangun dan
meningkatkan pelayanan menghiburnya pada publik. Permohonan kritik itu di-kidung-kan
109

karena kritik sangat mungkin dilakukan oleh penonton. Pada jeda waktu tertentu (seperti
pada adegan lawakan di awal atau di tengah malam) tradisi penonton pertunjukan Ludruk
dengan leluasa meminta, memuji dan mengkritik tetang apa saja yang terkait dengan
jalannya pertunjukan.

Kidungan berikutnya adalah:


Ringin conthong ning kutho Jombang
Semangat gotong royong kanggo perjuangan
Kito berjuang mati matian
Sing kita rebut kemerdekaan

Beringin conthong di kota Jombang


Semangat kebersamaan untuk perjuangan
Kita berjuang mati-matian
Yang kita rebut kemerdekaan

Nik peno kepingin dadi wong mulya


Emoh dijajah kepingin merdika
Aja pijer tukaran saben dina
Eling mbarek pitutur wong tuwa

Kalau kamu ingin jadi orang mulia


Tidak mau dijajah ingin merdeka
Jangan selalu bertengkar setiap hari
Ingat dengan nasehat orang tua

Tuku kupat nang pulo Bali


Tuku semangka disigar lima
Irian Barat kita rebut kembali
Pemerintah Landa sing kudu lunga

Membeli ketupat di pulau Bali


Membeli semangka dibelah lima
Irian Barat kita rebut kembali
Pemerintah Belanda yang harus pergi

Nik kaum imperialis isik ngebaki ndoya


Bangsa lan negara cilik akeh sing sengsara
Uripe dijajah nasipe kelunta-lunta
Anak putu kita nggak bisa mulya

Kalau kaum imperialis masih bercokol di dunia


Bangsa dan negara kecil banyak yang sengsara
Hidupnya dijajah nasibnya terlunta-lunta
Anak cucu kita tidak bisa hidup mulia.
110

Kembang turi enak dikela


Onok ontong gedhang raja
Kita generasi nyadarana
Padha gotong royong mbangun negara
Bunga turi enak disayur
Ada bunga pisang, pisang raja
Kita generasi harus menyadari
Mari gotong royong membangun negara
Jemuah legi nang pasar Gentheng
Tuku semanggi nang Wonokromo
Merah putih kepala bantheng
Iku benderane dokter Soetomo
Jum’at legi ke pasar Genteng
Membeli semanggi ke Wonokromo
Merah putih kepala banteng
Itulah bendera dokter Soetomo

Pring sinigar digawe galar


Ditata rapi ja-nganti udar
Senajan ana bledhek ngampar
Persatuan bangsa aja nganti udar

Bambu dibelah dibikin galar (alas tikar)


Ditata rapi jangan sampai terurai
Biarpun ada halilintar menyambar
Persatuan bangsa jangan sampai berantakan

Jangan kecipir jangan keluwih


Jangan terong cukul pinggiran
Aja mikir uripmu dhewe
Mikirana bangsamu sing kapiran
Sayur kecipir sayur keluwih
Sayur terong tumbuh di tepian
Jangan hanya memikirkan hidupmu sendiri
Pikirkanlah bangsamu yang sengsara
Neng alam ndoya pira lawase
Ayok sing rukun mbarek kancane
Tukar padu wis ora jamane
Sing paling perlu lak nyambut gawe

Di dunia berapa lamanya


Mari yang rukun dengan temannya
Bertengkar sudah bukan jamannya
Yang paling penting adalah bekerja.
111

Pada syair ini nampak jelas bahwa di dalam melantunkan lagu-lagu kidungan, penari
Ngremo mempunyai maksud. Menyimak beberapa bait kidungan di atas, terdapat maksud-
maksud tertentu yang apabila dicermati mengandung nilai-nilai, seperti: petuah, pendidikan
dan atau memberi semangat perjuangan. Perjuangan di sini mempunyai kaitan erat dengan
kenyataan sejarah bangsa Indonesia yang pernah dijajah Belanda dan Jepang. Ngremo dan
Ludruk merupakan sarana bagi pemerintah untuk menebalkan solidaritas kolektif. Setelah
kemerdekaan semangat terus digelorakan untuk mempertahankan kemerdekaan, perbaikan
ekonomi, merebut Irian Jaya dan perjuangan untuk mencapai kemakmuran serta keadilan
sosial masyarakat (Supriyanto, 1992: 51).
Kidungan seperti ini dilakukan pada saat penari benar-benar memfokuskan kejelasan
makna informatifnya, yaitu penari tidak sedang dalam aktifitas bergerak. Dalam keadaan
tancep (berdiri tegak), suasana gendhing yang tidak terlau keras bahkan cenderung lirih
(irama III) sangat memungkinkan informasi yang musikal ini bisa disampaikan dengan
leluasa dan dapat didengar oleh para penonton dengan jelas dan tegas.
Sebagai bentuk petuah, pendidikan, dan informasi-informasi tentang perjuangan,
nilai-nilai keagamaan, kidungan tersebut selalu berkembang. Isi syair selalu disesuaikan
dengan situasi sosial kemasyarakatan yang sedang berlangsung. Untuk menjelaskan maksud
ini dapat kita simak isi pantun kidungan di bawah ini:

Rakyat kabeh wis pada ngerti


Mbarek situasi jaman saiki
Pada manunggal dadi siji
Ngleksanakna tujuan reformasi

Rakyat semua sudah mengerti


Terhadap situasi jaman sekarang
Semua manunggal jadi satu
Melaksanakan tujuan reformasi

Perkembangan isi syair kidungan itu disemangati oleh negara dalam situasi yang
sedang berubah. Runtuhnya Orde Baru atas segolongan kaum reformis telah memunculkan
eforia reformasi. Kondisi hingar bingar dengan jargon-jargon reformasi, reposisi,
reorganisasi menciptakan imajinasi baru seperti membawa harapan bagi terciptanya tatanan
pemerintahan negara yang lebih baik. Lewat pidato-pidato, demonstrasi atau lewat slogan-
slogan politik, semangat baru reformasi terus didengungkan meskipun belum jelas betul apa
112

yang dimaksud dengan reformasi. Gejala kebudayaan yang sedang bersemangat itulah yang
oleh seniman Ngremo cepat ditangkap sebagai bentukan nilai baru. Kemudian segera
dikemas menjadi satu wacana estetik dalam ruang pertunjukan.
Begitu juga peristiwa demokrasi yang akan berlangsung sudah ditangkap sebagai
gejala budaya yang patut untuk disorot. Seniman Ngremo turut serta dilibatkan untuk
mensosialisasikan informasi tentang pemilihan umum. Syair tentang informasi pemilihan
umum dapat diperhatikan dalam kidungan sebagai berikut:

Pemilihan umum dulur wis arep teka


Mula sedulurku kabeh padha tata-tata
Pesta demokrasi dulur dasar Pancasila
Mula ayo pada disuksesna

Pemilihan umum (saudara) sudah akan datang


Sebab itu saudaraku semua segera menyiapkan diri
Pesta demokrasi (saudara) berdasar Pancasila
Oleh karena itu mari kita sukseskan

Perkembangan sastra lisan ini memang cukup kontekstual tetapi tidak membawa
dampak perubahan pada pola permainan gendhingnya. Gendhing Surabayan masih tetap
pada format dan struktur yang masih ajeg. Kalau ada perubahan hanya terdapat pada pola
permainan ritme, tempo dan iramanya. Sedangkan struktur melodi nada-nadanya tetap pada
pola sebelumnya.
Sebagai kidungan penutup pada bagian pertama ini dapat dicontohkan beberapa
kidungan sebagai berikut:

Cekap semanten piatur kula


Kairing gendhing Jula-Juli Surabaya

Sampai di sini penyampaian kami


Diiringi gendhing Jula-juli Surabaya

Cekap semanten atur kawula


Menawi lepat nyuwun ngapura

Sampai di sini pembicaraan kami


Kalau ada salah mohon dimaafkan
113

Atau dengan pantun empat baris

Tumbas kupat teng Ngadipura


Giwang angsur mripat nenem
Menawi lepat nyuwun ngapura
Menawi kundur sampun digunem
Beli ketupat ke Ngadipura
Giwang angsur bermata enam
Bila salah mohon dimaafkan
Bila pulang jangan anda gunjingkan

Kidungan penutup ini apabila diperdengarkan, gendhing pengiringnya dengan segera


meningkat tempo ritme dan iramanya. Dengan demikian kidungan selesai dilanjutkan
dengan komposisi gendhing untuk kegiatan tarian. Penggunaan lagu pada kidungan penutup
ini tidak variatif tetapi sederhana, mengikuti nada gendhing dengan cukup ketat. Keadaan
ini merupakan konsekuensi dari ritme tabuhan yang beranjak naik dan keras, oleh karena itu
lagu kidungan menyesuaikan situasi gendhing.

4.6 Peranan Musik dalam Tari Ngremo.

Dalam banyak kegiatan, musik sering digunakan sebagai sarana pemenuhan


kebutuhan kemanusiaan. Hadir sebagai disiplinnya sendiri, sekedar sebagai penyerta atau
pendukung suatu aktivitas. Keberadaannya merupakan bagian integral dari pola kehidupan
individu dan atau kelompok-kelompok, sehingga dalam pandangan budaya, musik atau
setidaknya rasa musik dimiliki oleh segala lapisan masyarakat manusia. Asumsi itu dapat
dipahami dari pengetahuan tentang berbagai jenis maupun fungsi musik itu sendiri. Terdapat
musik klasik, tradisional, populer, kontemporer, rohani dan banyak istilah sejenis
berdasarkan penggolongannya.
Secara fungsional musik memiliki dimensi psikologis yang dapat memberi pengaruh
pada aspek kejiwaan. Faktor musikal bisa mendukung perubahan suatu kondisi pada
manusia, termasuk penghilangan indera, tekanan halusinasi, tekanan fisik atau psikologis.
Dari unsur musikal yang dianggap mempunyai kekuatan merubah dimensi kejiwaan manusia
inilah musik mempunyai kedudukan penting dalam kegiatan ritual suatu masyarakat
(Marzam, 2002: 178). Sama halnya Seyyed Hossein Nasr seorang rohaniawan; tentang
114

musik Seyyed Hossein Nasr berpandangan bahwa musik dapat menentramkan pikiran dari
beban kemanusiaan, dan menghibur tabiat manusia. Ia merupakan stimulan untuk melihat
rahasia ke-Tuhan-an.
‘Karena dalam musik terdapat ratusan ribu kegembiraan, yang salah satunya dapat
membantu seseorang melintasi ribuan tahun perjalanan untuk mencapai makrifat
yang tidak dapat dicapai ahli makrifat melalui berbagai jenis ibadah lainnya’ (Nasr,
1993: 170).

Dalam kehidupan masyarakat terdapat banyak aktivitas ritual yang menyertakan


musik sebagai sarana pendukungnya. Upacara-upacara ritual yang di dalamnya terdapat
peristiwa yang disebut kerasukan (adalah perubahan kondisi kejiwaan), yaitu pada saat mana
orang yang terlibat tidak ingat apa yang sedang terjadi pada saat kerasukan. Apabila
kerasukan merupan bentuk hipnotisme, maka musik (melodi instrumen dan atau mantra-
mantra) yang menyebabkanNya, dapat dikatakan musik berperan sebagai sarana yang
menghubungkan individu dengan pengalaman hipnotisnya (Marzam, 2002: 179). Dalam era
modern dapat dijumpai pula bahwa musik klasik dapat dipakai sebagai terapi kejiwaan atau
alat pendidikan pra-kelahiran.
Secara tradisional pemanfaatan musik dalam aktivitas seni pertunjukan didorong oleh
suatu kondisi yang meletakkan pemahaman bahwa seni merupakan refleksi budaya.
Aktivitas masyarakat dan persinggungan dengan lingkungannya terangkat keseluruhan
melalui ruang estetik. Nilai-nilai sebagai orientasi masyarakat di dalam memandang dunia
tercermin dalam aktifitas kesenian. Sehingga pada setiap kelompok masyarakat memiliki
kecenderungan untuk merefleksi budayanya pada tingkat kekhasan masing-masing,
meskipun pada dasarnya nilai kadang-kadang bersifat universal. Oleh karena itu potensi
musik dalam kehidupan masyarakat tradisional tersebut merupakan bagian dari cerminan
budayanya.
Kedudukan musik dalam konteks seni pertunjukan masyarakat di Jawa Timur
(Surabaya) tidak lain adalah seperti pandangan di atas. Sebagai bagian dari budaya
masyarakat Surabaya musik karawitan Jawa Timuran mempunyai karakteristik yang
mencerminkan sifat dan karakter masyarakatnya, yaitu; spontan, cepat, keras dan dinamis.
Bukan tidak ada kelembutan, romantis, dan atau keharmonian tetapi berbagai karakter
115

tersebut terakumulasi dalam suatu kreativitas terangkat ke permukaan sebagai kearifan lokal
yang dominan.
Karakteristik tari Ngremo tidak nampak hadir sebagai gambaran ide kepahlawanan
tanpa didukung oleh karakter musik pengiringnya. Secara simultan digambarkan musik
perlahan hadir mendahului tari menawarkan rasa lagu membangkitkan emosi mengantarkan
pada perubahan kesadaran alami ke tingkat kesadaran estetik. Di dalam tarian, musik
menegaskan aksentuasi gerakan-gerakan tari. Di dalam keseluruhan penyajian musik
bersama tarian menciptakan sebuah bangunan pengalaman tentang nilai-nilai, maka
gendhing Surabayan dan gendhing Tropongan adalah pilihan untuk menentukan ketepatan
bobot karakter tari Ngremo yang gagah berwibawa. Kesatuan ini merupakan bagian dari
peranan budaya musik karawitan Jawa Timuran sebagai cermin nilai masyarakatnya.
Gendhing Surabaya sebagai bagian dari kesatuan rasa tari Ngremo, peranannya terasa
menonjol karena secara auditif dengan cepat membangkitkan emosi pendengar dan mampu
membawa perubahan aspek kejiwaan ke tingkat kesadaran imajiner.

4.7 Aspek Nilai Filosofis dan Nilai Politis.

Mencermati lebih dalam lagi perihal gendhing Surabayan dan gendhing Tropongan
ditemukan ciri-ciri penyusunan melodi khas filosofis berkembang ke sifat yang politis.
Sebagai jenis musik dengan tangga nada pentatonis gendhing Surabayan ini menggunakan
empat nada saja yaitu: 1 - 2 - 5 - 6 (ji, ro, ma, nem). Bunyi akhir pada setiap satu siklus
melodi lagu jatuh pada nada 1 (ji) dan 5 (ma). Sedangkan gendhing Tropongan mencapai
tujuh nada yaitu, 1 - 2 - 3 - 4 - 5 - 6 - 7 (ji, ro, lu, pat, ma, nem, pi). Pada akhir setiap
satu siklus melodi lagu dominan, sama dengan gendhing Surabayan yaitu jatuh pada nada 1
(ji) dan 5 (ma). Secara teoretis penyusunan gendhing Tropongan tersebut nyebal
(menyimpang) dari kebiasaan penyusunan gendhing.
Karya seni bukanlah hasil kerja spekulasi atau sebuah kebetulan. Seorang seniman
dalam melakukan kegiatan budaya sudah barang tentu dilandasi oleh pemikiran atau ideologi
sebagai latar belakang sosio kulturalnya. Seniman Ludruk, Ngremo tempo dulu (sebelum
dan masa pergerakan atau revolusi) sebagai orang Jawa masih lekat dengan ke-Jawa-annya.
Sebagai penganut falsafah Jawa yang bersumber dari pandangan masyarakat Jawa sendiri
116

selanjutnya dikenal dengan kejawen. Kejawen sering disebut sebagai ilmu Jawi adalah suatu
ajaran tentang ‘seni’ menjadi manusia Jawa seutuhnya.
Ajaran tersebut merupakan bentuk awal dari apa yang dewasa ini dikenal dengan
kebatinan. Hakekat kebatinan ada pada persoalan kedudukan serta kehidupan manusia di
dunia dan di tengah jagad raya dipandang melalui perspektif religius. Sasaran utama ajaran
ini adalah kesantunan, seni dan praktek mistis. Dari sisi kegiatan seni inilah dinilai sebagai
pemberi wahyu bagi pembentukan jati diri manusia dan berpengaruh pada kegiatan serta
perilakunya. Kegiatan seni yang digeluti seperti; mendalang, menari, menatah wayang,
membuat keris, membatik, bermain musik gamelan (Giari, 2003: 24). Kebudayaan ini
terpancar dari nilai-nilai tradisi yang berpusat pada istana-istana Jawa.
Kepercayaan terhadap ilmu Jawi atau kejawen memancar ke dalam seluruh aspek
kehidupan termasuk kehidupan seni yang digeluti. Sehingga masyarakat seni (seniman) di
dalam mencipta atau berkarya seni terhindar dari sikap spekulasi atau dengan kata lain tidak
ada karya seninya yang bersifat kebetulan, yang dikreasi atau yang diciptakan merupakan
cerminan dari eksistensi diri yang lekat dengan nilai-nilai religius. Kalau kembali ke
belakang melihat asal-usul tari Ngremo kita berhenti pada suatu realitas bahwa embrio tari
Ngremo merupakan bentuk ritus masyarakat seni pada sang pencipta.
Termasuk dalam penciptaan gendhing Surabayan (gendhing pokok) yang hanya empat
nada adalah sebuah metafor dari suatu pemahanan tentang makna yang empat. Empat bisa
dimaknai sebagai arah penjuru angin, sifat dasar pembentuk diri manusia (air, api, tanah,
kayu), sifat nafsu manusia (luamah, supiah, amarah, mutmainnah) dan atau manusia yang
secara religius di samping dirinya sendiri (sebagai pusat) masih didampingi oleh yang empat
saudaranya. Sedangkan dirinya sendiri terlepas dari empat sifat tercermin dalam satu nada
(selain yang empat nada) yang dilantumkan dalam kidungan (lihat pada lagu kidungan
halaman: terdapat nada 3 (lu) pada struktur pupuh kidungan). pemahaman seperti itu
dilandasi oleh kepercayaan dasar sebagai manusia Jawa.
Nada 1 (ji) dan 5 (ma) adalah analogi dari keadaan lingkungan besar yang
memayungi seniman atau masyarakat secara umum. Metaforis dari nada satu dan lima atau
lima dan satu terilhami oleh nusantara yang beragam tetapi tunggal. Nada lima berarti
banyak meskipun tidak yang terbanyak. Banyak berarti beragam, bermacam-macam,
beraneka warna. Nada 1 (satu) berarti tunggal. Realitas ini sejajar dengan suatu kondisi
politik republik ini (pada masa kolonial, Orde Lama, Orde Baru) yang keadaan budaya,
117

suku, ras, agama dan pikiran-pikiran masyarakatnya adalah beragam, tetapi dianggap oleh
politik sebagai yang satu, atau yang tunggal, oleh karena itu yang beraneka ragam tersebut
kemudian diseragamkan atau di-persatuan-kan dan lebih lagi di-kesatuan-kan. Kesatuan
berarti benar-benar satu, ini berbeda dengan persatuan yang mempunyai makna bersatu
dalam keragaman. Sedangkan arti kesatuan adalah satu dalam keseragaman.
Dalam kehidupan politik negara seperti itu tidak ada demokrasi yang sesungguhnya.
Demokrasi terpimpin atau demokrasi pancasila merupakan kenyataan semu demokrasi.
Demokrasi yang diarahkan, dikendalikan secara ketat untuk alasan keperluan kedaulatan
negara. Bebas tetapi bertanggung jawab adalah metafor dari keterbatasan atau kebebasan
yang terikat oleh kemauan negara. Ini berari tidak ada makna kemerdekaan yang
sesungguhnya. Sehingga slogan persatuan dan kesatuan adalah kebenaran politik
pemerintahan negara yang memiliki kandungan makna tunggal dalam segala bidang
kehidupan. Kehendak negara menjadi kehendak umum masyarakat yang seakan tidak
dipertentangkan kebenarannya. Kebenaran yang diproduksi negara sunyi dari kritik karena
penanamannya begitu halus, tersembunyi dan berubah menjadi ideologi bersama antara
negara dan masyarakat. Sehingga kebenaran milik negara menjadi kebenaran umum
masyarakatnya.
Inspirasi yang mendorong lahirnya gendhing Surabayan ditafsirkan tidak lebih
merupakan realitas lingkungan yang sarat dengan situasi politik. Kondisi negara dalam
pemerintahan kolonial dan berlanjut menjadi republik baru, belum memiliki stabilitas dalam
bidang ideologi, sosial politik, ekonomi, dan keamanan. Pemerintahan negara seperti ini
membutuhkan dan mengharapkan solidaritas seluruh masyarakat untuk ikut serta
berpartisipasi membangun kedaulatan baru. Kondisi lingkungan yang instabilitas ini yang
selanjutnya menekan ruang batin seniman. Realitas lingkungan itulah yang melatar
belakangi terciptanya gendhing Surabayan.
Apabila melihat kembali ke belakang sebelum gendhing Surabayan muncul, telah ada
gendhing yang hampir sama yaitu gendhing Jula-Juli yang lebih tua usianya. gendhing Jula-
Juli ini yang hadir bersama mengawali pertumbuhan Ludruk. Lebih dahulu dikenal dan
populer. Perbedaan gendhing Jula-Juli dengan gendhing Surabayan terdapat pada nada
finalis (gong). Gendhing Jula-Juli pada setiap satu putaran melodi lagu diakhiri dengan nada
2 (ro) dan 6 (Nem). Lebih jelas dapat dicermati pada diskripsi Gendhing Jula-Juli pada
lampiran 2).
118

Munculnya gendhing Surabayan merupakan penyesuaian wacana yang sedang aktual


di masyarakat. Kondisi sosio kultural yang sarat dengan situasi Politik pergerakan itulah
yang lebih mendorong pergeseran gendhing Jula-Juli dari nada final 2 (ro) dan 6 (nem)
menjadi gendhing Surabayan yang bernada final 1 (ji) dan 5 (ma). Surabayan sendiri sudah
dapat diinterpretasikan sebagai nama gendhing yang sarat dengan wacana politis. Surabaya
dengan jargon politik sebagai kota pahlawan yang herois, bersemangat ditransformasikan ke
dalam gendhing Surabayan yang dinamis gagah dan wibawa.
Karawitan Jawa Timuran di Surabaya sebenarnya tidak menggunakan laras pelog.
Laras pelog digunakan untuk gendhing wayang kulit dan Topeng Dhalang di Malang.
Gendhing laras pelog yang digunakan di dalam tari Ngremo merupakan adopsi dari
gendhing Malangan (Luwar, wawancara, 2004 Januari 11). Disusun dengan nada mencapai
tujuh tingkat nada diberi nama gendhing Tropongan. Luwar menandaskan; penyusunan nada
pentatonis yang mencapai tujuh nada ini sebenarnya merupakan pengecualian dari kebiasaan
gendhing yang sudah ada. Pengecualian ini merupakan bentuk kreativitas yang berani dari
seniman untuk mencari kemungkinan yang benar-benar bisa mencapai rasa semangat
dinamis dan gagah. Begitu juga nama gendhing Tropongan merupakan acuan untuk
mencapai rasa lagu yang dibutuhkan. Tropongan adalah nama mahkota raja, analoginya
adalah kebangsawanan (keluarga elite) yang wibawa dan gagah.

4.8 Tata Pentas dan Penonton Pertunjukan Tari Ngremo

Membahas tata pentas untuk tari Ngremo tidak lepas dari tata pentas pertunjukan
Ludruk. Sebagai teater tradisional kerakyatan pertumbuhan dan perkembangan Ludruk lebih
dapat diamati di desa-desa. Munculnya Ludruk Stambul Jawi sebagai kelanjutan dari Lerok
Besutan, yang berumur tidak lebih dari satu tahun (Kasemin, 1999: 15) merupakan awal
mula dari kelahiran Ludruk Sandiwara atau Sandiwara Ludruk. Ludruk baru ini masih
membawa ciri-ciri Lerok Besutan yaitu: tari Ngremo, kidungan dan dagelan, sudah
mengenal naskah, organisasi dan sistem pemanggungan. Seperti diberitakan tentang Ludruk
dari Jombang yang pertama kali datang ke kota Surabaya pada tahun 1931 tepatnya di alun-
alun Blauran adalah Ludruk Sandiwara yang pertama.
119

Perkembangan teater tradisional Besutan hingga menjadi Sandiwara Ludruk ini tidak
lepas dari pengaruh teater Barat yang dibawa oleh Belanda. Gejala ini tidak terlihat pada
Ludruk sebelumnya (Hendrowinoto, 1987: 8) Ludruk baru ini menurut Hendrowinoto sudah
banyak kemajuan dibandingkan dengan Ludruk sebelumnya. Kemajuan itu terletak pada
adanya naskah, gedung pertunjukan dan publik sebagai syarat bagi teater modern.
Berdasarkan data tersebut dapat dipahami bahwa Lerok Besutan sebagai awal mula
keberadaan tari Ngremo dipentaskan ditempat yang bukan panggung pertunjukan prosenium
yang dikenal sekarang ini. Kebiasaan masyarakat desa dalam melaksanakan hajatan yang
menggunakan hiburan selalu ditempatkan di halaman rumah. Membuat panggung sederhana
yaitu arena pentas dengan keluasan sedikitnya 4 X 4 meter yang ditinggikan dari permukaan
tanah. Yang lebih baik lagi di atas pentas ditutupi dengan atap sederhana dari daun kelapa
atau anyaman bambu (sesek).
Perkembangan sekarang ini sudah lebih baik lagi yaitu dengan panggung kemasan,
terbuat dari kerangka besi diberi tataan dari bilah-bilah kayu yang cukup kuat untuk tempat
pentas. Luas dan tinggi panggung disesuaikan dengan lingkungan sekitar. Kalau pertunjukan
dilaksanakan di lapangan, luas panggung mencapai 5 X 7 meter bahkan lebih dan tinggi
panggung mencapai 1,5 meter sehingga sudut pandang penonton dengan jarak yang cukup
jauh dapat terjangkau. Atap dari kain terpal, dan untuk menunjang keberhasilan sajian
dilengkapi dengan sound sistem dengan digantungkan beberapa mikrofon di arena pentas
layaknya seperti di panggung prosenium sekarang ini.
Jadi sebenarnya tata pentas untuk tari Ngremo dalam Ludruk tidak terikat pada satu
bentuk panggung. Yang dikenal secara umum adalah bentuk panggung lebih tinggi dari
permukaan tanah, dapat dinikmati oleh penonton dengan tiga arah hadap yaitu arah depan,
arah samping kanan dan kiri. Panggung seperti ini sudah lazim digunakan pertunjukan
Ludruk pada hajatan masyarakat di desa-desa atau di pinggiran kota besar. Sedangkan
bentuk prosenium dapat dijumpai di kota-kota besar dengan gedung yang permanen atau
yang semi permanen. Kadang-kadang menggunakan dekorasi realistik untuk mendukung
suasana adegan yang dibutuhkan.
Dalam bentuk panggung seperti itulah tari Ngremo mementaskan pertunjukannya.
Secara sederhana seperti yang dilaksanakan pada hajatan di desa-desa; alat penerangan
cukup dengan beberapa lampu petromaks yang digantungkan di sudut-sudut panggung dan
atau lampu listrik (jenis TL) diikatkan pada tiang-tiang atap panggung sekedar untuk
120

penerangan agar wajah dan figur penari dapat dilihat dengan jelas dan tegas oleh penonton
karena lazimnya pertunjukan dilaksanakan pada malam hari. Seperangkat alat musik
gamelan Jawa Timuran lengkap dengan pengrawitnya, biasanya ditempatkan di sekitar
panggung pertunjukan yang dimungkinkan tidak ditempati penonton, dan tanpa ada
dekorasi.
Dalam situasi pemanggungan seperti ini penonton dapat menikmati pertunjukan dari
tiga arah yaitu arah depan, samping kanan dan kiri. Bebas menempati tempat yang
disukainya dan biasanya penonton duduk di tanah seputar panggung dengan alas tikar yang
dibawanya dari rumah, dedaunan yang diambil dari pepohonan yang tumbuh di sekitar
panggung pertunjukan, atau sandalnya sendiri dan alas lain dipakai untuk menghidari agar
pakaian tidak kotor.
Penjual makanan ringan berseliweran menjajakan dagangan di kerumunan penonton,
sementara penonton sendiri tidak merasa terganggu oleh ulah penjual makanan ini meskipun
kadang-kadang penjual makanan ini seringkali menutupi pandangan penonton. Tampak
begitu akrab dan bersahabat meskipun terkesan tidak saling memperhatikan atau sibuk
dengan dirinya sendiri-sendiri. Tidak jarang didapati pemandangan khas yaitu ibu-ibu yang
membawa anak kecil dengan menenteng mainan seperti balon dengan berbagai model,
angrok dan permainan sejenisnya, sebenarnya dirasakan mengganggu pandangan penonton
yang lain, tetapi kondisi seperti ini bukan suatu halangan yang bersifat mengganggu.
Di tempat di jalan-jalan yang agak jauh dari panggung pertunjukan, berjajar penjual
makanan khas pedesaan seperti lonthong, rujak, kue goreng pisang atau dari ubi-ubian, jadah
dan sejenisnya. Mainan anak-anak, permainan jenis perjudian seperti: dadu, kartu cina,
melempar barang-barang pasar, rokok, minuman dan sejenisnya. Permainan jenis perjudian
ini banyak dikunjungi orang-orang. Pada acara hiburan masyarakat pedesaan ini merupakan
saat yang penting juga bagi muda-mudi untuk saling mengenal dan mencari pasangan hidup.
Situasi digambarkan di atas sangat berbeda dengan pertunjukan Ngremo Ludruk yang
dipentaskan di gedung pertunjukan prosenium permanen atau semi permanen (tobongan) di
kota-kota besar. Seperangkat gamelan ditempatkan dibagian panggung yang menjorok ke
depan lebih rendah dari panggung penari semakin memperjelas jarak penonton dengan
penari. Pandangan penonton hanya se-arah yaitu dari arah depan panggung prosenium.
Tempat penonton sudah dibatasi oleh kursi-kursi yang disediakan.
121

Pada tempat pertunjukan seperti ini sudah memperhatikan profesionalitas


perkumpulan Ludruk. Sudah menggunakan karcis sebagai tanda penghargaan kepada kerja
perkumpulan seni pertunjukan. Oleh karena itu aturan untuk menjaga agar pertunjukan
berjalan dengan lancar, tertib, dan aman sudah menjadi bagian dan diterapkan dalam sistem
manajemen pertunjukan.
Fasilitas pemanggungan sudah lebih baik seperti penataan cahaya, dekorasi
panggung, Sound sistem, Properti untuk kebutuhan adegan, busana pemain, dan kursi tempat
duduk bagi setiap pemegang karcis. Penyediaan sarana pertunjukan seperti itu sebagai
pelayanan kepada publik merupakan konskuensi dari penjualan tiket kepada penonton.
Tidak terdapat penjual makanan yang menjajakan dagangannya di tempat yang dapat
mengganggu pandangan atau kenyamanan penonton. Air conditioner atau kipas angin
diupayakan pengadaannya, suara bising atau pemandangan yang tidak berasal dari tempat
pertunjukan ditekan semaksimal mungkin atau dihilangkan sama sekali agar tidak
mengganggu jalannya penyelenggaraan pertunjukan. Dalam perspektif pertunjukan
profesional ini maka penonton yang hadir menyaksikan adalah benar-benar pecinta seni
teater Ludruk.
Yang dibahas tersebut adalah tata pentas pergelaran tari Ngremo yang masih lekat
dengan pertunjukan Ludruk. Suasana yang terbangun tentu masih mengikuti kebutuhan
pertunjukan ludruk secara keseluruhan. Seperti kidungan masih didendangkan oleh penari
Ngremo. Masih ada kemungkinan interaksi psikologis antara penari dan penonton karena
keakraban pertunjukan Ludruk dengan penonton sudah merupakan bagian dari tradisi teater
tradisional khas Jawa Timur ini.
Situasi ini sangat berbeda dengan tari Ngremo yang sudah menjadi disiplin tari
tersendiri. Secara koreografis sifat tari Ngremo yang sudah lepas dari pertunjukan Ludruk
dirasakan lebih resmi, simpel, praktis, tetapi semakin berjarak antara penonton dan penari.
Kondisi seperti ini sangat mungkin karena secara koreografis kidungan sudah tidak menjadi
bagian pertunjukan, lebih mementingkan penampakan karakter yang tegas dan berwibawa,
kecantikan koreografis dan artistik, durasi waktu pertunjukan yang padat, dan penggarapan
suasana dibangun melalui penataan cahaya dan aspek lain semakin merenggangkan sifat
interaksi aktif dengan penonton.
Pada tahun 1980-an kebutuhan pada kehadiran Ngremo dalam setiap kegiatan
institusional merupakan fenomena yang terus berkembang. Berbagai keperluan institusional
122

baik dari institusi formal (pemerintah) maupun institusi non formal (swasta) seringkali
memanfaatkan tari Ngremo sebagai bagian pendukung dari kegiatan institusional tersebut.
Seperti peristiwa seremonial olah raga, pembukaan suatu acara resmi kenegaraan, peringatan
hari jadi suatu organisasi atau pemerintahan, pendukung kampanye suatu partai, sampai
dengan acara hajatan dalam kehidupan sosial masyarakat ikut serta menggunakan tari
Ngremo. Perkembangan kuantitas eksistensi tari Ngremo tersebut semakin memperluas
bentuk pertunjukan atau pemanggungan. Apalagi lomba-lomba atau festival-festival tari
Ngremo secara rutin dilaksanakan di wilayah Surabaya dan sekitarnya, menciptakan situasi
baru dalam berbagai bentuk penyiapan pertunjukannya.
Dalam skala ini bentuk panggung dan sistem pemanggungan meluas dan tidak lagi
seperti digambarkan di atas. Pendapa, jalan setapak, lapangan, arena terbuka, atau bentuk
lain sangat mungkin menjadi tempat pertunjukan tari Ngremo. Lebih-lebih semakin
difungsikannya tari Ngremo sebagai pilar seni budaya lokal genius Jawa Timur, pemanfaatan
tari Ngremo semakin tidak memperhatikan secara serius bentuk tata pentas dan untuk apa
tari Ngremo dipertunjukkan. Ngremo masal semakin banyak mewarnai konfigurasi
eksistensi tari Ngremo di masyarakat. Kondisi seperti ini merupakan perkembangan tari
Ngremo saat ini.
Atas dasar perkembangan persebaran tari Ngremo yang meluas tersebut kondisi
penonton juga turut berkembang. Dari pertunjukan yang hanya ditonton oleh masyarakat di
desa-desa yang petani berkembang menuju masyarakat kota (meskipun kadang-kadang dari
masyarakat desa pindah ke kota) yang pedagang dan pekerja suatu perusahaan. Sebagai aset
wisata penontonnya berkembang menjadi tontonan wisatawan baik wisatawan domestik
sampai dengan wisatawan manca negara. Sebagai simbol budaya Surabaya dan Jawa Timur
tari Ngremo ditonton oleh kalangan para guru, orang tua murid yang menari Ngremo sampai
para pejabat pemerintahan lokal di istana Graha Adi Jawa timur sampai pada istana negara di
Jakarta.
Porsi pertunjukan tari Ngremo yang beraneka ragam pemanfaatan dan
penyelenggaraan ini, oleh karena itu tidak dapat dikatakan bentuk tetap bagaimana
sesungguhnya panggung yang benar untuk tari Ngremo. Ngremo massal, yang paling sesuai
tempat pertunjukannya adalah arena terbuka atau lapangan. Untuk keperluan apresiasi estetik
adalah pendapa, prosenium dan sejenisnya, untuk keperluan hajatan adalah panggung atau
jalan setapak diantara tempat duduk para tamu undangan. Untuk lomba atau festival, untuk
123

keperluan pendukung partai atau keperluan lain, bentuk arena pentas seperti apa saja
diusahakan dan inilah realitas perkembangan bentuk-bentuk tata pentas untuk
terselenggaranya pertunjukan tari Ngremo.
124

BAB V
NGREMO SEBAGAI TARIAN LUDRUK
KEBERADAANNYA DI TENGAH MASYARAKAT SURABAYA

5.1 Pandangan Masyarakat Surabaya Terhadap Ludruk dan Tari


Ngremo Surabayan
Peneliti terdahulu melaporkan bahwa pertunjukan Ludruk berimplikasi buruk
terhadap kehidupan rumah tangga seseorang. Keberadaan travesti merupakan indikator
yang berpengaruh kepada cara berpikir masyarakat, sehingga terjadi anggapan umum
“bahwa banyak kegiatan homoseksual berlangsung di antara para anggota rombongan
keliling” (Geertz, 1983: 396). Geertz menambahkan, golongan santri hampir sama sekali
menjauhi Ludruk. Demikian juga para orang tua priyayi walaupun mereka sendiri sering
menyaksikan, tetapi melarang anak-anaknya menonton dengan mengatakan tidak baik
menonton Ludruk pada usia yang masih begitu mudah terpengaruh karena Ludruk
merupakan campuran politik kekiri-kirian, melodrama sederhana, kesenian kasar, komedi
murahan, dan bentuk seksualitas yang dilarang (Geert, 1983: 397)
Keadaan yang sama seperti dilaporan Geertz adalah pengalaman penulis sendiri
tatkala usia masih belasan tahun. Orang tua laki-laki penulis tergolong kaum santri benar-
benar melarang penulis untuk menyaksikan pertunjukan Ludruk. Pandangan umum tentang
penyimpangan perilaku seksualitas dijadikan alasan untuk melarang menyaksikan
pertunjukan Ludruk.
Travesti dihubungkan dengan homoseksualitas merupakan trauma bagi orang tua
penulis dikhawatirkan dapat merusak moralitas anak-anaknya. Kekhawatiran benar-benar
dibuktikan ketika penulis menyaksikan pertunjukan Ludruk, mendapat hukuman dengan
kemarahan bahkan penulis sempat mendapat hukuman secara fisik. Akibat penilaian
negatif tersebut dapat mempengaruhi eksistensi kesenian Ludruk sebagai pembawa pesan
moral.
Namun demikian dalam pertunjukan Ludruk terdapat adegan-adegan menarik lain
yang dapat disaksikan misalnya seperti dilaporkan Geertz:

Pelawak peniru perempuan (yang pada dirinya sendiri tidak merupakan objek yang
lucu, karena kebancian bagi orang Jawa hanya lucu dalam pengertian ganjil, bukan
dalam pengertian ’menggelikan’), para penari, dan gamelan semuanya mengaitkan
125

sandiwara itu kepada bentuk-bentuk kebudayaan yang dikenal, hingga seorang


petani yang sebenarnya hanya setengah mengerti tentang plot ceritanya dapat
terpingkal-pingkal karena lawakannya, keheran-heranan melihat permainan para
banci dan menikmati tarian dari para penari (Geertz, 1983: 396).

Informasi tersebut membawa pesan bahwa dalam tubuh Ludruk kalau benar terdapat
sisi negatif sebenarnya bukan pada nilai keseniannya tetapi terdapat pada kemungkinan
perilaku sebagaian pemain Ludruk yang dianggap melanggar moralitas umum.
Kemungkinan perilaku homoseksual pemain Ludruk dikhawatirkan dapat merusak rumah
tangga orang karena menarik lelaki para istri atau pemuda-pemuda yang masih belum
mengerti tentang perilaku seksualitas. Peran travesti merupakan sikap ambivalensi
terhadap aspek homuseksual pada Ludruk itu membawa dampak pada pandangan negatif
sebagian masyarakat.
Pandangan Geertz dari sisi positif yang dapat dinikmati dalam pertunjukan
Ludruk yaitu adegan lawakan dan tari-tarian. Ngremo termasuk tari-tarian di dalam Ludruk
belum pernah mendapat sorotan negatif dari masyarakat umum. Secara normatif
visualisasi tari Ngremo tidak menggangu nilai-nilai kehidupan masyarakat. Dalam
kehidupan sosial masyarakat yang terus berkembang sampai saat ini, meskipun masih ada
masyarakat yang memandang rendah dan negatif terhadap Ludruk tetapi tidak pada tari
Ngremo. Hal mana Ludruk semakin jauh dari realitas kehendak masyarakat, sepi penonton
karena Ludruk tidak akomodatif, susah berkembang, dan tidak ada inovasi di dalamnya
dan kurang peka terhadap perubahan zaman (Supriyanto, 2003: 2). Sedangkan tari Ngremo
terus berkembang pesat di masyarakat.
Memperhatikan dengan seksama laporan Geertz, terdapat tingkatan atau
pembedaan dalam masyarakat. Geertz menilai masyarakat (meskipun penelitian Geertz
dilakukan di daerah sekitar Pare Kediri tetapi secara umum masyarakat jawa tidak jauh
berbeda dari masyarakat yang ada di kediri) terbagi dalam tiga lapisan santri, priyayi dan
abangan, meskipun pembagian semacam itu tidak sepenuhnya benar. Realitas ini
disampaikan oleh peneliti lain bahwa pembagian itu didasarkan pada sistem simbol budaya
yang diidentifikasikan sebagai sistim kepercayaan masyarakat Jawa sehingga pembagian
itu tidak tepat benar (Suparlan, 1983: xii).
Masyarakat di Surabaya tidak mengenal lapisan atau kasta, tetapi dalam
kehidupan sosial kemasyarakatan, terdapat golongan masyarakat yang disebabkan karena
penghargaan terhadap profesi, kepercayaan dan sistem budaya. Artinya, meskipun tidak
126

mengenal kasta atau lapisan tertentu, secara sosiologis pendekatan terhadap masyarakat
dengan sistem profesi, kepercayaan dan sistem budaya, memposisikan entitas tersebut pada
status atau menggolongkan mereka pada kelompok sosial tertentu. Sistem itu terbentuk
karena adanya penghargaan masyarakat kepada profesi, potensi, fungsi dan kemampuan
individu dalam hidup bermasyarakat, Sistem kepercayaan dan sistem budayanya.
Secara garis besar sistem pencaharian atau profesi masyarakat Surabaya
dikelompokkan menjadi Pegawai Sipil pemerintahan dan militer (negara), Guru, pegawai
atau karyawan perusahaan-perusahaan, biro jasa, pedagang. buruh rumah tangga dan buruh
pertanian. Sistem kepercayaan terdiri dari penganut agama resmi yaitu Islam, Kristen
Katolik, Hindu, Budha, Kong Hu Chu dan kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa
yang dikenal dengan kebatinan. Dari sistem profesi dan kepercayaan ini menumbuhkan
pola tingkah laku berkebudayaan termasuk bagaimana mereka berkesenian.
Dalam sistem kepercayaan satu tingkat melahirkan strata sosial seperti ulama atau
kiai, para pendeta, biksu dan istilah lain untuk pemuka agama-agama yang dianut. Pada
tingkat yang dibawahnya disebut sebagai ummat atau penganut agama. Dalam sistem
profesi utamanya kepegawaian pemerintahan negara mewujudkan status sosial yang
penting seperti pejabat. Status ini diduduki oleh sekelompok orang saja. Secara fungsional
merupakan posisi penting yang pada saat mana pola struktur tingkatan dalam kepangkatan
ini menentukan pola tingkah laku bagi status-status sosial dibawahnya.
Begitupun dalam sistim perusahaan dikenal konglomerasi yaitu sekelompok orang
yang memiliki kapasitas tertentu berupa kekayaan dengan sejumlah perusahaan, saham-
saham dan mempunyai hubungan (kolega) dengan para pejabat negara. Status ini juga
membentuk pola tingkah laku khas berhubungan dengan pegawai-pegawai yang ada di
bawah. Pola tingkah laku demikian juga terjadi pada kehidupan masyarakat seni yang di
dalamnya terdapat kelompok elite dikenal sebagai seniman dan atau budayawan.
Kelompok-kelompok profesi dengan sistim kepercayaan yang dianut membawa
dampak terhadap terbentuknya golongan dan atau status sosial. Golongan dan atau status
sosial yang terbetuk akan melahirkan pola pikir, gaya hidup yang berbeda, utamanya sikap
mereka pada kegiatan berbudaya atau berkesenian. Tetapi secara rinci sangat sulit diteliti,
misalnya: orang yang berprofesi sebagai guru, militer, pegawai tinggi, pegawai rendahan
pemerintahan atau swasta itu seperti apa sistim budaya atau cara mereka berkesenian.
Ulama itu profesinya selain sebagai agamawan, mereka bekerja sebagai apa dan bagaimana
mereka menanggapi dunia kesenian, itu juga sulit untuk diteliti secara rinci.
127

Ada seorang pejabat senang pada kesenian tetapi ada juga yang tidak. Sering kali
dijumpai pejabat yang mengurusi kesenian berasal dari latar belakang pendidikan ekonomi,
hukum, arsitektur, dan bahkan mantri pasarpun mengurusi kesenian. Tetapi ada seorang
seniman yang juga pejabat negara. Secara umum saja bahwa sistim kepercayaan lebih
condong menentukan bagaimana dia berbudaya atau berkesenian. Tetapi dapat pula di
generalisasikan bahwa pejabat tertentu memiliki kepedulian terhadap kehidupan kesenian,
utamanya pejabat yang mengurusi bidang kesenian. Demikian juga orang-orang yang
memang kehidupannya dalam kesenian atau berprofesi sebagai pengkarya seni, penggiat
seni atau sekedar menyukai seni.
Masyarakat Surabaya dikenal juga sebagai masyarakat agamis dan pemeluk Islam
mendominasi keadaan masyarakat. Selain masyarakat pribumi (Asli warga negara
Surabaya-Indonesia), terdapat kelompok masyarakat dengan jenis etnis Tiong Hoa, Arab,
dan warga dunia lain yang sudah menjadi penduduk Surabaya dengan beragam profesi dan
keyakinan. Realitas itu merupakan fenomena yang kompleks, rumit, sangat mempengaruhi
cara pandang mereka dalam berkesenian.
Berdasarkan kondisi tersebut diperlukan pembatasan tentang pengertian
masyarakat, yaitu masyarakat yang bagaimana dalam perspektif tanggapannya terhadap
realitas tari Ngremo. Untuk memenuhi kebutuhan penelitian ini pengertian masyarakat
dipersempit pada masyarakat seni, artinya masyarakat Surabaya dan sekitarnya yang
mempunyai kepedulian kepada seni khususnya tari Ngremo dan seni secara umum.
Pembatasan ini tidak memperhatikan profesi dan kepercayaan apa yang dianut oleh
masyarakat seni tersebut. masyarakat seni yang termasuk di dalamnya adalah seniman,
institusi atau pendidikan seni, pemerhati seni yaitu masyarakat yang sering atau setidaknya
dengan sengaja pernah menyaksikan pertunjukan atau pameran seni.
Pembatasan ini dimaksudkan bahwa masyarakat seni setidaknya secara moral
memberikan kontribusi terhadap eksistensi kesenian secara umum utamanya tari Ngremo
(pelestarikan, penghidupan, dan pengembangan). Pertimbangan pemilihan masyarakat seni
sebagai sample adalah untuk mencari kualitas tanggapan masyarakat terhadap keberadaan
tari Ngremo. karena dalam pengamatan secara luas tidak ada wacana negatif dari
tanggapan masyarakat secara umum kepada tari Ngremo, sehingga pembatasan sample
diperlukan untuk menemukan bobot tanggapanya terhadap tari Ngremo.
128

5.1.1 Seniman Sebagai Tokoh Masyarakat Seni

Dalam perspektif budaya tari maka seniman pada pembahasan ini adalah seniman
tari. Seniman tari dalam wacana akademis merupakan pelaku seni tari yang dibedakan
menjadi seniman pencipta dan seniman penyaji. Dalam kehidupan membudaya kedua
entitas tersebut bukanlah perbedaan dikotomis, keduanya saling berhubungan, artinya di
satu pihak seniman bisa sebagai pencipta tari sekaligus sebagai penari, atau seorang yang
pada awalnya sebagai penari tetapi proses kehidupan membudayanya mampu mengajarkan
menari dan menciptakan tariannya sendiri.
Di pihak lain terdapat pelaku seni yang mempunyai kemampuan lebih dalam
penciptaan tetapi tidak atau kurang mampu secara teknik melaksanakan penyajian dan
ungkapan ekspresinya. Seniman model ini mempunyai kemampuan lebih baik pemilihan
fokabuler gerak, dramatika maupun pengolahan medium lainnya. Ketika karya tarinya
ditarikan sendiri tidak nampak berhasil sebagaimana ditarikan oleh orang lain, tatapi ada
penari yang sangat berhasil menyajikan karya tari orang lain, sementara untuk menyusun
karya baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain tidak ada kemampuan.
Dalam wacana akademis pembedaan pencipta dengan penyaji mempunyai
implikasi teoritis maupun implikasi praktis. Implikasi teoritis yang dimaksud adalah bahwa
dalam pengkajian terhadap fenomena budaya tari, agar dapat mencapai analisis yang
memadai menyangkut spesialisasi profesi dalam bidang seni tari diperlukan pembatasan
format yang jelas, spesifik dan fokus. Sehingga dalam pengembangan budaya tari dalam
kehidupan masyarakat dapat diarahkan pada satu bidang profesi seni tari yang mantab.
Implikasi praktis bahwa dalam realitas di masyarakat pembedaan pencipta dan penyaji
sebagai bentuk generalisasi profesi seni tari tidak selalu dapat dicapai dengan tepat. Karena
kedua sisi kehidupan seni yang menyangkut pencipta dan penyaji bisa tumbuh dalam satu
pribadi.
Pada pembahasan ini pelaku tari Ngremo di Surabaya menyangkut pembedaan
tersebut. Ada pelaku tari sebagai penyaji gaya tari Ngremo tertentu (Surabayan) yang
dimodifikasi dengan berbagai gaya yang sedang berkembang selanjutnya menjadi gaya
personalnya. Ada jenis pelaku tari yang hanya mampu dalam bidang penyusunan tari
Ngremo. Tetapi ada juga pelaku tari yang mampu kedua-duanya. Ketiga kategori tersebut
dalam kajian ini merupakan generalisasi dalam sebutan seniman tari (Ngremo). Tetapi ada
129

keraguan apakah penari itu juga disebut seniman, karena ada sementara asumsi bahwa
seniman adalah orang yang produktif menciptakan karya seni.
Menyimak tulisan Chaya tentang apakah penari itu seniman, Chaya menyatakan
bahwa penari tidak bedanya dengan pencipta tari adalah seniman tari. Satu pihak
berkedudukan sebagai seniman pencipta tari, dan satu lagi sebagai seniman penyaji tari.
Dasar argumentasi Chaya bahwa kedua ketegori tersebut sebagai seniman karena karya tari
adalah sebuah peristiwa kesenian. Sebuah peristiwa yang dapat melegitimasi sebuah karya
disebut karya seni. Yaitu pada saat mana terjadi komunikasi antara seniman pencipta
dengan penghayat melalui penyajian karya tari (Chaya, 2003, 291). Penyajian karya tari
merupakan proses peristiwa tari yang dilakukan oleh penyaji tari atau penari.
Dasar pemikiran yang dapat lebih menguatkan adalah aktivitas penari yang
menyangkut kreatif ungkap, ekspresi, interpretasi, mewujudkan ide gagasan dan
pengalaman ke dalam sebuah bentuk tari, serta inovasi dan imajinasi yang tinggi. Proses
yang menyangkut teknik, yaitu kesiapan tubuh dalam pelaksanaan teknik secara utuh.
Dengan itu niscaya seorang penari akan mampu menghadirkan daya ungkap yang kuat
menjelma dalam pancaran ‘roh’ dari suatu sajian tari. Dalam konteks ini penari dapat
dikategorikan sebagai seniman interpretatif atau seniman penafsir (Rochana, 1997: 88)
Seniman tari di Surabaya terdiri dari ketiga kategori seniman seperti yang sudah
dijelaskan. Dalam pembahasa ini akan dilihat tanggapan para seniman tari tersebut kepada
tari Ngremo Surabayan dan tari Ngremo secara umum yang ada di surabaya. Tanggapan
yang dimaksud di sini secara signifikan berupa kreatifitas wujud karya nyata berupa karya
seni tari Ngremo yang ditarikan, yang diciptakan atau tanggapan berupa pernyataan
tentang tari Ngremo yang berkembang di Surabaya.
Munali Pattah adalah seorang penari Ngremo Ludruk yang potensial. Merupakan
generasi setelah penari Ngremo Gondo Durasim yang pernah menjadi gurunya. Sampai
saat ini Munali Pattah merupakan cikal bakal tari Ngremo Surabayan. Disebut sebagai
gaya Surabayan karena ciri khas yang tampak membedakan dengan varian tari Ngremo
jenis lain yang berkembang di Surabaya. Istilah Ngremo Surabayan ini mulai tumbuh dan
berkembang di Surabaya dan sekitaranya diperkirakan mulai tahun 1980-an.
Varian atau gaya Ngremo yang lain seperti gaya Ali Markasan dari Jombang, gaya
Bollet dari Jombang, gaya Malangan yang dimunculkan oleh penari potensial diteruskan
oleh generasi berikutnya yang berkembang di daerah seniman berasal. Dan masih terdapat
gaya-gaya personal lain mengikuti perkembangan berikutnya. Gaya-gaya baru yang
130

muncul kemudian memang belum nampak sebagai gaya personal karena selain masih
bersifat prematur wujud tarinya dibawakan oleh orang lain, sementara sebagai pencipta tari
Ngremo tidak menarikannya sendiri, seperti Ngremo Jugag, Ngremo Gagrak Anyar.
Ngremo baru ini merupakan pengembangan dari Ngremo Surabayan.
Nama Munali Pattah identik dengan kemunculan tari Ngremo Surabayan.
Menyebut Ngremo Surabayan adalah Ngremo Gaya Munali Pattah meskipun dalam
perjalanan waktu telah mengalami perkembangan. Sehingga menyebut nama mantan
pemain Ludruk RRI Surabaya ini, bagi pecinta tari (Ngremo), terbayang Ngremo
Surabayan. Artinya bahwa Munali Pattah dan tari Ngremo Surabayan lekat menjadi satu
dalam budaya tari Ngremo di Surabaya.
Sebagai seorang seniman tradisional juga mantan pegawai pemerintahan negara,
sebagian besar waktu hidupnya diabdikan pada profesinya yaitu penari Ngremo Ludruk
RRI Surabaya. Potensi besar sebagai penari Ngremo satu-satunya yang mempunyai
legitimasi status pegawai pemerintah, Munali Pattah menyebarluaskan kemampuan
kepenariannya kepada masyarakat melalui pendidikan tari di institusi-institusi seni yang
ada di Surabaya. Diawali pertama kali mengajarkan tari Ngremo kepada masyarakat adalah
pada akhir tahun 1960-an di Pusat Latihan Kesenian ”Tjandra Wilatikta”. Selanjutnya di
Konservatori (SMKI) Surabaya, IKIP (UNESA) Surabaya, dan Sekolah Tinggi Kesenian
Wilwatikta (STKW) Surabaya.
Dasar pemikiran Munali Pattah mengajarkan tari Ngremo di luar kebiasaan Ludruk
adalah berawal dari kegelisahan tentang mulai punahnya beberapa tarian yang ada di dalam
pertunjukan Ludruk seperti, tari Kecak, tari Ceklekan, tari Somogambar dan tari
Gambyong. Tari Ngremo yang dianggap paling potensial, bentuk ragam geraknya lebih
kaya dan masih tetap hidup dalam pertunjukan Ludruk dipertahankan dan dilestarikan.
Upaya mempertahankan dan melestarikan salah satunya adalah dengan cara mengajarkan
tari Ngremo di luar orang Ludruk.
Cara lain yang ditempuh oleh Munali Pattah adalah memadatkan tari Ngremo.
Semula tari Ngremo lengkap mencapai 45 menit kemudian dipadatkan hingga mencapai
12 sampai 8 menit. Pemadatan ini selain didasari oleh pelestarian itu sendiri, lebih
penting menurut Munali Pattah adalah untuk menyesuaikan dengan kondisi jaman.
Pemadatan diusahakan tidak merubah struktur dan tidak mengurangi bobot penyajiannya.
Yang dilakukan dalam pemadatan adalah memperkecil variasi dan mengurangi bentuk
repetisi yang dirasa bisa menimbulkan kejemuan. Tujuan utama dari pemadatan adalah
131

agar tari Ngremo Surabayan tetap digemari oleh masyarakat pendukungnya dan supaya
aktual dengan jaman yang selalu menuntut lebih cepat (Pattah, wawancara, 2001: Oktober
13). Pattah dalam sebuah wawancara juga menambahkan; penyesuaian waktu itu juga
didorong oleh kondisi penyajian tari tradidional lain seperti tari Klono, Gambir Anom gaya
Surakarta yang pada tahun 1970-an sudah mencapai lebih kurang 10 menit (Pattah dalam
Supadmi, 1993: 14).
Munculnya Munali Pattah melanjutkan generasi sebelumnya merupakan kelanjutan
dari Ngremo yang satu. Perkembangan personal yang beragam sekarang ini merupakan
kreativitas seniman-seniman Ngremo dalam Ludruk. Yaitu wujud dari tanggung jawab
seniman untuk melestarikan dan mengembangkan tari Ngremo berdasarkan kemampuan
individu penari Masing-masing. Seperti halnya Bolet, menurut pengakuan Munali Pattah
adalah angkatan muda yang pernah belajar Ngremo bersama dirinya di Surabaya. Tidak
beda dengan Toebi, Adek, Ali Markasan adalah penari Ngremo satu genarasi seusia
Munali Pattah yang sama-sama menyerap tari Ngremo dari sumber yang satu yaitu
Generasi Minin dan Durasim.
Dikenalnya gaya daerah sebenarnya adalah upaya seniman yang ada di dalam
birokrasi pemerintah untuk memudahkan mengidentifikasi gaya ngremo karena untuk
menyesuaikan petunjuk pelaksanaan lomba atau festival ngremo yang beragam. Untuk
memudahkan mengenali tari Ngremo yang personal dan beragam tersebut kemudian
dikelompokkan atas dasar wilayah atau tempat seniman Ngremo berasal.
Sejak Munali Pattah aktif menyebarkan Ngremo kepada masyarakat, salah seorang
guru tari di konservatori (SMKI) Surabaya yang bernama Soenarto AS sangat berminat
untuk mempelajari tari Ngremo Munali Pattah, dalam waktu dua tahun Soenarto AS
mampu menguasai secara teknik tari Ngremo Munali Pattah. Sebagai seorang guru tari,
Soenarto AS berusaha mengembangkan tari Ngremo Munali Pattah dari sisi pengolahan
unsur-unsur tari yaitu mengolah volume, ritme maupun irama tari. Secara visual Soenarto
AS juga mengembangkan busana yang sesuai dengan selera personal Soenarto dengan
alasan untuk mencari kekhasan Jawa Timur, karena menurut Soenarto busana Ngremo
Munali Pattah masih cenderung ke Jawa Tengahan utamanya motif kain dan perlengkapan
lainnya (Soenarto AS., wawancara, 2003: April, 13).
Tindakan Soenarto AS ini juga dibenarkan oleh Handoyo bahwa Soenarto
mempunyai peranan penting pada awal penyebaran tari Ngremo Surabayan. Melalui jalur
akademis yaitu konservatori (SMKI) menurut Handoyo, Soenarto AS terlibat secara aktif
132

mengembangkan tari Ngremo Munali Pattah ini dari sisi teknik gerak maupun
pengembangan busana. Sehingga, lanjut Handoyo; Ngremo SMKI ini sering di undang ke
Istana Negara pada tahun 1970-an dan 1980-an. Penyebarluasan tari Ngremo hasil
pengembangan Soenarto AS atas tari Ngremo Munali Pattah dilanjutkan pada Institusi Seni
yang lebih tinggi yaitu di Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya.
Meskipun tari Ngremo modifikasi Soenarto AS atau Ngremo gaya Soenarto AS
sebagai produk sekolah tidak terlalu populer atau tidak selalu berada di depan, setidaknya
telah mendasari secara teknik, pengalaman pentas, dan apresiasi terhadapnya. Ukuran
estetik sebagai dasar pembentukan karakter Ngremo pada tataran akademis ini telah
diupayakan lebih awal oleh institusi-institusi sekolah ini. Tari Ngremo kemudian menjadi
bahan ajar yang wajib ditempuh oleh setiap anak didik sebelum atau secara bersama-sama
siswa dan atau mahasiswa dikenalkan bentuk tari-tarian lain.
Seperti yang dinyatakan Handoyo, Soenarto AS sendiri menganggap bahwa tari
Ngremo merupakan jiwa masyarakat Jawa Timur utamanya Surabaya. Semangat, dinamis
dan sikap herois sebagai warisan sejarah patriotik menjadi watak khas masyarakat
Surabaya tercermin dalam tari Ngremo. Bahkan menurut Soenarto, hampir-hampir secara
administratif tari Ngremo disyahkan dengan surat keputusan sebagai tari simbol pahlawan
milik pemerintah Jawa Timur yang harus diajarkan kepada anak didik di sekolah-sekolah
se jawa timur (Soenarto AS, wawancara, 2003: April 13).
Handoyo sendiri adalah seorang penari Ngremo. Dalam sebuah wawancara,
Handoyo mengatakan; Ngremo merupakan kesenian tari asli Jawa Timur dan Surabaya
adalah pusat pertumbuhan dan pengembangan. Sebagai tarian khas Surabaya, maskot atau
simbol budaya Jawa Timur, Ngremo harus tetap dilestarikan dan dikembangkan.
Pelestarian dan pengembangan tari Ngremo tidak hanya gaya Surabayan saja, semua gaya
tari Ngremo, apakah itu gaya Ali Markasan dari Jombang, gaya Bolet, Gaya Toebi, dan
gaya-gaya lain yang tumbuh sayogyanya terus dikembangkan untuk menyesuaikan jaman.
Karena tari Ngremo secara umum merupakan pengembangan dari Ngremo yang satu yaitu
Ngremo Ludruk.
Handoyo menyatakan bahwa tari Ngremo merupakan ciri khas tarian Jawa Timuran
yang mengandung nilai semangat kepahlawanan masyarakat Surabaya. Heroisme ketika
masa pergolakan, masa revolusi terangkum dalam sikap dan wujud tari Ngremo. Bahwa
pada masa mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia, di Surabaya Ludruk dan
Ngremo turut serta memberi semangat kepada para pejuang yang sudah loyo semangatnya
133

dibangkitkan kembali lewat tari Ngremo dan lakon-lakon Ludruk yang bertemakan
perjuangan (Handoyo, wawancara 2004: Januari 4).
Sebagai keluarga seniman Ludruk Handoyo adalah Seorang penari Ngremo salah
satu murid dari Soenarto AS di SMKI. Berangkat dari Ngremo Surabayan, Handoyo
mengadopsi variasi gerak dari beberapa gaya Ngremo yang ada menjadi satu bentuk
Ngremo khas gaya pribadinya. Meskipum belum nampak memiliki komunitas,
kemampuanya ditunjukkan dengan sering meraih prestasi dalam lomba tari Ngremo tingkat
dewasa di Surabaya. Tahun 1998 meraih juara I tingkat Nasional dengan gaya personalnya.
Sebagai pegawai pemerintah karena kemampuannya dalam bidang kesenian, Handoyo
merasa mempunyai tanggung jawab melestarikan dan terus mengembangkan gaya
personalnya yang dirasakan sendiri belum mantab.
Dalam perjalanan pertumbuhan dan perkembangan tari Ngremo, pemerintah daerah
mempunyai peran yang sangat penting. Strategi yang dijalankan adalah dengan sengaja
mengangkat seniman-seniman tradisional yang masih muda (dan generasi Ludruk yang
sudah tua) menjadi pegawai pemerintah. Dana disiapkan untuk melestarikan dan
mengembangkan tari Ngremo serta tari-tari tradisional khas Jawa Timur yang lain.
Suatu agenda pemerintah daerah dapat dilihat peranannya melestarikan tari Ngremo
dengan menganggarkan khusus untuk pengadaan busana tari Ngremo. Pada tahun
anggaran 1989-1990, dan tahun anggaran 1992-1993 dengan topik “Proyek Pembinaan dan
Pengembangan Kebudayaan Daerah”, Pemerintah daerah Tingkat I Jawa Timur
mengadakan busana tari Ngremo untuk dibagikan kepada 37 Daerah Tingkat II se Jawa
Tmur. Upaya tersebut merupakan cara untuk memasyarakatkan tari Ngremo ke seluruh
wilayah di Jawa Timur.
Munculnya program-program bantuan busana tari Ngremo untuk seluruh daerah
Tingkat II se Jawa Timur tidak lepas dari keterlibatan para seniman yang menjadi bagian
dari birokrasi negara di tingkat lokal Jawa Timur. Begitu juga sanggar-sanggar seni tari,
setiap tahun (tidak hanya sekali) terlibat sebagai peserta lomba tari Ngremo yang diadakan
oleh institusi pemerintah (baik dari bidang kesenian, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan,
Dinas Pariwisata) dari usia anak-anak, usia remaja sampai usia dewasa. Sanggar tari
tersebut setiap tahun mendapat bantuan pembinaan dengan kucuran dana ataupun alat-alat
kesenian dari pemerintah daerah tingkat I Jawa Timur.
134

5.1.2 Institusi Pendidikan Seni

Pada bab terdahulu pernah disinggung tentang institusi seni seperti Konservatori
(SMKI), IKIP (UNESA), STKW Surabaya peranannya dalam pelestarian dan
pengembangan tari Ngremo. Institusi dalam bidang pendidikan formal tersebut secara
nyata telah mengambil bagian penting dalam memajukan eksistensi tari Ngremo. Institusi
pendidikan seni yang nonformal seperti sanggar-sanggar tari yang muncul kemudian juga
mempunyai peran dalam pelestarian dan pengembangan tari Ngremo. Di Surabaya tumbuh
tidak kurang dari dua puluh kelompok atau sanggar tari yang hampir keseluruhan
mengajarkan tari Ngremo sebagai materi pendidikannya (kecuali yang mengajarkan tari
balet). Dari jumlah kelompok atau sanggar tari yang ada terdapat beberapa sanggar tari
yang secara aktif dan menonjol memberi pembekalan tari Ngremo pada siswa-siswanya.
Dalam tulisan ini diambil contoh sanggar-sanggar yang mengajarkan tari Ngremo
dan berpengaruh kuat terhadap kehidupan tari Ngremo. Tiga sanggar tari diambil sebagai
rujukan, yaitu Yayasan Kesenian Bina Tari Jawa Timur. Yayasan yang usianya sudah
mencapai 27 tahun ini latihan tari dipusatkan di Taman Budaya Jawa Timur. Yang kedua
adalah Raff Dance Compani, yang membuka sebuah studio Alam di Waru Sidoarjo.
Kelompok tari yang berdiri tahun 1990-an ini latihan tari dipusatkan juga di Taman
Budaya Jawa Timur. Yang ketiga adalah Sanggar Tari Putra Bima Respati. Sanggar tari
yang muncul pada tahun 1997 ini, anak didiknya sudah mengukir banyak prestasi.
Kegiatan latihan dipusatkan di sanggar tari yaitu Jl. Tambak Segaran Wetan Surabaya.
Yayasan Kesenian Bina Tari Jawa Timur merupakan awal berdirinya pelatihan tari
dengan dasar tari Jawa Timuran setelah sebelumnya sudah ada Taman Candra Wilwatikta.
Tri Broto Wibisono adalah perintis, pendiri sekaligus pimpinan Yayasan Bina Tari Jawa
Timur hingga sampai saat ini. Sebagai pendidikan seni tari nonformal, saat ditulisnya
laporan penelitian ini Bina Tari telah memiliki siswa kurang lebih dua ratus anak didik.
Tari Ngremo diajarkan pada strata usia yang dikelompokkan pada usia remaja dan dewasa
dimulai pada usia 13 tahun. Pada tingkat pra anak usia 9 tahun sampai tingkat anak usia 13
tahun belum dikenalkan tari Ngremo. Dasar pemikirannya adalah bahwa tari Ngremo
termasuk jenis tarian dewasa sehingga pengenalannya baru pada usia remaja.Tari Ngremo
pertama kali dikenalkan di sanggar ini adalah tari Ngremo Surabayan yang berkarakter
Sawunggalingan. Tari Ngremo Sawunggalingan dikembangkan lagi menjadi Ngremo
135

Jugag (Wibisono, wawancara 2004 Januari 21). Setelah menguasai tari Ngremo Jugag
dengan baik, anak didik Bina tari dibekali dengan materi tari Ngremo gaya Jombangan.
Selain sebagai pimpinan Yayasan Tri Broto Wibisono adalah pegawai pemerintah
dalam bidang kesenian, menjabat sebagai Kepala Seksi Kebudayaan di tingkat II Surabaya.
Dengan posisi yang penting itu Tri Broto memiliki peran besar sebagai penggiat seni tari.
Kedudukan sebagai pimpinan yayasan sekaligus jabatan penting dibidang kesenian
memiliki nilai legitimasi dalam menentukan kehidupan kesenian tari di Surabaya. Tari
Ngremo Jugag produk sanggar yang didirikannya dimanfaatkan secara maksimal dalam
kegiatan-kegiatan formal institusional maupun kegiatan pelatihan.

21. Tari Ngremo


ditarikan secara masal
menyambut Wapres Tri
Sutrisno di Surabaya
tahun 1995. (repro foto
koleksi: Dinas
Pariwisata Jawa Timur
1995)

Tari Ngremo
Jugag pertama kali
dipublikasikan
tahun 1997 melalui
kegiatan yang
langsung berhadapan dengan massa publik. Yaitu pada acara pembukaan pesta olah raga se
Asia Tenggara di Jakarta. Selanjutnya tari Ngrmo Jugag selalu menyemarakkan setiap
acara institusional di Surabaya. Yang paling penting untuk di catat bahwa Pemerintah Kota
Surabaya pernah menginstruksikan kepada guru-guru dan pelatih tari se Kota Madya
Surabaya untuk menguasai tari Ngremo Jugag ini. Selanjutnya ditransformasikan kepada
anak didik untuk persiapan penggalangan penari Ngremo dalam jumlah yang besar. Tujuan
utama adalah mengisi acara peringatan hari-hari besar Nasional dan khusus untuk hari jadi
kota Surabaya. Fenomena patriotisme premordial ini mengkondisikan keseragaman nilai
budaya kepahlawanan melalui pelatihan-pelatihan tari Ngremo jugag yang selanjutnya
marak dilaksanakan.
Raff Dance Company adalah sanggar tari, didirikan dan dipimpin oleh Arief Rofiq
yang juga pegawai Taman Budaya Jawa Timur. Posisi sebagai pegawai, keterlibatan aktif
136

dalam kegiatan kesenian di jajaran pemerintahan membekali kepemimpinan organisasi


kesenian yang didirikan. Bermacam kegiatan pergelaraan tari dari berbagai jenis, motif,
dan sasaran, sanggar Raff Dance siap menangani. Kemampuan keorganisasian kesenian
yang cukup baik, instansi seni pemerintah seringkali bekerja sama dengan Raff Dance
untuk menangani suatu kegiatan seperti festival-festival atau lomba tari. Seperti lomba tari
Ngremo Ludruk dan Ngremo Remaja pada tanggal 2 sampai 4 Januari 2004 adalah kerja
sama Dinas Pariwisata Jawa Timur dengan Raff Dance Company.
Kepedulianya kepada kelestarian tari Ngremo, Raff Dance mengenalkan tari
Ngremo Surabayan melalui anak didik sanggar tarinya sejak usia dini. Pada Usia indria,
Raff Dance mengenalkan tari Ngremo melalui beberapa bentuk atau sikap sebagian kecil
repertoar ragam gerak yang paling mudah. Materi ragam gerak disusun dalam beberapa
pengulangan diiringi gending Surabayan sebagaimana lazimnya tari Ngremo. Tujuan
pengenalan gerak tari Ngremo tersebut adalah untuk membentuk sejak dini dasar gerak tari
Ngremo (Arief Rofiq, wawancara 2004: Januari 4).
Pada usia anak, tari Ngremo dikenalkan melalui susunan materi gerak yang padat
tetapi memenuhi standar struktur koreografi Ngremo secara wajar. Susunan tari Ngremo
pada usia anak ini juga menggunakan Gending Surabayan tetapi permainan irama gending
masih cenderung lamban.
Sedangkan pada usia remaja,
anak didik sanggar Raff Dance
ini dibekali dengan tari Ngremo
secara umum (Raff Dance
Company, 2003: VCD Volume
4).

22. Tari Ngremo yang disajikan oleh


anak usia sekolah dasar.
(foto koleksi: Wahyudiyanto 2008)

Berbeda dengan sanggar


tari Putra Bima Respati, sanggar
tari ini mengenalkan tari
Ngremo kreasinya secara langsung pada usia pra anak. Sejak usia taman kanak-kanak tari
Ngremo diajarkan dengan disiplin yang ketat. Aspek psikologis sebagai pertimbangan
137

perkembangan kejiwaan dalam sistem pembelajaran anak didik benar-benar


dikesampingkan. Penerapan model pembelajaran dengan cara ketat oleh sanggar Putra
Bima Respati ini telah dihasilkan penari-penari kecil yang tangguh.
Mulai awal tahun 1998 sanggar ini mengenalkan materi tari Ngremo Surabayan
yang setelah sebelumnya hanya mengajarkan tari-tarian tradisional klasik gaya Surakarta.
Diperkenalkannya tari Ngremo Surabayan ini kepada anak didiknya setelah pengalaman
pergaulan pimpinan sanggar tari ini dengan tokoh-tokoh Ngremo Surabayan seperti Munali
Pattah dan Marsudi (Marsudi adalah Penari Ludruk RRI satu generasi setelah Munali
Pattah) menghasilkan penguasaan tari Ngremo Surabayan secara mantab.
Dalam satu wawancara terlontar sebuah pengakuan mengapa dipilih materi tari
Ngremo Surabayan sebagai materi sanggar. Sementara tari Ngremo yang sedang mendapat
simpati dari masyarakat adalah Ngremo Bolet, dan juga gaya Toebi. Dua alasan yang
dikemukakan, pertama; tari Ngremo Surabayan sudah memiliki komunitas pendukung
cukup luas, dan sebagai wilayah budaya, secara moral ada tanggung jawab untuk
melestarikan Ngremo Surabayan. Alasan kedua adalah keinginan sanggar Putra Bima
Respati untuk mengembangkan Ngremo Surabayan lebih dari yang ada saat ini (Sariono,
wawancara 2004, Januari 19). Pernyataan pimpinan sanggar tari ini, secara eksplisit
terkandung harapan mendapat simpati dan dukungan dari masyarakat.
Pimpinan sanggar adalah sekaligus pemateri dan pelatih tari Ngremo Surabayan
hasil kreasinya. Dalam satu tahun pendidikan, Sanggar Tari Putra Bima Respati mendapat
prestasi yang cukup dibanggakan. Sampai dengan tahun 2004 keterlibatan sanggar ini
dalam kegiatan-kegiatan lomba atau festival tari Ngremo membawa wacana baru
perkembangan tari Ngremo secara umum, sehingga dengan cepat dikenal secara luas oleh
masyarakat di Surabaya.
Keberhasilan memperoleh gelar juara dalam setiap lomba menempatkan sanggar ini
pada kedudukan yang penting. Pertama; sanggar tari Putra Bima Respati dipercaya oleh
pengguna seni tari Ngremo (utamanya institusi pemerintahan dalam bidang kesenian)
untuk menyiapkan tari Ngremo berbagai strata usia dalam rangka memenuhi kebutuhan
seremonial dan atau ritual kenegaraan. Tari Ngremo produk Sanggar tari ini tidak henti-
hentinya dipakai sebagai sarana pemenuhan kepentingan negara di tingkat lokal (Tingkat
II, Tingkat I) sampai dengan untuk kepentingan nasional di istana negara. Kedua; sanggar
tari ini mendapat simpati secara luas dari masyarakat dilihat dari murid-murid sanggar tari
yang dibina (terutama pada tingkat anak-anak) terus bertambah.
138

Dalam kaitan ini maka perubahan orientasi tujuan perubahan materi pendidikan
sanggar dari tari tradisional gaya Surakarta beralih menjadi tari Ngremo Surabayan, seperti
pendapat Franz Magnis Suseno (1987: 84) “bagaimanapun keputusan yang diambil
seseorang tidak mungkin bebas sama sekali dari unsur-unsur yang kurang murni, seperti
unsur mencari keuntungan dan kenikmatan”. Pengambilan keputusan itu secara positif
mengantarkan sanggar tari Putra Bima Respati lebih dikenal masyarakat secara luas
selanjutnya sering dipanggil pentas oleh pemerintah daerah Tingkat II Surabaya dan
Tingkat I Jawa Timur.
Gagrak Wetan atau Gagrak Anyar adalah sebutan dari kreasi tari Ngremo garapan
Sanggar Tari Bima Respati (Jawa Post Radar Malang, 2003: Juli 27). Tarian Ngremo ini
dikreasi dari pijakan Ngremo Surabayan yang dikombinasi dengan berbagai gaya yang ada.
Ngremo Surabayan sebagai pijakan konstruksi gerak sedangkan dinamika dan pola ritme
mengadopsi dari Bolet, Toebi dan gaya lain (Sariono, wawancara 2004: Januari 18). Ada
rasa kebanggaan dari murid Sanggar Putra Bima Respati ketika memenangkan lomba tari
Ngremo remaja se Jawa Timur. Susanti dalam sebuah wawancara menyatakan:

.... “Sebenarnya kalau dirasakan sangat menyakitkan apabila memperhatikan


bagaimana cara sanggar tari Putra Bima Respati mendidik murid-muridnya. Keras,
disiplin dan pelatihnya sering marah-marah apabila anak didik tidak mematuhi
aturan yang diterapkan. Pelatihan fisik yang tidak mengenal rasa lelah. Semakin
lelah yang dirasakan oleh murid-murid, justru dari situ dimulai latihan tari yang
sesungguhnya. Saya pernah menangis ketika sudah benar-benar letih tetapi latihan
terus, terus dan terus harus berlatih. Dimarahi kalau mencoba untuk istirahat
apabila belum waktunya istirahat. Tetapi kerja keras itu tidak sia-sia karena nampak
sekali hasilnya. Saya sering memenangkan kejuaraan lomba tari Ngremo termasuk
yang dilaksanakan finalnya tanggal 4 Januari 2004 kemarin” (Susanti, wawancara,
2004: Januari 18).

5.1.3 Masyarakat Umum Pemerhati Seni Tari

Secara umum masyarakat surabaya dan sekitarnya menerima dengan baik


kehadiran tari Ngremo. Menerima dengan baik diartikan sebagai ungkapan rasa memiliki
bagi segenap masyarakat Surabaya atas tari Ngremo. Rasa memiliki dimaksudkan pula
bahwa sebagai wujud kebudayaan, tari Ngremo sudah menjadi bagian dari kehidupan di
antara kehidupan lain seperti kehidupan ekonomi, pendidikan, kemasyarakatan dan tidak
dirasakan asing apabila dihadirkan tari Ngremo dalam situasi yang bagaimanapun.
139

Rasa memiliki ditunjukkan pula dengan tidak membedakan penerimaannya pada


tari Ngremo Surabaya atau tari Ngremo yang lain. Kenyataan ini dibuktikan dengan
diakomodasikannya setiap gaya tari Ngremo yang berkembang di Surabaya dan sekitarnya
seperti gaya Bolet (periksa gambar: 23), gaya Malangan (periksa gambar: 24). Dan juga
tidak hanya Ludruk yang menggunakan tari Ngremo, tetapi pertunjukan tradisional lain
seperti wayang kulit Jawa Timuran, tayub (tandakan), kentrung dan pada setiap hajatan
Pemerintah Kota Surabaya dan atau Pemerintah Propinsi Jawa Timur dapat kita saksikan
tari Ngremo selalu hadir menyertai acara pertunjukan.

23. Tari Ngremo gaya Bollet (Jombang) yang 24.Tari Ngremo gaya Malangan variasi
kaya dengan permainan sampur, badan ngligo, sampur pada lengan kiri dan busana yang
iket kepala model bali (foto koleksi: membedakan dengan gaya Surabaya atau
Wahyudiyanto 2004) Jombang (foto repro koleksi: Robby Hidajat)

Di tingkat kota, kecamatan, di kampung-kampung bahkan di gang-gang


pelosok desa dalam wilayah Surabaya, tari Ngremo dihadirkan mengisi acara pertunjukan
utamanya pada peringatan Hari Jadi Kota Surabaya, seperti menjadi hukum wajib bagi tari
Ngremo untuk tampil pertama kali mengisi acara pertunjukan kesenian.
Dapat dikatakan di sini bahwa penerimaan itu sudah menjadi kewajaran bagi warga
kota Surabaya. Tidak terdengar penolakan terhadap kehadiran tari Ngremo baik ditinjau
dari segi artistik, estetik, historis, maupun filosifis. Kecuali dalam arena perlombaan,
140

konflik antar gaya, kelompok ataupun persoalan teknis pnyelenggaraan perlombaan


seringkali terdengar perdebatan yang panjang saling berebut pengaruh.
Dalam tulisan ini, penerimaan masyarakat atas tari Ngremo dilihat dari bobot
apresiasinya yang cukup signifikan dalam menentukan keberlanjutan kehidupan tari
Ngremo. Terdapat tiga faktor yang dapat dirumusan sebagai formulasi kajian tentang
penerimaan masyarakat atas tari Ngremo. Pada saat mana tiga faktor tersebut sangat
berpengaruh dan dapat menempatkan tingkat kualitas apresiasi masyarakat terhadap tari
Ngremo. Pertama; bagaimana pengenalan awal dan derajat persinggungan masyarakat
dengan tari Ngremo. Kedua; pembiasaan atau cara sosialisasi tari Ngremo pada
masyarakat. Ketiga seberapa jauh frekuensi dan intensitas pergaulannya dengan
pertunjukan tari Ngremo. Frekuensi menyangkut seberapa banyak persentuhan masyarakat
dengan pertunjukan tari Ngremo. Intensitas pergaulan yang dimaksud adalah pengetahuan
yang lebih mendasar mengenai aspek ide tematik dan pertunjukannya serta keterlibatan
baik secara kuantitas maupun kualitas dalam kegiatan-kegiatan pertunjukan.
Dari data yang diperoleh melalui penyebaran quesioner (daftar pertanyaan yang
diajukan) lebih dari dua ratus limapuluh (250) informan berkenaan dengan pengenalan
awal tari Ngremo, dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama; pengenalan awal tari
Ngremo dari Ludruk lebih banyak di lakukan oleh yang berusia lebih dari tiga puluh lima
tahun. Sedangkan pengenalan awal tari ngremo dari pertunjukan di luar Ludruk seperti di
acara sekolah, pelatihan dan tari Ngremo kolosal lebih banyak dilakukan oleh yang berusia
kurang dari tiga puluh lima tahun. Adapun informan terdiri dari guru tari di tingkat
Sekolah Dasar dan menengah, wali murid sanggar, dan penonton pertunjukan tari Ngremo.
Lihat tabel 5.
Tabel 5.
Pengenalan Awal Tari Ngremo

No. Awal mula tari Ngremo dikenal Kelompok Usia


Kurang dari 35 th Lebih dari 35 Th
1. Ngremo dalam pertunjukan Ludruk 3% 47%
2. Ngremo dalam pertunjukan wayang kulit 6% 7%
3. Ngremo dalam pelatihan-pelatihan 0% 0%
Ngremo dalam perhelatan masyarakat dan
4. 32% 5%
negara

Ludruk semenjak awal pertumbuhan menjadi alternatif hiburan menarik bagi


masyarakat (pribumi) Surabaya dan sekitarnya. Tari Ngremo tentu tidak lepas dari
141

perhatian penontonya. Seperti laporan Geertz selain dagelan, tari Ngremo merupakan
sajian yang sangat digemari oleh sebagian besar masyarakat.
Ketertarikan masyarakat pada tari Ngremo tersebut bukan sesuatu yang berlebihan
karena pertujukan Ludruk dalam mengkondisikan situasi seputar mengawali pertunjukan
tari Ngremo, mampu menciptakan rasa bergelora melalui sajian gending Jula-juli dan atau
Surabayan. Situasi dinamis, bersemangat yang khas dari rasa gending dapat memukau
penonton sampai jarak yang cukup jauh sekalipun. Lebih-lebih ketika penari Ngremo
sudah tampil dihadapan penggemarnya; kelincahan, kegagahan dan penampakan fisik
penari yang cakap menjadi pilihan kenapa penonton menyukai tari Ngremo. Ketertarikan
yang berlanjut menjadi menyukai, menghargai ditunjukkan lebih kongkrit pada
kegemarannya menyaksikan pertunjukan tari Ngremo di dalam maupun di luar pertunjukan
Ludruk dan memasukkan putra-putrinya untuk mengikuti pendidikan kesenian (tari
Ngremo) di sanggar-sanggar tari.
Dalam pengenalan tari Ngremo personal melalui Ludruk, pembiasaan, hasrat untuk
bersentuhan dengan tari Ngremo bukanlah keadaan yang diharuskan. Atau dengan kata lain
pengenalan dan pembiasaan persentuhan dengan tari Ngremo bisa saja terjadi secara
“alami”, disadari, atau tanpa ada unsur kesengajaan. Tetapi dengan pengenalan awal sangat
mungkin dapat menumbuhkan rasa menyukai dan selanjutnya tumbuh rasa penghargaan.
Ketika tari Ngremo dihadirkan secara kolosal pada kegiatan-kegiatan ritual
kenegaraan ataupun sekedar seremonial, masyarakat menyambut lebih bergairah, lebih
bersemangat karena dapat menumbuhkan lebih besar semangat patriotis meskipun hanya
bersifat imajiner (periksa gambar: 21 dan 25). Semangat yang hidup dalam tari Ngremo
lebih nampak besar, bergelora apabila diwujudkan dalam sajian tari Ngremo dengan
jumlah penari yang besar. Jangkauan image tentang nilai kepahlawanan dengan cepat
terbangun kembali apabila dibangkitkan dengan kehadiran banyak penari. Fenomena tari
Ngremo kolosal ini merupakan kesadaran inividu yang diarahkan kepada kesadaran
kolektif. Artinya yang nampak sebagai nilai individu menjadi nilai bersama karena
terdapat persamaan ideologi dalam satu komunitas besar.
Kehadiran tari Ngremo dalam sajian berkelompok adalah fenomena baru
merupakan strategi untuk terus menerus mendekatkan tarian ini dengan masyarakat
meskipun Ngremo tunggal tetap dilestarikan. Pada tataran inilah masyarakat pada usia
kurang dari tiga puluh lima tahun mulai banyak mengenal tari Ngremo melalui sajian-
sajian tari Ngremo cara kolosal.
142

25. Tari Ngremo Kolosal tahun 1970-an di lapangan Kodam Brawijaya Surabaya dalam rangka peringatan
hari besar Angkatan Bersenjata RI disambut meriah oleh masyarakat. (foto repro koleksi: Munali Pattah)

Perlu tidaknya tari Ngremo terus dilestarikan, masyarakat mempunyai harapan


yang cukup signifikan. Hasil penelitian menyebutkan bahwa rata-rata masyarakat
menghendaki agar tari Ngremo terus dilestarikan karena menurut pendapat informan, tari
Ngremo adalah tarian yang sarat dengan nilai-nilai perjuangan masyarakat Jawa Timur
(Surabaya). Masyarakat menghendaki peran pemerintah daerah atau sanggar-sanggar tari
untuk meletarikan tari Ngremo mengadakan secara rutin pelatihan-pelatihan, perlombaan-
perlombaan berdasarkan kelompok usia yakni mulai usia 6, 8 10, usia SLTP, usia SLTA
dan sekali waktu menyelenggarakan festival Ngremo Ludruk.
Harapan masyarakat seperti ini didasari oleh sering kali-nya diselenggarakan
pertunjukan tari Ngremo dalam jumlah yang besar tetapi terdapat kualitas kepenarian yang
kurang baik, kurang seragam, dan kurang rampak. Pernyataan ini terungkap dalam suatu
pengambilan data penelitian, yang terangkum dalam data tabel 6 sebagai berikut:
143

Tabel 6.
Harapan Keberlanjutan Tari Ngremo
Prosentase
No. Pilihan Harapan Pelestarian pemilihan
Pelatihan melalui pemerintah daerah 68 %
1.
Pelatihan Melalui Sanggar-sanggar Tari 28 %
2.
Pelatihan Melalui seniman Ngremo Ludruk 4%
3.

Harapan masyarakat Surabaya dan sekitarnnya yang diwakili oleh pelaku dan
pemerhati aktif tari Ngremo menampakkan indikasi tentang kelestarian dan perkembangan
tari Ngremo. Hal mana --sampai dengan penelitian ini di tulis-- harapan masyarakat itu
masih diwujudkan oleh pemerintah Kota, yang dimaksud adalah Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan kota Surabaya, Dinas Pariwisata Kota Surabaya, dan sanggar-sanggar tari di
Surabaya yang berbasis tari tradisional.
Kepedulian masyarakat Surabaya dan sekitarnya atas lestarinya tari Ngremo tidak
hanya pada keberlanjutan kehidupannya saja tetapi bagaimana supaya tari Ngremo tetap
aktual sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang terus berubah dan berkembang.
Pemahaman seperti itu didasari oleh pengalaman masyarakat menyaksikan keberadaan
tari-tari traisional di banyak daerah di wilayah Jawa Timur dan di Indonesia pada
umumnya banyak yang punah karena tidak disentuh oleh kreatifitas para kreatornya. Oleh
karenanya pembenahan artistik, perampingan koreografi, kecakapan fisual atribut terus
diupayakan dalam kerangka pengembangan yang lebih kontekstual.
Kelekatan masyarakat pada tari Ngemo karena faktor frekuensi pengenalan yang
terus menerus diupayakan oleh berbagai pihak. Intensitas keterlibatan pada berbagai
kegiatan yang menggunakan tari Ngremo sebagai tujuan pokok maupun sekedar
pelengkap. Pengenalan panjang dan intensitas keterlibatan yang dalam membuahkan
pemahaman tidak hanya sekedar fisik tetapi menyentuh bagian substansi tari Ngremo
sendiri yaitu ideologis, historis, dan filosofis.
Kesadaran sebagai manusia membudaya refleksinya tercermin dalam produk
kesenian. Kesenian terlahir dari pergulatan kehidupan menyeluruh yang komplek. Dengan
kata lain kesenian sebagai bagian dari kebudayaan merupakan genius lokal yang lahir
bukan saja oleh karena sebuah pengalaman batin yang dalam tentang kehidupan yang
dihadapi tetapi juga atas refleksi jati hidup manusia yang mngalami proses interaksi dan
144

komunikasi dengan berbagai lingkungan, seperti faktor tekanan atas politik karena proses
penjajahan yang cukup panjang, atau resistensi yang didorong sikap nasionalisme bersama-
sama oleh kekuasaan sehingga sikap kritis dan jenius lokal melahirkan spirit kebangsaan
yang mendalam. Melalui tari Ngremo gelora atas nilai-nilai kebangsaan akan selalu
ditumbuhkan kembali.
Dalam tabel 7 berikut ini dapat dicermati sampai sejauh mana tingkat pemahaman
masyarakat terhadap persoalan substansi yang melingkupi tari Ngremo.

Tabel 7.
Tingkat Pemahaman Masyarakat Terhadap Substansi Tari Ngremo
Masyarakat Masyarakat tidak
memahami memahami
No. Substansi tari Ngremo Usia lebih Usia Usia lbih Usia
dari 35 Th kurang dari 35 Th kurang dari
dari 35 Th 35 Th
1. Perkembangan ide tema tari Ngremo mutakhir
92 % 96 % 8% 4%
adalah nilai kepahlawanan
2. Orientasi tema tari Ngremo adalah keinginan
89 % 96 % 11 % 4%
masyarakat untuk kemerde- kaan
3. Sumber inspirasi tari Ngremo adalah Pangeran
77 % 89 % 23 % 11 %
pahlawan Jawa Timur
4. Semangat berjuang dan pantang menyerah adalah
93 % 91 % 7% 9%
jiwa dalam tari Ngremo
5 Tegas, spontan, lugas merupakan ciri masyarakat
91 % 90 % 9% 10 %
Surabaya yang tercermin dalam tari Ngremo

Pengalaman sejarah dan atau pengetahuan sejarah tentang peristiwa heroik di


wilayah Surabaya utamanya dalam mempertahankan kemerdekaan cukup bisa memberikan
pemahaman bagi masyarakat atas ide-ide dasar tari Ngremo. Bahwa kesadaran pemahaman
masyarakat pada tari Ngremo tidak hanya sebatas pada sajian gerak-gerak yang diberi
atribut tampil di atas pentas, tetapi bisa dimengerti kehadiran tari Ngremo sangat lekat
dengan nilai-nilai historikal politis, ideologis dan filosofis yang melatar belakangi
kehidupan membudaya dalam kurun waktu seputar pergolakan fisik menentang penjajah.
Pemahaman tersebut lebih banyak diserap melalui ide yang tercermin dalam penyajian tari
Ngremo.
Lebih jauh mengetahui pemahaman masyarakat atas tari Ngremo dapat diikuti pada
suatu wawancara dengan penonton pergelaran lomba tari Ngremo. Pada sebuah pergelaran
dalam rangka lomba tari Ngremo Ludruk dan Ngremo remaja se Jawa Timur di Surabaya
pada tanggal 2 sampai tanggal 4 Januari 2004, peneliti mewawancarai beberapa penonton
yang menurut pengamatan peneliti dikelompokkan sebagai masyarakat pemerhati seni.
145

Dalam final lomba tersebut menampilkan sepuluh terbaik Ngremo Ludruk hasil
penyisihan hari sebelumnya yang mencapai 27 peserta lomba Ngremo Ludruk se Jawa
Timur. Juga menampilkan sepuluh penari Ngremo terbaik hasil seleksi dari 43 peserta
lomba tari Ngremo remaja se Jawa Timur sehari sebelumnya. Berdasarkan perolehan dari
masing masing sepuh terbaik tari Ngremo Ludruk dan Ngremo Remaja akan diambil
masing masing juara I, II, III dan harapan I dan harapan II.
Beberapa informan yang dipilih sebagai sample untuk penelitian ini memiliki
komentar yang rata-rata hampir sama dalam melihat tari Ngremo meskipun latar belakang
kehidupannya berbeda beda. Suciati adalah seorang wali murid dari Mojokerto yang
kebetulan mengirim anaknya untuk belajar menari dalam sebuah sanggar tari di Surabaya
dalam rangka persiapan lomba tari kreasi di Wilayah Mojokerto. Pada waktu yang
bersamaan ibu Suciati menyaksikan lomba tari Ngremo ini. Memperhatikan sajian tari
Ngremo Ludruk dan Ngremo remaja dengan berbagai gaya, dalam sebuah wawancara ibu
Suciati mengatakan:

.....”Saya sebelumnya tidak pernah menyaksikan model tari Ngremo sebanyak ini.
Yang pernah saya tonton adalah tari Ngremo di pentas tujuh belasan (peringatan
HUT Kemerdekaan RI) yang dilakukan oleh anak-anak seusia sekolah, dan pernah
menyaksikan tari Ngremo di Ludruk ya biasa-biasa saja karena dilakukan oleh
penari perempuan (Ngremo gaya putri). Saya kagum melihat tari Ngremo yang
modelnya sebanyak ini. Ini sangat membanggakan sebagai masyarakat Jawa
Timur. Meskipun saya dari Mojokerto nanti anak saya (kalau sudah cukup umur),
saya kursuskan pada sanggar yang ada di Surabaya ini untuk tari Ngremo” (Suciati,
wawancara, 2004: Januari 4)

Ketika kami menanyakan kepada ibu Suciati perihal pengetahuannya tentang tari
Ngremo. Ibu dari wali murid ini dengan spontan mengatakan :

Menurut orang orang atau yang pernah saya dengar tarian ini katanya tari
perjuangan, tari perang. Ya ketika saya hubungkan dengan busananya seperti
busana orang yang pernah saya lihat di Ludruk pada lakon perang-perangan ya
mungkin begitu, tari perang. Itu gamelannya juga bikin bersemangat (Suciati,
wawancara, 2004 Januari 4).

Dari penyataan-pernyataan spontan salah satu informan ini secara eksplisit


terkandung sebuah penerimaan yang tulus terhadap tari Ngremo. Rencana dikursuskan
anaknya pada tari Ngremo adalah tidak sekedar bentuk penerimaan tetapi sebuah wujud
pelestarian tari Ngremo. Adapun pengetahuannya tentang tari Ngremo yang didapat dari
146

mendengar perkataan orang-orang kemudian dihubungkan dengan pengalamannya sendiri


ketika melihat pertunjukan Ludruk atau pengalaman merasakan bunyi gamelan, ada
indikasi bahwa (meskipun pemahamanya relatif sedikit) secara umum orang memahami
tentang ide tari Ngremo ini.
Hampir sama dengan pernyataan dari informan yang lain. Seorang Ibu dari peserta
Lomba tari Ngremo Remaja. Ibu Sumarmi berusia 50 tahun lebih yang beralamat di Jl.
Ambengan Batu Surabaya mengantarkan anaknya mengikuti lomba. dalam sebuah
wawancara peneliti menanyakan tentang keterlibatan ibu ini dalam proses pendidikan
anaknya di bidang kesenian (tari). Ibu Sumarmi yang pekerjaanya sebagai ibu rumah
tangga ini mengataka:

... “Sebagai orang tua hanya senang saja melihat anak saya bisa menari. Apalagi
tari Ngremo ini adalah kebudayaan kita harus terus dilestarikan. Dari pada melihat
tari-tarian seperti di TV yang sering kelihatan udelnya (pusernya) itu kan lebih baik
tarian ini. Busananya tertutub rapat. Meskipun anak saya bisa menari yang lain,
masih belum dikatakan menari kalau belum bisa tari Ngremo. Meskipun ini tarian
laki-laki tetapi anak saya (yang perempuan) bisa menari dengan gagah dan kuat”
(Sumarmi, wawancara, 2004 Januari : 4).

Ada pemahaman yang penting dari pernyataan ini. “Kebudayaan kita harus terus
dilestarikan” adalah pernyataan yang sering kali diucapkan oleh para pembina seni yang
secara politis merupakan pengayom seni budaya. Yang diucapkan seorang ibu tersebut
seperti pernyataan orang yang mempunyai kedudukan atau jabatan di dalam pemerintahan
negara yang mempunyai kepentingan terhadap sebuah kekuasan tertentu. Terdapat
pemahaman sejajar antara pernyataan seorang ibu rumah tangga dengan pernyataan
seorang pejabat negara. Secara eksplisit ada pengetahuan yang bersifat umum di sini
bahwa yang dipikirkan oleh para pengayom juga menjadi bagian pikiran-pikiran rakyat.
Dalam konteks pemikiran ini menurut pandangan Gramcian bahwa kekuatan ideologi
negara yang sudah merasuk begitu dalam memasuki alam pikiran masyarakat maka nilai
ideologi negara tersebut berubah menjadi ideologi bersama.
147

BAB VI

PENUTUP

6.1 Kesimpulan

Dalam Sejarahnya kesenian selalu mengalami perubahan. Perubahan terjadi karena


kemauan seniman untuk berubah juga karena kondisi sosio politik. Bahwa politik negara
sebagai bagian dari kedaan sosio-kultural mempunyai peranan penting dalam perubahan
kesenian. Negara dalam pengertian nusantara sejak masa pra-kemerdekaan telah mewarnai
perkembangan kesenian utamanya tatkala tumbuh kesadarannya ingin menjadi negara
Indonesia. Semangat nasionalisme yang tumbuh dari para pejuang kemerdekaan telah
menggantikan tema-tema seni yang religius menjadi tema sosial yakni nasionalisme baru.
Tari Ngremo bersama Ludruk di Surabaya adalah bentukan politik ketika negara
membutuhkan solidaritas kolektif untuk membangkitkan semangat bagi para pejuang di
Surabaya. Gelora patriotik dengan semangat militeristik yang menghendaki keterlibatan
seluruh elemen masyarakat oleh seniman Ngremo dijadikan wahana bela negara sekaligus
eksistensi kesenimanannya. Pada terminologi ini Ngremo berubah dari tema religius menjadi
tema yang nampak bersifat politis.
Ciri karakter yang dibangun melalui reinterpretasi terhadap tokoh Idola pahlawan
karakteristik setempat telah memperkuat kedudukan tari Ngremo Surabayan sebagai simbol
budaya sekaligus sebagai identitas politik. Namun demikian bahwa pesan yang tercermin di
dalamnya nampak sekali menggambarkan kompleksitas persoalan budaya masyarakat
setempat. Persoalan budaya yang tidak saja berhubungan dengan sikap solidaritas politik,
tetapi meliputi aspek lain seperti halnya harapan-harapan pencapain kesejahteraan
religisusitas, ekonomi, dan bahkan status, yang secara kultural merupakan perangkat hidup
sebagai masyarakat dalam lingkup budaya Jawa.
Simbol-simbol ini telah dicapai di dalam tari Ngremo, yakni simbol-simbol sebagai
penanda atas cita-cita atau harapan-harapan untuk pencapaian status sosial yang secara
tradisional didambakan oleh masyarakat kebanyakan, dan oleh seniman Ngremo cita-cita
tersebut dapat dicapai meskipun sebatas pada karya imajiner atau ungkapa estetik. Oleh
karena itu nilai kepahlawanan yang melekat secara berkelanjutan menginspirasi para
148

seniman tari Ngremo maupun para aparatus pemerintahan setempat utamanya yang
mengurus kesenian untuk terus menyempurnakan bentuk dan mengembangkan penyajian tari
Ngremo.
Melalui kebijakan-kebijakan politik, tari Ngremo mengalami penyempurnaan bentuk
dengan perkembangan unsur-unsur gerak, penggalian unsur tata rias dan tata busana yang
mendekati busana bangsawan khas (Surabaya) Jawa Timur, pengembangan unsur musikal,
dan perluasan makna pemanggungan. Pada aspek penyajian, personalia dalam penyajian
berkembang dari yang personal menjadi massal, dan aspek estetik lain yang kesemuanya
mengarah pada pengentalan nilai kepahlawanan. Pencapaian dalam pembentukan,
pengembangan, penyempurnaan bentuk dan penyajian tari Ngremo Surabayan yang sarat
dengan nilai politik tersebut dapat dirasakan sebagai kenyataan yang alami. Sifat alami ini
disebabkan oleh karena nilai kepahlawanan sudah merupakan milik bersama.
kebijakan-kebijakan politik pemerintah yang berkenaan dengan kesenian turut juga
dirumuskan. Rumusan-rumusan kebijakan tersebut didasari oleh kesimpulan yang
dirumuskan oleh para budayawan setempat yang menganggap kesenian daerah dalam
kondisi marginal dan rapuh. Atas dasar rumusan para budayawan ini pemerintah Propinsi
Jawa Timur mengeluarkan kebijakan berkenaan dengan pembinaan kesenian daerah.
Utamanya pada pembinaan tari Ngremo merupakan program khusus yang diterapkan untuk
menguatkan identitas Surabaya sebagai kota pahlawan.
Semenjak kehadirannya dalam pertunjukan ludruk hingga mampu sebagai suatu
disiplin pertunjukan tari murni, tari Ngremo telah mendapatkan simpati dari para penonton.
Kesemarakan Ngremo kemudian memunculkan berbagai instansi turut mengambil bagian
dalam pembinaan dan pengembangan. Melalui lembaga pendidikan kesenian, tari Ngremo
dijadikan materi wajib bagi para siswa. Melalui pembinaan langsung pelatihan-pelatihan tari
Ngremo dijadikan ajang lomba, festival, dan ajang prestasi. Sehingga tari Ngremo yang
personal menjadi tarian kolektif massal dan atau kolosal dalam keseragaman gerak dan
busananya. Terdapat persepsi umum bagi masyarakat di Surabaya bahwa tari Ngremo yang
kental dengan nilai kepahlawanan adalah produk budaya harus tetap dipertahankan
eksistensinya karena nilai-nilai yang dikandung merupakan bagian penting dari kenyataan
sejarah politik perjuangan yang merupakan jiwa masyarakat Surabaya dan Jawa Timur.
Sebagai wujud kepedulian terhadap keberadaan, kehidupan dan pengembangan, serta
pelestariannya, berbagai elemen baik dari elemen pemerintah kota ataupun pemerintah
149

Propinsi Jawa Timur serta para masyarakat pendukungnya telah, sedang, dan akan, terus
mendorong agar tari Ngremo tetap dalam eksistensinya yang optimal. Pendidikan seni tari
Ngremo, pelatihan, lomba, festival dan pergelaran tari Ngremo merupakan wujud dari
penerimanaan dan kepedulian atas hidup dan kembangnya tari Ngremo Surabayan.

6.2 Saran

Bagaimanapun juga bentuk tari Ngremo pergulatannya dengan dunia di luarnya


merupakan perkembangan dialogis dengan institusi-institusi yang hidup berdampingan.
Artinya bahwa kesenian tidaklah vakum sosial. Namun bukan berarti juga harus menerima
dan membawa begitu saja beban sosial yang sedang berlangsung. Tetapi sebuah institusi
moral yang dengan kewajarannya membawa dirinya sendiri menentukan kehidupannya
dalam membentuk karakter kebudayaan.
Tari Ngremo Surabayan ini secara historis membawa muatan kondisi lingkungan,
yaitu lingkungan dengan peristiwa penting yang melibatkan harkat dan martabat
kemanusiaan. Maka tari Ngremo dengan ide kepahlawanan yang pembentukanya melalui
momen politik ini merupakan monumen bergerak untuk memberi tanda kukuh identitas
Surabaya sebagai kota pahlawan. Peristiwa pembentukan tema kepahlawanan yang politis
ini meskipun diletakkan pada posisi tidak merusak kesenian tetapi patut untuk dicermati
pada perkembangannya.
Penting untuk dipahami bahwa pada dekade mutakhir ini kondisi tari Ngremo
mengalami perkembangan yang perlu direnungkan oleh berbagai pihak utamanya oleh
pembinaan kesenian. Kemampuan olah gerak sebagai konstrusi fisik tarian itu sebenarnya
telah berkembang dan dikuasai dengan baik oleh para penarinya. Tetapi tidak cukup hanya
dengan kemampuan olah gerak. Tari Ngremo di Surabayan yang sudah ada kemapanan
tematik patut untuk dijadikan fokus dalam segi pembinaan. Oleh karenanya pembinaan
selanjutnya tidak cukup dengan olah gerak tetapi wawasan tentang pengetahuan makna tema
sayogyanya menjadi acuan dasar. Nilai kepahlawanan adalah modal utama untuk refeerensi
dalam mengembangkan tari Ngremo Surabayan.
150

DAFTAR PUSTAKA

Adshead, Janet. 1988. Dance Analysis, Theory and Practice. London: Cecil Court.

Anwar, Rosihan. 1981.Sebelum Prahara, Pergolakan Politik Indonsia (1961-1965),


Jakarta, Sinar Harapan, edisi kedua.

Bachtiar, Harsja W. 1973. “The Religion Of Java: Sebuah Komentar”. dalam Majalah
Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia No. 1 Januari 1973, Jilid V.

Bluntschli, Johan Kaspar. 1933. The TeoriOf The State, Ginn &Co., Boston.

Brandon, James R. 1967. Theatre in Southeast Asia, Harvard University Press.


Cambridge, Massachussetts.

Brennan, MA. 1998. “Every Little Movement Has A Meaning All Its Own: Movement
Analysis in Dance Research”. dalam Sondra Horton Fraleigh and Penelope
Hanstein, (ed.), Researching Dance evolving Modes Of Inquiry. Pittsburgh:
University of Pittersburgh Press.

Campbell,Tom. 1994. Tujuh Teori Sosial, Yogyakarta: Kanisius.

Cattam AR. 1989. “Fungsi Ngremo dan Pesannya”, Makalah Seminar Lomba Ngremo
dan Jula-Juli, Kanwil Depdikbud Jawa Timur dan Majalah Sarinah.

Chaya, I Nyoman. 2003. “Penari Bukan Robot”, dalam Seni Dalam Berbagai Wacana:
Mengenang 20 Tahun Kepergian Gendhon Humardani, Surakarta: Program
Pendidikan Pascasarjana STSI Surakarta.

Crouch, Harold. 1986. Militer dan Politik Di Indonesia, Jakarta: Sinar


Harapan.

Danoesastro, R. Soebiono. 1994. “Temu Keluarga Besar Pusat Latihan Kesenian Tjandra
Wilatikta”. Surabaya: STKW.

Djaja, Dadi. 1976. Pentas Seni, Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.

Ellfeldt, Lois. 1977. A. Primer For Choreographere, diterjemahkan oleh Sal Murgianto,
(ed.), dalam Pedoman Dasar Penata Tari, University of Southern California,
LPKJ Jakarta.

Endo Suanda, 1998, “Tubuh dalam Seni Tari” Makalah disajikan dalam seminar tari,
Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta.
Feith, Herbert. 2001. Dynamic of Guided Democrasy, In Ruth T. Mc Vey, (ed.),
Indonesia, diterjemahkan oleh Tim PSH dalam Judul Soekarno Dan Militer
Dalam Demokrasi Terpimpin, Jakarta: PT Penebar swadaya.
151

Geertz, Clifford. 1983. Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa. Terjemahan
Aswab Mahasin, Jakarta : Pustaka Pelajar.

Gettal, Raymond G. 1933. Political Science, Ginn & Co., Boston.

Giari, Nunuk. 2003. “Tinjauan Historis Perubahan Ideologi Dalam Batik”, dalam Padma,
Jurnal Ilmiah FPBS Universitas Ngeri Surabaya Vol. 2 No. 2.

Hawkins, Alma M. 2002. Moving From Within: A New Method for Dance Making,
(ed.), diterjemahkan I Wayan Dibia dengan Judul Bergerak Menurut Kata Hati,
Jakarta: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.

Hendrowinoto, S. 1987. “Ludruk Dalam Berbagai Peran”, dalam Sarinah, No 21 tahun


1987.

Humardani, SD. 1979/1980. ”Kumpulan kertas Tentang Tari”,


Surakarta: Sub. Proyek ASKI.

1979/1980 “Kreatifitas dalam Kesenian”, Surakarta:


Sub. Proyek ASKI.

1979/1980. “Kumpulan Kertas Tentang Kesenian”, Surakarta: Sub. Proyek ASKI.

1991. “Sekedar Tentang Tari” dalam Gendhon Humardani: Pemikiran dan


Kritiknya, Rustopo (ed.).Surakarta: STSI Press Surakarta.
1989. “Silang Jenis Dalam Tari (I)” dalam Gendhon Humardani: Pemikiran dan
Kritiknya: Rostopo (ed.). Surakarta: STSI Press Surakarta.

1991. “Silang Jenis Dalam Tari (II)” dalam Gendhon Humardani: Pmikiran dan
Kritiknya, Rustopo (ed.). Surakarta: STSI Press Surakarta.

1991. “Rasa Gerak Tari” dalam Gendhon Humardani: Pemikiran an Kritiknya,


Rustopo (ed.). Surakarta: STSI Pres Surakarta.

Hidayat, Robby. 1994. “Petunjuk Praktis Tentang Tata Rias dan Busana Tari Remo
Untuk Menunjang Pelajaran Tari Daerah Jawa Timur di Sekolah Menengah
Tingkat Atas” dalam Abdi Masyarakat. Malang: IKIP Malang.

2001. “Evolusi Remo Malang” Dalam Bahasa dan Seni. 29.1.109-121.

Hidayat, Wiwiek. 1975 “Epos Sebuah Kota Pahlawan Surabaya Sepanjang Masa” dalam
Hari Jadi Kota Surabaya 682 Tahun Sura Ing Baya, Surabaya: Pemerintah
Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya.

_____ 1987, Perkembangan Peradaban Priyayi, Yogyakarta: Gajah Mada University


Press.
152

Hikam, Muhamma AS. 1991. “Ngara otoriter Birokratik: Sebuah Tinjauan Kritis dan
Beberapa Studi Kasus”,dalam Jurnal Ilmu Politik No. 8.

Holt, Claire. 1967. “Art In Indonesia: Continuites and Change”; (Alih Bahasa,
Soedarsono) Melacak Jejak Perkembangan Seni Di Indonesia, Bandung 2000:
MSPI.

Irawanto, Budi. 1999. Film, Ideologi dan Militer, Hegemoni Militer dalam Sinema
Indonesia, Yogyakarta: Media Pressindo.

Issatriadi. Dkk. 1986. Ensiklopedi Seni Musik Dan Seni Tari Daerah Jawa Timur,
Surabaya: Dinas P&K Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur.

Jarot, Eros. 1999. “Kata Pengantar”, dalam Budi Irawanto Film, Idologi dan Militer:
Hegemoni Militer Dalam Sinema Indonsia, (ed.) Yogyakarta: Media Pressindo.

Karim, Khalil Abdul. 2002, Hegemoni Quraisy, Agama, Budaya, Kekuasaan. LKIS,
Yogyakarta.

Kartodirdjo, Sartono.1987. Perkembangan Peradaban Priyayi, Yogyakarta: Gadjah


Mada University Press.

Kayam, Umar.1985. Beberapa Bentuk Seni Tradisional Jawa. Direktorat Jenderal


Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

1985. “Pertunjukan Rakyat Tradisional Jawa Dan Perubahannya”, dalam Heddy


Shri Ahimsa Putra Ketika Orang Jawa Nyeni, 2000, hal, 339. Yogyakarta:
Galang Press

1993. “Apakah Kesenian Perlu Dibina?”. Dalam Seni (Jurnal Pengetahuan dan
Penciptaan Seni), No. 3, Th. III, Oktober 1993, BP.ISI Yogyakarta.

Kasemin, Kasiyanto. 1999. Ludruk Sebagai Teater Sosial, Surabaya : Unair Press.

Kasim, Achmad A.1980/1981.“Teater Rakyat di Indonesia”, Jakarta: Analisis


Kebudayaan. Th. I, No. 2.

Koentjaraningrat. 1985. Metode Wawancara dalam Metode-metode Penelitian


Masyarakat. Jakarta: Gramedia.

Kussudiardjo, Bagong. Tentang Tari, Yogyakarta: Nur Cahya.

1992. Dari Klasik Hingga Kontemporer, Yogyakarta: Padepokan Press.


153

1993. Olah Seni Sebuah Pengalaman, Yogyakarta: Padepokan Press.

Langer, Susan. K. 1957. “Problems of Art: The Philosophical Lecture”. New York:
Charles Scribner’s Son. Diterjemahkan oleh FX. Widaryanto dalam Judul
Problematika Seni.

Lombard, Danys. 1996. Nusa Jawa: silang Budaya, Bata-batas Pembaratan


Jakarta: Gramedia Putaka Utama.

Mangunwijaya, Y.B. 1994. “The Indonesia Raya Dream and Its Impact On The Concept
ot Democrasy” dalam David Bourchier and John Legge (eds.) Democracy in
Indonesia 1950s and 1990s. Clayton: Center of Southeast Asian Studies. Monash
University.

Marzam. 2002. Basirompak: Sebuah Transformasi Aktivitas Ritual Magis Menuju Seni
Pertunjukan, Yogyakarta: Kepel Press.

Mas’ud, Mohtar. 1989. Restrukturisasi Masyarakat Oleh Pemerintah Orde Baru di


Indonesia, Jakarta: LP3ES, No. 7, thn 1989.

1989. Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971, Jakarta: LP3ES.

Miller, “Hugh M. Tt. “Introduction to Musik; A Guide to Good Listening”.


Terjemahan Triyono Bramantiyo PS dalam Judul Pengantar Apresiasi Musik.
Institut Seni Indonesia, Yogyakarta.

Mohammad, Gunawan. 1993. Kesusastraan dan Kekuasaan, Jakarta, Pustaka Firdaus.

Moeljanto, D.S dan Taufik Ismail. 1995. Prahara Budaya, Bandung : Mizan.

Moekmin, Hidayat.1966. “PKI Versus Perang Wilayah, Penilaian Kembali Suatu


Doktrin” dalam Majalah Seskoad, Karya Wira Jati (edisi Khusus), No. 21.

Mulyono, Sri. 1975. Wayang: Asal-Usul, Filsafat & Masa Depannya. Jakarta: ALBA.

1978. Tripama, Watak Satria dan Sastra Jendra. Jakarta: Gunung Agung.

1989. Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang. Jakarta. CV Haji Masagung.

Munardi, AM. 1994. “Indonesia Dalam Perkembangan Tari Di Surabaya”, Sarasehan


Kesenian tari, Surabaya, 1 Juni 1995.

“Pengantar Pengetahuan Karawitan Jawa Timur”, Belum diterbitkan.

Murgianto, Sal. 1986. Komposisi Tari, dalam Pengetahuan Elemen dan Beberapa
Masalah Tari, Jakarta: Direktorat Kesnian.
154

Nasikun. 1989. Sistem Sosial Indonesia, Jakarta: CV. Rajawali.

Nasution, NH. 1963. Menuju Tentara Rakyat, Jakarta: Jajasan Penerbit Minang.

Nasr. Sayyid Hossein. 1993. Spiritual dan Seni Islam, Jakarta: Mizan.

Oetomo, Dede. 1995. “Kesenian Rakyat di Antara kesenian lain Dalam Masyarakat
Indonesia Margalitas, Potensi Resistensi”, Makalah Sarasehan Kesenian Rakyat,
Surabaya, 10 Juni 1995.

Pakiding, M.D. 1975 “Kota Surabaya Monumen Kepahlawanan, Kondisi dan


Prospeknya” dalam Hari Jadi Kota Surabaya 682 Tahun Sura Ing Baya, Surabaya:
Pemerinyah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya.

Pane, Sanusi. 1931. “Ardjuna”, Puisi, dalam Sanusi Pane, Madah Kelana, Balai Pustaka
Batavia-c.

Peacock, James, L. 1968. Rites Of Modernization Symbolic and Social Aspects of


Indonesian Proletarian Drama, Chigago & London, The University of Chigago
Prees.

Peursen, CA. 1975. Strategi Kebuayaan. Kanisius, Yogyakarta.

Prakosa, Rohmad Djoko. 2001. “Munali Pattah Maestro Ngremo”. Majalah Kidung,
Surabaya. Dewan Kenian Surabaya.

Purwarsito, Andrik. 2001. Imajeri India: Studi Tanda dalam Wacana, Surakarta: Pustaka
Cakra.

Rofiq, Arif. 1990. “Keberadaan Tari Somogambar. Kencak, Ceklean Dalam Ludruk
Dan Hubungannya Dengan Kehidupan Tari Ngremo Dewasa Ini” , Skripsi,
Surabaya: STKW Surabaya.

Said, Salim. 2001. Militer Indonesia dan Politik Dulu, Kini dan Kelak, Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan.

2002. Tumbuh dan Tumbangnya Dwifungsi, Perkembangan Pemikiran Politik


Militer Indonesia 1058 – 2000, Jakarta: Aksara Karunia.

Sartono. 1982. “Cerita Singkat/Sinopsis Seni Ludruk” Makalah tidak diterbitkan,


Mojokerto: Kasi Kebudayaan Depdikbud Mojokerto.

Sastrapradja, M. 1981. Kamus Istilah Pendidikan dan Umum, Surabaya; Usaha Nasional.

Sedyawati, Edy. 1981. Pertumbuhan Seni Pertunjukan, Jakarta: Sinar Harapan. Seri Esni
No. 4.
155

1981. Seni Pertunjukan, Jakarta: Sinar Kasih.

1984. Tari, Tinjauan Dari Beberapa Segi, Jakarta: Pustaka Jaya.

1986. “Tari Sebagai Salah Satu Pernyataan Budaya”, dalam Pengetahuan


Elementer Tari Dan Beberapa Masalah Tari, Jakarta: Direktorat Kesenian.

Setiyono, Budi. 2002. “Punakawan: Menjadi Subyek Dalam Wacana (Seni dan
Ideologi)” makalah seminar Indiginasi Seni Pertunjukan Dan Ilmu Pengetahuan,
Surakarta: STSI Surakarta.

2002. “Etnomusikologi Indonesia: Menggugat Representasi, Mencari


Relevansi?”, dalam Dewa Ruci (Jurnal Pengkajian dan Penciptaan Seni),
Surakarta: Porgram Pendidikan Pascasarjana STSI Surakarta.

Simon, Roger. 2001. Gagasan - Gagasan Politik Gramsci, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Soedarsono. 1972. Jawa dan Bali, Dua Pusat Perkembangan Dramatari di Indonesia,
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

1978. Diktat Pengantar Pengetahuan dan Komposisi Tari. Yogyakarta: ASTI


Yogyakarta.

Soemardjo, Jakob. 1999. Filsafat Seni, Bandung, ITB.

Sugiyarto. 1975 “Iktisar Sejarah Budaya Sebelum Tahun 1300 Sepanjang Aliran Sungai
Brantas” dalam Hari Jadi Kota Surabaya 682 Tahun Sura Ing Baya, Surabaya:
Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya.

_____1975, Perjuangan Keturunan Singasari Kisah Ekspedisi Tartar Ke Jawa” dalam


Hari Jadi Kota Surabaya 682 Tahun Sura Ing Baya, Surabaya: Pemerintah Kotamadya
Daerah Tingkat II Surabaya.

_____1975, “Lokasi Ujunggaluh Dan Surabaya Sekitar Tahun 1300” dalam Hari Jadi
Kota Surabaya 682 Tahun Sura Ing Baya, Surabaya: Pemerintah Kotamadya Daerah
Tinbgkat II Surabaya.

______ 1975,“Pengaruh Alam Terhadap Kehidupan Sepanjang Sungai Brantas” dalam


Hari Jadi Kota Surabaya 682 Tahun Sura Ing Baya, Surabaya: Pemerintah Kotamadya
Daerah Tingkat II Surabaya.

Suharda, Dibia. 1990. “Dimensi Metafisik Dalam Simbol. Ontologi Mengenai Akar
Simbol”. Disertasi Dipertahankan Terhadap Sanggahan Senat UGM Yogyakarta
(tidak diterbitkan).

Supanggah, Rahayu. 2002. Bothekan Karawitan I, Jakarta MSPI.


156

Suartaya, Kadek. 2003.“Jati Diri Seni di Tngah Histeria Politik dan Paranoia Penguasa,
Makalah Seminar Nasional di STSI Surakarta 22 Juli 2003.

Subohadi, Nelwan S. 1989. ‘Ragam dan Fungsi Jula-Juli dalam Ludruk” Kertas Seminar
Sehari Kanwil Depdikbud Jawa Timur dan Majalah Sarinah.

Suparlan, Parsudi. 1982. “Metode Pengamatan” dalam Hasil Seminar Penelitian


Kebudayaan. (penyunting Parsudi Suparlan) Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai
Tradisional Direktorat Jendral Kebudayaan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.

1983. Manusia Kebudayaan dan Lingkungan, Jakarta: CV Rajawali.

Supadmi. 1993. “Konsep Pemadatan Tari Ngremo Studi Kasus Munali Patah Soetomo
dan Cattam AR”, Skrpsi, Surabaya: STKW Surabaya.

Supriyanto, Henri. 1982. Lakon Ludruk Jawa Timur, Jakarta : Gramedia.

2003. “Sarahan dan Kepelatihan Sandiwara Luruk Se Jawa Timur” Makalah,


Surabaya: Taman Budaya Jawa Timur.

Susno, Frans Magnis. 1987. Etika Jawa, Jakarta: Gramedia.

1988. Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar dan Kenegaraan Modern.


Jakarta: Gramedia.

Spradley, James. P. 1997. Metode Etnografi, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.

Sri Rochana W. 1997, Pendidikan Tari di Lembaga Formal (Tinjauan Mengenai


Pembentukan penari) Dalam Jurnal Seni Wilet. Surakarta. Sekola Tinggi Seni
Indonesia Surakarta.

Tasman, Agus. 1996. “Analisa Gerak Dan Karakter”, Buku Pegangan Kuliah, Surakarta:
STSI.

Timoer, Soenarto. 1975 “Surabaya Dalam Dongeng Rakyat” dalam Hari Jadi Kota
Surabaya 682 Tahun Sura Ing Baya, Surabaya: Pemerintah Kotamadya Daerah
Tingkat II Surabaya.

Wibisono, Tri Broto. 1981/1982. Ngremo, Proyek Pengembangan Kesenian Jawa Timur.
Tidak diterbitkan.

Widaryanto. 1985-1986. Tari. Bandung : Proyek Pengembangan Institut Kesenian


Indonesia Sub Proyek Akademi Seni Tari Indonesia.
157

GLOSARI

Adeg : Keadan berdiri pada dasar sikap menari tari Jawa: posisi
badan tegak, kedua lutut ditekuk membuka ke samping kiri kanan.
Ajeg : Relatif tetap, senderung tidak berubah
asta : tangan
anteng : Tenang
arang : jarang
alus : Jenis karakter pada tari Jawa (kategori halus)
Anyar : baru
Arek-arek : Sebutan akrab untuk kawula muda khas Surabaya
Alap-alap : 1) burung elang, 2) nama kelompok organisai kemasyarakatan
yang mengambil makna dari burung elang
Barang : (m) ditulis pada awal kalimat (m)barang berarti mengamen
Barangan : Kesenian untuk mencari keuntungan uang yang
pementasannya dilakukan dengan cara berpindah-pindah dari
tempat satu ke tempat lain.
Besut : Nama tokoh dalam teater tradisional ludruk masa awal, ludruk
lerok, ludruk besutan.
Bebed : Kain yang dilingkarkan dan atau bobalutkan pada tubuh
bagian bawah, busana tradisional khas Jawa
Begal : perampok
Bedhayan : Jenis adegan dalam pertunjukan ludruk yang diperankan
travesti
Beskalan : Nama jenis tarian pembuka pada pergelaran topeng dalang
dari malang
boyok : pinggang
Boro samir : Jenis rincian atribut paa busana tarian yang dikenakan pada
paha kanan dan kiri
Brajak : Nama peran dalam pertunjukan ludruk masa awal
Brangasan : Jenis karakter peran dalam seni pertunjukan di Jawa yang
menunjukkan sifat dan sikap yang kasar ditandai dengan
pola gerak luas cenderung tak terkendali
Cak-cak’an : Sifat dan sikap dalam senimpertunjukan yang mendaari pola
tingkah laku gerak tarian
Cakrak : Jenis karakter peran dalam seni pertunjukan di jawa yang
menunjukkan sifat dan sikap yang tampak tegas, cepat,
ditandai dengan pola gerak yang dinamis.
Dhagelan : lawakan
Dumadi : kejadian
Epek : Ikat pinggang dalam busana khas tarian Jawa
Gagrak : Model, bentuk, corak dalam ciptaan karya pertunjukan
Gela-gelo : Gerakan kepala, yaitu kepala bergerak ke samping kanan
dan ke samping kiri tanpa gerakan mengalu
Gecul : Lucu, menggelikan
Gendhing
:
158

Jenis lagu orkestra dalam gamelan jawa

Gedruk-gedruk : Menghentakkan kali ke tanah dilakukan dengan cara


berulang-ulang, terus menerus.
Giwang : Anting-anting, perhiasan bentuk melingkar pada telinga
Godheg : 1) jambang, 2) nama gerakan kepala yang dilakukan
dengan memutar satu lingkaran penuh
gongseng : Rangkaian genta kecil-kecil yang dikenakan oada kaki
kanan penari Ngremo
hoyog : Dalam posisi menari (tanjak) tubuh digerakkan ke
samping kanan dan atau ke samping kiri sementara lutut
dilipat lebih dalam
ing : Di (kata depan)
iket : Atribut busana yang dikenakan dengan cara diikatkan di
kepala
janaka : okoh pewayangan dalam keluarga pandawa
jagad : Alam, dunia
joged : tarian
Jula-juli : Nama jenis lagu orkestra dalam gending karawitan khas
Surabaya
Jugag : Singkat dan padat
Kaul : Nadzar, ujar
Kangkang : Dalam keadaan bediri posisi kaki membuka lebar ke
samping
kemplengan : Ikat kepala khas Jawa Timur dengan bentuk terbuka di
bagian atas
keter : bergetar
kidungan : Nyanyian atau melantunkan syair dalam pertunjukan
teater tradisional khas Jawa Timur
klana : 1) nama tarian jenis putra gagah yang
mnggambarkan kegagahan raja dari negeri sebrang
bernama Prabu Klana Sewandana, 2) pengembaran
ladrang : Nama pola gending yang mempunyai struktur yzng
terdiri dari empat kempul, empat kenong dan satu gong.
ladrangan : 1) memainkan gending ladrang, 2) bentuk keris yang
salah satu bagian ujung kerangkanya mencuat
melengkung panjang
labas : Nama gerakan berjalan dalam tarian khas Jawa Timur
lawung : 1) tongkat panjang, 2) nama ragam gerak dalam tari
Ngremo
Langkung : 1) lebih, 2) lewat, kelewat, terlewatkan.
Lenggang : Berjalan dengan santai
liwet : Cara masak khas masyarakat Jawa
Lombo : Gerakan yang dilakukan dengan irama lambat, lamban
Ludruk : Teater tradisional khas Jawa Timur
Luruh : Karakter halus dalam khasanah tari Jawa
Makno : Makna, arti
Mangot : Seperti pangot, pisau lengkung kecil untuk meraut
Mendhak : Sikap tari dalam keadan berdiri merendah
159

Menthang : Posisi tangan merentang kengan ukuran khas tari Jawa


Ndegeg : Posisi badab tegak, pinggang ditekan ke depan
Ngligo : Telanjang dada
Pandengan : Pandangan, arah pandang mata
Parikan
:
beryair

Pekewuh : Tidak sampai hati


Priyayi : Golongan bangsaan khas Jawa
Racikan : Rincian atribut busana tari Jawa
Rekmo : rambut
Rena-rena : 1) bermaam-macm, 2) tarian ludruk sebelum berubah
menjadi Ngremo
Sangkan paran : Asal-usul
sajen : Sajian untuk makhluk gaib
udheng : Ikat kepala khas Jawa
ukel : Putar jari tangan berpangkal pada pergelangan tangan
wani : berani
wangsalan : Syair yang berisi tanya jawab
wangsit : firasat
wingit : Seram, menyeramkan.
Wiru : Lipatan kain pada busana bagian bawah
Wahyudiyanto
Lahir di Balongpanggang, Gresik, 19 Nopember 1965. Lulus SPG
Negeri I Surabaya th. 1985, Lulus Sarjana (S-1) STSI Surakarta th
1991, Lulus Pascasarjana (S-2) STSI Surakarta 2004. Bekerja
sebagai dosen di STK Wilwatikta Surabaya mulai th, 1992
sampai sekarang. Aktif sebagai pengamat tari, penari,
koreografer, Telah menulis lebih dari tiga puluh artikel karya
ilmiah tentang tari yang diterbitkan diberbagai jurnal seni,

Karya seni yang pernah diciptakan lima tahun terakhir adalah:


Sesuatu I 2004, Sesuatu II 2004, Retas 2005, Kidung 2006, Luh
2007.

Misi Kesenian bersama pemerintah propinsi Jawa Timur: 1994 di sepuluh kota di
Prancis, 1994: Berlin Jerman, 1995: di London Inggris, 1996: di Korea Selatan, 1997: di
Berlin Jerman, 1998: di London Inggris, 2000: di Korea Selatan.

Anda mungkin juga menyukai