Anda di halaman 1dari 162

iii

Menari
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

PENGANTAR PENULIS
Buku ini ditulis untuk melihat peta tradisi menari yang telah
lama menggejala di hadapan kita. Menari sebagai fenomena komuni-
kasi kinestetik estetik semakin diminati khalayak luas. Gugus model
estetik sebagai pilihan minat menari juga tampak beragam. Kondisi
demikian bukan lagi wacana tetapi entitas faktual yang dapat diamati
di lapangan. Semarak Pertunjukan tari yang tersebar di berbagai
institusi menjadi penanda bahwa menari merupakan sarana efektif
untuk mengabarkan apa saja yang urgen untuk dikabarkan. Bahkan di
tengah kondi-si pandemik yang menghentikan seluruh aktivitas
budaya, menari dilakukan di rumah saja dan tetap bergaung di sosial
media.
Ada sebuah kesadaran bahwa komunikasi kinestetik estetik
efektif mengabarkan kebenaran, keindahan, dan kebaikan khas local
wisdom. Bahwa manari bukan sekedar pameran gerak di atas pentas.
Manari mengajak pemirsanya untuk bersama-sama memahami dan
Wahyudiyanto
iv
Menari
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

syukur mampu dan mau menghayati nilai tiga aspek filosofis yang
ideologis tersebut. Bahwa nilai kearifan lokal telah mengidentitas
pada lokus budaya melalui tautan imajinasi dan rasionalitas. Kesada-
ran itupun mewabah dan memapar ke berbagai komunitas yang juga
non disipin tari.
Apa sebenarnya yang terjadi pada dunia menari, buku ini
mengajak mendiskusikan fenomena itu pada berbagai dimensi. Tradi-
si tari yang beragam jenis dan macam menetaskan potensi artistik,
mengajak menari untuk berbagai dimensi itu. Menari untuk manari
itu sendiri, menari untuk pelestari tradisi, menari untuk terapi dan
menari untuk melepas rasa senang. Konteks menari sebagai seniman
juga perlu disoal karena cap menari sebagai seniman terlanjur men-
jadi trade mark yang menunjukkan eksistensi profesionalitas maksi-
mal. Pada sisi lain strategi konvensional untuk menjadi agen infor-
masi kinestetik estitik menghasilkan kompetensi menari pada skala
mumpuni. Pada titik berikutnya strategi konvensional tersebut telah
menjadi ajaran pada institusi kesenian tertentu untuk meretas
generasi muda dengan potensi yang sama.
Buku ini diharapkan dapat memberi motivasi kepada penggiat
tari, pecinta tari, pemerhari tari, pengguna tari, dan kepada semua
pihak yang ada keinginan untuk mengembangkan sikap rasionalitas
dan imajinasi dengan cara meretas profesionalitas melalui jalan
menari.

Wahyudiyanto
v
Menari
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

BAGIAN I

DAFTAR ISI

MENARI DI ANTARA WACANA DAN REALITA 1


Tari dan Menari Selayang Pandang 1
Kapan Tari dan Manari Bermula 3
Tari dan Menari dalam Sudut Pandang 6
Menari dan Nilai-Nilai 11

BAGIAN II 18
YANG SESUNGGUHNYA ADA DALAM TARI DAN MANARI 18
Tari Adalah Teknik Kinestetik dan Bentuk Estetik 18
Teknik Dalam Tari 23
Kinestetik Dalam Tari 30
Estetika Dalam Tari 35
Permainan Labirin 37
Impresi 58
Menari Dengan Jiwa 59
Menari Adalah Seniman 64
Menari Untuk Interpretasi 68
Menari Untuk Curahan Hati 72
Menari Untuk Kontemplasi 76

Wahyudiyanto
vi
Menari
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

BAGIAN III 82
MENARI FUNGSI DAN TUJUAN 82
Menari UntukMenari Itu Sendiri 82
Menari Untuk Pelestari Tradisi 98
Menari Untuk Profesi 104
Menari Untuk Kesenangan 108
Menari Untuk Terapi 112

BAGIAN IV 120
MENJADI PENARI 120
Kesanggupan Diri 120
Wawasan Pengetahuan Tubuh 123
Keterbatasan Tubuh dan Kekuantan Ungkap Tari 124
Wawasan dan Penghayatan Budaya 126
Persiapan Menjadi Penari 133

BAGIAN V 144
PENUTUP 144
Kesimpulan 144
Daftar Pustaka 147
Daftar Narasumber 151

Wahyudiyanto
vii
Menari
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

DAFTAR GAMBAR
Bambar. 1 Tari Klono Topeng gaya Surakarta kualitas 26
gagah
Gambar. 2 Penerapan kaidah teknik dasar gerak tari gaya 27
Yogyakarta kualitas gagah
Gambar. 3 Tari Ngrema Surabayan 30
Gambar. 4 Komposisi dan gerak tradisi yang mengalami 46
perluasan
Gambar. 5 Komposisi dan gerak standend menciptakan 49
artistik yang menawan
Gambar. 6 Komposisi dan gerak lamban membawa 50
tampah di atas kepala. Satu penari mengangkat
kaki lurus tinggi-tinggi untuk menunjukkan
keseimbangan
Gambar. 7 Komposisi dan gerak memperlihatkan 51
dinamisasi gerak dan ruangnya.
Gambar. 8 Komposisi dan gerak memperlihatkan stamina 54

Wahyudiyanto
viii
Menari
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

berat untuk mencapai ekspresi dengan bentuk


dan teknik yang sempurna
Gambar. 9 Gerakan iket yang dilakukan pada awal 56
pertunjukan.
Menari menggunakan busana khas Ngremo
Ludruk
Gambar. 10 Pengembangan gerak yang masih pada nafas 57
konvensi
Gambar. 11 Pengembangan gerak yang tidak ada nafas 57
konvensi
Gambar. 12 Joko Pitono penerus Munali Patah 72
menginterpretasi karakter Cakraningrat yang
diidolakan
Gambar. 13 Kecongkaan Raja Rahwana ketika berhasil 74
membawa kabur Dewi Sinta
Gambar. 14 Menari curahan hati rasa cinta sang pemuda 75
kepada pemudi, tetapi ditolak oleh pemudi
Gambar. 15 Menari untuk adegan saling mencurahkan hari. 76
Bratasena minta ijin Ingin menuntut ilmu, sang
Ibu khawatir atas keselamatannya
Gambar. 16 Menari untuk ketenangan jiwa (Tanura Dance) 77
bentuk tarian kontemplatif
Gambar. 17 Menari Tari Bedhaya Ketawang menghadap 79
Raja sebagai simbol meditasi
Gambar. 18 Menari dalam Tari Songs of the Wonderers 80
Karya Lim Whai Min menggambakan
ketenangan dalam kontenplasi
Gambar. 19 S. Ngaliman menarikan karya koreografinya 88
sendiri
Gambar. 20 Mak Temu menarikan Tari Gandrung yang 89
menjadikan namanya sebagai legenda penari
Banyuwangi

Wahyudiyanto
ix
Menari
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

Gambar. 21 Karimun (Alhm) saat duduk di kursi roda 90


menciptakan topeng-topone untuk
kelangsungan pertunjukan Wayang topeng
yang dipimpinnya
Gambar. 22 I Made Jimat menarikan tari topeng dari tradisi 90
Tari Bali
Gambar. 23 Ibu Suci sedang memerankan tokoh Klana 91
Sewandana karakter gagah
Gambar. 24 Bagong Kussudiardjo Spesial menarikan tokoh 92
kera (kethek) gaya Yogyakarta
Gambar. 25 Maridi menarikan Tari Karonsih Karyanya 93
sendiri
Gambar. 26 Farida Utoyo Balerina Indonesia sedang 93
menarikan karya koreografinya
Gambar. 27 Sardono W. Kusumo sedang menarikan karya 94
koreografinya sendiri
Gambar. 28 Theodora Retno Maruti sedang menarikan 95
karya koreografinya sendiri
Gambar. 29 Didik Nini Thowok menarikan karya 96
koerografinya sendiri
Gambar. 30 Miroto menarikan karya koreografinya sendiri 96
Gambar. 31 Eko Supriyanto menarikan karya 97
koreografinya sendiri
Gambar. 2 Boy G. Sakti menarikan karya koreografinya 98
sendiri
Gambar. 33 Jaran Bodak dari Probolinggo 101
Gambar. 34 Menari Jaran Budag hasil pengembangan untuk 103
melestarikan kesenian tradisi daerah
Gambar. 35 Menari untuk pekerjaan dilakukan oleh penari- 107
penari profesional
Gambar. 36 Menari untuk pekerjaan dilakukan oleh penari- 107

Wahyudiyanto
x
Menari
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

penari profesional
Gambar. 37 Menari Jejer Paju Gandrung membaur dengan 109
masyarakat
Gambar. 38 Menari Srampang dua belas dalam 110
kegembiraan dengan kerampakan kaki
Gambar. 39 Anak-anak menari gembira dalam tari gembira 111
ciptaan Bagong Kussudiardjo
Gambar. 40 Kegembiraan anak-anak menari tari bermain 111
dalam festival tari anak
Gambar. 41 Menari dalam kegembiraan ditengah hujan 117
(biji kedelai)
Gambar. 42 Menari dalam posisi yoga yang tenang dan 117
damai
Gambar. 43 Srikandi berhadapan dengan Sang Bisma 118
Kakeknya sendiri sebagai wujud darma
Gambar. 44 Menari dalam Opera Diponegoro pada 118
peristiwa Perang Jawa 1825-1830
Gambar. 45 Menari dalam kegembiraan Tari Rantak 119

Wahyudiyanto
1

Menari Bagian. I
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

BAGIAN I

MENARI
DI ANTARA
WACANA DAN REALITA

Tari dan Menari Selayang Pandang


Dalam pengertian yang paling sederhana, menari adalah
menggerakkan tubuh. Pertanyaannya? Dapatkah dikatakan seorang
ibu itu menari hanya karena ia berlari kecil menuju anaknya, sambil
bergumam dan menggerak-gerakkan kedua tangan sebab melihat
balitanya sedang merajuk. Atau seorang remaja putri yang sepontan
berteriak kegirangan sambil menggerak-gerakkan seluruh tubuhnya
karena mendapat kelulusan studinya. Atau seorang bahkan sekelom-
pok orang menggerakkan tubuhnya karena mendengar alunan musik.
Atau seorang adik yang meliuk-liukkan tubuhnya karena mendengar
musik pada pesta perkawinan kakaknya. Secara harfiah bisa saja
dikatakan orang itu sedang ‘menari’ (njoget).
Lebih jauh ketika kita melihat gerakan tubuh yang disertai
suara dan atau bunyi-bunyian, maka pemahaman tentang tari setahap
lebih meningkat. Terdapat rumusan bahwa menari adalah mengge-
rakkan tubuh disertai suara dan atau bunyi-bunyian (musik). Hal ini

Wahyudiyanto
2

Menari Bagian. I
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

tentu akan menjadi rancu juga ketika kita menyaksikan senam air,
senam lantai, dan loncat indah adalah menggerakkan tubuh yang
indah disertai musik. Tindakan itu dikatakan sebagai olah raga.
Lantas apa yang membedakan menari dengan olah raga, sementara
senam air, senam lantai, dan loncat indah adalah gerakan tubuh yang
menggunakan musik dikataka olah raga. Lantas faktor apa yang
membedakan keduanya.
Konon, moto olah raga adalah, orang menggerakan tubuh
supaya bugar dan sehat. Sedangkan, moto tari adalah manusia meng-
gerakkan tubuh untuk mengungkapkan perasaan, pikiran, cita-cita
dan harapan-harapan, orang kemudian mengatakan gerak tubuh yang
berjiwa. Dari rumusan ini, tari mendapatkan posisinya yang lebih
mendalam adalah gerakan tubuh yang berirama dan berjiwa. Itulah
kemudian tari dan menari menemukan rumusan moto yang lebih baik
dan tepat diposisikan sebagai nilai filosofi yaitu tubuh yang bergerak,
berirama, dan berjiwa. Bahwa menari adalah menyampai-kan atau
mengungkapkan pikiran, perasaan, cita-cita dan harapan-harapan
melalui medium gerak yang berirama. Lagi pula, dengan menari,
tubuhpun menjedi segar, bugar, dan sehat karena tubuh dan seluruh
anggotanya aktif bergerak. Namun dapat disampaikan di sini bahwa
perbedaan mendasar menari dan olah raga terletak pada tujuan.
Menari bermaksut untuk menyampaikan gagasan, cita-cita, harapan-
harapan, dan impian-impian. Adapun olah raga tiada lain tujuannya
adalah agar tubuh sehat, segar, dan bugar.
Pengalaman empiris menggambarkan bahwa menari memiliki
sederet tingkatan yang menunjukkan strata kualifikasi dan kompe-
tensi. Pada pembahasan terdahulu menyebutkan secara harfiah,
menari sekedar kesenangan karena seseorang mendapai apa yang
diinginkan Tetapi jika (meminjam istilah Murgiyanto)-- tidak setiap
orang yang berolah raga dikatakan sebagai ‘olah ragawan’-- maka
orang yang sekedar menggerakkan tubuh untuk sekedar kesenangan
Wahyudiyanto
3

Menari Bagian. I
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

tersebut tidak dapat disejajarkan dengan menarinya: S. Naliman, S.


Maridi, Sardono, Retno Maruti, Ibu Temu, Ibu Suci, Mbah Mun
(Karimun), Farida Utoyo, Gusmiati Suid, Boy G. Sakti, Eko Supriyanto,
Didik Nini Towok, dan ke bawah lagi penari sekelasnya yang profesio-
nal. Lantas di mana letak perbedaannya.
Menurut hemat saya (masih meminjam istilah Murgiyanto
dalam buku “Ketika Matahari Memudar”) perbedaannya terletak pada
motivasi, dedikasi, dan sikapnya terhadap budaya tari. Yang disebut
terdahulu menarinya hanya terdorong oleh rasa suka semata, dengan
istilah populer sekedar sepontanitas belaka. Sedangkan yang kedua
ini dilandasi pengetahuan yang mendalam atas tari. Yang pertama
dilakukan sekedar hobby, yang kedua didasari atas dedikasi. Yang
pertama karena mendapatkan kesenangan, yang kedua merupakan
sikap profesional. Meskipun yang hobby kadang juga terdapat penari
yang juga baik prestasinya tetapi berbeda dalam prestasi kelompok
profesi. Kelompok yang kedua ini lebih tepat disebut sebagai
“Seniman Tari”

Kapan Tari dan Menari Bermula


Kapan dimulainya menari. Konon, menari telah ada sejak
manusia mulai menghuni planet bumi ini. Pada masa-masa awal (pri-
mitif) manusia selalu menggunakan tubuh bergerak untuk berkomu-
nikasi dengan lingkungan. Fakta ini ditunjukkan oleh kehidupan
masyarakat tersebut bahwa tarian menjadi bagian penting dari per-
helatan adat mereka. Bentuk sajian yang personal maupun komunal
selalu dihadirkan untuk sesama (horisontal—alam yang tampak) dan
kepada di luar sesama (vertika—alam yang tidak tampak). Cara untuk
mewujudkan harapan-harapan suci merekapun menggunakan tarian.
Di berbagai pelosok bumi telah ditemukan bukti-bukti bahwa
menari adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan
Wahyudiyanto
4

Menari Bagian. I
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

manusia. Fakta ini sesungguhnya bermula dari kondisi hidup manusia


itu sendiri bahwa ia telah memiliki irama hidup yang ritmis dinamis
seperti detak jantung. Tempo irama detak jantung yang konstan dina-
mis itu kemudian secara naluriah menjelma menjadi nilai ritmis
kemanusiaan. Sebagian mentransformasi ke ranah motorik maka
muncul gerkan tubuh manusia yang ritmis dinamis. Sebagian lagi
mewujud menjadi irama dan lagu dalam suara dan bunyi, dan sete-
rusnya ritme-ritme yang lain tampak pada goresan-goresan warna,
penyebutan dalam kata-kata, dan dinamisasi dalam bentuk-bentuk
rupa.
Menari yang mimesis merupakan perwujudan dari irama
hidup manusia ini kemudian eksistensinya memberikan pencerahan
kembali kepada hidup manusia. Maka lahirlah tarian persembahan,
tarian pengobatan, tarian kesuburan, tarian hiburan, dan sebutan
tarian lain untuk memberikan fungsi harapan bagi kebutuhan kehidu-
pan manusia, dan peneguh bagi identitas sosial budayanya. Di nusan-
tara ini bukti itu begitu melimpah bahwa tari nyata menjadi wahana
untuk kebutuhan apa saja. Tari sebagai kekuatan kehendak untuk
menjolok berkah dari langit sampai dengan tari sekedar bersenang-
senang untuk mengisi waktu kosong.
Tari sebagai wujud peribadatan dapat kita jumpai di berbagai
pelosok negeri ini. Di Bali ada tarian Berutuk, Sang Hyang Dedari,
Rejang, Baris Gede, Gabor ditarikan di dalam pura bagian jeroan. Di
Kalimantan tengah tepatnya di masyarakat suku Dayak terdapat
tarian topeng sebagai perwujudan roh nenek moyang yang dihormati.
Di Jawa terdapat tari seblang, tayub, sandur, ronggeng, dan sejenisnya
merupakan bentuk puja terhadap dewi kesuburan. Dalam masyarakat
agamis tertentu juga menggunakan tarian untuk meningkatkan gairah
spiritual mereka seperti: tarian Dervish, Zapin, Hadrah Kuntulan, dan
sejenisnya. Singkat kata bahwa tari dan menari adalah kebutuhan
hidup manusia.
Wahyudiyanto
5

Menari Bagian. I
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

Di belahan dunia sana Malinowski seorang peneliti kebudaya-


an etnik mencatat kehidupan masyarakat Trombiand di New Guinea
Timur. Disebutkan bahwa pesta adat yang bersifat mistis menjalan-
kan ibadat magis. Pada Pesta panen yang disakralkan, konon arwah
leluhur mereka mengembara di dunia dan singgah beberapa hari di
lingkungan desa itu; menginap di rumah penduduk; bertengger di
puncak pohon; dan duduk di panggung yang telah disediakan. Oleh
karena itu masyarakat menari-nari berbaur satu sama lain dan
menyatu dengan apa saja yang ada di sekitar alam, dengan maksud
menjamu arwah leluhur yang datang. Tarian demikian itu juga
berfungsi mempengaruhi alam untuk mendapatkan kesuburan tanah-
-“magi simpatetis”-- (Sumandiyo Hadi, 2005:53).
Wujud tarian yang berbeda dapat dijumpai di berbagai suku
bangsa ini seperti tarian pergaulan; yakni pasangan muda mudi
menari bersama saling mengenal, untuk dapat memahami lebih jauh
kepribadian mereka satu sama lain. Terdapat juga sekelompok orang
menari-nari dengan menirukan gerakan binatang; bertujuan supaya
mendapat kekuatan untuk berburu binatang. Dengan menari berha-
rap mendapat buruan yang melimpah. Terdapat pula karena takjub
mendengar berita yang menggembirakan seketika itu orang menari-
nari sebagai ekspresi atau ungkapan emosi kesenangan mereka. Pada
jenis tarian yang lain bersifat terapis ditujukan untuk penyembuhan
suatu penyakit psikhis.
Keberadaan dan kedudukan tari sedemikian luas ragam dan
bentuknya, makna dan fungsinya, cara dan perilakunya, memperlihat-
kan bahwa tari adalah bahasa ungkap yang simbolis. Suatu ungkapan
manusia yang bersifat personal maupun komunal membawa misi
penciptanya lengkap dengan identitas lokusnya. Tari kemudian terdi-
finisikan kembali berdasarkan ruang, waktu, lokus, yang kesemuanya
mengarah kepada pemahaman wujud dan pemanfaatannya. Dialekti-
ka kebudayaan kemudian menghasilkan difinisi tari yang memberi-
Wahyudiyanto
6

Menari Bagian. I
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

kan pengertian tentang batasan dan pelembagaan tari itu sendiri.


Waktu mendifinisikan tari pada aspek ide, bentuk, perilaku dan peru-
bahannya. Sedangkan Lokus memberikan pemahaman tentang uni-
kum yang khas dari tari yang dilahirkan. Sedimikian kompleks tari
sebagai produk kebudayaan manusia itu tercermin dalam sebutan
yang melekat padanya. Tarian primitif, kerakyatan, tradisioanl, klasik,
kreasi, modern, kontemporer, kolaboratif, dan sebagainya dan seba-
gainya adalah sebutan yang realistis sekaligus yang politis.
Kompleksitas tari sedemikian itu dapat dipahami karena tari
terlahir dari individu-individu maupun kelompok-kelom-pok dalam
kebudayaan manusia yang beragam. Sifat dan karakter manusia yang
beragam dibentuk oleh lingkungan yang beragam, sistim kemasyara-
katan yang beragam, kepercayaan dan ideologi yang beragam, sistim
ekonomi dan pencaharian yang beragam, tingkat pendidikan yang
beragam, maka melahirkan tari dengan definisi yang beragam pula.
Keberagaman kebudayaan manusia inilah melahirkan penari-penari
dengan cara menarikan tariannya yang beraneka ragam pula.

Tari dan Menari dalam Sudut Pandang


Ketika kebudayaan baca dan menulis berkembang pesat,
ketika manusia sudah melepaskan diri dengan alam (mengambil
jarak), eksplorasi dan eksploitasi atas alam juga meningkat pesat
bahkan sampai berdampak pada perusakan. Gerak tubuh berpola
sebagai aktifiitas kebudayaan yang di tujukan untuk alam lingkungan
(horizontal) dan kepada yang Adi Kodrati (vertikal) kemudian ditarik
keluar diberi label dengan istilah tari. Yang terjadi kemudian adalah
munculnya banyak pernyataan, yaitu tari adalah. Mengingat bahwa
tari ada di mana-mana terjadi pula banyak tingkatan pemahaman
mengenai tari, dijumpai pengertian tentang tari yang bertingkat. Pada
awal tulisan ini tari didefinisikan secara sederhana sedemikian itu.
Wahyudiyanto
7

Menari Bagian. I
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

Tatapi pada perkembangan selanjutnya diperoleh pengertian tentang


tari secara beragam, lebih-lebih ketika tarian memasuki ranah
akademis, terlahir banyak ahli tari memberikan batasan berdasarkan
tingkat kepakarannya. Marilah kita telusuri.
Dalam Buku Pengetahuan tari (Wahyudiyanto, 2008: 9-12),
dikutip cukup beragam definisi tentang tari, marilah kita perhatikan
kembali secara singkat keragaman definisi tersebut.
Apabila kita membicarakan tari sekaligus kita tidak
dapat menghindar untuk berbicara tentang makna kesenian.
Jangan lupa, bahwa kesenian adalah produk manusia membu-
daya. Oleh sebab itu kerangka pembicaraan dan pemikiran kita
seharusnya dikembalikan pada dimensi manusianya, agar kita
dapat berpikir dan berkesenian secara kreatif. Tari adalah hasil
penataan gerak yang mempunyai dimensi ruang dengan
kekuatan aspek genetik. Tetapi jangan lupa, ada orang yang
mengatakan bahwa burung yang meloncat-loncat di pepoho-
nan dikatakan “burung itu menari” (Fuad Hasan, 1991, 21
Januari)
Sebenarnya telah diketahui bahwa tari merupakan bagian dari
kesenian, dan kesenian adalah produk manusia membudaya. Ini
menunjukkan bahwa tari adalah produk manusia, melalui olahan
tubuhnya yang bergerak dalam ruang dengan kekuatan unsur gene-
tiknya. Namun demikian ada sebagian pendapat mengatakan bahwa
burung berloncatan dipohon itu juga dikatakan menari. Apakah benar
burung itu menari ? Untuk mengetahui secara jelas dan dapat diper-
tanggungjawabkan diperlukan perbandingan yang melebar dengan
mengacu pada rumusan para pakar tari mengenai sampai di mana
sebenarnya jangkauan rumusan tari itu.
Realitas yang kita jumpai di dalam masyarakat bahwa tari
begitu banyak ragam, jenis dan macamnya. Setiap kelompok masya-
rakat mempunyai budaya tari yang apabila dihadapkan pada kelom-
pok masyarakat lainnya pada lingkup kecil sampai pada skala lebih

Wahyudiyanto
8

Menari Bagian. I
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

luas dapat dilihat tingkat perbedaannya yang semakin mencolok. Oleh


karena itu perbedaan budaya dalam suatu kelompok masyarakat
menghadirkan budaya tari sendiri-sendiri dan pada tingkat pemaha-
mannya sendiri-sendiri pula. Namun secara umum dapat disimak
bahwa budaya tari adalah budaya bergerak. Tari berarti bergerak
namun bergerak yang bagaimana penjelasan yang baik dan benar
sudah barang tentu sangat ditentukan oleh konteks budaya yang
mendasari. Baik dan benar itupun menjadi sangat relatif mengingat
tari merupakan suatu keadaan yang bersifat subyektif sehingga
mengobjektifkan yang subyektif sudah merupakan pekerjaan yang
sulit apalagi menghasilkan rumusan yang baik dan benar tentang tari.
Namun setidaknya beberapa pakar tari telah menunjukkan keseriu-
sannya dalam memberikan pemahaman kepada kita tentang tari.
Tari dapat dipahami sebagai cara manusia untuk berko-
munikasi dengan lingkungannya melalui bahasa gerak. Namun tidak
setiap gerak dapat disetarakan dengan tari karena ada tuntutan
tertentu yang menggeneralisasikan gerak dalam budaya tari. Banyak
pakar tari mencoba mendeskripsikannya menurut sumber budaya
yang menjadi tujuan difinitif sebagai dasar keindahan. Konsep tari di
sini dipilih dan disarikan atas dasar keperluan pembahasan dalam
tulisan ini.
Tari adalah “bicara gerak” dalam melukiskan suatu kisah atau
cerita. Tari adalah gerak yang ditimbulkan oleh pengaruh bunyi-
bunyian yang dimainkan berbentuk lagu yang membang-kitkan
kegairahan dan kegembiraan atau suatu khayalan (Dewan Kesenian
Jakarta, 1976: 77). Ditegaskan juga oleh Tamrin Sarim yang
mengatakan bahwa: “Tari adalah sebagai bahasa dalam berbagai hal
yang menyampaikan menurut sifat yang melahirkan peristiwa atau
situasi yang terjadi, tetapi ada kalanya pula dia merupakan gerakan
yang lahir secara luar sadar atau spontan karena keasyikan dan
kegairahan akan bunyi atau lagu yang diperdengarkan.
Wahyudiyanto
9

Menari Bagian. I
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

Tari adalah gerakan-gerakan yang indah menuruti irama


musik yang mencerminkan kehidupan manusia dan bahkan mungkin
pengungkapan kehidupan hewan serta alam (Dadi Djaya, 1976:92).
Tari adalah suatu perwujudan yang bersemi dan tumbuh dari laku
yang dikerjakan oleh penari (Langer, 1957: 4) Tari adalah seluruh
gerak anggota tubuh, suara gamelan ditata menurut irama gending
dalam suatu kesesuaian simbol dengan maksud tari itu sendiri
(Suryodiningrat, 1979: 7). Tari adalah desakan emosi manusia yang
mendorong kita mencari ungkap dalam bentuk gerakan-gerakan
ritmis (Cattapadhaya, 1965: 14)
Curt Sack dalam Buku Wolrd History of the Dance halaman
207-216) menyebutkan bahwa tari adalah gerak yang ritmis.
Sedangkan menurut Dr. J. Verkuy dalam Tari dan Dansa, terjemahan
GMA Nainggolan, menyebutkan bahwa tari adalah gerak-gerak badan
yang diperadab. Sementara Margono SA, dkk menyatakan bahwa tari
adalah ekspresi jiwa melalui gerakan-gerakan badan yang teratur di
dalam ruang dan dalam waktu tertentu. Dijelaskan pula oleh Langer
(1957:9) tari sebagai sebuah perwujudan lahir dan proses batin
untuk dilihat sendiri dan oleh orang lain.
Soerjodiningrat, “Ingkang kawastanan joget punika ebahing
sadaya saranduning badhan kasarengan ungeling gangsa (gamelan)
katata pikantuk wiramaning gendhing, jumbuhing pasemon kalayan
pikajenging joget”. Definisi ini mengandung makna bahwa keindahan
tari tidak hanya keselarasan gerakan-gerakan badang dengan iringan
gamelan musik saja tetapi seluruh ekspresi itu harus mengandung
maksud-maksud isi tari yang dibawakan. Dengan demikian bahwa
keindahan pada tari sesungguhnya terletak pada isi pesan yang
dibawakan secara estetik.
Bagong Kussudiardjo (1985: 16) menyebutkan: Tari adalah
keindahan bentuk dari anggota badan manusia yang bergerak,

Wahyudiyanto
10

Menari Bagian. I
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

berirama, dan berjiwa yang harmonis. Keindahan, indah bukan hanya


hal-hal yang halus dan bagus saja, melainkan sesuatu yang memberi
kepuasan batin manusia. Jadi gerak yang kasar, keras, kuat, dan
lainnya bisa merupakan gerak yang indah. Berjiwa biasa diartikan
memberi kekuatan yang bisa menghidupkan: Jadi, gerak yang telah
dibentuk dan berirama tersebut seakan hidup dan dapat memberikan
pesan yang dapat kita mengerti dan berarti. Harmonis adalah kesatu-
an yang selaras dari keindahan yang bergerak, berirama, dan berjiwa
tersebut.
Berbagai definisi tersebut membawa konsekwensi logis dan
estetis. Bahwa konsepsi yang tertuang dalam setiap definisi adalah
kerangka pemikiran yang logis sebagai bingkai pemikiran budayanya.
Konsepsi yang logis tersebut mengarahkan kepada tindakan bagai-
mana seorang dan atau sekelompok orang harus menari. Sehingga
dalam suatu difinisi mengajarkan kepada kita tentang filosofinya,
dasar-dasar tata laku teknik menari, dan capaian estetiknya. Inilah
yang kemudian membedakan satu difinisi dengan difinisi yang lain,
gaya tari satu dengan gaya tari yang lain, teknik tari yang satu dengan
teknik tari yang lain, capaian estetik tari yang satu dengan capaian
estetik tari yang lain. Ini dapat dilihat dari membuncahnya wujud tari
dalam kebudayaan kita.
Atas dasar beberapa deskripsi tersebut dapat dimengerti
bahwa konsep tari sebagai produk manusia mencerminkan perbeda-
an-perbedaan pemikiran bagaimana wujud tari dapat tercipta. Perbe-
daan-perbedaan tersebut merupakan refleksi dan atau tanggapan
manusia atas lingkungannya. Tersebab itu tari tercipta berdasartkan
tujuan keindahan setiap individu-individu, setiap kelompok-kelom-
pok, dan pada akhirnya pada setiap kebudayaan. Namun demikian,
dari perbedaan itu masih dapat dipahami bahwa semua itu sama
sebagai cara ekspresi keindahan dalam diri manusia.

Wahyudiyanto
11

Menari Bagian. I
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

Pendapat dari beberapa pakar tari tersebut setidaknya telah


memberikan gambaran yang cukup jelas tentang tari meskipun masih
terpisah-pisah. Untuk itu batasan batasan tentang tari tersebut dapat
dirumuskan, bahwa tari adalah gerak yang diberi bentuk dan ritmis
dari badan manusia di dalam ruang. Gerak yang diberi bentuk adalah
gerak yang telah disusun dan diatur sedemikian rupa menurut si
pencipta tari, yang mampu mengungkapkan pesan kepada si pengha-
yat. Ritmis adalah teratur (memiliki tempo-tempo tertentu), biasa
juga disebut berirama. Ruang adalah tempat yang digunakan untuk
menampilkan suatu gerak yang telah diberi bentuk dari ritmis tadi.
Rumusan tentang tari tersebut di atas itupun masih sangat
mungkin mengundang perdebatan. Terkait dengan keadaan lingku-
ngan dimana tari berada mencakup tata nilai sendiri-sendiri, teknik-
teknik sendiri, ide-idenya sendiri, materi-materinya sendiri, dan kein-
dahannya sendiri-sendiri. Dengan demikian batasan tersebut di atas
bukan satu-satunya formulasi pemahaman tentang tari secara final.
Masih sangat mungkin dapat ditemukan rumusan-rumusan lain yang
lebih komprehensip menyangkut substansi, estetik, teknik dan mate-
rinya.

Menari dan nilai-nilai


Tari adalah produk budaya. Lebih-lebih tari yang memiliki
kaitan erat dengan adat budaya masyarakat. Tak terkecuali tari
sebagai karya seni hasil cipta karya individu-individu seniman.
Konteks yang terwujud adalah unikum seniman dan lingkungannya.
Karena tari adalah budaya, menari adalah bagian dari budaya. Itulah
kemudian, tari dan menari memiliki dasar untuk hidup. Memiliki
lahan untuk tumbuh dan berkembang. Namun demikian tari dan
menari bukan seperti anak yang terlahir tanpa dosa. Tari dan menari
tidaklah terbebas dari penolakan dari individu dan masyarakat. Tari

Wahyudiyanto
12

Menari Bagian. I
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

dan kepenarian juga tidak selalu berbanding lurus dengan tata nilai
kehidupan masyarakat. Tari dan menari ternyata keberadaannya juga
tak jarang mendapat perlawanan dan bahkan kutukan dari individu
dan masyarakat.
Ada banyak kasus di berbagai tempat, dalam suatu pertun-
jukan tari mendapat sering juga mendapat kritikan bahkan ada upaya
untuk menghentikan pertunjukannya. Keberadaan tari sebagai eksis-
tensi budaya kemanusiaan ternyata harus pula mempertimbangkan
tata hubungan dengan pihak lain yang menganut tata nilai atau norma
yang paradoks dengannya. Ketika suatu kepercayaan, keyakinan,
pandangan-pandangan hidup, dan agama-agama tumbuh subur mem-
bawa sejumlah perilaku cerminan dari doktrin ajarannya. Agama-
agama langit yang mempercayakan sepenuhnya kepada suara Tuhan
mengambil dasar keyakinannya melalui teks-teks kitab suci. Demiki-
an pula agama bumi sebagai hasil kebudayaan manusia juga menyan-
darkan tata kehidupannya pada hasil kontemplasi orang suci dengan
alam semesta. Kedua kutub agama ini dalam beberapa hal memiliki
pemahaman yang sama dan dalam hal yang lain berbeda dalam
implementasinya.
Moral adalah ajaran agama bersifat universal tetapi imple-
mentasinya bisa sangat lokal bahkan cenderung individual. Sebuah
doktrin dalam suatu agama tentang menutup aurat misalnya; meski-
pun batas-batasnya jelas secara syar’i (aturan) tetapi wujudnya
berbeda-beda ketika diaplikasikan oleh umat dalam kebudayaan yang
berbeda. Maka di situlah tafsir pelaksanaan ajaran agama menjadi
bervariasi meskipun batas-batasnya tetap saja sama. Dalam konteks
pelaksanaan sebuah keyakinan ternyata sarat dengan tafsir. Maka
tafsir orang yang satu dengan orang lain berbeda, kelompok yang satu
dengan kelompok lain cenderung tidak sama dan kadang terlihat
bertentangan satu sama lain. Tafsir tentang norma dalam kebudayaan
yang satu berbeda dengan kebudayaan yang lain. Ketika tafsir diper-
Wahyudiyanto
13

Menari Bagian. I
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

ban-dingkan dan dipertentangkan terjadilah ketegangan, perselisi-


han, berujung anarkis yang menyebabkan caos.
Ketika tayub di hadapkan dengan tafsir agama yang doktrinal
tak terelakkan pertunjukan tayub mendapat penentangan. Meskipun
sebenarnya bukan pertunjukan tayubnya yang ditentang. Peristiwa
yang kasuistik pada pertunjukan tayub dan tari sejenis sebenarnya
bukan pada pertunjukannya tetapi pada perilaku para pelaku tayub
yang oleh pandangan norma kurang atau tidak memenuhi syarat
penuturan norma agama tertentu. Itulah sebabnya tayub seringkali
diidentifikasi sebagai prostitusi terselubung. Penari tayub kemudian
dituduh sebagai pemuas nafsu laki-laki (Widyastutieningrum, 2007:
122-134)
Dalam banyak hal sebenarya kasus amoral tidak selalu terjadi
pada pertunjukan tari saja tetapi pada bidang pekerjaan lain. Dan
sebenarnya tidak semestinya perbuatan amoral dikaitkan dengan
sebuah institusi atau lembaga tertentu. Amoral adalah perbuatan
individu sebagai tanggungjawab individu terlepas dari institusi yang
melatar belakanginya. Namun sepertinya sudah menjadi mahfum di
masyarakat bahwa tayub sebagai seni pertunjukan terlanjur menyan-
dang predikat sebagai prostisuti terselubung. Tayub kemudian men-
jadi tidak sedap dalam pandangan umum, meskipun sebenarnya ada
pihak yang memanfaatkan tayub sebagai tempat berlindung atas
kebobrokan moralnya. Seni kemudian secara umum dijadikan lemba-
ga yang tertuduh sebagai tempat berkumpulnya para perusak moral.
Apalagi dilihat dari penampilan para pelaku seni yang memang
sebagian besar cenderung ada kesan “sak kepenake dewe, dan atau sak
karepe dewe”.
Dalam kasus yang telah berkarat ini kemudian secara umum
juga penari dituduh sebagai pelaku-pelaku amoral. Dalam perkemba-
ngannya putri-putri kita ada rasa khawatir untuk menjadi penari

Wahyudiyanto
14

Menari Bagian. I
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

karena dalam diri penari sudah terlanjur melekat predikat sebagai


pemuas laki-laki. Demikian pula putra-putra kita dikhawatirkan dan
bahkan dianggap menyimpang perilakunya. Sebutan banci atau waria
adalah dampak dari keterlibatan orang laki-laki menjadi penari.
Asumsi yang berlebihan ini dirasakan sebagai tuduhan sedemikian
tidak bertanggungjawab kepada para penari-penari kita. Tanggapan
yang tidak positif terhadap kehidupan penari ini masih saja tarjadi di
sebagian besar masyarakat kita utamanya di lokus-lokus yang kental
dengan anggapan bahwa menari adalah mudlorot yang patut untuk
dihindari jauh-jauh bahkan mendengar alunan gamelan juga dihuku-
mi haram.
Menuru hemat penulis, bahwa setiap perbuatan itu tidak
diperbolehkan apabila dalam hukum ada larangan. Dan setiap
perbuatan itu diperbolehkan karena di dalam hukum tidak ada
larangan. Perbuatan yang dikenai hukum adalah perbuatan yang
mendapatkan kepastian hukum yakni perbuatan yang benar dan
perbuatan yang salah. Itu artinya ketika orang melakukan perbuatan
yang dalam hukum dikategorikan sebagai perbuatan yang salah maka
pelaku mendapat sanksi hukum. Moral adalah bagian dari konteks
perbuatan yang dalam hukum masih dalam perdebatan. Karena moral
memasuki wilayah pemikiran subyektif yang relatifitas kebenarannya
menjadi sangat tinggi. Moral tidak berada dalam wilayah benar dan
salah tetapi dalam wilayah baik dan tidak baik atau kurang baik,
sopan atau tidan sopan.
Perbuatan dalam kategori moral disamping ditopang oleh
hukum agama, moral lebih menjadi urusan adat budaya. Sopan di
Jawa menjadi tidak sopan di Minangkabau. Tidak baik di Indonesia
menjadi tidak menjadi masalah jika dilakukan di luar Indonesia dan
seterusnya dan seterusnya. Bahwa kebudayaan setiap negara, setiap
bangsa, bahkan setiap suku bangsa telah merumuskan sendiri–sendiri
secara khas tentang yang baik dan tidak baik, yang sopan dan yang
Wahyudiyanto
15

Menari Bagian. I
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

tidak sopan, sehingga untuk menggeneralisasikan perbuatan yang


dalam kategori moral menjadi sangat tidak mungkin. Setiap kebuda-
yaan memiliki kebijaksanaan sendiri-sendiri tentang moral.
Ketika ajaran keagamaan memasuki wilayah budaya, ketika
nilai-nilai religi bersentuhan dengan norma-norma adat ada banyak
variasi kasus budaya yang dapat dicermati. Di Jawa, ketika para wali
(penyebar ajaran agama islam--yang disebut sebagai wali songo--)
mencoba mengislamkan masyarakat ada banyak cara yang dilakukan
menurut kecerdasan para walinya. Sunan Kali Jogo yang kontroversi
dengan cara budaya merangkul masyarakat untuk memperbarui
akidah keyakinannya. Melalui gamelan, wayang, tembang, topeng, dan
kesenian lainnya, dia berhasil dengan baik mengajarkan tentang
aqidah meskipun dirasakan belum selesai syi’arnya. Sang Sunan
melihat bahwa sebuah keyakinan adalah persoalan pemahanan terha-
dap aqidah (ubudiah dan muamalah). Aqidah ubudian adalah persoa-
lan keyakinan tentang ajaran ketuhanan yang menuntut pengertian,
pemahamaan, penghayatan, dan perbuatan yang kesemuanya bermu-
ara dari akalnya (pikir, hati, dan perasaan). Penggunaan akal yang
benar dan baik akan menghasilkan Aqidah yang benar dan baik pula.
Aqidah yang benar dan baik akan mewujud dalam perilaku, akhlaq,
dan budi pekerti yang baik pula.
Hukum-hukum agama dimaknai sebagai tuntunan yang harus
dijalani sesuai dengan kadar potensi setiap pribadi yang tidak ada
keharusan untuk merubah budaya masyarakat yang dianggap tidak
bertentangan dengan hukum agamanya. Kita bisa menyaksikan sang
Wali tetap saja mengenakan pakaian kebesaran Jawanya, mengena-
kan kain panjang untuk menutupi celana panjangnya, memakai lurik
khas Jawa (pedan Klaten) dan menyelipkaan keris di pinggangnya.
Artinya bahwa kebudayaan sebagai produk masyarakat tetap dijalani
dipadu dengan ajaran agama yang kuat sehingga melahirkan kombi-
nasi nilai hukum dan moral yang sampai sekarang tetap lestari.
Wahyudiyanto
16

Menari Bagian. I
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

Kesenian di tangan Wali menjadi media yang ampuh untuk


menyebarkan kebaikan. Wayang yang sudah dimiliki jauh sebelum
agama barunya dipeluk dan disyi’arkan kepada masyarakat dimanfa-
atkan untuk meluruskan akidah. Demikian pula tembang, gending-
gending dengan suara gamelan, tarian yang memanfaatkan topeng
adalah banyak dikreasi oleh para wali. Kesenian adalah inti kebuda-
yaan dan tentu saja sejalan dengan kaidah-kaidah hukum agama.
Maka apabila terdapat penyimpangan dalam kesenian sebenarnya
terletak pada pelaku-pelaku kesenian yang tidak memahami budaya
dan tuntunan agama.
Di dalam kehidupan masyarakat yang masih memiliki akar
kuat adat budaya dan agamanya akan memperlakukan kesenian
sebagai kebutuhan hidupnya. Dalam mensyukuri karunia Tuhan
berupa kelahiran anak, khitanan, pernikahan, dan tradisi-tradisi lain-
nya, kesenian terlibat secara aktif mengisi batin masyarakatnya.
Dengan demikian maka sebenarnya ketika kesenian dikambing hi-
tamkan sebagai biang yang harus dipersalahkan maka setidaknya ada
tiga hal yang menjadi catatan:
1. Kurang adanya pemahaman yang komprehensip antara ajaran
moral adati dan ideologi keagamaannya.
2. Tidak memahami makna kesenian sebagai produk kebu-
dayaan masyarakatnya. Bahwa kesenian adalah aktualisasi
kehidupan individu dan masyarakat yang mewujud menjadi
bentuk-bentuk yang indah memberi umpan balik kehidupan
kebudayaan masyarakat kedepannya.
3. Kesenian yang memang diselewengkan sehingga melanggar
hukum dan norma yang diyakini masyarakat.
Berkaca dari pemikiran itu, menjadi penari sebenarnya tidak
ada bedanya dengan menjadi; ilmuwan, agamawan, pendakwah, guru,
penutur, misionaris, dan pejuang nilai-nilai lainnya. Penari adalah
Wahyudiyanto
17

Menari Bagian. I
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

pembawa misi dengan cara menebar pesan nilai melalui keindahan


gerak. Kita ingat bahwa gerakan tubuh adalah bahasa yang paling
jujur dalam bertutur sehingga melalui pesona gerak dapat menggugah
kesadaran penonton tentang nilai-nilai.

Wahyudiyanto
18

Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

BAGIAN II

YANG SESUNGGUHNYA ADA


DALAM TARI DAN MENARI

Tari Adalah Teknik Kinestetik dan Bentuk Estetik


................ Seni Tari–seperti juga seni pertunjukan yang lain—
tidak pernah meng-‘ada’ pada dirinya sendiri. Ia hadir karena
diproduksi oleh seseorang atau sesuatu: para penari, per-
kumpulan tari, koreografer, produser, pembuat program,
presenter, bahkan oleh pengelola gedung (pertunjukan), pe-
nyelenggara festival, para penonton, hingga para ‘politikus’
budaya, dll. Sehingga apa yang dikehen-daki oleh masing-
masing pelaku dalam lapangan luas tari--dan tari sebagai
penghuni ranah budaya--akan dengan sendirinya berpe-
ngaruh kuat pada realitas tari sebagai ranah estetik. .... oleh
karenanya terdapat beragam parameter; tari dengan aspek-
aspek penciptaannya, tari dengan tujuan-tujuan pengguna-
annya, kategori-kategori selera dengan sudut pandang pe-
ngetahuan, hingga hak-hak istimewa terkait kekuasaan ter-
tentu. Ini terkait dengan relativitas nilai yang sepenuhnya
menyandarkan diri pada subyek yang memproduksi nilai
(Fathul A. Husein, dalam Widaryan-to, 2004: V)

Wahyudiyanto
19

Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

Pikiran yang dilontarkan A. Husein tentang tari tersebut


menggelitik untuk direnungkan, dipelajari, selanjutnya mengajak
untuk menelusurnya. Bahwa tari tidak pernah meng “ada” pada
dirinya Sendiri, ia ada disebabkan oleh, dari, dan untuk yang ada di
luar dirinya. Ini disebabkan ia diproduk, oleh siapa saja, untuk siapa
saja, untuk apa saja, di mana saja, dan kapan saja. Oleh sebab itu
keberadaannya terkait dengan selera: oleh, dari, dan untuk selera
manusia yang beragam itu dengan berbagai pemanfaatnnya.
Sebelum ditelusur lebih jauh, dipahami dulu apa sebenarnya
yang ada pada tari. Yang ada pada tari sebenarnya adalah tari itu
sendiri yang tersusun dari berbagai elemen tari. Elemen tari terbagai
menjadi dua (2), yang pertama elemen yang melekat pada tari dan
elemen yang ada di luar tari kemudian ikut lebur dengan elemen
yang melekat pada tari selanjutnya membentuk kesatuan tari.
Elemen yang melekat pada tari selanjutnya disebut aspek “dalam”,
sedangkan eleman yang berasal dari luar tari disebut aspek “luar”.
Allegra Snyder memberi pengetahuan bahwa tari terwujud
atas: stimulasi (stimulation) dan transformasi (transformation).
Bandem menyebut sebagai “aspek dalam”, dan juga masyarakat dan
lingkungan tempat penari hidup dan berproses, dikatakan Bandem
sebagai “aspek luar” (Bandem 1996, 22). Kesatuan aspek “dalam” dan
aspek “luar” disebut kemanunggalan (unity). Kemanunggalan aspek
”dalam” dan aspek “luar” merupakan realitas teks dalam konteks
yang benar-benar terjadi. Yang dimaksud teks adalah rangsangan
obyek fisik keadaan luar yang terstimulasi selanjutnya menstrans-
formasi menbentuk obyek fisik benda seni. Dalam konteks yang
dimaksud adalah nilai-nilai objek fisik dari luar yang terstimulasi
selanjutnya mentransformasi menjadi nilai-nilai yang berada di balik
benda seni. Teks sebagai obyek fisik dunia luar menjadi berbeda
ketika telah mentransformasi ke dalam wujud seni, begitu juga nilai
dari objek fisik sebagai konteks dunia luar telah mentransformasi
Wahyudiyanto
20

Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

menjadi nilai-nilai dari wujud seni. Inilah kebenaran1 yang terjadi


pada perwujudan seni termasuk tari.
Stimulasi (stimulation) merupakan keterhubungan keadaan
(psikologis) manusia dengan keadaan (situasi dan kondisi) di luarnya.
Keterhubungan psikologis manusia dengan keadaan di luarnya seba-
gai rangsangan inderawi berlangsung pada pertalian, yaitu pertalian
antara manusia dengan dunia, pertama-tama diawali dan terjadi
lewat tubuh. Tubuh adalah media tak tergantikan untuk mengalami
dan berinteraksi dengan dunia (Drew Leder 1990, 11, dalam Simatu-
pang 2013, 53). Selanjutnya pertalian dipahamkan bahwa pengala-
man sebagai sesuatu yang dialami adalah dari proses mengalami yang
tidak berhenti pada tertangkapnya rangsangan oleh organ inderawi
tetapi berlanjut menuju kesadaran menubuh (embo-died cognition)
yang mengikutsertakan proses mental, mengingat, dan membayang-
kan.
Itulah kemudian, pengalaman berarti mengalami, yang berarti
pula menafsirkan (interpreting). Kegiatan menafsirkan dipengaruhi
oleh faktor individu maupun budayawi. Dalam proses mengalami,
tubuh bergulat dengan ruang, waktu, benda, getaran, suara, bunyi,
cahaya, aroma, gerak, suhu, tegangan, permukaan, bahkan individu
juga mengalami sensasi-sensasi yang ada dalam dirinya sendiri dan
sosialnya (Simatupang 2013, 55).
Bandem menjelaskan, ada tari karena terstimulasi alasan
agama, ekonomi, desakan orang lain (pesanan), pengabdian kepada

1 Kebenaran menurut Saebani (2009: 6-8) terdiri sebelas macam, 1) kebenaran


absolute, 2) kebenaran relative, 3) kebenaran spekulatif, 4) kebenaran normatif, 5)
kebenaran religious, 6) kebenaran filosofis, 7) kebenaran ilmiah, 8) kebenaran
teologis, 9) kebenaran ideologis, 10) kebenaran konstitusional, 11) kebenaran logis.
Bisa jadi bahwa kebenaran dalam seni mencakup keseluruhan macam nilai atau
sebagiannya, tergantung dari nilai apa yang akan diserap oleh seniman dijadikan
obyek seni.

Wahyudiyanto
21

Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

nilai-nilai kehidupan masyarakat (ciptaan profesional). Pada aspek


rangsangan ini, Bandem menambahkan juga bahwa keadaan politik,
sosial, budaya turut pula memberi stimulan pada seniman untuk
kemudian menghadirkan tari. Dalam konteks individu seniman tari,
pengalaman menubuh merupakan pengalaman dari rangsangan
inderawi selanjutnya dalam proses internalisasi menuju kesadaran
menubuh, mendorong untuk menghadirkan bentuk-bentuk indah
(transformation).
Pada seniman tari, kesadaran bentuk yang menubuh pada
wujud tarian terpolakan dalam gerak dan seluruh atribut yang tidak
dalam kesehariannya, ekspresi rasa indah yang mewujud menghadir-
kan daya “pesona” bagi orang yang mengalaminya (dirinya sendiri
dan penonton). Terjadi perubahan dari penubuhan yang alami menu-
ju penubuhan yang tidak alami karena kehadiran pola-pola gerakan
yang diciptakan. Terdapat ketubuhan–kinetik--dengan adanya ke-
trampilan teknik-teknik pada tiap sequen, membentuk komposisi,
meme-cah ruang, dan mengatur tempo, sehingga gerakan-gerakan
merupakan stilisasi dari berbagai gerakan yang diciptakan secara
konseptual (Bandem, 1996: 24).
Transformasi juga pada wilayah kejiwaan (psikologis) yang
kemudian dikatakan sebagai ekspresi. Imajinasi sebagai kerangka
acuan keindahan yang berasal dari keadaan-keadaan dalam lingku-
ngan yang difikirkan, dirasakan, dibayangkan, selanjutnya diwujud-
kan dalam tindakan melalui gerakan-gerakan. Tindakan kinetik dalam
ketrampilan teknik-teknik, penari mengusung phenomenal order dan
ideational order (Haviland, 1975:11 dalam Bandem, 1996:30), menga-
lirkan energi (greget) menumbuhkan pesona (vitalitas gairah) me-
nimbulkan rasa hayatan yang hidup (urip) bagi penonton. Daya hidup
(urip) sebagai perwujudan kehidupan subyektif nyata dalam kegiatan
tari. Wujud-wujud material (Phenomenal order) ditampakkan pada
keseluruhan fisik tari, sedangkan gagasan-gagasan adalah (ideational
Wahyudiyanto
22

Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

order) sebagai tema dan “isi” tari merupakan nilai-nilai kebaikan


yang terintisarikan dari kebudayaan masyarakatnya.
Atas dasar pembahasan tersebut dapat dikenali bahwa yang
sesungguhnya ada di dalam tari setidaknya terdapat tiga komponen
utama: kebenaran, kebaikan, dan keindahan. Dijelaskan lebih gam-
blang lagi bahwa kebenaran seni tari menyangkut konseptualisasi,
bahwa dunia luar yang terstimulai adalah gagasan-gagasan atau ide
tari yang merupakan kebenaran secara logika nalar (Jawa=bener) dan
kebenaran secara budaya dan spiritualitas, (jawa =pener). Maka dapat
disampaikan disini, kebenaran “konseptualisasi gagasan seni kudu
bener lan pener” (benar secara logika dan benar secara budaya dan
spiritualitas). Konsep merupakan kerangka atau konstruk estetik
yang mengarahkan tercapainya penyampaian pemikiran kemanusia-
an (gagasan) kepada audien melalui ranah artistik estetik atau
keindahan.
Maka kebenaran pertama adalah bahwa rumusan konsep
gagasan harus memenuhi kaidah benar menurut logika nalar, budaya
dan spiritualitasnya. Kebenaran sebagai fakta yang benar-benar
terjadi di masyarakat, diyakini masyarakat sebagai nilai-nilai yang
membawa kebaikan. Kebenaran yang dimaksud sudah barang tentu
menyeluruh seperti halnya kebenaran sebagaimana dirumuskan
Saebani. Kebenaran berikutnya adalah bahwa berkesenian atau
menari adalah benar-benar ingin mewujudkan kebaikan yang terpan-
car di balik keindahan tarian yang disajikan. Kebaikan seringkali
dikaitkan dengan norma dan moral, yaitu segala hal yang dapat
diterima dari sisi budaya, adat tradisi, hukum, agama atau keyakinan
dan atau kepercayaannya. Gazalba (1978 472) menyatakan bahwa
kebenaran kadang tidak selalu identik dengan kebaikan dan apalagi
dengan keindahan. Namun patut disadari bahwa seniman memiliki
perspektif tersendiri terhadap kebenaran, kebaikan, dan keindahan.
Dan kadang-kadang kebenaran dan kebaikan merupakan kebutuhan
Wahyudiyanto
23

Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

skender dari penciptaan kesenian. Kebutuhan primer seniman men-


ciptakan seni adalah keindahan. Dan pada seniman Dunia Timur,
(Indonesi) ada pemahaman umum pula bahwa keindahan yang dicip-
takan seniman sudah mempertimbangkan kebenaran dan kebaikan,
minimal untuk diri seniman sendiri.
Ketiga elemen utama seni atau tari sebagaimana dipahamkan
di atas selanjutnya dapat dijelaskan menurut cara kerja setiap elemen
yang mewujudkan tari. Bahwa di dalam tari harus ada teknik sebagai
langkaf fisik, kinestetik sebagai aspek kesatuan teknik dengan ide
dasar tari yang selanjutnya dikatakan sebagai kerangka nilai kemanu-
siaan, berikutnya mengkristal sebagai tema. Kinestetik inilah sumber
utama tari dapat mempesona. Penari yang mempesona penonton
disebabkan menarinya ekspresif atau ekspresi hadir dalam penyaji-
annya. Pesona tari itulah bentuk keindahan tari yang mengesankan
untuk menyampaikan pesan yang dapat berguna bagi kebaikan pe-
mirsanya. Oleh sebab itu setiap tari memancarkan pesona dan atau
keindahannya masing-masing. Ada tari Jawa, pasti memancarkan
keindahan sebagai Tari Jawa. Pesona Tari Bali juga memancarkan
keindahan Tari Bali, Pesona Tari Saman juga mencirikan khas Tari
Aceh Sumatera, dan seterusnya. Pada kesempatan ini dijelaskan apa
itu teknik, kinestetik, dan bentuk estetik.

Teknik Dalam Tari


Pemahaman teknik dalam tari terdiri atas dua wilayah.
Pertama, teknik koreografi, yakni cara mengerjakan seluruh proses
baik fisik maupun mental yang memungkinkan para penari mewujud-
kan pengalaman estetisnya dalam sebuah komposisi tari, sebagai-
mana ketrampilan untuk melakukannya. Teknik yang dimaksud
meliputi: 1) teknik bentuk (technique of the form), 2) teknik medium
(technique of the medium), 3) teknik instrumen (technique of the

Wahyudiyanto
24

Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

instrument), (Hadi 2017.a, 48-49). Perihal teknik koreografi, Hadi


menjelaskan sebagai berikut: teknik bentuk, merupakan kebentukan
tari itu sendiri yaitu membentuk atau menyusun tari atau koreografi.
Bahwa tari terdiri atas gerak dalam ruang, dan waktu sebagai elemen-
elemen estetis tari.
Dalam menyusun atau mewujudkan tari menggunakan
prinsip-prinsip: keutuhan, variasi, repetisi, transisi, rangkaian, per-
bandingan dan klimaks (Hadi 2017.a, 41-48). Teknik medium atau
teknik gerak, bahwa gerak dalam tari adalah gerak yang dipolakan
untuk tujuan mengekspresikan pengalaman mental dan emosional.
Teknik instrumen adalah cara mengenali, memilih, dan memanfa-
atkan anggota tubuh yang digunakan untuk kegiatan ekspresi. Berkai-
tan dengan pemahaman ini, Hadi menyebut koreografi sebagai teknik.
Kedua, pemahaman teknik pada wilayah pelaksanaan gerak,
Hadi (2017.a, 53) menyampaiakan, teknik adalahi cara melakukan
atau mengekspresikan gerakan yang berkualitas2 hingga menghasil-
kan bentuk gaya pribadi tari, ciri individual atau ciri kespesifikan tari
didasarkan oleh pembawaan (kepribadian), dan sosial budaya yang
melatarbelakangi kehadiran suatu tarian. Murgiyanto menyatakan;

2 Gerakan yang berkualitas dibentuk oleh faktor: 1) kesejarahan (masyarakat primitif,

kerakyatan, dan kraton) menghasilkan kualitas yang bebeda. Masyarakat primitif dan
kerakyatan cenderung menghasilkan bentuk dan teknik gerak tari yang bertumpu
pada ritme yang sederhana dan statis atau “ajeg”. Masyarakat kraton menghasilkan
tari klasik dengana bentuk dan teknik gerak yang lebih tertata, lebih rumit, penuh
variasi dari yang primitive maupun kerakyatan. 2) kepribadian, menghasilkan ciri
individual yang kuat. 3) tipe tubuh. Tubuh kurus tinggi menghasilkan gerakan yang
lebih ringan atau ada kesan melayang dibandingkan dengan tipe tubuh gempal yang
cenderung memberikan kesan berat. 4) Latar belakang budaya. Tari klasik dari Barat
cenderung melayang-layang dengan concatan-loncatan. Kaki merupakan instrument
tubuh yang penting untuk gerakan on air. Tari klasik dari Timur lebih membumi.
Gerakan tangan lebih dominan. 5) Geografi. Daerah pantai lebih menghasilkan tari
dengan gerakan mengambang dan rigan. Daerah pedalaman menghasilkan tari
dengan gerakan yang berrtumpu pada tanah yang tampak rasa berat dan kokoh (Hadi
2017.a, 53-54).
Wahyudiyanto
25

Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

teknik atau ketrampilan gerak hadir sebagai prasarat untuk meng-


ungkapkan gagasan tari (Murgiyanto, 2004, 59).
Sedyawati menyatakan: Teknik terkait dengan pencapaian
gaya tertentu tari, yakni cara pelaksanaan gerak, apabila dilaksanakan
sesuai kaidah yang mengantarnya dapat mencapai bentuk yang
berkualitas dan menghasilkan gaya tari yang menonjol” (Sedyawati
1986, 13). Sedyawati memandang teknik bergerak dalam tari sebagai
ciri pembeda penari satu dengan lainnya, tarian satu dengan lainnya,
dan tari dalam budaya satu dengan tari dalam budaya lainnya. Gerak
dan teknik pelaksanaan yang berkualitas merupakan ciri pembeda
yang selanjutnya dikatakan sebagai gaya, yaitu gaya individual, mau-
pun gaya tari dari suatau wilayah tertentu (Sedyawari 1986, 12-13).
Dalam tari tradisi, teknik dalam kaiatan pelaksanaan gerak
didasarkan atas kaidah teknk dasar gerak sebagai pemandu penari
agar dapat melaksanana dan atau menarikan tari tradisi tersebut
sesuai dengan kaidahnya. Tari tradisi Jawa Misalnya, jelas memiliki
kaidar teknik dasar gerak. Tari Jawa Surakarta (Kasunanan) misalnya,
terdapat pemahaman umum sebagai landasan panindaking beksa,
yaitu cara melakukan tari Jawa yang “sampurno” yang dinamakan
wiraga, wirama, dan wirasa. Secara teknis wiraga, wirama, dan wirasa
dijabarkan ke dalam konsep yang dikenal dengan “Hasta Sawanda”3
(delapan sikap bentuk gerakan tubuh penari) yakni; 1) pacak, 2)
pancat, 3) ulat, 4) lulut, 5) luwes, 6) wilet, 7) irama, dan 8 Gendhing)
(Hadi 2017.a, 36., Prihatini 2007, 45-46., Widyastutieninrum 2004,
123-124).
Konsep wiraga dan Hasta Sawanda merupakan konsep olah
raga. Wirama dan wirasa merupakan konsep olah rasa. Terdapat

3 Konsep Hasta Sawanda merupakan gagasan dari Raden Tumenggung (RT)


Kusumakesawa (empu tari dari keraton Surakarta). Menurut beberapa empu dan
guru tari di Surakatra berkembang sejak berdirinya Himpunan Budaya Surakarta
tahun 1950. Hasta Sawanda juga ditulis hadi
Wahyudiyanto
26

Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

konsep olah rasa yang lain di antaranya adalah; sengguh (pemahaman


dan kemampuan ekspresi), mungguh (kemampuan menyatukan
elemen untuk kesatuan rasa tari), dan lungguh (kemampuan penera-
pan jenis dan karakter pada penyajiannya). Wiraga, wirama, wirasa,
dan sengguh, mungguh, lungguh sebagai kaidah olah raga, dan olah
rasa juga mencakup kepantasan budaya atau rasa budaya merupakan
wewaton yang musti diterapkan oleh penari tari Jawa Surakarta.
Penerapan yang benar dan tepat pada konsep dasar pelaksa-naan
teknik gerak nyata mampu membentuk kepenarian tari gaya
Surakarta yang mumpuni, artinya terukur dalam kaidah dasar
pelaksanaan tekninya, kepantasan di dalam memberikan dukungan
pada aspek rupa, suara, dan bunyi. Maka dapat disaksikan Tari Gaya
Surakarta mendapatkan penari yang mampu memukau penontonnya.
(Gambar. 1) merupakan penerapan kaidah dasar teknik gerak tari
gaya Surakarta kualitas gagah.

Gambar. 1 Tari Klono Topeng gaya Surakarta kualitas gagah


Dok. Wahyudiyanto, 2010

Tari Jawa Yogyakarta memiliki kaidah umum yang sama


dengan tari Jawa Surakarta yakni wiraga, wirama, dan wirasa (Hadi
Wahyudiyanto
27

Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

2013, 16., Soeryodiningrat 1934, 3). Namun capaian tekniknya


berbeda. tari Jawa Surakarta memiliki Hasta Sawanda, tari Jawa gaya
Yogyakarta mempunyai capaian teknis pokok sebanyak tujuh (7)
macam, yaitu; 1) pandengan, 2) pacak gulu, 3) deg, 4) cethik, 5)
mlumahing pupu, 6) nylekithing, dan 7) mendhak (Hadi 2013, 16.,
Soeryobrongto dalam Wibowo 1981, 60-65).
Selain tujuh (7) konsep olah raga, pada tari Jawa Yogyakarta
terdapat pula empat (4) konsep olah rasa yaitu menyatukan lahir
batin sesuai maksud tari, yang terdiri atas; 1) sawiji (konsentrasi yang
bulat), 2) greget (dinamika dalam jiwa yang disalurkan ke dalam
gerak), 3) sengguh (kepercayaan diri pada kemampuan kepenarian-
nya), 4) ora mingkuh (dalam keadaan apapun pada waktu menari
tidak meninggalkan kewajibannya sebagai penari) (Hadi 2013, 13-
14). Konsep raga dan rasa dilaksanakan dengan patuh oleh penari
agar dapat mencapai miraga dan mirasa dalam tari Jawa Yogyakarta
(Soeryobrongto, 1981, 14). Jika diterapkan, kaidah teknik dasar gerak
tari Gaya Yogyakarta dapat diperhatikan pada gambar. 2).

Gambar. 2 Penerapan kaidah teknik dasar gerak tari gaya Yogyakarta kualitas gagah
Dok. Youtube. 24 April 2020

Wahyudiyanto
28

Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

Tari Jawa juga dipandang Sedyawati (1986:13) secara khusus


menyangkut teknik bergerak yang dilaksanakan secara tepat dan
berkualitas sehingga mencapai bentuk serta ciri khas pengenal tari
bersangkutan. Pengertian tepat adalah ukuran-ukuran yang harus
bisa dirasakan sebagai sesuatu yang pantas pada tari dalam tata nilai
kebudayaan yang bersangkutan. Pengertian ciri khusus menghasilkan
sebutan tersendiri, di antaranya; tari Surakarta, tari Yogyakarta, tari
Minangkabau, tari Bali, Malang, Madura dan sebutan ciri khas perso-
nal seperti Alus S. Ngaliman, tari Prawira Watang S.Maridi, tari Ngre-
ma Munali Patah, tari Ngrema Ali Markasah, tari Ngrema Toebi, Bolet
dan lain sebagainya.
Tari Jawa berkembang di wilayah terdekat hingga pada
wilayah yang jauh bahkan terjauh sampai ke Bali (Bandem 2000, 46).
Di Surabaya Jawa Timur, tari Jawa memiliki pengaruh kuat pada Tari
Ngrema Surabayan. Munali Patah yang merintis Tari Ngrema Suraba-
yan berteman akrab dengan salah satu pemeran Gatutkaca legendaris
Rusman Hardjowibakso pada wayang orang Sriwedari Surakarta.
Keakraban Munali Patah dan Rusman disebabkan keduanya merupa-
kan penari ternama pada jamannya dalam memerankan karakter
kesatria yang sama yaitu Gatutkaca4. Kedekatan perasaan, jiwa
kepenarian, dan sikap nasionalisme yang dianggap sama oleh Munali
Patah berlanjut pada kemudahan Munali Patah untuk menerima
kebudayaan Adi Luhung Mataraman sebagai rujukan berkeseni-an

4Dalam kesempatan wawancara dengan Munali Patah, peneliti mendapat penjelasan


bahwa Munali Patah merintis tari Ngrema Surabayan Cakraningrat dengan
pendekatan karakter Arjuna selanjutnya berkembang menjadi Gatutkaca disebabkan
penyesuaian nilai kepahlawanan lebih tepat dengan karakter gagah perkasa.
Orientasi karakter gagah perkasa model gatutkaca pada Ngrema Surabayan, oleh
Munali patah diusahakan memalui pertemanan dan pendekatan karakter gerak
kepada Rusman. Hanya saja Cakraningrat berasal dari Madura, oleh sebab itu Munali
Patah mengunakan gerak tari Ngrema masa sebelumnya dimodifikasi dengan
gerakan-gerakan yang diambil dari unsur gerak pencak silat dari Madura yang cepat
dan dinamis (Munali Patah wawancara 13 Februari 2003).
Wahyudiyanto
29

Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

tari. Sikap dasar bentuk gerak pada Tari Jawa Gatutkaca Rusman
dijadikan orientasi oleh Munali Patah dalam meramu gerak pencak
silat untuk dijadikan sikap dasar bentuk gerak Tari Ngrema Suraba-
yan.
Hingga generasi sekarang, sikap dasar teknik gerak Tari Ngre-
ma Surabayan tampak jelas didapati unsur-unsur sikap dasar bentuk
gerak yang relatif sama dengan pendahulunya. Hal ini disebabkan
Tari Ngrema Surabayan memiliki kaidah sikap dasar teknik gerak
yang disebut; ‘asisapaponglati’ (adeg, siku, sabet, pacak, polatan,
nglaras, dan ngayati). Tujuh (7) sikap dasar gerak tari Ngrema
Surabayan ini merupakan pencapaian teknik olah raga (wiraga) dan
olah rasa (wirasa). Teknik olah raga mensyaratkan ketrampilan
penari pada pencapaian kualitas gerak tubuh5, hasilnya adalah seleh
raga, yaitu gerak tubuh yang luluh6 (menyatu) dengan pikiran. Teknik
olah rasa adalah kemampuan penjiwaan atau pengha-yatan terhadap
gerak yang terkait dengan irama, hasilnya adalah seleh irama, yaitu
kesesuaian gerak dengan irama. Kemampuan penjiwaan atau
penghayatan terhadap gerak yang terkait dengan tema tari, hasilnya
seleh rasa, yaitu gerak bersama irama yang dapat menciptakan
karakter. Pencapaian ketrampilan dan kemampuan olah raga dan
olah rasa adalah; seleh raga, seleh irama, dan seleh rasa (Wibisono
2015, 40).
Pathokan baku sikap dasar gerak pada Tari Ngrema
Surabayan sebagaimana disinggung pada bahasan sebelumnya ada
tujuh (7) macam, di antaranya adalah; adeg, siku, sabet, pacak,

5 Pencapaian kualitas gerak menyangkut kepatuhan pada prinsip-prinsip adeg, siku,


sabet, pacak, dan polatan.
6 Bahwa gerak tubuh yang luluh (menyatu) dengan pikiran seperti tubuh yang bukan

sekedar instrumen yang dimainkan tetapi juga yang memainkan. Gerak yang
timbul ketika menari tidak lahir atas dasar perintah pikir atau rasa, melainkan
seluruh bagian dari tubuh itu seolah-olah punya rasa, jiwa, nafas atau kehidupan
sendiri (Suanda 1999, 6)
Wahyudiyanto
30

Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

polatan, nglaras, dan ngayati. Lima (5) sikap dasar gerak (adeg, siku,
sabet, pacak, polatan) berkaitan dengan hubungan gerak dengan
gerak, adapun nglaras adalah hubungan gerak dengan irama, dan
ngayati adalah hubungan gerak dengan rasa yang ditimbulkan oleh
penjiwaan atau penghayatan terhadap tema tari. Penerapan asisa-
paponglati pada Tari Ngrema Surabayan dapat diperhatikan pada
gambar. 3.

Gambar. 3 Tari Ngrema Surabayan


Dok. Wahyudiyanto, 2018

Kinestetik Dalam Tari


Seorang penari dituntut memiliki kemampuan teknik
sebagaimana dijelaskan di atas, namun kemampuan teknik tidaklah
cukup mesti diteruskan kejangkaun yang lebih dalam yaitu kinestetik.
Lantas apa yang dimaksud dengan kinestetik. Kinestetik terbentuk
dari kata kinetik dan estetik. Kinetik7 lazim dipergunakan untuk

7Gerak kinetik tubuh manusia dalam pembahasan ini ditujukan pada gerakan tubuh
untuk kegiatan tari dan bukan untuk keperluan lain seperti misalnya gerakan olah
raga. Terdapat perbedaan mendasar gerak tubuh manusia untuk tari dan gerak untuk
Wahyudiyanto
31

Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

menyebut gerakan fisik tubuh manusia. Estetik dipahami sebagai


sesuatu yang indah, selanjutnya kinestetik diartikan gerak indah yang
dilakukan oleh tubuh manusia (Reality 2008, 372) Secara spesifik
kinestetik dalam dunia tari dipahami sebagai rasa gerak, penjiwaan,
atau maksud “isi” (content) tari (Hadi 2017, 42) atau gerak yang
menghadirkan rasa (Hadi 2013, 20). Gardner (2003, 7-8) mengate-
gorikan kinestetik sebagai kecerdasan seseorang di dalam mengguna-
kan seluruh tubuh untuk mengekspresikan gagasan dan perasa-an
melalui ketrampilan bergerak8 dalam hubungannya dengan pencipta-
an sesuatu, maka menari adalah membangun atau menciptakan
sesuatu. Gardner mengatakan, selain rasa gerak, di dalam tari terda-
pat; gagasan, ekspresi, dan mencipta, oleh Murgiyanto (2004, 59) dan
Widyastutieningrum (2004, 121) dikatakan juga bahwa di dalam tari
terdapat interpretasi. Interpretasi adalah mencipta karakter tari,
maka interpretasi atau mencipta karakter tari merupakan tugas
penari.
Hadi mengatakan, “isi” (content) tari merupakan wilayah
kinestetik atau rasa gerak yang dihadirkan melalui proses penjiwaan.
Dalam hubungan ini, Hadi kemudian menyebut kinestetik sebagai
pemahaman koereogafi sebagai konteks “isi”. Koreogafi sebagai
konteks “isi” (content) adalah melihat bentuk atau sosok tarian yang
tampak secara empirik “struktur luar” (surface structure) senantiasa
mengandung arti dari “isi” (content) atau “struktur dalam” (deep
structure). Kebentukan dari ketiga elemen gerak – ruang – waktu
secara bersama-sama mencapai vitalitas estetis kebentukan koreo-
grafi sebagai konteks “isi” (Hadi 2017.a, 55).

olah raga. Gerakan tari memiliki tujuan sebagai sarana ungkapan gagasan-gagasan
untuk menyampaikan pesan kemanusiaan. Gerak olah raga untuk memenuhi moto
olah raga yakni, sehat dan bugar.
8 Ketrampilan bergerak oleh Gardner dikatakan sebagai kemampuan fisik yang lebih

spesifik, diantaranya kemampuan koordinasi, keseimbangan, kekuatan, kelenturan,


kecepatan dan kemampuan menerima rangsangan dan hal-hal yang berhubungan
dengan sentuhan atau stimulus dari dunia luar.
Wahyudiyanto
32

Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

“Isi” tari tidak tampak, disebut inner dance yaitu pengaturan


masalah mental yang menjadi “isi” dan jiwa gerakan tari yang selalu
menyertai struktur luar (surface structure). Struktur luar (surface
structure) merupakan perwujudan dari teknik bentuk, teknik
medium, dan teknik instrumen (observed dance). Dalam hubungan
struktur luar dan struktur dalam pada tari, selanjutnya dikenal
bentuk dan “isi”. Bentuk teramati secara empirik, sementara itu, “isi”
merupakan aspek mental yang dibentuk oleh berbagai tema, di anta-
ranya tema gerak, tema cerita, dan tema simbolik9 yang hanya dapat
dirasakan. Seorang penari dituntut kemampuannya untuk menyatu-
kan outer (struktur atau bentuk luar) dan inner (struktur atau bentuk
dalam) ke dalam wujud gerak yang berkualitas (Hadi 2017.a, 45-46).
“Isi” tari dapat dirasakan oleh penonton melalui kinestetik
yaitu getaran-getaran energi mental10 pada gerakan-gerakan penari.
Energi mental berasal dari penyerapan penari atas gagasan-gagasan
atau ide dari lingkungan tempat ia hidup dan berproses kesenian. Ide
yang menjadi “isi” tari berupa gambaran atau gagasan pokok dinyata-
kan melalui simbol-simbol gerak dan aspek lain11 yang membentuk
tari (Ellfeldt 1977, 15). Sedyawati (1981, 61) menyatakan, “isi” tari
merupa-kan hasil penafsiran seorang seniman terhadap kehidupan
lingkungan alam, masyarakat dengan sistem sosial budaya, politik,

9 Tema yang muncul dalam rasa gerak disebabkan oleh, 1) tema gerak, merupakan
rangkaian gerak yang terdapat di dalamnya transisi-trasisi. Secara umum tema gerak
dibentuk oleh; a) gerak murni (pure dance) dan b) gerak tipe studi (study) “abstrak”
yaitu memandang gerak sebagai materi utama tari, c) liris (lyrical), yaitu gerak puitis,
4) komikal (comical), gerak yang lucu humoris. 2) tema cerita, yaitu tarian literal
yang menggunakan cerita tertentu, dan 3) tema simbolik, yaitu tarian yang bermakna
dan terdapat pesan yang bernilai dengan adanya keterhubungan “struktur luar” dan
“stuktur dalam” (Hadi 2017.a, 58-68).
10 Energi mental oleh Sumandiyo Hadi (2017, 46) dikatakan sebagai energi non fisik
yakni emosi tari.
11 Simbol tari selain gerak sebagai medium utama adalah: tata rias, tata busana, tata
musik, tata ruang dalam komposisi, dan juga suara (dialog, sair tembang –kidung--)
jika ada.

Wahyudiyanto
33

Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

kepercayaan, maupun diri pribadinya. Pengertian itu membenarkan


bahwa setiap orang atau masyarakat dalam lingkup sosial budaya
tertentu mempunyai orientasi nilai sebagai pandangan hidup.
Penari juga seorang koreografer adalah manusia yang selalu
mempertimbangkan kehadiran nilai-nilai yang baik dalam hidupnya
dipergunakan sebagai “isi” tari. Dapat disampaikan bahwa alat utama
seorang seniman dalam menghadirkan nilai-nilai dalam karyanya
adalah tafsir. Kegiatan menafsir seniman berdasarkan pandangan
tentang kondisi lingkungan. Gagasan yang dilandasi oleh nilai dalam
lingkungan budayanya merupakan sumber bagi terbentuknya sebuah
karya.
Kinestetik sebagai capaian kualitas kepenarian tari, menuntut
kemampuan penari bukan sekedar pelaku gerak semata, tetapi seba-
gai pencipta yang mampu menyusun dan mempolakan kembali gerak
yang telah ada sebelumnya dalam wujudnya yang baru, yaitu gerak
simbolik yang merupakan wujud transformasi dan interpretasi dari
stimulan yang pernah dihadapi dan dialami. Gerak simbolik tersebut
dimungkinkan dapat menciptakan dialog imajinatif penari dengan
penonton. Penari membawa pengalamannya ke dalam wujud gerak,
penonton dengan pengalamannya bertemu dalam ruang hayatan,
membawa harapan ingin mendapatkan pengalaman yang baru lagi.
Dalam waktu dan ruang imajinasi yang singkat, kinestetik memainkan
peranannya, yaitu membawa pengalaman penari bertemu pengala-
man penonton dalam situasi baru, situasi yang dapat memacu imaji-
nasi penonton menangkap kesan.
Kinestetik sebagai ekspresi gagasan dan perasaan yang disam-
paikan melalui ketrampilan bergerak mengandung makna sebagai
hakekat hubungan sosial manusia, yakni kinestetik sebagai tugas dan
fungsi komunikasi. Sebagai tugas, kinestetik mengajarkan keunggu-
lan manusia dalam membangun komunikasi. Selain bahasa literer,
manusia menunjukkan kecerdasan-nya, yakni menyampaikan pikiran
Wahyudiyanto
34

Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

dan perasaannya melalui bahasa penghayatan. Dalam pandangan


religius, bahasa hayatan memiliki keunggulan komunikatif dalam me-
nyampaikan pesan-pesan kemanusiaan yang bersifat “rohani ilahi-
yah”. Adapun sebagai fungsi, kinestetik membedakan kualitas manu-
sia dengan kualitas makhluk lainnya. Kemampuan berbahasa simbol
memberikan legitimasi bagi manusia sebagai makhluk yang berkebu-
dayaan dan berperadaban. Bahwa kebudayaan manusia merupakan
simbol manusia sebagai makhuk berperadaban.
Dapat dipahami bahwa kinestetik mempunyai peran penting
dalam kualitas kepenarian. Hal ini disebabkan karena kinestetik pada
tari berhubungan dengan sistem komunikasi simbolik tari. yakni
menyampaikan gagasan dan perasaan menggunakan bahasa gerak.
Hasil komunikasi bahasa gerak yang simbolik didapat melalui peng-
hayatan rasa dan jiwa, bukan berupa pemahaman rasional tetapi
“citra” atau gambaran imajinatif obyek maya. Proses pembentukan
“citra” berada dalam situasi yang dikondisikan, yakni dalam ruang
dan waktu yang khusus berupa pertunjukan tari. “Citra” atau gam-
baran imajinatif obyek maya dapat dicapai oleh penonton apabila
pertunjukan tari, dapat dirasakan kinestetiknya.
Komunikasi simbolik pada tari menekankan pada aspek rasa,
jiwa, dan religiusitas. Oleh sebab itu, bahasa gerak yang diciptakan
dibutuhkan kualitas yang dapat menyentuh; rasa, jiwa dan memiliki
kemampuan menghayati nilai-nilai religiusitas yang baik supaya da-
pat menyentuh; rasa, jiwa dan penghayatan religius penonton. Bahasa
simbol yang dapat menyentuh rasa, jiwa, dan religiusitas diciptakan
oleh penari melalui proses stimulasi dari kondisi obyektif rasional
masyarakat dan transformasi teknik yang kharismatik.
Bandem memberi contoh transformasi kejiwaan (psikologis)
pada tari melalui dua kategori: karawuhan (ecstacy, kemasukan roh
suci) bersifat goib, dan taksu sebagai daya spiritual yang merasuk ke
dalam diri seorang penari ketika sedang mengekspresikan dirinya.
Wahyudiyanto
35

Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

Taksu adalah daya irasional yang membuat seorang penari tampil


penuh pesona. Seseorang penari yang mempunyai taksu dikuasai oleh
perasaan bahagia yang meluap, tetapi tetap dalam pengendalian
kesadaran. Dia sanggup mengontrol gerak, tempo, dan emosinya,
berbeda dengan karawuhan yang penarinya kehilangan kesadaran
(Bandem, 1996:24). Apabila syarat kinetik (yang merupakan hasil
stimulasi dari luar diri) dan kejiwaan (psikologis), yang mengalir di
dalamnya energi (greget) hingga menghadirkan “pesona” dalam
ekspresi kepenariannya, tarian akan mengalami unifikasi (unity) yaitu
kemanunggalan dengan masyarakatnya.

Estetik Dalam Tari


Adapun estetik dikenal dengan sebutan indah atau keindahan.
Beberapa pakar keindahan merumuskan tentang indah atau keinda-
han seni. Djelantik merumuskan estetik sebagai rasa indah. Indah
adalah proses inderawi (visual dan akustik) yang menghasilkan rasa
senang, rasa puas, rasa aman, rasa nyaman dan bahagia. Apabila pera-
saan itu sangat kuat, kita merasa terpukau, terharu, terpesona, serta
menimbulkan keinginan untuk mengalami kembali perasaan itu,
walaupun sudah dinikmati berkali-kali (Djelantik 1999, 4-5). Jelantik
memasukkan unsur-unsur tari yang dapat membangun estetik, yakni:
1) Bentuk, 2) Bobot, dan 3) Penampilan. Bentuk wakni wujud tari,
baik yang tampak oleh penglihatan juga wujud yang tidak tampak
oleh penglihatan tetapi dapat dirasakan. Di dalam bentuk terdapat
struktur yaitu tata urut tari yang merupakan bentuk atau alur dinami-
ka tari. Bobot meliputi, gagasan, suasana, dan pesan.
Gagasan adalah pikiran-pikiran tentang kemanusiaan yang
terakumulasi dalam tindakan manusia dalam budayanya selanjutnya
membentuk nilai-nilai bagi masyarakatnya. Nilai-nilai tersebut menja-
di rujukan masyarakat untuk diikuti, dilaksanakan atau dijauhi atai

Wahyudiyanto
36

Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

ditinggalkan. Nilai tersebut kemudian disusun menjadi tema tari.


Suasana adalah berbagai keadaan batin yang tersusun dalam struktur
atau alur dinamika tari. Sedangkan pesan adalah hasil penghayatan
penonton yang ditangkap melalui kesan yang ditimbulkan oleh gera-
kan, musik, busana, dan elemen-elemen lain dalam tari. Penampilan
me-nyangkut: bakat, ketrampilan dan media pendukung tari.
Bakat memang seringkali dikaitkan dengan hal-hal yang
berkaitan dengan seni. Hal ini didasari oleh kondisi empiris bahwa
anak dalang akan menjadi dalang, disebabkan ada bakat, Anak olah
ragawan akan mengikuti jejak orang tuanya. Tidak melihat bahwa
antara anak dan bapak terjadi hubungan logis, sering ketemu, latihan
bersama terus menrus dan terus menerus. Dengan demikian anak
memiliki ketrampilan yang sama dengan orang tuannya. Dengan
demikian pendidikan sebetulnya yang berpengaruh beser pada
seseorang meskipun genetik yang diturunkan orang tua kepada anak
juga berpengaruh pada anak, namun sedidit sekali, yang terpenting
adalah berlatih dan berlatih.
Ketrampilan, sudah barang tentu akan menjadi bagian dari
unsur keindahan. Hal ini disebabkan tari adalah ketrampilan, semakin
baik ketrampilan seorang penari semakin indah ditonton gerakan-
gerakan yang diperagakan. Media atau teknologi yang dapat mem-
bantu memperindah tontonan tari. Pencahayaan, setting panggung,
properti-properti yang menunjang penampilan penari di atas pang-
gung akan mendapat perhatian khusus bagi penonton. Bahkan era
digital sekarang ini, media teknologi berperan penting dalam dunia
pertunjukan tari, dan grup-grup atau kompani-kompani tari banyak
yang sudah memanfaatkan kecanggihan teknologi pemanggungan.

Wahyudiyanto
37

Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

Permainan Labirin
Jika tari tradisi sudah memiliki panduan sebagai pijakan
untuk menjadi penari dan menari tari tradisi yang baik dan sempurna
sesuai kaidah dasar teknik gerak, kinesteik dan bentuk estetiknya,
lantas bagaimana dengan tari yang dalam kategori bukan tradisi atau
non tradisi. Ada tari modern, post-modern, dan tari kontemporer
yang juga tumbuh berkembang di masyarakat dan juga dikalangan
akademis. Apa pijakan mereka dalam melakukan teknik bergerak,
berkinestetik, dan hasil estetiknya. Di Surabaya pada empat tahun
terakir terdapat event festival pertunjukan tari bertajuk Sawung
Dance Festival yang dihelat di Gedung Pertunjukan Cak Durasim
Taman Budaya Jawa Timur di Surabaya, tepatnya Jalan Genteng Kali
Nomor 85. Nomor-nomor tari yang dipertunjukkan tidak biasa,
artinya Gedung Pertunjukan Cak Durasim yang notabene milik
pemerintah setiap kali menggelar pertunjukan selalu berlebel Gelar
Seni Budaya daerah yang selanjunya disingkat GSB. Adalah program
rutin pemerintah yang diwakili Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Propinsi Jawa Timur untuk mewadahi seni pertunjukan di Jawa
Timur yang tersebar di sejumlah 33 Kabu-paten Kota. Sementara itu,
“Sawung Dance Festival” adalah program nonjob12 yang dimotori anak
muda di Surabaya yang ingin beda di dalam menunjukkan jati diri
dalam berkesenian. Pada kesempatan ini kita coba menelusurinya.
Istilah kontemporer memang tak hentihentinya menjadi
perdebatan. Kontroversi akan selalu terjadi ketika sebuah event
dicantumi predikat modern, postmodern, dan kontemporer. Semen-
tara klasik dan tradisi relatif sepi dari diskursus perdebatan, karena
seni dalam kurun waktu jauh di belakang itu dianggap memiliki

12 Nonjob dalam tulisan ini dimaksudkan sebagai kegiatan yang dilaksanakan oleh
pihak yang tidak memiliki kaitan langsung dengan organisasi yang memiliki sumber-
sumber vital, yakni instansi organisasi yang memiliki kepastian program dan acuan-
nya, pelaksanaan dan penganggaran, tempat dihelatnya kegiatan, dan laporan
seluruh mata rantai kegiatan terprogramnya.
Wahyudiyanto
38

Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

otentisitas, kualitas bentuk, teknik, artistik, dan estetik yang dikata-


kan mapan sebagai ciri-cirinya. Sementara modern telah menjadi
madzab berdasarkan pencip-tanya, meskipun kemunculan awal me-
rupakan bentuk kontem-porer karena baru, kini, dan berbeda pada
zamannya. Bahkan saat ini tari modern menjadi tradisi yaitu tradisi
tari modern dengan madzab-madzab yang berbeda-beda. Modern
madzab Irene Castle, modern madzab Isadora Duncan, Maude Allan,
Rut Denis, Martha Graham, dan seniman tari modern generasi
setelahnya. Lantas bagaimana seniman tari Indonesia memaknai
modern sebagai spirit pembebasan yang melahirkan bentuk baru
kemudian menjadi tradisi tari modern di Indonesia.
Kesamaan pandang perihal bentuk, artistik, dan teknik
seniman tari Indonesia dengan seniman tari dari muasal istilah
modern muncul belum di ketahui hingga saat ini. Namun Sal Murgi-
yanto13 mencatat tokoh-tokoh tari di Indonesia yang mengikuti jejak
tari modern diantaranya adalah Sardono W. Kusuma, Gusmiati Suit,
Lebih muda lagi Deddy Lutan, Miroto, Bimo, dan Boy G. Sakti. Gene-
rasi selanjutnya ada nama Ery Mefry, Eko Supriyanto. Sederet nama
seniman tari tersebut dikenal cukup luas di negeri ini dan di manca
negara. Apa yang dapat dicermati karya dari sederet nama seniman
tari modern Indonesia. Adalah ide kelokalan merupakan basis utama
untuk diwujudkan garap tarinya. Ide dimaksudkan sebagai yang
tematik, yang fokabuler gerak, dan nilai pesannya. Adapun kategori
yang mengikuti jejak modern adalah:
1. Spirit baru cara menyampaikan dan atau mengungkapkan
gagasan. Keleluasaan sebagai kata ganti kebebasan, dilakukan
untuk memberi aksen lugas, tegas, dan terkesan spontan
tanpa ada unsur-unsur yang membatasi. Repertoar gerak dari
local genous diperlakukan sebagai bahan. Unsur-unsur terke-

13Baca Sal Murgiyato dalam: Membaca Sardono: Penari-Penata Tari, Penjelajah dan
Pemikir Budaya (tidak dipublikasikan).
Wahyudiyanto
39

Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

cil dari bentuk dan teknik gerak dikenai garap sedemikian


luas hingga menghasilkan format repertoar baru. Terjadi
pembongkaran luar biasa luas dari aspek garis, ritme, volume,
tempo, tekstur, aksen (tekanan), dan energi yang dialirkan ke
dalamnya. Terdapat penataan ruang yang rumit dinamis
dengan pertimbangan aspek pandang artistik. Garis lintas
dijadikan objek yang dapat meng-hidupkan sudut-sudut ruang
mati. Pengulangan gerak, perimbangan tinggi rendah (level)
melalui tubuh penari, vokal dan ekspresi mimik, merupakan
unsur-unsur teks tari yang tidak boleh luput dari eksplorasi.
Panggung kemudian diramaikan permainan teknis dan teknik
tubuh dalam membangun koreografi tarinya.
2. Disiplin dalam berlatih mewujudkan impian baru. Disiplin
dipahami sebagai ketepatan menentukan dan memanfaatkan
waktu. Disiplin dimengerti sebagai kecermatan melihat feno-
mena kebaruan, baru dipandang dalam konteks format olah
ketubuhan, olah keartistikan, olah pembentukan, dan baru
dalam tawaran seluruh nilainya. Dalam hubungan ini, disiplin
dimaknai sebagai cara baru melihat tari sebagai pernyataan
aktual nilai-nilai kebudayaan.
3. Tubuh merupakan domain penting untuk menyampaikan
gagasan, berikutnya tubuh dominan tereksploitasi mengemu-
ka dalam penyajian. Prinsip sedemikian melahirkan panda-
ngan bahwa tubuh adalah labirin. Konsep labirin membayang-
kan gelapnya tubuh hadir dalam sosok. Sosok diimajinasikan
memiliki ruang dimensional berkelok-kelok. Setiap kelokan
bertemu kelokan baru. Ujung kelokan baru hadir kelokan lain
bercabang-cabang. Semakin banyak dan beragam kelokan,
membu-tuhkan energi lebih agar bisa melewati jalan baru
dalam setiap kelokan menuju ujung lintasan ke luar. Prinsip
kerja labirin adalah proses untuk menemukan. Menemu-kan
Wahyudiyanto
40

Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

apa ?. ..... jalan keluar. Namun proses menuju jalan ke luar


didapati banyak kelokan, setiap lintasan ditemukan pengala-
man baru. Sedemikian banyak pengalaman mempribadi mem-
bentuk mental baru untuk dibawa ke luar, sehingga; raut
wajah, sifat, dan sikap baru mewar-nai perilaku ketika ditemui
di ujung lintasan ke luar. Terlihat berbeda pembawaan seseo-
rang saat masuk dan ketika ke luar labirin.
Begitupun tubuh dapat diperlakukan sebagai labirin. Proses
olah tubuh yang mendalam akan mendapatkan unsur-unsur terkeci-
lnya muncul dipermukaan sebagai wujud baru yang terformat. Lekuk
tubuh yang terbatas dalam sosok alaminya akan mencair menjadi
lekuk-lekuk baru yang bermacam ragam melahirkan nilai kinestetik
dan makna barunya. Yang dikatakan sebagai volume, garis, ritme,
tempo, tekstur yang terisi energi tubuh, mengalir ke dalam bentuk
gerak membawa pola-pola dan simbol-simbol ungkapan (Hawkins
dalam Dibia, 2003: 6-7). Itulah disiplin kerja tari modern yang
memandang tubuh sebagai gerbong pembawa misi tari.
Dari pandangan itu, rerata seniman tari modern Indo-nesia
memanfaatkan idiom lokal sebagai materi membentuk bangunan
karya tarinya. Norma kerja koreografi mengikuti kaidah yang dipola-
kan oleh prinsip-prinsip dasar tari modern. Menghentak dunia tari
ketika seniman–seniman ini menawarkan nomor-nomor karya mo-
dern ketika itu. Yang baru tentu tidak biasa. Tidak biasa karena
berbeda, yang berbeda memancing beragam reaksi khalayak. Reaksi
ekstrim melempari dengan menggunakan telur busuk.
Menyadari bahwa polarisasi bentuk dan nilai begitu meloncat
hingga diibaratkan orang lelap tertidurpun menjadi reaktif ketika
dibangunkan dengan cara yang tidak biasa (ekstrim). Dari tradisi
menuju modern temporer mendapat pemaknaan yang cenderung
negatif sebagian besar khalayak. Temporer merusak “adi luhung”.
Nilai filosofi yang dipedomani sebagai ajaran moral, tuntunan susila
Wahyudiyanto
41

Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

dan tata krama mem-buncah ke luar menjadi sekedar bentuk


permainan panggung mengumbar vulgaritas tampilan. Seniman tari
modern kita dianggap murtad dari ajaran leluhur. Sedemikian ungka-
pan membelit perkembangan dunia tari kontemporer kala itu.
Peserta festival Tari Kontemporer Sawung Dance Festival
adalah anak bangsa sendiri. Lebih khusus mereka para penggiat muda
tari dari Surabaya. Pertanyaannya adalah dari mana mereka menge-
nal dan memahami istilah kontemporer. Konon kontemporer, terma-
suk juga klasik, tradisi, dan modern, merupakan kebahasaan yang
bukan berasal dari dunianya sendiri. Kita sendiri tidak tuntas mema-
hami pengertian dan elemen-elemen yang memberi ciri setiap istilah
itu ketika dibelajari para pendahulu, sehingga penggolongan tari ke
dalam istilah-istilah itu selalu debatable. Kita selalu tersandung
masalah seputar pemahaman pengertian dan ciri-cirinya. Yang dapat
dituai adalah pandangan yang selalu kontroversi.
Kontemporer, termasuk juga dalam sorot kontroversi terse-
but. Pengalaman sejarah memberitahu bahwa seni modern, dan
postmodern kreasi seniman Indonesia tidak berbanding lurus dengan
karya-karya seni modern dan postmo-dern dunia. Yang lebih ekstrim
adalah pandangan, konsepsi, dan karya seniman kita sulit dipahami
sebagai seni modern oleh seniman dunia (Holt, 1967: 319-340).
Apalagi seni yang digolongkan sebagai seni kontemporer. Kabar
sejarah yang demikian itu apakah juga telah menjadi pertimbangan
seniman tari kontemporer kita saat ini dalam kerja cipta tarinya. Dan
apakah pertimbangan sejaran itu penting. Sebaiknya kita telusur
pemahaman itu melalui kajian pada nomor-nomor tampilan Festival
Tari Kontemporer yang dimaksud.
1. Adalah Siska Dona Milasari akrab dipanggil Dona. Perempuan
muda lulusan Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW)
Surabaya ini mendapat kesempatan pertama mendahului
peserta lainnya. Aktivis belia sarjana seni (S-1) tahun 2015 ini
Wahyudiyanto
42

Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

menampilkan karya tari dengan judul Gendraningtyas. Karya


bertema kisah romantika Dewi Sekartaji dengan Inukertapati
ini meru-pakan reproduksi karya tugas akhir. Dasar repro-
duksi karya ini penulis peroleh dari wawancara:
“ Karakteristik tari ini belum sepenuhnya mencerminkan
pribadi saya. Masih terdapat kegamangan pada seluruh
elemen tarinya. Gerak, busana, topeng, bahkan musik, saya
rasakan masih ketat pada konvensi-konvensi yang ada. Saya
ingin merombak terus menerus sampai hati saya merasa
plong. Plong yang saya maksud adalah tidak ada lagi yang
saya rasakan membelenggu. Kali ini memang belum selesai
karna berbagai hal yang menjadi kendala. Utamanya pada
audio (musik) adalah unsur penting dalam karya saya ini
yang masih perlu penyesu-aian, sehingga kaitan dengan
gerak dan dukungan busana to-peng, pola-pola ruang dan
artis-tiknya bisa menyatu. Momen ini adalah bagian dari
proses berkelanjutan saya untuk nanti sampai pada waktu-
nya, Sekartaji dalam karya saya ini adalah saya sendiri.
(wawancara, 2016: 25 Pebruari).

Pernyataan singkat ini senafas dengan harapannya tertuang


dalam sinopsis, sebagai beriku:
Aku Dewi Sekartaji, pada kalut dan gemelut, aku tidak akan
berlutut pada jiwamu, ragaku bukan ragamu yang engkau
tinggalkan pada bumi sendiri, aku membatin tanpa cahaya
tanpa daya, hampa, tapi aku adalah aku, sekartaji, sekartaji
milikku sendiri, aku adalah jati diriku pada terang bumi dan
cahaya matahari.

Ada semacam pesan bahwa Dona sebagai perempuan bermak-


sud menyuarakan keleluasaan. Keleluasaan untuk berkomunikasi,
berinteraksi, bersosialisasi, berdedikasi, berkompetisi, dan berambi-
si yang bermartabat. Keleluasaan juga menyangkut nasib hidup tradi-
sinya. Dalam peran ini pencipta mengambil langkah inovatif. Cara
yang dicoba pahami adalah membuka ruang pekat konvensi untuk
dicairkan menjadi formaforma alternatif yang berarti bagi tumbuh
Wahyudiyanto
43

Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

dan kembangnya tari. Dona ingin, yang dikerjakan ini dapat memberi
rasa lega bahwa tari tradisi dapat dikreasi ulang menjadi format
berbeda, tidak biasa dan lebih terbuka. Penerimaan oleh khalayak
merupakan jawaban dari keinginan memberi rasa lega tersebut.
Tari Gendraningyas terdiri dari lima frasa dinamis dibangun
atas sifat dasar manusia, meliputi; gelisah, kalut, religius, semangat,
dan tenang/damai. Meminjam tokoh Dewi Sekartaji sebagai interpre-
tasi karakteristik Dona mengemas dalam bentuk garapan baru
mengacu pada gerakan-gerakan tari pada wayang topeng dalang dari
Malang. Diawali kehadiran bayangan sosok penari perempuan meme-
gang topeng14. Di belakang layar dalam remang siluet, wajah penari
menghadap dekat pada topeng bergerak meliuk, mengibaskan rambut
yang tergerai panjang, memutar penuh dengan cepat kembali pada
arah hadap semula. Perlahan, diam, lampu redum dan gelap.
Seketika cahaya lampu temaram menerpa panggung utama.
Terlihat keremangan lima penari perempuan berbalut kain putih
memegang topeng. Menggunakan desain bawah, formasi penari
duduk zig-zag posisi masing-masing tidak sama. Seoran penari di
urutan dua dari deretan paling kanan, duduk tidak lazim berlaku
dalam tari tradisi, tiba-tiba tangan kanan menggerakkan topeng diha-
dapkan dekat pada muka. Tangan kiri direntangkan tinggi berlawa-
nan arah dengan gerak tangan kanan, membentuk ruang membuka.
Perlahan, dan diam. Disusul tiba-tiba gerakan berguling penari
berikutnya yang duduk pada urut ke empat deretan paling kanan.
Berguling lagi ke tempat semula membentuk pose gerak yang sama
dengan penari pertama. Dilanjutkan gerakan bersama dimulai meng-
angkat topeng dari tempat paling bawah (lantai) menuju ke atas

14 Topeng yang dikenakan dalam garap tari ini adalah topeng Sekartaji khas
Malangan tetapi mengalami perombagan wujudnya. Motif Jaman dan atau mahkota
kepala dihilangkan dan wajah diubah menjadi sedikit tersenyum.

Wahyudiyanto
44

Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

kepala, menengadah, dada membusung. Kaki kanan menjulur lurus ke


depan lekat dengan lantai, kaki kiri menampilan posisi tekuk lutut,
hingga terlihat tungkai atas dan bawah bertemu rapat. Gerakan ini
jauh dari persepsi kita tentang gerak Wayang Topeng Dalang Malang
yang konvensional.
Disusul dua penari bergerak dengan motif, bentuk, tempo, dan
ritme yang sama seperti gerakan dua penari sebelumnya. Seorang
penari lagi mengikuti gerakan penari lainnya sehingga ke lima penari
melakukan komunikasi satu sama lain menuju posisi belakang, mem-
bangun bentuk posisi setengah lingkaran, menggunakan kedua lutut
sebagai tumpuan badan. Masih dengan kedua lutut sebagai tumpuan,
penari perlahan menghadap layar (siluet) yang terdapat di tengah
ujung belakang panggung. Penari yang berada di dekat layar bergerak
meliuk-liuk bagai penari ular15 menggerak-getarkan topeng, perlahan,
diam. Cahaya lampu panggung utama sedikit diredupkan. Diteruskan
dengan perlahan cahaya lampu yang cukup terang dari belakang
bawah panggung diarahkan ke tengah layar menerpa tubuh penari
hingga membentuk bayangan (siluet) sosok penari.
Seperti pada peristiwa pertunjukan topeng Dalang dari
Malang, Penari awal mula memasuki panggung terlebih dahulu meng-
gerak-gerakkan layar berbelah dua sebagai gambaran pintu keluar
masuk penari. Digetar-getarkan, dibuka sebentar, ditutup kebali dan
digetar-getarkan lagi. Getaran kain memben-tuk gelombang mirip air
di kolam yang tertimpa lemparan benda di atasnya hingga memben-
tuk gelombang melingkar-lingkar yang bergerak menjauh. begitu
seterusnya hingga pada waktunya layar dibuka lebar sebagai tanda
penari akan memasuki panggung utama. Frasa pertama adalah

15 Penari ular yang acap kali didapati dalam berbagai kesempatan pentas adalah
seorang perempuan dengan kostum busana minim membawa ular sebagai media
untuk eksplorasi berbagai gerakan “erotis”. Tidak ditemukan kepastian fokabuler
gerak yang dapat membangun konstruksi koreografinya. Kesan umum adalah impro-
fisasi dan sensasi yang dirangsang oleh alunan musik hingar bingar.
Wahyudiyanto
45

Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

gelisah, diwujudkan dalam formasi yang lebih terbuka, bentuk-bentuk


gerak yang telah mapan16 dalam wayang topeng Malang diperluas
volume ruangnya, dipercepat dan diperlambat temponya, setiap
transisi gerak mendapatkan tekanan energi yang tampak lebih kuat.
Komposisi ruang dibangun dengan menciptakan berbagai arah hadap
penari, desain level, dan motif gerak diperhitung-kan, raut topeng
diisi bermacam muatan ekspresi.
Gelisah yang berkepanjangan menyebabkan kalut adalah frasa
kedua. Irama dipercepat, motif gerak beragam dan lebih terbuka.
Fokabuler gerak semakin tidak ketat bentuk dan teknik pada kema-
panan konvensi. Desain lantai lebih terbuka luas, gerak emotif me-
nunjukkan ketidak stabilan jiwa diwujudkan dalam gerak rol ke
belakang oleh seorang penari. Penari lain memberi aksen gerak-gerak
kanon yang ditunjukkan dengan kerapatan formasi ruang. Ruang
selanjutnya terpecah tetapi berkelompok berpasang-pasangan. Setiap
penari menampilkan motif gerak berbeda setiap kelompok pasangan.
Ruang terasa penuh sesak dengan penataan arah hadap, level, pola
ruang, dan motif gerak semakin beragam. Penataan kelompok penari
rapi tetapi keragaman emosi, desain ruang, arah hadap dan motif
gerak yang berbeda-beda dimaksudkan untuk mencapai titik klimaks
kekalutan.
Religius adalah frasa ketiga. Religius dipahami sebagai titik
jenuh dari segala persoalan yang menghimpit. Religius kemudian
dimaknai sebagai bentuk kepasrahan, penyerahan, dan kesadaran.
Dari sifat ilahiah ini pikir, hati dan perasaan dimungkinkan mencapai
titik nol, bersih, dan bening. Maka pencerahan segera didapat. Wujud
dari frasa religius dimaknai dengan penataan gerak yang relatif

16 Gerak mapan adalah gerak yang memanfaatkan organ-organ tubuh yang telah
mendapatkan kepastian bentuk dan tekniknya. Kepastian bentuk merupakan konven-
si yang memberi gambaran bentuk dan teknik dan bersifat mengatur.
Wahyudiyanto
46

Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

mapan, ruang dan garis-garis yang diciptakan oleh penari bersifat


stabil. Stabil dalam bentuk, teknik, desain, dan emotif yang tentram.
Frasa keempat adalah semangat. Buah dari kesadaran yang
positif adalah tumbuh semangat untuk menapak dunia ke depan. Raut
berseri, energi melimpah dan tertata dengan baik, perasaanpun lega.
Keinginan bercabang-cabang. Gambaran yang demikian ditampilkan
melalui komposisi gerak yang lebih fokus pada kebersamaan meski-
pun ruang penari terpecah. Frasa kelima, keyakinan diri yang mantap
menapak dunia ke depan. Gerak konvensi yang terbuka. Kelaziman
menempatkan tubuh sebagai figur perempuan telah memperoleh
pemaknaan yang lebih luas dengan menebarkan aura pribadi yang
bernas, segar dan gerakan yang leluasa. (Gambar: 4)

Gambar. 4 Komposisi dan gerak tradisi yang mengalami perluasan,


Dok. Wahyudiyanto, 2016

2. Karya tari berjudul: Exist, koreografer Masterpiece Sawung


Dance Studio
Sinopsisi:

Wahyudiyanto
47

Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

Manusia itu punya rasa…. rasa ingin tampil baik, rasa ingin
selalu terlihat sempurna, juga rasa ingin selalu dianggap
update. Cara manusia selalu berbeda beda untuk mencapai
keinginannya, namun mereka tidak tahu apa dampak bagi
dirinya sendiri. Ya…. begitulah manusia ingin selalu exist
diantara manusia yang lain. Harusnya mereka bersyukur
dengan apa adanya mereka.

Exist berjumlah sembilan penari, lima perempuan dan empat


laki-laki. Penari perempuan berbusana ketat berwarna-warni dan
laki-laki pakaian harian natural berwarna-warni pula. Tidak menun-
jukkan dari mana sumber tradisi gerak diacu, meskipun kadang
tampak bentuk gerak yang mencirikan gerak tari tradisi secara umum
tarian jawa tetapi segera luluh dengan gerak yang presentatif ciptaan
baru. Tubuh merupakan media utama sebagai bahan menghasilkan
gerak, dan perilaku keseharian dijadikan modal menciptakan gerak.
Orang mengetahui bahwa perilaku gerak keseharian membawa emosi
natural. Sedangkan gerak non keseharian yang presentatif (abstrak)
menciptakan emosi dan membawa simbolnya sendiri. Ketika perilaku
gerak keseharian dihubungkan dengan gerak yang non natural bersa-
mbung-sambung, maka yang tampak adalah hubungan gerak dan
emisi yang terpenggal-penggal. Tercipta jarak paradoks antara gerak
keseharian dengan gerak ciptaan baru, emosi natural dengan emosi
tari lantas bagaimana memak-nainya.
Terdapat tiga frasa dalam exis berdasarkan eksistensi penari
di atas panggung. Frasa pertama hadir satu penari perempuan cukup
berotot bergerak di sudut depan kiri dengan sorot fokus cahaya
merah pudar. Sambung bersambung gerak natural vulgar dan gerak
ciptaan baru. Disambung seorang penari di samping kanan posisi
tengah tepat pada sorot cahaya natural. Yang satu ini gerak lebih
presentatif ekspresif. Kekuatan, kelenturan, dan kecepatan gerakan
dari seluruh anggota tubuh. Penari berotot tetapi sensual atletik

Wahyudiyanto
48

Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

menciptakan daya tarik sendiri karena emosi yang dihadirkan mem-


bawa aura imajinatif.
Bergantian ke luar masuk panggung sampai pada penari yang
kedua disusul empat penari perempuan lainnya tepat di tengah pang-
gung. Terjadi kontak pandang antar penari diteruskan sambung
menyambung kontak gerak yang representatif17. Ibarat seorang guru
menghadapi murid, penari pada posisi paling depan bergerak diikuti
empat penari dengan kesadaran natural meniru. Terus bergerak dan
terus ditiru. Komposisi rua-ng berubah tetapi konteks bergerak tetap
menirukan dengan kesadaran natural. Sampai pada emosi paling
natural vulgar adalah dipertunjukkan sistem pembelajaran kelas
tentang kesa-lahan, hukuman dan bagaimana seharusnya belajar
bergerak. Dengan tampilan otot kekar satu penari dengan penari
lainnya menciptakan ruang, garis, desain panggung (level) membawa
kesan dinamis.
Frasa kedua ditandai masuknya empat penari laki-laki dari
berbagai arah. Panggung kemudian terisi sembilan penari terlihat
ramai dan meriah. Seluruh penari bergerak serentak dalam posisi
yang terus bergerombol. Seperti dipandu oleh seorang komando,
kompulan penari bergerak ke berbagai tempat, dari tengah menuju
sudut kiri belakang, bergerak bersama menuju tengah belakang,
bergerak lagi ke sudut depan kanan. Menuju tengah lagi bergerak
seperti senam aerobik. Dengan terus bergerak yang mobile, kelompok
sembilan penari membentuk formasi standend seperti pada pemandu
sorak. (Gambar. 5). Penari yang berdiri dengan tumpuan tangan-
tangan penari laki-laki di lempar tinggi berputar diimbangi formasi
penari desain bawah tampak artistik yang menawan. Dan dari
standend seluruh gerak berakhir.

17 Gerak representatif adalah gerak vulgar keseharian yang distilisasi sehingga


tampak memiliki bentuk gerak yang lebih ekspresi dan berbeda.

Wahyudiyanto
49

Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

Gambar. 5 Komposisi dan gerak standend menciptakan artistik yang menawan


Dok. Wahyudiyanto, 2016

3. Judul karya Liris/h, koreografer Nihayah. Sinopsisi:


Tubuh merupakan aset yang paling berharga, ia mampu
menopang dan bekerja sebagai mana mestinya manusia.
Bahkan manusia mampu menjaga keseimbangan tubuhnya
untuk meletakkan benda di atas kepala atau tubuhnya. Ya .
... manusia yang seimbang adalah mereka yang mampu
mengintrol emosi jiwanya.

Karya tari Liris/h terdiri lima penari perempuan. Bentuk


tubuh penari rancak tinggi semapai. Bagian tubuh atas dikena-kan
busana hitam ketat (stayet), bagian bawah kain putih long-gar
menutup anggota tubuh mulai pinggang sampai ujung kaki. Sinopsis
mengajak dialog bahwa koreografer memiki pandangan tentang
manusia yang seimbang, adalah mereka yang mampu mengontro
emosi jiwanya. Keseimbangan atau seim-bang sebagai kemampuan
mengontrol jiwa oleh Liris/h dianalo-gikan dengan kemampuan mem-
bawa benda di atas kepala menggunakan gerakan lambat. Gerakan
lambat dalam konteks permainan yang sengaja dikondisikan tentu
berbanding terbalik dengan kondisi sosial masyarakat yang serba
Wahyudiyanto
50

Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

cepat dan natural. Apakah kemudian gerakan sosial dalam kehidupan


nyata yang begitu cepat, lantas manusia tidak mampu membawa
keseim-bangan yang kemudian berujung pada ketidak mampuan
mengontrol jiwa.
Karya ini menggunakan properti tampah (Jawa: tempeh)
sebagai benda ditaruh di atas kepala. Tampah yang disunggi untuk
penanda keseimbangan manusia, atau manusia seimbang apabila
tampah tidak jatuh. Gerakan sangat lambat. Anggota badan yang
dominan gerak adalah kaki untuk melangkah berja-lan, pinggul untuk
meliukkan badan, dan relatif sedikit gerakan tangan. Sesekali gerakan
kaki dijulurkan lurus ke depan, posisi tubuh tegak berdiri hingga
sesaat tampak keseimbangan badan karena berdiri di atas satu
tumpuan kaki.

Gambar. 6 Komposisi dan gerak lamban membawa tampah di atas kepala. Satu penari
mengangkat kaki lurus tinggi-tinggi untuk menunjukkan keseimbangan
Dok. Wahyudiyanto, 2016

Liris/h terbagi dalam dua frasa berdasarkan penggunaan


properti (gambar. 6), dan bergerak tanpa menggunakan properti.
Perbedaan ini tampak terlihat sama, menggunakan properti dan tidak
menggunakan properti tetap dalam gerakan lambat. Yang menarik
Wahyudiyanto
51

Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

adalah penari cukup terlatih dengan gerakan lambat. Emosi stabil,


tenang, dan cukup kuat ketika melakukan gerakan yang relatif berat
seperti mengankat kaki lurus ke depan dengan tempah di atas kepala.
Berdiri di atas satu tumpuan kaki ini dilakukan dengan waktu yang
cukup lama. Namun seluruh penyajian dirasakan datar karena tidak
didapati unsur-unsur koreografi yang dapat memberi aksen kuat.
Semua terasa tenang, terasa lambat, dan dingin.

4. Karya tari we not me, karya Puri Senjani Apriliani.


Sinopsisi:
Manusia adalah makhluk sosial yang diciptakan saling
membutuhkan satu dengan yang lainnya tetapi seringkali
manusia merasa mampu hidup sendiri. Bagaimanapun
manusia itu bergantung membutukan.

We not me memberi warna lain, menampilkan gerakan-


gerakan ringan, Meloncat, memutar, berlari-lari kecil, bergu-ling,
meroda, dan pose-pose bentuk gerak yang mencirikan gerkan balet.
Meskipun mengalami pembongkaran dari balet klasik, suara tubuh
tetap bisa didengar.

Gambar. 7 Komposisi dan gerak memperlihatkan dinamisasi gerak dan ruangnya.


Dok. Wahyudiyanto, 2016
Wahyudiyanto
52

Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

Bahwa konstruksi koreografi dibangun dengan dasar gerakan


balet tercium ketika meloncat, memutar dan berguling, dan berlari
adalah ciri khusus balet yang tidak dapat menipu. (gambar. 7).
Tiga dara adalah penari karya we not me ini. Sebagai-mana
maksud sinopsis, manusia yang ingin menampilkan diri di depan
umum tentang berbagai hal tampak samar dalam kemas gerak dan
komposisi ruangnya. Namun sensualitas tubuh cukup dominan diper-
lihatkan. Selain karena penari terbilang sangat muda, namun cukup
terlatif dalam gerak, juga percaya diri membawakan perilaku di de-
pan khalayak. Busana yang dike-nakan minim membalit tubuh, teru-
tama tubuh bagian bawah tidak tertutup sehelai benangpun. Kebiasa-
an balet memang demikian, dan ketika balet telah dihilangkan mah-
kotanya dalam karya ini. Minimalitas busana tetap terbawa.
Jadi, Konteks we not me manusia dalam karya ini adalah
pameran tubuh cantik gemulai, lentur, ceria, namun dingin dalam
ekspresi. Pameran tubuh itu sedikit teratasi dengan kecerdasan sang
kreator menciptakan ruang-ruang panggung yang elastis, yaitu di
dalam membentuk frasafrasa komposisi selalu dinamis, baik bentuk
gerak, pemanfaatan desain ruang (level) maupun sudut-sudut area
panggung yang digunakan. Berpindah dari posisi satu ke posisi
berikutnya dipecah dengan gerakan meloncat tinggi, melingkar, me-
mutar, dan berputar di tempat oleh satu penari, sementara penari
lainnya mendahului mencapai posisi yang akan dituju pada level
rendah maksimal dan terus bergerak di tempat sehingga komposisi
tampak dinamis. Pada frasa lain terdapat permainan tensibelitas pada
gerakan. Pada formasi yang sama, ketiga penari berbeda dalam
melakukan gerakan. Tetapi pada posisi yang berbeda, dibedakan pula
tingkat energi yang dialirkan sehingga tiga penari terasa sekali
perbedaannya. Namun dengan cepat disusul menuju formasi lain
membawa pola dan karakteristik gerak yang sama, energi yang sama
sehingga yang tiga terasa satu. Yang demikian menjadi nilai lebih
Wahyudiyanto
53

Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

karya exist ini. Pada sisi lain exist membangun emosi keseluruhan
terasa terputus-putus karena tiba-tiba dan tiba-tiba lagi penari
menghentikan gerak dan emosinya sekaligus.

5. Karya tari Kuda-kuda, koreografer Dian Nova Saputra.


Sinopsisi:
berangkat dari sebuah kesenian jaranan turonggo yakso,
sebuah kesenian dari masyarakat agraris di Trenggalek.
Kemudian dieksplorasi dengan ketubu-han penari menjadi
sebuah bentuk baru. Kuda–kuda adalah sebuah sikap
kesiagaan dalam pencak silat dan juga simbol kekuatan
pada tari Jawa, kuda ada-lah simbol kekuatan.

Mendengar kata jaranan atau kuda-kuda, orang segera


membayangkan pertunjukan jalanan dengan seperangkat alat utama
berupa kuda tiruan. Ditarikan gemulai sekelompok penari umum
diketahui masyarakat. Tidak pada festival kali ini, meskipun judulnya
kuda-kuda, penyajiannya menawarkan konsep yang nyaris tidak
terpikir oleh kebanyakan orang. Kontemporer dijadikan picu pemak-
naan yang jauh meloncat. Modal utama memang gerakan tari jaranan,
tetapi imajinasi kuda sebagai simbol kekuatan merupaka spirit yang
dimunculkan.
Dua penari laki-laki yang tebal otot-ototnya menggebrak
panggung dengan gerakan yang jauh dari gerak tari jaranan. Potongan
rambut ala punk dan kostum sangat minim sekedar membalut ketat
tubuh bagian vital. Ketika bergerak penari pamer gumpalan otot
seperti perilaku binaragawan. Pada ke-sempatan lain dan berulang,
kedua tangan mengepal menjulur kedepan, badan membungkuk
mirip seperti kuda. Tradisi gerak yang diinspirasi oleh material gera-
kan tari jaranan mendapat eksplorasi mendalam. Terlihat ke dua
penari menguasai dan menghayati benar ikon gerakan tradisi jaranan
dan memahami benar bagaimana menjelajahi kembali ikon-ikon

Wahyudiyanto
54

Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

tersebut untuk menghasilkan fokabuler baru. Ragam fokabuler yang


kaya mo-tif, bentuk, dan pengaturan energi ditunjukkan dengan
teknik yang nyaris sempurna.
Tiga frasa diperlihatkan pada penyajian karya kuda-kuda ini
dipandang dari motif-motif gerak dan emotifnya. Serius gerak berat
sebagai simbol ekspresi kekuatan (gambar. 8), bermain-main, yang
memanfaatkan gerak natural tradisi jara-nan. Energi ringan, penuh
canda dan humor, dan gerakan imita-tif menandai bahwa di jaranan
terdapat unsur magi dengan sikap gerak sebagai seorang ahli spiritual
yang berusaha memulihkan penari trance (ndadi). Ketiga frasa ini
tidak secara urut dilakukan tetapi acak dari awal sampai akhir terisi
oleh frasa-frasa itu. Gerakan akrobatik yang umum dalam jaranan
adalah salto ke depan dan ke belakan, rol ke depan dan belakang,
berguling ke depan dan ke belakang, mewarnai komposisinya.

Gambar. 8 Komposisi dan gerak memperlihatkan stamina berat untuk mencapai ekspresi
dengan bentuk dan teknik yang sempurna
Dok. Wahyudiyanto, 2016

6. Judul Karya NgetanNgadhep Ngulon, koreografer Sandhidea


Cahyo Narpati

Wahyudiyanto
55

Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

Sinopsis:
Samubarang kang ana ing awak etanku..
Tak gawe kanca mlaku tak gawe bondo sangu..
Samubarang kang ana ing awak etanku..
Tak gandoli saben aku mlayu..
Samubarang kang ana ing awak etanku..
Dadi cekelanku nakoni saya njeru..
Samubarang kang ana ing awak etanku..
Dadi sarana ngemong ragaku..

Karya Ngetan Ngadhep Ngulon menurut hemat penulis cende-


rung pada teater tari. Unsur-unsur pertunjukan ludruk semisal
dagelan (lawak), kidungan dan busana khas tradisi Ludruk dan Ngre-
mo dijadikan ikon dalam pertunjukan. Terasa benar nuansa budaya
ludruk diciptakan sebagai “roh” pertunjukan. Seperti halnya sinopsis
yang setiap untaian kata awak etanku ditulis berulang, memberi
petunjuk bahwa budaya wetanan (Ludruk), oleh koreografer dijadi-
kan inti gagasan pertunjukan.
Koreografer, yang sekaligus peran utama karya ini memu-lai
pertunjukan dengan membawa seikat kayu bakar. Diawali pembacaan
sinopsis yang diilustasi gending jula-juli Surabaya, pemeran keluar
dari kerumunan penonton menuju area kosong depan tamu/penon-
ton utama. Sambil menebar kayu bakar, Cahyo ngidung jula-juli18 baru
beberapa untai sair, tiba-tiba di panggung utama cahaya terang,
segrombol crew panggung sepontan menggerakkan pinggang mengi-
kuti irama gending jula-juli. Suasana menjadi cair dan segar yang
sebe-lumnya terasa kaku. Cahyo kemudian memusatkan perhatian
gerak-gerak Ngrema. Begitu fasih Cahyo mengulang dan terus meng-
ulan garakan iket pada bagian awal, tengah dan akhir pertunjukan
(gambar 9). Cukup memberi apresiasi khalayak karena gerakan iket

18
Cahyo melantunkan kidung Jula-juli di tempat lazimnya MC membacakan acara
pertunjukan yaitu di sudut kiri depan bawah panggung utama
Wahyudiyanto
56

Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

dilakukan dengan sempurna dalam wiraga, wirama, dan wirasa.


Tubuh yang sehat, stamina prima sehingga energi gerak mengalir
memberi tekanan setiap gerak bikin penonton terdiam.

Gambar. 9 Gerakan iket yang dilakukan pada awal pertunjukan.


Menari menggunakan busana khas Ngremo Ludruk
Dok. Wahyudiyanto, 2016
Oleh Cahyo, gerakan iket selanjutnya dikembarakan hingga
menga-lir deras gerakan-gerakan baru muncul darinya. Lengkung
yang lentur, keras menghentak kuat, mengalir lembut, patah-patah,
dan bahkan gerakan mobile berjalan. Kidungan-pun yang tak lepas
dari kebiasaan Ngrema ikut membuncah deras, yang laras mengalun
di antara motif-motif gerak baru. Orisinalitas gerak yang lahir dari
iket memberi identitas penciptanya. Orisinal dalam konteks kebaruan
yang menetas dari bahan yang telah ada. Kebaruan pada motif, pada
bentuk, teknik, dan kebaruan dalam tekanan energi mengalihkan
tempo, irama, rasa, dan nilai makna yang telah ada menjadi baru dan
berbeda (gambar. 10). Ngrema telah mempribadi pada tubuh Cahyo
dan darinya lahir kembangan-kembangan gerak yang unik inovatif.
Lokal yang global, tradisi yang mengkini dalam konteks bahwa gerak
tradisi telah mengejawantah menjadi sajian yang berwarna lain,
berbeda namun otentik.

Wahyudiyanto
57

Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

Samubarang kang ana ing awak etanku..


Tak gawe kanca mlaku tak gawe bondo sangu..
....... ........... ................. .........
Samubarang kang ana ing awak etanku..
Dadi cekelanku nakoni saya njeru..
Samubarang kang ana ing awak etanku..
Dadi sarana ngemong ragaku..

Kalimat-kalimat ini terasa dalam perjalanan pertunju-kannya.


Memberi pesan kepada khalayak, bahwa untuk menjadi kuat dalam
mengemban misi, harus tau dulu, dimengerti dulu, dipahami dan
dihayati dulu sebaik-baiknya bekal yang akan dibawa untuk dapat
meyakinkan bahwa kita bisa. Pertunjukan menggunakan properti dua
benda digantung di atas pentas. Setiap ujung benda berbentuk bulat
warna merah. Benda tersebut dibalut genta-genta kecil diikat meman-
jang berbunyi layaknya gongseng. Pada waktu-waktu tertentu benda
yang bergelantungan diraih dengan cara melompat, diulang dan terus
diulang (gambar. 11). Apa yang hendak dikatakan oleh Cahyo sang
koreografer. Telah dipesankan dalam sinopsis:
Samubarang kang ana ing awak etanku..
Tak gandoli saben aku mlayu..

Gambar. 10 Pengembangan gerak yang masih Gambar. 11 Pengembangan gerak yang tidak
pada nafas konvensi ada nafas konvensi
Dok. Wahyudiyanto, 2016 Dok. Wahyudiyanto, 2016

Wahyudiyanto
58

Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

Impresi
Mencermati enam nomor pertunjukan Sawung Dance Festival
penulis memberi apresiasi bahwa kontemporer dipahami oleh peser-
ta festival dalam beberapa sudut pandang:
1. Gagasan tematik bersifat personal, merupakan gejala
pragmatis sebagai tanggapan atas fenomena yang berkem-
bang di lingkungan masyarakat. Tematikal ini merupakan
narasi dari afeksi kemanusiaan untuk dimaknakan sebagai
tawaran nilai-nilai.
2. Ketubuhan merupakan faktor utama memberikan makna
bagi yang telah lama ada untuk diartikulasikan ke dalam
konteks kekinian yang berbeda. Ketubuhan adalah konsep
praksis sebagai pernyataan final memberi jawaban bahwa
proses interaksi untuk membangun pengalaman baru
harus dicitrakan oleh tubuh. Maka ketubuhan adalah pa-
radikma dalam perspektif penciptaan baru. Namun di
dalam memaknai tubuh sebagai mediator penyampai ga-
gasan, peserta dibatasi oleh tingkat pemahamannya terha-
dap kontemporer, sehingga eksplorasinya terhadap tradisi
mecapai polarisasi yang berbeda.
3. Inovasi adalah taraf dimana kemajuan masih ditentukan
oleh sesuatu yang sudah ada mendahului sebelumnya.
Tidak ada kata “bimsalabim” atau “kun fayakun” untuk
mendatangkan nilai baru yang baru sama sekali.
4. Teknik melekat pada setiap bentuk gerak yang dihasilkan
dari setiap eksplorasi pada tubuh dan anggota-anggo-
tanya. Kesungguhan dan totalitas dalam melaksanakan
gerakan adalah moto kepenarian pada momen iniuntuk
dapat menghasilkan kualitas gerak dan bentuk-bentuknya

Wahyudiyanto
59

Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

5. Minimalitas gerakan dan sarana pendukung lainnya men-


jadi fenomena eksklusifitas kinestetik dan estetik. Maka
penyiapan tubuh yang prima dan perangkat pertunjukan,
unsur jumlah maupun unsur kehadiran, dijadikan pertim-
bangan penting.

Menari Dengan Jiwa


Dapa disampaikan lagi bahwa tari adalah teknik-teknik gerak,
maka menari adalah memperagakan teknik-teknik gerak yang telah
disusun. Jika suatu tarian disusun oleh penata tari maka penari
bertugas memperagakan teknik-teknik gerak yang disusun oleh
penata tari. Tetapi penari seringkali kita dapati ada yang mampu
menyusun gerakan-gerakan tari untuk diperagakan sendiri. Tetapi
ada banyak pula penari yang lebih merasa mantap melaksanakan
susunan tari yang ditata oleh orang lain (koreografer). Penari
sebagaimana dijelaskan pada tulisan sebelumnya adalah pelaksana
atau interpreter dari ide-ide yang dikerangkakan sebelumnya baik
oleh penata tari (orang lain) maupun ide-ide yang telah dikonsep-
tualkan sendiri. Ide-ide yang kemudian ditransformasi menjadi
gerakan itulah penari melaksanakan teknik-teknik gerak dengan
menggunakan tubuhnya.
Tubuh dengan seluruh anggotanya merupakan kompo-nen
penting dalam kegiatan menari. Oleh karenanya tubuh sehat dan ideal
merupakan bahan yang harus tersedia dengan baik. Tubuh sehat
adalah tubuh yang secara fisik bersedia dengan sempurna mempe-
ragakan teknik-teknik gerak. Tubuh sehat adalah tubuh yang secara
emosi mampu menjalankan misi tarian. Tubuh sehat adalah tubuh
yang tidak terganggu oleh rasa tidak sehat secara fisik dan secara
emosi. Tubuh yang dirasakan tidak sehat secara fisik akan meng-
ganggu kesempurnaan pelaksanaan teknik-tenik gerak. Tubuh yang

Wahyudiyanto
60

Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

sakit akan mengganggu kualitas emosi dalam menjalankan misi


tarian. Jadi tubuh sehat adalah tubuh yang tidak sakit, dimana kebu-
tuhan untuk menari tidak terganggu oleh keadaan yang membuat
tarian tidak dapat dilaksanakan secara sempurna.
Tubuh ideal dalam konteks tarian memiliki jangkauan
pemahaman yang sangat luas. Sebegitu luas wujud dan konteks tarian
maka disana dibutuhkan idealnya tubuh. Artinya bahwa setiap tarian
membu-tuhkan tubuh dengan idealnya sendiri-sendiri. Konon tarian
kidang kencana memerlukan kelincahan tubuh, maka tubuh yang
ideal untuk tarian kidang kencana adalah tubuh yang langsing se-
mampai. Tarian Bima misalnya; akan dibutuhkan figur tubuh yang
tinggi besar berotot. Demikian juga tarian warok akan dipilihkan
penari seperti halnya peran Bima yang ini kemudian paradoks dengan
tarian gemblak yang idealnya adalah tubuh yang cenderung langsing
gemulai.
Membahas ideal tubuh untuk kebutuhan tarian berim-plikasi
pada kebutuhan akan ideal-ideal yang lain. Seperti halnya ketika
membahas suatu peran, akan menggunakan berbagai perspektif
idealisasi atas peran itu sendiri karena setiap peran bertemu pada
proporsi-proporsi yang membingkai. Bentuk dan ukuran tubuh
secara tradisi menjadi bidikan pertama yang akan ditepati. Selanjut-
nya adalah ketrampilan bergeraknya, ketahana, kekuatan, kelenturan
tubuh, usia, jenis kelamin, jenis suara, mental kepenarian, stabilitas
emosi, mungkin juga warna kulit, dan berikutnya adalah tentang
kemampuan-kemampuan dan ciri-ciri khas lain yang mendu-kung
peran. Dan terutama ketika membahas tema tari, maka seluruh ideal
akan diusahakan pendekatannya secara teliti dan obtimal.
Berdasarkan uraian di atas, tari ternyata tidak sekedar
seonggok tubuh manusia bergerak berlepotan bunyian sekedarnya.
Tetapi sebentuk tampilan dengan citra dan pesonanya. Tari dari yang
sangat sekedarnya sampai dengan tari yang sangat serius mengusung
Wahyudiyanto
61

Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

berbagai fenomenanya sendiri-sendiri. Terdapat tari yang bersifat


mimesis dengan memperagakan perilaku apa saja yang ada di lingku-
ngan sekitar menekankan kesempurnaan kualitas gerak peniruannya.
Kita sudah mahfum dengan tarian berburu, tarian anak-anak, ballet,
dan tarian lain yang mengusung tema alam sekitar seperti kehidupan
binatang. Seluruh perilakunya diadopsi dan diadaptasi untuk ditiru-
kan gerakan-nya secara optimal.
Ada pula tarian yang mengeksplorasi karakteristik un-sur-
unsur kejiwaan dan watak manusia yang dianggap unggul dalam
lingkup budayanya. Kita kenal banyak tokoh legendaris dalam setiap
kebudayaan kemudian diorientasi keseluruhan karakteristik yang
melekat padanya untuk selanjutnya menjadi tarian. Kita juga kenal
Tari Kelana, tari Gatutkaca Gandrung, Tari Panji, Tari Ngrema, dan
tarian tokoh lainnya. Terdapat pula tarian yang ditujukan untuk
menanggapi situasi dan objek-objek alam sekitar. Gaerah timbal balik
dari penari, objek, dan situasi yang karakteristik itu selanjutnya
menimbulkan rangsangan untuk menghadirkan gerak dengan karak-
ter maknawi yang sepadan antara pelaku tari, objek, dan situasinya.
Kita ditunjukkan dengan adanya tari kursi, tari payung, caping, tari
cangkul, dan sejenisnya.
Di sisi lain terdapat tarian, penari sekedar mengeks-ploitasi
tubuhnya untuk mendapatkan kesan ruang, garis, tenaga, dinamika,
dan kepuasan bentuk. Dalam paham semacam ini kebaruan tari dicari
terus menerus sampai entah ke mana arahnya. Dalam konteks ini;
otentisitas waktu, ruang, dan informasi budaya menjadi acuan terus
menerus untuk mewu-judkan tariannya. Selanjutnya adalah tarian
yang kemunculannya kemudian disejajarkan dengan suatu era yakni
tari modern; adalah tarian yang mengeksplorasi tubuh dalam-dalam
melepaskan kungkungan tradisi untuk mendapatkan penyaluran ide-
ide personal. Wujud penolakan, penerimaan, pelepasan, dan penawa-
ran ide-ide baru kental sekali dalam era modern seterusnya memberi
Wahyudiyanto
62

Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

inspirasi total kepada era selanjutnya. Tarian dalam era inilah yang
mengambil dan memutus jalan tari tradisi untuk hidup dan perkem-
ba-ngannya sendiri.
Tentu masih banyak lagi wujud tarian dengan tampilan,
karakter, cara, rupa, tujuan, fungsi dan gunanya sendiri-sendiri. Kea-
daan alamiah dalam kebudayaannya-lah yang mewujudkan keselu-
ruhan bentuk, citra, dan pesonanya. Kondisi demikian itu selanjutnya
kita menjadi tahu bahwa tari adalah endapan bati-niah kebudayaan
individu dan kebudayaan masyarakat mengejawantah dalam bentuk
bahasa gerak, sehingga dapat dikatakan tari adalah inti kebudayaan
masyarakat pemangkunya. Sebagai inti kebudayaan maka kehadiran-
nya bukan wadah tanpa isi, bukan rupa tanpa makna, bukan misi
tanpa fungsi, tetapi entitas yang sarat citra diri. Ia menggambarkan
ideologi tuan yang melahirkannya. Perwujudannya memberi penanda
suatu lokus. Rupa dan perilakunya adalah identitas pemiliknya. Maka
tari adalah pelajaran dan pembelajaran kebudayaan yang berkesi-
nambungan. Tari adalah bahasa komunikasi kinestetis yang filosofis,
historis, ideologis, humanis, dan sekaligus rekreatif yang ekonomis.
Maka dalam konteks ini penari adalah bagian dari kebudayaan yang
peranannya sebagai media komunikasi estetis yang sangat penting.
Signifikansinya tertelak pada ketulusan dalam pengejawantahannya.
Dengan demikian anggapan bahwa tari sekedar seonggok tubuh
berlenggak-lenggok di atas pentas tanpa makna tentu tidak layak
dikenakan padanya.
Berbicara lebih serius mengenai penari mengapa ia ada,
bagaimana, untuk apa, mana buktinya, menjadi penting terkait
dengan kedudukanya sebagai dari konteks kebudayaannya. Mene-
ngok lagi jauh ke belakang, sejarah tari telah memberi informasi
penting bahwa tari pada masa-masa awal adalah cara manusia berko-
munikasi dengan Illah-Illah mereka (lihat Wahyudiyanto dalam
Wajah Tari dalam Perspektif 2011). Bahkan Helen Poynor dalam
Wahyudiyanto
63

Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

sebuah wawancara menyatakan: “Tubuh dilihat sebagai titik pusat.


Cara simbolik berhubungan dengan lingkungan sekitar dan alam
semesta. Manusia; dalam konteks ini adalah penari merupakan titik
simpul yang menghubungkan kehendak individu dan masyarakat
dengan subjek yang mengatasinya. Pada setiap upacara adat, sang
pemangku adat menari dan atau memimpin menari untuk keperluan
apa saja terkait dengan hajat hidup kelompoknya. Ada tari penyembu-
han, ada tari perburuan, ada tari kematian, ada tari kelahiran, cocok
tanam, panen, permohonan hujan, dan lain-lain. Di sini; menari dan
penari menjadi fokus kegiatan upacara. Seluruh kehendak, keinginan,
dan harapan, tertuju pada penari untuk diteruskan kepada Illah
mereka. Penari adalah wakil dari seluruh komponen masyarakat yang
dipercaya sepenuhnya untuk membawa harapan untuk disampaikan
kepada Sang Maha Kuasa. Dengan demikian penari adalah medium
penting pem-bawa pesan. Penari adalah mediator penghubung antara
dunia bawah sampai ke dunia atas.
Dalam Kebudayaan kuno, dukun dipercaya sebagai manusia
setengah dewa. Karena dukun dianggap mampu menembus dunia
Illahiah yang di sana para dewa berkedudukan. Dalam kepercayaan
semacam ini dukun dalam berhubungan dengan dunia atas tidak serta
merta dapat melakukan tanpa adanya situasi dan kondisi khu-sus
yang membingkainya. Maka upacara-upacara dan menari adalan
situasi yang dikondisikan untuk memungkinkan komunikasi lintas
dunia dapat dilakukan. Berangkat dari kebudayaan masyarakat yang
mempunyai kepercayaan semacam ini dapat dimengerti bahwa
penari dan menari adalah media penting untuk menyampaikan apa
saja dari hajad yang dikehendaki. Penari adalah harapan masyarakat
untuk menyampaikan sebagian dan atau seluruh keinginannya.
Penari adalah fokus yang menjadi tumpuan cita-cita masyarakat.
Maka dalam kehidupan masyarakat seperti ini, menari adalah entitas
yang nyata dan realistis sebagai pembentuk kebudayaannya.

Wahyudiyanto
64

Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

Menari Adalah Seniman


Wahyudiyanto, 2008 hal. 85 pernah membahas tentang seni-
man. Dijelaskan secara ringkas sebagai berikut:
Seniman atau yang dikatakan juga sebagai pekerja
seni (Darma, 1991:8) adalah orang yang mempunyai
kemauan dan kemampuan dalam bidang seni. Kemauan
dan kemampuannya ditampakkan melalui berbagai ke-
sempatan pertunjukan, pameran, dan atau bentuk-bentuk
sosialisasi hasil-hasil pekerjaanya dalam bidang seni. Maka
terdapat seniman tari, seniman lukis, seniman patung,
seniman kaligrafi, seniman musik dan sebutan seniman
lainnya. Predikat seniman adalah pengakuan dari publik
yang mengapresiasi karya-karyanya.
Seniman seringkali dikaitkan dengan bakat yang
meru-pakan anugerah dari alam. faktanya ada-lah bahwa
banyak seniman terlahir dari proses alami dalam kehi-
dupan masyarakat. Seniman yang demikian ini kemudian
mendapatkan sebutan seniman alam. Nilai unggul dari
capaian seninya adalah kejujuran ungkapannya yang di
bentuk dan dikembangkan dari ideologi atau kepercaya-
annya. Masyarakat Hindu Bali adalah contoh nyata bahwa
banyak seniman-seniman besar yang terlahir dari konteks
ini. Demi-kian pula di sebagian wilayah pedalaman dan
atau pesisiran terdapat pula seniman-seniman yang tum-
buh dari ideologi atau kepercayaannya. Sangat sering
terjadi secara temurun, dan tradisional (otodidak). Seni-
man dalang melahirkan anak yang dalang, cucu yang juga
dalang (kalau laki-laki) dan menjadi sinden atau suarawati
(kalau perempuan). Ada penerusan kemampuan, kemahi-
ran, keahlian yang diturunkan secara genetik.
Dalam dunia tari telah banyak dijumpai seniman-
seniman tradisional otodidak yang menunjukkan keunggu-
lannya. Seniman tari topeng cirebon, seniman topeng
malang, seniman topeng Madura, Seniman wayang orang
panggung, seniman gandrung, tayub, sindir, sandur, rong-
geng, ketuk tilu, dan masih banyak lagi seniman-seniman
tradisional dalam bidang tari tersebar di masyarakat.

Wahyudiyanto
65

Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

Demikian pula seniman produk lembaga pendidikan yang


dikatakan sebagai seniman akademis turut pula memberi-
kan andil di dalam kehidupan seni tari di masyarakatnya.
Seniman dapat pula dilahirkan melalui proses aka-
demik. Melalui penelusuran bakat dan usaha keras dalam
memberikan ketrampilan, pemahaman, sikap dalam ber-
kesenian, pendidikan formal pada jalur seni telah meng-
hasilkan lulusan yang beragam. Keberagaman itu nampak
pada hasil-hasil studi kesenian dari peserta didik yang
berbakat dengan yang kurang atau tidak ada bakat. Daya
tangkap dan capaian kedalaman penyerapan materi seni
dan nilai-nilaianya lebih nampak ditunjukkan oleh yang
ber-bakat. Namun demikian usaha yang ketat merupa-kan
faktor penting si samping bakat dalam mencapai keberha-
silannya.
Beberapa lulusan yang mendapat predikat unggul
juga dilahirkan dari proses pendidikan formal ini. Salah
satu sumber dari kemampuannya untuk menghasilkan
lulusan unggul adalah karena pendi-dikan formal bersikap
tidak memisahkan diri dari lingkungan seni tradisi di
sekitarnya, dan bahkan senantiasa menimba ilmu dari para
tokoh seniman tradisi yang telah lebih dahulu mengem-
bangkan keunggulan melalui jalur konvensionalnya sen-
diri.
Pertanyaan mendasar mengawali pembahasan ini. Apakah
penari disebut sebagai seniman. Kalau jawabannya iya, sesederhana
itukah penari kemudian dikatakan sebagai seniman. Ataukah me-
merlukan prasarat tertentu sehingga penari disebut sebagai seniman.
Kalau jawabannya juga iya, prasarat apakah yang mengka-tegorikan
penari sebagai seniman. Untuk menemukan penjelasan yang mema-
dai marilah kita telusur asal-usulnya.
Sebutan seniman pada penari bukan tanpa ada dasar yang
melandasi. Lihat Sedyawati, 2006: 2; Seniman dibedakan menjadi
dua; seniman pencipta dan seniman interpreter. Dijelaskan bahwa
seniman pencipta wilayah kerjanya adalah menghasilkan karya-karya

Wahyudiyanto
66

Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

baru”, semisal: komposer, koreografer, pelukis, pematung, dengan


tuntutan tingkat “orisinalitas tertentu. Sedangkan seniman “inter-
preter” wilayah kerjanya adalah mengaktualisasikan kembali karya-
karya seniman pencipta, seperti: penari, pemusik, pembatik, aktor
teater, pembuat wayang, dengan takaran interpretasi tertentu. Dalam
dunia tari terdapat dua potensi menonjol yakni koreografer yang
menghasilkan karya baru dan penari yang menghadirhidupkan
koreografi. Kekhususan seni tari inilah yang membedakan sebagai
seniman percipta (koreografer) dan seniman pelaksana (penari) yang
dapat berbeda orangnya (The Liang Gie, 2004: 93).
Pertanyaan selanjutnya adalah; Apakah tolok ukur menari
digolongkan sebagai seniman? Seperti sebuah pertanyaan yang
hampr sama berolah raga dapat disebut olahragawan, dan Sal Murgi-
yanto juga memberi penegasan bahwa tidak setiap orang berolah
raga dapat digolongkan olah ragawan. Olah ragawan adalah membu-
tuhkan ketrampilan kusus yang melebihi manusia pada umumnya.
Maka Yulianti Parani (1986: 54) menyebutnya menari adalah meng-
ekspresikan seni tari. Dijelaskan lebih lanjut seniman pencipta tari
adalah pemegang ide terbesar tetapi penari adalah motornya. Pada
dasarnya menari adalah pemberian kualitas gerak di dalam suatu
bingkai permainan waktu dan ruang.
Di dalam pemberian kualitas gerak penata tari dan penari
merupakan kesatuan terpadu yang tidak dapat dilepas-kan satu dari
yang lainnya. Itulah kemudaian Sedyawati menyebut penari yang
mampu mengekspresikan secara berhasil ide gagasan pencipta tari
dikatakan menari dan dapat digolongkan sebagai penari yang
seniman interpreter. Kemampuan, keahlian teknik gerak dan
penafsiran yang kreatif berkualitas terhadap ide-ide pencipta tari dan
ditunjukkan secara sungguh-sungguh. Melalui penjelajahan terhadap
berbagai pengalaman kejiwaan dalam aktifitas penghayatan, menuju

Wahyudiyanto
67

Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

pemaknaan yang divisualkan dalam gerakan-gerakan konstrutif


melalui tubuh-nya.
Asumsi yang lebih memberikan landasan bahwa penari
adalah seniman dan bukan sekedar robot yang melaksanakan tugas
atas perintah tuannya adalah; bahwa tari meliputi dua dimensi
tertuang secara visual satu sisi dan sisi lain sifat presentasional
tersingkap melalui rasa (penghayatan). Yang disebut terakhir inilah
kemudian menjelma menjadi sesuatu yang sering dikatakan sebagai
“roh” dari tarian (Chaya, 2003: 291). Tari yang terbentuk sebagai
koreografi adalah aspek wadah atau wujud fisik dalam bentuk
inderawi, dan isi yang hadir melalui proses hayatan terhadap wujud
ungkapnya. Dapat dicontohkan di sini tari Ngrema (Surabayan)
adalah aspek koreografi yang secara inderawi dapat diperhatikan
dengan membayangkan figur wujud visualnya. Tetapi isi Ngrema ada
di dalam penari. Keberhasilan sajian tari Ngrema sebagai isi atau
“roh” Tari Ngrema ditentukan oleh firtousitas penarinya. Munculnya
Munali Patah, Ali Markasan, Bolet dan maestro tari Ngrema lain
adalah jiwa-jiwa atau ide-ide Ngrema yang hadir dalam koreografi
tari Ngrema.
Dalam sajian tari, penari dituntut mampu melakukan inter-
pretasi atau menafsirkan, baik isi atau karakter tari yang disajikan
maupun terhadap keseluruhan pelaksanaan teknik secara utuh.
Selama pertunjukan, penari (secara konsisten) melakukan inter-
pretasi sebuah tarian (Adshead, 1988:62). Dengan itu niscaya seorang
penari mampu menghadirkan daya ungkap yang kuat menjelma
dalam pancaran “roh” dari sajian suatu tari. Dalam konteks ini penari
dapat dikategorikan sebagai seniman interpretatif atau seniman
penafsir (Widyastutieningrum, 1997: 88). Persoalan kepenarian
sehingga mencapai predikat seniman interpreter tidak lepas dari do-
main kreativitas yang menyangkut pemikiran imajinatif.

Wahyudiyanto
68

Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

Dalam proses kreativitas, secara keseluruhan berlangsung


aktivitas berekspresi mulai dari merasakan, menghayati, menghayal-
kan, mengejawantahkan, sampai pada memberi bentuk (lihat
Hawkins, 2002: 5-15). Kemampuan kreativitas adalah kemampuan
untuk mencipta, memberi interpretasi, mewujudkan ide, gagasan, dan
pengalaman ke dalam sebuah bentuk seni yang disertai daya
imajinasi dan inovasi yang tinggi. Kemampuan kreatif ini diperlukan
untuk memberi interpretasi individual bagi seorang penari atau
seniman pelaku, dan untuk mencipta bagi penata tari (Murgiyanto,
2003:5). Satu hal diantaranya yang patut mendapatkan perhatian
khusus adalah kemampuan interpretasi yang sekali lagi sifatnya
sangat individual dan subyektif. Interpretasi mengait pada karakter,
sifat-sifat, serta makna sebuah tari. Setiap penari dituntut mampu
melakukan interpretasi atau menafsirkan, baik isi atau karakter tari
yang ia sajikan dengan keseluruhan pelaksanaan teknik yang utuh.
Selama pertunjukan penari secara konsisten melakukan interpretasi
sebuah tarian (Adshead, 1988:62).

Menari Untuk Interpretasi


Interpretasi di dalam dunia tari adalah penafsiran, atau
menafsirkan. Concoh kongkritnya seperti berikut. Munali Patah ada-
lah penari Ngrema Surabayan. Di dalam penelitian ditemu-kan bahwa
Tari Ngrema Surabayan bertema kepahlawanan, disebabkan penari
Ngrema di dalam Ludruk terlibat aktif sebagai pejuang bersama
Arek-arek Surabaya. Cak Munali Patah sebagai penari Ngrema di
dalam Ludruk mengikuti jejak penari sebelumnya yang berkarakter
sama yaitu Cakraningrat. Cak Subur sebagai penari Pertama berka-
rakter Cakraningrat cukup dengan mengena-kan pakaian Ala Cakra-
ningrat Bupati Sampang Madura masa lampau. Munali Patah mene-
ruskan Cak Subur menari Ngrema berkarakter Cakraningrat tidak
hanya cara berbusana tetapi sudah menggunakan gerakan-gerakan.
Wahyudiyanto
69

Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

Munali meneruskan Cak Subur tetapi lebih pada mengembangkan


gerakan dan mendesain busana sendiri dengan ciri busana Cakra-
ningrat itulah cara Munali Patah Menafsirkan tokoh pejuang masa
lampau yang dikagumi. Membayangkan tokoh pejuang jauh di masa
silam yang dikagumi, selanjutnya diwujudkan kembali dalam bentuk
Tari Ngrema adalah pekerjaan interpretasi, yaitu dengan pengetahu-
annya Munali Patah membayangkan atau mengandaikan Tokoh
Cakraningrat seperti yang ada dalam pikirannya, selanjutnya diwu-
judkan dalam tindakan nyata itulah menafsirkan atau menginter-
pretasikan.
Menafsirkan atau interpretasi di dalam dunia tari erat hubu-
ngannya dengan Proses kinestetik, dan proses kinestetik menyangkut
penciptaan, interpretasi itu sendiri, dan ekspresi. Ketiga komponen
interpretasi tersebut terkai dengan kemampuan kepenarian. Pencip-
taan menjelaskan transformasi berbagai komponen menjadi medium
yang berpola, bermotif, dalam bentuk gerak. Interpretasi menyangkut
penghayatan dan penjiwaan ide atau gagasan terutama gagasan
kinetik berupa gerak dan gagasan estetik yang berasal dari tema
tarinya. Ekspresi memberikan pemahaman aktivitas dan eksistensi
penari (nyabet) dalam mewujudkan gagasan ke dalam bentuk gerak
yang indah. Oleh sebab itu, proses transformasi gagasan-gagasan
menjadi lambang-lambang merupakan aktivitas penari di dalam
mengolah gerak sebagai alat ekspresi kinestetik.
Saya menggunakan contoh Tari Ngrema Surabayan seba-gai
cara kegiatan interpretasi. Bahwa penari Ngrema Surabayan (Munali
Patah) yang berhasil menciptakan karakter pejuang lokal Cakra-
ningrat adalah inspirasi tematik pertama yang tumbuh pada Munali
Patah. Perwujudan figur tokoh Cakraningrat dengan karakter kepah-
lawanan dicoba diwujud-kan melalui beberapa pendekatan inspiratif,
yakni melalui rias wajah, desain busana, selanjutnya berkembang
pada kidungan, gerak dan rasa musik tarinya. Inspirasi yang terkait
Wahyudiyanto
70

Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

dengan kinestetik adalah gerak, oleh sebab itu pembahasan difokus-


kan pada gerak yang tercipta di dalamnya sehingga muncul kinestetik
atau yang disebut greget. Munali Patah sebagai penari awal yang
menciptakan Tari Ngrema Surabayan melalui gerakan karena itu
proses kinestetik dimulai dari awal munculnya karakter Tari Ngrema
Surabayan oleh Munali Patah.
Salah satu (kalau tidak dikatakan satu-satunya) pemeran
tokoh Cakraningrat terbaik sepanjang sejarah Ludruk Radio Republik
Indonesia (RRI) Surabaya, yakni Munali Patah. Munali Patah adalah
pemeran tokoh Cakraningrat dalam Ludruk yang tak tergantikan
(Hengki, wawancara 2018 24 Juli 2018). Masyarakat mengagumi
pemeranan Munali Patah atas tokoh Cakraningrat dari Madura ini.
Begitu menjiwai Munali Patah terhadap tokoh Cakraningrat sehingga
masyarakat melihat seakan Cakraningrat hadir dalam diri Munali
Patah ketika sedang memerankan dalam Ludruk, atau, Cakraningrat
ya Munali Patah itu. Penghayatan Munali Patah terhadap karakteristik
Cakraningrat merupakan proses interpretasi atau penafsiran yang
berhasil karena wujud penyajiannya diterima masyarakat dengan
antusias hingga tumbuh kekaguman kepadanya. Interpretasi yang
berhasil oleh Munali Patah merupakan modal untuk ditransforma-
sikan ke dalam Tari Ngrema. Cara Munali Patah mentransformasikan
ke dalam tari Ngrema, atau mengubah peran teatrikal Cakraningrat
dalam Ludruk menjadi Cakraningrat dalam Tari Ngrema adalah
melalui gerak.
Mengawali menyusun gerak, Munali Patah menggunakan
unsur gerakan pencak silat yaitu kuda-kuda sebagai dasar adeg tanjak
Tari Ngrema. Selebihnya adalah gerakan-gerakan menangkis, menye-
rang, bertahan, dan menghindar dimasukkan ke dalam ragam-ragam
gerak Tari Ngrema yang sudah ada sebelumnya. Artinya, Munali Patah
telah melakukan penyusunan ulang terhadap ragam gerak tari
Ngrema sebelumnya yang berkarakter Panji pada Topeng Dalang
Wahyudiyanto
71

Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

yang sejajar dengan karakter Arjuna dalam Wayang Orang. Cara yang
dilakukan adalah membuat pola-pola gerak baru melalui pengga-
rapan gerak yang lebih rinci dengan mempertimbangkan garis gerak,
volume gerak, tempo, ritme, dan penggunaan energi pada gerak.
Pembentukan pola baru pada gerak didasarkan kebutuhan untuk
membangun bentuk, situasi, ketrampilan, karakter dan teknik pelak-
sanaan gerak untuk disesuaikan dengan gagasan baru.
Gerak yang telah dipola ulang membentuk ragam-ragam
gerak baru dan terstruktur menciptakan kerangka koreografi Tari
Ngrema yang baru. Kerangka koreografi baru, oleh Munali Patah
ditarikan atau digerakkan dengan cara mengandaikan dirinya sebagai
Cakraningrat ketika sedang melaksanakan gerakan-gerakan Tari
Ngrema. Mengandaikan dirinya sebagai Cakraningrat adalah cara
interpretasi atau penafsiran. Dengan demikian kinestetik merupakan
dasar yang menyebabkan dapat dihadirkannya karakter Cakraningrat
pada Tari Ngrema. Penafsiran terhadap karakter Cakraningrat dengan
menggunakan gerak yang dipolakan melalui penggarapan tempo yang
lebih dinamis merupakan cara membangun kerangka koreografi baru
Tari Ngrema hingga penyajiannya dapat dirasakan seakan hadir figur
tokoh Cakraningrat pada gerakan-gerakannya.
Tari Ngrema yang digerakkan atau ditarikan Munali Patah
disebut Tari Ngrema Surabayan kemudian dikenal dengan tarian
satriya yang ningrat19. Seluruh unsur gerak (bahan, energi, ruang, dan
waktu) digarap disesuaikan dengan kebutuhan ungkap karakter
satria yang ningrat. Berikutnya dilengkapi dengan rias wajah, tata

19 Pernyataan dari seorang pengamat atau juri lomba tari Ngrema di Surabaya pada
tanggal 9 Mei 2018 oleh Bambang Sukma Pribadi. I. Nengah Mariasa, juga Juri pada
lomba tari Ngrema di Surabaya tingkat final pada tanggal. 13 Mei 2018 menyatakan
bahwa tari Ngrema adalah “satriya” dari kalangan masyarakat yang memiliki status
sosial bangsawan, sehingga tari Ngrema adalah tarian “ ningrat”. Menurut hemat
peneliti, yang dimaksud “ningrat” dalam pernyataan pengamat tari tersebut adalah
status sosial bangsawan, dalam hal ini adalah “Cakraningrat”.
Wahyudiyanto
72

Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

busana untuk menghadirkan secara kongkrit yaitu visualiasi figur


tokoh Cakraningrat, kidungan dan penggarapaan tempo dan irama
gendhing karawitan tarinya untuk membangun rasa semangat
kepahlawanannya.

Gambar. 12 Joko Pitono penerus Munali Patah menginterpretasi karakter Cakraningrat


Dok. Wahyudiyanto, 2018

Menari Untuk Curahan Hati


Curahan hati yang disampaikan melalui medium seni teru-
tama tari memiliki sentuhan tersendiri dan dapat dirasakan lain jika
dibandingkan dengan curahan hati yang disamppaikan melalui baha-
sa bahasa tulis. Curahan hati adalah ungkapan yang subyeknya adalah
emosi, dan tari berkait langsung dengan gerak tubuh manusia sebagai
medium tari, maka tidak ada jarak antara ungkapan dan mediumnya.
Artinya, ketika ungkapan disampaikan langsung oleh medium sebagai
pusat emosi, akan mampu menyentuh langsung pada penangkapnya
yaitu penon-ton. Hal ini disebabkan emosi yang keluar sebagai
ekspresi tari mendapatkan porsi yang berbanding lurus dengan kei-
nginan, maksud, dan selera penangkap pesan. Oleh sebab itu emosi
Wahyudiyanto
73

Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

yang hadir dalam tari adalah emosi tari dan bukan emosi dalam
kehidupan keseharian.
Emosi manusia merupakan kesadaran intelektual, logika, dan
kesadaran mental spiritual manusia dalam kehidupannya. Bahwa
tingkat kekuatan emosi manusia dipengaruhi dan bahkan ditentukan
oleh kesadaran intelektual, logika dan mental sepiritualnya. Tari ada-
lah emosi kehidupan keseharian yang telah mengalami pengolahan,
atau emosi keseharian yang dikenai garap. Karena pada dasarnya
emosi adalah energi yang keluar dari tubuh manusia. Dalam kehidu-
pan keseharian, emosi manusia keluar begitu saja tanpa ada pengen-
dalian. Kemarahan misalnya adalah emosi yang keluar seringkali
tanpa ada kendali, demikian pula perasaan senang, sedih, rindu, benci
dan perasaan-perasaan lainnya. Dalam tari, emosi-emosi tersebut
mengalami pengaturan, yaitu pengaturan irama energi emosi untuk
ditata, diselaraskan dengan kebutuhan energiemosi tari yang
berirama. Energi emosi yang vulgar keseharian digarap untuk meng-
hasilkan energiemosi tari yang imajinatif berirama.
Menari dengan membawa hemosi yang imajinatif berirama,
dengan kekuatan teknik dan kinestetik yang baik akan mampu
mencurahkan daya pukau bagi penonton. Itulah pesona menari yang
dijiwai oleh kesadaran intelektual, logika, dan mental spiritual yang
dikemas dalam gerak tubuh berpola dalam irama energiemosi yang
proporsional segaris lurus dengan pengalaman, pengetahuan, budaya,
dan selera pemirsa-nya. Maka menari dalam kapasitas sebagai penari
yang seniman adalah kemampuannya menata irama energiemosi
disamping menata gerak hingga berwujud pola-pola. Kemampuan
yang berkualitas membangun citra baru yang bukan perilaku hidup
keseharian. Kemampuan menciptakan kondisi imajiner yang ada di
dunia idea tetapi nyata dalam ruang pertunjukan dan dapat membuat
situasi takjub bagi pemirsanya (perhatikan gambar. 13).

Wahyudiyanto
74

Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

Gambar. 13 Kecongkakan Raja Rahwana ketika berhasil membawa kabur


Dewi Sinta
Dok. Wahyudiyanto, 2014

contoh di atas adalah gambaran negeri ini, pesona menari


yang berjiwa kesadaran intelektual dan rasionalitas, sehingga menari
dan tarian sebagai produk budaya dan ataupun individu mampu
bertahan hidup langgeng dalam masyarakatnya. Berikut digambarkan
berbagai energiemosi yang ditata sedemikian rupa dalam suatu tarian
sehingga mampu memberikan apresiasi bagi pemersanya.
Gambar. 13 menunjukkan perbedaan emosi sebagai curahan
hati dari kedua belah pihak. Tokoh Rahwana membawakan perasaan
emosi yang berbunga-bunga dan kecongkaan karena dirinya pengu-
asa, raja kaya raya dan sakti mandraguna telah berhasil membawa
lari Dewi Sinta Istri Prabu Rama. Sementara itu, Dewi Sinta dengan
Wahyudiyanto
75

Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

perasaan emosi yang menunjukkan kecemasan, ketakutan, dan


kesedihan bercampur aduk, sehingga yang mampu dilakukan adalah
menolak setiap yang dilakukan Raja Rahwana.
Berikut diketengahkan emosi tari yang menunjukkan curahan
rasa sayang dan penolakan. Tari Jaran Goyang dari Banyuwangi
konon mengisahkan pemuda yang jatuh cinta kepada pemudi seba-
yanya. Pemuda mencurahkan sebesar-besarnya rasa cinta kepada
pemudi, berbagai cara dilaukan agar cintanya mendapat penerimaan
dari sang pemudi, namun tetap saja rasa citanya ditolak. Begitu besar
rasa sayang pemuda dan tetap ingin memiliki sang pemudi, pemuda
pun tidak patah arang, banyak aka yang dilakukan. Saat itu pemuda
minta bantuan kepada orang tua yang memiliki ilmu pengasihan.
Pemudapun mendapat sarana untuk menaklukkan pemudi yang
dicintainya. Terjadilah kekuatan sihir mempengaruhi emosi pemudi
sehingga rasa penolakan berubah menjadi penerimaan (gambar.14)

Gambar. 14 Menari curahan hati rasa cinta sang pemuda kepada pemudi,
tetapi ditolak oleh pemudi
Dok. Youtube. 2016

Wahyudiyanto
76

Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

Berikutnya diketengahkan juga menari untuk mencurahkan


hati yang menunjukkan emosi seorang anak yang minta restu kepada
ibunya untuk pergi jauh mencari ilmu, sementara Sang Ibu
mencurahkan perasaan sedih, khawatir, dan takut akan niat si anak
untuk berguru kepada orang yang dianggap kurang pas atas ilmu
yang akan diajarkan kepada anaknya. Tarian ini adalah kisah
Bratasena mencari Ilmu kesempurnaan hidup.

Gambar. 15 Menari untuk adegan saling mencurahkan hari. Bratasena minta


ijin Ingin menuntut ilmu, san Ibu khawatir atas keselamatannya Dok.
Wahyudiyanto, 2014

Menari Untuk Kontemplasi


Di sebagian masyarakat atau individu seniman bahwa menari
merupakan bentuk peribadatan. Cara untuk penyucian jiwa agar ter-
bebas dari perasaan-perasaan atau pikiran-pikiran yang mengotori
jiwanya. Menari adalah mengosongkan kekalutan pikiran dan perasa-
an agar jiwanya kosong tetapi penuh akan pemujaan atas kebesaran
Sang Adi Kodrati. Di dalam tradisi sufi di sebagaian kegiatan penyu-
cian jiwa dilakukan dengan cara menari. Menari di lakukan dengan
cara berkelompok tapi sangat individual, artinya dapat diamati tarian
Wahyudiyanto
77

Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

tersebut banyak orang tetapi tidak satupun saling berhubu-ngan satu


dengan lainnya. Setiap individu menari berputar dengan satu tangan
menengadah, sementara tangan satunya memben-tuk pose gerak
yang dapat mengimbangi gerak berputarnya agar terjadi keseim-
bangan tubuh terhindar dari jatuh. Tarian tersebut dikenal dengan
nama Tanura atau Tanura Dance yang dikenalkan oleh Jalalludin
Rumi. Berikut gambarannya.

Gambar. 16 Menari untuk ketenangan jiwa (Tanura Dance) bentuk tarian kontemplatif
Dok. Youtube, 1 Mei 2020

Tradisi Tari Kita awal mula di kenalkan di Keraton Mataran


Baru adalah tarian kontemlatif. Tarian tersebut dibawakan penari
perempuan berjumlah sembilan (9) penari lajang dengan gerakan
yang nyaris sama, tata rias dan asesori busana yang sama yang
dikenal dengan Tari Bedhaya Ketawang. Tari Bedhaya Ketawang
cenderung menggunakan ekspresi wajah yang “beku” nyaris seperti
topeng (Supanggah, 2007: 124-125).
Bedhaya Ketawang yang dimiliki Keraton Kasunanan Surakar-
ta ini sangat dikeramatkan. Keberadaan Bedhaya dalam keraton ini
Wahyudiyanto
78

Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

banyak menyimpan misteri. Hal ini dikaitkan de-ngan pemilihan


penari yang masih lajang, dalam keadaan suci ketika menari, dan
melakukan ritual terlebih dahulu selama beberapa hari menjelang
pementasan. Begitu teliti dan rumit maka Tari Bedhaya dikatakan
sebagai bentuk ritual semedi. Ini juga tidak terlepas dari terciptanya
Tari Bedhaya awal mulanya yaitu pada pemerintahan Sultan Agung
Hanyakrakusuma yang gemar semedi dan kebiasaan itu diteruskan
oleh raja-raja berikutnya untuk mendapatkan petunjuk gaib. Inilah
kemudian Tari Bedhaya sarat dengan simbol-simbol. Sembilan (9)
penari adalah semacam simbolis yang ditafsirkan berbagai macam.
C.A Van Peursen memberi tafsiran bahwa sembilan penari Bedhaya
berhubungan erat dengan eksistensi sembilan syakti Dewa Syiwa20.
Ini terkait dengan pola kepercayaan para ningrat Jawa yang berlatar
belakang pemikiran Hindu.
Prabawa dalam tesisnya menyebut sembilan sebagai simbol
mikrokosmos (jagat kecil manusia) ditandai dengan organ tubuh
manusia yang terdiri dari: jantung atau hati, kepala sebagai
perwujudan pikiran dan jiwa, dua lengan, dua tungkai, leher, dada,
dan kelamin sebagai keinginan hati (Prabawa, 1990: 119). Maka
penari dalam tari Bedhaya mempunyai peran sendiri-sendiri. Pada
tari Bedhaya Yogyakarta disebut: endhel (semua nafsu yang timbul
dari hati), bathak (kepala dengan akal), jangga (leher), apit ngajeng
(lengan kanan), apit wingking (lengan kiri), dhadha (dada), endhel
wedalan ngajeng (tungkai kanan), endhel wedalan wingking (tungkai
kiri), dan buntil (alat kelamin atau organ seks). Penamaan itu agak
berbeda dengan Bedhaya di Surakarta, yaitu: bathak, endhel, endhel
ajeg, endhel weton, apit ngarep, apit mburi, gulu, dada, dan buncit.
Rusini dalam tulisannya mengutip sembilan (9) sebagai
jumlah lubang pada tubuh manusia: kedua mata, kedua telinga, kedua

20Periksa C.A Van peursen, Strategi Kebudayaan, Yogyakarta: Yayasan Kanisius,


1976. P. 18.
Wahyudiyanto
79

Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

lubang hidung, mulut, dubur dan kelamin yang dikatakan sebagai


babahan hawa sanga. Menari Bedhaya adalah semedi untuk menutup
lubang sembilan (9) agar tidak tergoda nafsu jahat dan mendapat
petunjuk dari Tuhan Yang Maha Esa (GPH. Brontodiningrat 1982,
Prodjopangrawit, 1990:57) dalam rusini 1999:122). Setyoasih meli-
hat angka sembilan (9) merupakan pengaruh Hindu yang menyebut
sebagai pancaran rasa: cinta, tawa, kesedihan, kemarahan, semangat,
ketakutan, kemuakan, keheranan, dan ketenangan atau ketenteraman
hati (Setyoasih, 2000:32).

Gambar. 17 Menari Tari Bedhaya Ketawang menghadap Raja


sebagai simbol meditasi
Dok. Youtube. 2014

Tafsir angka sembilan (9) yang simbolik memang berse-


liweran di sanan sini, tapi kita bisa melihat bagaimana angka
sembilan (9) dalam tari Bedhaya bermula. Bahwa Sultan Agung
setelah menciptakan gending yang diberi nama: Gendhing Ketawang21,

21 Ketawang berarti angkasa. Diberinama gendhing ketawang karena Sultan Agung


dalam semadinya mendengar suara gaib dari angkasa, kemudian diingat suara
tersebut dan dicatatnya dalam ingatan beserta suasana yang menyelimuti malam sepi
saat semadinya. Kemudian diciptalah gendhing ketawang. Periksa R.T Warsadining-
Wahyudiyanto
80

Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

Sultan memilih putri untuk menarikan Bedhaya dari nayaka wolu


(delapan pejabat istana) yang masing-masing diambil seorang.
Kemudian ditambah satu lagi agar menjadi sembilan yaitu cucu
perempuan patih dalem (patih raja) untuk berperan sebagai bathak.
Seperti inilah awal mula adanya tari Bedhaya Ketawang
dengan sembilan (9) penari di dalam kerajaan Mataram Islam. Lantas
jumlah sembilan (9) juga dikaitkan dengan jumlah para wali yang
berada pada kekuasaan Mataram Islam. penafsiran yang Paling kuat
tentang Tari Bedhaya Ketawang dengan jumlah Sembilan penari ini
menggambarkan postur tubuh manusia yang sedang sembah kepada
Tuhannya. Tari Bedhaya Ketawang hingga sekarang tetap menjadi
milik keraton dan ditarikan oleh abdi keraton.
Terdapat juga menari dengan lebel kontemporer tetapi juga
bernafas kontemplatif (gambar. 18).

Gambar. 18 Menari dalam Tari Songs of the Wonderers


Karya Lim Hwai Min menggambarkan ketenangan dalam kontenplasi
Dok. Youtube, 28 April 2020

rat, 1943. Wedhapradangga. Naskah tulisan tangan huruf Jawa yang ditransliterasi-
kan oleh R. Nwiranto Wijoyosuwarno (1972), kemudian disunting oleh Sri Hastanto
dan Sugeng Nugraha (1990), P. 54-55.
Wahyudiyanto
81

Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

Tarian ini konon dimotivasi oleh sengkarutnya kehidupan sekarang


ini yang bersilang antara dunia maya dan dunia nyata bebaur menjadi
satu mewujudkan nilai-nilai kehidupan yang absurd. Absurditas tata
nilai menjadikan manusia gamang untuk menjadikannya sebagai
rujukan hidup. Terjadilah was-was, galau, khawatir dan kacau dalam
alam pikir dan perasaannya, sehingga ditangkap oleh seniman
sebagai kehidupan batin yang harus dibersihkan. Terciptakah tari
berlabel tari kontemplasi.

Wahyudiyanto
82

Menari Bagian. III


Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

BAGIAN III
MENARI
FUNGSI DAN TUJUAN

Menari Untuk Menari Itu Sendiri


Judul pada bahasan kali ini tentu mengundang tanya. Apa
mungkin menari untuk menari itu sendiri. Bukankan menari itu untuk
ditonton, menari untuk menyenangkan perasaan hati, menari untuk
melegakan pikiran, dan lain-lain manari tentu dilakukan untuk keper-
luan spesifik tertuntu manusia. Lantas apa yang dimaksud menari
untuk manari itu. Jika merujuk pada pembahasan sebelumnya jelas
disebutkan bahwa menari adalah kegiatan individu dan kelompok
untuk kebutuhan membudaya, meliputi budaya religious, budaya
ekonomi, budaya adati. Atas dasar penjelasan sebelumnya tentang
menari untuk apa, semestinya tidak lagi ada wacana yang memper-
bincangkan tentang jangkauan tari dan menari yang lebih dari tiga
kebutuhan dasar manusia berbudaya.
Adalah seorang pelukis Spayol kenamaan bernama Fransisco
de Goya, pernah menyatakan bahwa “ibu kesenian adalah imajinasi
dan rasionalitas”. Pernyataan tersebut didasarkan atas kajian men-
dalamnya atas berbagai wujud kesenian. Kendatipun berangkat dari
seni rupa “lukis” tentu dapat diarahkan juga pada seni-seni rupa lain-
Wahyudiyanto
83

Menari Bagian. III


Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

nya, juga tari, teater, musik, dan sastra. Jika pematung mengerjakan
projek mereplika manusia dalam berbagai ukuran, maka kostruk
proporsional tubuh tetap dirujuk untuk mewujudkan tiruan manusi.
Jika Sastrawan menyusun lirik untuk kebutuhan lagu pada suatu jenis
musik, maka yang dibicarakan adalah tentang kenyataan manusia
hubungannya dengan lingkungan. Karena dalam membentuk kalimat
pasti memenuhi kaidah kebahasaan yaitu dapat dipahami secara baik
oleh pemersanya, dan seterusnya dan seterusnya. Maka sebenarnya
ada hukum kausalitas bahwa wujud kesenian adalah keindahannya
sendiri dan tetap memperhatikan rasionalitas. Wujud keindahan
kesenian dapat sangat subyektif berdasarkan individu dan kolektif
penyangganya, tetapi kaidah informasinya dapat bersifat rasional
yang universal. Dengan demikian maka imajinasi sebagai pengem-
bangan wujud esteiknya, sementara itu gagasan nilai sebagai dasar
penciptaan seninya bersifat rasional dan universal.
Namun dalam perjalanan kebudayaan dan peradaban manu-
sia di muka bumi ini terjadi reduksi diberbagai nilai, yang rasionali-
tasnya bersifat universal dilokalkan dan bahkan di sub lokalkan.
Lahirnya lembaga-lembaga, adat, dan tradisi dalam suatu negara
adalah fakta empiris yang mereduksi berbagai nilai yang dimaksud.
Tari, yang sebenarnya adalah gerak tubuh manusia secara universal,
selanjutnya menjadi tari tradisi negara tertentu, bahkan sub negara
dalam kepulauan tertentu. Lebih kecil lagi dalam tradisi adat budaya
tertentu. Maka tari dari siftnya yang universal mengecil menjadi
tradisi adat budaya masyarakat tertentu. Gagasan yang bernilai
universal mengecil menjadi kearifan lokal tertentu. Keindahannya
mengecil didasarkan oleh kebiasaan kehidupan keseharian masya-
rakat tertentu, oleh sistem mata pencaharian tertentu, kepercayaan
dan ideology tertentu. Tari adalah gambaran nyata dari sifat reduksi
nilai yang universal menjadi kearifan lokal.
Kearifan lokal selanjutnya menjadi kebenaran universal keti-
ka paradigma budaya (pramodern, modern, dan pascamodern) hidup
Wahyudiyanto
84

Menari Bagian. III


Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

dalam satu kurun waktu dewasa ini. Ada semacam pembongkaran


terhadap hasil-hasil kebudayaan suatu era yang dianggap menyalahi
hukum alam yang berakibat caos pada alam itu sendiri, untuk direvisi
dengan menggunakan format kebudayaan sebelunya. Dengan demi-
kian terjadi tumpang tindih kebudayaan yang diharapkan dapat
berjalan linier berbalik ke belakang kembali untuk diambil sebagain
untuk menutup kekhilapan kebudayaan di depannya. Hal ini dapat
diperhatikan dalam ungkapan seorang sosiolog bernama Hotman
Siahaan (1999) dalm kertas kerjanya, seperti berikut:
Pokoknya pramodern dan pascamodern muncul bebarengan. Wis to
rame banget ! Seperti Enthus Susmono, apa Joko Edan, Warsono
Slenk. Gamelan tapi pake bedug, pake tambur, slom-pret, gitar, dan
lain-lainnya. Apa-apa ana to wis. Golek Dalang jogedan ya ada. Golek
Srikandhi manah sing nggemblak dhalange, ya ada. Goro-goro di
depan di iringi pathet manyuro, ya ada. Orang tidak bisa lagi memi-
sahkan dengan jelas, “mana black mana white”. Pokoknya Arjuna ya
thukmis, ya ndremis, ya nylekuthis. Karno itu ya gagah, ya jujur, ya
adil. Priye?!
Ungkapan ini digambarkan melalui tokoh Bilung yang nguda-
rasa dalam dialog tokoh-tokoh punakawan, Bilung, Togog, Semar,
Gareng, Pitruk, dan Bagong dalam makalah berbentuk naskah drama
tiga babak (Grenengan, Rasanan, dan Rembugan) yang ditulis Hotman
Siahaan. Ada semacam perbauran di dalam mewujudkan kesenian,
yaitu mencampur instrument lama (premodern) dan instrument baru
(modern) untuk menghasilkan karya seni pascamodern. Pertanyaan
yang diajukan adalah seperti inikan kemerdekaan berkesenian yang
kita idamidamkan itu ? Ambil sana, gabung sini, orang Jawa menga-
takan gothak, gathik, gathuk ! tanpa didasari konsep yang jelas. Ini
berbeda dengan Umar Kayam ketika menjelaskan, bahwa unsur
kesenian adalah adanya keliaran, sak-sire, mbok-ben (semaunya),
yang dimaksud oleh Umar Kayan adalah di dalam kesenian haris ada
kemerdekaan, keterbukaan, demokratis, transpa-ransi, bahkan kebe-
basan dengan menggunakan akal sehat. Artinya Juga bahwa kesenian
Wahyudiyanto
85

Menari Bagian. III


Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

untuk bisa dibicarakan, dibahas, didiskusikan, bahkan dikritik untuk


menghasilkan seni yang apresiatif, membawa pikiran pagi penonton
ketika pulang, dijadikan renungan ketika dalam keadaan lejar.
Tari dalam konteks kebebasan untuk bisa dibicarakan, diba-
has, didiskusikan, dan dikritik adalah kesenian yang tidak semuanya
ada dan terjadi di lingkungan kita. Oleh sebab itu keberagaman tari
bukan pada gaya, dan spesifikasi kelokalan saja tatapi kesenian
gothak, gathik, dan gathuk banyak juga yang bahkan subur mempri-
hatinkan. Konsitensi seni terhadap bentuk dan gagasan memang tidak
mudah tetapi tidak berarti tidak dapat diwujudkan. Ini bisa dilakukan
hanya oleh orang yang memiliki jiwa tari, dedikasinya untuk tari,
berintegritas pada budaya tari, dan acapkali corak kesenian dan
berkesenian seperti yang dimaksudkan ini adalah ada pada wilayah
akademis.
Terdapat di dunia pendidikan yang menggunakan perabot
seni sebagai bidang garapnya. Di situ ada kebebasan, demokratisasi,
yang ditunjukkan dengan adanya pembahasan, diskusi bahkan kritik
untuk menjembatani kepada dunia penciptaan agar antara imajinasi
dan rasionalitas terjamin hidup dalam wujud keseniannya. Namun
demikian bukan berar-ti non akademis tidak mampu melahirkan
karya seni dengan kebebasannya. Justru Seni tari yang konvensional
masa lampu adalah seni (tari) murni dengan gagasannya, teknik
kinestetiknya, dan bentuk keindahannya. Itulah kemudian dunia
akademik bidang seni selau mengacu sistem edukasinya kepada pene-
rus generasinya. Yang ditunjukkan oleh dunia pendidikan bidang seni
atas senikonfensional adalah didatangkannya patron-patron seni
konvensional dari berbagai bidang dan gaya untuk memberikan ”ruh”
pada seni untuk diteruskan kepada anak didiknya.
Teks dan konteks menari untuk menari itu sendiri ada dalam
pembahasan ini. Seni tari yang menggunakan unsur-unsur tari untuk
kegiatan murni apresiasi/hayatan tanpa diembel-embeli kebutuhan
lain. Mewujudkan tarian untuk kebutuhan apresiasi/hayatan ini
Wahyudiyanto
86

Menari Bagian. III


Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

diperlukan pembahasan, diskusi, dan kritik dimaksudkan untuk men-


dapatkan referensial yang argumentatif dan rasionalitas yang mema-
dai. Tari dalam dimensi penghayatan itu menggunakan kaidah dan
tata cara dalam penciptaannya, konon melalui proses yang memanfa-
atkan teori tertentu yang dihasilkan pakar tari. Salah satu teori
penciptaan tari adalah koreografi. Beberapa pencetus teori koreogafi
dari barat seperti Margarret N. H’Jacqueline M. Smith, Doubler, La
Meri, Alma M. Hawkins, Margery J Turner, Elizabeth R. Hayes, Doris
Humphrey dan lainnya. Di Indonesia, Tokoh Tari yang secara aka-
demis mengkonstruksi teori koreografi dengan cermat adalah Y.
Sumandiyo Hadi. Teori koreografi yang disusun Y. Sumandiyo Hadi
merupakan intisari dari tulisan-tulisan yang dicetuskan oleh bebera-
pa tokoh koreografi dari Barat di sebutkan sebelumnya.
Hadi merumuskan koreografi sebagai sebentuk kompo-sisi
atau susunan gerak tari. Dikatakan koreografi disebabkan komposisi
berhubungan dengan proses, yaitu proses menyusun gerakan, maka
koreografi sebagi konsep penciptaan tari dimulai dari proses peren-
canaan, penyeleksian, sampai kepada pembentukan (forming) gera-
kan tari dengan maksud dan tujuan tertentu. Adapun gerak sebagai
dasar ekspresi dirumuskan ke dalam tiga unsur, meliputi: gerak itu
sendiri, ruang, dan waktu. Selanjutnya dipahami bahwa koreografi
adalah gerak dalam ruang, dan gerak dalam waktu. Disebabkan
bahwa tari melibatkan emosional, maka ditambah lagi unsur gerak
yaitu energi. Energy bermula dari fisik yang digerakkan oleh jantung
manusia digunakan untuk merangsang gerak mental dan emosi
manusia. Itulah kemudian gerak dalam tari merupakan ekspresi
pengalaman mental dan emosional manusia (Hadi, 2017: 3-4).
Gerak dalam tari adalah gerak yang dipolakan tersusun dalam
ragam-ragam gerak, dalam tari tradisi ragam-ragam gerak memiliki
nama khas sesuai tema tarinya. Gerak tari yang disusun menggu-
nakan kaidah kendo dan kenceng untuk menghasilkan rasa dan
suasana. Menyusun gerak menjadi susunan koreografi dibutuhkan
Wahyudiyanto
87

Menari Bagian. III


Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

pemahaman tentang unsur-unsur koreografi, meliputi teknik bentuk,


teknik medium, teknik instrument dan teknik isi. Teknik bentuk
membahas tentang bagaimana menyusun koreografi yang mengin-
dahkan prinsip-prinsip koreografi, seperti: rangkaian, variasi, repe-
tisi, transisi, memperbandingkan (paradox), klimaks, dan kesatuan
(unity). Teknik medium menjelaskan bagaimana tubuh dan anggota-
anggotanya berfungsi sebagai sarana untuk menyampaikan gagasan.
Teknik instrument menyoal tentang anggota tubuh yang mana yang
penting diperhatikan untuk pusat estetik, dan Teknik isi adalah mem-
bahas perihal energi mental yang tersalur dalam setiap ruas gerak
untuk menyampaikan pesan lewat kesan yang dirasakan melalui
gerakan (Hadi 2017.a, 49). Pertanyaannya adalah, apa hubungan
koreografi sebagai konsep penciptaan tari dengan menari.
Koreografi adalah wujud tarian, merupakan susunan gerak
dipertunjukkan kepada publik bertujuan untuk menyampaikan pesan.
Koreografi adalah kerangka estetik yang memerlukan penari untuk
menampilkan kesan dan menghadirkan keindahannya. Keberhasilan
koreografi sangat dipengarui oleh kualitas penari. Semakin baik kuali-
fikasi dan kompetensi penari, koreografi akan hidup dalam penyaji-
annya yang berimplikasi pada keberhasilan penyampaian pesannya.
Seringkali koreografi dikategorikan bagus, tetapi penari yang menya-
jikannya kurang mampu membawakannya, maka penyajiannya
ampang, dan kadang ada koreografi yang kurang bagus, tetapi menda-
patkan penari yang berkualitas, maka yang kelihatan adalah penya-
jian yang hidup. Penyajian yang hidup adalah kunci keberhasilan
koreografi. Penari yang berkualitas adalah penari yang dalam
penyajiannya “Kendo ora loyo, kenceng ora mekeng-keng (kendur
tidak lunglai, dan kencang jangan tegang). Penari yang demikian
memiliki kemampuan mengatur irama gerak, volume gerak, dan
intensitas gerak dalam keseluruan koreografi untuk mewujudkan
rasa tari.

Wahyudiyanto
88

Menari Bagian. III


Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

Beberapa contoh penari dan sekaligus koreografer Indonesia


yang berhasil menyajikan koreografi hasil ciptaannya.

1.S. Ngaliman Condropangrawit, sangat dikenal sebagai penari alus


gaya Surakarta. Mahiran dalam menciptakan tari (lebih dari
30 karya tari) dan sebagai penari, S. Ngaliman menda-patkan
pengalaman melawat ke berbagai Negara di dunia, seperti:
RRC, Pakistan Timur, Singapura, Hawai, Jepang, Hongkong,
Philipina, Bangkok, Afrika Timur, Mesir, Korea, Manila,
Taiwan, Belangda, Amerika, Perancis, dam Itali, serta menda-
pat penghargaan luar biasa dari dalam dan luar negeri
(Widyastutieningrum, 2014: 10). S. Ngaliman juga dikenal
sebagai salah satu pengrawit mumpuni di keraton Surakarta.
Karena kemahirannya dalam karawitan selanjutnya S.
Ngaliman dipercaya sebagai pengeprak pada Tari Bedhaya.

Gambar. 19 S.Ngaliman menarikan karya koreografinya sendiri


Dok. Youtube. 24 April 2020

2. Temu Misti dari Banyuwangi adalah seorang penari Gandrung


yang telah melegenda namanya, tidak hanya kemampuan
menggerakkan tubuh khas tarian Banyuwani yang lebih
Wahyudiyanto
89

Menari Bagian. III


Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

mengeksplorasi torso dan pinggangnya, tapi juga suara sinden


yang kental tradisi Banyuwangi. Penghargaan nasional dan
internasional dibidang kepenarian dan tarik suaranya kerap ia
terima. Di usia yang dibilang udzur, penari Gandurng yang
akarb disapa Mak Temu tetap menerima tawaran menari dan
terutama lantunan suara merdunya.

Gambar. 20 Mak Temu menarikan Tari Gandrung yang mejadikan namanya


sbagai legenda penari Gandrung Banyuwangi
Dok. Youtube. 28 April 2020

3. Karimun adalah pemilik perkumpulan Wayang Topeng dari


Malang. Pada waktu mudanya Karimun dikenal masyarakat
luas sebagai pemeran tokoh Klono Sewandono dengan
mengenakan topeng. Karakter yang ditampilkan gagah bra-
ngasan. Karimun, selain sebagai penari yang berkarakter juga
seorang pengrajin topeng. Untuk kebutuhan cerita Panji, selu-
ruh tokoh yang terlibat di dalamnya, Karimun sanggup
mengerjakan dengan baik. Saat buku ini diterbitkan kepemim-
pinan perkumbupan Wayang Topeng diteruskan oleh putra
Laki-laki pertamanya bernama Suroso.
Wahyudiyanto
90

Menari Bagian. III


Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

Gambar. 21 Karimun (Alhm) saat duduk di kursi roda menciptakan topeng-topong


untuk kelangsungan pertunjukan Wayang topeng yang dipimpinnya
Dok. Youtube. 24 April 2020

4. I Made Jimat, dikenal sebagai penari dari desa. Namun siapa


masyarakat Bali yang tidak tahu tentang sepak terjang
kepenarian I Made Jimat. Terlahir di Batuan Gianyar Bali dari
Bapak I Nyoman Reneh dan Ibu Ni Ketut Cenik yang keduanya
berlatar belakang seniman tari dan lukis.

Gambar. 22 I Made Jimat menarikan tari topeng dari tradisi Tari Bali
Dok. Youtube. 29 April 2020
Wahyudiyanto
91

Menari Bagian. III


Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

Bermula dari menarikan tarian baris tunggal hasil dari melihat


orang-orang belajar menari baris didikan ayahnya, I Made
Jimat memiliki kemampuan menari topeng sangat memukau.
5. Ibu Suci Penari topeng Cirebo Jawa Barat ini sangat luar biasa.
Sebagai pimpinan rombongan yang terdiri dari satu orang
penari, Ibu Suci menarikan berbagai karakter topeng,
diantaranya Topeng Klana Sewandana karakter gagah, Topeng
putri karakter alus putrid luruh Candra Kirana atau Dewi
Sekartaji, topeng Gunungsari karakter alus, dan topeng raksa-
sa, gecul/lucu. Ibu Suci dapat menarikan secara bergan-tian
mengenakan topeng dan selalu berhasil dengan baik. Saat
seka-rang Topeng Losari yang dipimpinnya diteruskan oleh
anak putrid sulungnya. Ibu Suci dikenal paling baik meme-
rangkan topeng Klana Sewandana, kendatipun perempuan dan
usia merangkan semakin uzur, Ibu Suci dapat memerankan
dengan gagah dan bertenaga.

Gambar. 23 Ibu Suci sedang memerankan tokoh Klana Sewandana karakter gagah
Dok. Youtub. 24, April 2020

Bagong Kussudiardjo adalah pencipta tari dan penari dari


Yogyakarta. Bagong (panggilan akrabnya) adalah seniman

Wahyudiyanto
92

Menari Bagian. III


Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

multi talenta. Sebagai penari muda, Bagong memiliki


pengalaman mendunia (Uni Sovyet, Birma, Jepang, Pakistan
Philipina, India, RRC, Amerika, dan Bukarest. Dewasa ini
hingga udzurnya Bagong meninggalkan harta yang berharga
adalah karya-karya tari kreasi tradisi dan padepokan seni tari
yang dikenal padepokan Bagong Kussudiardjo.

Gambar. 24 Bagong Kussudiardjo Spesial menarikan tokoh kera (kethek)


gaya Yogyakarta
Dok. Youtube, 24 April 2020

6. S. Maridi, Penari Keraton Kasunanan Surakarta dengan gelar


Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Tondhokusumo. Mumpuni
dalam bidang Tari Gaya Surakarta yang berkarakter Alus dan
Gagah. Karena kepiawaiannya S. Maridi dipercaya mengajar
tari di Akademi Seni Tari (ASTI) Yogyakarta, Akademi Seni
Karawitan Indonesia (ASKI) Surakarta, Institut Seni Indonesia
(ISI) Surakarta, dan sebagai pegawai di Kantor Dinas Pendidi-
kan Dan Kebudayaan Surakarta sebagai Kepala Seksi Kebuda-
yaan. Karya-karyanya banyak digunakan sebagai materi pem-

Wahyudiyanto
93

Menari Bagian. III


Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

belajaran di Sekolah Tingkat Dasar, SMP dan SMA. Dipercaya


sebagai Juri pada festival-festival tari.

Gambar. 25 S. Maridi menarikan Tari Karonsih Karyanya sendiri


Dok. Youtube. 24, April 2020

7. Farida Utoyo dai Solo Jawa Tengah. Karena sejak kecil hidup
dan tinggal di Luar negeri, Farida Utoyo dikenal sebagai
Maetro Balet Indonesia.

Gambar. 26 Farida Utoyo Balerina Indonesia sedang menarikan karya koreografinya


Dok. Youtube, 28, April 2020
Wahyudiyanto
94

Menari Bagian. III


Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

Disamping menyandang gelar “Artist of Balerina” (penguasa-


annya yang baik terhadap Balet Klasik, juga Balet Modern
berkat didikan Marta Graham, dan Alvin Nicolais dari Amerika
Serikat).

8. Sardono W. Kusumo, juga dari Solo Surakarta. Berawal dari


penari tari klasik kraton yang bergenre alus, Sardono terkenal
justru sebagai penari hanoman (kera putih) dalm cerita
Ramayana. Perkembangan berikunya sebagai koreografoer tari
kontemporer Sardonopun piawai sebagai penari dalam karya-
karya tari kontemporernya. Karya-karya Tari Kontemporernya
melambungkan nama Sardono menjadi maestro tari kontem-
porer Indonesia.

Gambar. 27 Sardono W. Kusumo sedang menarikan


karya koreografinya sendiri
Dok. Youtube, 28, April 2020

Theodora Retno Maruti, masih juga dari Solo Surakarta adalah


koreografer sekaligus penari Jawa klasik. Semenjak kecil sudah
dipercaya sebagai penari Kidang Kencana pada Sendratari
Balet Ramayana Prambanan. Setelah dewasa banyak mencip-
Wahyudiyanto
95

Menari Bagian. III


Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

takan tari dalam kelompok besar yang bersumber dari gerak


tari Bedhaya. Kelembutan, kehalusan tari Putri Jawa yang
tenang, bening dan jernih, anggun tetapi menyiratkan aura
mistis, penuh gelora dinamis, bergejolak dalam keheningan
dan jauh di kedalaman rasa batinnya.

Gambar. 28 Theodora Retno Maruti sedang menarika karnya


koreografinya sendiri
Dok. Youtube. 28, April 2020

9. Didik Nini Thowok yang nama sebenarnya adalah Didik


Hadiprayitno, (terlahir dengan nama Kwee Yoe Lian atau Kwee
Tjoen An). Laki-laki yang suka menarikan tari jenis perempuan
ini piawai dalam meliukkan tubuhnya tak kalah dengan penari
putri yang sesungguhnya. Penguasa-annya yang mumpuni
pada tari jenis putri dari jawa, Sunda Banyuwangi dan Bali
melambungkan namanya hingga ke mancanegara. Bengkel Nini
Thowok miliknya terus mengibarkan Didik Nini Thowok dan
meningkat karir kepenriannya, terlebih sering muncul secara
individu di layar Televisi.

Wahyudiyanto
96

Menari Bagian. III


Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

Gambar. 29 Didik Nini Thowok menarikan karya koerografinya sendiri


Dok. Youtube. 24 April 2020

10. Martinus Miroto dari Yogyakarta kemampuan kepena-riannya


yang luar biasa tampak ketika menarikan secara personal lima
(5) topeng berbagai karakter ciptaannya sendiri, ditarikan di
berbagai kota di Indonesia bahkan di berbagai belahan dunia.
Karyanya yang lain seperti: Promise Land ditampilkan di Mau
Forum New Sealand, “Living Water” ditampilkan di Festival Air
Internasional Bandung Indonesia, yang kesemuanya diterikan
sendiri.

Gambar. 30 Miroto menarikan karya koreografinya sendiri


Dok. Youtube, 24 April 2020
Wahyudiyanto
97

Menari Bagian. III


Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

11. Eko Supriyanto, akrab dengan sebutan Eko Pece berawal dari
belajar tari kerakyatan seperti tari Jathilan, Kubro-siswo, dan
tari tradisi gaya Surakarta, nama Eko Pece melesat karena
sebagai penari latar dalam lagu-lagu penyanyi terkenal
Madona. Sebagai penari dan koreo-grafer pada karya-karyanya
sendiri juga sebagai penari dan koreografi pada karya film
Garin Nugoho, dan begitu banyak kerja sama penciptaan tari
dan kepenarian bertaraf nasional dan internasional.

Gambar. 31 Eko Supriyanto menarikan karya akoreografinya sendiri


Dok. Youtub, 24, April 2020

12. Boy G. Sakti dari Batusangkar Sumatera Barat adalah penari


sekaligus koreografer andal. Semenjak tampil di Lomba
Koreografi di Indonesia dengan karya Pitaruh selanjutnya
karya tari Kibal, nama Boy G. Sakti dikenal luas. Penciptaan
karya tari dengan spirit tari minang dikemas dengan gerak-
gerak sentuhan spirit baru Boy G. Sakti tidak hanya dikenal di
Indonesia tetapi juga melanglang buana dan berprestasi
segudang di mancanegara.

Wahyudiyanto
98

Menari Bagian. III


Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

Gambar. 32 Boy G. Sakti menarikan karya koreografinya sendiri


Dok. Youtube. 24 April 2020

Yang ditampilkan ini adalah sederet nama yang penulis kenal


dan dapat ditemukan data informasinya. Sudah barang tentu masih
banyak lagi penari sekaligus koreografer mumpuni di jamannya yang
belum sempat terekam dalam buku ini. Ini adalah suatu keterbatasan,
tanpa mengecilkan arti nama-nama besar penari sekaligus koreo-
grafer yang belum dapat ditempilkan di sini. Menari untuk menari itu
sendiri adalah yang dimaksud di sini. Kemampuan kepenarian yang
didedikasikan untuk ekspresi murni kekaryaan tari. Tari dengan mua-
tan gagasan kemanusiaan diekspresikan dan ditujukkan kepada
pemirsanya murni untuk dihayati dan ditemukan pesan-pesannya.
Penari yang dibutuhkan untuk karya-karya tari semacam ini tentu
bukan penari sekedarnya tetapi penari mumpuni yang sadar akan
tubuhnya digunakan sebagai sarana komunikasi, sadar bahwa tubuh-
nya membawa misi penciptaan kesan untuk dapat dicerna pesan-
pesannya.

Menari Untuk Pelestari Tradisi


Di dalam kehidupan masyarakat di desa-desa, kampong-
kampung, lorong-lorong pinggiran kota, bahkan di pusat kota sekali-
Wahyudiyanto
99

Menari Bagian. III


Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

pun masih banyak yang memiliki adat kebiasaan yang kemudian


disebut tradisi. Adat atau tradisi seringkali masih memiliki kekuatan
hukum atau setidaknya norma yang secara konvensional mengatur
masyarakatnya, kendatipun tidak semua kehidupan masyarakat
diatur oleh Norma tersebut, yang diatur adalah kehidupan kemasya-
rakat yang acapkali tampak dilakukan secara bersama-sama sebagian
atau seluruh masyarakatnya. Tidak jarang kita melihat beberapa
orang atau hampir seluruh penghuni suatu kampung, desa, atau
lorong-lorong kota datang di makam tempat domisili masyarakat
tersebu. Kadang kita melihat para laki-laki hadir gotong royong mem-
bersihkan kotoran-kotoran di lingkungan desa. Mandi bersama di
sebuah telaga, berkumpul bersama di suatu tempat (balai desa,
Masjid, perempatan jalan, punden (makam pendiri desa), melaksana-
kan kegiatan kesenian untuk keselamatan desa, dan masih banyak
lagi.
Kebiasaan bersama-sama sebagian atau keseluruhan masya-
rakat yang demikian digerakkan oleh waktu atau kegiatan kemasya-
rakatan tersebut mempunyai waktu tersendiri atau tradisi berjalan
berdasarkan siklus waktu atau waktu yang berjalan serkuler, rutin
dalam putaran waktu bumi. Serkuler atau waktu siklus inilah yang
menyebabkan adanya kebiasaan. Orang bilang: biasane angger netepi
dino poso kudu megengan. Angger tanggal siji sura kudu tirakat lan
mbuwang sengkala. Nepaki panen rampung, wong saak desa slametan
ben desane slamet ayem tentrem gak onok alangan ap-apa. Biasane,
angger, nepaki, adalah kata-kata yang menunjukkan keberulangan
terus-menerus yang membentuk istilah tradisi. Bahwa tradisi mem-
bentuk dan dibentuk oleh norma masyarakat itu sendiri. Norma
bersifat mengatur yang tidak dalam kapasitas hukum positif, tetapi
pelanggarnya ada semacam sanksi psikologis dengan masyarakatnya
dan yang paling ekstrim adalah pengucilan.
Kesenian termasuk tari juga melewati jalan tradisi yang
selanjutnya masyarakat menyebut tari tradisi meskipun berangkat
Wahyudiyanto
100

Menari Bagian. III


Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

dari sifat kerakyatannya. Ada semacam kebanggan bahwa masyara-


katnya memiliki kebiasaan tari yang dianggap berasal dari moyang-
nya. Kebanggan kemudian berlanjut pada rasa ingin memiliki, dan
dilanjutkan pada tindakan untuk dapat melakukannya yaitu ikut
terlibat menari. Keinginan menari yang berawal dari rasa memiliki
dan kebanggaan memang hampir tidak terungkap dari para orang tua
kita. Mereka-mereka begitu saja menjalaninya tanpa harus mengata-
kan apa-apa, bahkan tidak ingin disebut sebagai pemilik badaya tari
itu, cukuplah yang dilakukan sebagai bentuk nguri-uri tinggalane
wong tuwa. Fakta ini ada dan tersebar di setiap tempat di seluruh
nusantara. Tanda bahwa nguri-uri tinggalane wong tuwa ada dan
tersebar di seluruh nusantara dapat disaksikan bahwa di setiap
kantong-kantong budaya yang memiliki tradisi tari tetap menunjuk-
kan eksistensinya, terlebih mendapat support dari pemerintah, eksis-
tensinya semakin bergairah.
Di Indonesia pada umumnya, dan di Jawa Timur khusus-nya
terdapat tradisi seni tari tersebr di kabupaten kota. Di wilayah timur
Jawa Timur ada topeng dalang di Madur, yang cukup dikenal adalah di
Sumenep dengan kelompok Topeng dalang Rukun perawas dan yang
lain adalah Rukun Pewaras. Di Banyuwangi dikenal dengan kesenian
Janger yang memadukan beberapa unsur kedaerahan, Tarian dari Bali
yang diiringi musik tradisional Banyuwangi ada nuansa Bali, Bahasa
dari Jawa Mataram dan Osing. Ada Seblang merupakan ritual desa
sebagai cara untuk berkomunikasi dengan kekuatan di luar manusia.
Di Bondowoso ada Topeng Kerte, Lumajang, Probolinggo ada
jaranan slining, jaranan bodag (perhatikan gambar. 33), jaran kecak
dan kesenian Samar. Kesenian Samar merupakan produk budaya
etnis Arab yang berdomisili lama di Probolinggo. Di Malang ada
Wayang Topeng yang cukup banyak. Di Sidoarjo, Surabaya,
Mojokerto, Jombang, ada Ludruk dengan berbagai macam gaya
Ngremanya, Di Gresik terdapat kesenian bernuansa Islami seperti
hadarah, jidoran. Di Nganjuk ke barat hingga Ngawi ada kesenian
Wahyudiyanto
101

Menari Bagian. III


Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

khas Mataraman yang juga hidup dan berkembang subur bersama


dengan seni budaya arek dan pendalungan.

Gambar. 33 Jaran Bodag dari Probolinggo


Dok. Youtub. 15 Oktober 2016

Penopang kesenian sebagaimana disebutkan sebelunya seba-


gian besar adalah para orang tua berusia di atas limapuluh (50)
tahun. Pekerjaan mereka adalah rata-rata petani, buruh tani, dan
penggarap lahan pertaniannya sendiri sebagai kelanjutan dari orang
tuanya sendiri. Bekesenian bukanlah profesi karena profesi utamanya
adalah bertani (sawah, tambak, atau laut). Berkesenian adalah kewaji-
ban jiwanya sebagai penerus leluhurnya, yaitu nguri-uri tinggalane
wong tuwa. Yang dilakukan bukan untuk mendapatkan upah
(meskipun kalau sedang ditanggap/dibeli orang juga tidak menolak
ongkos pertunjukannya) tetapi melaksanakan kewajiban mengamal-
kan tradisi yang diatur oleh waktu siklus. Pelaksanaannya berdasar-
kan kerelaan/keikhlasan hati sebagai bentuk pengamalan keperca-
yaan leluhur agar semuanya dapat hidup tentram lahir dan batin dan
diharapkan dapat hidup sejahtera dari mata pencahariannya.
Berkesenian adalah bagian dari kehidupan, kehidupan ekono-
mi, kehidupan ideologi, kepercayaan, penguatan budi pekerti, keseta-
Wahyudiyanto
102

Menari Bagian. III


Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

raan, kerukunan, kebersahajaan, dan kerekatan kemasyarakatan.


Oleh sebab itu di dalam berkesenian pada masyarakat demikian
hampir dapat dikatakan tidak ada aku dan tidak ada kamu, yang ada
hanyalah kita semua.
Di era digital ini, kesadaran untuk nguri-uri tinggalane wong
tuwa semakin tampak terutama di kalangan genarasi muda. Keterbu-
kaan mewarnai sifat lugas mereka. Dalam banyak ungkapan yang
secara terang-terangan dan bernas terlontar: nguri-uri budayane
dewe rek, kalau tidak kita siapa lagi. Ungka-pan ini ditunjukkan secara
tegas dibarengi dengan tidakan nyata; sedang melakukan kegiatan
menari, sedang mengenakan kostum tari, atau lainnya yang berkaitan
langsung dengan menari. Hal ini sungguh ada dan terjadi di mana-
mana, itu dapat disaksikan terutama di sosial media. Kalangan muda,
yang memiliki pengalaman menari, yang terpaksa atau suka rela, yang
sekedarnya atau yang dengan kesungguhan, yang ampang tanpa rasa
atau yang tampak karakteristiknya, kesemuanya mungkin pernah
mendapatkan didikan dari sekolah, sanggar-sanggar tari, atau dari
kelompok-kelompok tari yang pernah diikuti. Karena kemauan sendi-
ri atau dipaksa orang tuanya.
Di sekolah-sekolah yang memang ada tuntutan bahwa setiap
siswa harus mampu menarikan jenis tertentu tarian sebagai tari khas
wilayahnya kadang mampu memotifasi siswanya yang enggan mengi-
kuti anjuran itu menjadi antusias untuk melakukannya, karena
didorong juga oleh komunal yang begitu banyak sehingga untuk tidak
mengikuti anjuran menjadi malu sendiri. Maka siswa pada wilayah
tertentu seperti, Surabaya, setiap siswa harus pernah menarikan tari
Ngrema, di Banyuwangi, setiap siswa harus pernah menarikan tari
Gandrung, di Tulungagung, setiap siswa harus pernah merasakan
menari Reyog Kendang,
Di Ponorogo, setiap siswa harus tau dan pernah menarikan
kesenian Reyog Ponorogo dari berbagai karakter perannya, bahkan
Wahyudiyanto
103

Menari Bagian. III


Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

secara legal salah satu paguyuban Seni Reyog di Ponorogo menye-


lenggarakan pembelajaran tari Dadak Merak, Ganongan, Jatilan,
warokan secara gratis dengan ragam gerak yang sudah dibakukan. Di
Probolinggo terdapat pengembangan tari Bodag agar tidak punah
maka ditambahkan cerita agar digemari anak-anak. Pengembangan
ini dilakukan di sekolah sekolah.

Gambar. 34 Menari Jaran Budag hasil pengembangan untuk melestarikan


kesenian tradisi daerah
Dok. Youtube, 15 Oktober 2016

Pengalaman yang diprogramkan ini memiliki nilai positif yang


tinggi. Masa anak-anak usia sekolah dasar dan menengah merupakan
masa perkembangan jiwa anak. Masa ini memerlukan pembentukan
karakter yang kuat, jiwa nasionalisme tinggi, bangga dan rasa memi-
iki budayanya sendiri, sehingga pada masa dewasanya tidak dapat
atau setidaknya tidak mudah terpengaruh oleh budaya negatif lain.
Karena sebelumnya telah mendapatkan pengalaman terlibat dalam
pengenalan, sekaligus merasakan, dan penghayatan terhadap nilai-
nilai budayanya sendiri. Terlepas dari rasa terpaksa, dan tidak suka
terhapap budayanya sendiri (jika ada) setidaknya anak-anak ini
setelah dewasa nanti tidak mudah menghina dan atau memaki-maki
budaya miliknya sendiri ketika disandingkan dengan budaya instan
Wahyudiyanto
104

Menari Bagian. III


Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

dari luar dirinya yang menurut pandangannya lebih menarik, lebih


modern, lebih glamour dan lainnya.
Diketahui bahwa menari untuk melestarikan tradisi tari milik
sendiri atau budaya tari secara umum ada dan dimiliki oleh berbagai
generasi. Antusiame mesti beragam, dimotifasi oleh kesadaran dan
kebanggaan, oleh tugas sebagai warga bangsa, oleh pengalaman
kebersamaan dalam menari, sampai pada atas dipaksa oleh keadaan.
Menari untuk kelestarian budaya tari adalah fakta yang berimplikasi
pada kekuatan yang mampu membentengi pengaruh yang dapat
merusak mental individu dan komunal masyarakat. Dari aspek
kesemarakan pertunjukan menari untuk kelestarian budaya tari
adalah hadirnya keberagaman corak, gaya, nuansa, wara-warni gerak
dan busana menunjukkan bahwa kita ini beragam tetapi satu.

Menari Untuk Profesi


Keberadaan pendidikan berbasis seni tari sedikit banyak
menumbuhkan minat warga masyarakat untuk ikut dalam meluas-
lebarkan dan mendalamkan pemahaman tentang tari. Dimulai dari
sanggar-sanggar, Sekolah Tingkat Dasar, Menengah sampai jenjang
yang lebih tinggi yakni Perguruan Tinggi Seni. Berbagai strata yang
terus meningkat pada pendidikan seni meniscayakan adanya pening-
katan pula pada keluasan dan kedalaman pemahaman, dan pengha-
yatan tentang tari. Seperti juga pendidikan di bidang lainnya bahwa
penjenjangan pendidikan adalah untuk semakin mendapatkan penge-
tahuan yang lebih luas dan mendalam pada suatu bidang ilmu.
Tujuannya adalah terdidik mampu menguasai ilmu tersebut dan
dapat digunakan untuk menyelesaikan sesuatu masalah yang berkai-
tan dengan ilmu tersebut.

Pendidikan tari, tak lain adalah agar terdidik dapat dan mam-
pu secara professional menangani pekerjaan yang berkaitan dengan
Wahyudiyanto
105

Menari Bagian. III


Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

dunia tari, kaitannya dengan kebudayaan dan hajat hidup masya-


rakat. Sebab tari bukanlah disiplin seni yang hidup dengan dirinya
sendiri tetapi bagian penting juga bagi kehidupan masyarakat. Fakta
bahwa di setiap kelompok masyaratat terdapat seni tari, bahkan tari
pada suatu tempat memilik nilai kesejarahan masyarakatnya sehing-
ga tari yang hadir dari masyarakat tersebut menyimpan nilai-nilai
masyarakatnya. Iltulah kenapa Tari saja memiliki wadah pendidikan
yang disebut pendidikan seni disebabkan tari merupakan inti kebu-
dayaan masyarakat yang melahirkannya. Tari tidak sekedar pameran
gerak di atas tetapi merupakan pameran kebudayaan masyarakat
tertentu.
Berbagai aspek kehidupan masyarakat terekam dan terang-
kum dalam tari. Mempelajarinya akan dapat mengetahui kebudayaan
masyarakat tertentu. Sebuah teori menyatakan bahwa “apa yang aku
sebut tari adalah sebuah kodifikasi dari berbagai perilaku suatu
masyarakat menyangkut tindakan berwujud gerak, cara berbusana,
berbahasa, dan dalam struktur tari menggambarkan manusia berfikir
dan bertindak seperti aku melihat kehidupan suatu masyarakat
(Frosch dalam Fraleigh 1999, 259). Itulah kemudian pernyataan Frosch
ini dpakai oleh para peneliti budaya tari atau tari dalam masyarakat-nya
sebagai perangkat menganalisis tari.
Menarikan tarian berarti merasakan tarian. Menarikan tarian
yang lahir dari masyakarat tertentu berarti kita sedang merasakan
kehidupan masyarakat tertentu itu. Menarikan tarian yang lahir dari
masyarakat yang dalam situasi dan kondisi tertentu, berarti kita
seperti merasakan situasi dan kondisi tertentu masyarakat itu.
Berbicara situasi dan kondisi berarti berbicara entitas yang sedang
eksis dalam ruang dan waktu, artinya tarian yang dihasilkan oleh
masyarakat dalam situasi dan kondisi tertentu berarti ketika kita
menarikannya sama halnya kita seakan masuk dalam ruang dan
waktu yang termuat dalam tarian itu. Satu contoh dalam sebuah
Wahyudiyanto
106

Menari Bagian. III


Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

kajian menyeluruh tentang tari yang dilahirkan masyarakat dalam


situasi dan kondisi tertentu.
Adalah Tari Ngrema Surabayan dalam Ludruk yang dimaksud
dengan kajian itu. Dikatakan Tari Ngrema Surabayan karena aspek
kesejarahan yang mengkonstruknya. Keterlibatan Ludruk, Ngrema,
dan pelaku Ngrema dalam perjuangan dan Ludruk yang berafiliasi
dengan lembaga-lembaga pemerintah berakumulasi membentuk
tarian yang disebut Tari Ngrema yang selanjutnya disebut Tari
Ngrema Surabayan. Menyaksikan penyajian Tari Ngrema Surabayan
yang diperagakan oleh orang yang terlibat pada masa perjuangan,
apalagi pengremannya juga terlibat dalam masa perjuangan sekaligus
pembentuk Tari Ngrema Surabayan, Kita dapat merasakan sepak
terjang pejuang di dalam medan perang.
Ada semangat, ketegasan, badan tegap, dinamis geraknya, juga
tampak berwibawa, seakan penarinya membawakan karakter tokoh
pejuang. Terlebih penarinya, tentu lebih dapat merasakan bagaimana
beratnya perjuangan melawan penjajah. Ini adalah salah satu kajian
tari berlandaskan situasi dan kondisi tertentu di Surabaya dan
sekitaranya, tentu pada tempat lain, masyarakat lain dalam situ-asi
dan kondisi lain, tentu dapat dirasakan sebagaimana mestinya.
Menari, selanjutnya dijadikan ajang professional (perhatikan gambar
35) karena menari tidak sekedar berkeringat di atas panggung, tetapi
terdapat unsur lain yang menyertai. Tari dalam sejarahnya diketahui
telah membawa sejumlah niai kebudayaan masyarakatnya. Tari
kemudian disadari sebagai cara menyampaikan pikiran, cara menya-
lurkan pendapat, cara menceritakan lakon, cara mununjukkan hara-
pan dan cita-cita, cara membisikkan perasaan cinta kasih, cara meng-
gedor hati kita untuk mengabarkan bahwa kedloliman, keserakahan,
kriminalitas dan bentuk-bentuk kejahatan lainnya dapat merusak
tatanan dan merugikan pihak lain.

Wahyudiyanto
107

Menari Bagian. III


Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

Menari adalah bahasa seni yang lebih dahsyat daya dobraknya


untuk mengingatkan kita semua lewat tontonan. Meskipun tari
terbilang rumit dalam penyampaian pesan tetapi jika dilakukan
penari professional, pesannya lebih dipercaya daripada bertemu
bertatap muka berbicara dua arah, yang kadang dibilang omong
kosong.

Gambar. 35 Menari untuk pekerjaan dilakukan oleh


penari-penari profesional
Dol. Youtube. 28 April 2020

Gambar. 36 Menari untuk pekerjaan dilakukan oleh


penari-penari profesional
Dol. Youtube. 28 April 2020
Wahyudiyanto
108

Menari Bagian. III


Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

Menari dalam kerangka profesionalitas memang lebih banyak


dicapai oleh mereka yang meniti karir kepenarian mela-lui pendi-
dikan. Terbebas dari pendidikan tingkat apa, kepenarian yang
diproduk oleh lembaga seni dipercaya lebih unggul, terlebih pendidi-
kan seni tingkat tinggi dan formal. Pendidikan Kepenariannya dileng-
kapi dengan kajian menyeluruh tentang, teknik, kinestetik, estetik,
filsafat seni, histori, dan kajian aspek lainnnya. Tanpa mengurangi arti
penting pendidikan otodidak oleh para empu tari, pencapaian
kepenariannya justru lebih berat, lebih lengkap, dari aspek teknik
hingga spiritualitasnya. Kepenarian dari pendidikan dan belajar dari
hidup (otodidak) itulah yang mampu juga secara professional di
bidang kepenarian.

Menari Untuk Kesenangan

Ternyata, rasa senang tidak dimonopoli oleh ungkapan


keseharian yang riil dalam kehidupan keseharian. Memang, Jingkrak-
jingkrak, bertepuk sorak, gelak tawa, dan melepas kegirangan dengan
cara lainnya adalah ungkapan rasa senang itu. Dan Sudah menjadi
suratan alam bahwa setiap perasaan yang menyelimuti batin kita
selalu disertai ungkapan tubuh kita yang sudah barang tentu
menunjukkan cirinya masing-masing. Perlu diketahui bahwa di dalam
tradisi tari kita, rasa senang, mendapatkan wadah yang tepat. Tradisi
tari di seluruh nusantara dipastikan memiliki tarian yang bertema
rasa senang itu. Kemasan tari gembira yang sering kita dapati
berbetuk tari pergaulan. Nah, kalau disinggung tari pergaulan baru
kita sadar bahwa ternyata di setiap tradisi tari di nusantara ini pasti
memilikinya. Sebut saja di Banyuwangi, ada tari bernama Tari Jejer
Paju Gandrung (perhatikan gambar. 37).

Wahyudiyanto
109

Menari Bagian. III


Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

Gambar. 37 Menari Jejer Paju Gandrung membaur dengan masyarakat Dok.


Youtub. 30 April 2020

Tari Jejer Paju Gandrung menggambarkan muda-mudi yang


sedang bermain, menunjukkan, keakraban, kekompakan, keriangan,
kegairahan, dan kegembiraan. Tak salah Tari Jejer Paju Gandrung ini
seringkali dipertontonkan bertujuan untuk menghibur para khalayak
ramai. Bahkan ada peluang di dalam konstruksi Tari Jejer Paju
Gandrung bagian struktur akhir memberikan kesempatan kepada
khalayak untuk turut menari bersama-sama. Sungguh sangat menye-
nangkan jika kita terlibat di dalamnya. Sejenak dapat melupakan
beban hidup yang menghimpit kita.

Di Sumatera terdapat beragam tari gembira, di antaranya Tari


Piring, Tari Srampang Duabelas (12), dan bahkan Tari Saman juga
bisa juga dikatakan Tari Gembira. Tari Piring memperlihatkan para
penari dalam kegembiraan dan kemahirannya membawa dan mema-
inkan piring, dengan berbagai gaya gerak, piring tidak jatuh. Tari
Srampang Duabelas (12) (perhatikan gambar. 38) menunjukkan
keceriaan priya dan wanita bermain dalam kebersamaan dan

Wahyudiyanto
110

Menari Bagian. III


Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

kekompakan. Gerakan kaki dan tangan yang sama dilakukan dengan


berhadapan memperlihatkan keharmonisan gerak.

Gambar. 38 Menari Srampang dua belas dalam kegembiraan


dengan kerampakan kaki
Dok. Youtube. 28 April 2020

Tari Saman yang luar biasa merupakan tarian kebang-gaan


Aceh. Kekompakan yang ketat ditunjukkan secara bertang-
gungjawab. Dalam durasi pertunjukan yang relatif panjang tak
satupun penari ada yang salah melakukan gerakan, tepuk sorai
penoton sungguh sangat terpukau dan terhibur.
Bagong Kussudiardjo juga secara khusus menciptakan tari
gembira yang ditujukan untuk usia anak-anak, Tari Gaya Yogyakarta
yang klasik dikembangkan oleh sang maestro tari dari Yogyakarta ini
menjadi tari yang digemari anak-anak pada zamannya. Tari Gembira
ciptaan Bagong Kussudiardjo ini berkembang tidak hanya di Yogya
saja tetapi menyebar di seluruh Indonesia. Di seluruh Provinsi,
Kabupaten Kota bahkan di Surabaya, Tari Gembira Bagong Kussu-
diardjo ini ramai dan dijadikan materi khusus sanggar-sanggar tari
yang ada di Surabaya (perhatikan gambar. 39).

Wahyudiyanto
111

Menari Bagian. III


Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

Gambar. 39 Anak-anak menari gembira dalam tari gembira


ciptaan Bagong Kussudiardjo
Dok. Youtube. 24 April 2020

Di Surakarta juga terdapat seniman yang mendedika-sikan


dirinya untuk peduli kepada anak-anak dengan mencipta-kan tari
gembira untuk anak. Di Surabaya, Agustinus, Pencipta tari khusus
anak-anak ini juga menciptakan Tari Gembira berjudul Tari bermain.
Koreografinya sederhana, jelas strukturnya sangat sesuai dengan jiwa
anak-anak. Tari Bermain ini sering dipergunakan untuk ajang lomba
tari anak-anak di Surabaya (perhatikan gambar. 40)

Gambar. 40 Kegembiraan anak-anak menari tari bermain dalam festival tari anak
Dok. Youtube. 30 April 2020
Wahyudiyanto
112

Menari Bagian. III


Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

Menari Untuk Terapi

Tari, karena berangkat dari dimensi intuitif imajiner tersebab


itu iapun dapat hadir begitu saja, kapan saja, dimana saja, oleh dan
untuk apa dan siapa saja. Dari yang serius, apresiatif maupun yang
sekedarnya. Tidak ada batasan normatif yang mampu memberikan
ruang kontrol atas kelaikan dan keabsahan nilai-nilainya. Tumbuh
dalam imajinasi, mengalir dalam ruang, daya tahan dan jangkauannya
terdefinisikan oleh waktu secara alami. Kecuali sedikit lembaga yang
mulai sadar akan pentingnya menciptakan ruang untuk tari yang
lebih bermakna, yang mengedepankan kualitas. Selektifitas kemudian
dijadikan dasar untuk menuju kuratorial tari.
Inilah perkembangan mutakhir tari dari sisi aktualisa-sinya. Ia
menyorot tema-tema mendasar meliputi: Bentuk, wujud, gaya, pe-
nampilan, orisinalitas, kemandirian, aktualisasi konsep, dan yang
tidak kalah penting adalah bagaimana wujud karya tari mampu
menyuarakan realitas kekinian. Dalam perspektif inilah kemudian
memicu gerakan pemikiran kritis tentang apa tari, bagaimana, dan
mengapa tari. Ruang kritis ini segera terbangun dalam sebuah dialog
panjang yang kemudian menelorkan gagasan-gagasan tentang kei-
nginan untuk me-ngembalikan hakekat tari sesungguhnya.
Terdapat forum yang cukup presentatif, sebuah forum loka-
karya Tari bertaraf internasional dengan tema ”Memetakan Wacana
Tari Kontemporer di Asia” yang diselenggarakan di Universitas
Sanatadarma Yogyakarta 28 – 29 Maret 2008. Hasil reportase Maria
Hartiningsih yang diterbitkan kompas edisi Senin 31 Maret 2008
berjudul “Tubuh Tari Tubuh Politis” mengungkap diskusi panjang
dalam lokakarya tari bertaraf Internasional tersebut. Pokok pikiran
yang terangkat adalah tari dalam studi analisisnya mencapai hasil
yang merambah wilayah-wilayah tak terbayangkan sebelumnya
sebagai dunia di luar dunia tari sendiri.

Wahyudiyanto
113

Menari Bagian. III


Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

Tari dibicarakan tidak sekedar estetika tubuh tetapi melam-


paui sejarah kemanusiaan yang lebih luas. Tari pada puncaknya
menjadi pertarungan makna yang dahsyat terkait dengan konteks
politik, ekonomi, dan ideologi-ideologi di luarnya yang turut menge-
pung kehadiran tari. Yang lebih menarik lagi adalah ketika jargon
politik kebudayaan Nasional mela-hirkan label tari klasik kraton,
tradisional kerakyatan, modern, kontemporer, maka klasifikasi sede-
mikian lekat dengan dunia tari itu adalah ruang-ruang dikotomis yang
ternyata membelah tubuh tari menjadi terpisah dari “Sejarah
realitas”.
Indikator yang diketengahkan adalah keterasingan nilai tari
itu sendiri dengan tata nilai kehidupan masyarakat saat ini. Hal ini
terkait dengan konteks politik apapun yang dominan menguasai
ruang pencitraan dan pemaknaan nilai-nilai di tengah pertarungan
ideologi. Kehidupan penari tak lepas dari ekses kekerasan ketika
tubuhnya menyuarakan ideologi yang tak sejalan dengan politik
dominan. Temuan-temuan dalam kajian tari demikian itu menjadi
perhatian para aktifis tari.
Hemat saya, yang diketengahkan oleh Maria Hartiningsih
tersebut berangkat dari perspektif modernisme. Modernisme sebagai
suatu orde memandang tari sebagai kreasi dan persepsi individual
yang bebas dari muatan politik kebudayaan apapun. Sebagai pemula
sekaligus ikon tari dalam orde modernisme diketengahkan di sini,
Ketika Irene Castle (1920) Tour ke Perancis dengan memotong
pendek rambut, rok, untuk mempopulerkan satu gaya menari dengan
tema tersembunyi menyuarakan kondisi rezim yang mengurangi
wanita dalam semua peranan ibu rumah tangga. Diteruskan Isadora
Duncan dengan karakter individualnya yang kuat, Maude Allan dan
Rut Denis yang memperlihatkan kebebasan ekspresi meskipun
susunan tarinya diberangkatkan dari tarian mistik dari Timur adalah
tonggak tari modern untuk membebaskan kebekuan Ballet yang
Wahyudiyanto
114

Menari Bagian. III


Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

tematik yang mendasari tari sebelumnya. Sardono W Kusuma di


Indonesia tahun 1969 dengan Samgita Pancasona juga lahir karena
merasa bosan dengan tradisinya. Pertanyaannya adalah: Apakah ini
tubuh-tubuh tari yang memajang “Sejarah realitas”?
Lantas bagaimana ketika tari yang dimaknai sebagai kehen-
dak untuk menyatakan rasa syukur ketika panen telah tiba, manusia
baru telah lahir, mendapat buruan banyak. Ketika tari dihadirkan
untuk menjolok berkah dari langit, mantra untuk mendapatkan hujan,
sebagai do’a untuk keselamatan masyarakat, menyembuhkan orang
sakit, mengantarkan dengan selamat roh sesama menuju dan bertemu
moyang. Ketika tari dipertunjukkan sebagai peribadatan kepada yang
berkuasa di jagad raya, apakah tari dalam konteks seperti ini tidak
sejalan dengan “sejarah realitas”?. Padahal realitas sejarah mitisisme
tari kita adalah demikian itu. Pertanyaan selanjutnya adalah: Lantas
tari yang tumbuh menyampaikan “Sejarah realitas” itu yang bagai-
mana, pada tulisan Maria tak kunjung ditemukan.
Dalam perspektif ontologis (modern) ala pemikiran Descartes,
pola kehidupan mistis yang menghubungkan manusia, alam, dan Sang
Maha “Ada” adalah kesatuan tunggal, memang tidak berlaku. Oleh
karena itu pandangan modern yang individual material akan
paradoks dengan mitis yang komunal imaterial. Namun dapat diamati
di era global ini pemikiran mitis masih juga tumbuh subur berdampi-
ngan dengan yang modern, yang post modern dan atau yang hiper-
modern. Sehingga memandang tubuh tari yang politis dan atau yang
tidak politis dalam konteks global ini menjadi rancu kembali ketika
tari dikehendaki sebagai wahana meretas realitas, karena realitas
global adalah pulang balik antara yang mitisisme dan modernitas
yang materialis teknologis. Bentuk-bentuk kebulatan keduanya
melahirkan karya posmodrn atau hiperealitas. Dapat dibayangkan
bagaimana kebudayaan hiperealitas saat ini tak lain adalah kekacauan
makna itu sendiri.
Wahyudiyanto
115

Menari Bagian. III


Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

Menghubungkan alam mitis dengan pandangan hiperea-litas


meskipun tak juga akur tapi keduanya dapat hidup bersama.
Demikian juga memaknai tari dalam konteks tubuh politis dan tari
yang meretas realitas, tari yang otonom, tari yang terbebas dari
kepentingan apapun menjadi kewajaran dalam dunia tari itu sendiri.
Konteks kebudayaan yang berlipat-lipat dengan beragam strata
pikiran akan mendefinisikan tari dengan: visi, misi, tujuan dan mak-
nanya sendiri-sendiri dan merajut untuk menemukan jalannya sen-
diri-sendiri pula.
Sampai sejauh mana perjalanan para pengelana tari kita itu,
kini kembali pada idiom-idiom lokal untuk karya cipta tarinya.
Bahkan pendidikan seni tingkat tinggi sekalipun mengalami titik balik
kecanggihan olah teknik yang fisikal kembali pada khasanah kearifan
lokal dengan pencitraan artistik yang eksotis. Tradisi ternyata memi-
liki wisdom yang isinya masih dapat dibuat berdaya untuk menda-
patkan bentuknya yang aktual. Persoalannya adalah tidak banyak
aktivitas tari yang mampu menghadir-kan idiom lokal yang mondial.
Era kolaborasi sementara waktu seperti rasa gatal (terasa enak
digaruk tetapi meninggalkan bekas lecet) ketika perasaan galau pada
kebekuan mencoba untuk membuat yang berbeda dengan cara kerja
bareng lintas etnik, lintas budaya, yang kemudian melahirkan
kesenian dengan label interkultural, intrakultural yang akrab kemu-
dian sebagai multikultural yang (melahirkan kolase budaya), seka-
rang ini sudah tak terdengar lagi dengungnya. Padahal sebenarnya
jika kolaborasi dimaknai secara tepat, konvergen antar mkna-makna
kebudayaan lintas akan memacu terwujudnya bentukan baru karya
kreatif.
Persoalan “sejarah realitas” yang dikehendaki sebagai muatan
tubuh tari pada era mondial ini belum ditemukan formulasinya.
Hiperrealitas yang tumpang tindih simbol dan maknanya yang
digerakkan oleh simulasi kebudayaan tak dapat segera memacu para
Wahyudiyanto
116

Menari Bagian. III


Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

kreator tari untuk menggapai maknanya dengan cerdas. Persoalanya


bukan pada ketidakmampuan untuk mengikuti realitas tetapi ada
kegalauan kebudayaan yang tidak cukup untuk diikuti saja tetapi
memerlukan pemikiran yang kontemplatif untuk mewujudkannya.
Kalau Ramayana, Mahabarata sebagai mitos masih saja dapat meng-
hadirkan spirit untuk menjajagi kemungkinan nilai tematik meskipun
diperlukan kekuatan artistik yang signivikan, masyarakat mondial ini
sebenarnya memerlukan terapi psikologis, memer-lukan solusi-solusi
meskipun sangat normatif. Artinya bahwa masyarakat memerlukan
keseimbangan kejiwaan melalui sajian-sajian tari yang menyejukkan
dan tidak sekedar dijejali realitas baru dalam tubuh tari.
Yang dibutuhkan era ini bukan pada peretas realitas dengan
mengusung begitu saja persoalan-persoalan aktual yang sedang
berlangsung dalam masyarakat tetapi bagaimana memecahkan
persoalan itu dengan solusi kreatif atau setidaknya karya tari dapat
sebagai terapi psikho sosiologis. Itu artinya menjawab realitas meru-
pakan wujud penting dari sekedar mengangkat realitas. Mengingat
bahwa realitas hipermodern ini adalah merupakan simulasi kebuda-
yaan teknologis yang serba paradoks yang dihadirkan dalam ruang-
ruang virtual, nyata tetapi maya, tanpa asal usul refferensinya pada
realitas itu sendiri. Maka tari sebagai politik tubuh kembali dibutuh-
kan kehadirannya yang sudah barang tentu berubah orientasi untuk
keseimbangan budaya, pendidikan pekerti, penyejuk hati, penyelamat
norma, penyelaras rasa jiwa, dan penyehat ideologi-ideologi.
Adalah Lin Hwai Min dari Taiwan dengan kelompok tarinya
Claud Gate Dance Theater memulai kembali dengan gerakan Tai Chi,
opera Cina, dipadu dengan Modern dan Ballet, Lin Hwai Min melalui
“Songs of the Wonderers” (perhatikan gambar. 41 dan 42) menyuguh-
kan terapi psikologis yang tidak hanya mengantar penarinya tetapi
seluruh pemirsa ke sebuah ritual penyucian agung.

Wahyudiyanto
117

Menari Bagian. III


Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

Gambar. 41 Menari dalam kegembiraan ditengah hujan (biji kedelai)


Dok. Youtube. 30 April 2020

Begitu menyentuh, tangis kegembiraan seluruh pemirsa


karena pengalaman teatrikal yang mendalam dan memukau.

Gambar. 42 Menari dalam posisi yoga yang tenang dan damai


Dok. Youtube. 30 April 2020

Di Indonesia, Dewabrata (Retno Maruti) yang kaya ajaran


moral (perhatikan gambar. 43), Putih-Putih (Farida Oetoyo),

Wahyudiyanto
118

Menari Bagian. III


Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

Gambar. 43 Srikandi berhadapan dengan Sang Bisma


Kakeknya sendiri sebagai wujud darma
Dok. Youtube, 30 April 2020

Soloensis, Opere Diponegoro (Sardono W. Kusuma) (perha-


tikan gambar. 44), Rantak (Gusmiati Suit) (perhatikan gambar. 45),
adalah nomor-nomor karya tari terapis yang patut diapresiasi dan
diteruskan oleh kreator-kreator lain.

Gambar. 44 Menari dalam Opera Diponegoro pada peristiwa Perang Jawa 1825-1830
Dok. Youtube, 30 April 2020

Wahyudiyanto
119

Menari Bagian. III


Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

Ketika awalnya tubuh sebagai penyalur kehendak kepada


yang ada di atasnya diubah oleh ontologis sebagai pemuas individu,
penegak identitas, maka era ini tidak terlalu berlebihan jika mengi-
mpikan tari bersama-sama dengan ajaran moral sebagai bagian
penyelamat nilai-nilai kemanusiaan. Nampak susah karena dalam
perjalanannya tari menghadapi sejarah yang lebih berat pada masa-
masa kolonialisme modern ini.

Gambar. 45 Menari dalam kegembiraan tari Rantak


Dok. Youtub. 30 April 2020

Tetapi jika mengingat kembali otentisitas nilai-nilai yang


dibawa epos-epos besar dunia yang tak lepas dari visi normatif
ideologi kemanusiaan terkemas dengan cantik melalui opera-opera
seni pertunjukan masih memungkinkan untuk dijelajahi terus-
menerus. Bukan merindukan kejayaan masa silam yang eksotis untuk
kembali lagi mengisi kebudayaan ini tetapi bukan pula merasa buruk
rupa kemudian kaca dibelah.

Wahyudiyanto
120
Menari Bagian IV
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

BAGIAN IV

MENJADI PENARI

Kesanggupan Diri
Konstruksi anatomi dan sistem biologis manusia adalah sama.
Ada wujud dan bentuk tubuh yang berdaging, berotot, bertulang,
berdarah, fungsi jantung, pernafasan, pencernaan, sistem saraf dan
seluruh aspek fisik sama di dalam membentuk konstruk badan
manusia (kecuali ada kelainan). Aspek non fisikpun sama. Ada piki-
ran, perasaan emosi, jiwa, naluri, intuisi, dan penyebab kehidupanpun
sama yaitu “Roh”. Jadi, jika dike-lompokkan hidup manusia tercipta
atas tiga hal, badan fisik, Jiwa dan fungsi saraf (badan non fisik –bio
flasma--), dan roh. Tiga faktor inilah manusia hidup dan menjalani
kehidupannya. Ciri utama manusia hidup adalah bergerak beraktifitas
(jawa= urip), penyebab gerak aktifitas adalah energi (jawa=-urup),
berinteraksi, bersosialisasi, berkolaborasi (Jawa=urap).
Segala hal yang berkaitan dengan energi mengalami proses
pengaturan. Pengaturan hidup manusia bersumber dari fungsi
jantung, jantung yang berdetak, atau detak jantung. Detak jantung
Wahyudiyanto
121
Menari Bagian IV
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

kadang cepat sekali, cepat, kurang cepat, lambat, dan berhenti (mati).
Itulah energi, bahwa pusat energi manusia ada di fungsi jantung.
Fungsi jantung menciptakan irama hidup hingga irama kehidupan
manusia. Ketika manusia marah, bersemangat, takut, kalut dan
sejenenisnya, jantung berdetak cepat bahkan sangat cepat. Pada saat
manusia gembira ria, bahagia dan sejenisnya, jantung berdetak stabil
landai. Apabila manusia mengalami disfungsi organ tubuh vital,
Jantung berdetak lambat, melambat hingga berhenti (mati). Cepat
sekali, cepat, setabil, lambat, lambat sekali, adalah gambaran hidup
tubuh manu-sia. Marah, kalut, semangat, gembira ria, bahagia, sedih,
suntuk dan sejenisnya, itu cermin kehidupan pribadi dan social manu-
sia.
Gambaran di atas menjelaskan bahwa hidup dan kehidu-pan
manusia di dasarkan atas peraturan dan pengaturan. Peraturan dan
pengaturan merupakan proses organik dari energi dalam badan
manusia yang membentuk pola. Detak jantung membentuk pola
irama kinetik. Emosi manusia menciptakan pola irama kehidupan
manusia. Bahwa manusia dari segala sesuatu yang dia kerjakan ber-
dampak pada emosi merupakan subyek dari peraturan dan penga-
turan membentuk pola irama kehidupannya. Pikiran, perasaan, dan
tindakan merupakan subyek dari irama yang berpola. Tari, tak lebih
dan tak kurang merupakan cermianan dari hidup dan kehidupan
manusia.

Tari juga berbadan, berenergi, juga berjiwa. Rangkaian gerak


dan seluruh elemen pendukungnya menbentuk koreografi itulah
badan tari. Berenergi adalah kinesterik (greget) merupakan energi
mental yang mengalir ke setiap ruas gerak (kinetik) yang menyebab-
kan dapat di-rasa-kan geraknya (gerake krasa) (kinestitik). Berjiwa
adalah penghayatan penari pada tema tari untuk disalurkan kepada
gerak menciptakan gerakan yang ekspresif menghasilkan keindahan
yang karakteristik. Tidak salah apabila Allegra Snyder dalam “The

Wahyudiyanto
122
Menari Bagian IV
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

Dance Symbol” memberi pengertian bahwa tari adalah simbol kehidu-


pan manusia yang diwujudkan dalam aktivitas kinetik yang ekspresif.
Nah ! dari penjelasan tentang hubungan hidup dan kehidupan
manusia dengan tari dapat dikatakan bahwa rata-rata naluri manusia
terhadap menari itu ada. Dapat dibuktikan bahwa ketika manusia
mendapatkan kegembiraan, naluri manusia akan menggerakkan
tubuhnya (jingkrak-jingkak), bahkan kadang mulutnya bersuara
menirukan musik tertentu kemudian irama musik yang diperde-
ngarkan diikuti gerakan-gerakan. Itulah menari yang paling seder-
hana. Hai ini dipicu oleh irama detak jantung yang dicoba disela-
raskan dengan alunan musik yang diperdengarkan. Kadang pada
waktu suntuk, gelisah gerak tubuhnya mondar-mandir, memukulkan
kepalan tangan satunya ke telapak tangan yang lain, hal ini menun-
jukkan ada kesepadanan gerakan yang dilakukan dengan gerakan tari,
dan seterusnya dan seterusnya.

Kecenderungan manusia pada tari itu kadang berhenti pada


naluri alamiahnya, tapi kadang naluri itu mendapat pem-binaan yang
lebih dari sekedar alamiahnya. Pembinaan yang dimaksud masih
berkisar pada sifat-sifst nalurih, semisal ikutan menari ketika
terdengar lagu yang irama musiknya menuntun tubuhnya untuk
mengikuti sehingga irama tubuh mencoba untuk menyesuaikan atau
mengikuti irama musik yang didengarnya. Lebih dari itu pembina-
annya tidak lagi bersifat naluriah tetapi lebih akademis, yaitu belajar
menari pada sseorang guru tari yang informal dan nonformal, dan
setetusnya ditingkatkan pada menempuh pendidikan formal tentang
seni tari. Pembinaan yang terakhir ini sudah meningkat pesat pada
wilayah teknik, menari dan kepenarian, pengetahuan tari, dan penge-
tahuan penciptaan tari.

Pembinaan pada tingkat yang lebih tinggi ini tentu dipe-


ngaruhi atau bahkan ditentukan oleh motivasi bahwa menari adalah
bagian dari kehidupan, setidaknya menari adalah berkomunikasi,
Wahyudiyanto
123
Menari Bagian IV
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

bersosialisasi, menyampaikan pendapat, seperti kita menyampaikan


pikiran kita memalui bahasa oral, dan tentu tari lebih dari berbahasa
seperti itu karena tari menggunakan gerak, ada keindahan yang ingin
ditebarkan, ada ketrampilan yang ingin ditunjukkan dan ada kemam-
puan lebih di luar kemampuan kita berkomunikasi pada umumnya
yang ingin di pamerkan. Terlebih bahwa menari berarti pula mena-
warkan kemungkinan-kemungkinan nilai baru yang berguna bagi
masyarakat. Oleh sebab itu pencapaian kemampuan menari lebih dari
seke-dar naluri alamiah merupakan kesadaran dan itu adalah ke-
sanggupan diri yang dijadikan pilihan hidupnya.

Wawasan Pengetahuan Tubuh


Kita tentu sepaham atau mungkin bisa sepakat bahwa tubuh
merupakan bagian dari diri kita yang paling jujur dalam bertutur.
Ketika kita ngantuk misalnya, mungkin malu kita untuk mengatakan
ngantuk dan mungkin juga kita mengatakan tidak ngantuk, tetapi
spontan mulut menguap (angop), mata kita dengan lugas memejam,
tubuh mengajak untuk merbah, dan tertidur pulas. Ketika kita lapar,
sekalipun kita bilang sudah atau masih kenyang, tatapi perut berte-
riak (kemrucuk), tampak kegelisahan tubuh kita untuk segera mencari
makan. Ketika kepala kita terbentus (kejedug), mungkin sekali kita
malu mengatakan sakit, tetapi hati dan perasaan kita merintih, air
mata mengalir menahan rasa sakit, sikap malu kita akan berubah
untuk berupaya mengatasi rasa sakit.
Ketika kita tidak suka terhadap sesuatu atau seseorang, bisa
saja mulut kita terkunci rapat untuk tdak mengatakan kalau kita
kebencian itu tetapi pandangan mata, sikap badan, dan perasaan
galau tidak akan bisa menipu. Yang ingin dikatakan di sini adalah
meskipun kita dengan mudah dapat berdusta dalam tutur kata tetapi
tidak pada sikap tubuh kita. Tubuh dan seluruh anggotanga tidak
dapat kita paksa untuk berbohong. Tubuh akan bicara sendiri meski-
pun mulut kita memaksa untuk diam. Tubuh akan mengataka ya
Wahyudiyanto
124
Menari Bagian IV
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

meskipun mulut berkata tidak, bahkan tidaaaak….! Itulah kemudian


sikap dan tindakan tubuh seringkali dipakai sebagai cara untuk
melihat kejujuran seseorang.
Oral kita dengan bahasa tutur yang lebih pada pernya-taan-
pernyataan dan atau ungkapan-ungkapan verbal ternyata dengan
mudah dapat bertindak paradog dengan kenyataan sesungguhnya.
Ketika kita mengatakan tidak padahal sesunguhnya ingin menga-
takan ya. Oral kita dapat melakukannya tetapi tidak sepenuhnya
dapat dilakukan oleh tubuh kita. Terdapat ungkapan-ungkapan seba-
gai pengganti kebohongan oral kita yang sesungguhnya menyimpang
dan merupakan kebohongan itu sendiri. Kejujuran tubuh mungkin
sangat tersembunyi tetapi bisa juga sangat terang-terangan. Bisa
sangat simbolik tetapi juga seringkali sangat verbalistik.
Cemberut, mencibir, melengos, diam, bersorak, memu-kul-
pukulkan tangan, mengacung-acungkan kepalan tangan, menunjuk-
tunjuk dengan jari telunjuk, menghentak-hentakkan kaki, mengerang,
mendesis, melotot, menggemeretakkan gigi, dan masih banyak lagi
ungkapan-ungkapan simbolik sebagai pengganti ketidakmampuan
oral untuk mengatakannya. Itulah ungkapan tubuh kita yang tegas
tetapi sangat simbolik. Kejujuran khas pada perilaku tubuh kita dapat
dilihat sebagai pernyataan paling dasar untuk mengidentifikasi
karakteristik seseorang. Kejujuran dan kebohongan dapat dengan
segera dilihat dari sikap dan perilaku tubuh.

Keterbatasan Tubuh dan Kekuatan Ungkap Tari


Perkembangan kehidupan masyarakat dunia tak bisa ditam-
pik ketika masyarakat agrikultur terpesona atas kehadiran industri-
industri yang menjanjikan kehidupan lebih baik. Dan pada kehidupan
mutakhir yang serba instan ini semakin tidak jelas yang maya atau
yang nyata, keduanya berbaur dalam alam nyata. Kebudayaan seperti
simulakra berputar dari yang maya menjadi nyata dan yang nyata
tiba-tiba berubah menjadi maya. Pada era seperti ini tari turut
Wahyudiyanto
125
Menari Bagian IV
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

menggeliat mencoba menentukan hidupnya sendiri. Semula ungka-


pan bersifat komunal bergerak ke arah personal. Yang nature
bergerak lebih absolute politic ataupu egaliter politic.
Tari tidak hanya menyataka realitas tetapi juga menggugat
realitas, tidak indah gemulai saja tetapi juga yang kasar menegang-
kan. Tari semula tak berbatas menjadi terdisplay dalam kotak-kotak
dan bergerak lagi ke takberbatas. Tiba-tiba tari muncul di jalanan, di
tengah keramaian, di mall-mall, di perempatan jalan, di tengah sere-
monial, dan di mana-mana tari menjadi semakin tak berbentuk dan
itu meluas menjadi menjadi bentuk itu sendiri yang menjadi porsi
estetikanya sendiri. Bukanmenjadi kabur etalasinya tetapi bias kejela-
san hakekat dan filosofinya. Tari yang pada titik tertentu menjadi
murni sebagai bahasa tubuh untuk menyatakan kejujuran simbolis
manusia berrevolusi pada tubuh-tubuh yang lain untuk menyatakan
perubahan.
Bahasa tubuh sebagai ungkap tari memang identik dengan
tubuh sebagai ungkapan kehidupan keseharian pada umumnya tetapi
terdapat perbedaan mendasar. Sebagai ungkapan tari, gerak tubuh
manusia telah melaluiperekayasaan yang luar biasa rumit, remit, dan
njimet. Rekayasa itu ditujukan untuk ungkapan simbolik dan penca-
paian estetik, terangkat dari keadaan realita ke tingkat imajiner.
Sebenarnya terdapat keterbatasan kemampuan tubuh sebagai gerak
kinetik disebabkan faktor konstruk anatomi, tetapi muncul kekuatan
ungkapan ketika gerak sudah memalui proses estetik karena di balik
estetik terselip muatan beragam kehendak dan tafsir. Ketika tari
ditunjuk sebagai ungkapan kritik misalnya, bahasa tubuh dengan
keterbatasan anatominya tidak mampu bicara banyak tetapi lebih
dapat menyentuh wilayah kejiwaan yang itu kurang bisaa dicapai
dengan bahasa oral dan apa lagi bahasa tulis. Kita ambli contoh
misalnya: Apabila ingin menyatakan kematian pada ranah hukum,
ungkapan lebih tajan dilakukan dengan tarian pocong yangterusung
di dalam kernda mayat dari pada kita bicara hukum telah mati.

Wahyudiyanto
126
Menari Bagian IV
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

Ketertindasan misalnya, akan lebih terungkap dengan baik melalui


tubuh manusia berbalur cairan warna merah dengan atribut carang
(batang pohon berduri) diikatkan secara artistik di tubuhnya, dan
sebagainya dan sebagainya. Bahwa tubuh dengan keterbatasan
sebagai ungkapan verbal tetapi lebih memiliki ketajaman ungkapan
makna simbolik.
Kelemahan dan kekuatan tubuh sebagai ungkapan tari akan
terus bergerak menegaskan dirinya sendiri dalam ruang peradaban.
Sebagian penggiat tari rela tubuh tari berbicara apa saja, tetap seba-
gian lainnya tetap melihat tubuh manusia sebagai ungkapan tari tetap
pada porsi yakni tari yang dipahami sebagai ungkapan emosi-emosi
manusia dalam kehidupan kesehariannya. Melihat realita bahwa tari
yang hidup sangat beragam corak dan ungkapannya. Ada yang politis,
murni estetis, kritik realitas, terapi kejiwaan, tawaran nilai-nilai,
tetapi ada yang menggugat nilai-nilai dan bahkan ada yang sekedar
main-main. Itulah kemudain Margaret N.H Doubler pernah menulis
bukunya berjudul tari dan problematikanya. Artinya bahwa tubuh tari
sebagai ungkapan yang multi guna menyebabkan berbagai persoalan
yang dihadapinya. Namun jawaban yang pasti bahwa tari dengan
berbagai problemanya sebagaimana manusia juga menghadapi berba-
gai masalahnya.

Wawasan dan Penghayatan Budaya


Kita memahami budaya sebagai suatu lingkungan. Lingkungan
atau sering kita sebut tempat atau area, di dalamnya terdapat
berbagai objek yang macam, jenis, dan karakteristiknya dapat dipa-
hami melalui proses penginderaan. Objek pertama adalah manusia,
objek berikutnya adalah tempat berbijak yaitu tanah, objek berikut-
nya lagi adalah penghuni tanah tempat berpijak yang bukan manusia,
bisa hewan, dan makhluk lain yang tidak dapat diamati oleh pengli-
hatan. Manusia sebagai objek pertama selanjutnya dalam mendiami
tempat perpijak ia berlaku sebagai subjek. Dikatakan sebagai subjek
Wahyudiyanto
127
Menari Bagian IV
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

karena manusia dengan perangkat kehidupannya (pikir, perasaan,


keyakinan, dan kebutuhan akan kehidupan fisik dan non fisik) domi-
nan dapat mengelola tempat berpijaknya. Mengelola berarti menjadi-
kan sesuasu menjadi sesuatu yang lain yang lebih berguna dan ber-
manfaat, untuk dirinya sendiri dan makhluk lainnya.
Kedudukannya sebagai subyek disebabkan manusia mampu
berinteraksi dengan: tempat ia berpijak, makhluk lain yang tampak
dan tidak tampak yang diyakini “ada”. Berinteraksi tidak sekedar
bertemu dan setelah itu selesai, tetapi berinteraksi yang menghasi-
lkan sesuatu yang berguna bagi kehidupannya dan kehidupan
makhluk lain untuk saat ini dan mendatang. Sesuatu bisa barang dan
juga non barang atau pikiran-pikiran yang disebut gagasan. Barang,
bisa perabot utama yang dapat memberi perlindungan tubuh fisik,
dan fasilitas lain sebagai penunjang kebutuhan perabot utama. Non
barang bisa berupa pikiran-pikiran yang kemudian disebut gagasan.
Berguna berarti ada nilai yang bermanfaat, saat ini dan mendatang
adalah ada kelangsungan (kontinuitas) yang berjenjang.
Dasar dari budaya adalah kelangsungan hidup manusia yang
berinteraksi dengan alam tempat berpijak hingga menghasilkan
sistem pencaharian, sistem keyakinan, dan sistem bertata kehidupan.
Jika manusia bertempat di area yang subur tanahnya, maka manusia
dapat bercocok tanam (apapun jenisnya tanaman tergantung jenis
dan karakter tanahnya). Maka dikenal dengan masyarakat agraris,
yang kemudian melahirkan sistem kepercayaan sedemikian rupa,
dalam sejarah telah mencatat masyarakat agraris percaya dan mem-
percayai kekuatan di luar dirinya yang dapat memberi penghidupan
lahir dan batinnya, dan lain sebagainya dan lain sebagainya tentang
manusia dengan ciri budayanya, bahwa di setiap tempat atau area
berpijak manusia terdapat sistem budaya atau kebudayaannya.
Maksud dari pembahasan kali ini adalah bagaimana seorang
penari memahami dan menghayati budaya suatu masyarakat sebagai
bekal untuk dapat menari dengan baik dan benar. Memahami dan
Wahyudiyanto
128
Menari Bagian IV
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

menghayati budaya dalam konteks ini didasarkan atas asumsi bahwa


menari yang baik dan benar adalah penari yang pada dasarnya
seorang koreografer atau pencipta tari juga, setidaknya pencipta pada
karakteristik tarian hasil dari proses interpretasi (seniman interpre-
ter). Pertanyaan mendasarnya adalah mengapa seorang penari harus
mempunyai pemahaman dan penghayatan yang baik pada suatu
budaya pada wilayah kebudayaan masyarakat tertentu. Apakah tidak
cukup menari dengan menyajikan ketrampilan gerak yang sudah
disediakan dalam tarian itu.
Perlu disadari bahwa satu jenis tarian tercipta atau dicipta-
kan, sengaja atau tidak, musti dilatarbelakangi atau mendapatkan
background dari budaya masyarakat tertentu. Kendatipun tarian itu
bernafaskan kontemporer sekalipun, karena tubuh penari tidak bisa
dipisahkan dari budaya tempat dia berpijak. Oleh sebab itu bahwa
untuk mengerti secara garis besar budaya suatu masyarakat cukup
dapat dilihat dari tariannya. Sebelum pertanyaan pertama di jawab di
susul perta-nyaan berikutnya, apa urgensi seorang penari harus
memahami dan menghayati budaya masyarakatnya. Marilah kita
jawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan cara berdiskusi agar
mendapatkan klarifikasi yang memadai.
Pertama kita harus sepaham dan syukur dapat sepakat bahwa
budaya adalah pengalaman. Penjelasannya seperti berikut. Dikatakan
budaya disebabkan oleh sekumpulan perilaku yang sama dan nyata
oleh manusia individu dalam kolektif masyarakat yang dilakukan
secara berulang, terus menerus hingga menghasilkan suatu entitas
yang melahirkan kesepahaman dan kesepakatan bersama yang secara
konvensional membentuk ikatan-ikatan primordial kolektif yang
selanjutnya disebut norma. Dari konklusi ini kita mesti paham bahwa
perilaku yang dimaksud merupakan gagasan individual yang
kemudian menjadi perilaku kolektif. Bahwa kesadaran berperilaku
demikian semula dialami dan dilakukan sendiri secara individual dan

Wahyudiyanto
129
Menari Bagian IV
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

ketika berlanjut dialami dan dilakukan secara bersama-sama dalam


masyarakat berarti telah menjadi kesadaran kolektif masyarakat.
Contoh kongkritnya seperti berikut. Misalnya: Seorang penda-
tang memasuki dan menetap pada suatu kampong dengan membawa
ketrampilan khusus bernama tari Jaranan. Properti berupa jaran
kepang dipajang di pilar bagian dalam rumahnya. Pada hari-hari
tertentu orang tersebut berlatih tari jaranan dengan menggunakan
properti jaran kepang. Kegiatan berlatih tersebut lama kelamaan
diketahui orang. Lama kelamaan pula orang-orang pada datang, dan
orang-orang yang datang adalah sekampung asal dan atau satu
budaya kesenian jaranan yang merantau dan menetap di kampong
yang sama. Lama kelamaan lagi terbentuk kelompok tari jaranan di
kam-pong itu, ada organisasi, ada manajemen, ada kegiatan latihan,
ada pertunjukan rutin sebagai bentuk semacam gladi bersih, dan ada
kegiatan pentas di luar rutin sebagai bentuk jual jasa pertunjukan
kesenia jaranan. Ini artinya telah terbentuk buda-ya baru dalam
kampong itu yaitu budaya kesenian jaranan.
Ini merupakan contoh dalam sekala kecil terbentuknya satu
budaya, tentu dalam sekala luas pembentukan budaya melahirkan
ikatan-ikatan yang mengatur kehidupan suatu masyarakat. Budaya
hukum melahirkan ikatan-ikatan normatif bidang hukum. Budaya
pencaharian melahirkan ikatan-ikatan normatif tentang pencaharian
(apapun bentuk mata pencaharian). Budaya agama melahirkan ika-
tan-ikatan normatif nialai-nilai keagamaan, dan seterusnya dan sete-
rusnya pada skala menyeluruh budaya suatu masyarakat akan
mengikat secara normatif seluruh masyarakat tersebut bahkan dalam
kondisi tertentu ikatan-ikatan normatif tersebut berubah untuk
dijadikan norma hukum positif yang melahirkan tindakan sanksi
hukum itu sendiri. Simpulannya adalah bahwa budaya yang kemudai
menjadi kebudayaan masyarakat merupakan tindakan bersama yang
selanjutnya melahirkan tata kehidupan yang berlaku untuk masya-
rakat itu sendiri.

Wahyudiyanto
130
Menari Bagian IV
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

Terkait dengan pertanyaan-pertanyaan sebelumnya tentang


penting dan urgensi penari memahami dan menghayati budaya
masyarakat sebagai bekal untuk dapat menari yang baik dan benar
adalah bahwa: 1) menari adalah mempertun-jukkan. Mempertunjuk-
kan berarti mengajak komunikasi kepada masyarakat (penonton)
tentang pikiran-pikirannya melalui bahasa estetik gerak. 2) agar
komunikasi berlangsung dengan selamat dan dapat berlangsung
komunikatif harus mempertimbangkan a) bahasa yang digunakan
harus dapat dipahami bersama, b) pesan yang disampaikan harus
pula dipahami oleh yang diajak komunikasi. Dua sarat tersebut
merupakan titik temu agar komunikasi simbolik dapat efektif dan
komunikatif atau komunikasi mudah dapat diterima pesan penyam-
pai oleh penerima. Bahwa menari tarian hasil produk satu budaya
dengan penontonnya akan mudah komunikatif dan begitu seba-
liknya.
Itupun baru titik temu, dibutuhkan lagi pengalaman menda-
lam penonton untuk sebanyak-banyaknya apresiasi terhadap karya
tari yang masih dalam satu lingkup budaya. Artinya bahwa prinsip
komunikasi adalah adanya kesepahaman bersa-ma antara penyampai
pesan dengan penerima pesan Jika kita bayangkan komunikasi
dengan bahasa literer yang dipahami kedua belah pihak, maka
komunikasi lancar, orang bilang “ngewes ae” (nyambung). Tapi jika
penyampai pesan menggu-nakan bahasa asing, sementara kemam-
puan penerima pesan terbatas pada bahasa ibu, komunikasipun
terputus, orang bilang, ha…ho…ha…ho (tidak nyambung). Namun
demikian bahwa prinsip utama komunikasi estetik sumbolik tidak
musti pemahanan yang dituju, tetapi penghayatan, yaitu bisa dirasa-
kan nilai estetiknya, rasa indahnya penyajian seni, seperti dijelaskan
terdahulu, kebenaran seni bagi penonton adalah kebutuhan skender,
yang primer adalah penghayatan. Tetapi alangkah sempurna jika
antara kebenaran pemahaman dan keindahan penghayatan dan juga
kebaikan dapat diterima secara keseluruhan.

Wahyudiyanto
131
Menari Bagian IV
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

Nah, selanjutnya langkah apa yang musti dilakukan oleh


seorang penari di dalam memahami budaya masyarakat. Jika penari
masih satu budaya dengan calon penonton, tidak terlalu merisaukan,
karena pada prinsipnya sudah ada kesamaan pemahaman, tetapi
penari masih secara seksama dan mendalam harus mengetahui detail
apa intisari budaya masyarakat setempat menyangkut hakekat
kebudayaan yang material dan imaterial, karena yang material
sebenarnya terlahir dari yang imaterial. Atau ada hubungan logis,
filosofis, historis, bahkan ekonomis yang material dengan yang
material. Kadang, hal-hal yang dianggap sepele, karena sering
didengar, diketahui, dialami, dilakukan, maka sering pula dianggap
tidak penting dan lewat begitu saja.
Diambil contoh yang sudah jelas ada, misalnya. Budaya ma-
syarakat setempat adalah agraris pertanian dengan sistem pengairan
tadah hujan. Sangat dimungkinkan bahwa di dalam masyarakat
setempat dengan budaya demikian ada tradisi minta hujan dengan
menggunakan sarana ritual minta hujan. Minta hujan adalah budaya
immaterial karena ia ada di dalam dunia gagasan, dunia idea, di dalam
pikiran manusia. Sarana minta hujan adalah budaya material, karena
ia berwujud dalam bentuk material yaitu kegiatan ritual yang
dilakukan dengan menggunakan banyak perabot material, seperti
manusia itu sendiri, berbagai macam barang sesajian, mantera-man-
tera atau doa-doa, alat pertanian properti ritual, dan inti kegiatannya
yaitu berupa perilaku ritual, seperti di Kediri terdapat ritual minta
hujan yang dikenal dengan nama “Ritual Tiban”.
Contoh tersebut menyimpan pemikiran yang luar bisa tentang
banyak hal. Pemikiran tentang kepercayaan masyarakat setempat,
pemikiran tentang tata hidup bersama dan kekeraba-tan, pemikiran
tentang sistem ekonomi, pemikiran tentang sistem pertanian, dan
pemikiran tentang penguasaan alam. Pemikiran tentang kepercayaan
mewujud dalam kegiatan ritual beserta seluruh uborampe, meliputi:
sesajian dengan berbagai barang yang dibutuhkan, matera-mantera

Wahyudiyanto
132
Menari Bagian IV
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

dan doa-doa. Pemiki-ran tentang tata hidup dan kekerabatan mewu-


jud pada kerukunan dan kegotongroyongan. Pemikiran tentang
sistem ekonomi mewujud pada biaya yang dibutuhkan untuk kese-
luruhan penyalenggaraan kegiatan ritual, Pemikiran tentang sistem
pertanian mewujud pada alat pertanian yang harus muncul pada
kegiatan ritual, pemikiran tentang penguasaan alam terwujud pada
properti ritual meliputi: area tempat penyelenggaraan ritual, hewan
ternak, dan tumbuhan yang muncul dalam kegia-tan ritual.
Bagi seorang penari yang sekaligus pencipta tari, fenomena
yang dijelaskan sebelumnya merupakan ilmu pengetahuan budaya
setempat yang musti dipahami dan dihayati sedetail-detailnya. Fungsi
dan tujuannya amat banyak, di sana ada pemikiran itu sendiri sebagai
gagasan konseptual, di sana ada kegiatan ritual (contoh seperti Ritual
Tiban di Kediri), disana ada situasi penyelenggaraan ritual, di sana
ada kondisi emosi masyarakat, ada emosi yang terlibat di panggung
utama (yang dipastikan ada persiapan pra kegiatan ritual seperti
tirakat puasa, melaksanakan perintah dan meninggalkan hal-hal yang
dilarang oleh adat tradisi ritual), ada proses ritual, seluruh uborampe
yang terlibat di dalamnya, menyangkut properti, doa dan mantra,
perilaku ritual, dan kondisi yang diciptakan oleh prilaku ritual
kesemuanya memunculkan karakteristik terten-tu.
Satu contoh fakta budaya ini (tentu banyak sekali budaya-
budaya di suatu masyarakat yang musti dijadikan sasaran pemaha-
man dan penghayatan) sudah cukup untuk dipergunakan sebagai
penjelas penting dan urgensi penari yang pencipta tari di dalam
memahami dan menghayati budaya setempat. Itupun menti ditunjang
dengan mendatangi tokoh intelektual budaya masyarakat setempat
untuk berdiskusi mengenai banyak hal tentang kebudayaan setempat.
Tanpa ragu penari harus masuk dalam-dalam untuk menyelami
budaya setempat agar memperoleh rasa budaya, maka ketika penari

Wahyudiyanto
133
Menari Bagian IV
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

telah menghayati dengan baik dan benar ia akan menari dengan


kemungguhan23 yang maksimal.
Penari yang tidak memiliki kaitan budayanya dengan budaya
masyarakat yang akan dijadikan sasaran penggarapan karya tari dan
kepenarian, tentu lebih berat. Pinsip utama adalah pemahaman dan
penghayatan budaya setempat. Untuk dapat menyelami sedalam-
dalamnya budaya yang masih dianggap asing, penari harus menetap,
setidaknya satu periode waktu siklus, dan akan lebih baik jika diulang
satu waktu siklus berikutnya untuk memastikan ada tidaknya
perubahan sistem budaya mungkin disebabkan oleh faktor alam atau
faktor-faktor lainnya. Contoh nyata, ketika seorang Sardono W.
Kusumo akan mengerjakan projek karya tari berjudul hutan plastik
yang mengangkat kondisi hutan di Kalimantan terlebih dahulu harus
memahami dan sekaligus menghayati kehidupan budaya masyara-
katnya lebih dari satu tahun, demikian juga ketika menggarap karya
berlatar belakang suku Asmat yang dilakukan adalah hal yang sama,
menetap di kedalaman suku Asmat. Fakta seperti ni nyata dilakukan
oleh penari-penari dan pencipta tari professional.

Persiapan Menjadi Penari


Pembicaraan ini menyangkut hal teknis tentang Persia-pan
menjadi penari, hal nonteknis sudah dijelaskan pada pembahasan
sebelumnya. Kendatipul tampak hal teknis tetapi yang terjadi adalah
memasuki wilayah hakekat kepenarian, sehingga ketika penari telah
menguasai hal yang dianggap teknis ini penari justru mampu menari
yang sesungguhnya menari, seperti dikatakan di awal buku ini yaitu
menari sebagai seniman tari yaitu seniman interpreter. Tentu banyak
cara yang bisa ditempuh oleh siapa saja yang ingin menjadi penari.
Penari yang sekedar trampil hingga yang menari yang sesungguhnya

23 Kumungguhan dari kata mungguh (Jawa) berarti selaras, sepadan, trep, cocok,
sesuai.
Wahyudiyanto
134
Menari Bagian IV
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

menari (ideal). Dicontohkan fenomena nyata tentang pembela-jaran


konvensional kepenarian yang berhasil gemilang dan secara berulang
pembelajara konvensional tersebut menjadi tradisi pembelajaran
kepenarian.
Di dalam Pertunjukan Ludruk, terdapat Tari Ngrema. Asal
muasal tarian Ngrema konon disebut dari tokoh Besut dalam Lerok
Besut atau Lerok Ngamen yang salah satu tokoh penting berperan
adalah Besut. Konon juga Besutlah yang menari dengan gela-gelo
(menggeleng-gelengkan kepala) dan gedrag-gedrug (membunyikan
gongseng di pergelanagn kaki kanan dengan cara nggedrug kaki
kanan berulang-ulang). Demikian itu dalam perkembangan berikut-
nya terbentuklah Tari Ngrema yang dapat kita saksikan hingga
sekarang ini merupakan kelanjutan dari generasi Ngrema yang lebih
awal.
Bagaimana bisa terjadi regenerasi Tari Ngrema Ludruk
sedemikian panjang itu yang tetap mampu mempertahankan porsi
maksimumnya, yaitu menari Ngrema dengan daya pesona yang luar
biasa dan sulit dicapai oleh menari Ngrema di luar Ludruk. Ada tradisi
menarik yang dilakukan secara temurun oleh generasi muda menari
Ngrema penerus pendahulunya di dalam menggapai kualitas maksi-
mum kepenariannya. Adalah nyebeng24 yang pertama dilakukan oleh
perintis baru Tari Ngrema. Bukan langsung kepada tokoh idola yang
sedang menari di atas pentas, tetapi kepada pengrawit untuk merasa-

24 24 Nyebeng adalah belajar penari Ngrema awal (yunior) yang dilakukan dengan
cara menyaksikan secara langsung penari senior yang sedang menjalani pentas di
atas panggung pertunjukan Ludruk. Menyaksikan secara langsung dilakukan di
berbagai tempat (di samping, di depan, dan di belakang panggung). Nyebeng
merupakan cara belajar yang lazim dan wajib dilakukaan oleh penari Ngrema yunior
kepada para senior karena tidak terdapat cara belajar system sekolah yang
berhadapan guru dengan murid. Nyebeng adalah cara belajar murid aktif
menyaksikan dan menyerap ketrampilan kidungan, gerak, rias, busana, karakter, dan
perilaku atau sikap menari di atas panggung secara langsung dari seniornya (Karya
wawancara 2018, 6 Juni)

Wahyudiyanto
135
Menari Bagian IV
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

kan gending, (memahami dan merasakan gending terutama Gending


Jula-juli). Kethuk, kenong, gong, adalah bagian struktur gending yang
harus dipahami kapan dimulai dan kapan berakhir dalam satu puta-
ran gending. Hal ini dimaksudkan untuk dipergunakan sebagai ater-
ater kapan dimulai dan kapan diakhiri kidungan Jula-juli, hal ini
terkait dengan seleh nada dan seleh irama.
Nyebeng gending dilakukan di area gamelan yang sedang
dibunyikan. Kapan dilakukan nyebeng gending, kapan saja dan di-
mana saja. Kapan nyebeng gending berakhir. Kapan saja yang penting
dapat dibuktikan bahwa hasil nyebeng gending dapat dibuktikan
dengan rengeng-rengeng untuk menunjukkan kapan kethuk, kapan
kenong dan kapan gong dan sekaligus untuk menentukan kapan nada
gending berubah. Selanjutnya dicoba dengan melantukan kidunga
yang paling sederhana dan diteruskan pada kidungan yang lebih
rumit baik syairnya maupun sistem gending yang menyangkut
struktur nada gending, kendo kenceng tempo irama dan seterusnya,
hingga dapat dikatakan telah menguasai dengan baik dan benar.
Ketika kemampuan merasakan gending dan ngidung dikuasai
dengan baik oleh yunior, nyebeng berikutnya adalah kepada pengre-
man senior yang dikagumi sebelum naik di atas pentas, dengan
sasaran materi; 1) menguasai bentuk rias wajah, dapat menyebutkan
berbagai alat rias, dan mampu merias wajah sendiri, 2) kemampuan
mengidentifikasi seluruh perangkat busana tari Ngrema serta mampu
mengenakan sendiri untuk keperluan pertunjukan. Selanjutnya
diteruskan ketika pengreman idolanya sudah naik di atas pentas,
yakni menari Ngrema. Materi yang dipelajari meliputi:
1) mampu menguasai bentuk, struktur, dan teknik gerak
dalam tari Ngrema, 2) cara penguasaan setiap ragam gerak hubu-
ngannya dengan pola tabuhan kendhang dan irama musik tari yang
mengiringi, 3) cara penguasaan kinestetik pada setiap gerakan, 4)
kemampuan penerapan kidungan pada gendhing, 5) mampu mengua-
sai cara bersikap menari Ngrema dalam panggung pertunjukan
Wahyudiyanto
136
Menari Bagian IV
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

Ludruk, dan 6) menguasai dan mampu melakukan perilaku-perilaku


lainnya yang dianggap penting untuk dijadikan acuan membangun
kepenariannya. Butuh waktu yang tidak sedikit, tidak dalam hitungan
harian, ming-guan, bulanan, tetapi tahunan dan bahkan puluhan
tahun untuk mendapatkan kemampuan kepenarian Tari Ngrema.
Langkah pembelajaran berikutnya disebut Gladen. Gla-den25
dalam pembahasan ini adalah menyuguhkan atau menyajikan Tari
Ngrema di atas pentas. Setelah dirasakan cukup waktu oleh pimpinan
Ludruk, yunior yang melaksanakan nyebeng menunjukkan hasil
belajarnya. Cukup waktu yang dimaksud ditentukan oleh kesiapan
yunior dan kesediaannya untuk ambil bagian dalam pertunjukan tari
Ngrema. Seberapa lama yunior nyebeng tidak ada batas waktu yang
dapat ditentukan, kesiapan ditentukan oleh kecepatan yunior dalam
menyerap objek materi yang dijadikan sasaran belajar. Sajian awal di
atas pentas merupakan tahap uji coba yang disaksikan langsung oleh
pimpinan Ludruk. Biasanya pada momen yang sederhana, yakni pada
ulang tahun perkumpulan Ludruk, yang dihadiri sanak kerabat
Ludruk sendiri. Pada acara sedekah bumi di desa sendiri yang
dihadiri oleh masyarakatnya sendiri.
Momen uji coba bertujuan agar ada tanggapan positif dari
penonton dan pemakluman apabila dalam sajiannya belum bisa mem-
berikan yang terbaik. Ada harapan dari penyajian itu yaitu supaya
mendapatkan semacam kritik untuk kelanjutan penari Ngrema yang
sedang merintis profesinya. Dalam gladen itulah proses menari
Ngrema paling ditunggu oleh penari Ngrema yunior. Setiap kali
gladen, penari Ngrema yunior berusaha keras dapat menyajikan tari
Ngrema terbaiknya, terlebih dapat menyajikan tariannya di tempat

25Gladen dari kata gladi (Jawa)- berlatih (Indonesia). Dalam pembahasan ini, gladen
diterjemakan menjadi sebuah pengertian berlatih terus menerus yang dilakukan
dengan cara menyajikan tari Ngrema pada khalayak di atas entas pertunjukan
Ludruk. Gladen dilakukan tidak mengenal batas waktu hingga dikatakan pengreman
dapat mencapai gaya tari Ngrema yang dirintisnya sebagai tari Ngrema gaya personal
pengreman-nya.
Wahyudiyanto
137
Menari Bagian IV
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

yang berbeda, penonton yang berbeda, situasi berbeda, suasana hati


juga berbeda, gairah menaripun berbeda.
Bagi pengreman, penonton merupakan pihak yang cukup
menentukan kondisi seorang pengreman di dalam menyajikan Tari
Ngrema. Semangat akan bertambah apabila jumlah penonton banyak,
terlebih ada perhatian di dalam menonton. Semangat itu akan me-
munculkan sikap pengreman untuk membuat penyajian Ngremanya
berbeda. Ada upaya agar tidak membuat penonton bosan, terlebih
penyajiannya di tempat yang pernah disinggahi berulang kali, upaya
yang dilakukan adalah ukil yakni menambah, mengganti, atau meng-
kreasi kembali ragam-ragam gerak yang sudah biasa dilakukan.
Bagi penari Ngrema, penyajian Tari Ngrema tampak bergairah
dan disukai penonton adalah prinsip yang pertama. Persaingan antar
pengreman sepertinya tidak terjadi, yang dilakukan oleh pengreman
adalah berusaha tampil sebaik-baiknya. Mengingat bahwa di dalam
perkumpulan Ludruk, setidaknya terdapat dua hingga tiga pengre-
man. Dua gaya berbeda dan satu pengreman sebagai persiapan
apabila keduanya tidak dapat hadir karena berhalangan atau hal lain.
Seperti dikatakan oleh narasumber yang penulis wawancarai bahwa
untuk bisa Ngrema benar kalau sudah tidak merasakan apa-apa26,
artinya menari Ngrema apabila masih terbebani segala hal terkait
gerakan, memainkan sampur, gongseng, apalagi ngidung, berarti
belum Ngrema. Saya (nara-sumber) menjadi seperti sekarang ini
adalah karena kemerdekaan belajar dengan cara nyebeng dan ukil

26 Pemahaman tidak merasakan apa-apa dalam hal menari Ngrema yang dikatakan
Narasumber (Maulan Joko Pitono) adalah sebagai berikut; kita ini bukan siapa-siapa,
kita Ngrema itu orang lain yang hadir dalam diri kita, dalam jiwa kita, badan kita
hanyalah wadah yang dipergunakan untuk orang lain, kita bergerak ya bergerak saja,
mengalir tanpa ada yang menghalangi karna kita sudah satu dengan karawitan. Saya
pikir pengrema-pengreman dulu mungkin ya begitu, setelah nyebeng dirasa cukup,
ukil-nya sudah selesai, ya mengalir saja, seperti tidak merasakan apa-apa kecuali
membayangkan seakan hadir dalam diri kita sosok yang kita bayangkan. Kalau sudah
begitu tubuh kita seperti bergetar, bulu-bulu di permukaan badan rasanya berdiri
semua. Menari rasanya semakin gemregut saja, setelah Ngrema, baru dirasakan ngos-
ngosan (Pitono, wawancara 29 Mei 2017).
Wahyudiyanto
138
Menari Bagian IV
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

yang saya lakukan. Belajar dengan cara sekolah seperti sekarang ini,
saya mungkin tidak seperti sekarang ini, harus ini, harus itu, tidak
merdeka, tidak ada ukil. Nyebeng dan ukil adalah merdeka. Melalui
nyebeng kita belajar dari solah langsung, cara berbusananya langsung,
cara rias wajah langsung, cara ngidung langsung, dan perilakunya
langsung tanpa harus diketahui oleh senior yang kita hadap langsung.
Akibat dari nyebeng, saya (narasumber) mendapatkan modal
kembangan gerak dan merasakan gerakan-gerakannya, selanjutnya
kita utak atik (ukil), yaitu kita tambah, kita kurangi, atau kita ubah
sesuai dengan enaknya tubuh kita selaras dengan rasa gendhing.
Perubahan gerak yang enak kita rasakan dan mendapat perhatian
positif dari penonton, berikutnya akan menjadi kebiasaan. Peruba-
han-perubahan gerak yang saya lakukan itu lambat laun bisa saya
rasakan enaknya (Jawa = kepenak). Memang ada gunjingan, atau
malah sanjungan dari teman pengreman lain tentang Ngrema yang
saya sajikan. Hal itu menjadi bahan pemikiran dan pertimbangan
untuk dipergunakan atau tidak. Semua berjalan demokratis tidak ada
tekanan tentang apapun dari siapapun. Kita diterima di mana-mana
karena kita dianggap bisa dan begitu sebaliknya (Pitono, Wawancara
29 Mei 2017., 6 April 2018).
Informasi dari paparan di atas penting untuk dicatat beberapa
hal: 1). belajar adalah dasar untuk memperoleh pemahaman penge-
tahuan dan penguasaan secara benar dan baik, 2) penerapan penge-
tahuan di tengah-tengah masyarakat (penonton) merupakan bentuk
ujian dan pembuktian apakah kita lulus atau tidak. Lulus dimaknai
telah memiliki kemampuan melaksanakan gerakan sesuai dengan
pola kendangan (ngomah), mampu mengikuti irama (ritme dan
tempo) gendhing dengan gera-kan tarinya (laras), mampu menyajikan
Tari Ngrema sepenuh jiwa sehingga dapat dirasakan greget (ngayati),
dan mampu memberikan pertunjukan yang dapat memenuhi kepan-
tasan dan atau rasa budaya (trep), dan 3) apabila kita lulus akan
diterima di mana-mana dan begitu sebaliknya. Tiga catatan ini adalah

Wahyudiyanto
139
Menari Bagian IV
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

wujud dari cara belajar para calon penari Ngrema Ludruk sampai
menjadi pengreman Ludruk.
Upaya menguasai gerakan dan kidungan, menguasai rias
wajah hingga memunculkan karakter secara visual, upaya menguasai
berbusana agar dapat mendukung penyajian, enak dipandang, dapat
menguatkan karakter dan memenuhi kepantasan masyarakat dilaku-
kan berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun, hingga dalam
hitungan tak berhingga karena tidak mungkin lagi dapat dihitung.
Seluruh hidup pengreman didedikasikan kecintaan kepada Tari
Ngrema dalam Ludruk yang menjadi profesinya. Seniti sebagai dasar
pengabdian kepada hidup berkesenian untuk memberikan kebaha-
giaan batin sendiri, masyarakat dan kebudayaannya dilakukan de-
ngan sepenuh jiwa dan raganya.
Untuk mampu menari dengan baik dan benar selanjut-nya
adalah dengan jalan nyajen. Nyajen dari kata sajen atau sesajian27 oleh
Supriyanto dikatakan sebagai uborampe atau perlengkapan dari suatu
kegiatan ritual yang lazim dilakukan oleh orang Jawa yang meng-
hayati nilai-nilai kejawaan atau kepercayaan kepada roh leluhur yang
telah mendahului. Ritual dilakukan untuk mendapatkan respon positif
dari para roh leluhur, di antaranya untuk mendapatkan ketente-
raman, kenyamanan, kebahagiaan, dan keselamatan hidup, atau
setidaknya tidak mengganggu pada kegiatan yang sedang dilakukan.
Seperti pada pertunjukan Lerok Besutan, Besut melakukan ritual di
atas pentas melakukan penghormatan ke empat penjuru mata angin
(timur, selatan, barat, dan utara) setelah itu melakukan gerakan tari
Rena-rena di atas pentas dilengkapi dengan sajen (sesajian) (Supri-
yanto 1982, 45).
Secara historis, kegiatan ritual nyajen pada pertunjukan Tari
Ngrema dalam Ludruk tidaklah putus, hingga saat sekarang ini

27 Sesajian atau sajen pada kegiatan Lerok Besutan terdiri dari; a) suruh ayu, kinangan

lengkap dengan sirih warna kuning, b) gedhang ayu (pisang raja satu tandan), c)kain
putih (bahasa Jawa = lawe), d) uang logam (bahasa Jawa; duwit saren).
Wahyudiyanto
140
Menari Bagian IV
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

momen itu tetap dilakukan. Peneliti mendapati infor-masi dari nara-


sumber utama Maulan Joko Pitono pengreman dan narasumber lain
pada Ludruk Karya Budaya Mojokerto. Bahwa pengreman dalam
melaksanakan tugas kepenariannya tak lepas dari kegiatan ritual. Ada
beberapa alasan kenapa pengreman melakukan kegiatan ritual.
Pertama, sebagai manusia seperti pada umumnya masya-
rakat Jawa, meskipun telah memiliki keyakinan agama resmi, ada
naluri untuk mengikuti kepercayaan leluhur yang telah diwarisi dari
para guru dan orang tua. Narsumber mengatakan ada ungkapan
filosofi Jawa yang disebut; nuhoni dawuhe guru. Kedua, membutuhkan
pertolongan dan perlindu-ngan dari Sang Pencipta melalui cara-cara
tertentu. Dalam ung-kapan filosofi ini manusia Jawa tidak pernah
lepas dari peran orang tua dan guru. Orang tua adalah ayah dan ibu
kandung, guru adalah siapa saja yang sudah tua atau yang masih
muda dari sisi usia tetapi mempunyai peran penting ikut nggulo-
wentah merawat secara fisik, pengetahuan, dan spriritual. Guru yang
seringkali memiliki peran nggulowentah inilah yang dipercayai dan
dilaksanakan nasehatnya.
Ketiga, sebagai makhluk sosial manusia membutuhkan tali
silaturrahmi yang teguh, dan diperlukan upaya untuk mencapainya.
Narasumber adalah seniman penari Tari Ngrema, pekerjaan sebagai
penari Ngrema dianggap sebagai laku jalan hidupnya untuk kehidu-
pan sekarang ini dan sebagai bekal untuk kehidupan nanti28, oleh
karena itu segala hal terkait de-ngan kepenarian diupayakan dengan
sungguh-sungguh. Kese-hatan raga dan jiwa dijaga sebaik-baiknya,
kemampuan dasar teknik gerak yang dipersyaratkan untuk dikuasai
sebagai “piranti” kepenarian diupayakan penguasaannya dengan
usaha yang keras. Termasuk ritual dan nyajen adalah aspek spiritual
merupakan cara mendapatkan kemampuan non teknis (semboga)
untuk menguatkan kemampuan dan kualitas kepenarian.

28Pernyataan Pitono perihal berkesenian sebagai “laku” dan bekal hidup saat ini
adalah di dunia ini dan untuk hidup nanti adalah hidup di alam lain setelah hidup di
dunia ini (Pitono, wawancara 2018, 29 Mei).
Wahyudiyanto
141
Menari Bagian IV
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

Nyajen, yang selanjutnya disebut nyemboga adalah me-


nyiapkan dan memenuhkan uborampe untuk mendapatkan kekuatan
sepiritual (semboga) sesuai hajatnya. Narasumber sebagai seniman
penari untuk menguatkan kepenariannya memerlukan kegiatan ritu-
al. Tujuannya adalah sebagaimana disebutkan sebelumnya, yakni
untuk; 1) agar didapatkan legitimasi sebagai pelaku adat yakni nuhoni
dawuhe guru, 2) terwujudnya permohonan dan perlindungan dari
leluhur dan Yang Maha Kuasa, 3) dikuasainya penghayatan psikologis
dan kekuatan spiritual untuk membangun silaturrahmi. Cara yang
dilakukan adalah; (a) selalu mengingat tanggal, hari kelahiran, dengan
menggunakan perhitungan pasaran (kalender Jawa). Peringatan hari
kelahiran -weton– penting untuk dilakukan karena pada hari
kelahiran dimulainya curahan; rejeki, jodho, lan pati. Oleh sebab itu,
(b) diperlukan ritual selamatan untuk memperi-ngatinya.
Ritual peringatan weton kelahiran dikaitkan langsung dengan
kepenarian Ngrema. Katerkaitan weton dan kepenarian terletak pada
penggunaan sajian29 sebagai syarat kelengkapan, dan mengundang
beberapa kerabat atau tetangga dekat untuk acara slametan (selama-
tan) yang dikenal dengan nama kenduri. Doa untuk peringatan weton
diperdengarkan oleh pembaca yang dilakukan dengan dua macam
cara yakni doa cara Arab (Islam) dan doa cara Jawa. Setelah selama-
tan weton selesai dilaksanakan, yang punya hajad (narasumber)
melakukan ritual doa sendiri ditujukan untuk kepenariannya. Pada
waktu senggang pada hari itu, empunya hajat membaca hafalan doa
atau akrab disebut amalan yang diberi oleh guru spiritualnya.
Ritual dan doa oleh narasumber dilakukan bertahun-tahun.
Menurut pengakuannya, doa membuat hatinya menjadi tenang, tente-

29 Sajian untuk ritual peringatan kelahiran –weton- adalah: 1) bubur sengkala (bubur
warna merah dan putih) masing-masing satu lepek (piring kecil tempat tatakan
cangkir), 2) nasi putih satu lepek dibentuk seperti gunungan, 3) satu telur ayam rebus
ditaruh di atas nasi, 4) lima buah lombok kecil (jemprit) ditancapkan melingkar di
lereng nasi gunungan, 5) kembang telon (bunga tiga warna) atau kembang kum
(bunga 3-4 warna direndam dalam gelas diisi separuh air), 6) satu bungkus rokok
kesukaannya, dan 7) bakar dupa/kemenyan (Joko Pitono, wawancara 29 Mei 2018)
Wahyudiyanto
142
Menari Bagian IV
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

ram, dan yang penting lagi mantap melakukan setiap kali naik
panggung menari Ngrema. Tidak ada keraguan apa lagi was-was,
setiap pertunjukan berjalan lancar dan membawa keberhasilan,
kesuksesan, dan keselamatan dalam melaksanakan pertunjukan
Ngrema.
Kejadian yang dianggap positif diceritakan narasumber
kepada peneliti terutama hal-hal yang menurut peneliti sebagai
peristiwa luar biasa, misalnya penonton yang terdiam ketika Joko
Pitono naik panggung karena terkesima melihat penampi-lannya.
Selepas pentas dan turun panggung Joko Pitono didata-ngi beberapa
penonton hingga ke dalam krombongan tempat awak Ludruk berhias
sekedar memberi ucapan selamat atas penampilannya dan segala
macam ucapan yang bernada pujian. Pesona narasumber tidak
berhenti di atas panggung, hingga di dalam krombongan setelah
pentas selalu didatangi penggemar laki-laki, perempuan, tua dan
muda, terutama wanita yang menunjukkan ketertarikan tak lepas dari
pesona narasumber di atas panggung. (Karya, Hengky, Sunarto,
wawancara 29 Mei 2018).
Terlepas dari sifat subyektifitas berbagai pernyataan nara-
sumber, pada kenyataannya prestasi narasumber terbilang luar biasa,
berbagai kejuaraan lomba Tari Ngrema Ludruk dan penghargaan atas
kemenangan lomba telah dipersembahkan kepada perkum-pulan
Ludruk yang pernah menaunginya. Narasumber hingga saat sekarang
ini pada usia yang sudah tidak muda lagi tetap menjadi “idola” dan
terbaik sebagai penari Ngrema dalam Ludruk. Banyak penggemar
fanatik yang selalu menunggu penampilannya.
Tidak pada satu perkumpulan Ludruk saja yang ingin
menggunakan jasa narasumber untuk menyajikan pertunjukan Tari
Ngrema, terdapat perkumpulan Ludruk lain yang ingin memanfaat-
kan keunggulan Tari Ngrema narasumber. Tujuan menggunakan jasa
pengreman berkualitas diharapkan dapat mengangkat popularitas
Ludruk yang dipimpinnya, diantaranya Ludruk RRI Surabaya, Ludruk
Wahyudiyanto
143
Menari Bagian IV
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

Karya Baru, Budi Wijaya dari Jombang dan Ludruk Irama Budaya dari
Surabaya. Bahwa kinestetik merupakan jaminan keberhasilan nara-
sumber dalam menari Ngrema. Salah satu cara mencapainya adalah
melalui jalan nyajen atau nyemboga yakni cara spiritual yang ditu-
jukan kepada Yang Maha Kuasa dan para leluhurnya.
Demikian itu merupakan salah satu cara untuk dapat menari
dengan baik dan benar, tentu ada cara lain dan lain lagi cara-cara
yang dapat ditempuh untk dapat menari dengak kualitas maksimum.
Melalui cara akademis seperti disinggung pada pembahasan sebelum-
nya (bagian II) juga dapat dilakukan agar menjadi trampil dan sesuai
dengan kaidah dasar gerak tari sebagaimana dalam tradisi budaya
tari yang dimaksud. Bahwa pada hakekatnya untuk dapat menari
sesuai dengan budaya tari dimana tari itu tumbuh dan berkembang
memiliki cara sendiri-sendiri khas budaya tarinya.

Wahyudiyanto
144
Menari Bagian V
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

BAGIAN V

PENUTUP
Kesimpulan

Menari, tautan imajinasi dan rasionalitas melihat secara kritis


fakta tari dalam kehidupan membudayanya. Bahwa kebenaran,
keindahan, dan kebaikan yang dijadikan orientasi perwujudan tari
merupakan keniscayaan yang menyeruak. Fakta yang dapat disaksi-
kan dengan jelas adalah keberadaan tari tradisi kita. Tradisi sebagai
kristalisasi perilaku masyarakat yang mentransformasi ke dalam tari
merupakan kebenaran, keindahan, dan kebaikan yang hakiki. Tiga
faktor yang mewujud di dalam tari tersebut mencurah ke dalam
elemen tari melahirkan teknik-teknik dan kinestetik. Teknik mene-
rapkan norma dasar tari, menyeimbangkan imaji dan akal sehat.
Kinestetik memproses objek material dan ide dasar menciptakan
karakteristik kearifan lokal. Rasa budaya kemudian membuncah
mengabarkan nuansa dan citra identitas.
Menari merupakan tradisi tari yang ditetaskan oleh tari
tradisi untuk menebarkan berjuta aroma kebenaran, keindahan dan
kebaikan yang menjadi norma hidup masyarakat seantero nusantara.
Hakekat tradisi tari dan tari tradisi telah berurat dan berakar dalam
Wahyudiyanto
145
Menari Bagian V
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

kehidupan masyarakat yang mampu memberi umpan balik sekaligus


solusi atas berbagai degradasi: budaya, norma, etika, dan keretakan
sosial akibat berbagai infotaintmen yang melanda dunia. Tradisi tari
dan tari tradisi adalah perekat jalinan premordial yang mampu
menyatukan wawasan budaya dan mampu melindungi pondasi ideo-
logis kenusantaraan dari goncangan budaya massa instan yang telah
nyata menyeruak ke dalam rumah setiap kita.
Bukan anti budaya dunia tetapi antisipasi ekses negatif yang
dibawa serta. Tentu ada nilai positis dari budaya dunia yang juga
melanda pada tari. Boleh saja meretas jalan baru, mencoba membe-
baskan material tradisi ke dalam dunia baru tari kita, tatapi kita
diingatkan tiga faktor utama isi tari kita, kebenaran, keindahan, dan
kebaikan. Kita juga boleh berpegang erat pada tradisi tari yaitu tari
tradisi kita, tetapi tidak harus menjauh dari budaya tari dunia baru itu
yang telah nyata memapar sedemikian rupa. Akal sehat atau rasio-
nalitas mesti kita jadikan panduan untuk berpegang di dalam kehi-
dupan tari kita. Menyusun tari tradisi, berdasar ide konseptual dan
material tradis, atau yang bukan tradisi di tengah dunia yang sema-
kin terhubung dan terpapar oleh budaya dunia, kita semakin memer-
lukan rasionalitas. Eksotika saja tidaklah cukup, Keterbukaan saja
juga tidak memadahi karena akan terjerembab dalam fetitisme
artistik.
Rasionalitas merupakan kesadaran baru yang musti diperhi-
tungkan karena dalam hal imajinasi kita telah melampauinya dengan
baik dan nyaris sempurna. Oleh sebab itu tautan keduannya akan
tetap dapat menempatkan tradisi tari kita pada kebenaran, keinda-
han, dan kebaikan yang dimiliki juga oleh institusi-institusi yang akan
dijadikan ajang gelar tari kita. Tari tetap akan mampu berbicara
estetis, politis, ideologis, filosofis, ekonomis, terapis, dan sekedar
hiburan. Sebenarnya saja, pencipta tari telah memiliki perspektif
tentang rasionalitas, demikian pula yang menari, dan juga yang mem-
butuhkan tari. Ketikan tari hadir mampu memenuhi dunia pikir, rasa,

Wahyudiyanto
146
Menari Bagian V
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

intuisi, emajinasi, dan rasa indah setiap orang di dalam kesendirian


ataupun bersama sama di situ dapat dikatakan tari telah mema-suki
wilayah imajinasi dan rasionalitas.

Wahyudiyanto
147

Menari Daftar Pustaka


Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

DAFTAR PUSTAKA
Adshead, Janet. 1988. Dance Analysis, London: Cecil Court.
Bandem, Made, I. 2000. Etnologi Tari Bali, Denpasar: Kerjasama
Forum Apresiasi Kebudayaan Denpasar Bali dan Kanisius.
Bruner, Edward M. 1987. “Experience and Its Expressions” dalam The
Anthropology of Experience, diedit oleh Turner, Victor W. &
Bruner, Edward M (eds). Urbana. Cicago: University of
Illinois Press (hal. 1-30).
Chaya, I Nyoman. 2003. “Penari Bukan Robot”, dalam Seni Dalam
Berbagai Wacana: Mengenang 20 Tahun Kepergian Gendhon
Humardani, Surakarta: Program Pendidikan Pascasarjana
STSI Surakarta.
Gardner, Howard. 1939. Multiple Intelligences. Diterjemahkan oleh
Alexander Sindoro. Kecerdasan Majemuk Teori Dalam
Praktek. 2003. Jakarta: Interaksara.
Hadi, Y. Sumandiyo. 2005 Sosiologi Tari, Sebuah telaah Kritis yang
Mengulas tari dari sisi zaman ke zaman: primitif, tradisional,
modern, hingga kontemporer.

Wahyudiyanto
148

Menari Daftar Pustaka


Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

Hadi, Y. Sumandiyo. 2013. Tari Klasik Gaya Yogyakarta: Legitimasi


Warisan Budaya, Lembah Manah.
Hadi, Y. Sumandiyo 2017a. Koreografi: Bentuk-Teknik-Isi, edisi revisi,
Yogyakarta: Cipta Media.
Hadi, Y. Sumandiyo. 2017b. Koreografi Ruang Prosenium, Yogyakarta:
Cipta Media &BP. ISI Yogyakarta
Gazalba. S. 1997. Sistematika Filsafat. Cetakan ke-2. Cetakan pertama
tahun 1973. Bulan Bintan Jakarta.
Hawkins, Alma M. 2002. Moving From Within: A New Method for
Dance Making, (ed.), diterjemahkan I Wayan Dibia dengan
Judul Bergerak Menurut Kata Hati, Jakarta: Masyarakat Seni
Pertunjukan Indonesia.
Jelantik, M.A.A. 1999. Estetika Sebuah Pengantar. Bangung:
Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI).
Kayam, Umar. 1981. Seni Tradisi Masyarakat, Jakarta: Sinar Harapan.
Kayam, Umar. 1985. Beberapa Bentuk Seni Tradisional Jawa. Jakarta:
Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Kussudiardjo, Bagong. 1981, Tentang Tari, Yogyakarta: Nur Cahya.
Kussudiardjo, Bagong 1992. Dari Klasik Hingga Kontemporer,
Yogyakarta: Padepokan Press.
Kussudiardjo, Bagong 1993. Olah Seni Sebuah Pengalaman, Yogya-
karta: Padepokan Press.
Langer, Susan. K. 1957. “Problems of Art: The Philosophical Lecture”.
New York: Charles Scribner’s Son. Diterjemahkan oleh FX.
Widaryanto dalam Judul Problematika Seni.
Murgiyanto, Sal. 1981, Koreografi, Jakarta: Pusat Pengembangan
Kesenian (PPK) DKI Jakarta.
Murgiyanto, Sal. 1986. Komposisi Tari, dalam Pengetahuan Elemen
dan Beberapa Masalah Tari, Jakarta: Direktorat Kesnian.

Wahyudiyanto
149

Menari Daftar Pustaka


Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

Murgiyanto, Sal, 1996. “Calrawala Pertunjukan Budaya”, Mengkaji


Batas dan Arti Pertunjukan, dalam Seni Pertun-jukan
Indonesia, Jurnal Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia
(MSPI), Yogyakarta; Yayasan Bentang Budaya.
Murgiyanto, Sal, 2002, Kritik Tari, Bekal dan Kemampuan Dasar.
Jakarta: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.
Murgiyanto, Sal. 2004Tradisi dan Inovasi, Beberapa Masalah Tari di
indonesia, Jakarta. Wedatama Widya Sastra
Murgiyanto, Sl, 2018. Pertunjukan Budaya dan Akal Sehat. Jakarta.
Fakultas Seni Pertunjukan, IKJ & Komunitas SENREPITA
Prabawa, Wahyu Santoso, 1990. “Bedhaya Anglirmendhung Monu-
men Perjuangan Mangkunegara I 1757 – 1988. Tesis S-2
Probgram Pascasarjana, Universitas Gajag Mada Yogyakarta.
Prabawa, Wahyu Santoso, 2007. Tari Wireng Gaya SurakartaReflesi
Kearifan Budaya”. (Pidato Dies Natalis XLIII ISI Surakarta, 14
Juli 2007), 30-31.
Pritatini, Nanik Sri dkk, 2007. Ilmu Tari Joget Tradisi Gaya Kasunanan
Surakarta, Surakarta, ISI Press Solo.
Rochana W. Sri, 1997, Pendidikan Tari di Lembaga Formal (Tinjauan
Mengenia Pembentukan Penari) Dalam Jurnal Seni Wilet.
Surakarta. Sekolat Tinggi Seni Indonesia Surakarta
Rochana W. Sri, 2004. Sejarah Tari Bambyong, Seni Rakyat Menuju
Istana. Surakarta, Citra Etnika Surakarta.
Rochana W. Sri, 2012. Revitalisasi Tari Gaya Surakarta, Surakarta ISI
Press.
Rochana W. Sri, 2014, Pengantar Koreografi. Surakarta, ISI Press Solo
Rusini, 1999. “Tari Bedhaya Suryosumirat, kreasi Pura Mangku-
negaran di akhir abad XX”. Laporan Penelitian STSI Surakarta.
Reality, Tim. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia, ejaan yang
disempurnakan, Surabaya: Reality Publiser.

Wahyudiyanto
150

Menari Daftar Pustaka


Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

Saebani, B. A. Filsafat Ilmu Kontemplasi Filosofis Tentang Seluk Beluk


Sumber dan Tujuan Ilmu Pengetahuan. CV Pustaka Setia.
Bandung.
Sedyawati, Edi. 1981. Pertumbuhan Seni Pertunjukan, Jakarta: Sinar
Harapan. Seri Esni No. 4.
Sedyawati, Edi 1981. Seni Pertunjukan, Jakarta: Sinar Kasih.
Sedyawati, Edi 1984. Tari, Tinjauan Dari Beberapa Segi, Jakarta:
Pustaka Jaya.
Sedyawati, Edi 1986.“Tari Sebagai Salah Satu Pernyataan Budaya”,
dalam Pengetahuan Elementer Tari Dan Beberapa Masalah
Tari, Jakarta: Direktorat Kesenian.
Soedarsono. 1972. Jawa dan Bali, Dua Pusat Perkembangan Dramatari
di Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Soedarsono 1978. Diktat Pengantar Pengetahuan dan Komposisi Tari.
Yogyakarta: ASTI Yogyakarta.
Sunarto, Bambang. 2013. Epistemologi Penciptaan Seni. Yogyakarta.
CV. Idea Sejahtera.
Sri Rochana W. 1997, Pendidikan Tari di Lembaga Formal (Tinjauan
Mengenai Pembentukan penari) Dalam Jurnal Seni Wilet.
Surakarta. Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta.
The Liang Gie, 2004. Filsafat Seni Sebuah Pengantar, Yogyakarta:
Pusat Belajar Ilmu Berguna (PUBIB).
Wahyudiyanto. 2008. Kepahlawanan Tari Ngrema Surabayan Refleksi
Cita, Citra, Dan Politik Identitas Dalam Ruang Estetik.
Surakarta, ISI Press Solo.
Wahyudiyanto. 2008. Pengetahuan Tari. Surakarta. ISI Press.
Wahyudiyanto, 2009. Wajah Tari Dalam Perspektif. Surakarta. ISI
Surakarta Press.
Widyastutieningrum, Rochana Sri. 1997, Pendidikan Tari di Lembaga
Formal (Tinjauan Mengenai Pembentukan penari) Dalam

Wahyudiyanto
151

Menari Daftar Pustaka


Tautan Imajinasi dan Rasionalitas

Jurnal Seni Wilet. Surakarta. Sekolah Tinggi Seni Indonesia


Surakarta.
Widyastutieningrum, Rochana Sri. 2007. Tayub di Blora Jawa Tengah
Pertunjukan Ritual Kerakyatan. Surakarta. Pascasarjana ISI
Press.
Widaryanto, FX. 2005 Kritik Tari, Gaya, Struktut, dan Makna.
Bandung: Kelir.

Daftar Narasumber

Bambang Sukma Pribadi (58) Guru SMK 12 Surabaya (Seniman


Karawitan Jawa Timuran. Prima Kebraon 607, Kebraon,
Karangpilang, Surabaya.
Edy Susanto (Edi Karya) (62) Pimmpinan Ludruk Karya Budaya
Mojokerto. Jetis, Canggu, Mojokerto.
Hengky Tandiono (59) Seniman Ludruk RRI Surabaya. Kapasan,
Simokerto, Surabaya.
Kukuh Setyo Budi Akhrianto (53), PNS, Karyawan RRI, Pimpinan
Ludruk RRI Surabaya. Kedungdoro, Sidomukti, Sawahan,
Surabaya.
Maulan Joko Pitono (69), Pengreman Ludruk, Jember.
Sunarto (64) Pengendang Karawitan pada Ludruk Karya Budaya
Mojokerto. Baratwetan, Mojokerto.

Wahyudiyanto

Anda mungkin juga menyukai