Menari
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
PENGANTAR PENULIS
Buku ini ditulis untuk melihat peta tradisi menari yang telah
lama menggejala di hadapan kita. Menari sebagai fenomena komuni-
kasi kinestetik estetik semakin diminati khalayak luas. Gugus model
estetik sebagai pilihan minat menari juga tampak beragam. Kondisi
demikian bukan lagi wacana tetapi entitas faktual yang dapat diamati
di lapangan. Semarak Pertunjukan tari yang tersebar di berbagai
institusi menjadi penanda bahwa menari merupakan sarana efektif
untuk mengabarkan apa saja yang urgen untuk dikabarkan. Bahkan di
tengah kondi-si pandemik yang menghentikan seluruh aktivitas
budaya, menari dilakukan di rumah saja dan tetap bergaung di sosial
media.
Ada sebuah kesadaran bahwa komunikasi kinestetik estetik
efektif mengabarkan kebenaran, keindahan, dan kebaikan khas local
wisdom. Bahwa manari bukan sekedar pameran gerak di atas pentas.
Manari mengajak pemirsanya untuk bersama-sama memahami dan
Wahyudiyanto
iv
Menari
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
syukur mampu dan mau menghayati nilai tiga aspek filosofis yang
ideologis tersebut. Bahwa nilai kearifan lokal telah mengidentitas
pada lokus budaya melalui tautan imajinasi dan rasionalitas. Kesada-
ran itupun mewabah dan memapar ke berbagai komunitas yang juga
non disipin tari.
Apa sebenarnya yang terjadi pada dunia menari, buku ini
mengajak mendiskusikan fenomena itu pada berbagai dimensi. Tradi-
si tari yang beragam jenis dan macam menetaskan potensi artistik,
mengajak menari untuk berbagai dimensi itu. Menari untuk manari
itu sendiri, menari untuk pelestari tradisi, menari untuk terapi dan
menari untuk melepas rasa senang. Konteks menari sebagai seniman
juga perlu disoal karena cap menari sebagai seniman terlanjur men-
jadi trade mark yang menunjukkan eksistensi profesionalitas maksi-
mal. Pada sisi lain strategi konvensional untuk menjadi agen infor-
masi kinestetik estitik menghasilkan kompetensi menari pada skala
mumpuni. Pada titik berikutnya strategi konvensional tersebut telah
menjadi ajaran pada institusi kesenian tertentu untuk meretas
generasi muda dengan potensi yang sama.
Buku ini diharapkan dapat memberi motivasi kepada penggiat
tari, pecinta tari, pemerhari tari, pengguna tari, dan kepada semua
pihak yang ada keinginan untuk mengembangkan sikap rasionalitas
dan imajinasi dengan cara meretas profesionalitas melalui jalan
menari.
Wahyudiyanto
v
Menari
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
BAGIAN I
DAFTAR ISI
BAGIAN II 18
YANG SESUNGGUHNYA ADA DALAM TARI DAN MANARI 18
Tari Adalah Teknik Kinestetik dan Bentuk Estetik 18
Teknik Dalam Tari 23
Kinestetik Dalam Tari 30
Estetika Dalam Tari 35
Permainan Labirin 37
Impresi 58
Menari Dengan Jiwa 59
Menari Adalah Seniman 64
Menari Untuk Interpretasi 68
Menari Untuk Curahan Hati 72
Menari Untuk Kontemplasi 76
Wahyudiyanto
vi
Menari
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
BAGIAN III 82
MENARI FUNGSI DAN TUJUAN 82
Menari UntukMenari Itu Sendiri 82
Menari Untuk Pelestari Tradisi 98
Menari Untuk Profesi 104
Menari Untuk Kesenangan 108
Menari Untuk Terapi 112
BAGIAN IV 120
MENJADI PENARI 120
Kesanggupan Diri 120
Wawasan Pengetahuan Tubuh 123
Keterbatasan Tubuh dan Kekuantan Ungkap Tari 124
Wawasan dan Penghayatan Budaya 126
Persiapan Menjadi Penari 133
BAGIAN V 144
PENUTUP 144
Kesimpulan 144
Daftar Pustaka 147
Daftar Narasumber 151
Wahyudiyanto
vii
Menari
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
DAFTAR GAMBAR
Bambar. 1 Tari Klono Topeng gaya Surakarta kualitas 26
gagah
Gambar. 2 Penerapan kaidah teknik dasar gerak tari gaya 27
Yogyakarta kualitas gagah
Gambar. 3 Tari Ngrema Surabayan 30
Gambar. 4 Komposisi dan gerak tradisi yang mengalami 46
perluasan
Gambar. 5 Komposisi dan gerak standend menciptakan 49
artistik yang menawan
Gambar. 6 Komposisi dan gerak lamban membawa 50
tampah di atas kepala. Satu penari mengangkat
kaki lurus tinggi-tinggi untuk menunjukkan
keseimbangan
Gambar. 7 Komposisi dan gerak memperlihatkan 51
dinamisasi gerak dan ruangnya.
Gambar. 8 Komposisi dan gerak memperlihatkan stamina 54
Wahyudiyanto
viii
Menari
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
Wahyudiyanto
ix
Menari
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
Wahyudiyanto
x
Menari
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
penari profesional
Gambar. 37 Menari Jejer Paju Gandrung membaur dengan 109
masyarakat
Gambar. 38 Menari Srampang dua belas dalam 110
kegembiraan dengan kerampakan kaki
Gambar. 39 Anak-anak menari gembira dalam tari gembira 111
ciptaan Bagong Kussudiardjo
Gambar. 40 Kegembiraan anak-anak menari tari bermain 111
dalam festival tari anak
Gambar. 41 Menari dalam kegembiraan ditengah hujan 117
(biji kedelai)
Gambar. 42 Menari dalam posisi yoga yang tenang dan 117
damai
Gambar. 43 Srikandi berhadapan dengan Sang Bisma 118
Kakeknya sendiri sebagai wujud darma
Gambar. 44 Menari dalam Opera Diponegoro pada 118
peristiwa Perang Jawa 1825-1830
Gambar. 45 Menari dalam kegembiraan Tari Rantak 119
Wahyudiyanto
1
Menari Bagian. I
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
BAGIAN I
MENARI
DI ANTARA
WACANA DAN REALITA
Wahyudiyanto
2
Menari Bagian. I
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
tentu akan menjadi rancu juga ketika kita menyaksikan senam air,
senam lantai, dan loncat indah adalah menggerakkan tubuh yang
indah disertai musik. Tindakan itu dikatakan sebagai olah raga.
Lantas apa yang membedakan menari dengan olah raga, sementara
senam air, senam lantai, dan loncat indah adalah gerakan tubuh yang
menggunakan musik dikataka olah raga. Lantas faktor apa yang
membedakan keduanya.
Konon, moto olah raga adalah, orang menggerakan tubuh
supaya bugar dan sehat. Sedangkan, moto tari adalah manusia meng-
gerakkan tubuh untuk mengungkapkan perasaan, pikiran, cita-cita
dan harapan-harapan, orang kemudian mengatakan gerak tubuh yang
berjiwa. Dari rumusan ini, tari mendapatkan posisinya yang lebih
mendalam adalah gerakan tubuh yang berirama dan berjiwa. Itulah
kemudian tari dan menari menemukan rumusan moto yang lebih baik
dan tepat diposisikan sebagai nilai filosofi yaitu tubuh yang bergerak,
berirama, dan berjiwa. Bahwa menari adalah menyampai-kan atau
mengungkapkan pikiran, perasaan, cita-cita dan harapan-harapan
melalui medium gerak yang berirama. Lagi pula, dengan menari,
tubuhpun menjedi segar, bugar, dan sehat karena tubuh dan seluruh
anggotanya aktif bergerak. Namun dapat disampaikan di sini bahwa
perbedaan mendasar menari dan olah raga terletak pada tujuan.
Menari bermaksut untuk menyampaikan gagasan, cita-cita, harapan-
harapan, dan impian-impian. Adapun olah raga tiada lain tujuannya
adalah agar tubuh sehat, segar, dan bugar.
Pengalaman empiris menggambarkan bahwa menari memiliki
sederet tingkatan yang menunjukkan strata kualifikasi dan kompe-
tensi. Pada pembahasan terdahulu menyebutkan secara harfiah,
menari sekedar kesenangan karena seseorang mendapai apa yang
diinginkan Tetapi jika (meminjam istilah Murgiyanto)-- tidak setiap
orang yang berolah raga dikatakan sebagai ‘olah ragawan’-- maka
orang yang sekedar menggerakkan tubuh untuk sekedar kesenangan
Wahyudiyanto
3
Menari Bagian. I
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
Menari Bagian. I
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
Menari Bagian. I
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
Menari Bagian. I
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
Menari Bagian. I
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
Wahyudiyanto
8
Menari Bagian. I
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
Menari Bagian. I
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
Wahyudiyanto
10
Menari Bagian. I
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
Wahyudiyanto
11
Menari Bagian. I
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
Wahyudiyanto
12
Menari Bagian. I
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
dan kepenarian juga tidak selalu berbanding lurus dengan tata nilai
kehidupan masyarakat. Tari dan menari ternyata keberadaannya juga
tak jarang mendapat perlawanan dan bahkan kutukan dari individu
dan masyarakat.
Ada banyak kasus di berbagai tempat, dalam suatu pertun-
jukan tari mendapat sering juga mendapat kritikan bahkan ada upaya
untuk menghentikan pertunjukannya. Keberadaan tari sebagai eksis-
tensi budaya kemanusiaan ternyata harus pula mempertimbangkan
tata hubungan dengan pihak lain yang menganut tata nilai atau norma
yang paradoks dengannya. Ketika suatu kepercayaan, keyakinan,
pandangan-pandangan hidup, dan agama-agama tumbuh subur mem-
bawa sejumlah perilaku cerminan dari doktrin ajarannya. Agama-
agama langit yang mempercayakan sepenuhnya kepada suara Tuhan
mengambil dasar keyakinannya melalui teks-teks kitab suci. Demiki-
an pula agama bumi sebagai hasil kebudayaan manusia juga menyan-
darkan tata kehidupannya pada hasil kontemplasi orang suci dengan
alam semesta. Kedua kutub agama ini dalam beberapa hal memiliki
pemahaman yang sama dan dalam hal yang lain berbeda dalam
implementasinya.
Moral adalah ajaran agama bersifat universal tetapi imple-
mentasinya bisa sangat lokal bahkan cenderung individual. Sebuah
doktrin dalam suatu agama tentang menutup aurat misalnya; meski-
pun batas-batasnya jelas secara syar’i (aturan) tetapi wujudnya
berbeda-beda ketika diaplikasikan oleh umat dalam kebudayaan yang
berbeda. Maka di situlah tafsir pelaksanaan ajaran agama menjadi
bervariasi meskipun batas-batasnya tetap saja sama. Dalam konteks
pelaksanaan sebuah keyakinan ternyata sarat dengan tafsir. Maka
tafsir orang yang satu dengan orang lain berbeda, kelompok yang satu
dengan kelompok lain cenderung tidak sama dan kadang terlihat
bertentangan satu sama lain. Tafsir tentang norma dalam kebudayaan
yang satu berbeda dengan kebudayaan yang lain. Ketika tafsir diper-
Wahyudiyanto
13
Menari Bagian. I
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
Wahyudiyanto
14
Menari Bagian. I
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
Menari Bagian. I
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
Menari Bagian. I
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
Menari Bagian. I
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
Wahyudiyanto
18
Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
BAGIAN II
Wahyudiyanto
19
Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
Wahyudiyanto
21
Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
Wahyudiyanto
24
Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
kerakyatan, dan kraton) menghasilkan kualitas yang bebeda. Masyarakat primitif dan
kerakyatan cenderung menghasilkan bentuk dan teknik gerak tari yang bertumpu
pada ritme yang sederhana dan statis atau “ajeg”. Masyarakat kraton menghasilkan
tari klasik dengana bentuk dan teknik gerak yang lebih tertata, lebih rumit, penuh
variasi dari yang primitive maupun kerakyatan. 2) kepribadian, menghasilkan ciri
individual yang kuat. 3) tipe tubuh. Tubuh kurus tinggi menghasilkan gerakan yang
lebih ringan atau ada kesan melayang dibandingkan dengan tipe tubuh gempal yang
cenderung memberikan kesan berat. 4) Latar belakang budaya. Tari klasik dari Barat
cenderung melayang-layang dengan concatan-loncatan. Kaki merupakan instrument
tubuh yang penting untuk gerakan on air. Tari klasik dari Timur lebih membumi.
Gerakan tangan lebih dominan. 5) Geografi. Daerah pantai lebih menghasilkan tari
dengan gerakan mengambang dan rigan. Daerah pedalaman menghasilkan tari
dengan gerakan yang berrtumpu pada tanah yang tampak rasa berat dan kokoh (Hadi
2017.a, 53-54).
Wahyudiyanto
25
Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
Gambar. 2 Penerapan kaidah teknik dasar gerak tari gaya Yogyakarta kualitas gagah
Dok. Youtube. 24 April 2020
Wahyudiyanto
28
Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
tari. Sikap dasar bentuk gerak pada Tari Jawa Gatutkaca Rusman
dijadikan orientasi oleh Munali Patah dalam meramu gerak pencak
silat untuk dijadikan sikap dasar bentuk gerak Tari Ngrema Suraba-
yan.
Hingga generasi sekarang, sikap dasar teknik gerak Tari Ngre-
ma Surabayan tampak jelas didapati unsur-unsur sikap dasar bentuk
gerak yang relatif sama dengan pendahulunya. Hal ini disebabkan
Tari Ngrema Surabayan memiliki kaidah sikap dasar teknik gerak
yang disebut; ‘asisapaponglati’ (adeg, siku, sabet, pacak, polatan,
nglaras, dan ngayati). Tujuh (7) sikap dasar gerak tari Ngrema
Surabayan ini merupakan pencapaian teknik olah raga (wiraga) dan
olah rasa (wirasa). Teknik olah raga mensyaratkan ketrampilan
penari pada pencapaian kualitas gerak tubuh5, hasilnya adalah seleh
raga, yaitu gerak tubuh yang luluh6 (menyatu) dengan pikiran. Teknik
olah rasa adalah kemampuan penjiwaan atau pengha-yatan terhadap
gerak yang terkait dengan irama, hasilnya adalah seleh irama, yaitu
kesesuaian gerak dengan irama. Kemampuan penjiwaan atau
penghayatan terhadap gerak yang terkait dengan tema tari, hasilnya
seleh rasa, yaitu gerak bersama irama yang dapat menciptakan
karakter. Pencapaian ketrampilan dan kemampuan olah raga dan
olah rasa adalah; seleh raga, seleh irama, dan seleh rasa (Wibisono
2015, 40).
Pathokan baku sikap dasar gerak pada Tari Ngrema
Surabayan sebagaimana disinggung pada bahasan sebelumnya ada
tujuh (7) macam, di antaranya adalah; adeg, siku, sabet, pacak,
sekedar instrumen yang dimainkan tetapi juga yang memainkan. Gerak yang
timbul ketika menari tidak lahir atas dasar perintah pikir atau rasa, melainkan
seluruh bagian dari tubuh itu seolah-olah punya rasa, jiwa, nafas atau kehidupan
sendiri (Suanda 1999, 6)
Wahyudiyanto
30
Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
polatan, nglaras, dan ngayati. Lima (5) sikap dasar gerak (adeg, siku,
sabet, pacak, polatan) berkaitan dengan hubungan gerak dengan
gerak, adapun nglaras adalah hubungan gerak dengan irama, dan
ngayati adalah hubungan gerak dengan rasa yang ditimbulkan oleh
penjiwaan atau penghayatan terhadap tema tari. Penerapan asisa-
paponglati pada Tari Ngrema Surabayan dapat diperhatikan pada
gambar. 3.
7Gerak kinetik tubuh manusia dalam pembahasan ini ditujukan pada gerakan tubuh
untuk kegiatan tari dan bukan untuk keperluan lain seperti misalnya gerakan olah
raga. Terdapat perbedaan mendasar gerak tubuh manusia untuk tari dan gerak untuk
Wahyudiyanto
31
Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
olah raga. Gerakan tari memiliki tujuan sebagai sarana ungkapan gagasan-gagasan
untuk menyampaikan pesan kemanusiaan. Gerak olah raga untuk memenuhi moto
olah raga yakni, sehat dan bugar.
8 Ketrampilan bergerak oleh Gardner dikatakan sebagai kemampuan fisik yang lebih
Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
9 Tema yang muncul dalam rasa gerak disebabkan oleh, 1) tema gerak, merupakan
rangkaian gerak yang terdapat di dalamnya transisi-trasisi. Secara umum tema gerak
dibentuk oleh; a) gerak murni (pure dance) dan b) gerak tipe studi (study) “abstrak”
yaitu memandang gerak sebagai materi utama tari, c) liris (lyrical), yaitu gerak puitis,
4) komikal (comical), gerak yang lucu humoris. 2) tema cerita, yaitu tarian literal
yang menggunakan cerita tertentu, dan 3) tema simbolik, yaitu tarian yang bermakna
dan terdapat pesan yang bernilai dengan adanya keterhubungan “struktur luar” dan
“stuktur dalam” (Hadi 2017.a, 58-68).
10 Energi mental oleh Sumandiyo Hadi (2017, 46) dikatakan sebagai energi non fisik
yakni emosi tari.
11 Simbol tari selain gerak sebagai medium utama adalah: tata rias, tata busana, tata
musik, tata ruang dalam komposisi, dan juga suara (dialog, sair tembang –kidung--)
jika ada.
Wahyudiyanto
33
Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
Wahyudiyanto
36
Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
Wahyudiyanto
37
Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
Permainan Labirin
Jika tari tradisi sudah memiliki panduan sebagai pijakan
untuk menjadi penari dan menari tari tradisi yang baik dan sempurna
sesuai kaidah dasar teknik gerak, kinesteik dan bentuk estetiknya,
lantas bagaimana dengan tari yang dalam kategori bukan tradisi atau
non tradisi. Ada tari modern, post-modern, dan tari kontemporer
yang juga tumbuh berkembang di masyarakat dan juga dikalangan
akademis. Apa pijakan mereka dalam melakukan teknik bergerak,
berkinestetik, dan hasil estetiknya. Di Surabaya pada empat tahun
terakir terdapat event festival pertunjukan tari bertajuk Sawung
Dance Festival yang dihelat di Gedung Pertunjukan Cak Durasim
Taman Budaya Jawa Timur di Surabaya, tepatnya Jalan Genteng Kali
Nomor 85. Nomor-nomor tari yang dipertunjukkan tidak biasa,
artinya Gedung Pertunjukan Cak Durasim yang notabene milik
pemerintah setiap kali menggelar pertunjukan selalu berlebel Gelar
Seni Budaya daerah yang selanjunya disingkat GSB. Adalah program
rutin pemerintah yang diwakili Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Propinsi Jawa Timur untuk mewadahi seni pertunjukan di Jawa
Timur yang tersebar di sejumlah 33 Kabu-paten Kota. Sementara itu,
“Sawung Dance Festival” adalah program nonjob12 yang dimotori anak
muda di Surabaya yang ingin beda di dalam menunjukkan jati diri
dalam berkesenian. Pada kesempatan ini kita coba menelusurinya.
Istilah kontemporer memang tak hentihentinya menjadi
perdebatan. Kontroversi akan selalu terjadi ketika sebuah event
dicantumi predikat modern, postmodern, dan kontemporer. Semen-
tara klasik dan tradisi relatif sepi dari diskursus perdebatan, karena
seni dalam kurun waktu jauh di belakang itu dianggap memiliki
12 Nonjob dalam tulisan ini dimaksudkan sebagai kegiatan yang dilaksanakan oleh
pihak yang tidak memiliki kaitan langsung dengan organisasi yang memiliki sumber-
sumber vital, yakni instansi organisasi yang memiliki kepastian program dan acuan-
nya, pelaksanaan dan penganggaran, tempat dihelatnya kegiatan, dan laporan
seluruh mata rantai kegiatan terprogramnya.
Wahyudiyanto
38
Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
13Baca Sal Murgiyato dalam: Membaca Sardono: Penari-Penata Tari, Penjelajah dan
Pemikir Budaya (tidak dipublikasikan).
Wahyudiyanto
39
Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
dan kembangnya tari. Dona ingin, yang dikerjakan ini dapat memberi
rasa lega bahwa tari tradisi dapat dikreasi ulang menjadi format
berbeda, tidak biasa dan lebih terbuka. Penerimaan oleh khalayak
merupakan jawaban dari keinginan memberi rasa lega tersebut.
Tari Gendraningyas terdiri dari lima frasa dinamis dibangun
atas sifat dasar manusia, meliputi; gelisah, kalut, religius, semangat,
dan tenang/damai. Meminjam tokoh Dewi Sekartaji sebagai interpre-
tasi karakteristik Dona mengemas dalam bentuk garapan baru
mengacu pada gerakan-gerakan tari pada wayang topeng dalang dari
Malang. Diawali kehadiran bayangan sosok penari perempuan meme-
gang topeng14. Di belakang layar dalam remang siluet, wajah penari
menghadap dekat pada topeng bergerak meliuk, mengibaskan rambut
yang tergerai panjang, memutar penuh dengan cepat kembali pada
arah hadap semula. Perlahan, diam, lampu redum dan gelap.
Seketika cahaya lampu temaram menerpa panggung utama.
Terlihat keremangan lima penari perempuan berbalut kain putih
memegang topeng. Menggunakan desain bawah, formasi penari
duduk zig-zag posisi masing-masing tidak sama. Seoran penari di
urutan dua dari deretan paling kanan, duduk tidak lazim berlaku
dalam tari tradisi, tiba-tiba tangan kanan menggerakkan topeng diha-
dapkan dekat pada muka. Tangan kiri direntangkan tinggi berlawa-
nan arah dengan gerak tangan kanan, membentuk ruang membuka.
Perlahan, dan diam. Disusul tiba-tiba gerakan berguling penari
berikutnya yang duduk pada urut ke empat deretan paling kanan.
Berguling lagi ke tempat semula membentuk pose gerak yang sama
dengan penari pertama. Dilanjutkan gerakan bersama dimulai meng-
angkat topeng dari tempat paling bawah (lantai) menuju ke atas
14 Topeng yang dikenakan dalam garap tari ini adalah topeng Sekartaji khas
Malangan tetapi mengalami perombagan wujudnya. Motif Jaman dan atau mahkota
kepala dihilangkan dan wajah diubah menjadi sedikit tersenyum.
Wahyudiyanto
44
Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
15 Penari ular yang acap kali didapati dalam berbagai kesempatan pentas adalah
seorang perempuan dengan kostum busana minim membawa ular sebagai media
untuk eksplorasi berbagai gerakan “erotis”. Tidak ditemukan kepastian fokabuler
gerak yang dapat membangun konstruksi koreografinya. Kesan umum adalah impro-
fisasi dan sensasi yang dirangsang oleh alunan musik hingar bingar.
Wahyudiyanto
45
Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
16 Gerak mapan adalah gerak yang memanfaatkan organ-organ tubuh yang telah
mendapatkan kepastian bentuk dan tekniknya. Kepastian bentuk merupakan konven-
si yang memberi gambaran bentuk dan teknik dan bersifat mengatur.
Wahyudiyanto
46
Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
Wahyudiyanto
47
Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
Manusia itu punya rasa…. rasa ingin tampil baik, rasa ingin
selalu terlihat sempurna, juga rasa ingin selalu dianggap
update. Cara manusia selalu berbeda beda untuk mencapai
keinginannya, namun mereka tidak tahu apa dampak bagi
dirinya sendiri. Ya…. begitulah manusia ingin selalu exist
diantara manusia yang lain. Harusnya mereka bersyukur
dengan apa adanya mereka.
Wahyudiyanto
48
Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
Wahyudiyanto
49
Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
Gambar. 6 Komposisi dan gerak lamban membawa tampah di atas kepala. Satu penari
mengangkat kaki lurus tinggi-tinggi untuk menunjukkan keseimbangan
Dok. Wahyudiyanto, 2016
Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
karya exist ini. Pada sisi lain exist membangun emosi keseluruhan
terasa terputus-putus karena tiba-tiba dan tiba-tiba lagi penari
menghentikan gerak dan emosinya sekaligus.
Wahyudiyanto
54
Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
Gambar. 8 Komposisi dan gerak memperlihatkan stamina berat untuk mencapai ekspresi
dengan bentuk dan teknik yang sempurna
Dok. Wahyudiyanto, 2016
Wahyudiyanto
55
Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
Sinopsis:
Samubarang kang ana ing awak etanku..
Tak gawe kanca mlaku tak gawe bondo sangu..
Samubarang kang ana ing awak etanku..
Tak gandoli saben aku mlayu..
Samubarang kang ana ing awak etanku..
Dadi cekelanku nakoni saya njeru..
Samubarang kang ana ing awak etanku..
Dadi sarana ngemong ragaku..
18
Cahyo melantunkan kidung Jula-juli di tempat lazimnya MC membacakan acara
pertunjukan yaitu di sudut kiri depan bawah panggung utama
Wahyudiyanto
56
Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
Wahyudiyanto
57
Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
Gambar. 10 Pengembangan gerak yang masih Gambar. 11 Pengembangan gerak yang tidak
pada nafas konvensi ada nafas konvensi
Dok. Wahyudiyanto, 2016 Dok. Wahyudiyanto, 2016
Wahyudiyanto
58
Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
Impresi
Mencermati enam nomor pertunjukan Sawung Dance Festival
penulis memberi apresiasi bahwa kontemporer dipahami oleh peser-
ta festival dalam beberapa sudut pandang:
1. Gagasan tematik bersifat personal, merupakan gejala
pragmatis sebagai tanggapan atas fenomena yang berkem-
bang di lingkungan masyarakat. Tematikal ini merupakan
narasi dari afeksi kemanusiaan untuk dimaknakan sebagai
tawaran nilai-nilai.
2. Ketubuhan merupakan faktor utama memberikan makna
bagi yang telah lama ada untuk diartikulasikan ke dalam
konteks kekinian yang berbeda. Ketubuhan adalah konsep
praksis sebagai pernyataan final memberi jawaban bahwa
proses interaksi untuk membangun pengalaman baru
harus dicitrakan oleh tubuh. Maka ketubuhan adalah pa-
radikma dalam perspektif penciptaan baru. Namun di
dalam memaknai tubuh sebagai mediator penyampai ga-
gasan, peserta dibatasi oleh tingkat pemahamannya terha-
dap kontemporer, sehingga eksplorasinya terhadap tradisi
mecapai polarisasi yang berbeda.
3. Inovasi adalah taraf dimana kemajuan masih ditentukan
oleh sesuatu yang sudah ada mendahului sebelumnya.
Tidak ada kata “bimsalabim” atau “kun fayakun” untuk
mendatangkan nilai baru yang baru sama sekali.
4. Teknik melekat pada setiap bentuk gerak yang dihasilkan
dari setiap eksplorasi pada tubuh dan anggota-anggo-
tanya. Kesungguhan dan totalitas dalam melaksanakan
gerakan adalah moto kepenarian pada momen iniuntuk
dapat menghasilkan kualitas gerak dan bentuk-bentuknya
Wahyudiyanto
59
Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
Wahyudiyanto
60
Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
inspirasi total kepada era selanjutnya. Tarian dalam era inilah yang
mengambil dan memutus jalan tari tradisi untuk hidup dan perkem-
ba-ngannya sendiri.
Tentu masih banyak lagi wujud tarian dengan tampilan,
karakter, cara, rupa, tujuan, fungsi dan gunanya sendiri-sendiri. Kea-
daan alamiah dalam kebudayaannya-lah yang mewujudkan keselu-
ruhan bentuk, citra, dan pesonanya. Kondisi demikian itu selanjutnya
kita menjadi tahu bahwa tari adalah endapan bati-niah kebudayaan
individu dan kebudayaan masyarakat mengejawantah dalam bentuk
bahasa gerak, sehingga dapat dikatakan tari adalah inti kebudayaan
masyarakat pemangkunya. Sebagai inti kebudayaan maka kehadiran-
nya bukan wadah tanpa isi, bukan rupa tanpa makna, bukan misi
tanpa fungsi, tetapi entitas yang sarat citra diri. Ia menggambarkan
ideologi tuan yang melahirkannya. Perwujudannya memberi penanda
suatu lokus. Rupa dan perilakunya adalah identitas pemiliknya. Maka
tari adalah pelajaran dan pembelajaran kebudayaan yang berkesi-
nambungan. Tari adalah bahasa komunikasi kinestetis yang filosofis,
historis, ideologis, humanis, dan sekaligus rekreatif yang ekonomis.
Maka dalam konteks ini penari adalah bagian dari kebudayaan yang
peranannya sebagai media komunikasi estetis yang sangat penting.
Signifikansinya tertelak pada ketulusan dalam pengejawantahannya.
Dengan demikian anggapan bahwa tari sekedar seonggok tubuh
berlenggak-lenggok di atas pentas tanpa makna tentu tidak layak
dikenakan padanya.
Berbicara lebih serius mengenai penari mengapa ia ada,
bagaimana, untuk apa, mana buktinya, menjadi penting terkait
dengan kedudukanya sebagai dari konteks kebudayaannya. Mene-
ngok lagi jauh ke belakang, sejarah tari telah memberi informasi
penting bahwa tari pada masa-masa awal adalah cara manusia berko-
munikasi dengan Illah-Illah mereka (lihat Wahyudiyanto dalam
Wajah Tari dalam Perspektif 2011). Bahkan Helen Poynor dalam
Wahyudiyanto
63
Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
Wahyudiyanto
64
Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
Wahyudiyanto
65
Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
Wahyudiyanto
66
Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
Wahyudiyanto
67
Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
Wahyudiyanto
68
Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
yang sejajar dengan karakter Arjuna dalam Wayang Orang. Cara yang
dilakukan adalah membuat pola-pola gerak baru melalui pengga-
rapan gerak yang lebih rinci dengan mempertimbangkan garis gerak,
volume gerak, tempo, ritme, dan penggunaan energi pada gerak.
Pembentukan pola baru pada gerak didasarkan kebutuhan untuk
membangun bentuk, situasi, ketrampilan, karakter dan teknik pelak-
sanaan gerak untuk disesuaikan dengan gagasan baru.
Gerak yang telah dipola ulang membentuk ragam-ragam
gerak baru dan terstruktur menciptakan kerangka koreografi Tari
Ngrema yang baru. Kerangka koreografi baru, oleh Munali Patah
ditarikan atau digerakkan dengan cara mengandaikan dirinya sebagai
Cakraningrat ketika sedang melaksanakan gerakan-gerakan Tari
Ngrema. Mengandaikan dirinya sebagai Cakraningrat adalah cara
interpretasi atau penafsiran. Dengan demikian kinestetik merupakan
dasar yang menyebabkan dapat dihadirkannya karakter Cakraningrat
pada Tari Ngrema. Penafsiran terhadap karakter Cakraningrat dengan
menggunakan gerak yang dipolakan melalui penggarapan tempo yang
lebih dinamis merupakan cara membangun kerangka koreografi baru
Tari Ngrema hingga penyajiannya dapat dirasakan seakan hadir figur
tokoh Cakraningrat pada gerakan-gerakannya.
Tari Ngrema yang digerakkan atau ditarikan Munali Patah
disebut Tari Ngrema Surabayan kemudian dikenal dengan tarian
satriya yang ningrat19. Seluruh unsur gerak (bahan, energi, ruang, dan
waktu) digarap disesuaikan dengan kebutuhan ungkap karakter
satria yang ningrat. Berikutnya dilengkapi dengan rias wajah, tata
19 Pernyataan dari seorang pengamat atau juri lomba tari Ngrema di Surabaya pada
tanggal 9 Mei 2018 oleh Bambang Sukma Pribadi. I. Nengah Mariasa, juga Juri pada
lomba tari Ngrema di Surabaya tingkat final pada tanggal. 13 Mei 2018 menyatakan
bahwa tari Ngrema adalah “satriya” dari kalangan masyarakat yang memiliki status
sosial bangsawan, sehingga tari Ngrema adalah tarian “ ningrat”. Menurut hemat
peneliti, yang dimaksud “ningrat” dalam pernyataan pengamat tari tersebut adalah
status sosial bangsawan, dalam hal ini adalah “Cakraningrat”.
Wahyudiyanto
72
Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
yang hadir dalam tari adalah emosi tari dan bukan emosi dalam
kehidupan keseharian.
Emosi manusia merupakan kesadaran intelektual, logika, dan
kesadaran mental spiritual manusia dalam kehidupannya. Bahwa
tingkat kekuatan emosi manusia dipengaruhi dan bahkan ditentukan
oleh kesadaran intelektual, logika dan mental sepiritualnya. Tari ada-
lah emosi kehidupan keseharian yang telah mengalami pengolahan,
atau emosi keseharian yang dikenai garap. Karena pada dasarnya
emosi adalah energi yang keluar dari tubuh manusia. Dalam kehidu-
pan keseharian, emosi manusia keluar begitu saja tanpa ada pengen-
dalian. Kemarahan misalnya adalah emosi yang keluar seringkali
tanpa ada kendali, demikian pula perasaan senang, sedih, rindu, benci
dan perasaan-perasaan lainnya. Dalam tari, emosi-emosi tersebut
mengalami pengaturan, yaitu pengaturan irama energi emosi untuk
ditata, diselaraskan dengan kebutuhan energiemosi tari yang
berirama. Energi emosi yang vulgar keseharian digarap untuk meng-
hasilkan energiemosi tari yang imajinatif berirama.
Menari dengan membawa hemosi yang imajinatif berirama,
dengan kekuatan teknik dan kinestetik yang baik akan mampu
mencurahkan daya pukau bagi penonton. Itulah pesona menari yang
dijiwai oleh kesadaran intelektual, logika, dan mental spiritual yang
dikemas dalam gerak tubuh berpola dalam irama energiemosi yang
proporsional segaris lurus dengan pengalaman, pengetahuan, budaya,
dan selera pemirsa-nya. Maka menari dalam kapasitas sebagai penari
yang seniman adalah kemampuannya menata irama energiemosi
disamping menata gerak hingga berwujud pola-pola. Kemampuan
yang berkualitas membangun citra baru yang bukan perilaku hidup
keseharian. Kemampuan menciptakan kondisi imajiner yang ada di
dunia idea tetapi nyata dalam ruang pertunjukan dan dapat membuat
situasi takjub bagi pemirsanya (perhatikan gambar. 13).
Wahyudiyanto
74
Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
Gambar. 14 Menari curahan hati rasa cinta sang pemuda kepada pemudi,
tetapi ditolak oleh pemudi
Dok. Youtube. 2016
Wahyudiyanto
76
Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
Gambar. 16 Menari untuk ketenangan jiwa (Tanura Dance) bentuk tarian kontemplatif
Dok. Youtube, 1 Mei 2020
Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
rat, 1943. Wedhapradangga. Naskah tulisan tangan huruf Jawa yang ditransliterasi-
kan oleh R. Nwiranto Wijoyosuwarno (1972), kemudian disunting oleh Sri Hastanto
dan Sugeng Nugraha (1990), P. 54-55.
Wahyudiyanto
81
Menari Bagian. II
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
Wahyudiyanto
82
BAGIAN III
MENARI
FUNGSI DAN TUJUAN
nya, juga tari, teater, musik, dan sastra. Jika pematung mengerjakan
projek mereplika manusia dalam berbagai ukuran, maka kostruk
proporsional tubuh tetap dirujuk untuk mewujudkan tiruan manusi.
Jika Sastrawan menyusun lirik untuk kebutuhan lagu pada suatu jenis
musik, maka yang dibicarakan adalah tentang kenyataan manusia
hubungannya dengan lingkungan. Karena dalam membentuk kalimat
pasti memenuhi kaidah kebahasaan yaitu dapat dipahami secara baik
oleh pemersanya, dan seterusnya dan seterusnya. Maka sebenarnya
ada hukum kausalitas bahwa wujud kesenian adalah keindahannya
sendiri dan tetap memperhatikan rasionalitas. Wujud keindahan
kesenian dapat sangat subyektif berdasarkan individu dan kolektif
penyangganya, tetapi kaidah informasinya dapat bersifat rasional
yang universal. Dengan demikian maka imajinasi sebagai pengem-
bangan wujud esteiknya, sementara itu gagasan nilai sebagai dasar
penciptaan seninya bersifat rasional dan universal.
Namun dalam perjalanan kebudayaan dan peradaban manu-
sia di muka bumi ini terjadi reduksi diberbagai nilai, yang rasionali-
tasnya bersifat universal dilokalkan dan bahkan di sub lokalkan.
Lahirnya lembaga-lembaga, adat, dan tradisi dalam suatu negara
adalah fakta empiris yang mereduksi berbagai nilai yang dimaksud.
Tari, yang sebenarnya adalah gerak tubuh manusia secara universal,
selanjutnya menjadi tari tradisi negara tertentu, bahkan sub negara
dalam kepulauan tertentu. Lebih kecil lagi dalam tradisi adat budaya
tertentu. Maka tari dari siftnya yang universal mengecil menjadi
tradisi adat budaya masyarakat tertentu. Gagasan yang bernilai
universal mengecil menjadi kearifan lokal tertentu. Keindahannya
mengecil didasarkan oleh kebiasaan kehidupan keseharian masya-
rakat tertentu, oleh sistem mata pencaharian tertentu, kepercayaan
dan ideology tertentu. Tari adalah gambaran nyata dari sifat reduksi
nilai yang universal menjadi kearifan lokal.
Kearifan lokal selanjutnya menjadi kebenaran universal keti-
ka paradigma budaya (pramodern, modern, dan pascamodern) hidup
Wahyudiyanto
84
Wahyudiyanto
88
Gambar. 22 I Made Jimat menarikan tari topeng dari tradisi Tari Bali
Dok. Youtube. 29 April 2020
Wahyudiyanto
91
Gambar. 23 Ibu Suci sedang memerankan tokoh Klana Sewandana karakter gagah
Dok. Youtub. 24, April 2020
Wahyudiyanto
92
Wahyudiyanto
93
7. Farida Utoyo dai Solo Jawa Tengah. Karena sejak kecil hidup
dan tinggal di Luar negeri, Farida Utoyo dikenal sebagai
Maetro Balet Indonesia.
Wahyudiyanto
96
11. Eko Supriyanto, akrab dengan sebutan Eko Pece berawal dari
belajar tari kerakyatan seperti tari Jathilan, Kubro-siswo, dan
tari tradisi gaya Surakarta, nama Eko Pece melesat karena
sebagai penari latar dalam lagu-lagu penyanyi terkenal
Madona. Sebagai penari dan koreo-grafer pada karya-karyanya
sendiri juga sebagai penari dan koreografi pada karya film
Garin Nugoho, dan begitu banyak kerja sama penciptaan tari
dan kepenarian bertaraf nasional dan internasional.
Wahyudiyanto
98
Pendidikan tari, tak lain adalah agar terdidik dapat dan mam-
pu secara professional menangani pekerjaan yang berkaitan dengan
Wahyudiyanto
105
Wahyudiyanto
107
Wahyudiyanto
109
Wahyudiyanto
110
Wahyudiyanto
111
Gambar. 40 Kegembiraan anak-anak menari tari bermain dalam festival tari anak
Dok. Youtube. 30 April 2020
Wahyudiyanto
112
Wahyudiyanto
113
Wahyudiyanto
117
Wahyudiyanto
118
Gambar. 44 Menari dalam Opera Diponegoro pada peristiwa Perang Jawa 1825-1830
Dok. Youtube, 30 April 2020
Wahyudiyanto
119
Wahyudiyanto
120
Menari Bagian IV
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
BAGIAN IV
MENJADI PENARI
Kesanggupan Diri
Konstruksi anatomi dan sistem biologis manusia adalah sama.
Ada wujud dan bentuk tubuh yang berdaging, berotot, bertulang,
berdarah, fungsi jantung, pernafasan, pencernaan, sistem saraf dan
seluruh aspek fisik sama di dalam membentuk konstruk badan
manusia (kecuali ada kelainan). Aspek non fisikpun sama. Ada piki-
ran, perasaan emosi, jiwa, naluri, intuisi, dan penyebab kehidupanpun
sama yaitu “Roh”. Jadi, jika dike-lompokkan hidup manusia tercipta
atas tiga hal, badan fisik, Jiwa dan fungsi saraf (badan non fisik –bio
flasma--), dan roh. Tiga faktor inilah manusia hidup dan menjalani
kehidupannya. Ciri utama manusia hidup adalah bergerak beraktifitas
(jawa= urip), penyebab gerak aktifitas adalah energi (jawa=-urup),
berinteraksi, bersosialisasi, berkolaborasi (Jawa=urap).
Segala hal yang berkaitan dengan energi mengalami proses
pengaturan. Pengaturan hidup manusia bersumber dari fungsi
jantung, jantung yang berdetak, atau detak jantung. Detak jantung
Wahyudiyanto
121
Menari Bagian IV
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
kadang cepat sekali, cepat, kurang cepat, lambat, dan berhenti (mati).
Itulah energi, bahwa pusat energi manusia ada di fungsi jantung.
Fungsi jantung menciptakan irama hidup hingga irama kehidupan
manusia. Ketika manusia marah, bersemangat, takut, kalut dan
sejenenisnya, jantung berdetak cepat bahkan sangat cepat. Pada saat
manusia gembira ria, bahagia dan sejenisnya, jantung berdetak stabil
landai. Apabila manusia mengalami disfungsi organ tubuh vital,
Jantung berdetak lambat, melambat hingga berhenti (mati). Cepat
sekali, cepat, setabil, lambat, lambat sekali, adalah gambaran hidup
tubuh manu-sia. Marah, kalut, semangat, gembira ria, bahagia, sedih,
suntuk dan sejenisnya, itu cermin kehidupan pribadi dan social manu-
sia.
Gambaran di atas menjelaskan bahwa hidup dan kehidu-pan
manusia di dasarkan atas peraturan dan pengaturan. Peraturan dan
pengaturan merupakan proses organik dari energi dalam badan
manusia yang membentuk pola. Detak jantung membentuk pola
irama kinetik. Emosi manusia menciptakan pola irama kehidupan
manusia. Bahwa manusia dari segala sesuatu yang dia kerjakan ber-
dampak pada emosi merupakan subyek dari peraturan dan penga-
turan membentuk pola irama kehidupannya. Pikiran, perasaan, dan
tindakan merupakan subyek dari irama yang berpola. Tari, tak lebih
dan tak kurang merupakan cermianan dari hidup dan kehidupan
manusia.
Wahyudiyanto
122
Menari Bagian IV
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
Wahyudiyanto
126
Menari Bagian IV
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
Wahyudiyanto
129
Menari Bagian IV
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
Wahyudiyanto
130
Menari Bagian IV
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
Wahyudiyanto
131
Menari Bagian IV
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
Wahyudiyanto
132
Menari Bagian IV
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
Wahyudiyanto
133
Menari Bagian IV
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
23 Kumungguhan dari kata mungguh (Jawa) berarti selaras, sepadan, trep, cocok,
sesuai.
Wahyudiyanto
134
Menari Bagian IV
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
24 24 Nyebeng adalah belajar penari Ngrema awal (yunior) yang dilakukan dengan
cara menyaksikan secara langsung penari senior yang sedang menjalani pentas di
atas panggung pertunjukan Ludruk. Menyaksikan secara langsung dilakukan di
berbagai tempat (di samping, di depan, dan di belakang panggung). Nyebeng
merupakan cara belajar yang lazim dan wajib dilakukaan oleh penari Ngrema yunior
kepada para senior karena tidak terdapat cara belajar system sekolah yang
berhadapan guru dengan murid. Nyebeng adalah cara belajar murid aktif
menyaksikan dan menyerap ketrampilan kidungan, gerak, rias, busana, karakter, dan
perilaku atau sikap menari di atas panggung secara langsung dari seniornya (Karya
wawancara 2018, 6 Juni)
Wahyudiyanto
135
Menari Bagian IV
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
25Gladen dari kata gladi (Jawa)- berlatih (Indonesia). Dalam pembahasan ini, gladen
diterjemakan menjadi sebuah pengertian berlatih terus menerus yang dilakukan
dengan cara menyajikan tari Ngrema pada khalayak di atas entas pertunjukan
Ludruk. Gladen dilakukan tidak mengenal batas waktu hingga dikatakan pengreman
dapat mencapai gaya tari Ngrema yang dirintisnya sebagai tari Ngrema gaya personal
pengreman-nya.
Wahyudiyanto
137
Menari Bagian IV
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
26 Pemahaman tidak merasakan apa-apa dalam hal menari Ngrema yang dikatakan
Narasumber (Maulan Joko Pitono) adalah sebagai berikut; kita ini bukan siapa-siapa,
kita Ngrema itu orang lain yang hadir dalam diri kita, dalam jiwa kita, badan kita
hanyalah wadah yang dipergunakan untuk orang lain, kita bergerak ya bergerak saja,
mengalir tanpa ada yang menghalangi karna kita sudah satu dengan karawitan. Saya
pikir pengrema-pengreman dulu mungkin ya begitu, setelah nyebeng dirasa cukup,
ukil-nya sudah selesai, ya mengalir saja, seperti tidak merasakan apa-apa kecuali
membayangkan seakan hadir dalam diri kita sosok yang kita bayangkan. Kalau sudah
begitu tubuh kita seperti bergetar, bulu-bulu di permukaan badan rasanya berdiri
semua. Menari rasanya semakin gemregut saja, setelah Ngrema, baru dirasakan ngos-
ngosan (Pitono, wawancara 29 Mei 2017).
Wahyudiyanto
138
Menari Bagian IV
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
yang saya lakukan. Belajar dengan cara sekolah seperti sekarang ini,
saya mungkin tidak seperti sekarang ini, harus ini, harus itu, tidak
merdeka, tidak ada ukil. Nyebeng dan ukil adalah merdeka. Melalui
nyebeng kita belajar dari solah langsung, cara berbusananya langsung,
cara rias wajah langsung, cara ngidung langsung, dan perilakunya
langsung tanpa harus diketahui oleh senior yang kita hadap langsung.
Akibat dari nyebeng, saya (narasumber) mendapatkan modal
kembangan gerak dan merasakan gerakan-gerakannya, selanjutnya
kita utak atik (ukil), yaitu kita tambah, kita kurangi, atau kita ubah
sesuai dengan enaknya tubuh kita selaras dengan rasa gendhing.
Perubahan gerak yang enak kita rasakan dan mendapat perhatian
positif dari penonton, berikutnya akan menjadi kebiasaan. Peruba-
han-perubahan gerak yang saya lakukan itu lambat laun bisa saya
rasakan enaknya (Jawa = kepenak). Memang ada gunjingan, atau
malah sanjungan dari teman pengreman lain tentang Ngrema yang
saya sajikan. Hal itu menjadi bahan pemikiran dan pertimbangan
untuk dipergunakan atau tidak. Semua berjalan demokratis tidak ada
tekanan tentang apapun dari siapapun. Kita diterima di mana-mana
karena kita dianggap bisa dan begitu sebaliknya (Pitono, Wawancara
29 Mei 2017., 6 April 2018).
Informasi dari paparan di atas penting untuk dicatat beberapa
hal: 1). belajar adalah dasar untuk memperoleh pemahaman penge-
tahuan dan penguasaan secara benar dan baik, 2) penerapan penge-
tahuan di tengah-tengah masyarakat (penonton) merupakan bentuk
ujian dan pembuktian apakah kita lulus atau tidak. Lulus dimaknai
telah memiliki kemampuan melaksanakan gerakan sesuai dengan
pola kendangan (ngomah), mampu mengikuti irama (ritme dan
tempo) gendhing dengan gera-kan tarinya (laras), mampu menyajikan
Tari Ngrema sepenuh jiwa sehingga dapat dirasakan greget (ngayati),
dan mampu memberikan pertunjukan yang dapat memenuhi kepan-
tasan dan atau rasa budaya (trep), dan 3) apabila kita lulus akan
diterima di mana-mana dan begitu sebaliknya. Tiga catatan ini adalah
Wahyudiyanto
139
Menari Bagian IV
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
wujud dari cara belajar para calon penari Ngrema Ludruk sampai
menjadi pengreman Ludruk.
Upaya menguasai gerakan dan kidungan, menguasai rias
wajah hingga memunculkan karakter secara visual, upaya menguasai
berbusana agar dapat mendukung penyajian, enak dipandang, dapat
menguatkan karakter dan memenuhi kepantasan masyarakat dilaku-
kan berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun, hingga dalam
hitungan tak berhingga karena tidak mungkin lagi dapat dihitung.
Seluruh hidup pengreman didedikasikan kecintaan kepada Tari
Ngrema dalam Ludruk yang menjadi profesinya. Seniti sebagai dasar
pengabdian kepada hidup berkesenian untuk memberikan kebaha-
giaan batin sendiri, masyarakat dan kebudayaannya dilakukan de-
ngan sepenuh jiwa dan raganya.
Untuk mampu menari dengan baik dan benar selanjut-nya
adalah dengan jalan nyajen. Nyajen dari kata sajen atau sesajian27 oleh
Supriyanto dikatakan sebagai uborampe atau perlengkapan dari suatu
kegiatan ritual yang lazim dilakukan oleh orang Jawa yang meng-
hayati nilai-nilai kejawaan atau kepercayaan kepada roh leluhur yang
telah mendahului. Ritual dilakukan untuk mendapatkan respon positif
dari para roh leluhur, di antaranya untuk mendapatkan ketente-
raman, kenyamanan, kebahagiaan, dan keselamatan hidup, atau
setidaknya tidak mengganggu pada kegiatan yang sedang dilakukan.
Seperti pada pertunjukan Lerok Besutan, Besut melakukan ritual di
atas pentas melakukan penghormatan ke empat penjuru mata angin
(timur, selatan, barat, dan utara) setelah itu melakukan gerakan tari
Rena-rena di atas pentas dilengkapi dengan sajen (sesajian) (Supri-
yanto 1982, 45).
Secara historis, kegiatan ritual nyajen pada pertunjukan Tari
Ngrema dalam Ludruk tidaklah putus, hingga saat sekarang ini
27 Sesajian atau sajen pada kegiatan Lerok Besutan terdiri dari; a) suruh ayu, kinangan
lengkap dengan sirih warna kuning, b) gedhang ayu (pisang raja satu tandan), c)kain
putih (bahasa Jawa = lawe), d) uang logam (bahasa Jawa; duwit saren).
Wahyudiyanto
140
Menari Bagian IV
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
28Pernyataan Pitono perihal berkesenian sebagai “laku” dan bekal hidup saat ini
adalah di dunia ini dan untuk hidup nanti adalah hidup di alam lain setelah hidup di
dunia ini (Pitono, wawancara 2018, 29 Mei).
Wahyudiyanto
141
Menari Bagian IV
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
29 Sajian untuk ritual peringatan kelahiran –weton- adalah: 1) bubur sengkala (bubur
warna merah dan putih) masing-masing satu lepek (piring kecil tempat tatakan
cangkir), 2) nasi putih satu lepek dibentuk seperti gunungan, 3) satu telur ayam rebus
ditaruh di atas nasi, 4) lima buah lombok kecil (jemprit) ditancapkan melingkar di
lereng nasi gunungan, 5) kembang telon (bunga tiga warna) atau kembang kum
(bunga 3-4 warna direndam dalam gelas diisi separuh air), 6) satu bungkus rokok
kesukaannya, dan 7) bakar dupa/kemenyan (Joko Pitono, wawancara 29 Mei 2018)
Wahyudiyanto
142
Menari Bagian IV
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
ram, dan yang penting lagi mantap melakukan setiap kali naik
panggung menari Ngrema. Tidak ada keraguan apa lagi was-was,
setiap pertunjukan berjalan lancar dan membawa keberhasilan,
kesuksesan, dan keselamatan dalam melaksanakan pertunjukan
Ngrema.
Kejadian yang dianggap positif diceritakan narasumber
kepada peneliti terutama hal-hal yang menurut peneliti sebagai
peristiwa luar biasa, misalnya penonton yang terdiam ketika Joko
Pitono naik panggung karena terkesima melihat penampi-lannya.
Selepas pentas dan turun panggung Joko Pitono didata-ngi beberapa
penonton hingga ke dalam krombongan tempat awak Ludruk berhias
sekedar memberi ucapan selamat atas penampilannya dan segala
macam ucapan yang bernada pujian. Pesona narasumber tidak
berhenti di atas panggung, hingga di dalam krombongan setelah
pentas selalu didatangi penggemar laki-laki, perempuan, tua dan
muda, terutama wanita yang menunjukkan ketertarikan tak lepas dari
pesona narasumber di atas panggung. (Karya, Hengky, Sunarto,
wawancara 29 Mei 2018).
Terlepas dari sifat subyektifitas berbagai pernyataan nara-
sumber, pada kenyataannya prestasi narasumber terbilang luar biasa,
berbagai kejuaraan lomba Tari Ngrema Ludruk dan penghargaan atas
kemenangan lomba telah dipersembahkan kepada perkum-pulan
Ludruk yang pernah menaunginya. Narasumber hingga saat sekarang
ini pada usia yang sudah tidak muda lagi tetap menjadi “idola” dan
terbaik sebagai penari Ngrema dalam Ludruk. Banyak penggemar
fanatik yang selalu menunggu penampilannya.
Tidak pada satu perkumpulan Ludruk saja yang ingin
menggunakan jasa narasumber untuk menyajikan pertunjukan Tari
Ngrema, terdapat perkumpulan Ludruk lain yang ingin memanfaat-
kan keunggulan Tari Ngrema narasumber. Tujuan menggunakan jasa
pengreman berkualitas diharapkan dapat mengangkat popularitas
Ludruk yang dipimpinnya, diantaranya Ludruk RRI Surabaya, Ludruk
Wahyudiyanto
143
Menari Bagian IV
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
Karya Baru, Budi Wijaya dari Jombang dan Ludruk Irama Budaya dari
Surabaya. Bahwa kinestetik merupakan jaminan keberhasilan nara-
sumber dalam menari Ngrema. Salah satu cara mencapainya adalah
melalui jalan nyajen atau nyemboga yakni cara spiritual yang ditu-
jukan kepada Yang Maha Kuasa dan para leluhurnya.
Demikian itu merupakan salah satu cara untuk dapat menari
dengan baik dan benar, tentu ada cara lain dan lain lagi cara-cara
yang dapat ditempuh untk dapat menari dengak kualitas maksimum.
Melalui cara akademis seperti disinggung pada pembahasan sebelum-
nya (bagian II) juga dapat dilakukan agar menjadi trampil dan sesuai
dengan kaidah dasar gerak tari sebagaimana dalam tradisi budaya
tari yang dimaksud. Bahwa pada hakekatnya untuk dapat menari
sesuai dengan budaya tari dimana tari itu tumbuh dan berkembang
memiliki cara sendiri-sendiri khas budaya tarinya.
Wahyudiyanto
144
Menari Bagian V
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
BAGIAN V
PENUTUP
Kesimpulan
Wahyudiyanto
146
Menari Bagian V
Tautan Imajinasi dan Rasionalitas
Wahyudiyanto
147
DAFTAR PUSTAKA
Adshead, Janet. 1988. Dance Analysis, London: Cecil Court.
Bandem, Made, I. 2000. Etnologi Tari Bali, Denpasar: Kerjasama
Forum Apresiasi Kebudayaan Denpasar Bali dan Kanisius.
Bruner, Edward M. 1987. “Experience and Its Expressions” dalam The
Anthropology of Experience, diedit oleh Turner, Victor W. &
Bruner, Edward M (eds). Urbana. Cicago: University of
Illinois Press (hal. 1-30).
Chaya, I Nyoman. 2003. “Penari Bukan Robot”, dalam Seni Dalam
Berbagai Wacana: Mengenang 20 Tahun Kepergian Gendhon
Humardani, Surakarta: Program Pendidikan Pascasarjana
STSI Surakarta.
Gardner, Howard. 1939. Multiple Intelligences. Diterjemahkan oleh
Alexander Sindoro. Kecerdasan Majemuk Teori Dalam
Praktek. 2003. Jakarta: Interaksara.
Hadi, Y. Sumandiyo. 2005 Sosiologi Tari, Sebuah telaah Kritis yang
Mengulas tari dari sisi zaman ke zaman: primitif, tradisional,
modern, hingga kontemporer.
Wahyudiyanto
148
Wahyudiyanto
149
Wahyudiyanto
150
Wahyudiyanto
151
Daftar Narasumber
Wahyudiyanto