Songket digolongkan dalam keluarga tenunan brokat. Songket ditenun dengan tangan dengan
benang emas dan perak dan pada umumnya dikenakan pada acara-acara resmi. Benang logam
metalik yang tertenun berlatar kain menimbulkan efek kemilau cemerlang.
Kata songket berasal dari istilah sungkit dalam bahasa Melayu dan bahasa Indonesia, yang berarti
mengait atau mencungkil. Hal ini berkaitan dengan metode pembuatannya; mengaitkan dan
mengambil sejumput kain tenun, dan kemudian menyelipkan benang emas. Selain itu, menurut
sementara orang, kata songket juga mungkin berasal dari kata songka, peci khas Palembang yang
dipercaya pertama kalinya kebiasaan menenun dengan benang emas dimulai. Isitilah menyongket
berarti menenun dengan benang emas dan perak. Songket adalah kain tenun mewah yang
biasanya dikenakan saat kenduri, perayaan atau pesta. Songket dapat dikenakan melilit tubuh
seperti sarung, disampirkan di bahu, atau sebagai destar atau tanjak, hiasan ikat kepala. Tanjak
adalah semacam topi hiasan kepala yang terbuat dari kain songket yang lazim dipakai oleh sultan
dan pangeran serta bangsawan Kesultanan Melayu.Menurut tradisi, kain songket hanya boleh
ditenun oleh anak dara atau gadis remaja; akan tetapi kini kaum lelaki pun turut menenun
songket.Beberapa kain songket tradisional sumatra memiliki pola yang mengandung makna
tertentu.
Songket harus melalui delapan peringkat sebelum menjadi sepotong kain dan masih ditenun
secara tradisional. Karena penenun biasanya dari desa, tidak mengherankan bahwa motifmotifnya pun dipolakan dengan flora dan fauna lokal. Motif ini juga dinamai dengan kue lokal
Melayu seperti seri kaya, wajik, dan tepung talam, yang diduga merupakan favorit raja.
Menurut hikayat rakyat Palembang, asal mula kain songket adalah dari perdagangan zaman
dahulu di antara Tiongkok dan India. Orang Tionghoa menyediakan benang sutera sedangkan
orang India menyumbang benang emas dan perak; maka, jadilah songket. Kain songket ditenun
pada alat tenun bingkai Melayu. Pola-pola rumit diciptakan dengan memperkenalkan benangbenang emas atau perak ekstra dengan penggunaan sehelai jarum leper. Tidak diketahui secara
pasti dari manakah songket berasal, menurut tradisi Kelantan teknik tenun seperti ini berasal dari
utara, yakni kawasan Kamboja dan Siam, yang kemudian berkembang ke selatan di Pattani dan
akhirnya mencapai Kelantan dan Terengganu. Akan tetapi menurut penenun Terengganu, justru
para pedagang Indialah yang memperkenalkan teknik menenun ini pertama kali di Palembang
dan Jambi, yang mungkin telah berlaku sejak zaman Sriwijaya.
Menurut tradisi Indonesia sendiri, kain songket nan keemasan dikaitkan dengan kegemilangan
Sriwijaya, kemaharajaan niaga maritim nan makmur lagi kaya yang bersemi pada abad ke-7
hingga ke-13 di Sumatera. Hal ini karena kenyataan bahwa pusat kerajinan songket paling
mahsyur di Indonesia adalah kota Palembang. Songket adalah kain mewah yang aslinya
memerlukan sejumlah emas asli untuk dijadikan benang emas, kemudian ditenun tangan menjadi
kain yang cantik. Secara sejarah tambang emas di Sumatera terletak di pedalaman Jambi dan
dataran tinggi Minangkabau. Meskipun benang emas ditemukan di reruntuhan situs Sriwijaya di
Sumatera, bersama dengan batu mirah delima yang belum diasah, serta potongan lempeng emas,
hingga kini belum ada bukti pasti bahwa penenun lokal telah menggunakan benang emas seawal
tahun 600-an hingga 700-an masehi.Songket mungkin dikembangkan pada kurun waktu yang
kemudian di Sumatera. Songket Palembang merupakan songket terbaik di Indonesia baik diukur
dari segi kualitasnya, yang berjuluk Ratu Segala Kain. Songket eksklusif memerlukan di antara
satu dan tiga bulan untuk menyelesaikannya, sedangkan songket biasa hanya memerlukan waktu
sekitar 3 hari. Mulanya kaum laki-laki menggunakan songket sebagai destar, tanjak atau ikat
kepala. Kemudian barulah kaum perempuan Melayu mulai memakai songket sarung dengan baju
kurung.
Keberadaan kain songket Palembang merupakan salah satu bukti peninggalan kerajaan Sriwijaya
yang mampu penguasai perdagangan di Selat Malaka pada zamannya. Para ahli sejarah
mengatakan bahwa kerajaan Sriwijaya sekitar abad XI setelah runtuhnya kerajaan Melayu
memegang hegemoni perdagangan laut dengan luar negeri, diantara negara yang mempunyai
hubungan dagang dengan kerajaan Sriwijaya adalah India, Cina, Arab dll. Keberadaan hegemoni
perdagangan ini menunjukan sebuah kebesaran kerajaan maritim di nusantara pada masa itu.
Keadaan geografis yang berada di lalu lintas antara jalut perdagangan Cina dan India membuat
kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan maritim dan perdagangan internasional.
Gemerlap warna dan kilauan emas yang terpancar pada kain tenun ini, memberikan nilai
tersendiri dan menunjukan sebuah kebesaran dari orang-orang yang membuat kain songket.
Apabila kita melihat rangkaian benang yang tersusun dan teranyam rapih lewat pola simetris,
menunjukan bahwa kain ini dibuat dengan keterampilan masyarakat yang memahami berbagai
cara untuk membuat kain bermutu, yang sekaligus mampu menghias kain dengan beragam
desain. Kemampuan ini tidak semua orang mampu mengerjakannya, keahlian dan ketelitian
mutlak diperlukan untuk membuat sebuah kain songket. Pengetahuan ini biasanya diperoleh
dengan cara turun temurun dari generasi ke generasi selanjutnya.
Menurut para ahli sejarah, seperti dikutip oleh Agung S dari Team Peneliti ITT Bandung dalam
bukunya yang berjudul Pengetahuan Barang Tekstil ( 1977:209 ), mengatakan bahwa sejak
zaman Neolithikum, di Indonesia sudah mengenal cara membuat pakaian. Dari alat-alat
peninggalan zaman Neolithikum tersebut dapat diketahui bahwa kulit kayu merupakan pakaian
manusia pada zaman prasejarah di Indonesia. Alat yang digunakan adalah alat pemukul kulit
kayu yang dibuat dari batu,seperti yang terdapat pada koleksi Museum Pusat Jakarta. Disamping
pakaian dari kulit kayu, dikenal juga bahan pakaian dengan mengunakan kulit binatang yang
pada umumnya dipakai oleh lakilaki sebagai pakaian untuk upacara ataupun pakaian untuk
perang. Sejak zaman prasejarah nenek moyang bangsa Indonesia juga sudah mengenal teknik
menenun. Hal tersebut diperkuat dengan adanya penemuan tembikar dari zaman prasejarah yang
didalamnya terdapat bentuk hiasan yang terbuat dari kain tenun kasar.
Kemakmuran dizaman itu terlihat dari adanya kerajaan Sriwijaya yang menghasilkan berbagai
kain songket, dimana pada masa itu diperkirakan gemerlap warna kain songket untuk para
pejabat kerajaan khususnya untuk raja di berikan sulaman berbahan emas. Sebagai kerajaan yang
kaya dengan emas dan berbagai logam mulai lainnya, sebagian emas-emas tersebut dikirim
kenegeri Siam (Thailand) untuk dijadikan benang emas yang kemudian dikirim kembali
kekerajaan Sriwijaya, oleh para perajin benang emas tersebut ditenun dengan menggunakan
benang sutra berwarna yang pada masa itu diimpor dari Siam (Thailand), India dan Tiongkok
(Cina). Perdagangan internasional membawa pengaruh besar dalam hal pengolahan kain songket
terutama dalam memadukan bahan yang akan digunakan sebagai kain songket. Kain Songket
untuk Raja dan kelurganya tentu memerlukan bahan dan pengerjaan yang lebih, benang sutra
yang dilapisi emas menjadi bahan yang menonjol dalam pembuatanya, sehingga menghasilkan
sebuah kain songket gemerlap, yang menunjukan sebuah kebesaran dan kekayaan yang tidak
terhingga.
Kain songket merupakan mahkota seni penenunan yang bernilai tinggi. Teknik
pembuatannya memerlukan kecermatan tinggi. Benang lungsi sutera dimasukkan
melalui sisir tenun dan heddle utama pada rangkaian kain dan diisi oleh benang
sutra dan benang emas tambahan jika diperlukan guna membentuk pola simetris.
Bahan baku kain songket Palembang ini adalah berbagai jenis benang, seperti
benang kapas, atau yang lebih lembut dari bahan benang sutera. Untuk membuat
kain songket yang bagus, bahan bakunya berupa benang putih yang diimpor dari
India, Cina atau Thailand. Sebelum ditenun, bahan baku diberi warna dengan jalan
dicelup dengan bahan warna yang dikehendaki. Warna dominan dari tenun songket
Palembang ini, merah. Namun, saat ini penenun dari Palembang ini sudah
menggunakan berbagai warna, yaitu warna yang biasa digunakan untuk tekstil.
Dahulu, kain songket tradisional dicelup dengan warna - warna yang didapat dari
alam, dan teknik ini diteruskan ke anak cucu secara turun temurun. Biasanya warna
merah, didapat dari pengolahan kayu sepang dengan jalan mengambil inti kayunya
dan direbus, dan mengkudu, yang didapat dari akarnya.
Warna biru didapat dari indigo, warna kuning didapat dari dari kunyit.Untuk
mendapatkan warna sekunder seperti hijau, oranye dan ungu, dilakukan
percampuran cat dari warna primer merah,biru dan kuning. Untuk mencegah agar
warna tidak luntur atau pudar pada waktu pencelupan ditambahkan tawas.
Setelah benang diberi warna, lalu ditenun dengan alat yang sederhana.
Penempatan benang-benang telah dihitung dengan teliti. Benang yang memanjang
atau vertikal disebut lungsi, benang yang ditempatkan melebar atau horizontal
disebut benang pakan. Hasil persilangan kedua jenis benang ini terangkai menjadi
dan daun palem. Sedangkan, hiasannya terdiri dari benang sutera dan benang
emas2. Benang sutera berasal dari Taiwan dan China, sedangkan benang emas
berasal dari India, Jepang, Thailand, Jerman dan Perancis. Selain benang, ada pula
barang yang harus diimpor dari Jerman dan Inggris yaitu bahan pewarna benang.
Cara membuat benang lungsin dilakukan dengan menggunakan pemberat yang
diputar dengan jari tangan. Pemberat tersebut berbentuk seperti gasing dan terbuat
dari kayu atau terakota. Cara lain yang banyak dijumpai di wilayah Indonesia bagian
Barat (Sumatera, Jawa, Bali dan Lombok) adalah dengan menggunakan antih (alat
yang terdiri dari sebuah roda lebar yang bisa diputar berikut pengaitnya untuk
memutar roda tersebut). Sedangkan, untuk memperoleh warna tertentu3, benang
yang akan diwarnai itu direndam dalam sabun selama kurang lebih 14 menit.
Maksudnya adalah agar benang tersebut hilang zat minyaknya. Setelah itu, baru
dicelup dengan warna yang diinginkan, lalu dijemur. Selanjutnya, setelah kering,
benang tersebut dikelos (digulung). Setelah itu, penganian, yaitu menyiapkan
jumlah helai benang yang akan ditenun sesuai dengan jenis dan atau bentuk
songket yang akan dibuat. Namun, dewasa ini hanya sebagian yang masih
melakukannya. Sebagian lainnya langsung membeli benang-warna yang telah
diproduksi oleh suatu pabrik di Indonesia atau yang diimpor dari India, Cina, Jepang
atau Thailand.
3. Teknik Pembuatan Tenun Songket Palembang
Pembuatan tenun songket Palembang pada dasarnya dilakukan dalam dua tahap,
yaitu: tahap menenun kain dasar dengan konstruksi tenunan rata atau polos dan
tahap menenun bagian ragam hias yang merupakan bagian tambahan dari benang
pakan. Masyarakat Amerika dan Eropa menyebut cara menenun seperti ini sebagai
inlay weaving system.
a. Tahap Menenun Kain Dasar
Dalam tahap ini yang ingin dihasilkan adalah hasil tenunan yang rata dan polos.
Untuk itu, langkah pertama yang dilakukan adalah benang yang sudah dikani, salah
satu ujungnya direntangkan di atas meja. Sedangkan, ujung lainnya dimasukkan
kedalam lubang suri (sisir). Pengisian benang ini diatur sedemikian rupa sehingga
sekitar 25 buah lubang suri, setiap lubangnya dapat memuat 4 helai benang. Hal ini
dimaksudkan untuk membuat pinggiran kain.
Sedangkan, lubang-lubang yang lain, setiap lubangnya diisi dengan 2 helai benang.
Setelah benang dimasukkan ke dalam suri dan disusun sedemikian rupa (rata),
maka barulah benang digulung dengan boom yang terbuat dari kayu. Pekerjaan ini
dinamakan menyajin atau mensayin benang. Setelah itu, pemasangan dua buah
gun atau alat pengangkat benang yang tempatnya dekat dengan sisir. Sesuai
dengan apa yang dilakukan, pekerjaan ini disebut sebagai pemasangan gun
penyenyit.
Para pedagang ini menukar rempah-rempah dengan barang-barang yang mereka bawa dari
negara masing-masing seperti tekstil dari India, sutera dan keramik dari Cina, perak dari Eropa
dan Amerika. Hal ini tentunya mempengaruhi pula tradisi budaya pada daerah yang mereka lalui
seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Bali. Khususnya kain tekstil yang
berasal dari Cina dan India cukup banyak mempengaruhi kain tenun di wilayah Indonesia.
Sulit untuk menentukan kapan dan bagaimana timbulnya kain tenun yang berkembang dari
bagian utara sampai dengan selatan wilayah Indonesia. Namun dari peninggalan-peninggalan
sejarah dapat disimpulkan bahwa kain tenun telah ada sejak zaman pra sejarah yang kemudian
dalam perkembangannya dipengaruhi oleh tradisi yang dibawa oleh para pedagang yang singgah
ke wilayah Indonesia.
Kain tenun di Indonesia digambarkan dalam (Wacik dkk, 2010) tersebar di Aceh, Batak
(Sumatera Utara), Pandai Sikek (Sumatera Barat), Palembang, Pasemah (Sumatera Selatan),
Kepulauan Bangka dan Belitung, Pulau Flores, Sumba, Rote, Sabu, Ndao, (Nusa Tenggara
Timur), pedalaman Kalimantan, Rongkong dan Galumpang (Sulawesi), Tanimbar dan Kisar
(Maluku), Donggala dan Buginese (Sulawesi), Gresik dan Lamongan (Jawa Timur), serta
Tenganan (Bali).
Pada masa itu benang yang digunakan hanya benang katun dengan motif-motif yang
berhubungan dengan alam sekitar dan hubungan manusia dengan Sang Pencipta. Pewarnaan pun
menggunakan bahan-bahan alami yang bersumber dari kekayaan alam di bumi Indonesia.
Keberadaan benang emas dan perak yang dibawa para pedagang India maupun Cina membawa
dampak memperkaya jenis-jenis motif kain tenun.
Kain tenun dari Batak (Sumatera Utara) yang disebut Kain Ulos mempunyai kesamaan motif
dengan kain dari Aceh yang disebut Kain Gayo, berupa motif dengan pola-pola geometris
(Arifin, 2006; Wacik, 2010).
PERKEMBANGAN KAIN TENUN SONGKET DI PALEMBANG
Perkembangan tekstil di wilayah Sumatera Selatan dimulai sejak masa Pra Sejarah. Hal ini
diketahui dari arca yang diketemukan di dataran tinggi Pasemah, di situs Tinggihari, kabupaten
Lahat, Sumatera Selatan. Arca ini terbuat dari batu andesit menggambarkan manusia pra sejarah
di masa neolithium dengan ciri menggunakan cawat dengan lekukan atau lipatan kain di bagian
belakang (Sulistyaningsih, 2010). Penemuan ini menggambarkan bahwa tekstil telah dikenal
sejak masa neolithium. Pada masa itu bahan baku yang digunakan adalah bahan kulit kayu dan
kulit binatang.
Abad VII Masehi pada masa kerajaan Sriwijaya, perkembangan tekstil di Sumatera Selatan mulai
diperngaruhi oleh kebudayaan Cina melalui jalur perdagangan. Kekayaan alam di Sumatera
Selatan mendorong para perantau dari Cina untuk singgah dan menetap di daerah ini. Hubungan
yang terjalin tidak hanya mengenai perdagangan tapi juga pendidikan keagamaan dan budaya
berpakaian. Reid (1999) mengatakan bahwa orang Cina membawa tekstil impor ke pedalaman
untuk ditukarkan lada.
Para pedagang Cina membawa sutera sebagai alat penukar dalam perdagangan. sutera dewangga
berbenang emas sebagai alat penukar dengan lada sampai ke daerah pedalaman.
Penemuan arca Budha Bukit Siguntang sebagai peninggalan Kerajaan Sriwijaya mewakili
perkembangan tekstil pada abad VII Masehi. Busana yang dikenakan pada arca tersebut adalah
jubah transparan yang menutupi kedua bahu. Jubah ini diperkirakan berwarna kuning dan terbuat
dari bahan sutera (Sulistyaningsih, 2010).
Begitu pula para pedagang dari India masuk ke daerah Sumatera Selatan dengan membawa
bahan tekstil. Kain tenun dari India yang disebut Kain Patola turut mempengaruhi perkembangan
kain tenun di Palembang.
Kain tenun di Palembang disebut Kain Limar dan di Bangka disebut Kain Cual. Pada masa itu
kain ditenun menggunakan benang katun dengan motif garis-garis geometris, tumbuh-tumbuhan,
dan hewan,
Pengaruh tradisi dari India dan Cina menyebabkan kain tenun tidak hanya ditenun dengan
benang katun tapi juga benang emas dan perak. Motifpun bervariasi dengan memasukkan unsur
budaya Cina dan India. Hal ini yang menjadi cikal bakal kain tenun songket Palembang,
Sejak masa Kerajaan Palembang dan kesultanan Palembang Darussalam, kain tenun songket
hanya digunakan oleh raja atau sultan dan kerabat keraton.
Pada masa kesultanan Palembang Darussalam yang menerapkan hukum syariat Islam dalam
menjalankan pemerintahannya turut mempengaruhi perkembangan kain tenun songket di
Palembang.
Songket pada masa itu yang hanya berupa selendang digunakan sebagai kerandong pada acara
Marhaban yakni ungkapan selamat datang kepada warga baru dunia (Syarofie, 2007). Motif
sebelumnya yang menggunakan bentuk hewan dan manusia dimana merupakan kepercayaan
Cina ditiadakan atau hanya dalam bentuk garis-garis geometris saja.
Setelah kesultanan Palembang Darussalam dihapuskan terjadi peralihan pada penggunaan kain
tenun songket ini. Semula hanya diperuntukkan pada raja dan kerabat keraton maka telah
menjadi milik umum. Secara terpaksa kain tenun songket diperjualbelikan untuk umum.
PENGGUNAAN KAIN TENUN SONGKET
Sejak manusia dilahirkan sampai meninggal dunia hidupnya dibalut songket. Pada usia 40 hari,
seorang bayi dilakukan acara cukur rambut, kepala seorang bayi ditutupi oleh sehelai kain
songket kecil yang disebut Singep serta sehelai lagi digunakan untuk membungkus tubuhnya
sambil digendong (Arifin, 2006).
Pada acara perkawinan, kain tenun songket menjadi bagian mas kawin yang harus diberikan oleh
keluarga pengantin laki-laki kepada pengantin perempuan. Ada tujuh stel pakaian yang harus
disiapkan terdiri dari pakaian sehari-hari dari songket biasa, pakaian untuk acara resmi dari
songket emas, serta pakaian untuk acara perkawinan dari songket dengan emas penuh dan motif
khusus (Arifin, 2006).
Sepasang pengantin mengenakan busana yang terbuat dari kain tenun songket dengan benang
emas penuh. Biasanya warna dasar kain adalah merah tua. Gambar 1.1 memperlihatkan seorang
pengantin
perempuan
dengan
balutan
kain
tenun
songket.
Kain songket ini biasanya dikenakan dengan baju kurung panjang atau baju mirip kebaya
Kartini, dilengkapi perhiasan kalung emas atau peniti emas.
Lepus
Lepus adalah motif songket yang anyaman dan corak benang emasnya hampir
menutupi seluruh bagian dari kain songket tersebut. Hiasan emasnya menyebar rata ke
seluruh permukaan kain, hiasan pada kembang tengah selalu dipenuhi dengan benang
emas. Songket Lepus dapat dibagi lagi menjadi tiga jenis, yaitu Lepus Berekam, Lepus
Berantai, dan Lepus Penuh. Perbedaan pada kain songket Lepus disebabkan oleh
perbedaan benang yang digunakan dan keragaman motif.
Keindahan motif kain Songket Lepus nampak pada sebaran benang emas yang merata,
hampir memenuhi seluruh permukaan kain. Hal ini sesuai dengan pengertian Lepus,
yang artinya menutupi. Diperkirakan Songket Lepus adalah kain songket pertama yang
ada di Palembang.
Variasi motif Lepus semakin bertambah seiring dengan perkembangan imajinasi dan
kreativitas para pengrajin songket, antara lain Songket Berakam yang menggunakan
benang sutera warna-warni dengan menyelipkan bunga kecil di antara motif utama.
Songket Lepus pada awalnya hanya dimiliki oleh keluarga istana, namun
perkembangan ekonomi yang cukup pesat menyebabkan banyak masyarakat di
Palembang yang kini mampu membeli kain Songket Lepus.
Tabur
Aturan Sultan pada masa itu membatasi masyarakat untuk mengenakan kain songket,
namun seiring berjalannya waktu, para priyayi dan pasirah dari luar Palembang
menjadikan songket sebagai pelengkap busana keluarga mereka, terutama yang telah
menikah. Akses perdagangan memungkinkan kain songket mudah diperoleh oleh
masyarakat di pedalaman.
Pemakaian songket di daerah Uluan dan Iliran Palembang semakin meningkat pada
masa kolonial. Gadis-gadis disana menggunakan kain Songket Tabur sebagai busana
tari, yang sesungguhnya tidak diperbolehkan oleh masyarakat di Palembang. Cara
pemakaian kain songket para gadis tersebut sama dengan pemakaian para istri priyayi
di Palembang, yaitu sebagai kemben atau dodot. Bedanya, para istri menggunakan
kain songket Lepus, dan para gadis menggunakan kain songket Tabur. Kain Songket
Tabur lebih banyak digunakan oleh masyarakat di pedalaman, dengan anggapan untuk
menciptakan kesamaan gaya hidup masyarakat di pusat pemerintahan Palembang.
Bunga-bunga
Motif Bunga-bunga adalah jenis songket yang memiliki motif tengah mirip bunga.
Awalnya motif bunga dikenal dalam kehidupan masyarakat Palembang yakni motif
bunga emas dan bunga pacik, yang membedakannnya adalah jenis benang emas yang
digunakan (bukan benang sutera). Bunga emas pada akhirnua dikenal dengan nama
bunga cina. Songket bunga emas digunakan oleh masyarakat keturunan Cina,
sedangkan bunga pacik oleh masyarakat keturunan Arab. Perbedaan penggunaan
benang tersebut didasari oleh prinsip masyarakat Arab menolak benang emas, karena
mereka meyakini manusia dilarang memamerkan kemewahan.
Limar
Di masa lampau, teknis ragam hias Songket Limar menggunakan bahan benang sutera
(gebeng) sebagai Lungsin, dan motifnya dibuat dengan cara dicucup dan dicolet
dengan aneka warna atau berlimar. Benang motif limar itu masuk dari sisi kanan dan
kiri seperti pakam. Cara menenun Limar pun tergolong rumit, karena motif ditentukan
sambil menenun dan dijaga agar benang warna tidak putus karena dapat merusak
motif.
Kain Songket Limar menggunakan sedikit benang emas jantung yang berasal dari
Shanghai Tiongkok, dibawa ke Palembang melalui jalur perdagangan. Keunggulan
benang emas tersebut tidak akan berubah warna, dan tidak dapat hancur dimakan
rayap/ngengat, namun kini benang emas Shanghai tidak diproduksi lagi. Limar juga
berkembang menjadi jenis songket baru yang disebut Songket Tretes Mider, dengan
motif yang hanya terdapat pada pangkal dan pinggir kain.
Rumpak
Jenis terakhir kain songket ini terdapat dalam kehidupan masyarakat Palembang, yaitu
kain laki-laki yang digunakan ketika mereka menjadi pengantin. Songket Rumpak tidak
mengalami perkembangan pesat karena umumnya pengguna kain ini adalah laki-laki
yang berasal dari kalangan pembesar dan priyayi Palembang.
Kecintaan pada kain tradisional songket membawa Nyanyu Nur Komariah sukses berbisnis
fesyen. Di bawah bendera Rumah Songket Adis, ia ikut melestarikan serta mempopulerkan kain
songket hingga ke luar negeri.
Perempuan yang akrab disapa Adis ini merintis bisnis kain khas Palembang itu sejak tahun 2007
silam. Namun, tidak seperti kebanyakan pengusaha songket lainnya di Palembang, Adis tidak
hanya berkutat pada kain songket. Ia juga memproduksi jumputan, yang juga kain tradisional
Palembang.
Bahkan, kain tersebut diolahnya menjadi selendang dan pakaian. "Desainer ternama sudah sering
memakai kain tradisional untuk pakaian rancangan mereka, jadi saya pikir, saya bisa mengikuti
jejak mereka," kisahnya.
Semua pakaian yang diproduksi di Rumah Songket Adis merupakan desainnya sendiri. Maklum,
kata Adis, keberadaan desainer songket masih sangat minim. Kebanyakan pengusaha kain hanya
memproduksi songket dan jumputan.
Pakaian songket buatan Adis laris manis di pasaran. Dalam sebulan, ia bisa menghasilkan 150 200 item baju dari bahan songket. Selain itu, songket masih menjadi favorit yang dicari
konsumen. Buktinya, Rumah Adis Songket bisa menjual sekitar 50 kain songket dalam sebulan.
Perempuan kelahiran Palembang, 29 tahun silam ini menuturkan, ia fokus pada produksi kain
untuk segmentasi kelas menengah ke atas. Makanya, ia menggunakan benang kualitas pilihan.
Tak heran, harga jualnya pun terbilang tinggi. Satu lembar songket dibanderol Rp 3 juta hingga
Rp 15 juta. Meski begitu, ia juga memproduksi songket dengan kualitas benang nomor dua.
Harganya lebih murah, berkisar Rp 1 juta hingga Rp 1,5 juta.
Sementara, satu potong pakaian dari kain songket dilego mulai dari Rp 600.000 sampai Rp 4
juta. Adis juga membuat baju kombinasi songket dan bahan kain seharga Rp 1 juta. Oleh karena
mendesain sendiri, setiap baju yang diproduksi Adis bisa disebut edisi terbatas. "Jadi, tidak akan
ada toko lain yang produksi baju yang persis sama," ujarnya seperti dilansir Kontan.co.id.
Sekitar 80% pelanggan Rumah Songket Adis ialah perempuan. Namun, ia memiliki pelanggan di
Malaysia yang kerap membeli selendang dan kemeja kombinasi untuk laki-laki. Hingga kini,
sejumlah public figure pernah memakai desain songket karyanya, seperti Mooryati Soedibyo,
Anwar Fuadi, dan Izabel Jahja.
Adis mendistribusikan produknya melalui sistem reseller untuk kain songket. "Saya sudah mulai
sistem ini sejak empat tahun lalu, reseller saya kebanyakan di kota besar, seperti Jakarta, Medan,
Bandung, dan Riau," ucapnya.
Demi memperluas pemasaran, Adis rajin ikut pameran dan promosi di majalah, serta mengikuti
pameran fesyen di berbagai daerah di Indonesia. Tak heran, ia bisa mengantongi omzet Rp 150
juta-Rp 200 juta sebulan.
Alhasil, Ia pun terpilih menjadi salah satu pemenang Wirausaha Muda Mandiri untuk kategori
Kreatif pada 2012 silam.
Awalnya, tak pernah terpikirkan Adis untuk berbisnis songket. Padahal, sejak kecil ia sudah
akrab dengan kain tradisional Palembang itu. Maklum, sang ibu, Maria Karim, pebisnis songket
sejak 1998, dan pandai menenun sedari kecil.
Barulah, setelah Adis mengikuti ajang pemilihan putra-putri daerah "Bujang Gadis Palembang",
minatnya mulai muncul. Melalui ajang itu, ia semakin menghargai songket sebagai ciri khas
tanah kelahirannya.
Tak heran, setelah ibunya menghentikan bisnis songket pada 2006 karena faktor usia, ia mulai
terpanggil mengikuti jejak sang ibu. Adis pun merintis bisnis songket sejak 2007. Lantaran ingin
fokus, perempuan kelahiran Palembang, 29 tahun silam ini bahkan memutuskan berhenti dari
pekerjaannya di salah satu bank BUMN.
Dengan modal Rp 10 juta ia membuka usaha Rumah Songket Adis. Waktu itu, ia baru
menghasilkan tiga songket. Sekadar gambaran, Adis tidak menenun sendiri. Songket ditenun
oleh beberapa perajin yang menjadi karyawannya.
Kemudian, Adis menyadari, ia tidak bisa hanya bertumpu pada usaha pembuatan kain songket
semata. Pasar sudah sangat jenuh. Maka, ia menggali satu sisi yang masih jarang dilirik
pengusaha songket lain, yaitu memproduksi pakaian dari bahan kain tradisional, yakni songket
dan jumputan.
Saya percaya, kain khas Palembang bisa dilestarikan bukan hanya dari songket tapi sesuatu
yang dipercantik dan nyaman dipakai, tutur lulusan Sistem Informatika dari STMIK Palembang
ini.
Dengan memaksimalkan hobi menggambarnya, Adis mendesain sendiri semua baju yang
diproduksi Rumah Songket Adis. Bahkan, ia membuat terobosan dengan membuat songket yang
lentur dan lemas ketika dipakai. Tujuannya, supaya pemakai merasa lebih nyaman, sekaligus
membedakan songket buatan pabrik dan tenunan.
Pertama berbisnis, ia merogoh kocek Rp 3 juta untuk membuat website sebagai cara pemasaran.
Strategi itu berhasil. Adis mendapat pelanggan dari berbagai daerah dan mancanegara. Ia
memasarkan produknya melalui 20 reseller yang tersebar di beberapa kota.
Usahanya kian berkembang. Ketika modal cukup, pada 2010, Adis menyewa ruko di Gedung
Paragon, yang merupakan pusat kerajinan kain tradisional Palembang. Namun, pada 2012,
Paragon ditutup, sehingga Adis pindah ke Pasar Wong Kito. Ia pun kehilangan beberapa
pelanggan yang tidak tahu lokasi kios barunya.
Adis tak patah semangat, berbagai cara dilakoni demi menggaet pelanggan baru. Ia rajin ikut
pameran dan memasang iklan di harian lokal. Dari situ, bisnis Adis semakin berkembang. (as)