Anda di halaman 1dari 20

PAPER RAGAM HIAS KAIN TENUN

IKAT NUSANTARA
KRIYA LANJUT I (TEKSTIL)

Disusun Oleh:
Khairunnisa Salsabila (NIM: 1912158022)

Dosen Pembimbing:
Dr. SURYO TRI WIDODO, S.Sn., M.Hum.

INSTITUT SENI INDONESIA YOGYAKARTA


FAKULTAS SENI RUPA
KRIYA SENI
2020
PENDAHULUAN

Tenun merupakan seni dalam membuat motif desain berupa gambar yang
dibuat dari benang yang panjang melintang untuk pakaian. Kerajinan tenun adalah
salah satu kebudayaan materi yang merupakan budaya asli bangsa Indonesia. Tenun
harus dilestarikan dan dikembangkan secara terus-menerus karena menyimpan
sejumlah pengetahuan tradisional dan berbagai kearifan yang mengakar secara
substansial, dilihat dari sisi ornamentasi keselarasan, proses pembuatannya, hingga
cara mengapresiasinya.

Tradisi kain tenun merupakan tradisi khas Indonesia. Kain tenun menandai
asal muasal dari ekosistem budaya daerah tertentu. Kain khas Indonesia bermakna
bukan semata karena fisiknya, tetapi juga karena nilai-nilai budaya yang terkandung
di dalamnya. Di berbagai daerah kain tenun bahkan menjadi bagian yang tak
terpisahkan dalam upacara keagamaan kehidupan masyarakatnya. Kain tenun
merupakan salah satu bagian dari warisan budaya dan pakaian bangsa Indonesia yang
sudah dikenal dari jaman prasejarah yang diperoleh dari perkembangan pakaian
penutup badan setelah rumput-rumputan dan kulit kayu. Tenun merupakan identitas
budaya yang sudah populer di nusantara hingga manca negara, bahkan Indonesia
adalah salah satu negara penghasil tenun terbesar terutama dalam hal keragaman
corak.

Berkenaan dengan kain tenun ini, maka setiap daerah di Indonesia memiliki
kekhasan dan tradisi dalam menenun. Itulah sebabnya, kain yang merupakan barang
hasil tenunan memiliki beragam motif dan corak yang berbeda-beda. Keunikan motif
dan corak tenun di berbagai daerah merupakan kekuatan yang sangat luar biasa,
khususnya bagi kekayaan seni budaya Indonesia dan belum ada di negara manapun
yang memiliki kekayaan rancangan motif yang unik pada tenun seperti yang dimiliki
bangsa Indonesia. Maka dari itu prnulis menyusun paper ini untuk mengidentifikasi
keunikan tenun ikat dari visualnya hingga fungsinya.
1. Sejarah Ragam Hias Kain Tenun Ikat Nusantara
Kain-kain tenun yang dihasilkan dari masa ke masa memperlihatkan betapa
tingginya kemampuan seni hias yang dimiliki masyarakat Nusantara. Bahkan dapat
dikatakan bahwa Nusantara memiliki khazanah keanekaragaman teknik dan seni kain
yang terlengkap di muka bumi ini. Setiap daerah, bahkan lingkungan masing-masing
memiliki ungkapan keindahan dalam membuat dan menghias kain-kain kebutuhan
masyarakatnya. Ada daerah yang hanya bertenun, ada pula yang menggunakan
teknik-teknik sulam, sungkit, manik-manik, perca, celup, dan berbagai ragam
gabungannya. Namun yang paling banyak digunakan sejauh ini, khususnya dalam
bidang menghias adalah tenun ikat dan songket. Namun yang akan dibahas adalah
tenun ikat Nusantara.

Gambar 1.1: Mula-mula benang direntangkan (a). Bagian yang tidak akan dikenai warna ditandai. Kemudian
diikat sampai rapat dan tidak tembus cairan pewarna (b). Benang dicelup ke dalam zat pewarna lalu dijemur
sampai kering (c). Setelah ikatan dilepas, bagian yang tertutup ikatan menghasilkan bidang-bidang tak berwarna
(d). Benang kemudian ditenun dan menghasilkan corak-corak bidang berwarna dan tanpa warna (e)

Tenun ikat dikerjakan hampir di seluruh wilayah Nusantara dan dianggap


telah berkembang di pulau Jawa sekurang-kurangnya sejak abad 10. Bahkan sejak
jaman prasejarah, Nusantara telah mengenal tenunan dengan corak yang dibuat
dengan cara ikat lungsi. Daerah penghasil tenunan ini antara lain pedalaman
Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, dan Nusa Tenggara Timur. Menurut para ahli,
daerah-daerah tersebut tercatat paling awal dalam mengembangkan corak tenun yang
rumit ini. Mereka mempunyai kemampuan untuk membuat alat-alat tenun,
menciptakan corak dengan mengikat bagian-bagian tertentu dari benang, dan
mengenal pula pencelupan warna. Aspek-aspek kebudayaan tersebut oleh para
ahli diperkirakan dimiliki oleh masyarakat yang hidup pada dalam jaman perunggu
di masa prasejarah Nusantara, yaitu sekitar abad 8 sampai abad 2 sebelum Masehi.

Ada beberapa cara untuk melakukan teknik tenun ikat. Namun pengertian
mendasar tentang tenun ikat adalah mengikat bagian-bagian tertentu dari benang agar
tidak terkena zat pewarna saat dicelup. Bagian-bagian yang tidak terikat akan berubah
warna sesuai dengan warna celupannya. Teknik ikat mulai diperkenalkan ke Eropa
sekitar tahun 1880 oleh Prof. A.R. Hein dengan nama ikatten. Sejak itu pula istilah
‘ikat’ menjadi popular di mancanegara serta dianggap sebagai istilah internasional
untuk menyebutkan jenis tenunan dengan menggunakan teknik ini.

Gambar 1.2: Proses pengikatan corak pada benang sebelum dicelup

Gambar 1.3: Susunan benang yang telah selesai diikat


Pekerjaan mengikat memerlukan kesabaran, ketelitian dan ketekunan. Ini
biasanya dikerjakan oleh kaum perempuan. Ada perempuan yang mempunyai
keahlian khusus memintal benang, sedangkan yang lainnya bergalaman dalam
pekerjaan mengikat. Adapun perempuan yang lainnya mungkin memiliki keahlian
menenun. Namun biasanya pekerjaan mengikat dan menenun dilaksanakan oleh satu
orang. Dahulu sebelum memulai pekerjaan, para penenun melakukan puasa dan
berpantang. Selain itu, diadakan pula upacara-upacara tertentu, antara lain membuat
sesaji untuk para dewa dan leluhur agar pekerjaannya berhasil dengan baik. Menurut
kepercayaan beberapa suku bangsa penghasil tenun ikat, pengetahuan tentang
pencelupan warna dan corak ikat itu diperoleh dari salah satu dewa. Ada dewa
tertentu yang mengilhami pengajarannya kepada mereka. Demikian pula di Bali,
ragam hias unik kain tenun ikat ganda geringsing buatan penenun-penenun desa
Tenganan, adalah corak yang terlukis di langit yang diciptakan oleh Batara Indra.

2. Jenis Kain Tenun Ikat

2.1 Tenun Ikat Lungsi

Tenun ikat lungsi adalah corak pada latar kain yang timbul karena ikatan pada
susunan benang lungsi. Proses mengikat dilakukan sebelum benang dicelup. Adapun
seluruh pekerjaan dilakukan sebelum penenunan dimulai. Benang tenun yang pertama
dikenal, selain yang berasal dari serat rumput- rumputan, adalah yang terbuat dari
serat kapas. Serat ini dipilin, kemudian dipintal dengan jentera untuk dijadikan
benang. Serat ini dipilin, kemudian dipintal dengan jentera untuk dijadikan benang.
Kapas yang sudah menjadi benang terbagi dalam dua jenis, yaitu kelompok benang
yang akan dijadikan benang lungsi dan kelompok benang pakan. Kelompok benang
lungsi tersusun secara vertikal pada alat tenun.
Benang lungsi yang akan diberi corak kemudian disusun pada dua buah kayu
di bagian atas dan bawah, atau tonggak kiri dan kanan. Bagian-bagian yang akan
bercorak diikat rapat-rapat sampai kedap zat pewarna. Setelah proses pengikatan
selesai, benang dicelup ke dalam cairan pewarna. Selanjutnya benang dijemur, setelah
kering ikatan dibuka. Barulah, tampak bagian- bagian yang terikat masih
mempertahankan warna asli benang. Corak benang-benang ini tampil dengan kontur
yang tegas, karena bagian-bagian yang tidak diikat sudah berwarna sesuai warna
celupan. Proses pencelupan dapat dilakukan lebih dari satu kali sesuai dengan nuansa
warna dan tampilan corak yang diinginkan. Teknik ini memiliki ciri khas, yaitu garis
luar (kontur) corak yang agak bergeser (distorsi) ke arah vertikal sehingga tampak
tidak tegas.

Gambar 2.1.1: Kain dengan teknik tenun ikat lungsi dapat dikenali melalui corak yang berbias (distorsi) ke arah lungsi
(vertikal)
Gambar 2.1.2: Kain Seko Mandi dari Toraja, Sulawesi Selatan. Ragam hiasnya dibuat melalui teknik ikat lungsi

Wilayah-wilayah di Nusantara yang secara tradisional membuat kain-kain dengan


teknik tenun ikat lungsi antara lain di Sumatera Utara, Kalimantan, Toraja,
Halmahera, Nusa Tenggara Timur, dan kepulauan Tanimbar.

2.2 Tenun Ikat Pakan

Tenun ikat pakan adalah corak pada latar kain yang timbul karena ikatan pada
susunan benang pakan. Proses pengikatannya hampir sama dengan tenun ikat lungsi
hanya dibedakan pada saat kapas yang sudah menjadi benang, terbagi dalam
kelompok tenun ikat pakan akan menjalin susunan benang lungsi secara horizontal
yang nantinya akan menghasilkan garis luar (kontur) corak yang agak bergeser
(distorsi) ke arah benang pakan, yaitu horizontal sehingga tampak tidak tegas.
Gambar 2.2.1: Kain dengan teknik tenun ikat pakan mempunyai corak yang berbias (distorsi) ke arah pakan
(horisontal)

Wilayah-wilayah di Nusantara yang secara tradisional membuat kain-kain dengan


teknik tenun ikat pakan terdapat di Aceh, Sumatera Barat, Jambi, Riau, Sumatera
Sela- tan, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan dan Tenggara.

2.3 Tenun Ikat Ganda

Tenun ikat ganda merupakan corak pada latar kain yang terlihat karena adanya
ikatan pada susunan benang lungsi dan pakan. Corak yang dihasilkan dengan
menggunakan teknik ikat ganda adalah corak yang berasal dari ikatan benang lungsi
dan benang pakan. Teknik ini membutuhkan ketekunan dan ketelitian yang sangat
tinggi karena benang-benang yang belum ditenun sudah diberi corak. Pada saat
penenunan benang-benang tersebut diharapkan dapat bertemu pada titik corak yang
sama.
Gambar 2.3.1: Kain sarung dari Lamongan, Jawa Timur, dibuat dengan teknik tenun ikat ganda. Corak memiliki
biasan (distorsi) ke arah lungsi dan pakan (vertikal & horisontal)

Gambar 2.3.2: Kain Geringsing dari desa Tenganan, Bali, dengan ragam hias yang dibuat melalui teknik ikat
ganda

Wilayah-wilayah di Nusantara yang secara tradisional membuat kain-kain


dengan teknik tenun ikat ganda adalah Gresik, Bali dan Donggala. Kain-kain dengan
teknik ikat ganda termasuk teknik yang langka di dunia. Selain hanya di beberapa
tempat di India dan Jepang, kain dengan teknik ini dulu dibuat di desa Tenganan, Bali
dan di Lamongan, Jawa Timur. Hingga kini kain-kain yang dibuat dengan teknik ikat
ganda senantiasa masih diminati banyak orang baik untuk kepentingan adat dan
kepercayaan, maupun sebagai cenderamata dan koleksi.

Sebagaimana ragam hias yang terbentuk melalui proses rekarakit, corak tenun
ikat sangat terkait pada jalinan benang ke arah vertikal dan horizontal. Keadaan ini
mengakibatkan bentuk ragam hias cenderung kaku dan geometris. Namun hal ini
tidak menghalangi daya cipta penenun dalam mengungkapkan bentuk dan corak yang
diinginkan. Keterbatasan ini justru mendorong untuk berkreasi menampilkan aneka
bentuk alam. Corak manusia, misalnya, tampil dalam bentuk yang sangat geometris
dan sederhana (stilasi), serta sarat dengan makna simbolis. Ragam hias ini merupakan
corak yang dikeramatkan dan tidak dapat dianggap sebagai hiasan biasa. Demikian
pula bentuk-bentuk geometris lainnya, seperti mata panah pada ulos Mangiring.
Bentuk itu melambangkan ‘iringan’ adik-adik yang diharapkan akan hadir setelah
bayi pertama lahir.

Kepiawaian bangsa di Nusantara dalam menggunakan teknik ini berpengaruh


pada aneka corak yang ditampilkan. Demikian pula halnya dengan corak-corak yang
datang dari mancanegara, seperti Jalaprang. Corak ini mula-mula dikenal dari kain
Patola dari India. Ragam hiasnya terdiri dari susunan lingkaran dengan aneka hiasan
di sekelilingnya. Corak itu menggambarkan bentuk lingkaran yang terbentuk melalui
garis siku-siku untuk mendapatkan kesan bulat. Ragam hias yang diperkenalkan
dalam bentuk tenun ikat ini kemudi- an digambarkan kembali dengan teknik
rekalatar. Teknik rekalatar yang lebih bebas dalam menggambarkan lingkaran,
akhirnya tetap mengikuti bentuk lingkaran dengan pola garis siku-siku.

Kain-kain dengan teknik tenun ikat masih dihasilkan di beberapa daerah di


Nusantara. Minat pasar akan kain-kain ini masih tetap besar, mulai dari ragam hias
tradisional sampai dengan corak- corak hasil kreasi masa kini.

3. Keunikan ragam hias pada tenun ikat di berbagai daerah


Nusantara

Tenun ikat dari Palembang, menampilkan nuansa warna utama kemerahan dan
keunguan. Ragam hias dengan teknik ini tampil pada bagian sarung yang dikelilingi
dengan corak-corak benang emas yang dibuat dengan cara songket. Gabungan antara
teknik tenun ikat dan songket dalam satu kain masih sangat diminati sampai
sekarang. Sementara itu, corak-corak tenun ikat yang lebih modern ditenun
dalam jumlah besar oleh industri rumah tangga untuk memenuhi permintaan pasar.
Produksi kain dengan ragam hias tradisional dalam jumlah besar ini sudah
dilakukan sejak tahun 1970-AN. Hal ini terjadi sebagai- mana perkembangan dunia
pertekstilan di jaman modern, seperti misalnya pembuatan kain-kain tenun ikat di
Troso, Jawa Tengah, Garut di Jawa Barat, atau di Bali. Ragam hias tenun ikat
yang dibuat di daerah-daerah ini tergolong baru dengan warna-warna cerah
sesuai perkembangan gaya. Bahan baku untuk kain- kain ini umumnya benang dari
serat katun, sutera, rayon atau campurannya. Kain tenunannya juga lebih tipis dan
lembut sesuai untuk bahan busana. Pesanan juga datang dari perancang- perancang
busana tenar untuk keperluan koleksi perancangan mereka.

Gambar 3.1: Tenun ikat dari Troso, Jawa Tengah. Jenis kain ini sudah diproduksi dalam
jumlah besar dengan corak dan warna yang disesuaikan dengan perkembangan selera
pasar

Gambar 3.2: Tenun ikat ragam hias bebas dan modern


Sementara itu, kain-kain tenun ikat dari wilayah lebih timur, seperti Bali dan
Nusa Tenggara, cenderung membuat kain tenun ikat dalam bentuk lembaran.
Peminatnya datang dari mancanegara. Kain-kain ini mencerminkan keindahan dan
keunikan tenunan tradisional Nusantara. Oleh karena itu, kain-kain yang diminati
adalah yang mendekati bentuk dan ragam hias tradisional. Bahan baku kain tenun
ikat jenis ini lebih mengutamakan benang katun yang tebal. Hasil tenunannya lebih
tebal dan kaku, sehingga cocok untuk pelengkap interior rumah, seperti penutup
tempat tidur (bed cover), tirai, atau hiasan dinding. Namun tidak jarang kain-kain ini
juga digunakan sebagai pelengkap busana modern yang dipadukan dengan tampilan
etnik, misalnya sebagai selendang atau ikat kepala.

4. Fungsi
4.1 Fungsi secara umum

Feldman (1967:3), menjelaskan bahwa fungsi-fungsi seni yang bertujuan untuk


memuaskan, yaitu fungsi seni sebagai kebutuhan individu dalam mengekspresikan
curahan dalam hati secara pribadi, karya seni dihadirkan untuk kebutuhan sosial, dan
kebutuhan-kebutuhan fisik kita mengenai barang-barang dan bangunan yang
bermanfaat. Feldman menguraikan fungsi seni menjadi tiga bagian, yaitu: fungsi
personal (personal function of art), fungsi sosial (the social function of art), dan fungsi
fisik (physical function of art). Fungsi personal berkaitan dengan pemenuhan kepuasan
jiwa pribadi dan minat individu, fungsi sosial berhubungan dengan tujuan sosial,
ekonomi, budaya dan kepercayaan, sedangkan fungsi fisik berurusan dengan
pemenuhan kebutuhan praktis, dapat meliputi arsitektur, desain kerajinan dan industri.
Perwujudanketiga fungsi seni itu seringkali berkaitan, sebagai satu kesatuan yang utuh
dan padu.
4.2 Fungsi kain tenun pada setiap daerah

Secara general, tentunya fungsi dasar sebuah kain adalah sebagai pakaian. Namun,
beberapa daerah di Indonesia memiliki adat khusus dimana kain tenun tersebut menjadi
suatu kain yang sacral yang hanya boleh dipakai oleh suatu kaum tertentu pada waktu
yang tertentu juga. Contoh daerahnya adalah:

4.2.1 Toraja

Kain tenun tradisional Toraja juga mengenal fungsi dari kain tenun tradisional itu
sendiri. Fungsi yang dimaksud dalam hal ini yaitu peranan/tanggung jawab yang
dijalankan seseorang menurut makna dalam susunan kain tenun tradisional masyarakat
Toraja.

Kain Tenun tradisional Toraja terdiri dari 2 yaitu kain Paruki dan kai Sarita baik
dipaparkan sacara detail tentang fungsi kain tenun tradisional Toraja.

a. Kain Paruki

Kain tenun Paruki mirip dengan hiasan ukiran Toraja, dalam


penggunaannya pertama kali hanya digunakan dalam upacara keagamaan
seperti Rambu Solo’, dan ada pula kain-kain tertentu yang hanya digunakan
seseorang yang memiliki peran dan upacara tersebut. Namun saat ini kain
tenun tradisional Toraja dapat digunakan dimana saja.

Seperti yang dikemukakan oleh NP (91 Tahun) pada tanggal 17 April


mengatakan bahwa “Semua warna motif bisa dipakai diorang mati dan orang
nikah yang membedakan hanya kain dasarnya. Pada upacara orang mati kain
dasarnya yaitu berwarna hitam. Dapat dikatakan bahwa warna apapun dan
motif apapun dari kain tenun tradisional Toraja dapat digunakan dalam
upacara-upacara adat entah itu Upacara Rambu Solo atau pun upacara Rambu
Tuka. Tidak ada larangan atau aturan mengenai hal tersebut. Namun, dalam
upacara Rambu Solo hanya boleh menggunakan kain dasar bewarna hitam
dengan motif tergantung dari orang yang memesannya misalnya kain Paruki
hitam yang hanya boleh digunakan dalam Upacara Rambu Solo atau misalnya
baju sarung dengan warna apa saja tapi baju bewarna hitam. Salah satu kain
dasar bewarna hitam yang hanya boleh digunakan dalam upacara Rambu
Solo’ (kematian) dapat dilihat pada gambar 4.1

Gambar 4.2.1 Kain Tenun Paruki

(Foto: Rince Tumba Marante, 17 April 2018).

b. Kain Sarita
Selain beberapa tenunan di atas, dalammasyarakat Toraja juga terdapat
kain yang sangat dianggap sakral karena digunakan sebagai hiasan dalam
Upacara rambu Tuka yaitu kain Sarita. Wawancara pada tanggal 17 april
2018. NP (91 Tahun) mengatakan bahwa:
Kain Sarita dipake ke ma’pesta, dipalingkaran tedong, sia dipandung
tomate, dipassambuan tedong ballian sia osok na banua langgan.
Artinya: Kain Sarita digunakan dalam pesta, dilingkarkan pada kerbau,
serta dipasang diujung lakkean (pondok tempat orang meninggal), dibalut pada
kerbau balian, serta dipasang ditiang rumah Tongkonan”.
Dari penjelasan perajin di atas dapat disimpulkan bahwa ritual Rambu
Solo (upacara duka cita/ kematian) kain Sarita senantiasa dipakai sebagai
hiasan kain gantung di rumah Tongkonan, kerbau dan babi yang akan
disembelih, hiasan penari, hiasan peti mati. Kain sarita hanya akan dilihat dan
wajib dipasang dalam Upacara Sambu Solo’ yang jika yang meninggal itu
merupakan keturunan bangsawan dan disyukuran rumah Tongkonan
(Mangrara Banua), seperti gambar dibawah ini :

Gambar 4.2.1 Kain Sarita yang Digunakandalam Acara Syukuran Rumah Adat Toraja

(Foto: Rince Tumba Marante, 22 April 2018).

4.2.2 Bugis Pagatan

Penggunaan kain tenun Pagatan senantiasa berkembang dari waktu ke waktu. Pada
mulanya tenun Pagatan dibuat untuk kain sarung (tapih kurung) dan bahan pakaian yang
berfungsi sebagai penutup dan pelindung tubuh pemakainya. Tenun dengan model dan
motif tertentu semula hanya boleh dipakai oleh kaum laki-laki,serta pakaian untuk para
raja atau kaum bangsawan, terutama Raja Bugis Pagatan.

Pakaian raja atau bangsawan tersebut terdiri dari celana kerja yang disebut sulara
pujama, baju, dan sarung. Tenun Pagatan untuk pakaian raja atau kalangan bangsawan
ini terdiri dari beragam jenis, misalnya tenun Pagatan sarung bebbe pasulu, sarung
bebbe sau, sarung songket, sarung so’bbe are, sarung so’bbe sumelang, dan sarung
panji asolena.

Kain-kain ini ditenun secara khusus oleh para wanita soraya dengan ornamen hias
dan motif yang khas pula. Gambaran ini menunjukkan bahwa pemakaian kain tenun
Pagatan dengan motif tertentu hanya khusus diperuntukan bagi kalangan bangsawan
selaku kelompok elite. Fungsinya adalah sebagai penentu status sosial yang mencirikan
identitas dan posisi pemakainya dalam suatu kelompok masyarakat, yakni orang Bugis
Pagatan yang status sosialnya adalah sebagai bangsawan.
Dalam perkembangannya, pemakai tenun Pagatan tidak lagi terbatas di kalangan
bangsawan, melainkan dapat juga dipakai oleh masyarakat umum. Tenun Pagatan pun
sudah banyak yang digunakan sebagai bahan dasar dalam pembuatan beraneka ragam
jenis dan model pakaian, sesuai dengan selera pemakai atau pemesannya.

Selain sarung, terdapat beberapa jenis dan pelengkap pakaian yang terbuat dari
tenun Pagatan. Contohnya antara lain adalah dasi, stagen, selendang, baju biasa, rok,
kain panjang, busana Muslim, dan pakaian tari. Kini, sarung dari tenun Pagatan pun
tidak lagi hanya dipakai oleh kaum laki-laki, namun dipakai pula oleh kaum perempuan.

Gambar 4.2.2 Kain Tenun Pagatan

4.2.3 Bali
Tiga jenis kain tenun tradisional Bali yang terkenal yaitu kain gringsing, kain
songket dan kain endek. Ketiga kain tersebut merupakan warisan turuntemurun dari
masa kerajaan. Kain gringsing adalah kain jenis ikat ganda yang memiliki fungsi
sakral terutama bagi masyarakat pengampunya yakni di Desa Tenganan
Pegringsingan. Kemudian untuk kain songket, penggunaannya banyak digunakan
pada kalangan raja dan keluarganya termasuk di lingkungan istana. Terakhir, kain
endek atau yang merupakan kain tenun ikat yang digunakan untuk pakaian
masyarakat dalam kegiatan sehari-hari maupun upacara keagamaan
(https://tetamian.com/ diakses pada 07 September 2019).
Kain endek memiliki tempat istimewa dihati masyarakat karena penggunaannya
tidak terbatas pada upacara keagamaan maupun kalangan istana. Hal tersebut
menyebabkan, saat pengembangan pariwisata Bali pada 1930, meskipun dibawah
kekuasaan kolonial, kain endek ikut mendapat perhatian. Kain endek mulai
dipproduksi untuk kepentingan pariwisata yakni sebagai cinderamata atau buah
tangan wisatawan (Picard, 2006: 205). Wisatawan yang dating berkunjung selain
menikmati keindahan alam tentu juga dapat membawa kenangan akan Bali melalui
kain endek yang dibelinya.
Kain endek di Bali memiliki berbagai fungsi dalam masyarakatnya. Dalam
fungsi sosial, penggunaan kain endek sebagai penutup tubuh atau pakaian pada
kehidupan sehari-hari, kemudian dalam kehidupan bermasyarakat kain tenun
bukanlah hanya sebatas kain. Lebih dari itu, kain tenun juga sering dipinjamkan antar
tetangga guna mempererat jalinan sos ial antar keluarga maupun masyarakat. Kain
endek dipinjamkan atau sebagai cinderamata merupakan simbol ikatan tali
persaudaraan atau sering disebut menyame braya untuk Masyarakat Bali.
Dalam fungsi budayanya, kain endek dipakai sebagai salah satu pelengkap ritual
keagamaan. Terdapat kain endek yang khusus digunakan dalam ritual keagamaan
seperti kain cepuk dan kain bebali. Penggunaan kain endek adalah saat upacara nelu
bulanin atau tiga bulanan, menek kelih, kain yang digunakan saat upacara menek
kelih yakni cepuk rangdi. Kain ini berwarna merah menyala. Pewarna merah
melambangkan warna darah haid anak gadis. Setelah mengalami haid, anak gadis
telah dianggap dewasa sehingga saat upacara menek kelih digunakan kain cepuk
rangdi dan ngaben atau pembakaran mayat.
Dalam penggunaannya sebagai pelengkap upacara, kain endek difungsikan
sebagai pelindung baik yang diupacarai maupun pemimpin upacaranya Kain endek
juga digunakan untuk menghias tempat upacara baik di Pura, Desa dan Rumah dan
sering pula digunakan untuk pementasan seni.
Gambar 4.2.2 Kain Tenun Endek
PENUTUP

Seni dan budaya kain tenun merupakan tradisi khas Indonesia yang di dalamnya
banyak terkandung nilai-nilai budaya. Kain tenun menjadi bagian yang tak terpisahkan
dalam kehidupan masyarakat. Kain tenun merupakan salah satu bagian dari warisan
budaya dan pakaian bangsa Indonesia yang sudah dikenal dari jaman prasejarah. Tenun
ikat atau kain ikat adalah kriya tenun Indonesia berupa kain yang ditenun dari helaian
benang pakan atau benang lungsin yang sebelumnya diikat dan dicelupkan ke dalam zat
pewarna.

Ada tiga jenis tenun ikat, yaitu tenun ikat lungsi, tenun ikat pakan, dan tenun ikat
ganda. Banyak terdapat ragam hias pada tenun ikat nusantara di berbagai daerah seperti
kain tenun ikat flores, kain tenun ikat bali, kain sulam karawo, kain sutra bugis, kain
sasirangan, kain tapisulos, kain songket, kain batik.

Fungsi dari kain tenun ini ada 3, yaitu fungsi personal, fungsi sosial, dan fungsi
fisik. Pada fungsi personal dan fisik umumnya hamper tidak ada perbedaan yang
signifikan pada tiap daerah. Namun, fungsi sosial kain tenun tiap daerah beragam
fungsinya. Contohnya, kain Sarita yang berasal dari Toraja yang dianggap sakral, kain
tenun bugis pagatan yang awalnya hanya dipakai oleh raja, dan kain Endek yang tidak
membedakan tingkatan rakyat dengan raja. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
berbeda daerah, menghasilkan berbeda pula ornamentasinya dan fungsinya.

Sekian penulis yang dapat susun mengenai serat, khususnya serat katun dan
poliester. Pastinya masih banyak kekurangannya, maka dari itu penulis mohon maaf
sebesar-besarnya.
DAFTAR PUSTAKA

Saputra Hardika. 2019. “Seni dan Budaya Tenun Ikat Nusantara”.


(https://www.researchgate.net/publication/333338833). Diakses pada 25 Desember 2020
waktu 18.30 WIB.

Gratha B., dan Judi Achjadi. 2016. Tradisi tenun ikat Nusantara. Jakarta : Bab
Publishing

Fadli. 2013. Kain Tenun Toraja. Jakarta: Balai Pustaka.

Hasanudin. 2003. Toraja Dulu dan Kini. Makassar: Pustaka Refleksi.

Edie, Tri M.. Tenun Ikat dan Songket. Jakarta: Pelita Hati 2011

Anda mungkin juga menyukai