Anda di halaman 1dari 42

I

~1

"

11. ASPEK-ASPEK PLANOLOGI KOTA YOGYAKARTA ....................................................


A. Diskripsi Wilayah .................................
1 . Kondisi Geografis .............................
2. Kondisi Sosial Budaya .......................
3. Kondisi Pemerintahan ........................
B. Sejarah Kraron Yogyakarta . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
C. rato on Sebagai Puiat Pengembangan Kota

BAB

Kesimpulan .............................................
Saran .......................................................

V. KESIMPUAN DAN SARAN ........................

DAFTAR PUSTAKA ................................................

BAB

BAB IV. MANUSIA DALAM KONTEKS FILSAFAT


PLANOLOGI KOTA YOGYAKARTA ..........
A. Tinjauan Filsafat Manusia ......................
B. Perkembangan Kota Yogyakarra ..............

BAB 111. MAKNA FILSAFATI STRUKTUR LOTA


YOGYAKARTA ........................................
A. Kosmologi Kratori .................................
B. Konsepsi Sumbu Imajiner .......................
1 . Laut Selatan (Segara Kidul) ................
2. Panggung Krapyak ............................
3. Keraton ..........................................
4. Tugu Pal Putih ................................
5. Gunung Merapi ................................

I . PENDAHULUAN ......................................

BAB
17

IS

DAFTAR IS1 ..........................................................

...
III

vii

.... .

Halal~lal~

INTISARI ...................... .
...... .
.
..........................

KATA PENGANTAR ....................................

. !,-

. . . .

'

Secara umum dapat dikatakan bahwa dari kenyataan sejarah


pertumbuhan fisik kota-kota di Jawa, diawali dari Kraton sebagai
pusat pemerintahan Kerajaan. Pendirian Kraton pada satu tempat
tidak semata-mata didasarkan pada kondisi geografis dan fisik
tanah saja, tetapi juga menyangkut berbagai dimensi: relijius,
kultural dan filsafati. Dimensi relijius tersirat pada kedudukan
Raja (Ratu) sebagai Sayyidln panatagama kalifarullah, yang
merupakan pemimpin agama dan "wakil" Tuhan di muka bumi.
Emanasi zat Allah pada seriap makhluk dan benda ciptaanNya mempunyai kadar yang bersifat hirarkhis. Raja sebagai manusia yang
menduduki tahta kraton sebagai pusat relijius, pemerintahan
dan kultural dianggap mendapatkan sinar (nur) Allah yang paling
dekat. Sehingga predikat sebagai manusia yang linuwih harus selalu
melekat pada dirinya. Sebagaimana disebutkan oleh Selo Sumardjan
(1991 :27) bahwa Sultan bagi masyarakat pribumi adalah raja yang
memiliki kekuasaan politik, militer dan keagamaan absolut, yang
diakui secara tradisional. Lebih jauh lagi dia dianggap mendapatkan bimbingan surgawi dan ditunjang oleh berbagai kekuatan
magis dari pusaka-pusaka kerajaan.
Disamping itu, Sultan adalah sumber satu-satunya dari
segenap kekuatan dan kekuasaan, dan dialah pemilik segala
sesuatu di dalam kerajaan, dan karena itu dia diidentikkan dengan
kerajaan. Sultan sebagai manusia linuwih menjadi suri tauladan
kawula untuk hidup dan kehidupan duniawi dan ukhrowi. Sultan
harus membawa seluruh rakyat untuk dekat kepada sang pencipta,
kedekatan setiap manusia kepada penciptanya (sangkan paraning
dumadi) dapat diwujudkan dalam bentuk "rasa Allah" yaAg
semakin tebal dan mendalam. Konsep ini semakin mengkerucut
dalam bentuk manunggaling kawulo-Gusti (Allah).
Dimensi kultural berkaitan erat dengan tata kehidupan, sikap
dan perilaku serta norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.
Dalam rnasyarakat kultur jawa intisari perilaku diwujudkan dalam
konsep "njawa" atau "rnenjadi jawa", yang artinya seseorang yang
faham tentang etika (unggah-ungguh) dan tata hubungannya

BAB I

"

"Bangunan Kraton Yogyakarta Hadiningrat ditata berdasarkan wawasan integral makro dan mikro-kosmo]ogis, mencakup dimensi spatial: lahir dan batin, serta'temporal: awal
akhir .
Kawasan kraton yang inembentang lebih dari 5 Krn itu
merupakan kesatuan kosmologis AUM (Agni/Gunung Merapi,
Udaka/Laut Selatan, dan Maruta/Udara bebas atau segar,
diatas Sitinggil, yaitu tanah ditinggikan sebagai pengeja-

dengan orang lain sesuai dengan kadar tingkatannya. Sehingga


orang yang tidak faham dalam berperilaku selalu disebut sebagai
"era njawa" atau tidak mengerti.
Disamping itu, dalam perwujudan perilaku ini harus terdapat
kondisi harmoni, yang menjamin eksistensi individu dalam kelompoknya. Atau dengan kata lain individu diterima dalam kondisi
t~armoniditengah-tengah kelompok. Sebagaimana disebutkan oleh
Niels Mulder (1983; 42) bahwa di mata orang Jawa, menjadi
reorang Jawa (njawa) berarti menjadi manusia berbudaya-manusia
beradab yang mengetahui tempatnya dan mengetahui bagaimana
seharusnya bertingkah laku. Sehingga bagi masyarakat kultur Jawa
budaya bukanlah konsep antropologi yang Samar-samar, melainkan
hakekat manusia sebagai makhluk sosial.
Dalam kaitannya kraton sebagai sebagai pusat budaya
sebagaimana konsep diatas, maka perilaku jawa yang dianggap
paling tinggi dan seinpurna adalah hal-ha1 yang melekat dan
berdekatan dengan tatacara Kraton. Sikap ini dicerminkan dalam
perilaku "priyayi", yang mempunyai sikap halus, penuh sopan
santun dan beraturan. Sehingga masyarakat kebanyakanpun berusaha untuk mencontoh perilaku tersebut dengan jalan "rnriyayeni",
yang pada saat ini lebih merupakan sikap hidup daripada merupakan status kedudukan seseorang. Secara keseluruhan konsep-konsep
perilaku dan norma-norma inilah yang nantinya mempengaruhi pula
bentuk-bentuk fisik bangunan serta makna-makna filosofis yang terkandung dalam budaya material jawa.
Dimensi filosofis mengartikan Kraton sebagai duplikat
kosmos yang mempunyai kekuatan sentrifugal pada lingkungannya,
termasuk manusia sebagai mikro kosmos. Bentuk bangunan
Kraton, yang nantinya menjadi sumber bagi planologi kota
Yogyakarta, sarat dengan simbol-simbol hidup dan kehidupan
manusia. Hubungan Tuhan - manusia - alam semesta tergambar
dalam benruk bangunan yang memberikan pemahaman fiosofis, baik
secara metafisis maupun antropologi filsafati. Sebagaimana disampaikan oleh D r . Damardjati Supadjar (makalah Tahta untuk
Kcscjahteraan Kakyat dan Budaya, 1989):

wantahan akan harkat Manusia yang atas perkenaan Tuhan


Yang Maha Esa, diangkat atau ditinggikan sebagai Khalifatullah. Itulah unsur Ibu Pertiwinya. Sedangkan unsur KebapaAngkasaannya mencakup Surya, Candra, Kartika yang kesemuanya itu mencakup secara integral pada nama/tekad
Hamengkubuwono."
Dengan .demikian dapat difahami perkembangan kota Yogyakarta
secara planologis berintikan Kraton sebagai pusat perkembangan dan
acuan terhadap penataan-penataan berbagai kawasan di
Yogyakarta. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan Pemerintah
Kotamadya Yogyakarta dalam strategi pengembangan tata
ruangnya (pola Dasar Pembangunan Kotamadya Yogyakarta,
1988-1993).
"Corak pembentukan kota Yogyakarta pada hakekatnya
merupakan implementasi dari konsep P. Mangkubumi 1755,
yang berdasarkan pada bentuk tata tubuh manusia, dimana
kota Yogyakarta terbagi rnenjadi 2 wilayah, bagian selatan
merupakan simbul rohani dan bagian utara merupakan
simbul duniawi".
Planologi kota Yogyakarta juga .didasarkan pada keserasian
makna filosofis sumbu imajiner yang merupakan garis lurus
antara Krapyak - Kraton - Tugu, yang masing-masing diantaranya berdiri bangunan-bangunan yang mempunyai arti dan makna
tentang proses kehidupan manusia, mulai dari lahir sampai
menghadap penciptanya.
Sepanjang garis kehidupan tersebut tentunya manusla
mengalami proses-proses yang bersifat normatif, dalam kaitan dan
hubungannya dengan Tuhan. Mendekatkan diri ke Tuhan atau menjauhkan din. Semua pilihan ini telah digariskan dan diberikan norma
dan sarana untuk mencapainya. Manusia telah diberi kodrat
kemampuan untuk menangkap kasunyatan: Cipta, rasa dan karsa.
Apakah manusia mampu untuk mempersatukan Cipta, rasa dan
karsanya dalam kaitan dengan hubungan rnanusia-Tuhan, atau
tidak, dalam arti unsur-unsur tersebut berjalan sendiri-sendiri, ini
akan terlihat dalam proses kehidupan sejarah seorang individu
sepanjang sumbu imajiner Krapyak - Kraton - Tugu. .
Kraton Yogyakarta sebagai cikal bakal kota Yogyakarta
didirikan oleh R.M. Sujono, yang bergelar Pangeran Mangkubumi, yang kemudian jumeneng nata (menjadi raja) dengan gelar:
Sri Sultan Hamengkubuwono I pada tahun 1756 atau tahun Jawa
1682. Pembangunan ini ditandai dengan sebuah condrosengkolo
memet dipintu gerbang Kemagangan dan dipintu gerbang Gedung
Mlati, berupa dua ekor naga berlilitan satu sama lainnya. Dalam
.1

Kraton yang berdiri ditengah-tengah ini terdiri dari berbagai


bangunan yang juga melambangkan sifat normatif (das sollen)
seorang manusia. Sedangkan keseluruhan, garis imajinernya
ditarik dari panggung kraprak di sebelah selatan Kraton sarnpai Tugu
di sebelah utara Kraton, bagian-bagian penting tersebut adalah:
1. Krapyak adalah gambaran tempat asal roh-roh. Di sebelah
utaranya terletak kampung Mijen, berasal dari perkataan Wjjj
(benih), jalan lurus ke utara, di kanan kini dihiasi pohon Asem
dan Tanjung, menggambarkan kehidupan sang anak yang
lurus, bebas dari rasa sedih dan cemas, rupanya nengsemaken
serta di sanjung-sanjung selalu.
2. Plengkung Nirbaya (Plengkung Gading). Plengkung ini
menggambarkan periode sang anak menginjak dari masa
kanak-kanak ke masa pra puber. Dimana sifatnya masih
nengsemaken (pohon asem) dan juga suka menghias diri (nata
sinom). Sinom merupakan daun asem yang masih muda.
3. Alun-alun selatan. Disini terdapat dua pohon beringin yang
disebut W o k . Wok berasal dari kata brewok. Dua pohon

Kali Nanga pancingkok ing puri


Gunung Gamping Kulon
. Hardi Mrapi ler wetan prenahe
Candi longgrang mangungkung ing kali
Palered magiri
Girilaya kidul
(Sungai Winanga membelok waktu mendekati Kraton
Gunung Gamping sebelah barat
Gunung Merapi disebelah timur laut
Candi Jonggrang dibangun terlalu dekat dengan kali
Plered, Imogiri dan Girilaya (Gunung Kidul)
ierletak disebelah Selatan)

bahasa Jawa "Dwi naga rasa tunggal". Artinya: Dwi = 2,


rlaga == 8, rasa = 6, tunggal = I . Dibaca dari belakang menjadi
1682 (K .P.H. 'Br~ngtodiniri~rat,
1978).
Peniilihan lokasi untuk bangunan Kraton ini ditetapkan atas
dasar usulan seorang pekatik terpercaya sebagai hasil pengamatannya, bahwa lokasi itu merupakan tempat berkumpulnya
burung kuntul dan blekok, dimana memberi petunjuk suatu
kawasan yang subur. Kompleks Kraton terletak ditengah-tengah
antara bentangan sungai Code dan Sungai Winanga, dihutan
Garjitawati dekat desa beringin dan desa Pacetokan. Mengenai
letak geografis kraton ini tergambar dalam sebuah pantan Mijil:

beringin ditengah-t'kngah alun-alun ini menggambarkan


bahagian badan yang paling rahasia, oleh sebab itu diberi
pagar batu. Jumlah dua menunjukkan laki-laki, sedangkan
namanya Supiturang melambangkan perempuan. Disekitar
alun-alun ini terdapat lima buah jalan yang bersatu sama lain,
menunjukkan pancaindra. Tanah berpasir artinya belum teratur, lepas satu sama lain. Apa yang ditangkap belum terarur
oleh pancaindra. Keliling alun-alun ditanami pohon Kweni dan
Pakel artinya sang anak sudah ~ . a n i(berani karena sudah
akil balig).
4 . Sirihinggil, arti arfiah tanah yang ditinggikan. Disini terdapa~
sebuah tratag atau tempat istirahat beratap anyaman bambu.
Kanan kiri tumbuh pohon gayam dengan daun-daunnya yang
rindang serta bunga-bunganya harum wangi. Siapa saja yang
berteduh dibawah tratag ini akan merasa aman, renteram
senang dan bahagia. Menggarnbarkan rasa pemuda-pemudi yang
sedang dirindu asmara.
Konsep lain dengan esensi yang sama disarnpaikan oleh
KRT Puspodiningrat (Puspodiningrar. 84:4) bahwa ~ i r i h i n g ~ i l
rerdapat dua bangunan untuk penjagaan abdi dalem:
Gandheg = penghubung = penggandeng. Nama depan hamba
(abdi) ini adalah Duto dan Jiwo, dengan maksud Andudur
jiwa = jiwanya ditarik bersamaan antara laki-laki dan perempuan menyalakan api percintaan.
.
.
5. Halaman kemandungan, menggambarkan benih dalam kandungan sang ibu.
6. Regol Gadung mlati sampai kemagangan mercpakan jalan yang
sempit kemudian melebar dan terang benderang. Suatu gambaran Anatomis kelahiran sang bayi. Disini bayi kemudian
magang (kemagangan) menjadi calon manusia dalam arri
sesungguhnya.
7 . Bangsal Mangun-Tur-Tangkil, sebuah bangsal kecil yang
terletak di tratag Sitihinggil. Jadi sebuah bangsal di dalam
bangsal yang mempunyai arti bahwa didalam badan kita (wadag)
ada roh awu jiwa. Manguntur Tangkil berarti tempat yang tinggi
untuk anangkil, yaitu menghadap Tuhan Yang Maha Kuasa
dengan cara mengheningkan cipta atau bersamadi.
Di belakang bangsal ini terdapat sebuah bangsal lagi yang disebut bangsal U'itono, yang mengandung arti wiwit ono
(mulailah), merupakan awal kegiatan spiritual manusia mendekatkan diri dengan Tuhan.
8. Tarub Hagung, merupakan bangunan yang mempunyai
4 tiang tinggi dari pilar besi yang mempunyai bentuk empat
,

.
I

persegi. Arti bangunan ini ialah: siapa yang gemar samadi,


sujud kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, berada selalu dalam
keagungan.
9. Pagelaran, yang berasal dari kata Page1 = pagol = pager =
batas dan aran = nama. Dimana habislah perbedaan manusia,
baik laki-laki maupun perempuan, terutama di hadapan
Tuhan. Sehingga semua kalangan di dalam kraton menggunakan bahasa yang sama yaitu bahasa krama inggil yang
dirubah, yang disebut bahasa bagongan.
10. Alun-alun utara (lor) Menggambarkan suasana ngiangut,
suasana tanpa tepi, suasana hati kita dalam sarnadi. Pohon
beringin ditengah alun-alun menggambarkan suasana seakanakan kita terpisah dari diri kita sendiri. Mikrokosmos bersatu
dalam makrokosmos. Simpang empat disebelah utara menunjukkan godaan dalam samadi. Apakah kita memilih jalan lurus
(Siratal mustaqim) atau menyimpang kekanan-kiri.
11. Pasar Beringhardjo, pusat godaan setela'h kita mengambil
jalan lurus berupa godaan akan wanita cantik, makanan yang
lezat serta barang-barang mewah.
12. Kepatihan, lambang godaan akan kedudukan atau kepangkatan.
13. Sarnpailah kita pada Tugu, simbol dari tempat Alif Mutakalliman Wachid, bersatunya ka wulo lan gusti, bersatunya hamba
dan Tuhan. Mengenai manunggaling kawulo lan gusti secara
konsepsional dapat dibahas dalam Manunggaling Kawulo
Gusti (P.J. Zoetmulder, 1990);
Proses menuju kepada kesempurnaan hidup (kasampurnaning
urip) melalui berbagai jalan (Filsafat Jawa, dr. Abdullah Ciptoprawiro, 1986) dan dapat juga dilakukan dengan jalan menempuh
hidup bahagia (Ajaran-ajaran Ki Ageng Suryomentararn, 1985) serta
Ki Ageng Suryamentaram tentang citra manusia, JB Adimassana,
1986. Dan juga melalui konsep hidup rukun dan harmoni (Niels
Mulder, Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa, 1983). Serta
perenungan tentang makna hidup manusia (Dr. Theo Huijbers, 1987).
Manusia menurut Prof. Notonagoro merupakan makhluk
monopluralis yang mempunyai: Susunan kodrat, yang terdiri dari
jiwa dan raga; Sifat kodrat, merupakan makhluk individu dan
makhluk sosial; kedudukan kodrat, sebagai makhluk yang berdiri
sendiri dan makhluk Tuhan.
Konsekuensi dari ketiga sifat ini memberikan kedudukan
lebih bagi manusia untuk berpikir, membedakan mana yang baik
dan mana yang buruk. Dalam kaitannya sebagai makhluk pribadi

Bedo lamun kang wus sengsem


reh ngasamun
Setnune ngaksama
Sasamane bangsa sisip
Sarwa sareh saking mardi
martatama
(Lain halnya dengan yang sudah gerriar kepada kerohanian,
Nampak- selalu mengampuni segala kesalahan, Bersikap sabar
karena berusaha berbudi baik)

.-

Disamping itu, dalam serat Wedhatama, tembang Pucung bait


35 juga disebutkan:

Pae wong kang makrifat sejati


Tingkah una-unine prasaja,
dadi panengran gedhene,
eseme kadi juruh
saujare manis trus ati
iku ingaran dhomas
wong bodho puniku
ingkang jero isi emas
ingkang nduwe bale kencana puniki
bola bali kinenca
(berbedalah orang yang makrifat sejati, Tingkah dan ucapannya bersahaja, Menjadi tanda kebesarannya, Senyumnya
bagaikan gula, Tiap ucapannya selalu manis trus hati, Itulah
yang disebut dhomas, Orang bodoh yang, Jiwanya berisi mas,
yang memiliki tahta kencana ini, berulang-ulang direncanakan).

dan makhluk Tuhan, manusia mempunyai hak dan tanggung


jawab terhadap lingkungannya termasuk lingkungan sosialnya.
Seianjutnya ha1 ini, sebagai suatu keyakinan, diperranggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, sebagai perwujudan
hubungan manusia sebagai makhluk Tuhan.
Dalam kehidupan di dunia ini, keberadaan manusia dituntur
untuk berbuat kebaikan, dalam rangka menuju kehidupan yang
lebih sempurna, hidup yang kekal, manunggaling kawulo gusri.
Gerak kembali kepada Tuhan ini, dalam ajaran Islam digambarkan dalam 4 tingkatan; yakni Syariat, Tariqat, Hakikat dan Ma'rifar.
Manusia yang sudah mencapai ma'rifat adalah manusia yang
dianggap mencapai kesempurnaan, yang sudah dapat membebaskan dirinya dari keinginan buruk, yang digambarkan dalam bentuk
nafsu amarah, Lawwamah dan selalu mempunyai keinginan baik
(nafsu Mutmainah), mengenai sifat manusia yang sudah mencapai ma'rifat digambarkan dalam Dhandanggula:

Ngelmu dalam kaitannya dengan budi setya disini adalah


sarana untuk mencapai kesempurnaan, atau menjadi manusia sejati.
Bagi Ki Ageng Suryo Metaram bahwa kesempurnaan itu dicari
disebabkan oleh rasa tidak sempurna yang dialami oleh setiap
manusia (1.985; 183). Untuk semacam ini jelas didasarkan ,oleh
sikap atau pemikiran yang rasional, bahwa kesulitan itu adalah
suatu kejadian yang timbul karena hubungan sebab akibat. 31eh
sebab itu, bila sebab yang menimbulkan dapat dilenyapkan, tentu
lenyap pula kesulitan tersebut.
Dalanl mencari sebab dari kesulitan tersebut orang harus
~nempunyaibekal rasa tabah, yaitu keberanian untuk mengakui dan
mengetahui hal-ha1 yang nyata (kenyataan), meskipun berbekal
tabah, maka ketika ia mengetahui hal-ha1 yang bertentangan
dengan pengharapannya, ia lantas lari, menyalahkan siapa atau apasaja yang dianggap salah.
Secara filosofis konsep kesempurnaan yang diperkenalkan oleh
Ki Ageng Surya Mentaram adalah rasa tentang kesempurnaan yang
dimiliki oleh seseorang sebagai jati diri. Karena kesempurnaan itu
sendiri bukanlah sesuatu yang berujud, yang tidak dapat dicari
dan -dikejar, tetapi bisa dirasskan. Oleh sebab itu disebutkan bahwa

Ngelmu iku,
Kalakone kanthi laku,
Lekase lawan kas
tegese kas nyantosani
Satya budya pangakese dur
angkara.
(Ilmu itu dapat terwujud apabila dijalankan. Dimulai dengan
kemauan-kemauan inilah yang membuat sentausa Budi yang
setia itu .penghancuran nafsu angkara.)

Usaha untuk menjadi manusia yang sempurna adalah usaha


untuk selalu mendekatkan ,diri pada Tuhan. Implementasinya
terlihat pada sikap dan tingkahlaku yang mempunyai keterkaitan
dengan orang lain. Manusia sebagai mikro-kosmos selalu membawa
resonansi positip dan negatif terhadap lingkungannya. lbarat batu
yang dijatuhkan ke dalam kolam, maka gelombang riaknya akan
semakin besar sampai mendekati pinggir kolam. Manusia yang mempunyai tingkah laku menyenangkan dan menggembirakan orang
lain akan mempunyai resonansi positip terhadap orang yang
berada disekitarnya. Demikian pula sebaliknya apabila tindakan
atau laku untuk membentuk kepribadian dan budi luhur ini.
Sebagaimana disebutkan dalam tembang Pucung Bait 33:

Gambar I . Peta Kawasan Kralon.

orang yang sempurna adalah orang tidak rnengharapkan kesernpurnaan (senang/bahagia selamanya), karena mengerti bahwa kesempurnaan itu tidak ada dalam pernyataan.
Ajaran-ajaran tentang kesempurnaan hidup dalam rangka mencapai Rasa Tuhan ini banyak juga diajarkan melalui serat-serat,
antara lain disebutkan oleh Ranggawarsita bahwa kitab Wirid
Hidayat Jati berisi Ngelmu Ma 'rifat Kasarnpurnaning Ngaurip yang
juga rnenjadi ajaran para wali.
Konsep antropologi serat Wirid Hidayat Jati ini mengatakan
bahwa "sesungguhnya manusia itu adalah rasa (innermost feeling)
Kami, dan Kami adalah rasa manusia, karena kami menciptakan
Adam dari empat anasir kasar; tanah, api angin dan air, yang menjadi perwujudan sifat Kami. Kemudian di dalamnya Karnj isikan lirna
unsur halus; Nur, rasa, roh, nafsu dan budi, yang menjadi trabir
wajah Kami Yang Maha Suci. Selanjutnya Karni rnembangun tiga
mahligai di dalarn tubuh manusia:
a . Baital Makmur di dalam kepala
b. Baital Muharam di dalam dada, dan
c. Baital mukkaddas di dalam alat kelarnin.
Dari sini terciptalah manusia sernpurna, ialah hakekat sifat
Kami.
Dari berbagai konsep tentang Kasampurnaning ngaurip inilah
tirnbul jalan sarnadi, tapa, sujud dalam rangka rnendekatkan diri yang
kemudian bersatu dengan Tuhan dalam bentuk Manunggaling
Kawulo Gusti, yang dilambangkan secara fisik dalam bentuk
bangunan Tugu Pal Putih di sebelah utara Kraton Yogyakarta.

I-....

1.

8.-r.

11".

"

*"..J.

..

..

4,

Gambar 2. Denah Bangunan Kraton Yogyakarta.

I,. ..*<LP . I.,.

U
I,. Y...,..
L
I,. ,..pr.,..
48. hr -8h-L

".

L.,.

8...,"."

x.-r-.,..

88,
I,.
I,.

as,.

I,.

h,".. l.
.aI*. .+I

.
,"a

.".I

,.-*
...,.

,.*. ..-,,,.,..

Lu

6.

.,,..,..
*,...'I
"1

1..

NL.,.,,

..,...

" + -

,.-,.'
1.

.l,..

4.

1.

,:

G a m b a r 3. Sumbu Irnajiner Laut Selatan - G u n ~ ~ nMerapi


g

'

DIY

Kulon Progo
Bantul
Gunung K~dul
Sleman
Kodya Yogyakarla

DAERAH TK. I1

: (Sumber: Kantor ~[atistikPropinsi DIY, 1992).

-. .

I
2.
3
4.
5.

NO.

..-_.,_

i3

I2
17
13
17
14

. ..
-_.

JML. KEC.

439

144
86
45

88
76

JML. DESA

3.185,80

586,27
506,85
1.485,36
574,112
32.50

LUAS (Km2)

T a b e l Pelnbagian Wilayah Tingkat I1 Daerah Istirnewa Yogyakarta

Daerah Istimewa Yogyakarta terletak diantara 7" 33'LS 8" 15'


dan 110" 5 ' BT - 110" 48' BT. Daerah Istimewa Yogyakarta
wilayahnya meliputi wilayah eks Swapraja Kasultanan Yogyakarta
dan eks Swapraja Pakualaman serta eks daerah enclave
Kapanewon Ngawen di Gunungkidul; eks enclave Kawedanan
lmogiri dan Kapanewon Kotagede di Bantul, dimana ketiga daerah
tersebut semura termasuk wilayah Propinsi Jawa Tengah, yang
keseluruhannya 3.185,80 Km2.
Mengenai batas-batas adrninistrasi wilayah adalah sebagai
berikut:
- Sebelah Timur dan Tenggara berbatasan dengan Kabupaten
Klaten dan Wonogiri.
- Sebelah Barat dan Barat Laut berbatasan dengan Kabupaten
Purworejo dan Magelang.
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Lautan Hindia (Lautan
Indonesia) atau dikenal masyarakat sebagai Segara Kidul.
Daerah Istimewa Yogyakarta yang luasnya 3.185,80 Km2 tersebut ditinjau dari pembagian wilayah administrasi Tingkat I1 terdiri dari beberapa wilayah sebagaimana Tabel dibawah ini:

I . Kondisi Geografis

A . Diskripsi Wilayah

ASPEK-ASPEK PLANOLOGI KOTA


Y OGYAKARTA

BAB I1

'

2. Gunung Api Merapi. Gunung ini terletak d'bagian utara


Daerah Istimewa Yogyakarta. Penyebarannya seb gian besar termasuk wilayah Kabupaten Sleman dan sebagian Kota-a
Yogyakarta. Gunung Merapi ini merupakan Gunung berapi muda
yang masih aktif. Letusannya memang bersifat merusak dan ber-

a . Pegunungan Sewu. Pegunungan ini tersusuri atas batuan


gamping dan menunjukan perkembangan topografi karst. Ciri
khusus dari topografi karst ini adalah kubah dengan puncak
yang membulat, cekungan-cekungan dan adanya sungaisungai dibawah permukaan tanah. Karena jumlah kubah
dengan puncak sangat banyak, maka dinamai Gunung Sewu.
Penyebaran Gunung Sewu ini meliputi Kecamatan Rongkop,
Tepus, Paliyan, Panggang, sebahagian Kecamatan Wonosari,
Semanu dan Ponjong.
b. Ledok Wonosari. Dinamakan Ledok karena berada pada
tempat yang rendah kalau dibandingkan dengan daerah
sekitarnya. Ledok Wonosari mempunyai topografi datar
sampai bergelombang ringan diselingi bukit-bukit gamping
terisolir. Di sebelah Utara ada lembah Oya. Penyebarannya
meliputi daerah Kecamatan Semanu, Wonosari, Karangmojo,
Playen dan Sernin.
c. Pegunungan masif Panggung. Pegunungan ini merupakan sisa
dataran yang nyaris rua. Penyebaran meliputi daerah
Kecamatan Ponjong, Semin dan Karang'fiojo.
L .-.
d. Pegunungan Baturagung. Pegunungan ini merupakan sisi
utara dari Pegunungan Selatan. Bentuknya terdiri dari
igir dan puncak-puncak bukit yang dipisahkan oleh lembah
yang berbentuk V. Lereng Utara sangat terjal, dan dibeberapa tempat berupa bidang berbentuk segitiga. Penyebarannya meliputi ~ e c a m a t a nNgawen, Nglipar, Patuk dan seb'agian Playen.

1. Pegunungan Selatan, yang terbagi lagi menjadi:

Bentuk keseluruhan Daerah lstimewa Yogyakarta nienycrupai


segitiga dengan puncak Gunung Merapi setinggi 291 1 meter, terletak disebelah U.tara, daerah ini terbagi menjadi empat satuan
fisiografik, yaitu: (1) Pegunungan Selatan, (2) Gunung Api
Merapi, (3) Dataran rendah yang terbentang antara p e g u n u ~ ~ g a n
Selatan dengan Pegunungan Kulon Progo dan (4) Pegunungan
Xulon Progo (Pernda DIY, Sejarah Perkembangan Pemerintahan
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, 1992, 18). Secara terperinci
satuan fisiografik ini adalah sebagai berikut:

Secara klimatologis, dilihat dari segi temperatur di Yogyakarta kadang berubah-ubah. Temperatur harian selama lima tahun
(1971 - 1975) rata-rata 28,88"C. Data akhir pada tahun 1980 rnenunjukkan bahwa temperatur harian rata-rata 27,6"C dengan ratarata maksimum 3. 3., 6 " C dan minimum 21,l "C.
Sementara curah hujan tahunan untuk DIY rata-rata bervariasi dari 2000 - 3500 mm. Daerah dengan curah hujan
tahunan rata-rata antara 1500 - 2000 mm adalah daerah Pegunungan Sewu, yang meliputi kecamaran Kretek, Pundong,
Dlingo, Patuk, Nglipar dan Semin. Daerah yang memiliki curah
hujan tahunan hujan tahunan 2000 mm adalah. daerah Wonosari
dan Bantul. Daerah dengan curah hujan tahunan antara
2000 - 2500 mm adalah Kecamatan Wates, Sentolo, Godean,
Mlati, Seyegan sampai Ngemplak. Sedang daerah yang memiliki
curah hujan tahunan rata-rata lebih dari 2500 mm adalah
Pegunungan Kulon Progo bagian barat dan lerang selatan
gunung api Merapi di Sleman.
Kondisi Geografis yogyakarta ini tidak saja mengungkapkan
diskripsi wilayah yang memberikan informasi mengenai perubahan
dan perkembangan fisik kota dan kawasan, tetapi juga menyangkut

latan. Pegunungan Kulon Progo merupakan kelanjutan dari


Pegunungan Serayu Selatan, Pegunungan Kulon Progo ini
dapat dibedakan menjadi tiga bagian yaitu: pegunungan,
perbukitan dan dataran rendah. Daerah yang termasuk
pegunungan ini adalah Kecamatan Kokap, Kalibawang, Samigaluh dan Girimulyo. Sementara daerah perbukitan terutama tersusun dari batu napal. Daerah ini meliputi Kecamatan Temon,
Pengasih, Sentolo dan Nanggulan. Kemudian yang merupakan
dataran rendah terbentang mulai dari kaki pegunungan dan
perbukitan Kulon Progo ke arah selatan sampai pantai Selatan
Jawa. Penyebaran dataran rendah ini meliputi Kecamatan
Temon, Wates, Panjatan, Galur, Lendah, dan sebagian
Pengasi h.

4. Pegunungan Kulon Progo dan dataran rendah sebelah se-

3. Dataran rendah antara Pegunungan Selatan dan Pegunungan


Kulon Progo. Dataran rendah ini membentang melandai ke arah
selatan, kira-kira melalui arah garis timur-barat, Kotagede,
Krapyak sampai pantai se:.atan yang merupakan daerah persawahan cukup subur.

bahaya dikarenakan mengalirnya lahar dan membawa awan


panas. Material yang dikeluarkan bersifat andesitis.

Kondisi sosial budayanya dapat dipaparkan sebagaimana


berikut ini. Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan dilingkungan
rakyat di daerah lain, dikenal juga adanya sistem kekerabatan.
Sistem kekerabatan di Yogyakarta berlaku sistem bilateral, yaitu
keanggotaan kelompok diperhitungkan menurut garis laki-laki dan
juga garis perempuan. Untuk Daerah Istimewa Yogyakarta kelompok terkecil dalam kelompok kekerabatan adalah keluarga batih
(nuciear family). Disamping keluarga batih juga dikenal kelompok
kekerabatan yang disebut deilgan sanak sedulur (kindred). Anggota . .
dalam kinderd-ini biasanya sanak famili yang bertempat tinggal berdekatan, sehingga kalau ada acara-acara seperti khitanan, perkawinan, kematian mereka dapat berkurnpul. Di Daerah lstimewa
Yogyakarta juga dikenal kelompok keluarga satu keturunan (trahj,
terutama di kaiangan kaum bangsawan. Trah ini dapat dihitung

2 . Kondisi Sosial Budaya

mitologi yang erat dengan kepercayaan masyarakat. Menurut


l i ~ e r a ~ uyang
r
disusun oleh Pemda DIY (Sejarah Perkembangan
Pemerintahan DIY, Yogyakarta, 1992, 24) bahwa geografi Daerat~
lstimewa Yogyakarta melahirkan m i ~ o stentang Raru liidul. 1)ihana
Kali Opak dan Prljgo ~ n ~ a - s a mbermuara
a
di Segara X i d u l
Inengapit wilayah yang sebutan M a t a r m arau hlataraman.
Kali Opak menurut rasio Jawa suatu sungai jantan'. karena
berhulu dari Gunung Merapi (Gunung Jantan), adapun Kali
Progo yang bersumber dari Gunung Sindoro (Gunung Betina)
bersama anaknya yaitu Kali Elo adalah sungai betina. Anak
sungai tersebut bersumber dari lereng gunung Merbabu yang
betina.
Memang Merapi-Merbabu dan Sumbing-Sindoro merupakan
pasangan suami-isteri. Antara Kali Bogowonto (Jantan karena
berasal dari gunung Sumbing) dan Kali Progo tak ada perkawinan
karena dihaiang-halangi oleh Manoreh. Akan halnya Kali Progo dan
Opak memang ditakdirkan untuk menjadi suami isteri. Hal ini
kelak dihubungkan dengan adanya Selokan Mataram yang bermuara di Progo.lurus ketirnur sarnpai Kali Opak. Tidak hanya itu,
bersama-sama dengan anak-anak sungainya masing-masing keduanya membuang airnya di Segara Kidul.
Ratu Kidul apabila berniat menghadap Sultan, jalannya lewat
sungai-sungai, dan rakyar n~endengarnyaberupa Keblak yang dieluelukan dengan bunpi lampor. Hal ini masih berlaku sampai
sebelum Perang Dunia 11. Dalam abad-abad yang konon Taman
Sari merupakan salah saru tempat Rendezvous Ratu Kidul dengan
Sultan.

.'.

ir

Dalarn kehidupan sehari-hari, rnasyarakat DIY tarnpak adanya


pelapisan sosial yang terbentuk karena adanya perbedaan keturunan (ascribed status). Secara garis besar lapisan ini terdiri dari
golongan bangsawan (priyayi) dan rakyat biasa. Sekalipun
dari segi interaksinya antara kedua golongan tersebut sudah tidak
begitu tegas pembatasannya, namun eksistensi rnasing-masing
golongan tetap acla. Golongan priyayi ini kemudian dibedakan
dengan pengertian: ( I ) mereka yang benar-benar termasuk kerabat
raja (Sultan); (2) rnereka yang menjalankan tugas dari Raja, dan
(3) mereka-yang menjadi pegawai pernerintah jaman kolonial/
pegawai pamong praja, kepala kantor, guru dan sebagainya
(Clifford Geertz, 1960: 229). Namun dalam perkembangan modern
saat ini pernbagian iru sudah kabur. Masyarakat hanya mengenal
- secara garis besar adanya klas priyayi dan masyarakat umum.
Sebagai konsekuensi logis dari adanya sistern kekerabatan dan
pelapisan sosial, di Yogyakarta juga dikenal adanya beberapa
jenis bahasa Jawa yang secara hierarkis dapat disebutkan sebagai
berikut:

dengan melihat keturunan langsung yang rnernpunyai sistirn


tats nama yang bertingkat-tingkat. Dirnana bagi masyarakat kultur
Jawa, tata nama ini dapat mencapai sepuluh tingkatan (Sjafri
Sairin, 1982, 16), yakni:
+ 10
Galih asem
+ 9
Debok bosok
Gropak sente
+ 8
Gantung siwur
+ 7
Udeg-udeg
+ 6
+ 5
Wareng
Canggah
+ 4
+ 3
Buyut
Eyang/mbah
+ 2
Wongtuwo/Tiyangsepuh + 1
Ego
0
- 1
Anak/put ra
Putu/Wayah
- 2
- 3
Buyut
Canggah
- 4
- 5
Wareng
Udeg-udeg
- 6
Gantung Siwur
- 7
Goprak sente
- 8
Debog Bosok
- 9
- 10
Galih asem

Pernerintah di Daerah Istirnewa Yogyakarta secara garis besar


dapat dibagi rnenjadi dua periode. Pertama, periode sebelum
kemerdekaan Republik Indonesia dan kedua, periode setelah
kemerdekaan, periode pertarna, merupakan periode yang sangat panjang, dimana pemerintah Yogyakarta sudah ada sejak Kraton
Yogyakarta berdiri Tahun 1756. Sebagai kepala pemerintahan adalah Raja yang berasal dari bahasa sansekerta Raj, yang artinya
daulat; souvereign) atau bahasa Jawa Ra-tu (yang dirnuliakan karena
tuah dan kesaktiannya). Sedangkan sebutan untuk Raja atau Ratu
adalah Sultan. Kata Sultan diambil dari bahasa arab Sulthoni,
artinya yang ,mempunyai hubungan dengan kekuasaan/pernerintahan. Gelar lengkap seorang Raja di Kraton Yogyakarta adalah
Sampeyandalem Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengkubuwono, Senopati Ing Ngalogo, Abdurrahman Sayidin Panoro
Gomo, Kalifatullah Ingkang Kaping I . Secara arfiah gelar ini mempunyai rnaksud Sultan sebagai penguasa yang sah di dunia fana ini,
yang mempunyai kekuasaan untuk rnenentukan perdamaian dan
perang, sekaligus panglima tertinggi angkatan perang panata
agama yang pernurah dan juga Kalifatullah di muka burni.
lstilah Sultan sendiri lebih mempunyai konotasi duniawi
(bandingkan dengan istilah gelar Sunan di Kerajaan Surakarta,
yang lebih mempunyai konotasi Ukhrowi). Sedangkan nama panjang yang dipergunakan oleh Sultan juga mengandung dimensi
kehambaan hamba Allah (Abdurrahman), pengelola (Sayidin
Panata-Gama) dan dimensi Penguasa.
.
.
Sejak P. Mangkubumi (R.M. Sujono) resmi Jumenengnara di
cikal bakal Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yakni di Ambar
Ketawang, beliau mengangkat Tumenggung Yudonegoro I,
Bupati Banyumas menjadi pepatih dalem dengan gelar patih
Danurejo. Kemudian disusul pengangkatan pejabat-pejabat

3. Kondisi Pemerintahan

a. Bahasa Jawa ngoko, bahasa yang dipergunakan untuk berkomunikasi antar keluarga dekat, persaudaraan yang akrab.
b. Bahasa Jawa rnadya, bahasa yang banyak dipergunakan antar
rnereka yang tidak mernpunyai hubungan dernikian erat, misalnya antara atasan terhadap bawahan. Dalam ha1 ini ada
unsur saljng menghormati.
c. Bahasa Jawa krarna, bahasa halus yang dipergunakan bagi
orang-orang yang saling menghormati secara mendalam.
d. Bahasa Bagongan, bahasa yang dipergunakan dilingkungan
Kraton, terutarna untuk acara-acara resmi.

p e n i c ~ ~ n t a l ~ lainnya,
an
seperti Raden Rangga Prawirosentika
ilntuh Bupati Madiun. Sedangkan untuk bupati mancanegara
diangkat Raden Kangga Prawirodirdjo. Cikal bakal kraton
sementara di Ambar Ketawang ini didirikan pada tanggal 3 Sura
\Vawu 1681 atau 9 Oktober 1755, yang diperingati dengan
caiidrasengkala: Pak Diro Ngupokara Anake (Pernda DIY, Sejarah
Perkembangan Pemerintahan Propinsi DlY, 1992: 61).
Penamaan Yogyakarta sendiri menurut babad Gianti, dicetusAan oleh Paku Buwono 11, yang mana senlula bernarna Garjitawatl-bisikan hati. Dikatakan dernikian karena pada waktu Sinuhun
Amangkurat Amral berkuasa (1677 - 1703) timbul bisikan bahwa
wahyu kraton Kartosuro telah pindah ke hutan Pabringan di
Yogyakarta. Kemudian riarna Yogyakarta diartikan sebagai
J'ogpya-Karta (kota yang rnakmur). Sedangkan Ngayogyakarta
liarliningrat adalah kota yang makmur dan paling utarna dan
nierupakan keindahan di muka bumi ini.
Serelah perjanjian Gianti, luas wilayah pernerintahan Sultan
Yogyakarta meliputi: Madiun, Magetan, Caruban, separo Pazitan,
Kertosono, Kalangbrer, Ngrowo (Tulungagung), Japan (Mojokerto),
.Iipang (Bojonegoro), Teras Karas (Ngawen), Selo, Warung d m
Grobogan.
Pembagian wilayah sebagairnana. dijelaskan di atas sudah
barang tentu ada kaitannya dengan basis kekuatan pertahanan
tentara Pangeran Mangkuburni yang pada waktu itu rnengadakan
perlawanan rerhadap VOC. Perlu diingat bahwa tebaran kekuatan
Pangeran Mangkuburni begitu luas membentang dari daerah
Bagelan, Grobogan sampai ke Pasuruan dan Ponorogo. Daerahdaerah yang berada di bawah kekuasaan Pangeran Mangkuburni itu
saling berdekatan bahkan carnpur dengan daerah-daerah yang menjadi bagian Susuhunan. Dari segi kearnanan pembagian wilayah
semacam itu rnerupakan keberuntungan, karena kalau terjadi pergolakan dapat diatasi secara bersama-sama antara pihaR Sultan
maupun Susuhunan. Tetapi ditinjau dari segi geografis dan
penataan ternpat kurang praktis dan dapat menirnbulkan hambatan
dalam upaya penyelenggaraan pemerintahan.
Secara umurn sistern pemerintahan kerajaan di Yogyakarta terdiri dari 4 lingkaran (Selo Surnardjan, 1991; 29) yaitu:
I . Kraton (parentah jero), yang bertanggungjawab atas pernerintan dalarn dan juga bertindak sebagai perantara Sultall
dengan pemerintah luar.
2. Nagara (parentah njaba), tempat kedudukan pemerintah luar serta
ternpat kediarnan para pangeran, patih dan.para pejabat tinggi
lainnya

I
1

Sedangkan bentuk pemerintahan di Yogyakarta setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, ditandai dengan pcristiwa
bersejarah, dimana Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Paku Alam
VIII, sama-sama mengeluarkan amanat yang, menyatakan bahwa
Yogyakarta dan Kadipaten Pakualam adalah Daerah Istimewa dari
Negara Republik Indonesia. Amanat ini dikeluarkan pada tanggal
5 September 1945 (Soedarisman Poerwokoesoemo, 1984; 15) yang
isi lengkapnya sebagai berikut:

3. Nagaragung atau Nagara Agung (secara harafiah ibu kota yang


besar).
4. Mancanagara (secara harafiah negeri asing), diperintah oleh
para bupati yang ditunjuk oleh Sultan dan bertanggungjawab
kepada patih.

Hamengkubuwono IX

Ngajogjakarta Hadiningrat 28 Puasa


Ehe 1876 atau 5-9-1945

Demikian pula amanat yang sama ditulis dan diumumkan oleh


Paku Alam ,VIII kepada seluruh penduduk negeri Paku Alam
dengan ballasa serta tanggal dan tahun yang sama.
Dalam amanat-amanat tersebut diatas, dengan tegas dinyata- ,
kan bahwa baik kesultanan maupun daerah Pakualaman rnerupakan Daerah Istimewa dari Republik Negara Republik Indonesia,
sesuai dengan yang dimaksud dalam pasal 18 UUD 1945 beserta
penjelasan resrninya. Sampai saat ini Yogyakarta dibentuk secara
tersendiri dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 1950 No. 19
Tahun 1950. Dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang
Pokok-pokok Pemerintahan Daerah posisi ini juga diperjelas dalam
Bab VII Aturan Peralihan pasal 91(b) bahwa Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah sesuai dengan Undang-Undang ini, dengan
sebutan Kepala ~ a e r a hdan -Wakil Kepala Daerah tidak terikat
pada ketentuan masa jabatan, syarat dan cara pengangkatan
bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah lainnya.

Kami Hamengkubuwono 1X, Sultan Ngajogjakarta


Hadiningrat menyatakan:
1 . Bahwa Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat yang bersifat
kerajaan adalah Daerah Istirnewa dari Negara Republik
Indonesia.
2. Bahwa kami sebagai Kepala Daerah mernegang segala kekuasaan dalam negeri Ngajogjakarta Hadiningrat, dan oleh
karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini
segala urusan pemerintahan dalam Negeri Ngajogjakarta
Hadiningrat rnulai saat ini berada ditangan kami dan
kekuasaan-kekuasaan lainnya kami pegang seluruhnya.
3 . Bahwa perhubungan a n t a r a Negeri N g a j o g j a k a r t a
Hadiningrar dengan pemerintah Pusat Negara Republik
Indonesia bersifat langsung dan Karni bertanggungjawab atas
Negeri Kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia.

AMANAT SRI PADUKA INGKENG SINUWUN


KANGDJENG SULTAN

tF

3i

Disamping itu, jiwa kesatria yang terbentuk pada Pangeran


Mangkubumi adalah Satria yang pilih tanding, t a n p a kompromi
untuk membela kebenaran dan harga diri. Hal ini dapat dilihat saat
mengatasi pembrontakan orang-orag Cina di Kraton Surakarta
dengan bantuan kompeni, yang terkenal dengan Geger Pacinan.

Bendoro Raden Sujono remen sesirik lan tirakat, kerep


sanget tindak-tindak hing ngasepi momor para kawulo. Mila
tamat sanget dateng panggesanganipun parakawula hingkang
tansah nandang kacingkrangan. Saking bantering lampah
sarta tumindak tumemen, panuwunipun dhateng hingkang maha
Kuwahos mbaka sekedhik dipun parengaken.

Kiprah dan peranan Pangeran Mangkubumi semakin besar,


baik dikalangan Istana (Kraton) maupun dikalangan masyarakat.
Disamping sebagai ahli tirakat dan nglakoni perilaku prihatin,
pangeran Mangkubumi juga ahli strategi perang dan juga arsitek yang
handal. Hal ini dapat kita lihat kemudian saat-saat awal berdirinya
Kraton Yogyakarta Hadiningrat.

Berdirinya Kraton Yogyakarta tidak terlepas dari perjalanan sejarah Kraton Surakarta Hadiningrat. Pendiri Kraton
Yogyakarta Hadiningrat adaIah adik Paku Buwono I1 yang bernama
Raden Mas Sujono. Karena jasa-jasanya dalam ikut serta di
bidang pemerintahan, oleh Paku Buwono I1 beliau diberi geIar
Kangjeng Pangeran Harya Mangkubumi. Sebagaimana disebutkan
oleh K.P.H. Mandoyokusumo (1988:5).
Ngarsadalem Sampeyandalem Ingkang Sinuwun Kangjeng
Sultan Hamengku Buwono I punika putradalernsarnpenyandalem Hingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Prabu Amangkurat IV, katelah hasma Kanjeng Susuhunan Hamangkurat
Jawi, ugi Kanjeng Susuhunan Prabu, miyos saking gar\vo
arnpeyan Mas Ayu Tejowati.
Hingkang raka Sampeyandalem Hingkang Sinuhun
Kangjeng Susuhunan Paku Buwono I1 sanget kapranan
dhateng tumindakipun hingkang rayi Bandara Raden Mas
Sujono, mila saya dangu katingal sihipun sarta kapitados
tumut cawe-cawe hing bab pemerentahan, lajeng kawisuda
hasma Kangjeng Pangeran Harya hfangkubumi. Manawi
wonten ruwet renteng ing praja temtu kapasrahan ngudari, Ian
temtu saget kaleksanan kanthi maremaken.

B. Sejarah Kraton Yogyakarta

Demikian pula saat tidak satu ,orangpun yang berani menghadapi


pemberontakan Tumenggung Martopuro, Pangeran Mangkubumi
tampil ke depan dan mengatasinya.
Pengalaman dan penghayatan terhadap kehidupan inilah yang
menciptakan kekokohan sikap a a n prinsip Pangeran Mangkubumi
untuk tetap tidak mau berkompromi dengan pihak Kornpeni.
Bahkan saat Paku Buwono I1 mencoba untuk membujuk Pangeran'
Mangkubumi agar bersedia memberikan sebahagian tanah per:
dikannya di Sukowati kepada Kompeni Belanda, Pangeran
Mangkubumi memilih menyerahkan seluruhnya saja kepada Paku
Buwono 11, dengan konsekuensi bahwa Pangeran Mangkubumi siap
masuk hutan keluar hutan demi mempertahankan prinsip dan harga
dirinya. Setelah mengalami perang secara sporadis dengan pihak
Belanda, maka pada tanggal 13 Februari 1755 diadakanlah suatu perjanjian di desa Giyanti yang terkenal dengan Perjanjian Giyanti, dan
merupakan tonggak sejarah berdirinya pemerintah Kerajaan
Ngayogyakarta Hadiningrat.
Adapun bunyi pasal-pasal diangkat dalam perjanjian Giyanti
antara lain:
1 . Pangeran Mangkuburni diangkat sebagai Sulan Hamengkubuwono Senopati lngalaga Ngabdurrahman Sayidin Panotogomo
Kalifatullah di atas separo dari Kerajaan Mataram, yang diberikan kepada beliau. Dengan h a k turun temurun pada warisnya, dalam ha1 ini Pangeran Adipati Anom Bendoro Raden Mas
Soendoro.
2. Akan senantiasa diusahakan adanya kerjasama antara rakyat yang
berada di bawah kekuasaan Kompeni Belanda dengan Kasultanan.
3. Sebelum Pepatih Dalem (Riijksestuurder) dan para Bupati mulai
melakukan tugasnya masing-masing, mereka harus melakukan
.
sumpah setia pada Kompeni di tangan Gubernur.
4. Sri Sultan tidak akan mengangkat/memberhentikan Pepatih
Dalem dan Bupati sebelum mendapatkan persetujuan dari
Kompeni.
5. Sri Sultan akan mengampuni para bupati yang selama peperangan memihak Kompeni.
6. Sri Sultan tidak akan menuntut haknya atas pulau Mac'urz
dan pesisiran yang telah diserahkan oleh Sri Sunan Paku
Buwono I1 kcpada Kompeni dalam kontraknya pada tanggal 18
Mei 1746. Sebaliknya Kompeni akan memberi ganti rugi kepada
Sri Sultan 10.000 real tiap tahunnya.
,

-;

A;

b5

a. Untuk Susuhunan mendapat daerah-daerah: Jagaraga,


Ponorogo, separo dari Pacitan, Kediri, Blitar dengan
Srengat (ditambah dengan Lodaya), Pace (Nganjuk-Herbek),
Wirosobo (Mojoagung), Blora, Banyumas dan Kaduwang.
b. Untuk Sultan memperoleh daerah-daerah: Madiun,
Magetan, Caruban, separo Pacitan, Kertosono, Kalangsrebat, Ngrowo (Tulungagung), Japan (mojokerto), Jipang
(Bojonegoro), Teras Karas (Ngawen), Selo, Warung (Kuwu

Wirosari) dan Grobogan.


Setelah Perjanjian Giyanti inilah Pangeran Mangkubuml
membuka basis perjuangan sekaligus sebagai Kraton yang pertama
di Yogyakarta yang bertempat di Ambar Ketawang. Sampai
pindahnya Kraton Yogyakarta ke wilayah Mberingan atau alas
Pacethokan yang dianggap strategis untuk kerajaan. Lokasi ini juga
tidak terlepas dari hasil petunjuk seorang pekatik kesayangan

Perjanjian Giyanti ini dikenal dengan istilah Palihan Nagari.


Sedangkan realisasinya pembagian wilhyah kekuasaan antara
Kasultanan dan Kasunanan adalah sebagai berikut:
I . Untuk wilayah Negara-Gung d'ibagi menjadi dua. Susuhunan dan
Sultan masing-masing mendapat bagian yang sama. Susuhuna~l
mendapat 53.100 karya (bahu atau cacah), begitu pula Sultan
mendapat 53.100 karya. Tanah-tanah ini terutama adalah tanah
lungguh dan cara pembagiannya dilakukan tanah yang sedesa atau
sekumpulan desa diserahkan kepada kedua raja. Sehingga
tidak mengherankan dari cara pembagian itu mengakibatkan
tanah-tanah Sultan dan Susuhunan tercampur aduk atau saling
berdempetan letaknya.
2. Adapun pembagian daerah Monconegoro dilaksanakan daerah
perdaerah (Kabupaten demi Kabupaten). Susuhunan memperoleh 32.350 karya, sedang Sultan memperoleh 33.950 karya.
Dilihat dari segi kuantitas memang Sultan Yogyakarta mendapat bagian yang lebih luas, tetapi secara kualitatif tanah-tanah
tersebut tidak begitu subur. Pembagian untuk wilayah monconegoro itu kongkritnya meliputi daerah-daerah:

7. Sri Sultan berjanji akan memberikan bantuan pada Sri Sunan


Paku Buwono 111 sewaktu-waktu diperlukan.
8. Sri Sultan berjanji akan menjual kepada kompeni bahan-bahan
makanan yang diperlukan dengan harga tertentu.
9. Sri Sultan berjanji akan mentaati segala macam perjanjian
yang pernah diadakan antara raja-raja Mataram yang terdahulu
dengan Kompeni, Peristiwa perjanjian-perjanjian dalam tahun
1705, 1733, 1746 -dan 1749.
'

>.

Pangeran Mangkubumi yang dikenal sebagai ahli perang jugs


dikenal sebagai seorang arsitek dan pujangga yang unggul. .Setelah
dibangunnya Kraton dengan segala isinya yang mengandung nilainilai filosofis, juga dibangun Taman Sari di sebelah Barat Kraton
Yogyakarta. Taman Sari yang dikenal di sebelah Barat Kraton
Yogyakarta. Taman Sari yang dikenal dengan istana air (water castle)
dan sumur gumuling-nya disamping berfungsi sebagai tempat
istirahat raja yang mempunyai fungsi pertahanan. Didalam sumur
Gumuling ini dapat ditemukan tempat wudhu dan pesalatan
sernacam mighrab untuk imam memimpin shalat berjarnaah. Hal ini
menunjukkan bahwa sejak Pangeran Mangkubumi atau Sri
Sultan Hamengkubuwono I nafas islam sudah sangat merasuk pada
nilai-nilai kehidupan dan bangunan dalam benteng (njeron beteng).
lstana dalam (njeron beteng) ini ditandai dengan beteng yang
melingkup~ wilayah Kraton, yang disebut Baluwarti. Beteng
Baluwarti ini terdiri dari lima pintu (Plengkung) yailg dulunya berfungsi sebagai pintu rnasuk ke dalam wilayah Kraton. Plengkung ini
sesuai dengan namanya mempunyai fungsi masing-masing, antara
lain:
1. Plengkung Jagasura (saat i n i plengkung Ngasem) diambil dari
nama prajurit yang menjaganya yakni Jagasura; Jaga = penjaga
pelindung, Sura = pemberani. Jagasura = .penjaga/pelindung
yang berani. Plengkung ini pada masa pemerintahan
Hamengkubuwono VIII, karena kondisinya yang sudah cukup
membahayakan, direnovasi dengan menghilangkan plengkungnya;
sehingga tinggal bentuk pintu gerbang seperti yang ada saat ini.
2. Plengkung Tarunasura (saat ini Plengkung Wijilan), juga

Babad Mangkubumi gives a date equivalent to 6 November


1755. Dutch records suggest that the move actually took place
in February 1756, but that court was not officially named
Ngajogjakarta Adiningrat until April. In the Kraton itself
the fundation date in expressed in a depiction of two serpents
entwined, representing the chronogram "two snake feel as one
(dwi naga rasa tunggal)". This in Javanese year 1682, which
began only in late September 1756.

Sultan, dimana yang bersangkutan melihat banyak burung kuntul


dan blekok disekitar wilayah ,tersebut, yang berarti adanya sumber
air dan kehidupan di daerah yang baru tersebut. Berdirinya Kraton
ini ditandai dengan Condrosengkolo: Dwi Naga Rasa Tunggal, atau
tahun 1682 menurut perhitungan tahun jawa, atau 1756 masehi,
sebagaimana disebutkan oleh M.C. Ricklefs dalam bukunya
Jogjakarta under sultan Mangkubumi (1974; 80).

S:1..

!
i

$:

r:

.1:{

-1

,i
.

-i

::i

4. Plengkung Jagabaya (Plengkung Tamansari). Fungsinya lebih


bersifat pengamanan terhadap kemungkinan adanya serangan dari.

Ada dua versi yang rnenafsirkan kejadian tersebut. Versi


pertama, rnenurut buku Dunia Njvi Ageng Serang, tulisan
Mashoed Haka (1976; 96) tentara Inggris dibawah pirnpinan
JenderaI GiIIespie mernasuki Kraton melalui Alun-alun utara.
Kejadian ini dibenarkan oleh A.S. Dwidjosarojo diatas.
Karena Plengkung Madyasura (sudah buntu) penjagaannya
sangat kuat, maka tentara Spoy menyesang melalui pojok beteng
di Jalan Yudonegaran. Ini dibuktikan dengan hancurnya
bangunan pojok beteng tersebut, dan bobolnya sebagian dindins
beteng.
Versi kedua, dan ini sudah menjadi semacam dongeng,
walaupun secara tegas tidak disebutkan melalui Madyasura,
setidak-tidaknya terjadi pertempuran yang sengit di sini.
Terbukti dalam penggalian untuk pondasi rumah penduduk
sekitarnya, serirlg dijumpai kerangka rnanusia. Hal ini menunjukkan bahwa sekitar Plengkung Madyasura ini menjadi ajang
pertempuran dimana tentara Inggris berusaha masuk melalui
jalan ini.
..

Anggenipun rumiyin kabunter inggih punika nalika


wonten pawartos badhe mlebetipun prajurit Inggris ing
tanggal 23 Juni 1912 medal ing Plengkung wau. Nanging
nyatanipun rnlebetipun prajurit Inggris mboten medal
Madyasura, medal sisih ler .....

mengambil nama prajurit penjaganya, yang masih niuda (taruna)


lagi pernberani. Plengkung ini yang dikernudian hari langsung berhadapan dengan beteng Vredeburg, rnarkas Belanda di Yogyakarta. Di bagian atas sebelah luarnya terdapat ornarnen
Sekaran dalam tiga luk (Ierlgkungan), yang belum diketahui
maknanya. Bagian dalam berbentuk segitiga dengan ornarnen
yang sangat sederhana.
3. Plengkung Madyasura (saat ini Plengkung Gondornanan).
Plengkung ini mempunyai fungsi yang sarna dengan Plengkung
Jagabaya. Ada yang menyebut Ta~nbakbaya dan Plengkung
Buntet. Setelah geger Spej (narna prajurit Spoy, tentara Raffles)
di jaman H B I1 yang dikenal dengan sebutan Sultan Sepuh
(1792' - 1812) pada tanggal 23 Juni 1812 Plengkung ini dibuka
kembali untuk jalan. Dalarn salah satu tulisan A.S. Dwidjosarojo, Rerakitanipun Karaton Ngajogjakarta (1935) disebutkan:

Makna filosofis dari kalimat diatas menunjukkan bahwa embunernbun terbuka pada saat rnasih bayi (pada saat pembuatan beteng),
dan kemudian tertutup rapat/buntet. Tileman mujur mangetan rai
majeng mengaler ...... kados kintel, menunjuk pada bentuk beteng
yang tidak berupa persegi empat utuh, tetapi berbelok ke Selatan
di arah mesjid, rnernbentuk kepala merionjol dibagian Utara-Timur,
agak berbeda dengan konsep Jawa yang simetris.
Akan tetapi keadaan itu seyogyanya tidak dilihat secara
wantah seperti wujud fisiknya. Karena konsep pembangunan Reteng
tetap menyatu dengan filosofi Manunggaling Kawulo Gust;, yang
tercermin dari ungkapan fisik elemen pelengkap Alun-Alun Utara,
seperti tata letak: Ringin Wok Jenggot, Kyai Dewandaru-

Nalika badhe darnel Beteng Kraton punika wonten tiyang


mertapa majeng mangetan, patrapipun anggenipun tapa
kasawanga kintel dasar kulitipun sang tapa wau inggih
abengkerok ......
Pangrakitipun Beteng lajeng kapiridaken patraping pamartapanipun Syech Majagung wau. Kadamel 'kados tiyang
tilernan rnujur mangetan rai majeng mengaler. Plengkung
Madyasura punika ing kinanipun mila buntet jalaran dados
pasemoning ernbun-embunipun tiyang.

Tinjauan filosofis beteng Kraton Yogyakarta ini juga digambarkan


oleh A.S. Dwijosarojo.

Ing Matararn betengira inggil


~ g u b e n kedaton
~i
Plengkung lima mung papat mengane
jagang jero toyaning wening
Tur pinacak suci
Gayam turut lurung.

luar beteng. Plengkung ini diruntuhkan seperti halnya Plengkung


Ngasem.
5. Plengkung Nirbaya (Plengkung Gading). Berarti tidak ada (nir)
bahaya yang rnengancarn darl sektor Selatan, Prajurit Nirbaya
bertugas rnembukakan pintu gerbang ini waktu malam, apabila
sudah ditutup dengan upah sebenggol.
Garnbaran mengenai Plengkung ini tidak luput dari penganlatan pujangga. Ini dapat dilihat dengan Pantun MGil
yang menggan~barkan keadaan beteng kraton semasa jayanya
(KPH Brongtodiningrat, 1978; 10).

i.

L'
.'.

;;-

:2

'.J

Dengan berdirinya Kraton Y ogyakarta, rnaka perkembangan


masyarakat, baik jumlah penduduk maupun luas wilayah semakin
lama sernakin besar. Semakin banyak -bangunan-bangunan yang
muncul sebagai daya dukung terhadap keberadaan Kraton. Meskipun bangunan dan pola tempat tinggal ini tetap .mengacu pada
keberadaan Kraton secara filosofis. Kraton dianggap sebagai pusat
(sentral) segala aktivitas kehidupan masyarakat (kawula). Kraton
selain berfungsi sebagai pusat peqerintah, juga berfungsi sebagai
pusat kegiatan budaya keagamaan, perekonornian, termasuk pendidikan keprajuritan olah raga dan olah rasa. Sehingga dengan perkembangan yang semakin pesat tersebut Kraton tetap dianggap

Jumlah pojok beteng ini juga dapat ditafsirkan merupakan


perwujuda'n empar dasar perjuangan Pangeran Mangkubumi dalani
menggerakkan sernangat rakyat menentang Helanda dengan semboyan: Sewlj'i, Greger, Tanpguh dan Ora rnjngkuh (Illashoed
Haka, 1976: 32).
Sau.iji, artinya setiap manusia, pelugas atau abdi dalern haru5
memiliki cita-cita luhur untuk memajukan negara dan bangsanya.
Cita-cita harus diarahkan perkembangannya lebih luas, terutama
yang ditujukan urltuk perbaikan mas!,arakat.
Greger, artinya gigih, bersernangat juang, rekad bular dan bergairah. Yakin akan falsafah d a n pola haluan negara, perca\.a
kepada ajaran-ajaran dan perintah Tuhan Gusti Ingkang
Murbeng Dumadi. Melaksanakan tugas dengan da!,a sipra !.ang
murni? berapi-api dan maju, demi kepentingan rakyat.
Tangguh, artinya mendudukkan kepribadiann! a. melungpuhkan
atau menempatkan kewibawaannya .pada tempat nya. Melaksanakan tugas tanpa ragu, t a n p a . bisa diganggu pengaruh llar dari
luar. Yakin akan hasil dan tujuan untuk rnembahagiakan mas!.arakat, meningkatkan mutu dan tingkat hidup rak!.at. Buhan bangga
tetapi tepa selira, mawas diri iebih mendalam, dalam memperoleh
luhur dan luas.
Ora mingkuh, artinya Pantang mundur, maju terus. Lesuliran.
halangan, atau gangguan yang dihadapi selama melaksanakan
tugas negara dan bangsa harusdapat diatasi secnra perwira. Bukan
kebijaksanaan asal selamat, tetapi tindakan lcgas yang dapat dijadikan tauladan untuk memecahkan kesulitan atnu perkcmbangan
yang tidak memuaskan. Keyakinan kepada Tuhan Yang Maha 1353
harus dilaksanakan dengan amal yang nyata. untuh- mendorong
lebih maju, Iebih memuaskan pergaulan antar manusia.

Janandaru/\brijayandaru, Gung Barur, rncngikuri konscp L.oro


nanginp runggal. Sejatine padha, naging orang padha.

(1822 - 1626)

5. G.R.M. Gathot hllenol

(1'814 - 1822)

4. G.R.31. lbnu Jarot

(1810 - 1814)

3. G.R.M. Surojo

Gelar Sri Sultan Hamengku


Buwono IV

Gelar Sri Sultan Hamengku


Buwono I11

Gelar Sri Sultan Hamengku


Buwono I1

Gelar Sri Sultan Hamengku


Buwono V

(1792 - '1810) (1826, - 1828)

2. G.R.M. Sundoro

sebagai Pancer, Puser bumi dan perwujudan makro kosmos dalam


bentuk miniaturnya.
Perkembangan dinamika Kraton ini juga tidak teriepas dari
gcjolak-gejolak yang tirnbul akibat ulah dan pengaruh Belanda di
bumi Mataram. Secara iurun temurun Sultan selalu mempunyai prinsip yang jelas terhadap Belanda yang dianggap sebagai riyang njaba
atau rjyang rnanca nagari. Meskipun demikian tidak sedikit pula
kerabat Kraton yang mempunyai kepribadian tidak kukuh terhadap prinsip ini, dan rnencoba lebih lunak dan berkolaborasi
dcngan pihak Belanda. Dinamika yang dernikianlah yang melahirkan sejarah dan babad Kraton (tanah jawa) yang sangat berbeda
dcngan sejarah-sejarah Kraton sebelumnya.
Sejak berdiri pada tahun 1755, Kraton Yogyakarta telah
memiliki 10 orang Sultan, 8 orang Sultan memerintah sebelum
Kemerdekaa~~Negara Republik Indonesia, sedangkan 2 orang
memerintah setelah kemerdekaan. Meskipun setelah kemerdekaan
posisi Yogyakarta berubah menjadi bahagian dari Pemerintah
Republik Indonesia, sebagaimana amanat Sri Sultan Hamengkubunlono 1X dan Paku Alam VlII (Kadipaten Pakualaman) pada
tanggal 5 September 1945. Adapun Sultan Yogya tersebut adalah
sebagai berikut:
1. B.R.M. Sujono
Gelar Sri Sultan Hamengku
Buwono I
(1755 - 1792)

Gelar Sri S u l r a ~ Hamengku


~
Buwono S

Gelar Sri Sulra~l H a m e n g k ~ ~


Buuono IS

Gclal- Sri Sultan Hamengku


Buwono Vlll

Gelar Sri Sultan Hamengku


Buwono \ / I 1

Gelar Sri Sultiin Hamengku


Buwono Vl

Kraton secara seosrafis rerlerak diten_rah-rengah kola.


Yogyakarta. Titik pusat kota dimuhi dari Kraron pans rnempunpai
sumbu koordinat (absis dan ordinat) !.ang sarna. Le arah utara
Gunung Merapi, dan ke Selatan lautan Hindia (Segara Kidul) mcmpunyai jarak rata-rata 35 Km.
Dalam planologi kota, Kraton terap dijadikan sebagai pusat
(pancer) pola perkembangan kota. Keserasian dan keharrnonisan
menjadi prinsip penataan kota sesuai dengan prinsip dan pola
hidup masyarakat kultur Jawa pada umumnya, dan Yogyakarta .
khususnya, yaitu kehidupan yang serasi, selaras dan seimbang.
Secara filosofis sumbu absis melambanskan sumbu keduniaan, ditandai dengan terbit dan tenggelamnya matahari dari arah Tinlur
ke arah Barat. Konsep Timur-Barat lebiir merupakan \\.arnjng
terhadap keterbatasan manusia di dunia ini. Manusia hidup di
dunia hanya sekedar mampir ngombe. Jadi mempunyai batas waktu
yang sifatnya sangat individual pada diri masin2-masing manusia.
Batas waktu yang bersifat sementara, tidak kekal. Meskipun konsep absis Timur Barat ini merupakan kaurah condrodimuko bagi
setiap rnanusia untuk mencapai dan inelalui sumbu ordinat, yaitu
sumbu Selatan-Utara yang sifatnya lebih spirirualistis.

C, Kraton Sebagai Pusat Pengembangan Kola

(1989 - Sekarang).

(1940 - 1988)
10. B.R.M. Herjuno Derpiro

9. G.R.M. Darojatun

(1921 - 1939)

8. G.R.M. Sujadi

(1877 - 1921)

7. G.R.M. Murtejo

(1855 - 1877)

6. G.R.M. Mustojo

Urara-Selatan, -yang rnerupakan sumbu absis merupakan


sumbu spiritual atau sumbu kelanggengan. Garis yang merupakan
proses kehidupan manusia rnenuju ke-keabadian. Oleh sebab itu,
bangunan-bangunan yang terletak sebelah Utara dan selatan pusat
kota adalah bangunan-bangunan dan aktivitas yang mendukung ke
arah konsepsi spiritual ini. Proses menuju pada kelanggengan ini
dapat terlihat pada bentuk struktur dan susunan bangunan sepanjang sumbu imajiner yang merupakan manifestasi simbolik dari
Sangkan paraning dumadi sampai kepada Manunggaling kawuloGusti.
Melihat bentuk dan tata ruang kota Yogyakarta, rnaka pola perkembangan kota yang terjadi adalah pola inti berganda (rnulti
nuclei) dimana terdapat beberapa inti pemacu aktivitas untuk berkernbangnya atau mekarnya kota disamping inti utarna Kraton. Hal
rni dapat dlbuktikan dengan adanya beberapa bangunan pokok yang
didirikan setelah berdirinya Kraton, seperti misalnya pasar
- Beringharjo, THR (terminal lama), Rurnah Sakit Panti Rapih dan
Bethesda, perumahan serdadu Belanda di Cemara Sewu, dan
berikutnya Universitas Gadjah Mada, kompleks perumahan Kota
Baru dan sebagainya. Dari inti-inti pemekaran kota seperti yang ter-

Hal itu berarti bahwa kita itu memiliki empat perlengkapan


dan kita berada ditengah-tengah orientasi. Istilah pancer yaitu
pusat, menerangkan tentang gerak sentrifugal dan sentripetal
ke-ego-an kita yang harus rcrus menerus diproses sampai tercapainya irama alpharythrnik pancer lirna.

Sesuai dengan konsep ini, maka seharusnya perkembangan kora


Yogyakarta ke arah Timur dan Barat lebih condone kepada pembangunan dan perkembangan yang sifatnya kadunyan (keduniaan).
Sebagaimana dalam tata kota dan tata ruang kota Yogyakarta
memang per~embangan pusat-pusa! perdagangan dan pemerintahan diarahkan pada scktor Timur dan Barat. Padahal masalah
Timu; dan Barat, menurut konsep Jawa bukanlah rnenunjuk pada
arah dan tempat yang hakiki. Semua tergantung pada pribadi
(ego) itu berada. Ego yang mendunia arau yang rnengalarni
penq'atuan dengan Alam semesta tidak iagi rnengenal arah Barat
dan Timur maupun Utara dan Selatan. Sernua arah tersebut sudah
rnenyatu dalam kebulatan yang utuh dengan diri pribadinya.
Sebagaimana yang disampaikan oleh Dr. Darnardjati Supadjar
dalam tulisan Nawangsari (1993; 100) bahwa manusia baik secara
struktural maupun fungsional merupakan sentra (pancer). Hal ini
tersurat dalam ur~gkapan Sedulur papat, lima pailcer serta
h'iblat papat, lima pancer. Lebih lanjut disebutkan:

dapat pada saat ini telah berkembang menjadi pusat-pusat aktivitas


yang ramai. Berikut ini digambarkan proses perkembangan geografi
kota Yogyakarta (Prof. Drs. Bintarto; 1977; 60).

Sehubungan dengan penjelasan diatas, dalam kaitannya


dengan Kraton, maka konsep yang bersifat makrokosmos selalu
dikaitkan dan secara empiris dapat diterapkan pada kekuasaan
raja yang mikrokosmos. Jelasnya, unsur yang ada diseluruh wilayah
kasultanan akan terpusat pada raja (pancer). Ini menunjukkan bahwa
berdasarkan konsep kosmopolitan kekuasaan itu lebih bersifat
sentralistis. Hal ini sesuai dengan sistirn pembagian wilayah di
Kasultanan Yogyakarta yang menganut pola pembagian wilayah di

cedhak tanpa senggolan adoh tanpa wangenan.

Kosmologi sebagai bahagian dari metafisika sintetik rnembahas tentang keberadaan, atau adanya alam semesta, Manusia dan
Tuhan (Philosophy of being). Ketiga unsur kosrnologi ini rnenjadi
dasar dan melekat pada keberadaan Kraton Yogyakarta. Unsurunsur ini secara implisit terlihat pada bentuk dan susunan
bangunan Kraton, yang dimanifestasikan dalam simbol-simbol
dengan arti dan makna masing-masing bangunan. Hubungan
korelatif antara manusia-alam semesta dan Tuhan secara simbolik
terpadu pada bangunan Kraton dan tata kota Yogyakarta.
Manusia dalam pemahaman kultur Jawa khususnya, adalah
rnikrokosmos (jagad cilik) dan merupakan satu kesatuan dengan
makrokosmos (jagad gede). Dalam taraf pemahaman tertentu
pengertian satu kesatuan ini berupa peleburan diri rnanusia'
terhndap alanl semesta atau manusia yang sudah meng-alam semesta.
Prinsip dassr bagi pengertian yang seperti ini adalah tingkat kesadaran n~anusiauntuk menyatu dengan alam dan membawa alarn
kedalam dirinya sendiri, untuk memahami eksistensi alam dalam diri
manusia, diperlukan pengalaman spiritual berupa perenungan tentang keberadaan manusia dan alarn sebagai ciptaanNya. Dzat
Tuhan sebagai pcnuntun memberikan rasa Tuhan kepada diri
manusia untuk dapat memahami keluasan dan samudra ilmu illahi.
Kondisi seperti ini menciptaian hubungan manusia-Tuhan yang

A . Kosmologi Kraton

BAB 111
MAKNA FILSAFATI STRUKTUR KOTA
YOGYAKARTA

Oll m

*)L

(d

c .r .E

c c

'2 L.9"'

me,

(d

E-O,

A
.$
-,

-gT

? >> g . 2
(d
c
T
I
5 . 0 5z;; c .L

tll
C
L c d

o,E22

Ln

C-

22%; 2
3.5 a
tlJ.z3 m
-

c d 2

c
,

E .

$5
Q.2 E "

4
..

CQ

>.3,

m a e m

m m u

B Z C Ca
A & Z!
.O,'Z 3 3
og<o,

aJ-

c
3 G o
u :z,<a
Y . -

-a

'
L

M-a

he

7.-

Me,
e
r

.z.:

(d

g;

(d

2
(d

Mn;ij'i:G

'='a %

k-eZ.5
a m E x Earn,,

C 3 C
o 3 o ( d

2 g.-

a.5 .E C --ai
k'?sasz,.so h Q A >

o 3 s
22"KZ
'%$,
I 2 5 g 5A n Sr mDa 5

.z

s=.-(dz

(d C y . m - 0
U C
h ( d C $ - 7

mDD

(d

O 3.z

gaEa3z
n h o C . - u 7

-.-

C 0 2
20-a.-

3
Zed

cd c
r ~
C
(d M
cd.2
WF-"

Q 2 _ ?

'2 5 1 cd.Q

asC
s

I ~ E2 s; S. LC E

s z -a.z.z.e
a C a

c
d
3 C

5 s

e,
ME5T.S.,
* Y Y C
"I
L C L. e, 0 %
c d a z E . X - g x 2
T-adcd
rn2
"-aAxS:2s
Me,

.i:

1 M 1

-rn.5-azi:

z-goa2g1s
e C , z E z & 2 Q
c
d E
3 :. g m . ~ 02.G

'

$5.2
XEU

7 MCY M d O
1
YCcdcdC
w,cd-aclr] cd 0
AC'Z
- 0 c c d
E 2 2 0 0 0 0 * c d
c
d
s 1C;aX

Derivasi kosmologi secara makro, yang terruang dalam benruk


bangunan Kraton, dan secara mikro menyatu dalam diri seorang raja
dengan gelar Sultan Hamengk'bbuwono, Senopati Ing Ngalogo,
Abdurrahman Sayidin Panoto .Gomo, Kalifatullah.. Gelar yang
mengandung tekad ini jelas mempunyai dimensi spatial: Lahir-batin
dan dimensi temporal: awal-akhir. Kondisi kesesrnetaan raja
sebagai manusia tergambar pada HAhlENGKU BUWONO,
sedangkan rinciannya tergambar dalam rentetan pelar berikutnya.
Senopati Ing Ngalogo secara lahir adalah p;inglirna di medan
perang, secara batin adalah panglima bagi setiap diri rnanusia
untuk mengalahkan musuh yang ada pada diri sendiri berupa
nafsu-nafsu buruk (Amarah dan Lawwamah). Abdurrahman,
setiap raja/manusia adalah gambaran batiniah hamba Allah yang
mendapat kasih sayangNya. Sayidin Panoto Gomo, setiap raja
manusia diharapkan menjadi manusia pengelola agama yang
Sayyid yang meinpunyai orientasi dimensi temporal akhir. Sedangkan
kalifatul-Lah, cerminan penguasa yang mendapat nur Illahi, yang
memerintah sebagai waliul-Lah di muka bumi. Kesemua tekad dan
sifat ini merupakan langkah-langkah yang secara normatif harus ditempuh oleh seorang manusia untuk mengisi kehidupannya dalam
dimensi temporal: awal-akhir.

Wruhanira tekad ingkang luwih luhung


Poma dipun mengati-ati
Akeh sambekalanipun
Wali mukmin sadayeki
Pirang bara manggih yektos
(Ketahuilah tekad yang lebih tinggi,
Jalankanlah dengan hati-hati
banyak rintangannya,
Wali mukmin semuanya
Mudah-mudahan benar-benar menemukannya)

a. Kesempurnaan dalam ilmu pengetahuan.


b. Kesempurnaan dalam kasih sayang, sehingga kasih sayangnya
rneliputi semua makhluk, dan sebaliknya semua makhluk
rnenyayanginya.
c. Kesempurnaan kekuasaan atas pribadinya dan kejadizn-kejadian
atau peristiwa-peristinfa disekelilingnya atau dcngan lain perkataan kesempurnaan kekuasaan atas nama pribadinya.
Lebih lanjut disebutkan dalam ternbang Megarruh, Pepali Ki
Ageng Selo:

Semua 3ifa~-sifatlakon. dalam wayang ini diharapkan mampu


di\vujudkan dan tcrcerrnin pada sikap seorang raja (Sultan), yang
kemudian diikuti oleh para kawulanya. Seluruhnya ini merupakan
proses untuk menuju dimensi akhir, dan mendapatkan dalan
padang (Nur lllahi). Dengan dcmikian hidup manusia di dunia ini
dapat harmonis lahir bathin serta awal-akhir.
Harmonisasi ini sampai sekarang menjadi kata kunci dalam
pranata kultur Jawa. Berada dalam harmoni menurut Niels Mulder
(1983: 42) adalah hidup rukun atau sebagai "tenteram dan damai",
seperti persahabatan ideal, tanpa pertengkaran dan perselisihan,
bersahabat dan terpadu dalam tujuan dan saling membantu satu sama
lain. Kondisi ini bagi masyarakat kultur Jawa selalu diciptakan
dengan menerapkan unggah ungguh, empan papan, tepa selira dan
sebagainya yang mampu menciptakan stabilitas hubungan sosial
tanpa konflik. Manusia Jawa yang belum mampu menerapkan
prinsip-prinsip etika diatas, dianggap durung njawa, sebuah istilah
untuk menyebutkan ketidakfahaman atau ketidak mengertian seseorang terhadap manifestasi kultur Jawa. Seorang manusia Jawa

Dengan mengambil latar depan wayang sebagai cerminan


pensifatan rnanusia, Damardjati Supadjar rnenguraikan bahwa
"ada 8 ha1 yang harus dihayati oleh Calon Raja, yang juga dikenai
sebagai Wahyu Makutho Romo dalarn Wayang Purwa versi
Keraton Yogyakarta, yaitu":
I . Sifat Dewa Endra: suka mcngajar kepada siapa pun dengan
disiplin keras, tetapi penuh kesabaran.
2. Sifat Dewa k ' a ~ n aWicaksuh: benci kepada kejahatan dan mencari si penjaha~sampai ketemu untuk dipidana, tetapi bukan
orangnya yang dibenci dan dipidana, melainkan kejahatannya,
dan kalau penjahat ilu bertobat, dimaafian lahir batin.
3 . Sifat Dewa Surya: suka mengumpulkan harta benda dan uang
yang halal, sangat hernat dan tidak kikir.
4. Sifat Dcwa Candra: Pandai oleh asmara.
5 . Sifat Dewa Bayu: rajin dan tekun bekerja serta benci kepada
pemalas.
6. Sifat Dewa Wisnu: suka bermati raga untuk mendekatkan diri
kepada Yang Abadi.
7. Sifat Deula Brama: keras terhadap musuh, serta selalu siap
siaga menjaga seluruh wilayah dari serangan musuh.
8. Sifat Dewa Baruna: bersifat kesatria, berilmu karena gemar
rncncarinya dan cinta sesama.

Suasana harrnoni diatas, diceritakan d a l a n ~jejer nagari Ngastina


yang diketahui bahwa tokoh-tokoh yang berpcrilaku tidak baik,
curang dan jahar ada disini. Suasana yang kelihatannya paradoksal
ini memang sengaja ditampilkan untuk rnemberikan pemaharnan
kepada setiap rnanusia bahwa sifat dengki, angkara murka dan
sejenisnya bisa saja melanda dan menghinggapi setiap manusia
dimana pun ia berada. Manusia dalam cerminan ini adalah
manusia secara individual, yang mempunyai sifat dan tingkahlaku
bermacam-macam, persis seperti tingkahlaku "wayang sakkotak".
Setiap mancsia dalam berperilaku dapat saja mencerminkan salah
satu tokoh yang dilakonkan. Mulai dari tokoh idola sampai tokoh
yang paling tidak disenangi oleh masyarakat. Hari ini seseorang
boleh jadi menjadi Janaka atau Gatotkaca, tetapi dilain hari
menjadi Sengkuni atau Cakil. Tetapi sebaik-baik manusia Jawa
adalah manusia yang dapat menciptakan harmoni dengan lingkungannya dengan menerapkan dasar-dasar etika Jawa, tanpa
menimbulkan pertentangan dengan lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun sosial.
Defigan demikian, dapat disirnpulkan bahwa kosrnologi
Kraton mengandung aspek-aspek hubungan manusia secara vertikal, yakni hubungan manusia dengan Tuhan, serta aspek-aspek
hubungan manusia secara horizontal, yakni hubungan antara sesama

. . . . . Dhasar nagari panjang apunjung pasir awukir


loh jinawi, gemah ripah, tata tur raharja.
Loh tulus kang saru.a tinandur, jinalvi murah kang
sarwa tinuku.
. . . . . Ingon-ingon kebo sapi pitik i\!.en tan ana cinancangan
yen rina padha aglar ing pangonan, yen sore padha mulih
marang kandhange dewe-dewe. Para hdantri Bopati sapanekare
sami bijaksan lim pading kawruh, tansah ambudi raharjaning
praja. Sanadyan para nara kisma, padha tentrern atine mungkul
pangluwihing tatanen. Dhasar nagari gedhe obore padhang
jagade dhuwur kukuse adoh kuncarane . . . .. .

pada dasarnya lebih mengkhawatirkan sanksi sosial bcrupa


pengucilan masyarakat, daripada sanksi-sanksi lainnya. lrulah
sebabnya suasana rukun dan harmoni ini selalu dijaga dalam bentuk peiilaku dan sikap yang harrnoni dengan orang lain.
Suasana tenang, tenrerarn dan damai ini pun rneliputi ceriiacerita jejer wayang dalarn setiap lakonnya, Negara apa pun yang diceritakan oleh Ki Dalang, suasana harmoni tersebut mesti menjadi
bahagian dari pambuka atau awal ceritanya. Seperti dapat disimak
dalam Janturan Jejer Nagari Ngastina berikut ini:

Segara Kidul secara kosmologis merupakan gambaran


dinamika masyarakat, yang selalu bergerak dan berubah seperti
ombak lautan. Untuk menyelami dan mengetahui gerak dinamika
masyarakat tersebut seorang rsja harus berhubungan dengan
masyarakatnya. Hal ini dilambangkan dengan bentuk persatuan
(perkawinan) antara Raja dengan masyarakatnya yang dilambangkan
dengan seorang wanita yang cantik jelita, yakni oleh masyarakat Yogyakarta. Hal ini dapat dilihat dari peristiwa-peristiwa

Laut Selatan atau Segara Kidul terletak lebih kurang 27 Km


sebelah Selatan Kota Yogyakarta. Sebagai bahagian dari sumbu
irnajiner. Laut Selatan mempunyai makna dan arti tersendiri bagi
masyarakat Yogyakarta, khususnya kalangan kerabat Kraton
Yogyakarta-sebagai tempat bersemayamnya Ratu Kidul, penguasa
Laut Selatan. Legenda mengenai Ratu Kidul ini dimulai pada saat
pertemuan antara Panernbahan Senopati dengan Ratu Kidul.
Panembahan Senopati sebagai raja Mataram Lama, yang kemudian
menurunkan raja-raja kerajaan Mataram sampai saat ini. Panembahan Senopati yang pada saat itu sedang menghadapi ancaman
peperangan dengan kerajaan Pajang yang telah dikuasai oleh
Adipati Arya Penangsang dari kerajaan Jipang. Pada saat
Panembahan Senopati sedang melakukan nenepi di pinggir laut di
daerah Parang: Kusurno, ia didatangi oleh seorang putri yang
sangat cantik jelita, yakni yang akhirnya dikenal . sebagai
Kangjeng Ratu Kidul akan membantu Panembahan Senopati dalam
peperangan melawan Jipang, asal Panembahan Senopati bersedia
mengambil Ratu Kidul sebagai Istrinya, ha1 ini menjadi tradisi bagi
se:iap penguasa Kraton untuk memperistri Kangjeng Ratu Kidul.

I . Laut Selatan (Segara Kidul)

Sumbu imajiner yang dimaksud disini adalah garis lurus yang


ditarik secara imajiner dari poros Laut Selatan (Segara Kidul) sampai Gunung Merapi dengan melalui bangunan-bangunan yang
secara filosofis rnempunyai arti dan rnakna tersendiri, yakni
Krapyak, Kraton, Tugu, Monumen Yogya Kembali kesemuanya ini
berada pada satu garis lurus, garis ordinat alarn semesta, yang
~nerupakangambaran sumbu kelanggengan. Secara khusus masingrnasing wujud ini dapat dibahas sebagai berikut:

B. Konsepsi Sumbu Imajiner

manusia. Disamping itu juga tergambarkan miniatur alarn semesta


dan proses kehidupan manusia.

Penulis (Penyusun buku Tahta untuk Rakyat); Orang juga


mengatakan, setiap raja di 2,awa dianggap sebagai "suami"
Nyai Rara Kidul. Bagaiman pendapat Bapak tentang ha1 ini
dan pernahkah Bapak "berhubungan" dengan Dewi Laut Jawa
ini?
Harnengku Buwono IX: Menurut kepercayaan lama memang
demikian halnya. Saya menyebutnya Eyang Rara Kidul saja.
Dan saya pernah mendapat kesempatan "melihatnya" setelah
menjalani ketentuan yang berlaku seperti berpuasa selama
beberapa hari dan sebagainya. Pada waktu bulan naik, Eyang
Rara Kidul akan nampak sebagai gadis yang amat cantik;
sebaliknya apabila bulan menurun, ia tampil sebagai wanita yang
semakin tua.
Penulis: masih adakah acara nglabuh sekarang ini? Dan
sebagaimana ha1 ini dilaksanakan.
Hamengku Buwono IX: Acara nglabuh tetap diiaksanakan sampai sekarang. Artinya "melabuh" sesuatu ke Laut Jawa.
Setiap Tahun, pada ulang tahun raja - dalam ha1 Kasultanan
Yogya jatuh pada ulang tahun saya menurut hitungan Jawa,
seperangkat pakaian baru dan lama "dilabuh" di paftai
selatan. Barm&-barang yang akan dilabuh ditaruh d'atas
semacam getek (rakit), lalu didorong ke tengah laut awa
sampai batas yang memungkinkan. Perangkat pakaian itu
biasanya akan hilang, tetapi setelah beberapa lama pakaian
lama akan kembali dengan sendirinya.

i.'

spiritual yang selalu dilaksanakan, baik oleh kalangan kerabat


Keraton maupun oleh masyarakat umum, disekitar pantai Selatan,
khususnya di wilayah ParangTritis dan ~ a r a n g. y. ~ u s u m o .
. ~.
Bagi kalangan kerabat ,iK,eraton, hari-hari B u s u s yang berkaitan dengan Sultan (Raja), seperti Tingalan Dalem, peringatan
Jumenengan, selalu diadakan labuhan, yaitu melarung seperangkat
pakaian raja beserta dengan segala sesaji ke Laut Selatan. Secara
mistis bagi sebahagian masyarakat ha1 ini dianggap merupakan
sikap ngabekti terhadap Kerajaan Laut Selatan yang diperintahkan
oleh Ratu Kidul. Tetapi secara simbolik sesungguhnya peristiwa ini
merupakan peringatan bagi seorang raja untuk dapat selalu memberi kepada rakyatnya, dan melarung sebagian "miliknya"
sebagai simbolnya pembersihan harta benda dari ketidak2ucian
duniawi.
Seberapa jauh legenda ini mengandung kebenaran, dapat
disimak pernyataan Almarhum Sri Sultan Hamengkubuwono 1X
ketika diwawancarai (1982: 102-103).
I

/Iya clang Hyang Druna akon ngulatana


! Y o y a Rip kang Tirta Ning
iki gurunira
pituduh marang nira
yeku kang sira lakoni
mula wong tapa, \...(
angel pratingkah, urip
Aywa lunga yen durung wruh kang pinaran
Ian aja mangan ugi
lamun durung wruha
rasaning kang pinangan

7)

S a m p a ~ saat ini masih ada peristiwa-peristiwa yang dianggap


lncmpunyai keterkaitan erat dengan s i s t h kepercayaan masyaraAat tentang Laut Kidul. Sebagaimana peristiwa kebakaran yang
rnelanda tiga bangunan utama Kraton Surakarta pada tanggal 31
Januari 1986, dikaitkan dengan lalainya pihak Kasunanan Surakarta
untuk mengadakan upacara selamatan Labuhan, sehingga mengundang kemarahan Kangjeng Ratu Kidul. Setelah kebakaran, untuk
dapat membangun kembali Keraton yang terbakar dan untuk
meredakan kemarahan Kanjeng Ratu Kldul, maka abu sisa
Lebakaran Keraton Surakarta dilabuh ke Laut Selatan. (Lucas
Sasol~ghoTrlyogo, 1971; 94).
Terlenas dari faktor mistis dan lenenda
ini. Laut Selatan
bag] masiardkat Yogyakarta mempunyai arti penting dalam
simbolisme kehldupan manusia. Lautan, seperti yang digambarkan
dl depan mempunyai makna kosmologi sebagai suatu tempat yang
amat luas, dan merupakan gelombang dan dinamika masyarakat.
Masyarakat adalah tempat manusia secara individual untuk
ngangsu kawruh. Oleh karena s + i b itu, luas dan dalamnya ilmu
pengetahuan sering disebut dengan idiom lautan ilmu. Dalam lakon
pewayangan yang sangat terkenal untuk menceritakan tentang
pencaharian ilmu sejati, ilmu Tuhan, disebutkan dalam lakon
M'erkudara-Dewa Ruci. Dewa Ruci, dewa lautan yang bertubuh
kerdil persis wujud Werkudara melambangkan ilmu yang diperoleh Werkudara di tengah-tengah samudra. Prinsip mencari
1lm11- melaut - ini dalam istilah Jawa disebut ngangsu apikulan
\r arih (mencari air dengan pikulan air). Werkudara yang sesungguhnya diperdaya oleh Sang Begawan Durna untuk mencari ilmu
sejati difengah-rengah lautan dalam bentuk air Perwitasari,
Pawitra Ltau Pawirradi h-hirnya karena keiklasannya, kesuciannya
benar-benar menemukan dirinya dalam bentuk wejangan-wejangan
Dewa Ruci, Dewa lautan (lautan ilmu). Dalam tembang Durma
berikut ini dapat disimak (Sujamto, 1992; 71-72).

'

ill

II

Penggambaran s.gara sebagai lautan ilmu dan dinamika masparakat merupakan-usaha setiap pribadi untuk rnengenal dirinya
sendiri dan mengenal lingkungan masyarakatnya. Konsep Monopluralis antara makhluk individu dan makhluk sosial serta sebagai
makhluk Tuhan menyatu disini. Itulah sebabnya, bagi manusia
yang berilmu, ilmu itu adalah milik Tuhan yang dilantarkan
melalui pribadinya, dan bukan sebagai akibat usaha dan
"kepemilikannya" terhadap ilmu tersebut, tetapi karena "ridha"
Allah untuk menjadikan seseorang berilmu.
Dalam kaitannya dengan Keraton, seorang raja sebagai
panutan dan Kalifatul-Lah, tentunya harus memiliki hubungan dan
pemahaman yang sangat mendalam terhadap segara sebagai cerminan dinamika masyarakat, dan segara sebagai lautan ilmu.
Karena manusia yang telah disinari oleh ilmu dan nur Illahi yang
diharapkan mampu berjalan lurus (Siratalmustaqiem) mulai dari awal
kehidupan (Panggung Krapyak) sampai kepada kehidupan yang
langgeng dan kukuh (Gunung Merapi). Seorang raja dianggap
manusia pilihan yang telah memiliki kecerdasan (Fatonah) untuk

Weruhira tetakon bisane iya,


lakon tetiron ugi
dadi lan tumandang
mangkono ing ngagesang,
ana jugul saking wukir
arsa tuku mas
mring kemasan den wehi.
Lancang kuning den anggep kencana rnulya
mangkono wong ngabekti
yen durung waskita
prenahe kang sinembah
Wrekudara duk miyarsi
ndheku nor raga
dene Sang Wiku sidik.
Toya piyak dadya sila Wrekudara
umatur meminta sih
anuwun jinatyan
pukulun sinten tuwan
dene negrikf pribadi
Sang Marbudyengrat
Angling Sang Dewa Ruci

aja anggangg<ta ugi


yen durung wruha
arane busaneki

Keraton sebagai inti (pusat) kosmologi kota Yogyakarta


terletak di jantung kota. Luas Keraton seluruhnya sekirar
14.000 meter persegi, yang terdi-ri dari bangunan-bangunan induk
dan penunjang, serta halaman dan lapangan. Masing-masing
bangunan ini rnempunyai makna dan arti, sesuai dengan fungsi
bangunannya. Bangunan-bangunan inti yang ada di Keraton antara
lain:
1. Alun-alun Selatan
.., c,;,-i .... .2. Sasana lnggil
.
3 . Bangsal Kemandungan
b

3. Keraton

Panggung Krapyak terletak sekirar 2 Km sebelah Selatan


Keraton Yogyakarta. Mempunyai bentuk seperti Kastil dengan
batu yang ditata setinggi lebih kurang 10 rn. Panggung Krapyak
ini terletak di kampung Mijen, yang dahulu digunakan oleh raja
sebagai panggung untuk melihat dan rnenonton kerangkasan para
prajurit berburu menjangan. Secara simbolik Panggung Krapyak ini
merupakan bagian awal dari tiga susunan sumbu imajiner (Panggung
Krapyak - Keraton - Tugu) Sangkan Paraning Dumadi. Ia
rnenggambarkan palus, atau alat kelamin qYanita. Pertemuan
antara Wiji (benih) yang digambarkan antara Panggung Krapyak
(sel Telur) dengan Tugu Pal Putih sebelah Utara Keraton (Sperma)
yang melahirkan manusia.
Krapyak rnenurut kepercayaan Jawa, khususnya Keraton
adalah tempat roh-roh. Roh suci yang atas perkenan Allah dihernbuskan ke dalam badan besar seorang calon bayi dalam kandungan sang ibu. Sebelah Utara Panggung Krapyak terletak
Kampung Mijen, yang berasal dari katq.,Wiji, sebagai bukti atas
makna simbolik Panggung Krapyak. ~ j i e k i t a rPanggung Krapyak
pada zaman dahulu banyak ditumbuhi pohon asem dan tanjung.
Makanan (rasa) dan bau yang disenangi oleh wanita yang sedang
hamil. Disarnping memuat pengertian "Nengsemake" (menyenangkan) serta disanjung-sanjung (tanjung) oleh lingkungannya
dalarn rangka menunggu kelahiran sang jabang bayi.

2 . Panggung Krapyak

dapat menyerap "lautan ilmu" Allah dan mencontohkannya kepada


seluruh masyarakat. Sehingga orang pertama yang harus berhubungan dengan segara, yang digambarkan dengan wujud Ratu Kidul adalah raja.

Alun-alun Selatan adalah bahagian Kerator. yang paling


Selatan sebelum keluar dari lindungan Jeron Beteng nlelalui
Plengkung Nirbaya. AIun-alun Selatan pada rnasa pernerintahan
raja-raja Mataram di Yogyakarta, digunakan sebagai tempat
melatih prajurit-prajurit dalam ilmu kanuragan dan juga ketangkasan berkuda untuk pasukan kavaleri. Ditengah-tengah Alun-alun
terhadap dua pohon beringin yang disebut "wok", yang berasal
dari kata brewok, untuk menunjukkan alat kelamin pria dan
wanita. Di sekitar Alun-alun terdapat 5 buah jalan, dua sebelah
Timur dan 2 sebelah Barat serta satu sebelah Selatan yang menuju
Plengkung Nirbaya. Kelima jalan menunjukkan atau melambangkan

Alun-alun Selatan

Disamping bangunan-bangunan diata;, Keraton Yogyakarta


masih mempunyai satu bangunan lagi yang cukup penting dan
merupakan peninggalan Sri Sultan Hamengku Buwono I , yakni
Taman Sari. Sebagai seorang arsitek, Taman Sari ini dibuat
sedemikian rupa sehingga merupakan tempat pesanggrahan dan
sanggar pamujan (shalat) yang sangat baik dan tenang.
Kraton Yogyakarta yang dibangun sekitar Tahun 1756 tersebut sampai saat ini masih memperlihatkan bentuknya yang asli,
kecuali beberapa bangunan yang sudah mengalarni renovasi dalam
beberapa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono I sampai
Hamengku Buwono X. Masing-masing bangunan dapat dilihat
dan diartikan sebagai berikut:

4. Bangsal Kemagangan
5. KedatodPrabayeksa
6. Bangsal Kencana
7. E a ~ g s a lSri Mangacii
8. Bangsal Ponconi!~
9. Eacgsal Winoto
10. Siti lnggil
1 1. Tarub Agung
12. Pagelaran
13. Alun-aluil utara.
Diantara satu bangunan arnea!i bangunan lainnya dih~!hungkan
oreh pintu gerbang (regol) yang mempunyai rnaksud pula.
Proses kehidupan seorang manusia scnenuhnya terletak pad2
arti-arti bangunan ini, mulai dari Selatan sampai Utara. Mulai dari
magang sebagai caion manusia (Kemandungan dan Magangan) sampai pada saat menjadi manusia dewasa yang telah akil balig yang
harus di gladi kedigdayan (Alun-alun Utara).

Rangunan screlah Alun-alun Selatan ini pada saat ini lebih


dikenal dengan Sasana lnggil D\vi Abad daripada Siti lnggil.
Karena pada bangunan-bangunan berikutnya yang ada disebelah
dalanl Keraton, terutama pada bangunan pokoknya, juga terdapat
Siti Inggil. Siti lnggil yang terdapat di sebelah selatan ini dapar
bcrarti kenaikan sukma atau kondisi.bayi dalam kandungan si ibu
yang sudah menunggu saatnya. Sebelum menuju ke bangunan ini
dahulunya ada satu bangunan lagi yang disebut tratag rambat, yang
saat ini sudah hilang dan tidak kelihatan lagi. Di sekeliling
bangunan Siti lnggil (Sasana Inggil) ini terdapat jalan yang
rnenuju ke halaman Kemagangan. Jalan di kiri-kanan Siti Inggil ini
disebut Pamengkang. Pamengkang berasal dari kata Mekangkang,
jmsisi kaki yang berjauhan satu sama lain. Posisi ini menunjukkan
kcaclaan seorang ibu yang akan melahirkan. Pamengkang sendiri
nlcnurul KRT. Puspodiningrat artinya mengungkap atau mengeluarkan
melahirkan. Di Siti lnggil ini dahulu terdapat sebuah
bangunan berbentuk pendopo, ditengah-tengah ada selo gilangnya,
tempat duduk Sri Sultan. Halaman Siti Inggil ditanami pohon
Soka dan pohon Palem Cempora. Bunga pohon-pohon ini rupanya
bagus sekali, berambut halu:, berkumpul dalam satu tangkai
bunga. Rupanya merah dan putih. Kalau Sri Sulran duduk di atas
selo gilang di tengah-tengah pendopo Siti lnggil ini, baginda selalu
dihadap kerabat Keraton dan para abdi dalem lainnya, pria dan
wanita.
Dari jalan Pamengkang ini ke arah Utara terus menuju Regol
dan halaman Kemandungan. Kemandungan berasal dari kata
Kandungan, kandungan seorang ibu yang siap melahirkan dan akan
melahirkan. Bayi yang lahir pada saat ini, seterusnya dilambangkan
akan melalui regol Gadtingmlari, yang warnanya hijau dan putih,
melambangkan bayi yang masih suci dan tenteram. Dari rego: ini
seterusnya akan memasuki halaman Kemagangan, dari kata
magang yang berarti magang sebagai calon manusia yang akan
hidup di dunia dengan segala dinamika dan persoalan hidupnya.

Sasana Inggil (Siti Inggil)

lima panca indra manusia. Sedangkan di Alun-alun sendiri


penuh dengan pasir halus, yang menggambarkan bahwa panca
indra yang kita rniliki belum sempurna dan masih belum teratur
5epcrti lepasnya pasir-pasir tersebut. Demikian pula di pinggiran
a!ull-alun ditanarn~ pohon Kweni dan pakel, melambangkan
Lel~utuhanseorang wanita yang sedang hamil serta berasal dari
kala "wani" (berani) untuk prajurit-prajurit yang sedang mengadakan gladi perang di Alun-alun tersebut.
'

I:

Prabayeksa 'rnerupakan bagian utama Leraton 1'0,.


"vakarla
Hadiningrat setelah kita rnasuk dari halaman Magangan menuju ke
Utara. Proboyekso dapat diartikan sebagai Sinar yang sangat besar
(Probo = Sinar; Yekso = Raksasa), atau Cahaya Agung.
Bangsal ini berdiri dengan Condrosengkolo: Warna Sanga Rasa
Tunggal sarna dengan tahun 1694 rnenurut perhitungan tahun Jawa.
Di dalarn Proboyekso ada beberapa pedaringan (ternpat tidur hias)
yang berlainan hadapnya. Ini rnernpunyai arti simbolik bahwa
Keraton rnenghadap ke ernpat penjuru angin, deilgan rnakna
kernanapun rnanusia rnenghadap ia tentu berhadapan dengan
Tuhan. Di dalarn Proboyekso jliga tersimpan Api Abadi atau
Kyai U'iii. Api yang tidak pernah p a d a ~ n ,yang rnelambangkan
benih yang tidak akan punah berkat Tuhan Yang Maha Esa.
Sernuanya ini rnelarnbangkan perjalanan seseorang yang seharusnya dituntun oleh cahaya agung yang terang henderang untuk
sampai pada satu ternpat tertentu yang abadi dan langgeng. Selain
bGgunan-bangunan utarna yang terletak ditengah-tengah kawasan
keraton, terdapat lagi bangunan disebelah kanan Gedung Proboyekso, yakni Gedong Jene (gedung kuning), yang bercat kuninp, yang
rnelambangkan tempat roh-roh yang sudah hening, bening dan rnurni,

Lemagangan merupakan garnbaran sang bayi vang lelah


lahir dengan selamat dan magang mcnjadi (calon-) manusia.
Kepadanya telah tersedia niakan yang cukup, digambarkall
dengan adanya dapur keraron Gebulen dan Sekullengen. Jalan
besar kanan-kiri kemagangan menggarnbarkan juga pengaruh
negatif atau positif atas perkernbangan sang anak. Hendaknya
sang anak dididik rnengarahkan cita-citanya lurus ke ulara ke
keraton, tempat bersemayanl Sri Sultan. Disini ia dapat
mencapai yang dicita-citakaunya asal mau bekcrja dengan
baik, patuh pada peraturan-peraturan, setia dan selalu ingat dan
rnengabdi kepada Tuhan Yang Maha Murah. Sernua ini digarnbarkan oleh apa yang dapat kita lihaf di kraton sarnpai
sekarang ini.

Karena kebutuhan seorang bayi yang sedang rnagang sebagai calon


rnanusia ini rnelulu makan dan dipelihara, rnaka dilarnbangkan
dengan dapur Keraton Gebulen yang ada disctbelah B a r a ~
Kemagangan dzn Sekullangen, dapur yang ada tJi sebelah .fimur
Kernagangan. Disekeliling halaman Kernagangan. ini jug;^ ditananli
pohon-pohon kepel, cengkir gading dan Pelem. Scbapainlana djsampaikan oleh KPH. Brongtodiningrar (1978; 14).

Bangsal Sri Manganti terletak di halanlan Sri Manganti setelah


keluar dari regol Danapratapa rnenuju ke Utara. Bangsal ini berfungsi sebagai persinggahan Sri Sultan pada saat akan kernbali ke
Kedaton. Disini Sultan akan dillaturkan rninurnan dan dijernput oleh

Bangsal Sri Mangrtnti

Bangsal Kencono, berarti bangsal keernasan. Bangsal Kencono


dibangun pada tahun Jawa 1719, ditandai dengan Condrosengkolo
Trus Sarunggal Pandiraning Rar. Bangsal Kencono rnenggambarkan rnanunggaling Ka\+lulo-Gusti, dalam arti bersatunya Raja
dan Kaivula. Bangsal ini biasa digunakan untuk rnenerima Sungkrman dan ternpat Ngabekren para abdi dalern pada hari-hari tertentu,
seperti Hari Raya ldul Fitri.
Pada Tanggal 7 Oktober 1988, pada saat wafatnya Sri
Sultan Harnengku Buwono IX, dan disernayarnkan di Bangsal
Kencana, suasana rnanungpaling Kawula-Gusti ini ditunjukkan
dalarn bentuk barisan panjang dan berjubelnya Kawulo yang akan
rnelihat Sultannya untuk yang terakhir kalinya. Pintu gerbang
depan Pagelaran yang dibuka sejak pukul 14.00 siang, terpaksa
harus dibuka sarnpai pukul 03.00 dini hari untuk rnernberi kesernpatan kepada rnasyarakat yanp akan "berkurnpul" dengan
Sultannya.
Demikian pula setelah berlangsungnya Jumenengan Sri Sultan
Hamengku Buwono X , Bangsal Kencono ini juga dipergunakan
untul, ~nenerima Ngabekten dari para kerabat dan abdi dalern
Keraton. Sarnpai saat ini, Bangsal Kencono rnerupakan bangunan
Keraton yang paling sering digunakan untuk aktivitas Keraton, baik
acara biasa maupun acara spiritual. Ini sesuai dengan arti dan
maknanya sebagai bangsal ternpat bersatunya Kawulo dan Gusti
(raja).

Bar~gsalKencono

yaitu Sorga yang abadi. Di gedung ini pada rnasa Hamengku


Buwono IX dan X saat ini digunakan sebagai kantor resnii dan
untuk rnenerima tamu-tamu dari luar.
Disarnping itu rnasih terdapat bangunan-bangunan lain, diantaranya; Gedung Inggil, Bangsal Asrep, Bangsal Abrit, Bangsal
Tarnanan, Ngendrokilo, Mondrogini, Panepen, Trajutresno,
Moyoretno, Gebayanan. Sedangkan dibagian barat terdapat
bangunan; Pringpondani, Kasatryan, Srikaton, Purworukmi,
Gedong B ~ r u .

Untuk naik ke Siti Inggil menuju ke Utara, terlebih dahulu akan


ditemui Regol Brajanala. Dihadapan reg01 ini terdapat tembok yang
menjadi tabir sebelum masuk yang disebut Renteng Mentog Baturana. Renteng atau Baturana ini bisa berarti tabir penutup.
Pengertian ini menurut K . P . h . Brongtodiningrat (1978; 15) dapat
pula berarti: braja = senjata dan Nala = hati; renteng = susah,
sangsi atau khawatir; baturana = batu pemisah. Sehingga keseluruhannya memuat pengertian tidak usah khawatir atau sangsi
kalau menjadi Alat Tuhan Yang Maha Kuasa untuk menjalankan
hukum negara yang adil.
Bagi Sri Sultan yang akan menuju ke Siti Inggil maka jalan
yang dilalui adalah tangga lantai yang membelok ke kanan.
Dihadapan tangga ini akan kelihatan pohon jambu Tlampok Arum
yang berarti berkatalah selalu yang harum-harum. Bicaralah selalu
bijaksana, supzya nama tuali berbau harum di seluruh dunia.
Dalam kawasan Siti Inggil ini, persis dibelakang bangsal terdapat
sebuah bangunan yang disebut bangsal Witono, tempat menyimpan.benda-benda pusaka pada upacara-upacara kebesaran Keraton.

Ka wasan Bangsal Siti Inggil

Setelah keluar dari bangsal Sri Manganti maka sampailah pada


Bangsal Ponconiti. Ponco = lima; Niti = meneliti, artinya meneliti
dan memeriksa pancaindra dalam rangka untuk masuk ke Siti
Inggil, yakni persiapan untuk mempersatukan pikiran dan sujud
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bangsal ini pada zarnan dahulu
dipergunakan oleh Sultan untuk mengadili perkara-perkara.

Bangsal Ponconiti

permaisuri dan putra-putra Sultan. Menurut K.P.H. Brongtodiningrat (1978: 22) bahwa bangsal Srj Manganti ini menggambarkan saat manusia akan menginjak alam barzah. Singgah di bangsal
Sri Manganti untuk minum dan istirahat mengingatkan manusia
bahwa hidup di dunia ini ibarat mampir ngombe.
Pada halaman regol Danapratapa ini sebelum memasuki
halaman kedaton (Proboyekso), dikanan-kiri pintu terdapat dua
patung raksasa yang disebut Gopala. Dua arca yang bernama
Cingkorobolo dan Boloupoto ini melarnbangkan harta benda dan
makanan, jadi merupakan peringatan bagi manusia tentang godaan
akan harta benda dan makanan. Regol Danapratapa ini rnemberi
nasihat kepada kita bahwa sebaik-baik manusia ialah yang suka
memberi dengan ikhlas serta suka memberantas hawa nafsunya.

Wilono = wiwit ono = mulailah. Untuk menyebutkan suatu acara


yang akan dimulai. Diseb.elah selatan bangsal Witono terlihat
jejeran pohon kemuning, yang dapat berarti Keheningan pikiran,
atau pemusatan pikiran dalam laku semedi untuk mempersatukan
jiwa dan raga menghadap Tuhan Yang Maha Esa. Bangsal Witono
mempunyai Condrosengkolo Linungkid kembar gantraning ron
(1926 masehi) atau Tinata pirantining Madya Witono (1855 tahun
Jawa).
Bangsal Siti Inggil sendiri merupakan bangunan yang tertinggi
di keraton. Siti Inggil = tanah yang ditinggikan yang mengandung
makna dan arti Kenaikan Sukma. Kedudukan Sultan yang sedang
berada di Siti Inggil dan duduk (sinewoko) di bangsal Mangun
Tur Tangkil diibaratkan sebagai Kalifatul-Lah = wakil Tuhan
dimuka bumi. Bangsal Siti Inggil merupakan bangsal yang
mengandung nilai-nilai spiritual yang sangat mendalam. Pada saat
Sultan duduk di atas singhasana maka pandangan beliaa harus
lurus menuju ke Utara bersatu dengan titik di ujung Tugu Pal
Putih yang melambangkan manunggaling Kawula-Gusti, bersatunya Tuhan dengan hambanya, meleburkan diri dalam keheningan
Sujud dan semedi.
Bangsal Mangun Tur Tangkil sendiri sebuah bangsal kecil
yang terletak dalam tratag bangsal Siti Inggil.JIa1 ini melambangkan
roh (jiwa) di dalam badan wadag kita. Mangun Tur Tangkil =
tegak, bangun; 'Tangkil = besar, perkasa, tekad. Mangun Tur
Tangkil tekad yang bulat dan kukuh serta perkasa. Atas petunjuk
Tuhan Yang Maha Esa karena manunggaling Kawula Ian Gusti, maka
ucapan-ucapan Sri Sultan pada waktu memberikan perintah (dawuh)
di bangsal ini adalah "undang-undang" bagi seluruh negeri. Sabda
Pandita Raru datan kena wola wali. Sepisan Ratu paring pangandika, rata tiyang sa" nagari. A p a pun yang sudah diucapkan oleh
seorang Sultan disini tidak akan'ditarik kembali, kukuh dan tegar
ibarat bangsal Mangun Tur Tangkil. Sultan yang sedang sinewoko
di bangsal ini, yang melambangkan sebagai "wakil Tuhan" di muka
bumi, ucapan-ucapannya harus mengandung kebenaran dan kemanfaatan bagi rakyat dan kawula. Apa yang diucapkan sudah disaring
dan terpikirkan melalui proses yang tergambarkan sejak masuk
regol Brajanala dan renteng barurana. P a d a saat Jumenengan,
seperti yang terjadi pada Jumenengan Sri Sultan Hamengku
Buwono X, maka beliau menyampaikan pidato Jumenengan yang
berjudul Tahta untuk kesejahteraan Sosial-budaya Rakyat. Ini
merupakan tekad beliau sebagai Sultan dan sebagai pengemban
Hamengku, Hamangku dan Hamengkoni. Disini pula biasanya diberi gelar-gelar bagi abdi dalem dan pembesar-pembesar Keraton
dengan surat kekancingan (surat keputusan) dari Sultan yang ditan-

Bangsal Mangun Tur Tangkil yang terletak di dalam Siti Inggil


ini memang mempunyai keistimewaan sebagai bangsal tempat
upacara-upacara besar dan sakral. Ini sesuai dengan kandungan arti
sebagai bangsal yang mengkaitkan antara kebutuhan roh (rohani)
dan kebutuhan duniawi (peraturan-peraturan = paugeran = reh).
Sebagaimana disebutkan bahwa pada saat Sri Sultan mulai bersemedi di Bangsal Mangun Tur Tangkil, beliau memberi isyarat
kepada abdi dalem pemukul gamelan Kyai Monggang untuk her;.:.-'
main perlahan-lahan dan tidak keras, sesuai ritme keluar ma~uknya
nafas. Nafas semedi adalah nafas dzikir, yang melafazitan asma
Allah, ditarik dan dikeluarkan dengan ritme halus dan teratur,
karena pemusatan pikiran yang tertuju pada satu titik tertentu
dengan rasa pasrah dan berserah diri untuk "meleburkan" diri
denganNya. Sangat berbeda dengan tarikan nafas duniawi 'yang
penuh nafsu dan gelora kejiwaan yang sama sekali tidak terkait
dengan asma-asma -411ah.
Semedi semacam ini untuk mendekatkan diri pada Illahi.
Suasana semacam ini digambarkan dengan hadirnya abdi dalem
Keparak yang berasal dari kata kepareg (dekat). Dalam ha1 ini
dekatnya hubungan antara Sri Sultan dengan Tuhannya untuk atas
namanya menjalankan hukum praja kepada rakyatnya. Sebagaimana disampaikan oleh K.P.H. Brongtodiningrat:
amb bar an dari saat semacam itu dapat kita lihat dari
duduknya abdi dalem Keparak di muka penyangga kaki
Sri Sultan. Artinya Sri Sultan sudah kepareg (dekat) Tuhannya

Sebelum Sri Sultan duduk di Singgasana, singgasana diatur


dahulu di Bangsal Mangun Tur Tangkil olch dua orang abdi
dalern Kraton yang namanya berawalan Wlgnya dan Derma.
Tiap-tiap pegawai Keraton yang telah dilantik, dapat nama baru
dari Keraton menurut golongan dan jabatannya, misalnya
ii'ignyasekarta, Wignyamanggala dan sebagainya, atau
Dermosemono, Dermokalpito dan sebagainya. Awalan Wignya
rnenunjukkan jabatan tukang membawa "ampilan" Sri Sultan,
misalnya rombak, pedang dan lain-lain, sedang awalan Dermo
menunjukkan jabatan akhli ukir mengukir. Ini mempunyai arti:
Hendaknya tuan Wignya (pandai, bisa, mampu) duduk di
Singgasana, dihadap oleh rakyat tuan, karena tuan hanya
sederma (sekedar) mewakili Tuhan Yang Maha Kuasa. Itulah
sebabnya maka Sri SuItan mempunyai gelar: Abdurrahman
Sayidin Panatagama Kalifatul-Lah.

datmgani olen Parentah Hageng Karaton. Sebagaimana disebutkan


oleh L.P.H. Brongtodiningrat mengenai suasana dan makna ini:

A
'

Mengenai angka 9 yang dipergunakan dalam perhitungan ini


memang mengandung nilai spiritual dan nistis. Angka ini menurut
perhitungan Jawa adalah angka satuan yang tertinggi dan merupakan rahasia alam. Bagi seorang anak yang lahir dengan Weton
tinggi, ditinjau dari hari dan pasarannya, maka diharapkan akan
menjadi orang yang mulyo dan orang besar. Terlepas dari perhitungan mistis semacam ini, ternyata Sri Sultan Hamengku
Buwono 1X yang lahir pada 12 April 1912 bertepatan dengan hari
sabtu dengan pasaran pahing adalah angka-angka besar dalam
perhitungan weton Jawa, yaitu 9 + 9 = 18. Dan ini merupakan perhitungan weton yang paling tinggi.
Dalam upacara-upacara kebesaran di bangsal Siti Inggil,
yang mengeluarkan ampilan dalem berupa simbol-simbol yang mempunyai arti dan makna sendiri-sendiri. Seorang Sultan atau Raja
sesuai dengan ampilan dalem yang dimiliki diharapkan mempunyai
sikap dan pembawaan sesuai dengan makna simbol tersebut. Makna
simbol tersebut antara lain:
I . Banyak atau angsa adalah simbol kesucian dan kewaspadaan.
2. Dalam atau kijang adalah simbol kegesitan dan kebijaksanaan.
Kegesitan dalam berpikir dan mengambil tindakan-tindakan serta
keputusan-keputusan.
3. Sawung atau ayam jantan adalah si~nbolkeberanian.
4. Galing atau merak adalah simbol kewibawaan.

untuk atas namanya menjalankan hukum praja kepada


rakyatnya. Rakyat terdiri dari bermacam-macam tingkat,
kedudukan serta pekerjaan, digambarkan dengan bermacammacam warna dan corak pakaian abdi dalern yang pada saat
itu duduk mengelilinginya. Ada yang berbaju kuning, merah,
hijau, hitam dan lain-lain. Ada yang kampuhan, ada yang berkuluk, ada yang berdestar biasa, ada yang tak berbaju,
tetapi bajunya dililitkan di kerisnya, ada yang cacat dan lainlain. Terlalu banyak untuk disebut semua. Tetapi dalam
garis besarnya tiap-tiap kedudukan dan pangkat mempunyai cara
dan warna pakaian sendiri. Pengalaman dalam semedi digambarkan dengan adanya ampilan-ampilan dalem, yaitu: banyak,
dalang, sawung, galing, ardawalika, kacumas, kutuk, kandil,
dan saput, masing-masing dibawa oleh manggung-manggung,
yakni gadis-gadis yang pada upacara itu berpakaian istimewa
dan khusus untuk upacara grebeg saja. Semua ada 9 orang,
ampilan dalem ada 9 macam, prajurit kraton ada 9 bendera
(peleton), jalan keluar-masuk kraton ada 9 buah.

5. Ardawalika atau naga, didalam rnitologi Jawa adalah penyangga


pernbawa dunia. Artinya Sri Sultan adalah pembawa, penyangga
segala tanggungjawab.
6. Kacu mas atau saputangan mas, simbol dari penghapus segalz
kekctoran Cjasmaniah, rohaniah, ketatanegaraan, pemerintahan,
dan sebagainya).
7. Kutuk simbol daya penarik.
8. Kandil atau lentera, sirnbol dari penerangan dihati rakyat.
9. Saput atau rempat segala macarn alat, simbol dari kesiapsiagaan. Khusus untuk arnpilan yang satu ini pembawanya harus
seorang Lurah keparak para gusti:
Kesernbilan ampilan dalem ini.. menggarnbarkan tuntutan
terhadap pribadi seorang Sultan sebagai Senopati lng Ngalogo,
Ngabdurrahrnan, Kalifatul-Lah, Sayyidin Panatagama. Sifat-sifat
ini diharapkan dapat pula diikuti oleh para kawulanya. Dengan
kondisi jiwa dan raga yang demikian, maka akan terwujud praja
ingkang tata .tenterem, kerta raharja, gemah aripah, loh jinawi gedhe
obore, padang jagade Ian adoh kuncarane.
Disarnping bangsal Mangun Tur Tangkil yang ada di dalam
tratag Siti Inggil, dibelakang bangsal ini terdapat sebuah bangsal lagi
yang disebut bangsal U'itono, yang mengandung arti wiwit
ono = rnulailah. Suatu sirnbol untuk rnemulai semadi dan
mengajak rnanusia untuk menyembah Tuhan Yang Maha Esa.
Menurut keterangan GBPH. H. Joyokusumo (wawancara langsung penulis) bahwa bangsal witono adalah simbol untuk
mengajak seluruh para kawula untuk mengingat Tuhan yang
dimulai (wiwit) dari diri Sultan sendiri yang duduk (sinewoko) di
dalam bangsal Mangun Tur Tangkil. Hal ini dapat dibuktikan dari
bentuk atap bangsal witono yanz rnenyerupai mahkota mesjid Jawa,
yakni berbentuk godong kluwih, ngambar arum (bunga) dan
penggada. Godong kluwih rnenunjukkan pribadi Sultan sebagai
manusia yang linuwih, kembang ngambar arum, diharapkan dapat
membawa harurn nama kerajaan dan seluruh rakyat Ngayogyakarta
Hadiningrat, dan penggada rnelarnbangkan per~gendalihawa nafsu.
Itulah sebabnya dalam konsep agama Islam, hawa nafsu tidak
mungkin dimatikan, tetapi harus dikendalikan.,
Posisi bangunan bangsal witono ini juga rnenghadap Utara dan
Selatan, rnenggambarkan garis kelanggengan atau garis spiritual, yang
berbeda dengan bangsal Kencana yang menghadap ke Timur Barat.
sebagai garis Kaduniaan. Dari penjelasan tersebut dapat dilihat bahwa
pada saat Sultan Sinewoko di bangsal Mangun Tur Tangkil, maka
beliau berfungsi sebagai Imam untuk mengajak kepada seluruh
a

Pagelaran berasal dari kata pagel = pagol = batas. Di


Bangsal ini habislah perbedaanCorangsatu sama lain, laki-laki rnaupun perempuan. Semuanya mempunyai kedudukan yang sama. Hal
ini rnenggambarkan bahwa kehidupan manusia di dunia ini
rnempunyai derajat yang sama di mata Tuhan. Disamping mempunyai aspekdernokratis bangsal Pagelaran ini juga menunjukkan
unsur-unsur keterbukaan yang segala se&atunya tidak perlu disernbunyikan. Pagelaran = gelar = dibuka. Sama dengan fungsi
pagelaran yang selalu dipergunakan untuk acara-acara urnum,
bahkan pernah dipergunakan sebagai bahagian dari Universitas
Cadjah Mada. Meshipun dalam budaya Jawa dikenal tingkatantingkatan penggunaan bahasa sesuai dengan jenjang derajatnya,
tetapi di Kraton Yogyakarta dipergunakan bahasa Bagongan,
bahasa krama inggil yang sudah mengalami beberapa perubahan.
Carnbaran kesamaan derajat penggunaan bahasa inilah yang tergambar dalam inakrla pagelaran,

Pagela ran

Setelah meninggalkan Siti Hinggil, sebelum memasuki


pagelaran akan dijumpai Tarub Hagung, persis di depan Tratag
Siti Hinggil. Bangunan Tarub Hagung ini berdiri atas empat tiang
tinggi dari pilar besi dan rnempunyai bentuk empat persegi.
Bangunan ini mengandung arti bahwa siapa yang sedang semadi atau
gemar semadi, sujud kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, berasa
selalu dalam Keagungan. Sebelurn sampai ke pagelaran, akan dijumpai Pacikeran, bangsal kecil semacarn gardu ternpat penjagaan
abdi dalem Singonegoro dan Mertolujut. Kedua gardu ini menggambarkan peringatan kepada manusia untuk hati-hati agar tidak berbuat jahat dan menyimpang dari aturan negara. Kedua abdi dalem
tersebut rnerupakan "algojo" yang sewaktu-waktu dapat menghukum atas perintah raja. Suasana ini merupakan sirnbol bahwa
tidak ada perbuatan-perbuatan jahat yang tidak diganjar hukuman
dalam kehidupan manusia, rneskipun tidak di dunia nantinya di
akhirat akan diperhitungkan.

Kawula melaksanakan laku sembah dan memuji kepada asma


Allah. Tetapi meskipun jalan kearah kebaikan dan kemulyaan
sudah disuratkan dan digariskan oleh Tuhan Yang Maha Esa,
masih banyak manusia yang tidak rnengikuti garis tersebut dan terhalang oleh godaan-godaan serta rintangan-rintangan yang dihadapinya.

52

Setelah keluar dari pagciiiran, niaka dijumpai Alun-dun


Lirara, suaru lapangan yang sarigilt luas di sebelah Uta1.a atau dcp;~n
t
lirongbangunan K r a ~ o n .Alun-alun I ara ini ~ ~ l e n i t r iK~. F'.I-I.
todiningra! (1978: 20) r n e r u p a ) , ~ igambaran
i
suasana yang sangar
nglansur, suasana tanpa tepi. kuasana hari kita dalarn semedi.
Dalam melaksanakan semedi, . , ~ l j u dkepada Tuhan Yang Maha
Kuasa biassnya penuh dengan . ~:daan-godaan,yang tercerrnit~dari
luasnya alun-alun. Alun-aluii !:!;a penggambaran luasnya masyarakat dengan berbagai bentuk !ian sifat yang siap mempengaruhi
iman seseorang untuk madep :;cpada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Alun-alun menurut KRT. Puspo:!iningrat (1 984; 2) berasal dari kata
alun (gelombang). Gelombang yang mengayun-ayunkan hidup
nianusia didalam samudra mas::rirakar. Gelombang ini digerakkan
oleh angin (beringin) dari segala penjuru yang tumbuh disekeliling
alun-alun. Angin ini ibarat bermdcam-macam aliran yang membawa
pengaruh kepada manusia, misalnya ideologi, agarm, science,
kepercayaan, dan sebagainya. Scdangkan beringin yang ada ditengah alun-alun yang berjumlah dua buah menggambarkan kesatuan antara mikrokosmos dan r-nakrokosmos. Pohon beriniin ini
dinamakan Dm~andaridan .lonondaru. Kesatuan mikrokosmos dan
makrokosmos ini dapat juga ditafsirkan sebagai usaha seoranf
nianusia untuk mendekatkan diri dan "hersatu" dengan Tuhan
Ciurnbuhinp kawula-Gusti) ditengah-tengah banyaknya godaangodaan. h4anusia secara normarif diminta untuk mernilih antara
hidup yang diridhoi oleh Allah atau hidup yang dimurkai oleh
Allah. Hal ini dilihat dari adan!.a mesjid di sebelah Barar alun-alun
dan penjara disebelah Timur. alun-alun (Saat ini penjara tersebut
sudah tidak difungsikan).
Alun-alun karena diibaratkan tempat berbagai macam godaan
serta upaya manusia untuk mendekatkan diri dengan Tuhan,
masyarakat juga memanfaatkannya pada zaman kerajaan dahulu
untuk menyampaikan sesuatu, baik prates maupun pengaduan,
kehadapan Sultan. Upaya menghadap Sultan dengan jalur "tidak
resmi" ini dinamakanpepe, yang berarti berjemur. Mereka yang akan
melakukan protes atau pengaduan, menggunakan pakaian putihputih dengan ikat kepala putih duduk berjemur ciiantara dua
pohon beringin yang ada ditengah alun-alun menghadap ke
Kraton. Mereka melakukan pepe ini tentunya akan kelihatan oleh
Sultan yang sedang duduk (sinewoko) di bangsal Mangun Tur
atau
Tangkil. Sesuai perkenari Sultan mereka yang melak~kan~protes
pengaduan ini akan dipanggil (ditimbali) untuk mcngajukan maksud dan tujuannya melakukan pepe.

Even though the basic conceept of building Taman Sari is


to 'facilitate the Royal family with a recreation area, other
concepts were applied lo, Gates, wall, and m o s t g e elements

Petilan surat Wulang Reh yang disusun oleh Sunan Pakubuwana IV


ini merupakan nasihat kepada mereka yang ingin jadi pemimpin dan
dekat dengan rakyat. Sehingga mampu menerima dan mendengarkan aspirasi rakyat apabiia sifat-sifat congkak dan bengis dihindari,
serta dihormati kawula karena memang pantas untuk dihormati.
Bagian lain yang cukup penting dari bangunan Kraton
Yogyakarta adalah Taman Sari. Taman Sari terletak disebelah Barat
bangunan induk Kraton. Taman Sari dibangun pada Tahun 1768 atau
Tahun Jawa 1684, yang ditandai dengan candra sengkala Catur
Naga Rasa Tunggal. Arsitek bangunan Taman Sari dipimpin langsung
oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I, dengan konstruksi dipimpin
oleh Bupati Kyai Tumenggung Mangoendipoera. Sebagaimana
diketahui bahwa kompleks Taman Sari tidak saja berfungsi sebagai
Taman peristirahatan Raja, tetapi juga mempunyai fungsi pertahanan. Sebagai disampaikan oleh Djoko Wijono (1992; 4):

Lawan aja angkuh bengis


Lengus, lanas celak lancang
Langar ladak sumalonong
Aja ngidak, saja ngepak
Lan aja siya-siya
Aja jail dhemen padu
Lan aja padha wadulan
K A ~ Bkanggo ing masa iki
Priyayi nom kang den gulang
Kang wus muni kuwi kaya,
Kudu lumaku kajenan,
Pan nora nganggo murwat
Lurlga mlaku kudhung sarung,
Lumaku den dhodhok ana.

Dari bentuk pepe ini dapat dikatakan bahwa pada zaman


kerajaan dan pemerintahan. Sultan dahulu sudah terdapat bentukbentuk protes atau "demonstrasi" sebagai perwujudan demokrasi
ala Kraton Yogyakarta. Kondisi ini tercipta karena adanya
hubungan timbal balik antara Raja dengan Kawula, antara yang
melindungi dengan yang dilindungi. Raja sebagai pengambil
keputusan haruslah melaksanakan titahnya sesuai dengan rasa
keadilan. Sebagai mana diisyaratkan oleh Tembang Asmarada
dalam Kitab U1ulang Reh.

*..-.,..**-

Taman Sari dalam konsep kehidupan manusia r,~engandungdua


nilai yang kadangkala sulit dipersatuan bagi mereka yang "kurang
eliag" yakni kesenengan dan aturan-aturan Illahi. Kesenengan adalah wujud dari Taman Sari sebagai tempat peristirahatan, rekreasi
dan lain-lain kenikmatan duniawi. Sedangkan aturan-aturan lllahi

Nyurnur gurnuling punika


Ambela wah datan duwe wewadi,
Nora kena rubung-rubung,
Wadine kang den urip,
Mbuntut arit punika pracekanipun,
Apener neng pangarepan,
Anggrethel ing wurni-wurni.

Sumur Gumuling sebagai bahagian dari Taman Sari lebill


menitik beratkan fungsi sebagai fungsi relijius. Sumur Gumuling
mengandung makna falsafati sebagai sesuatu yang gaib, rahasia
sebagaimana juga sifar-sifar Tuhan. Fungsi pertahanan merupakan
implementasi dari ketahanan iman dan peringatan (piurulang) bagi
manusia untuk tidal; bersikap sembrono. Sebagairnana dilantunkan
dalam serat Wulangreh tembang Pangkur:

As mentibned before, Taman Sari that !ocated in the inner parr


of the old wfalled city of Yogyakarta (Kraton Yogyakarta) was
fungtionally used as a pleasure _earden, defense area and
performed religious duties.

Saru ha1 yang paling utama dari bangunan Taman Sari ialah
fungsi sebagai ternpat beribadah dan melakukan akrivitas spiritual.
Pada banguni; utama Taman Sari, yakni Sumur Gumuling terliha~
adanya mighrab (tempat imqm) yang biasa digdnakan untuk
memimpin shalar. Sebagai penyandang fungsi relijius juga disampaikan oleh Laretna Adisakti (1991; 5):

o f Taman Sari which were derived from the concept of dcf'encc.


Other elements relate to the defence concept arc [he tunnel and
the highest building Pulau Lenanga. The tunnel is a secret road
connected Taman Sari and the palace; \vhile Pulau Kenanga is
3 place to \.ie\v the situatiorl out side thc wall. These elelnents
could tell us i f Tamari Sari has a defence concept. Taman Sari
is acl~iallyimplelncnring t h e .Ja\.aneseconcept S2.ironing amon:
suko, ran rin2pal d u g o l a n pra!,ogo n.hich means thal during
the enjoyment, i r is advisablc,ilot to neglect sonle alerr and
carefulness of some danger.

Secara filosofis relijius, Taman Sari mengandung pengertian


kesenangan dan mengingatkan. Kesenangan dapat dicari oleh
manusia, meskipun ada imbangan untuk memahami bahwa kesenangan dimaksud berasal dari Sang Maha Pencipta, Allah Yang
Maha Besar. Dengan dernikian, manusia terhindar dari lupa diri, dan
tidak menganggap bahwa kesenangan duniawi adalah kesenangan
yang abadi, atau menghindarkan diri manusia untuk menganut

"Ketahuilah bahwasanya kehidupan dunia ini hanyalah mainmain senda gurau, bermewah-mewah, dan saling membanggakan kekayaan (: )!I anak pinak di antaramu, ibarat hujan menyirami bumi, !~,illbuh-tumbuhanmenjadi subur menghijau,
mengagumkan para petani. Lalu tanaman itu mengering, nampak menguning, kemudian menjadi rapuh dan hancur. Sedang
diakhirat kelak, ada azab yang berat bagi mereka yang
menggandrungi kemewahan dunia, namun ada pula ampunan
dan keridlaan Allah bagi yang mau bertobat. Demikianlah
kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang
palsu belaka".

Disamping ayat diatas, Allah juga berfirman dalam Al-Hadid


ayar 20 (Al-Qur'an 57; 20):

"Hai kaumku. Hidup di dunia ini hanyalah kesenangan


senlentara, sedangkan akhirat itulah negeri yang kekal."

adalah perintah Allah dan juga larangan-larangannya dalam perwujudan Taman Sari sebagai sarana meditasi dan peshalatan.
Diingatkan konsep kesatuan Taman Sari sebagai keutuhan Jiwa dan
Raga, jasmani dan rohani. Keseimbangan, keselarasan sebagai
konscp pokok Kultur Jawa.
Unsur kesenangan mungkin dapat diwakili oleh bangunanbangunan Umbul Winangun, Gedung Sekawan, Gedung Pangunjukan dan Pasarean Ledok Sari. Sedangkan unsur relijius diwakili
oleh bangunan Sumur Gumuling. Dapat dilihat dari sekian
banyak f.ungsi bangunan Taman Sari bahwa unsur kesenangan
duniawi memang lebih banyak dibandingkan daripada bangunan
yang mencerminkan usaha manusia untuk mendekatkan diri pada
Tuhan. Hal ini sekaligus mengingatkan kepada manusia bahwa di
dunia fana ini, mengejar kesenangan duniawi jauh lebih mudah
daripada mengejar kesenangan akhirat. Meskipun yang satu sifatnya semgntara sedangkan yang lain bersifat langgeng. Sebagaimana
diingatkan oleh Allah SWT dalam Surat Al-Mukmin ayat 39
(AI-Qur'an 40; 39):
,

'

Tugu Pal Putih, yang sangat terkenal sebagai larnbang kota


Yogyakarta terletak lebih kurang 2 Km sebelah Utara Keraton
Yogyakarta, dan berada pada satu garis lurus. Sultan yang sedang
sinewoko di bangsal Manguntu-Tur Tangkil pusat perhatian dan
pandangannya akan tertuju dan lurus pada puncak tugu tersebut.
Tugu ini simbol ternpat Alif Mutakallamin Wachid. Tuhan. Yang
Maha Esa, Tuhan Yang Maha Kuasa, seru sekalian alam, yang menjadikan segala isi alam segala isi alam semesta. Oleh karena i t u
segala pusat perhatian dan orientasi manusia dalam laku sembah
dan aktivitas sehari-hari diarahkan senantiasa untuk mengingatNya. Inilah makna sentral pemusatan pikiran dan kehendak seorang
Raja yang sedang berada di bangsal Manguntur Tur Tangkil.
Mengajak kawula untuk selalu ingat kepadaNya.
Raja (Sultan) sebagai Imam (Kalifathul-Lah) wajib mengingatkan para kawula untuk selalu menembah dan eling kepada
Tuhan sebagai Sangkan Paraning Dumadi, sebagai Sang Akarnya
Jagad. Perasaan manusia yang dekat dengan Allah seakan-akan terciptanya satu kesatuan antara hamba dengan Al-Khalik, rnanunggaling kawula-Gusti. Pancaran Nur Illahi yang ada dalam diri
manusia sebagai karuniaNya, menciptakan getaran-getaran
"Ketuhanan" yang muncul dari diri manusia. Segala ucapan dan
tindakan yang diyakini hanyalah datang dari Allah, dan tidak ada
sesuatu yang terjadi atas diri manusia tanpa melibatkan
kehendakNya.

4. Tugu Pal Putih

faham hedonism faham yang meniukur segala sesuatu dari sudut


kesenangan.
Setelah seluruh bangunan Keraton sebagai bahagian utama dari
konsep sumbu imajiner, maka seterusnya manusia berjalan dalam
proses kehidupan yang dipilihnya sendiri berdasarkan keputusan yitng
akan diambil, yakni terus menuju Tugu sebagai simbol Alif Murakalamin, manunggaling kawula-Gusti dan mencapai kasarnpurnaning ngaurip pada wujud Gunung Merapi yang kukuh dan abadi,
atau masih tergoda dengan kiri-kanan pengaruh-pengaruh negatif
yang tergambar dalam bentuk jalan kiri-kanan sepanjang Jalan
hlalioboro terus ke Utara. Godaan besar dalam mendekatkan diri
pada Illahi tergambar dalam bentuk pasar Beringharjo, merupakan
godaan yang bersifat duniawi dalam bentuk kesenangan, wanita dan
kejahatan-kejahatan lainnya. Sedangkan Godaan nafsu kekuasaan
digambarkan oleh kompleks Kapatihan, tempatnya mereka yang
memegang kendali kekuasaar, duniawi.

I.

Gunung Merapi sebagai terminal akhir dalam proses "Sumbu


Imajiner" diyakini pula sebagai Surga pangratunan, yang berasal
dari kata anru, yang artinya menanti, yakni menanti sebelum roh
diijinkan masuk surga, yaitu kembali kepada Sang Pencipta.

Pada prinsipnya,penduduk Kawastu, Korijaya dan Wukirsari mempercayai Gunung Merapi sebagai keramar, dan
merupakan. sebuah Kraton makhluk halus yang mempunyai
hubungan kekeluargaan dengan Kraton Matararn (Kasultanan
Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta), dan Kraton makhluk
halus Laut Selatan yang dipimpin oleh Kanjeng Ratu Kidul.
Hubungan kekeluargaan antara ketiga Kraton tersebut dikarenakan adanya perkawinan di antara mereka. Dalam kepercayaan Jawa pada umumnya, gunung seringkali dilambangkan
sebagai kekuatan laki-laki dan Laut dilambangkan sebagai
perempuan.

Manusia yang telah mencapai "Kasampurnaning Ngaurip"


inilah yang menjadi "manusia sejari", manusia yang mempunyai
pancaran rohani yang kukuh, dan tidak tergoyahkan dengan
godaan-godaan duniawi. Kondisi kukuh (pikukuh) ini disimbolkan
sebagai kukuhnya Gunung Merapi yang menjulang tinggi, sebagai
akhir dari garis lurus yang dicapai oleh rnanusia dalam garis
kelanggengan. Karena Gunung Merapi diyakini oleh masyarakat
Yogyakarta sebagai tempat roh-roh suci yang hidup di alam
kelanggengan, maka Gunung Merapi mempunyai arti tersendiri bagi
masyarakat Yogyakarta', khususnya kalangan kerabat Keraton
.,Yogyakarta. Sama dengan Laut Selatan, pada hari-hari besar tercentu, disini pun dilaksanakan upacara-upacara ritual. Sebagaimana
disebutkan oleh Lucas Sasongko Triyogo (1991; 116):

5. Gunung Merapi

II

Manusia diciptakan oleh Allah sebagai makhluk yang mempunyai kelebihan dibandingkan daripada makhluk Allah lainnya.
Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an Surat Al-lsra ayat 70
"Dan sesungguhnya Kami telah memuliakan umat manusia, dengan
mernberi rnereka sarana tumpangan di daratan dan di lautan, memberi mereka rezeki yang baik-baik dan Kami lebih utamakan
rnereka dari kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan
dengan sempurna" .
Kesernpurnaan rnanusia sebagai makhluk Allah terletak pada
aka1 pikiran sehingga posisinya "ditinggikan"
oleh Allah
beberapa derajat. Tentunya manusia menjadi manusia apabila
secara hakiki dirinya sendiri menyadari sepenuhnya tentang
keberadaan diri dan maksud diciptakannya di dunia ini. Apabila
manusia terlepas dari kesadaran ini, maka manusia menjadi makhluk
yang terlepas dari hakekat kemanusiaannya, alias lebih rendah
dari makhluk-makhluk Allah Isinnya. Dari konsep pengerrian
rnanusia inilah rnuncul pemahaman tentang awal-akhir manusia
sebagai proses filsafat Ketuhanan.
Banyak para filosof yang mencoba merumuskan pengertian
dan hakekat keberadaan man~lsia sesuai dengan sudut tinjau
masing-masing. Platon dan Plotin dalam buku Louis Leaby
(1985; 2) mengatakan bahwa manusia adalah makhluk Illahi.
Sedangkan Epicura dan Lucretius pada buku yang sama mengatakan bahwa manusia adalah suatu makhluk yang berumur pendek.
Voltaire: Manusia tidak berbeda dengan binatang-binatang yang
paling berkernbang dalam ilmu hayat. Hobbes: Manusia sccara
daya gerak bersifat agresif dan jahat. Rousseav: manusia pada
kodratnya adalah baik.
Satu ironi yang dapat dilihat dari berbagai definisi tentang
manusia yang diberikan oleh para ahli ini adalah tidak adanya
kesepakatan dalam memandang manusia itu sendiri. Sehingga
sifatnya sangat subyektif. Untuk memahami tentang manusia itu sen-

A. Tinjauan Filsafat Manusia

MANUSIA DALAM KONTEKS FILSAFAT


PLANOLOGI KOTA YOGYAKARTA

BAB IV

Disamping berbagai predikar yang disandang oleh rnanusia


sebagaimana disebutkan di atas, rnaka sesuai dengan pendekatan
relijius posisi manusia telah disebutkan dalam Al-Qur'an sebagai

Mcnurut filsafat manusia, manusia itu difahami secara


korlseptual sesuai dengan sudut pandang/aliran kefilsafatan
yarlg tertentu. Sebagai contoh Lita ulangi berbagai tesis tentang
rnanusia, bahwa manusia adalah Homo hfechanicus, Homo
Erectus, Homo Ludens, kesemuanya itu terutama mengenai
susuan kodrat kcjasmaniannya, sehingga tesis berikutnya yaitu
manusia sebagai Homo Fabcr adalah perangkurnnya. Tesis
berikutnya, yaitu Homo Sapiens, Animal Rationale, Animal
Simbolicum menitikberatka~;pcndapatnya pada aspek rasa dan
karsa. Tesis-tesis kejiwaan itu menyatukan sebagai Homo Mensura, makhluk penilai. Homo Mensura dan Homo Faber rnenyatu sebagai Homo Educancliim.
Disamping susunan kejasmanian dan kejiwaan, manusia
adalah juga makhluk sosial. Tesis mengenai ha1 itu ialah
manusia sebagai Homo Ecor~omicus dan Homo Socius.
Akhirnya masih ada beberapa konsep lainnya, yaitu Homo
Viator dsn Homo Religjos?~.~
bcrhubung dengan kedudukan
kodrat manusia sebagai makllluk Tuhan dan pribadi mandiri.
Kesemua tesis tersebut menya.iu sebagai Homo Concors, yaitu
makhluk yang siap untuk ~ransformasidiri dan/adaptif.

diri ada baiknya kita bercermin pada diri masing-masing seperti


yang diingatkan oleh Socrates: Kenalilah dirimu sendiri.
Pengertian-pengertian tentang manusia diatas lebih banyak menekankan pada sifat manusia, dan bukan pada segi hakekat dan
struktur kosmis manusia. Sedangkan Prof. Drijarkara (1985; 1 I ) berpendapar bahwa man~isiamerupakan kesatuan rohani dan jasmani
yang tidak terpisahkan satu sama lain. Atau dengan kata lain, bahwa
rohani dan jasrnani bukanlah dua bahagian.
Ki Ageng-Suryometaram, sebagaimana yang dituliskan oleh
.IB. Adimassana (1986; 33) mcmberikan pengertian tentang manusia yang hampir mirip dengan pemikiran Descrates, yakni manusia
adalah makhluk berpikir. Disamping i t u juga dia menyebutkan bahwa
manusia adalah makhluk sosial, rnakhluk yang harus bergaul
dengan sesamanya.
Dari keseluruhan pendapat tentang manusia, berdasarkan
struktur skemaris yang dibuat olch Prof. Notonagoro, maka
semuanya dapat dirangkum sebagaimana yang disampaikan oleh
Dr. Damardjati Supadjar (1993; 84):

Dengan keberadaannya itu dan dihaitkan dengan upaya dan


kehendak manusia menjadi makhluk mulia, manungsa kang becik,
manungsa sukma sejati dan kasampurnaning ngaurip sebagaimana
yang dimaknakan dalam laku meriembah dan sujud pada pola dan
struktur bangunan kosmos kota Yogyakarta (sumbu imajiner), maka
manusia mempunyai upaya untuk selalu mendekatkan diri pada
ridhaNya. Dalam pemahaman ini, manusia sebagai mikro kosmos
harus terlebih dahulu memahami eksistensi dirinya berada didunia
ini (sangkan paraning manungsa) dan setelah itu kemana manusia
akan kembali. Ditengah-tengah itu adalah proses pembentukan
kesadaran manusia tentang konsep Awal-Akhir t adi.
Konsep Awal-Akhir dalam pemikiran filsafat Jawa, yang
mempunyai banyak kesamaan dengan konsep pemikiran Islam
sebagai mana disampaikan oleh Abdullah Ciptoprawiro (1986; 22)
merupakan pemikiran filsafat yang bertitik tolak dari eksistensi
manusia dan alam dunia sebagai wujud nyata yang dapat ditangkap
dengan panca indra, yaitu dari mana dan ke mana semua wujud ini
atau dengan istilah sangkan paran:
1. Sangkan paraning dumadi: awal-akhir alam semesta.
2. Sangkan paraning manungsa: awal-akhir manusia.
3. Dumadining manungsa: Penciptaan Manusia.
Ketiga wujud sangkan paran inilah yang tergambarkan secara
keseluruhan dalam bentuk struktur dan bangunan kota Yogyakarta,
dengan Keraton sebagai intinya. Sangkan Paraning Dumadi sendiri
menurut Dr. Damardjati Supadjar (1993; 48) berarti pangkal atau
asal mula dan arah tuju semua kejadian, menggambarkan suatu
(filsafat) proses, kesinambungan awal-akhir, bagaimana atau dari
mana perrnulaannya, demikian pula kesudahannya. Lebih lanjut
disebutkan:

Di dalam Al-'Qur'an terdapat dua surar yang jelas-jelas


membicarakan Manusia yaitu Surat ke-76, Al~lnsandan Surat
ke 114, An-Nas. Disamping itu disana sini dilukiskan beberapa
kualitas yang terpuji dan tercela, berhubungan dengan sikap dan
perlakuan terhadap "perintah" dan "1arangan"Nya. Kualirasitu misalnya ialah taqwa, iman, lslam, ihsan. Juga khalifah,
Abdullah.

makhluk Allah. Terlepas dari pepsifatan normatif yang dipilih oleh


manusia, sebagai makhluk yang "terhormat" maupun Makhluk
"yang direndahkan", manusia pada dasarnya telah diberi petunjuk
atau paugeran untuk menjadi makhluk yang mulia di muka bumi.
Sebagaimana disebutkarl oleh Dr. Damardjati Supadjar (1993; 85).

Selain surat diatas, terdapat beberapa surat dan ayat yang menggambarkan kuasa Tuhan selaku Sangkan Paraning Dumadi, yakni:
Surat Al-An'aam ayat 101; Surat Al-Aa'raaf ayat 54; Surat
lbrahim ayat 32 dan 33; Surat .Al-Anbiyaa ayat 30; Surat As-Sajdah
ayat 4, Surat Fush-Shilat ayat 9, 10, 11, dan 12.
Surat-surat diatas merupakan wahyu Allah yang menunjukkan
kuasaNya tentang konsep Awal (asal mula segala kejadian).
Sedangkan konsep Akhir (kemana segala kejadian akan kembali)
di~erangkandalam berbagai Surat dan ayat, aniara lain:
Surat Yaa siin ayat 68 yang berbunyi sebagai berikut:
"Dan orang-orang yang kami panjangkan umurnya, kami kembalikan lagi keasaln):, seperti semula. Tidakkah mereka memikirkan itu?"
Selain sangkan paraning dumadi, dalam pengertian penciptaan
alam semesta dan seisinya, maka Sangkan Paraning Manungsa
sebagai bahagian dari keseluruhan Sangkan Paran tersebut, sangat

"Sesungguhnya tentang penciptaan langit dan bumi, pergantian


siang dan malam, kapal yang berlayar dilautan yang manfaatnya untuk manusia, air yang diturunkan Tuhan dari langit yang
menyuburkan bumi telah gersang lalu Dia kembangbiakkan disana pelbagai macam binatang, perkisaran angin dan awanawan secara tertib antara langit dan bumi, sungguh semuanya
itu adalah tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Allah untuk
orang-orang yang mau berpikir".

Ditinjau dari peinbahasan diatas, maka Sangkan Paraning


rnanungsa sebagaimana konsep yang dituangkan oleh dr. Abdullah
Ciptoprawiro merupakan bahagian dan termasuk dalam Sangkan
Paraning Dumadi, asal dari'semua kejadian. SePagaimana disebutkannya bahwa asal (awal) dan tujuan (akhir) dari seluruhnya ialah
Tuhan. Sangkan Paraning Dumadi dalam arti kejadian alam
semesta dapat disimak dalam Surat Al-Baqarah ayat 164 yang
bunyinya:

Perkataan Dumadi berarti kejadian berkontinuitas, sarna


dengan pengertian dalam filsafat proses, yaitu becoming of
Continuity. Di dalamnya terkandung unsur "paugering dumadi"
yang berarti tata tertib kejadian. Menurut Wedhatama ha1 itu
mengandung tiga unsur yaitu: pandam, pandom, dan panduming dumadi; pandam berarti penerangan, pandom berarti
pedoman (hukum-hukum alam), sedangkan pandum berarti
ukuran.

cd

e A

cd

cd

3 2 z 2

X M.Z 24

Fa.-

*
g3E 2

.c a,%:

.e :z 2.
24
Ma,?-"'
C.

dS.g,ES
McdXL)I

a ' C u -0
.A s.z2-s
zrzarcd
E 2 d%-

-aa a. .-2.-2 2s

0 1
cd c d , O r P

.S*Z~.z~
'4.2 2 '

&
ML
c :cvd) ~
~c

a r XG-D

M-2
2%54cd

a'; y $

2.23$~
cd 0
.- . g ~
b a:z 1'

a.2 as?
E .n1 2
E
'c: a
A
'd E d :
%
a- 2 2 2 %

WBEBcd

r Z 5ca

*-

c '
cd -.g5
'I 4 .%." 2

Tingkatan berikutnya, yaitu melok. Tingkatan kesadaran manusia


tentang jati diri sejati, serta pemahaman yang mendalam tentang asal
usul dan tujuan rnanusia (sangkan paraning dumadi). Sebagaimana

Adapun upaya untuk mencapai "maligining rasa" menurut


Kacawirangi ada 4 ha1 atau tingkatan, yaitu: Pertama, mengupayakan agar rasa pengrasa jangan sampai terlampau menyebar.
Kedua, dengan teliti dan kontinu mengikuti *'ugering dumadi"
pandorn-pandom d&' panduming dumadi. Ketiga "mangastuti" (manembah) kepada Tuhan. Keempat, pada saat-saar
tertentu.misalnya di saat sepi di keheningan malam, mengetrapkan "panunggal" samadi. Maksud dari sarnadi tidak lain adalah menghentikan angan-angan, serta nafsu agar menyatu
sebagai budi dan rasa, berkat tekad yang menyatu dengan
nafas. Apabila budi sudah tidak terhalang oleh gerak anganangan, maka tercapailah pramana. Keadaan manusia yang
pramana sCperti itu dianggap sebagai cennin yang jernih dari
"kahanan jati".
Kahananing manungsa kang mangkono kaanggep pangilon
kang bening, kagunganing kahanan jati. Kang ngilo: kahanan
jati. Kang dianggo ngilo: manungsa sejati. Ayang-ayange:
gumelaring alam. Bisane mangkono yen saben dene tresna
marang kang paring urip, lahir tumeka ning batin.

Semua laku elirig dalam penerapannya diupayakan untuk tertuju


pada penyatuan rasa (maligining rasa). Menurut Dr. Damardjati
Supadjar upaya ini dijelaskan sebagai berikut:

Rasa meru akan kata kunci Jawa, rasa berarti merasakan


dalam sega a dimensi, Maka rasa itu sekaligus berarti eling.
ingat akan asal usul sendiri, Yang Illahi. Dalam rasa, orang Jawa
mencapai kawruh sangkan paraning dumadi, pengertian tentang
asal dan tujuan segala makhluk.

seperti lintasan becoming and perishing pada filsafat organisme, yaitu


mengantarkan kita ke suatu perspektif tertentu, bahwa disisi lain dari
lintasan perubahan itu terdapat sesuatu yang tetap, yang dikenal
sebagai -0njective immortility.
Tingkatan melek berarti sadar atas terdaparnya hukum-hukum
alam, ketertiban alami, yang juga disifatkan dengan perkataan lain,
yakni: "eling". Dalam tulisan Frans Magnis Suseno yang juga dikutip oleh Dr. Damardjati, yang dimaksud dengan "sangkan
paraning dumadi" adalah sebagaimana terungkap .dalam lulisarl
ini:

Dalam menjelaskan makna tembang ini Ki Soedjonoredjo yang


dikutip oleh Dr. Damardjati Supadjar (1993; 15) menyamakan
istilah "weruh wekasing dumados" dengan "Sangkan Paraning
Dumadi" yaitu "alam Iami". Jadi juga sama dengan pernyataan
mulih mula-mulanira (kembali ke asal mula), yang karenanya maka
manusia "sinom pradapa" (menumbuhkan kualitas surgawi).
Disini orang lalu mencapai pandaming dumadi.
Cita-cita untuk mencapai pandaming dumadi dan kesadaran
totalitas akan arti dan makna kehidupan inilah .yang memberikan
"jalan" dengan aktivitas "laku" yang dijalankan oleh para manusia yang sadar akan eksistensi dirinya "dijadikan". Semua ha1 ini
tergariskan dalam arti dan makna "sumbu imajiner" kota
Ngayogyakarta Hadiningrat, mulai dari awal (Panggung Krapyak)
sampai Tugu Pal Putih sebagai Sangkan Paraning Manungsa, dan
Laut Selatan - Gunung Merapi sebagai Sangkan Paraning Dumadi.
Sepanjang garis ini terdapat ugeran dan petunjuk-petunjuk yang
berasal dariNya. Petunjuk-petunjuk ini untu.k diikuti dalam rangka
meningkatkan kualitas surgawi tadi. Beberapa k ~ n s e pyang diajar- .
kan sebagai "dalam padang" ini bermuara pada "manunggaling
~awula- us ti" dengan menempa diri rnenjadi manusia sejati,
Kasampurnaning Ngaurip.

Kalamun durung lugu


Aja pisan wani ngaku-aku
Antuk siku kang mangkono iku
kaki,
Kena uga wenang muluk
Kalamun wus padha melok
Meloke ujar iku
Yen ilang sumelanging
kalbu,
Amung kandel kumandel
marang ing takdir
Iku den awas den emut,
Den memet yen arsa momot.
Pamoting ujar iku
Kudu santosa ing budi teguh
Sarta sabar tawekal legaweng
ati,
Trima lika ambeg sadu
Weruh wekasing dumados.

disampaikan oleh Mangkunegoro IV dalam tembang gambuh serat


Wedatama bait 7 1-73.

Gambaran ini mungkin tidak jauh berbeda dengan apa yang


disebutkan oleh Ki Ageng Suryomataram "sebagai manusia" yaitu
luluhnya aku (ego) yang diengkaukan (kromo dongso), yaitu catatancatatan, digantikan dengan "aku" yang tidak mungkin diengkaukap (dudu kowe/bukan engkau) (Dr. Darnardjati Supadjar, 1993:
52 dan JB. Adimassana, 1986; 42-43).
Kramadangsa sebagairnana yang disebuikan oleh Ki Ageng
Suryomataram mempunyai beberapa sifat, antara lain; sebagai juru
catat, sebagai tukang menanggapi, sebagai tukang menggagas atau
berpikir sebagai tukang menginginkan. Sebagai juru catat merupakan bentuk Kramadangsa yang masih awal. Fungsinya hanyalah mencatat segala ha1 yang menyentuh dirinya Ia mencarat berjuta-juta ha].
"Catata?" yang dirnaksud oleh Ki Ageng Suryomataram merupakan ha1 yang telah tercatat dan mengendap dalam batin, yang berasal dari pengalaman sejak lahir. Mengenai ha1 ini Ki Ageng
(JB. Adimassana, 1986; 43) menggolongkan adanya sebelas catatan:
catatan harta benda, kehormatan, kekuasaan, golongan, keluarga,
kebangsaan, jenis, kepandaian, kebatinan, ilmu pengetahuan, dan
rasa hidup.. Menurutnya, di dalam catatan-catatan ini terse~nbunyi
kepentingan-kepentingan individu ("aku") sehubungan dengan ha1

Filsafat yang didapatkan di malam Serat Dewa Ruci ini


adalah "Filsafat Mistika" (Mystical Philosophy) yang diperoleh tidak melalui penalaran rasional, rnelainkan rnelalui
"penghayatan batin" (inner experience) dengan jalan samadi
(meditation). Di dalam keadaan kesadaran samadi (altered atau
meditative state of consclousness) manusia memperoleh
"pengetahuan penghayatan" (experiental knowledge). Penge- tahuan ini dituangkan di dalam cerita kias perjalanan Birna rnencari air hidup. Bima mendaki gunung, masuk ke dalarn
samudra bertemu Dewa Ruci dan masuk ke dalam tubuhnya,
akhirnya rnelihat boneka gading. Ini semua menggambarkan aku
(ego) mengatasi kesadaran aku (ego consciousness), masuk alam
tak sadar (the unconscious), bersatu dengan Pribadi (The Self)
dan rnemperoleh pengetahuan dengan melihat hakekat hidup
sebagai boneka. Tergambar disini proses transendental dan transendensi dari kasadaran ego atau panca indrawi menuju
kesadaran pribadi dan akhirnya mencapai kesadaran Illahi atau
alam semesta.

Perumparnaan manusia sejati belajar dari ilmu sejati, sehingga


memperoleh kesadaran Illahi, dapat disimak dari cerita Bima dan
Dewa Ruci untuk mencari tirta pawitra (air kehidupan). Sebagaimana diceritakan oleh dr. Abdullah Ciptoprawiro:

Menerapkan samadi menuju keheningan '


Duduk dengan kaki disatukan dan tangan bersilang

yar; dicatatnya, misalnya di dalarn catatan harta benda terrem%unyi kepentingan individu akan hafta benda. Sedangkai jenis
catatan inipun ada dua macam: yaitu catatan yang benar dan
catatan yang salah. Catatan yang benar adalah yang mengandung
kepentingan yang sesuai dengan kebutuhan yang mestinya,
senyatanya. Sedangkan catatan yang salah adalah yang mengandung
kepentingan yang tidak semestinya atau yang tidak sehat. Agar
rnanusia dapat hidup secara sehat dan bertanggungjawab, menurlJt
Ki Ageng Suryomataram, maka ia harus mengembangkan dirinya
menjadi "manusia baru" yang merupakan "Rasa aku" yang sejari,
dan bukan Kasa Aku Kramadangsa. Selama Kramadangsa ini
hidup dalam diri seseorang, maka selama itu pula ia terikat, dan
tidak berdaya karena "dipimpin" oleh Kramadangsa, dan menghilangkan sifat-sifat kreatif manusia.
Proses lain yang berupa konsep pencapaian manusia sejati atau
lnsan Kamil menurut para ahli sufi adalah melalui "Tapaning
Ngaurip" (bertapa dalam hidup) dalam bentuk pelaksanaannya:
1. Badan jasmani : bersikap menguasai diri
2. Budi
: kesanggupan menerima (receptive attitude)
3. Nafsu
.
: rela
4 . Iiwa
: bersungguh hati
5. Kasa
: mampu berdiarn dan berserah diri
6. Caha
: suci bersih hening
7. Atma
: awas sadar.
Sebagaimana disebutkan oleh dr. Abdullah Ciptoprawiro (1986; 47)
"Terciptanya Manusia Sempurna, ialah hakekat Sifat Kami". Dan
proses ini disebut sebagai s a n d a n Paraning Tanazultarki - Awal
Akhir dan turun serta naik kembali: Kami naik dari Insan Kamil (the
Perfect Man), sampai di alam Ajsam (World of the Bodies),
terus ke alam Misal (World of Forms), ke alam Arwah (World of
Souls), ke alam Wakhidiyat (World o f Divine Actions), ke alam
Wahdat (World of Devine Attributes) dan ke alam-Akhdiyat
(World of Divine Oneness), kemudian sampai lagi di alam Insan
Kamil.
Proses menjadi "Insan Kamil" ini dilakukan dengan tata laku
susila, yang dalam Kjrab Wjrjd Hidayat Jati disebut "manekung",
atau menjalankan Samadi. Dimana kitab ini dikenal sebagai
"Ngelmu Ma'rifat Kasampurnaning Ngaurip'?, yang merupakan
ajaran para wali. Untuk menerapkan tata susila samadi itu sendiri
digambarkan sebagai berikut:
I

Samengko ingsun tutur


Sembah catur supaya
lumuntur

Dalam Kitab Wulangreh ini diisyaratkan bahwa di dalam Al-Qur'an


itulah sesungguhnya terdzpat rawa (batin) yang sesungguhnya.
Sehingga untuk menjadi manusia sempurna, carilah Inti Rasa
tersebut.
Dalam Serat Wedotomo yang ditulis oleh Mangkunegoro 1Y
juga dijabarkan oleh dr. Abdullah Ciptoprawiro (1986; 51) bahwa
manusia utama senantiasa mempertajam budi pekertinya, bersikap
kesatria, mampu mengendalikan diri dan "wignya met tyasing
sesami". Dalam tembang Gambuh disebutkan:

Jroning Qur'an nggoning rasa jati


Nanging pilih wong kang uninga
Anjaba lawan tuduhe
Nora kena binawar
ing setemah nora pinanggih
Mundhak katalanjukan, temah sasar-susur
Yen sira ayun waskitha
Kasampurnaning badan ira puniki
Sira anggegurua.

samadi ini disimbolkan sebagai beribut:


Kusuma anjrah ing tawang
Tunlung tanpa telaga
Isining wuluh wungang
Tapaking kuntul nglayang
Geni murub ing teleng samodra
Kuda ngerap ing pendengan
Kondhok kinemulan ing leng, kodhok angcmuli
leng .
Arah untuk menjadi manusia sempurna ini juga diajarkan
dalam kitab Wulangreh karangan Susuhunan Paku Buwana IV.
Dalam tembang Dandang Gula bait ke 3 disebutkan:

Atau kondisi
1. Hidup :
2. Cahaya :
3 . Rasa
:
:
4. Roh
5. Nafsu :
:
6. Budi
7. Badan :

menutup sernbilan lobang pintu masuk ke dalarn badan


kedua mata tenang memandang puncak hidung
mengendalikan panca indra sampai suwung
mengatasi gelore ke-empat saudara (sedulur papal)
mengarah kepada Tuhan Yang Maha Esa
seirama dengan masuk keluar nafas.

I.

Seluruh upaya umat manusia untuk mencapai tingkat Pramana


ini serta kesadaran akan jati diri dan Sangkan Paraning Dumadi
adalah berserah diri kepada Tuhan Yang Maha Kuas6, untuk
menciptakan "rasaNya" di dalam diri manusia. Keadaan ini membawa diri manusia seakan-akan bersatu dengan Allah, Manunggaling kawula-Gusti. Konsep Manunggaling kawula Gusti dalam ha1
ini lebih dititik beratkan pada hubungan antara hamba dengan
Al-Kholik, dan bukan konsep mistis yang penuh polemik sebagaimana pembahasan manunggaling kawula-Gusti.berdasarkan ajaran
Syech Siti Jenar, yang oleh para wali dianggap melakukan
bid'ah, bahkan secara ekstrim dianggap "memper-Tuhan-kan"
dirinya. Xebanyakan para ahli sufi (mistikus Islam) menganggap
bahwa ucapan yang dikeluarkan oleh Syech. Siti Jenar lebih
banyak mengambil ajaran Al-Hallaj, seorang mistikus yang hidup

Eksistensi manusia tidak lepas dari lingkungannya, ,baik


berupa alam benda, alam batin maupun alam gaib. Tujuan
hidup manusia adalah meningkatkan atau mentransformasikan
dirinya dari kenyataan kedudukallnya di dunia wujud ini ke arah
Kenyataan dan Kehidupan Mutlak, ialah Tuhan. Sarana
utamanya adalah "Agama ageming aji" - ilmu Makrifat yang
telah dimiliki dan dijalankan leluhur kita Aji di sini tidak
hanya berarti bangsawan darah,atau kerabat kerajaan saja,
tetapi melainkan juga bangsawan rohani yaitu mereka yang
beusaha meningkatkan hidup kemanusiaannya. Segala tata laku
susila diarahkan kepada tujuan itu.

Ternbang Gambuh, yang sebahagian besar isinya mcmuat tentang


filsaf'at relijius tersebut bqrintikan ajaran-ajaran pendekatan diri
kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam rangka "anggambuh mring
I-iyang Wisesa". (menyatukan diri dengan Illahi). Sebagaimana
ulasan dr. Abdullah Ciptoprawiro tentang Serat Wedotomo ini
(1986; 51) bahwa:

Dhihin raga, cipta, jiwa, rasa,


kaki
Ing kono lamun tinemu
Tandha nugrahaning Manon.
Sernbah raga punika,
Pakartine wong amagang laku
Susucine asarana saking warih
Kang wus lumrah limang
wektu
Mtantu wataking weweton.

Dengan memahami konsep Kawula-Gusti diatas, sesuai dengan


jiwa dan dasar pembangunan Keraton Yogyakarta yang di dasarkan pada ajaran-ajaran Islam, maka dapat dikatakan bahwa konsep manunggaling kawula-Gusti dalam ha1 ini bukanlah semata-mata
konsep pantheisme, yang juga banyak mempengaruhi para sufi pacla
abad-abad perkembangan Islam, dan juga konsep monisme yang menempatkan Tuhan pada posisi yang imanen. Meskipun pembahasan dan penulisan Serat-Serat serta Sastra Jawa banyak berorientasi pada pemahaman ini, namun penulis lebih cenderung
untuk memahami konsep manunggaling kawula-Gusti menurut
versi Keraton Yogyakarta sebagaimana yang disampaikan oleh
GBPH. H. Joyokusumo (Adik Kandung Sri Sultan Hamengkubuwono X) sebagai berikut: "Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat

Sakamantyan denirDLangudi, widadaning ingkang saniskara,


karana tan kena mleset, surasaning kang ngelmu nora kena
madayeng jangji, jangjine mung sapisan, purhen den kumpul,
gusti kalawan kawula, supadine dinadak bisa umanjing, satu
mungguwing rimbagan.
(Dr. Damardjati Supadjar, 1993; 59).
(Upaya untuk mencapai pemahaman itu haruslah terus-menerus
sepanjang hidup, agar tercapailah keselamatan lahir-batin, yaitu
kesesuaian dengan hukum Tuhan, sebagai suatu janji, bahwa
manusia itu wujud pertemuan kawula-gusti, artinya Tuhan,
sedemikian rupa seperti cincin permata).

Dengan mengutip pendapat Ranggawarsita, ia pun menuliskan:

Pembicaraan mengenai hubungan kawula-Gusti iru adalah


pembicaraan mengenai dimensi lal~irbatin, mengenai yarx..
menyembah dan yang disembah; jadi mengenai huburigan
fungsional secara spatial dan temporal. Secara spatial,
kawula itu berada pada dimensi yang lebih rendah daripada
gusti: sedangkan secara temporal, kalau kawula itu temporal,
maka gusti itu non temporal atau eternal.

pada abad ke sepuluh (858 - 992 M). Ucapannya yang terkenal


adalah Anal'l Haqq, Wa'ma fi jubbati illa-Lab", yang artinya:
"sayalah kebenaran yang sejati itu, dan tidak ada yang dalam
jubah, melainkan Allah"..
Berbeda dengan konsep tersebut, secara harfiah "manunggaling
kawula-Gusti" adalah pembicaraan mengenai hubungan "rasa
Ketuhanan" antara manusia sejati dengan Tuhannya. Sebagaimana
disebutkan oleh Dr. Damardjati Supadjar bahwa:
I

.3

..I

buah vulpen? dan berranya kepada seorang siswa S: "ii!~ apa?


S langsung menjawabnya: "itu sebuah vulpen". GI.II.LI
terscbut menerangkan kepada m u r i d - m u r i d i ~ y a ~hahwa
jawahan de~nikianitu merupakan contoh pernyataan yang
lonjong, kurang bulat. Jawaban atau pernyataan yang agak
bulat berbunyi: "ltu vulpen ditangan bapak G". Sedangkan
yang lebih bulat atau lengkap lagi berbunyi: "Ini saya (S)
memandang bapak G, memegang sebuah vulpen". Akhirriya guru tersebut menutup dialog tadi dengan suatu penjelasan, bahwa jawaban atau pernyataan yang sepenuhnya
bulat akan berbcnyi: "Maha Pencipta Allah, Yang karena
kodrat iradat Nya, saya (S) menjadi ada, yang seltarang ini,
disini, melihat bapak G memegang sebuah vulpen".
2. Seorang anak kecil A bertanya kepada kakaknya K:
"Tuhan i t u dimana?" K sadar bahwa per!anyaan itu
tidak mungkin dijawab dengan pernyataan:. "Tuhan itu
di atas atau di Surga, atau di suatu tempat lain entah
dimana, sebab keberadaanNya itu n~engatasikategori spatiotemporal, namun K 'juga tidak mungkin rncngoreksi
pertanyaan adiknya dengan mengatakan bahwa pertanyaan
itu salah atan tidak psda tempatnya. K lalu menyuruh A
untuk mengambil sehelai kertas dan sebuah pensil, dan
ineminta A menggambar sebuah rumah. Sesudah siap, K lalu
berkata; "Lha, A di~nana?" Sesudah tersentak sejenak,
A lalu mengganbarkan dirinya pada kertas itu sambil

1. Seorang guru G berdiri di depan kelas, memegap2 se-

harus dibahas dan dibuka atas dasar Islam. Karena bangunanbangunan yang ada merupakan gambaran "kebesaran" dan
"keagungan" Allah, dan bukan gambaran Tuhan itu sendiri.
Manunggaling k.awula-gusti adalah pendekatan dan rasa Ketuhanan
yang ada di dalam diri seseorang, dan bukan bersatunya hamba
dengan Tuhannya secara harfiah."
Kalau disimak pendapat diatas, maka inti dari pendapat ini
sesungguhnya adalah pembicaraan mengenai kualitas ketaqwaan
manusia terhadap Tuhannya. Jauh-dekatnya seorang manusia
dengan Tuhannya sangat ditentukan oleh kualitasketaqwaannya.
Sehingga tidak mungkin Allah berada pada diri manusia atau
materi lainnya, yang nota bene adalah ciptaanNya. Pencipta
dan yang diciptakan jelas tidak logis untuk "disatukan". Mengenai
ha1 ini secara jelas dilukiskan oleh Dr. Damardjati Supadjar pada
awal pembukaan bukunya yang berjudul Nawangsari, yakni esensi
rnengenai posisi partialitas dan totalitas dengan orientasi
dimensional (1 993; 1-2):

Pembagian Daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil


dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan
Undang-Undang, dengan memandang dan mengingati dasar
permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hakhak asal-usul dalam daerah yang bersifat istimewa.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Negara Republik Indonesia,


status Yogyakarta berubah dari bentuk lcerajaan yang mempunyai
bentuk pemerintahan sendiri, menjadi bahagian dari Negara Republik Indonesia. Pernyataan bersejarah ini dikenal dengan Amanat
Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII, yang
mengamanatkan bahwa setelah kemerdekaan tersebilt di proklamasikan, maka Negeri Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman
rnerupakan bahagian-dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Amanat ini dikeluarkan secara bersama pada tanggal 5 September
1945 oleh Sri Sultan Hamengku B u w o n ~IX dan Paku Alam VIII.
Meskipun demikian, Yogyakarta yang dikenal sebagai negeri
Ngayogyakarta Hadiningrat tetap mernpunyai status yang berbeda
dengan propinsi-propinsi lainnya di Indonesia. Keistimewaan ini terlihat dari peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu
Undang-Undang Dasar 1945, pasal 18 yang antara lain berbunyi:

B. Perkembangan Kota Yogyakarta

berkata: "lni kak, A duduk di depan jendela, sedang


membuat layang-layang" , "Aduh, bagusnya; tapi itu kan
gambar A , bukan A! A tidak mungkin tertampung pada
selembar kertas. Secara analogis K lalu menutup dialog
dengan adiknya tadi melalui suatu pernyataan: "Allah itu
Maha besar, seluruh alam ini adalah ciptaanNya, sehingga
tidak mungkin menampungNya, bahkan semuanya ini
"digenggam dalam tanganNyaU, sepcrti suatu gambaran
dalam angan-angan kita, atau seperti titik-titik yang
jumlahnya tak terhingga pada suatu garis."
Dari cerita analogis diatas, secara dimensional tidaklah mungkin bagi manusia untuk membuat perurnpamaan tentang
"Sang Pencipta" dirinya sendiri sama dengan segala sesuatu yang
maujud di muka bumi ini. Substansi Tuhan "Tan kena kinayangono".
Pada akhirnya konsep-konsep diataslah yang mewarnai perjalanan
atau proses perjalanan rnanusia mencari "kedekatan" diri dengan
Tuhan sebagaimana proses yang ditunjukkan dan dimaknakan
dalam urcrtan-urutan struktur dan bentuk bangunan dan Planologi
Kota Yogyakarta.

Perwujudan dari UUD 1945 pasal 18 ini dituangkan dalam bentuk


Undang-Undang No. 3 Tahun 1950 tentang pernbentukan Daerah
Istimewa Yogyakarta. Demikianlah keistimewaan Yogyakarta ditilik dari segi administrasi pernerintahan dan perundang-undangan.
Ditinjau dari sejarah perjalanan kota Yogyakarta sendiri, ia
lebih dikenal sebagai kota perjuangan yang banyak menjadi kancah
perjuangan fisik rnenjelang Proklamasi Kemerdekaan RI, maupun
dalam perjuangan mernpertahankan kemerdekaan tersebut, sampai
Ncgara Republik Indonesia diakui secara penuh oleh Dunia
lnternasional pada tanggal 27 Desember 1949, setelah clash fisik 11,
)rang dikenal dengan sebutan Yogya Kembali.
Dari tahun kc tahun kota Yogyakarta berkembang menjadi
kota yang ramai, tcrutama setelah didirikannya Universitas Gadjah
Mada pada tahun 1949, yang juga dikenal sebagai kampus perjuangan. Brrdirinya kampus ini juga tidak terlepas dari andil yang
besar dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX: dengan mengizinkan
beberapa bangunan Keraton nlenjadi tempat dan bahagian dari
Universitas Gadjah Mada. Pagelaran dan Siti Inggil dipergunakan
untuk fakultas Sos Pol, Hukum dan Ekonomi yang dikenal
dengan HESP. Sedangkan kornpleks Mangkuburnen untuk fakultasfakultas Eksakta seperti Kedokteran, Biologi dan sebagainya.
Dari perkembangan pendidikan ini, kota Yogyakarta dikenal
sebagai kota pendidikan. Karnpus Gadjah Mada sekarang ini pun,
yang berada di kornpleks Bulak:Sumur, sebelah Utara Keraton
Yogyakarta mempunyai garis yang harmonis dengan-,"Sumbu
Imajiner" sebagai ternpat "konternplasi" dan pengembangan
pemikiran keilmuan, dan planologi kota yogyakartae'ini tetap
dipelihara sedemikian rupa, sehingga konsep filosofisnya tetap
terjaga. Meskipun dalam perkembangan-perkembangan fisik
selanjutnya ada beberapa bangunan yang kurang sesuai dengan
kelestarian konsep ini. Air mancur yang berada diperempatan
Jalan A. Yani dan Jalan Senopati sempat menjadi "pehghalang"
garis Spiritual Selatan-Utara, antara Siti Inggil dan Gunung
Merapi. Meskipun Air Mancur tersebut kini sudah dihiIangkan.
Satu ha1 lagi yang cukup mengganggu ditinjau dari segi
filosofis "sumbu Imajiner" adalah re1 kereta api yang membentang
dari Timur ke Barat, yang merupakan produk penjajah Belanda masa
lalu. Re1 ini seakan-akan menjadi garis pemutus antara Selatan dan
Utara sebagai garis kelanggengan. Demikian pula penataan
bangunan-bangunan sekitar Jalan Malioboro, yang menurut
Aturan Formal perundang-undangan Daerah Istimewa Yogyakarta,
pernah dikeluarkan Peraturan Daerah Kotamadya Yogyakarta
jlang menetapkan posisi bangunan sekitar pinggir jalan Malioboro

yang tidak boleh melebihi ketinggian 45 Derajat dari daerah milik


jalan (Damija). Seyogyanyalah pelestarian esensi filosofis ini tetap
terjaga sebagai salah satu bentuk budaya yang adi luhung yang pada
saat ini, mungkin sudah tidak lagi menjadi perhatian banyak orang.
Keistimewaan Yogyakarta, tidak saja dilihat dari bentuk sejarah dan
asal usul pemerintahannya, tetapi juga dari dalamnya makna dan
arti filosofis budaya yang adi luhung tersebut. Sehingga dapat mcmberikan "keistimeu!aanV batiniah bagi mereka yang pernall
merasakan nyamannya kota Yogyakarta. Pembentukan sikap
batin Yogyakarta, tidak harus dikorbankan dalam bentuk penataan
yang "keliru" terhadap planologi fisik kota. Sehingga akan
menghilangkan arti dan makna yang sesungguhnya dari "inti rasa'"
Yogyakarta sebagai kota pudaya dan kota pendidikan.
b
Bangunan baru yang cukup serasl dengan konsep filosofi adalah monumen Yogya Kernball. Monumen Yogya Kernbali berbentuk Tumpeng Raksasa, terletak di Desa Sariharjo, Kecamaran
Ngaglik, Kabupaten Sleman. Monumen ini dimaksudkan untuk.
memperingati peristiwa bersejarah kembalinya Yogyakarta he
tangan Pemerintahan RI pada tanggal 6 Juni 1949, setelah di
dahului dengan peristiwa-peristiwa Serangan Umum I Maret 1949.
Secara filosofis monumen ini berbentuk tumpeng yang
belahannya vertikal dari atas ke bawah, atau dari puncak sampai
ke dasar. Hal ini menggambarkan sebagai "semangat persatuan"
antara pimpinan dan bawahan serta antara Pimpinan dan Rakyat ,
antara Tentara (ABRl) dengan rakyat pada saat-saa~perjuangan
kemerdekaan lalu. "Sigaran" tumpeng ini tidak membelah secara
horizontal. Karena , akan memberikan makna "terputusnya"
hubungan antara pimpinan (puncak) dengan Rakyat (bawah).
Meskipun bangunan ini baru, tetapi ia tetap berada pada
"harmonitas" kota Yogyakarta dengan konsep pokok "Sumbu
Imajiner" sebagai pangkal tolaknya.
Dengan demikian, secara kescluruhan, IWq-tata r_u-aarl,e.
atau (planologi! kota Yogyakarta seyogyanya menggambarkan
konse'p pokok filosofis bcrdirinya kota Yogyakarta yang penuh
makna dan arti yang sangat mendalam. Sehingga keistimewaan
Yogyakarta dapat disimak seb'agaimana yang disebutkan o!eh
Dr. Damardjati Supadjar (1993; 205) "Hakikat Ke-lstimewaan
Daerah Istimewa Yogyakarta ialah kedudukannya sebagai "jantunp"
kehidupan Republik Indonesia".
Perrlahaman tentang .budaya Jawa tidak dapat hanya di~nengertidengan uraian eksplisit saja, tetapi ia juga membutuhkanketerlibatan "rasa" secara mendalam (inermost feeling). Budaya
Jawa yang penuh dengan makna-makna simbolik, membutuhkan
"kontemplasi" pemikiran akan arti "sesuatu" dibalik wujud
tulisa~lyang lebih banyak mengarah pada "ketidak langsungan"
scbagai ciri khas budaya ini. Ungkapan-ungkapan implisit lebih
s e ~ i n g rnuncul sebagai sesuatu yang bermakna dalam, seperti
Sanepo, yang kadangkala dianggap "bertentangan" dengan
prinsip-prinsip .pengcrtian dan definisi yang menuntut kejelasan
secara tuntas dan lugas. Dengan ciri-ciri seperti inilah, budaya
Jawa secara keilmuan tampil sebagai "ilmu rasa", yang melibatkan
orang pemikiran (ratio) dan "feeling" (rasa.) dalam memahami
secara totalitas arti dan maksud dari "sesuatu" yang dijelaskan.
Serat-serat yang ditulis oleh para pujangga dan Ilmuwan Jawa,
meskipun sarat dengan nilai-nilai!alsafati, seringkali ditulis dengan
bahasa yang "tidak langsung", seperti misalnya bilangan Tahun yang
selalu ditulis melalui ungkapan peristiwa kemanusiaan maupun alam
sernesta. "Dwi Naga Rasa Tunggal" adalah ungkapan untuk menyebutkan Tahun 1682 untuk perhitungan Tahun Jawa. wenurut
Cliford Geertz dan Niels Mulder, "ketidaklangsungan" ini berkaitan dengan etika Jawa untuk menjaga keseirnbangan, keserasian
dan keselarasan yang semuanya bermuara pada varmonisasi.
Demikiari pula halnya dalam pembahasan $hi, yang mencoba menguraikan Arti dan Makna Planologi Kota Yogyakarta,
dimana Keraton sebagai inti (pancer) mempunyai fungsi yang
sangat dominan. Susunan tata ruang dan planologi kota Yogyakarta, tidak saja sekadar menyusun zona-zona peruntukan bagi
aktivitas kegiatan manusia, tetapi yang lebih mendalam adalah
memahami dan mewujudkan tata ruang sebagai perwujudan
integral antara manusia dan proses kehidupannya dengan alam
semesta, yang semuanya berada pada satu tataran harmonisasi

Kesirnpulan

KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V

1. Kota Yogyakarta sebagai aset budaya bangsa yang mempunyai


nilai sejarah dan budaya yang sangat tinggi seharusnya dipelihara dan dijaga nilai-nilai filosofis yang terkandung di

Saran

3. Secara normatif, manusia sejati dan sempurna digambarkan


pada nama gelar "Sri Sultan Hamengku Buwono, Senopati
Inggalogo, Ngabdurachman Sayidin Panatagama Kalifatul-Lah.
Nama dan gelar ini diharapkan menjadi suri tauladan bagi para
kawula, khususnya kawula Ngayogyakarta Madiningrat.

Mikro-Makro Kosmologis. Dengan menggunakan rasio sebagai


tuntutan keilmuan dan juga "rasa" sebagai tuntutan pemahaman,
maka bentuk dan struktur planologi kota Yogyakarta dapat dipaparkan sebagai hasil penelitian dan "kontemplamasi" penulis.
Planologi yang berintikan2"Sumbu 1majiner"'yang membentang antara Laut Selatan (segara kidul) dengan Gunung Merapi,
dapat dijelaskan dengan inti filsafat manusia dan kosmologi.
Sehingga arti dan maknanya secara planologis dapat terurai sesuai
dengan Bab-Bab pembahasan sebelumnya, dan mendukung tujuan
penelitian serta hipotesa yang telah ditentukan oleh penulis. Dari berbagai pemaparan yang telah disampaikan diatas, rnaka clapatditarik beberapa kesimpulan dalam penulisan iiii:
1. Planologi kota Ngayogyakarta Hadiningral disusun berdasarkan konsep filosofi "kesatuan" Mikro-Makro Kosmos, dengan
Keraton sebagai intinya (pancer) sesuai dengan prinsip "sedulur
papat lima pancer". Juga dengan memandang harmonisasi sumbu
absis dan ordinat Selatan-Utara, Tirnur-Barar sebagai garis
Kelanggengan dan garis kadunyan, yang berisikan ajaran-ajaran
etika; estetika, kosmologi, ontologi dan filsafar Ketuhanan.
Dalam ungkapan ini terkandung arti dan makna yang sangat
mendalam tentang eksistensi manusia di dunia sebagai KalifarulLah dan proses pembentukan jati diri manusia sebagai "manusia
sejati", rnanusia kang pramana melalui "kasampurnaning
Ngaurip".
2. Sumbu imajiner yang membentang sebagai garis lurus dari
Selatan ke Utara merupakan garis utama yang berisikan arti dan
makna proses kehidupan manusia sebagai inti konsepsi Sangkan
Paraning Manungsa dan Sangkan Paraning Durnadi. Kesemuanya ini bermuara kepada pendekatan diri manusia terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, dan terbentuknya "Rasa Ketuhannn"
pada diri setiap manusia.

!'

=;,

*,

'-

i,

'

?,

:I
!$

.:

1,

dalamnya, terutama penataan tata ruang dan planologi yang disesuaikan dengan esensi filosofi kotanya. Sehingga akan tercapai masyarakat yang maju dengan tata nilai budaya yang
berakar pada nilai-nilai sendiri.
2. Bagi para pengambil keputusan dan perencana kota, planologi
diharapkan tidak saja sekedar mengatur "kotak-kotak bangunan"
terapi juga mengandung nilai-nilai "Satyam, Shivam' dan
Sundararn, yaitu nilai-nilai keindahan, kebaikan dan kebenaran.
Baik ditinjau dari sudut esensi kesejarahan maupun dari sudut
kenyarnanan dan kemaslahatan bagi umat manusia.

.4m1nBR, KHM., 1981 , Pernbanguiian Jirr,o l - a ~ ~ ~~aiirnosG,


:,g
do
Kanjeng Sunan Kalijogo Guru S u c ~ Inp Tanah .IOLVO,
C V . Amin, Surabaya.
Adishakti, Larenta T . , 1988, Safeguarding and Conserving
Taman Sari Yogyakarta = Indonesia; projecl submitted in
partial fullfillment of the degree of hflastcr nof Architecture at
the University of Wisconsin - Milwaukee.
.4?y, Anjar, 1985, hlenyjngkap Serar U.'edoro,no, Penerbii
CI'. Aneka llmu, Semarang.
Bakkcr, Anton. Dr. dan Charris Zubair, Achmad. Drs., 1990.
Metodolosi Penelirian Filsafar, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Bintarto, Prof, Drs. R., 1977, Pengantar Geografj Kora, Up.
Spring, Yogyakarta.
Brongtodiningrat, K.P.H., 1978, Arri Keraron Yogyakarra,
Museum Kraton, Yogyakarta.
Ciptoprawiro, Abdullah. Dr., 1986, Filsafar Jawa, Balai Pustaka,
Jakarta.
Dwijarkara S.J. Prof. Dr. N., 1985 (Cet. kelima), Filsafar
Manusia, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Geertz, Hildred, 1983, Keluarga Jawa, Grafiti Pers, Jakarta.
Hardjowi-rogo, Marbangun. Drs., 1984, Manusia Jawa, Inti
Idayu Press, Jakarta.
Hardjowirogo, Marbangun, Drs., 1980, Adat Istiadar Jawa,
~ e n k r b i tParma, Bandung.
Huijbers, Theo. Dr., 1987, Manusia Merenungkan Makna
Hidupnya, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Haka, Mashoed, 1976, Dunia Nyi Agens Serang Wanita Pejuang
.Bangsa, Penerbit P T . Kinta, Jakarta.
Leahy, Lous, 1985, Manusia Sebuah Misreri, Sinresa filosofis
tentang Makhluk Paradoksal, Penerbit PT. Cramedia, Jakarta.
Mandoyokusumo, K.P.H., 1388, Serat Raja Purra, Museum
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Yogyakarta.
Mulder, Niels., 1981, Kepribadian Ja wa dan Pembangunan
Wasional, Gadjah Mada University Press dan Penerbit Sinar
Harapan, Yogyakarta - Jakarta.

Adimassana, JB., 1986, Ki Ageng Suryomataram tentang Citra


Mgnusia, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

-. DAFTAR PUSTAKA

79

hlulder, Niels., 1981, Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang


Jawa, Kelangsungan dan Perubahan Kulruril, Penerbit
PT. Craniedia, Jakarta.
Pernda Daerah lstirnewa Yogyakarta, 1992, Sejarah Perkembangan Pemerinra han Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Pernda Daerah lstimewa Yogyakarta, 1992, Pola Dasar Pembangunan Daerall Propinsi Daerah Istirnewa Yogyakarta
Tahun 1988.
Poerwokusumo, Soedarisman, KPH. Mr., 1984, Daerah Istimewa
Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
J'oerwokusumo, Soedarisman, K P H . Mr., 1985, Kasultanan
l'ogyakarra, Gadjah: Mada University Press, Yogyakarta.
lioem, Mohammad, Dkk., 1982, Tahra Untuk Rakyat, Celahcelah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono I X , Pe'nerbit
PT. 'Grarnedia, Jakarta
Ricklefs, M.C., 1974, Yogyakarfa Under.Sultan Mangkubumi
1749-1792, A History o f the Division o f Java, Oxford
University Press, New York - Toronto - Kuala Lumpur.
Supadjar, Damardjati, Dr., 1993, Nawangsari, Penerbit MW.
Mandala, Yogyakarta.
Sairin, Sjafri., 1982, Javanese Trah. Kin Based Social Organization. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Sujamto, lr ., 1992, Reorientasi dan Reviralisasi pandangan
Hidup Jawa, Dahara Prize, Semarang.
~oeryohoedoyo,Koetardji. R.M., 1993, Pepali Ki Ageng Selo,
PT. Citra Jaya Murti, Surabaya.
Salam, Solichin, 1960, Sekitar Walisanga, Penerbit Mebara
Kudus, Kudus.
Soemardjan, Selo., 1991 (Cet. ketiga), Perubahan' Sosial di
Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Sastrowardoyo, (Tanpa Tahun), Wasita Jinarwi Serat Wulangreh,
jilid I dan 11, Amigo, Solo.
Triyoga, Lucas Sasongko, 1991, Manusia Jawa dan Gunung
Merapi Persepsi dan Sistem Kepercayaannya, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Zoetmulder, P. J ., hlanunggaling Ka wula Gusti, Pentheisme dan
wonisme Dalam Sastra Suluk Jawa, Penerbit PT. Gramedia,
Takarta.

Anda mungkin juga menyukai