Anda di halaman 1dari 11

SAORAJA LA PINCENG - BARRU

Keindahan akan karakteristik yang khas dari arsitektur nusantara telah dikenal luas hingga ke luar

negeri, Arsitektur nusantara sebagian besar merupakan bangunan rumah adat atau rumah tinggal

yang dibangun berdasarkan adat dan tradisi setempat. Proses pendirian rumah tradisional sejak awal

penentuan lokasi hingga didirikan dan dihuni, tidak pernah lepas dari pengaruh adat, kepercayaan

dan tradisi. Oleh karena itu, arsitektur nusantara seringkali disebut juga sebagai Arsitektur Tradisional

atau Rumah Tradisional.


Arsitektur tradisional merupakan hasil dari lingkungannya. Selain itu, pembangunan Rumah

Tradisional selalu melibatkan tidak hanya pemilik rumah namun juga seluruh masyarakat setempat

atau komunitas.

Rumah-rumah adat di Indonesia memiliki bentuk dan arsitektur masing-masing daerah sesuai dengan

budaya adat lokal. Rumah adat pada umumnya dihiasi ukiran-ukiran indah, pada jaman dulu, rumah

adat yang tampak paling indah biasa dimiliki para keluarga kerajaan atau ketua adat setempat

menggunakan kayu-kayu pilihan dan pengerjaannya dilakukan secara tradisional melibatkan tenaga

ahli dibidangnya.

Terlepas dari segi antropologi ataupun asal usulnya, bentuk Rumah adat Tradisional saoraja

lapinceng, menggambarkan karakteristik dan keindahan arsitektur nusantara, serta kekayan adat dan

tradisi lokal. akan tetapi unsur-unsur lokal dianggap telah kuno dan tidak menarik. Kearifan lokal dan

tradisi ikut tergerus perkembangan jaman.

Oleh karena itu, kesadaran akan pentingnya belajar karakteristik dan kearifan arsitektur tradisional

nusantara melalui karakteristik rumah adat saoraja lapinceng.

Kata kunci : rumah adat, karakteristik arsitektur nusantara, saoraja lapincen

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Rumah Adat adalah bangunan yang memiliki ciri khas khusus, digunakan untuk tempat hunian oleh

suatu suku bangsa tertentu. Rumah adat merupakan salah satu representasi kebudayaan yang paling

tinggi dalam sebuah komunitas suku/masyarakat. Keberadaan rumah adat di Indonesia sangat

beragam dan mempunyai arti yang penting dalam perspektif sejarah, warisan, dan kemajuan

masyarakat dalam sebuah peradaban.

Rumah-rumah adat di Indonesia memiliki bentuk dan arsitektur masing-masing daerah sesuai dengan

budaya adat lokal. Rumah adat pada umumnya dihiasi ukiranukiran indah, pada jaman dulu, rumah

adat yang tampak paling indah biasa dimiliki para keluarga kerajaan atau ketua adat setempat

menggunakan kayu-kayu pilihan dan pengerjaannya dilakukan secara tradisional melibatkan tenaga

ahli dibidangnya, Banyak rumah-rumah adat yang saat ini masih berdiri kokoh dan sengaja

dipertahankan dan dilestarikan sebagai simbol budaya Indonesia.

Seiring perkembangan zaman, maka terjadi pula perubahan kebutuhan bangunan manusia di zaman
yang baru ini. Rumah adat atau rumah tradisional pun banyak yang mengalami perubahan dan tidak

sedikit rumah adat atau tradisional yang hampir punah. Kebutuhan manusia yang berubah

menyebabkan terjadinya perubahan pada kebutuhan bangunan yang kurang sesuai dengan yang ada

sebelumnya. Tidak jarang rumah tradisional atau rumah adat yang ada mengalami perubahan dan

tidak memperhatikan nilai filosofis yang seharusnya diperhatikan.

Terjadinya perubahan tersebut menyebabkan perlu diidentifikasi kembali mengenai rumah adat

tradisional saoraja lapinceng kabupaten barru yang ada saat ini.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, maka permasalahan yang akan dirumuskan dan dipecahkan dalam

penelitian ini antara lain :

a) Bagaimana karakteristik rumah adat tradisional saoraja lapinceng kabupaten barru ?

b) Bagaimana kondisi rumah adat tradisional saoraja lapinceng kabupaten barru ?

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Latar Belakang Sejarah

Kabupaten Barru dahulu sebelum terbentuk adalah sebuah kerajaan kecil yang masing-masing

dipimpin oleh seorang raja, yaitu: Kerajaan Berru (Barru), Kerajaan Tanete, Kerajaan Soppeng Riaja

dan Kerajaan Mallusetasi.

Pada masa pemerintahan Belanda dibentuk Pemerintahan Sipil Belanda di mana wilayah Kerajaan

Barru, Tanete dan Soppeng Riaja dimasukkan dalam wilayah Onder Afdelling Barru yang bernaung di

bawah Afdelling Parepare. Sebagai kepala Pemerintahan Onder Afdelling diangkat seorang control

Belanda yang berkedudukan di Barru, sedangkan ketiga bekas kerajaan tersebut diberi status

sebagai Self Bestuur (Pemerintahan Kerajaan Sendiri) yang mempunyai hak otonom untuk

menyelenggarakan pemerintahan sehari-hari baik terhadap eksekutif maupun dibidang yudikatif.

Dari sejarahnya, sebelum menjadi daerah-daerah Swapraja pada permulaan Kemerdekaan Bangsa
Indonesia, keempat wilayah Swapraja ini merupakan 4 bekas Self bestuur di dalam Afdelling

Parepare, yaitu:

1. Bekas Self bestuur Mallusetasi yang daerahnya sekarang menjadi kecamatan Mallusetasi dengan

Ibu Kota Palanro, adalah penggabungan bekas-bekas Kerajaan Lili di bawah kekuasan Kerajaan

Ajattapareng yang oleh Belanda diakui sebagai Self bestuur, ialah Kerajaan Lili Bojo dan Lili Nepo.

2. Bekas Self bestuur Soppeng Riaja yang merupakan penggabungan 4 Kerajaan Lili di bawah bekas

Kerajaan Soppeng (Sekarang Kabupaten Soppeng) Sebagai Satu Self bestuur, ialah bekas Kerajaan

Lili Siddo, Lili Kiru-Kiru, Lili Ajakkang dan Lili Balusu.

3. Bekas Self bestuur Barru yang sekarang menjadi Kecamatan Barru dengan lbu Kotanya Sumpang

Binangae yang sejak semula memang merupakan suatu bekas kerajaan kecil yang berdiri sendiri.

4. Bekas Self bestuur Tanete dengan pusat pemerintahannya di Pancana, daerahnya sekarang

menjadi 3 Kecamatan, masing-masing Kecamatan Tanete Rilau, Kecamatan Tanete Riaja dan

Kecamatan Pujananting.

Seiring dengan perjalanan waktu, maka pada tanggal 24 Februari 1960 merupakan tonggak sejarah

yang menandai awal kelahiran Kabupaten Daerah Tingkat II Barru dengan ibukota Barru,

berdasarkan Undang-Undang Nomor 229 tahun 1959 tentang pembentukan Daerah-daerah Tingkat II

di Sulawesi Selatan. Kabupaten Barru terbagi dalam 7 Kecamatan yang memiliki 40 Desa dan 14

Kelurahan, berada ± 102 Km di sebelah Utara Kota Makassar, ibukota Sulawesi Selatan.

Sebelum dibentuk sebagai suatu Daerah Otonom berdasarkan UU No. 29 Tahun 1959, pada tahun

1961 daerah ini terdiri dari 4 wilayah Swapraja di dalam kewedanaan Barru, Kabupaten Parepare

lama, masing-masing Swapraja Barru, Swapraja Tanete, Swapraja Soppeng Riaja dan bekas

Swapraja Mallusetasi. Ibukota Kabupaten Barru sekarang bertempat di bekas ibukota Kewedanaan

Barru.

2.2 Letak Geografis, Topografi Wilayah Kabupaten Barru

Kabupaten Barru berada di pesisir Barat Provinsi Sulawesi Selatan, terletak antara koordinat 4⁰ 05’

49” - 4⁰ 47’ 35” Lintang Selatan dan 119⁰ 49’ 16” Bujur Timur.

Dengan batas-batas wilayah sebagai berikut :

- Sebelah Utara : Kota Parepare dan Kabupaten Sidrap

- Sebelah Timur : Kabupaten Soppeng dan Kabupaten Bone


- Sebelah Selatan : Kabupaten Pangkajene Kepulauan

- Sebelah Barat : Selat Makassar

Luas Wilayah Kabupaten Barru = 1.174,72 km2 (11,427 Ha) yang terdiri dari daerah pantai, dataran

rendah, dataran tinggi perbukitan dan gunun g-gunung (pegunungan).

Ketinggian wilayah Kabupaten Barru 0 - 25 meter dari permukaan laut (mdpl) seluas 26.319 Ha

(22,40 %); 25 - 100 m dpl seluas 12.543 Ha (10,68 %); 100 - 500 m dpl seluas 52.781 Ha (44,93%);

500 - 1.000 mdpl seluas 23.812 Ha (20.27 %); 1.000 - 1.500 m dpl seluas 1.941 Ha (1,65%) dan >

1.500 mdpl seluas 75 Ha (0,06%).

Kemiringan lereng 0 – 2 % seluas 26.596 Ha (22,64 %); 3 - 15 % seluas 7.043 Ha (5,49%); 16-40 %

seluas 33.246 Ha (28,31%) dan > 40% seluas 50.587 Ha (43,06%).

Jenis tanah d iKabupaten Barru didominasi oleh jenis Regosol seluas 41.254 Ha (38,20%); Mediteran

seluas 32.516 Ha (27,68%); Litosol seluas 29.043 Ha (24,72%); Aluvial seluas 4.659 Ha (2,48%).

2.3 Sistem Kekerabatan dan Hubungan Sesama Manusia pada Adat Bugis Barru

Pengetahuan tentang sesama manusia juga tidak dapat diabaikan. Sebelum terpengaruhilmu

psikologi modern, sebuah suku bangsa dalam bergaul dengan sesamanya biasanya berpegangan

dengan ilmu firasat (pengetahuan tantang tipe-tipe wajah) atau pengetahuan tentang tanda-tanda

tubuh tersebut. Dalam hal ini bisa dikategorikan ada di dalamnyayaitu pengetahuan tentang sopan-

santun, adat-istiadat, sistem norma, hukum adat, silsilah,sejarah, dsb.

Dalam Suku Bugis, adat istiadat (yang juga dikenal dengan konsep ade‘), kontrak sosial, serta

spiritualitas yang terjadi di masa lalu mengacu kepada kehidupan dewa-dewa yang diyakini. Di sana

juga dikenal istilah pamali sebuah ungkapan yang bersifat spontan sebagai bentuk pelarangan

dengan penekanan

pada kejiwaan, untuk tidak melanggar hal yang dianggap pemali.

Ada pula istilah siri’, yaitu ajaran moralitas untuk menjaga dan mempertahankan diri dan

kehormatannya. Siri’ juga bisa dikatakan hukum adat karena jika seorang anggota keluarga

melakukan tindakan yang membuat malu keluarga, maka ia dianggap menginjak ajaran siri’ dan akan

diusir atau dibunuh. Namun, adat ini sudah luntur di zaman sekarang ini. Siri’ terbagi menjadi dua
yaitu, siri' nipakasiri‘ dan siri' masiri'.

Sistem kekerabatan orang Bugis disebut assiajingeng yang mengikuti sistem bilateral atau sistem

yang mengikuti pergaulan hidup dari ayah maupun dari pihak ibu. Dalam suku Bugis zaman dulu

dikenal tiga strata sosial atau kasta, yaitu ana’arung (bangsawan) yang punya beberapa sub kasta

lagi (kasta tertinggi).

To Maradeka atau Orang merdeka (orang kebanyakan sebagai kasta pertengahan), dan yang

terakhir kasta terendah yaitu kasta ata atau budak. Perlu dicatat pula dalam status sosial yang

berhubungan dengan status gender di suku Bugis ada yang dikenal dengan istilah bissu, sebutan

untuk seorang transgender (waria), menariknya bissu dalam masyarakat Bugis memiliki kedudukan

terhormat dan mendapat julukan manusia setengah dewa.

2.4 Sistem Kepercayaan dan Mitologi Lokal Bugis

Di Sulawesi Selatan terdapat sistem kepercayaan tradisional yang bersumber pada mitologi I

Lagaligo. Kepercayaan ini tidak lenyap, meskipun semakin serius terdesak dan bertentangan oleh

ajaran islam yang masuk ke wilayah ini akhir abad ke-16.

Dipandang dari ranah politik, mitologi merupakan suatu kebutuhan yang eksistensi nilai-nilai yang

berfungsi untuk mempertahankan keberkangsungan hidup suatu masyarakat. Dengan mitologi,

secara sadar atau tidak, suatu otoritas akan diamuni oleh para penganutnya. Oleh karena itu setiap

pembentukan kekuasaan baru dalam masyarakat tradisionil biasa diikuti dengan mitologisasi

kekuasaan itu membenarkan eksistensinya dimata kelompok atau lingkungan pengikutnya. Mitos

mengukuhkan kedudukan penguasa dalam masyarakatnya.

Mitologi I Lagaligo semula milik kerajaan luwu yang terletak di utara teluk Bone, kemudian menjadi

milik seluruh komunitas Bugis; bahkan meluas pada beberapa suku yang berbahasa sendiri, seperti

suku Toraja, Enrekang, Mandar, Wolio (Sulawesi Tenggara), Kaili (Sulawesi Tengah) dan Gorontalo.

Meskipun dalam aneka cerita lepas yang masing-masing tidak memiliki hubungan. Di Luwu cerita I

Lagaligo lebih merupakan hasil ciptaan orang-orang setempat, meskipun demikian, memiliki fungsi

yang sama, yaitu menjadi sumber berbagai tradisi dantata cara adat, bahkan menjadi sastra keramat

yang mengisahkan hal ikhwal nenek moyang pemilik cerita mereka hormati. Sebagai sastra yang

keramat. Di Sidenreng pada pertengahan abad 9, syair-syair I Lagaligo dibacakan untuk menghormati

orang sakit.
Cerita I Lagaligo dimulai dengan permufakatan para Dewa di Kayangan untuk mengisi kehidupan

dunia tengah (Bumi), dengan mengawinkan Batara Guru yaitu anak dari Datu PaotoE (Sang Pencifta)

dengan We Nyilitimo yaitu anak dari Ri Selleng di dunia Bawah. Dari perkawinan ini lahirlah Batara

Lattu yang dikawinkan dengan We Datu Senngeng, anak La Urumpessi. Perkawinan yang kedua

melahirkan anak kembar laki-laki dan perempuan yaitu Sawerigading dan Tenriabeng. Dengan

melalui petualangan yang berliku akhirnya Sawerigading berhasil mempersunting I We Cudai dari

negeri Cina.

Dari perkawinan yang terakhir ini lahirlah I lagaligo. Selanjutnya We Tenriabeng mempunyai anak

yaitu Salinrunglangi yang kelak kawin dengan putri Sawerigading yang benama Mutiotoja. Batara

Guru, Batara Lattu, dan Salinrunglangi adalah raja dunia tengah (Bumi) yang berkedudukan di Luwu.

Datu PatotoE yang merupakan sang pencifta mempnyai peran yang sangat sentral, ia memiliki

kekuasaan dan kemampuan untuk menghubungkan kayangan, bumi dan dunia bawah. Transfer dari

masing-masing dunia hanya terjadi atas kehendaknya, dan ditandai dengan kejadian alam seperti

petir bersahut-sahutan, daratan dan lautan berguncang dengan hebat serta keadaan gelap gulita.

Keadaan menjadi normal kembali ketika perpindahan itu mencapai kesempurnaan. Hal ini terjadi

misalnya ketika Salinrunglangi dipindahkan dari kayangan ke bumi yaitu di kerajaan Luwu.

Salinrunglangi kemudian disebut dengan To manurung (orang yang turun dari kayangan) yang

berwenang memerintah seluruh bumi dan isinya.

Pada akhir cerita Datu patotoE berpesan lewat utusannya supaya diusahakan orang-orang yang

berdarah murni saling kawin-mawin. Raja di Luwu dipilih diantara bangsawan, yaitu yang paling tinggi

derajat kebangswanannya. Menjelang pintu masuk kayangan akan ditutup dan dunia bawah akan

dipalang, Datu PatotoE berjanji bahwa sejak saat itu dan seterusnya manurung-manurung berdarah

putih dari waktu ke waktu dengan diam-diam dan secara rahasia akan dikirim ke Bumi, tempat

kediaman manusia.

2.5 Karakteristik Arsitektur Rumah Adat Saoraja Lapinceng Barru

Pada umumnya karakteristik rumah tradisional adat suku bugis yaitu rumah adat bugis yang bisa

dipindahkan dari satu tempat ketempat lain dengan konstruksi yang dibuat secara lepas-pasang

(knock down). Orang Bugis memandang rumah tidak hanya sekedar tempat tinggal tetapi juga

sebagai ruang pusat siklus kehidupan, tempat manusia dilahirkan, dibesarkan, menikah, dan
meninggal.Karena itu, membangun rumah haruslah didasarkan tradisi dan kepercayaan yang diwarisi

secara turun temurun dari leluhur. Konstruksi rumah berbentuk panggung yang terdiri atas tingkat

atas, tengah, dan bawah yang juga sudah diatur dengan fungsi-fungsi khusus yaitu: tingkat atas

digunakan untuk menyimpan padi dan benda-benda pusaka. Tingkat tengah, yang digunakan

sebagai tempat tinggal, terbagi atas ruang-ruang untuk menerima tamu, tidur, makan dan dapur.

Tingkat dasar yang berada di lantai bawah diggunakan untuk menyimpan alat-alat pertanian, dan

kandang ternak.

Rumah tradisional bugis dapat juga digolongkan berdasarkan status pemiliknya atau berdasarkan

pelapisan sosial yang berlaku.

Saoraja La Pinceng sendiri dibuat pada tahun 1895 terletak di Dusun Lapasu atau Bulu Dua

Kabupaten Barru. Ukuran Ale Bola atau bangunan rumah induk berukuran kurang lebih 23,50 x 11

meter. Jumlah tiang Saoraja La Pinceng sebanyak 35 buah dengan panjang sekitar 6,50 meter, dan

lebar sekitar 5,50 meter. Selain itu, juga terdapat sembilan buah tiang dengan ukuran 3 x 3 meter.

Bangunan rumah dapur memiliki panjang sekitar 11 meter dan lebar sekitar 8 meter, dengan jumlah

tiang 20 buah (5 x 4), ditambah dua buah tiang antara Ale Bola dengan rumah dapur yang berfungsi

sebagai penyambung dan tempat penyanggah tangga belakang. Selain itu, di dalam lokasi Saoraja

La Pinceng terdapat pula beberapa bangunan antara lain, rumah jaga dengan ukuran sekitar 7,50 x 4

meter, bangunan panggung pementasan dengan ukuran sekitar 9,50 x 5 meter. Juga terdapat

bangunan kamar mandi dan sumur dengan ukuran sekitar 8,50 x 6,20 meter. Luas lokasi secara

keseluruhan sekitar 4.000 meter persegi.

Selain itu, Sebelum masyarakat Bugis mengenal agama ‘impor’ seperti Islam, Kristen dan lain-lain,

loteng rumah sebagai tempat menyemayankan jenazah. Jenazah diletakkan di dekat jendela kecil

bagian depan (timpa’ laja).

Timpa’ laja menjadi jendela tempat melayang atau menghilangnya jenazah bagi masyarakat yang

memiliki tingkat keilmuan, pengetahuan, dan kebaikan yang mumpuni. “Jenazah itu menunggu kilat

dan guntur. Jika terjad SAi, jenazah akan menghilang. Jadi ditimpa’na millajangnna (dibuka dan

melayang),” (Ibrahim, 2017)

Di rumah adat Lapinceng, di dekat timpa’ laja terdapat tiga balok menjorok dan mengapit pada di

tiang utama rumah. Balok-balok itu diperkirakan tempat atau dudukan dalam meletakkan jenazah. Ia

menggunakan peti atau hanya kain balutan jenazah.


Lapinceng berdiri di lahan 43 are. Halaman ditumbuhi rumput hijau. Di bagian depan ada rumah jaga.

Bagain samping, ada hamparan sawah dan di depan mengallir Sungai Balusu.

Dari bagian depan, rumah Lapinceng berbeda dengan rumah Bugis lain. Teras tidak mengikuti badan

rumah dan tertutup. Biasa, teras rumah Bugis selalu terbuka, tempat beristirahat penghuni dan

tempat bercengkrama. Teras tertutup seperti menutup akses masyarakat luar melihat langsung

keadaan bangunan. Apa yang menyebabkan seperti itu ? teras kecil di depan rumah tidak untuk

orang, melainkan tempat kuda raja. (Ibrahim, 2017). Salah satu asumsi yang menguatkan, adalah

bentuk anak tangga disusun rapat dan lebar. “Kalau tangga manusia, pasti berjenjang. Ini tidak, tentu

memudahkan kuda menapak naik.” (Ibrahim, 2017).

Saat memasuki ruang utama rumah Lapinceng yang lapang, terlihat balok berdiri tidak sama tinggi.

Balok itu, menandakan posisi strata sosial para tamu. Yang paling tinggi di sebelah kanan kiri raja,

paling rendah di dekat ruang keluarga menuju dapur.

Pada ruang utama itu, terdapat dua buah pintu geser. Satu menuju ruang keluarga, satu

berhubungan dengan kamar raja. Memasuki ruang tengah, terdapat tiga buah kamar. Kamar raja,

selir dan keluarga.

Secara keseluruhan, rumah Lapinceng menggunakan 35 tiang dengan 23 jendela. Tinggi rumah dari

permukaan tanah sekitar 6,5 meter, dengan tinggi keseluruhan tiang mencapai 15 meter hingga

pucuk atap.

Tiang dan dinding kayu rumah ini menggunakan kayu bitti berlantai bambu. Potongan bambu untuk

lantai diurut dengan begitu rupa, hingga semua ruas tulang benar-benar sejajar. “Jika menebang 100

bambu, bisa untuk lantai hanya 40 buah, karena tulang ruas harus benar-benar seajajar,” (Ibrahim,

2017).
Situs Rumah Adat Saoraja Lapinceng
Rumah adat Lapnceng didirikan pada tahun 1879 oleh raja Balusu yang bernama Andi
Muhammad Saleh Daeng Parani Arung Balusu. Andi Muhammad Saleh pernah
membantu kerajaan Soppeng menghadapi serangan kerajaan Wajo dan sidenreng pada
peperangan yang dikenal dengan Musu Belo atau Perang Belo. Atas jasanya itu ia
diangkat menjadi Petta Sulle Datue yang bertugas menggantikan raja Soppeng apabila
raja berhalangan. Andi Muhammad Saleh juga diberi tugas sebagai penguasa dan
panglima perang di bagian barat kerajaan Soppeng atau Soppeng Riaja.

Penamaan Saoraja Lapinceng mempunyai arti tetsendiri. Ketika Saoraja Lapinceng


didirikan, bangunan itu sempat roboh dan menimpa barang barang pecah seperti piring
dan alat dapur lainnya (dalam bahasa Bugis, pinceng berarti beling). Sebagai tanda
peringatan tersebut, maka rumah adat itu diberi nama Saoraja Lapinceng ketika
pembangunannya selesai dirampungkan.

Bangunan rumah adat Lapinceng dibuat dengan gaya arsitektur rumah panggung.
Bentuk rumah panggung ini termasuk rumah panggung yang bertiang banyak. Bagian
atap rumah berbentuk limas segitiga. Untuk mencapai bagian badan rumah,
dihubungkan dengan sebuah tangga dari depan, bukan dari samping. Selain bangunan
utama, juga dibuat bangunan dapur, bentuknya mirip dengan bangunan utama.

Bahan yang digunakan untuk membangun rumah ini terdiri dari kayu ipi yang
ditemukan di tengah hutan Balusu. Ada kisah di balik pengumpulan bahan ramuan
rumah adat Lapinceng. bahan baku kayu ditebang oleh seorang pandai kayu yang
bernama La Sikki. Pada saat kayu ini ditebang, terjadilah keanehan-keanehan, di mana
setelah tujuh hari tujuh malampohon ini putus, namun belum juga rebah dan dari
dalamnya terdengar suara seperti kerbau yang disembeli, selanjutnya keluar cairan atau
getah pohon berwarna merah bagaikan darah. Melihat kejadian ini, La Sikki kemudian
salat dua rakaat di dekat pohon itu, dan berselang tiga hari kemudian barulah pohon itu
rebah. Disaat kayu itu tumbang, seluruh kerajaan Balusu bergetar. Kayu ini kemudian
dijadikan sebagai bahan ramuan untuk membangun Saoraja Lapinceng.

Rumah adat ini memiliki ukuran dengan perincian yaitu, bangunan utama 23,55 X 11 m,
bangunan dapur 8,24 X 11,45 m, bagian legolego atau beranda rumah 8,15 X 5,56 m,
serta pos jaga 7,59 X 4,13 m. Adapun untuk ukuran tiangnya yaitu, tiang paling besar
memiliki ukuran 42 X 42 Cm, dan tiang paling kecil memiliki ukuran 20 X 20 Cm.

Keseluruhan bangunan terdiri atas empat bagian dan memiliki jumlah tiang sebanyak
66 batang dengan perincian, bangunan utama memiliki 35 tiang, bangunan dapur
memiliki 22 tiang, dan bagian legolego atau beranda rumah memiliki 9 tiang. Sementara
untuk jumlah tangga ada sebanyak dua buah dengan perincian anak tangganya yaitu
tangga utama memiliki 17 anak tangga, dan tangga untuk bangunan dapur memiliki 15
anak tangga. Rumah adat Lapinceng memiliki sembilan lontang atau petak, masing-
masing 5 lontang pada bangunan utama, dan 4 lontang pada bangunan dapur.

Rumah adat lapinceng dibuat dengan bentuk persegi panjang sementara bagian atap
berbentuk limas segitiga. Bagian depan dan belakang bubungan atap, baik bangunan
utama maupun bangunan dapur dipasangi timpa laja atau singkap yang bersusun tiga.
Adapun makana dari timpa laja yang bersusun tiga yaitu sebagai tanda bahwa pemilik
rumah tersebut meruoakan seorang bangsawan, pada masa dulu hanya bangsawan yang
memiliki rumah dengan timpa laja bersusun tiga atau susunan ganjil. Di setiap timpa
laja pada Saoraja Lapinceng juga dilengkapi dengan jendela kecil. Pada bagian lesplank
bangunan utama dan bangunan dapur pada bagian atapnya dibuat lebih panjang dari
panjangnya atap atau dicondongkan, kemudian diberi ukiran.

Rumah adat Saoraja Lapinceng sudah dipugar pada tahun 1983 dan telah diresmikan
oleh Ibu Dirjen Kebudayaan Depdikbud RI pada tanggal 11 Agustus 1984. Pengelolaan
selanjutnya berada di bawah pengawasan Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala
Sulawesi Selatan.

Anda mungkin juga menyukai