Anda di halaman 1dari 20

RUMAH ADAT

KAMPUNG
WAE REBO
Mbaru Niang
Indonesia merupakan sebuah negara multikultural yang sangat
kaya akan keanekaragaman budaya. Masing-masing kebudayaan
memiliki ciri khas dan keunikannya sendiri, dan salah satu hal
yang menjadi identitas utama dari kebudayaan tersebut adalah
rumah adat.

Rumah adat di Indonesia memiliki ciri arsitektural dan gaya desain


yang unik, karena rumah adat merupakan bangunan peninggalan
masa lalu yang tumbuh dan berkembang berdasarkan adat istiadat
daerah setempat yang memiliki nilai-nilai, filosofi, fungsi dan
makna. Namun di era modern ini, kekayaan budaya Negara kita
mulai terancam menghilang dari eksistensi, terkait dengan
minimnya generasi penerus yang memiliki kesadaran dan kemauan
untuk mempertahankan warisan budaya tersebut.

Salah satu warisan budaya yang perlu dilesterikan adalah rumah


adat kampung Wae rebo, Nusa Tenggara Timur.
Gambar waerebo
Letak Geografis

Wae Rebo adalah sebuah kampung tradisional di dusun terpencil. Wae Rebo terletak di desa Satar
Lenda, Kecamatan Satarmese Barat, Kabupaten Manggarai, Propinsi Nusa Tenggara Timur.
Hawanya cukup dingin, berada di ketinggian C.a. 1100 m di atas permukaan air laut. Kampung
Wae Rebo diapiti oleh gunung, hutan lebat dan berada jauh dari kampung – kampung tetangga.
Kampung Wae Rebo dikukuhkan oleh Enklave sejak masa penjajahan Belanda.

Meski letak desa ini jauh terpencil, herannya, setiap tahun turis dari berbagai negara rela
menempuh jalan panjang demi mengunjunginya. Di desa yang terletak di Kabupaten Manggarai,
Provinsi Nusa Tenggara Timur ini terdapat harta karun Nusantara, berupa rumah adat yang unik
dan kebudayaan yang masih terjaga. mempertahankan sisa arsitektur adat budaya Manggarai yang
semakin hari semakin terancam ditinggalkan pengikutnya.
Sejarah Wae rebo
Rumah panggung Mbaru Niang tidak hanya sekedar rumah
sebagai tempat berlindung. Rumah Mbaru Niang memiliki
filosofi yang mencerminkan sifat dan kebijaksanaan suku
Manggarai dalam memperlakukan alam sekitarnya.
Ditempat ini pula terjadi proses alamiah dari kelahiran dan
praktik kegiatan religius dari suku Manggarai.

Keunikan dari rumah Mbaru Niang suku Manggarai adalah


rumah ini tidak dipengaruhi oleh kebudayaan lain yang
pernah datang ke Indonesia. Bentuk fisik dan filosofi
rumah Mbaru Niang adalah murni kebudayaan asli suku
orang Indonesia bagian timur. Bentuk denah lingkaran
sudah menjadi ciri khas bentuk rumah masyarakat timur.
Namun rumah suku manggarai menjadi lebih unik dengan
bentuknya yang terus mengecil hingga puncaknya
sehingga menimbulkan bentuk mengerucut.
Pengaruh Sosial Budaya Setempat Terhadap
Mbaru Niang
Mbaru Niang berasal dari bahasa setempat yang berarti rumah tinggi (Mbaru = Rumah |
Niang = Tinggi). Mbaru Niang merupakan rumah panggung tradisional yang tersisa tujuh di
desa Wae Rebo, NTT.

Mbaru niang sudah punah sebelum memasuki awal tahun 70-an saat pemerintah
mengkampanyekan perpindahan masyarakat pegunungan ke dataran rendah. Seorang
antropolog, Catherine Allerton mengenang pembicaraannya dengan tu’a golo, pemimpin
politik dan kepala kampung, juga tu’a gendang, kepala upacara adat. Warga Wae Rebo saat itu
tak memutuskan meninggalkan dusunnya. Sudah generasi ke-18 hingga kini Wae Rebo
bertahan dari seorang penghuni pertama dan pendiri Wae Rebo lebih dari 100 tahun lalu,
Empo Maro.

Di Wae Rebo, tidak seperti di dusun tradisional lain yang terkadang memiliki berbagai klan.
Di sini hanya terdapat satu klan atau marga saja. Klan tersebut memiliki gendang pusaka di
rumah gendang di tiang utamanya. Mereka memiliki pantangan untuk tidak makan satu
binatang, yaitu musang. Dari penuturan tetua, leluhur mereka datang ke Wae Rebo dengan
bertemankan seekor musang sehingga dipercayai bahwa musang adalah bagian dari leluhur
mereka.
Berkembangnya penduduk Wae Rebo membuat keberadaan sebuah desa baru dirasakan harus
dibina. Sebagian masyarakat Wae Rebo dibagi tempatnya dengan desa baru yang disebut Kombo.
Tak banyak wisatawan mengetahuinya, walau Kombo dan Wae Rebo adalah masyarakat yang
sama. Akan tetapi, karena lingkungannya dipertahankan sesuai aslinya, Wae Rebo seolah permata
di atas lumpur. Kombo dipandang berbeda karena tidak berasal dari leluhur yang merintis
keberadaan kampung itu.

Warga paruh baya dan anak-anak sekolah tinggal di Kombo, sedangkan orang tua dari para
pria muda serta belasan tahun yang menginjak dewasa tinggal di Wae Rebo. Mereka semua
memiliki kepercayaan yang sama. Katolik adalah agama yang dipeluk masyarakatnya, walau
kepercayaan animisme masih kental terasa dalam kehidupan mereka.

Mereka yakin bahwa tanah atau hutan memiliki emosi dan perasaan. Sebelum bercocok tanam dan
mencangkulnya, sebuah ritual harus dilakukan untuk meminta izin pada penunggunya. Bila tak
berizin maka tanah akan menjerit dan merintih. Bercocok tanam pun harus rutin agar tanah
tidak ‘menangis’ sedih. Warga Wae Rebo memandang tanah sebagai bagian dari mereka dan
seperti manusia yang harus dihormati.
Di tengah dusun terdapat panggung batu yang dikisahkan telah dibina atas bantuan penunggu
hutan yang berupa manusia gagah menawan yang mampu mengangkat batu besar dengan satu
tangan. Masing-masing tangan dan kaki penunggu hutan ini memiliki jari berjumlah enam.
Rambutnya dikisahkan sangat panjang dan parasnya cantik rupawan. Setelah panggung ini selesai,
tarian caci digelar dan juga tabuhan gendang dilaksanakan(mbata).

Rumah Mbaru Niang memanfaatkan karya arsitektur sebagai alat pemersatu antar keluarga dari
setiap klan suku Wae Rebo. Rumah Mbaru Niang terdiri dari lima tingkat dan ditinggali oleh
sekitar delapan keluarga. Rumah Mbaru Niang yang terdapat di Wae Rebo. Hanya ada tujuh
Mbaru Niang dan rumah itu tersusun seperti planet yang megorbit pada matahari.

Warga Waerebo memang memiliki filosofi yang sangat unik. Pada awalnya tetua atau raja
Waerebo memiliki delapan anak. Ini mengapa ada delapan klan di Desa Waerebo. Yang menarik,
rumah Niang tidak dibangun sebanyak delapan untuk ditinggali masing-masing klan. Sebaliknya,
tiap satu Rumah Niang, yang memiliki delapan kamar, wajib dihuni oleh masing-masing
keturunan dari kedelapan klan tersebut. Mereka benar-benar memakai arsitektur sebagai alat
pemersatu.
Material, fungsi rumah
Mbaru niang berbentuk kerucut dengan tinggi sekitar 15 meter. Atapnya dari ijuk atau ilalang
dengan kerangka atap dari bambu. Dan tiang-tiang utama menggunakan kayu worok yang besar
yang diambil sayu pohon utuh. Sebelum di pakai, kayu tersebut telah dipersiapkan secara
tradisional agar menjadi kayu yang baik dan kuat dan dipilih kayu yang cukup umur. selain kayu,
masyarakat juga mengumpulkan bermeter-meter rotan untuk mengikat ijuk dan alang-alang untuk
atap dan bambu. seluruh bahan ini dipersiapkan dan dikumpulkan sedikit-sedikit sesuai yang
disediakan alam yang dapat diambil secara bijaksana oleh masyarakat.

Meski tidak terlalu besar, pembagian ruangan di dalam mbaru niang menunjukkan fungsi rumah
sebagai tempat tinggal, untuk menyimpan hasil panen, juga untuk memuja nenek moyang.
Desain rumah panggung selain melindungi penghuni dari binatang buas dan tanah yang basah,
kolong rumah kerap digunakan untuk menenun. Biasanya, wanita Waerebo menenun saat tidak
bekerja di kebun. Makanya, untuk menyelesaikan satu buah sarung, bisa memakan waktu sebulan,
atau lebih.
Ulasan
Leluhur Wae Rebo mewariskan tujuh buah rumah adat Mbaru niang, tiga rumah diantaranya
sudah punah dimakan usia dan tinggal empat rumah yang masih berdiri kokoh. Keterbatasan
ekonomi menjadi kendala warga setempat untuk memperbaiki dan merawat rumah adat Wae
Rebo.
Pada tahun 2009 dan 2010 kampung Waerebo mendapatkan bantuan penanganan bangunan
tradisional di bawah program rumah asuh yang disponsori Danone. Dari hasil musyawarah
adat, maka dilakukan pengadaan 3 (tiga) buah bangunan baru dan merenovasi 2 (dua) buah
bangunan yang rusak.

Pihak yang melakukan , mensponsori, Merekomendasi : Disponsori oleh Danone dalam


program rumah asuh, atas inisiasi Bapak Yori Antar

Partisipasi masyarakat :
1. Mengawasi
2. Memberikan informasi teknologi struktur dan konstruksi
3. Ikut dalam pelaksanaan teknologi struktur dan konstruksi
4. Mobilisasi bahan bangunan
5. Melaksanakan upacara adat dalam proses membangun
6. Menanam 150 bibit pohon pohon dari 51 pohon yang ditebang
Fungsi Ruang
Mbaru niang terdiri atas lima tingkat, yang masing-masing mempunyai fungsi sendiri.
Tingkat pertama adalah lutur (tenda), yang akan ditempati masyarakat.
Tingkat kedua adalah lobo (loteng), yang berfungsi untuk menyimpan bahan makanan dan
barang-barang lainnya.
Tingkat ketiga adalah lentar, untuk menyimpan benih-benih seperti jagung, padi dan kacang-
kacangan.
Tingkat keempat adalah lempa rae, sebagai tempat stock makanan cadangan.
Tingkat kelima adalah hekang kode digunakan untuk menyimpan langkar (anyaman dari
bambu berbentuk persegi guna menyimpan sesajian buat leluhur).

Genius loci pada rumah adat Wae Rebo terdapat di tingkat kelima, Hekang Kode selain
sebagai tempat menyimpan persembahan juga digunakan untuk upacara-upacara adat. Salah
satunya adalah upacara ancam bobong. Hengkang kode sebagai tempat sakral di rumah suku
wae rebo.
Upacara Ancam Bobong merupakan upacara yang dilakukan pada tahap pembangunan
rumah, dilakukan sebelum bagian terakhir dari bangunan yang disebut boong terpasang.
Upacara ini
dilakukan untuk memohon kepada Tuhan dan para leluhur agar senantiasa memberikan
perlindungan kepada semua anggota keluarga yang akan menempati rumah dari segala macam
hal
buruk yang mengganggu ketentraman.
Metoda Pelaksanaan

 video
Sistem Sambungan Kayu
Konstruksi
Jenis teknologi struktur dan konstruksi : Rangka batang, konstruksi kolom dan balok
Karakter Sambungan : Sambungan ikat dengan banyak modifikasi ikatan
Bahan bangunan yang digunakan : • Kolom : kayu lokal
• Balok : kayu kenti (bersifat lentur, tidak getas)
• Penutup atap : gabungan alang alang dan ijuk
Upper struktur dan lower struktur : Upper struktur : struktur rangka
• Lower struktur : tanpa pondasi (kolom tertanam + 80 cm di dalam tanah)
Konstruksi
Hubungan Fungsi Ruang
,
Ukuran Material

Anda mungkin juga menyukai