Indonesia merupakan salah satu negara yang mampu bertahan dari pusaran
globalisasi dan modernisasi yang begitu derasnya menghantam eksistensi budaya
yang menjadi identitas otentik dari suatu negara. Hal itu disebabkan juga oleh
banyaknya jumlah entitas budaya yang berbeda antara satu budaya dengan budaya
yang lainnya. Banyaknya entitas budaya menjadi hal yang menguntungkan bagi
Indonesia, sebab budaya inilah yang menjadi penyaring referensi perubahan yang
dibawa oleh arus perubahan tersebut.
Indonesia memiliki lebih dari 300 kelompok etnik atau suku bangsa, lebih
tepatnya terdapat 1.340 suku bangsa di Tanah Air menurut sensus BPS tahun 2010.
Suku Jawa adalah kelompok terbesar di Indonesia dengan jumlah yang mencapai
41% dari total populasi. Sedangkan suku sunda menempati posisi kedua dengan
jumlah penduduk mencapai 15,5% dari total populasi yang ada. Pembagian
kelompok suku di Indonesia tidak mutlak dan tidak jelas, hal ini akibat dari
perpindahan penduduk, pencampuran budaya, dan saling mempengaruhi.1
Suku Sunda dikenal dengan Tatar Pasundan meliputi wilayah bagian barat
pulau Jawa dimana sebagian besar wilayahnya masuk provinsi Jawa Barat dan
Banten. Berasal dari akar kata sund atau suddha dalam bahasa Sanskerta yang
berarti bersinar, terang dan putih. Suku sunda yang menempati posisi kedua sebagai
1
Indonesia, suku bangsa, https://www.indonesia.go.id/profil/suku-bangsa, 09 oktober 2019,
16:30.
suku yang paling banyak jumlah masyrakatnya menjadikannya tidak heram apabila
mudah dijumpai. Jumlah populasinya menginjak 36 juta jiwa pada tahun 2010,
dapat diartikan bahwa suku ini cukup mendominasi wilayah yang ada di Indonesia.
Suku sunda memiliki begitu banyak budaya, dimulai dari tari tradisional
hingga hal terkecil yang menyangkut dengan tingkah laku, norma, dan sopan santun.
Dari sekian banyaknya budaya yang dimiliki suku sunda ada beberapa yang cukup
terkenal dikalangan masyarakat Indonesia, bahkan dikenal di manca negara.
Beberapa diantaranya adalah budaya tari tradisional, budaya yang berupa aturan
atau norma-norma yang dikenal juga dengan kata “pamali” yang berarti larangan,
budaya yang berupa kebahasaan yaitu Aksara Sunda, dan kemudian yang paling
mendunia adalah manifestasi dari pewayangan “si cepot” yang sudah dikenal oleh
dunia sebagai salah satu hasil bentuk cipta budaya sunda.
Dari sekian banyaknya budaya yang ada didalam suku sunda, penulis
memiliki ketertarikan terhadap budaya yang bersifat filosofis, yaitu bentuk atap
rumah yang dikenal dengan ”Julang ngapak”. Secara Bahasa “julang ngapak” dapat
diartikan sebagai terbang tinggi dan mengepak, sementara secara istilah dapat
diartikan sebagai burung yang terbang tinggi dan mengepakan sayapnya.
Penamanaan “julang ngapak” ini didasarkan pada bentuk atap yang memang
didesain tampak melebar di bagian kiri dan kanannya. Apabila dilihat dari depan
maka akan berbentuk seperti seekor burung yang sedang mengepakkan sayapnya.
Atap rumah ini biasanya terbuat dari injuk, rumbia, atau alang-alang yang diikat
pada kerangka atap yang terbuat dari bambu.
Desain “julang ngapak” ini juga biasanya dilengkapi dengan cagak gunting
atau capit pada bagian ujung atap; bumbung, hal itu dimaksudkan untuk mencegak
air agar tidak merembes dibagian pertemuan antar atapnya yang teletak di ujung
atas rumah.
Istilah julang ngapak sudah dikenal oleh masyarakat Sunda sejak beberapa
waktu lampau. Bentuk atap julang ngapak adalah bentuk atap yang melebar dikedua
bidang sisi bidang atapnya. Jika dilihat tampak depan, bentuk atap rumah
menyerupai sayap burung julang (nama sejenls burung) yang sedang merentang
sayapnya. Bentuk atap julang ngapak, memiliki empat buah bidang atap. Dua
bidang pertama merupakan bidang-bidang yang menurun dari arah garis suhunan,
dua bidang lainnya merupakan kelanjutan (atap tambahan) dari bidang-bldang itu
dengan membentuk sudut tumpul pada garis pertemuan antara kedua bidang atap
itu. Bidang atap tambahan dari masing-masing sisi bidang atap itu nampak lebih
landai dari bidang-bidang atap utama. Kedua bidang atap yang landai ini disebut
leang-Ieang.2
Atap rumah “julang ngapak” dahulu kala digunakan sebagai tempat “adat”
atau upacara tertentu saja. Akan tetapi dalam perkembangannya, desain atap rumah
ini digunakan tidak hanya di rumah adat saja, tetapi juga digunakan di atap rumah
pada umumnya. Walaupun sudah tidak terlekat dengan istilah “adat”, jenis atap
rumah ini tetap memiliki filosofinya sendiri seperti sebagaimana asal mula tujuan
filosofis pembuatannya. Tidak hanya digunakan di rumah biasa saja, akan tetapi
atap rumah “julang ngapak” ini juga digunakan di beberapa Gedung miliki institute
teknologi bandung atau yang lebih dikenal dengan ITB, diadopsi juga oleh salah
satu bandara yang ada di bandung, yaitu bandara Lanud Hussein Sastra Negara.3
2
Anggle Nur, TlPOLOGI BANGUNAN RUMAH TINGGAL ADAT SUNDA DI KAMPUNG NAGA JAWA
BARAT, http://journal.unika.ac.id/index.php/tesa/article/viewFile/9/pdf, 09/10/2019.
3
Zhafran Ghani, Rumah Adat Jawa, https://ekspektasia.com/rumah-adat-jawa-barat/, 09 oktober
2019, 19:18.
usaha yang sungguh-sungguh untuk mencapainya, sama seperti filosofis “ngapak”
yang berarti mengepakan sayap. Jika kita ingin mendapat kedudukan tinggi seperti
halnya burung yang ada di langit, maka kita harus berusaha sekuat tenaga untuk
mencapainya dengan “mengepakan sayap” yang manusia miliki.
Nur Anggle, tlpologi bangunan rumah tinggal adat sunda di kampung naga jawa
barat, http://journal.unika.ac.id/index.php/tesa/article/viewfile/9/pdf,
09/10/2019.
Indonesia, suku bangsa, https://www.indonesia.go.id/profil/suku-bangsa, 09
oktober 2019, 16:30.
Ghani Zafran, rumah adat jawa, https://ekspektasia.com/rumah-adat-jawa-barat/,
09 oktober 2019, 19:18.