Anda di halaman 1dari 33

TATA NILAI/FILOSOFI ELEMEN RUMAH ADAT

DENPASAR , BALI

Rumah Bali memiliki kesesuaian dengan aturan Asta Kosala Kosali (bagian weda yang
mengatur tata letak ruangan dan bangunan , layaknya Feng Shui dalam budaya China). Menurut
filosofi masyarakat Bali, kedinamisan dalam hidup akan tercapai apabila terwujudnya hubungan
yang harmonis antara aspek pawongan, palemahan, dan parahyangan. Untuk itu, pembangunan
sebuah rumah harus meliputi aspek-aspek tersebut atau yang biasa disebut „‟Tri Hita Karana‟‟.
Pawongan merupakan para penghuni rumah. Palemahan berarti harus ada hubungan yang baik
antara penghuni rumah dan lingkungannya.

Pada umumnya,bangunan atau arsitektur tradisional daerah Bali selalu dipenuhi hiasan,
berupa ukiran, peralatan serta pemberian warna. Ragam hias tersebut mengandung arti tertentu
sebagai ungkapan keindahan simbolsimbol dan penyampaian komunikasi. Bentuk-bentuk ragam
hias dari jenis fauna juga berfungsi sebagai simbol-simbol ritual yang ditampilkan dalam patung.

Asta Kosala Kosali merupakan Fengshui-nya Bali, adalah sebuah tata cara, tata letak, dan
tata bangunan untuk bangunan tempat tinggal serta bangunan tempat suci yang ada di Bali yang
sesuai dengan landasan Filosofis, Etis, dan Ritual dengan memperhatikan konsepsi perwujudan,
pemilihan lahan, hari baik (dewasa) membangun rumah, serta pelaksanaan yadnya

Menurut Ida Pandita Dukuh Samyaga, perkembangan


arsitektur bangunan Bali, tak lepas dari peran beberapa tokoh sejarah
Bali Aga berikut zaman Majapahit. Tokoh Kebo Iwa dan Mpu
Kuturan yang hidup pada abad ke 11, atau zaman pemerintahan Raja
Anak Wungsu di Bali banyak mewarisi landasan pembanguna
arsitektur Bali.
Danghyang Nirartha yang hidup pada zaman Raja Dalem
Waturenggong setelah ekspidisi Gajah Mada ke Bali abad 14, juga
ikut mewarnai khasanah arsitektur tersebut ditulis dalam lontar Asta
Bhumi dan Asta kosala-kosali yang menganggap Bhagawan Wiswakarma sebagai dewa para
arsitektur.
Penjelasan dikatakan oleh Ida Pandita Dukuh Samyaga. Lebih jauh
dikemukakan, Bhagawan Wiswakarma sebagai Dewa Arsitektur, sebetulnya merupakan tokoh
dalam cerita Mahabharata yang dimintai bantuan oleh Krisna untuk membangun kerjaan barunya.
Dalam kisah tersebut, hanya Wismakarma yang bersatu sebagai dewa kahyangan yang bisa
menyulap laut menjadi sebuah kerajaan untuk Krisna. Kemudian secara turun-temurun oleh umat
Hindu diangap sebagai dewa arsitektur. Karenanya, tiap bangunan di bali selalu disertai dengan
upacara pemujaan terhadap Bhagawan Wiswakarma. Upacara demikian dilakukan mulai dari
pemilihan lokasi, membuat dasar bagunan sampai bangunan selesai. Hal ini bertujuan minta restu
kepada Bhagawan Wiswakarma agar bangunan itu hidup dan memancarkan vibrasi positif bagi
penghuninya. Menurut kepercayaan masyarakat Hindu Bali, bangunan memiliki jiwa bhuana agung
(alam makrokosmos) sedangkan manusia yang menepati bangunan adalah bagian dari buana alit
22
(mikrokosmos).Antara manusia (mikrokosmos) dan bangunan yang ditempati harus harmonis, agar
bisa mendapatkan keseimbangan anatara kedua alam tersebut.Karena itu,mebuat bagunan harus
sesuai dengan tatacara yang ditulis dalam sastra Asta Bhumi dan Atas Kosala-kosali sebagai fengsui
Hindu Bali.
Asta Kosala Kosali merupakan sebuah cara penataan lahan untuk tempat tinggal dan
bangunan suci. penataan Bangunan yang dimana di dasarkan oleh anatomi tubuh yang punya.
Pengukurannya pun lebih menggunakan ukuran dari Tubuh yang empunya rumah. Mereka tidak
menggunakan meter tetapi menggunakan seperti:
 Musti (ukuran atau dimensi untuk ukuran tangan mengepal dengan ibu jari yang
menghadap ke atas),
 Hasta (ukuran sejengkal jarak tangan manusia dewata dari pergelangan tengah
tangan sampai ujung jari tengah yang terbuka)
 Depa (ukuran yang dipakai antara dua bentang tangan yang dilentangkan dari kiri ke
kanan)

Jadi nanti besar rumahnya akan ideal sekali dengan yang empunya rumah. Di atas telah
dijelaskan mengenai Buana Agung (makrokosmos) dan Buana Alit (Mikrokosmos). Nah, kosmologi
Bali itu bisa digambarkan secara hirarki atau berurutan seperti :

1. Bhur alam semesta, tempat bersemayamnya para dewa.


2. Bwah, alam manusia dan kehidupan keseharian yang penuh dengan godaan duniawi, yang
berhubungan dengan materialisme
3. Swah, alam nista yang menjadi simbolis keberadaan setan dan nafsu yang selalu menggoda
manusia untuk berbuat menyimpang dari dharma.

Selain itu juga Konsep ini berpegang juga kepada mata angin, 9 mata angin(Nawa Sanga).
Setiap bangunan itu memiliki tempat sendiri. seperti misalnya:
 Dapur, karena berhubungan dengan Api maka Dapur ditempatkan di Selatan,

23
 Tempat Sembahyang karena berhubungan dengan menyembah akan di tempatkan di
Timur tempat matahari Terbit.
 Karena Sumur menjadi sumber Air maka ditempatkan di Utara dimana Gunung berada
begitu seterusnya.
Selain itu sosial status juga menjadi pedoman. jadi rumah di bali itu ada yang disebut Puri
juga atau Jeroan, biasanya dibangun oleh warna / wangsa Kesatria. tapi karena sekarang banyak
yang sudah kaya diBali, jadi siapapun boleh membuat yang seperti ini. Namun mungkin nanti
bedanya di Tempat Persembahyangan di Dalamnya saja.
Warna itu merupakan sistem hirarki, di Bali Hirarkial itu juga berpengaruh terhadap tata
ruang bangunan rumahnya. Dalam pembuatan rumahnya rumah akan dibagi menjadi:

 aba untuk bagian paling luar bangunan


 jaba jero untuk mendifinisikan bagian ruang antara luar dan dalam, atau ruang tengah

jero untuk mendiskripsikan ruang bagian paling dalam dari sebuah


pola ruang yang dianggap sebagai ruang paling suci atau paling
privacy bagi rumah tinggal
Di konsep ini juga disebutkan tentang teknik konstruksi dan
materialnya. ada namanya Tri Angga, yang terdiri dari:

 Nista menggambarkan hirarki paling bawah dari sebuah bangunan, diwujudkan dengan
pondasi rumah atau bawah rumah sebagai penyangga rumah. bahannya pun biasanya
terbuat dari Batu bata atau Batu gunung.
 Madya adalah bagian tengah bangunan yang diwujudkan dalam bangunan dinding,
jendela dan pintu. Madya mengambarkan strata manusia atau alam manusia
 Utama adalah symbol dari bangunan bagian atas yang diwujudkan dalam bentuk atap
yang diyakini juga sebagai tempat paling suci dalam rumah sehingga juga digambarkan
tempat tinggal dewa atau leluhur mereka yang sudah meninggal. Pada bagian atap ini
bahan yang digunakan pada arsitektur tradisional adalah atap ijuk dan alang-alang.

24
25
Elemen rumah tradisional Bali :

1. Pamerajan adalah tempat upacara yang dipakai untuk keluarga. Dan pada perkampungan
tradisional biasanya setiap keluarga mempunyai pamerajan yang letaknya di Timur Laut
pada sembilan petak pola ruang
2. Umah Meten yaitu ruang yang biasanya dipakai tidur kapala keluarga sehingga posisinya
harus cukup terhormat
3. Bale Sakepat, bale ini biasanya digunakan untuk tempat tidur anakanak atau anggota
keluarga lain yang masih junior.
4. Bale tiang sanga biasanya digunakan sebagai ruang untuk menerima tamu
5. Bale Dangin biasanya dipakai untuk duduk-duduk membuat bendabenda seni atau merajut
pakaian bagi anak dan suaminya.
6. Lumbung sebagai tempat untuk menyimpan hasil panen, berupa padi dan hasil kebun
lainnya.
7. Paon (Dapur) yaitu tempat memasak bagi keluarga.
8. Aling-aling adalah bagian entrance yang berfungsi sebagai pengalih jalan masuk sehingga
jalan masuk tidak lurus kedalam tetapi menyamping. Hal ini dimaksudkan agar pandangan
dari luar tidak langsung lurus ke dalam.
9. Angkul-angkul yaitu entrance yang berfungsi seperti candi bentar pada pura yaitu sebagai
gapura jalan masuk.

Filosofi / Tata nilai tiap Elemen rumah tradisional Bali :

ANGKUL – ANGKUL

Angkul – angkul adalah gerbang/pintu masuk dengan atap sebagai penghubung kedua
sisinya. Angkul-angkul memiliki atap piramida yang terbuat dari rumput kering, Angkul – angkul
biasanya lebih tinggi dari dinding yang mengelilingi rumah

ALING – ALING

Aling – aling adalah semacam tembok dari batu setinggi kurang lebih 150 cm, yang
berfungsi sebagai untuk memasuki rumah harus menyamping ke arah kiri dan saat keluar nanti
melalui sisi kanan dari arah masuk. Ini mempunyai tujuan agar pandangan dari luar tidak langsung
bisa melihat apa ynag ada di dalam

26
Figure 1 Angkul-Angkul dan Aling – Aling

METEN/BALE DAJA

Bale meten terletak di bagian Utara (dajan natah umah) atau di sebelah barat tempat
suci/sanggah. Bale Meten juga sering disebut dengan bale daja, karena tempatnya di zona utara
(Kaja). Fasilitas desain interiornya adalah 2 buah bale yang terletak di kiri dan kanan ruang. Bentuk
bangunan Bale Meten adalah persegi panjang, dapat menggunakan saka/Tiang yang terbuat dari
kayu yang berjumlah 8 (sakutus) dan 12 (saka roas). Fungsi bale meten adalah untuk tempat tidur
oraang tua atau kepala keluarga di bale sebelah kiri, sedangkan di bale sebelah kanan difunsikan
untuk ruang suci, tempat sembahyang dan tempat menyimpan atal – alat upacara

Figure 2 Bale Daja

27
Sebagaimana dengan bangunan bali lainnya , bangunan Bale Meten adalah rumah tinggal
yang memakai bebaturan dengan lantai yang cukup tinggi dari tanah halaman (+75 – 100)
Bangunan ini adalah bangunan yang memiliki tempat tinggi pada seluruh bale dalam suatu
pekarangan disamping untuk menghindari terjadinya resapan air tanah

BALE SAKEPAT

Bale sakepat adalah bangunan dengan jumlah tiang empat dan dipergunakan untuk kamar
tidur anak. selain itu juga digunakan untuk bersantai. Bangunan tersebut bisa dibilang
cukup simple karena hanya berbentuk segi empat dan atap yang berbentuk pelana atau limasan.

Figure 3Bale Sakepat

BALE SAKENEM / DEMI ENEM

Jumlah tiangnya enam, Fungsinya sama dengan Bale Sakepat

BALE DANGIN

Bale Dangin terletak di bagian Timur atau dangin natah umah, sering pula disebut dengan
Bale gede apabila bertiang 12. Fungsu Bale dangin ini adalah untuk tempat upacara dan bisa
difungsikan sebagai tempat tidur. Fasilitas pada bangunan Bale dangin ini menggunakan 1 bale –
bale dan kalau bale menggunakan 2 buah bale – bale yang terletak di bagian kiri dan kanan . Bentuk
bangunan bale dangin adalah segi empat ataupun persegi panjang dan dapat menggunakan
saka/tiang yang terbuat dari kayu yang dapat berjumlah 6 (sakenem) 8 (sakutu/astasari), 9
(sangasari) dan 12 (saka roras/ bale gede) . bangunan bale dangin adalah rumah tinggal yang
memakai bebaturan dengan lantai yang cukup tinggi dari tanah halaman namun lebih rendah dari
bale meten

28
Figure 4Bale Gede

PAMERAJAAN

Pamerajaan adalah kuil yang didedikasikan untuk berdoa kepada Tuhan dan leluhur
keluarga. Terletak di daerah utama (sisi timur laut) dari rumah , seperti yang dibahas konsep Tri
Mandala

Figure 5Pamerajaan / Pura Keluarga

29
BALE DAUH

Baledauh ini terletak di bagian barat (Dauh natah umah) dan seringpula disebut dengan bale
Loji , serta Tiang Sangga . Fungsi Bale dauh adalah untuk tempat menerima tamu dan juga di
gunakan sebagai tempat tidur anak remaja laki atau anak muda. Fasilitas pada bangunan Bale dauh
adalah 1 buah bale – bale yang di bagian dalam. Bentuk bangunan bale dauh adalah persegi panjang
dan menggunakan saka atau tiang yang terbuat dari kayu. Bila tiang berjumlah 6 disebut
SAKENEM , bila berjumlha 8 disebut Sakutus/astasari, dan bila tiangnya berjumlah 9 disebut
sangasari. Baangunan bale dauh adalah rumah tinggal yang memakai bebaturan dengan lantai yang
lebih rendah dari bale dangin

Figure 6Bale Dauh

PAON

Dapur (Paon) terletak di sisi selatan rumah milik daerah Nista , karena merupakan tempat dimana
keluarga menyimpan peralatan untuk menyembeli hewan dan menebang pohon , termasuk pisau , kapak dll.
Paon terdiri dari 2 nagian, bagian pertama disebut , jalikan yaitu area terbuka yang digunakan untuk
memasak dengan oven kayu api . Bagian kedua adalah sebuah ruangan dimana makanan danperalatan
memasak lainnya dissimpan

Figure 7 Paon

30
JINENG / LUMBUNG

Jineng/ Lumbung adalah gudang beras. Gudang ini terletak di belakang demi enem ,
didekatkan paon . Jineng / Lumbung diposisikan lebih tinggi dari bangunan

Figure 8 Jineng/Lumbung

31
Pondasi

Pondasi pada rumah tradisional Bali menggunakan pondasi setempat/menerus (batu


kali) , bahan materialnya terdiri dari batu bata atau batu gunung, yang disusun rapi sesuai
dengan dimensi ruang yang akan dibuat, lalu diberi finishing berupa plesteran akhir.
Lantai

Lantai rumah tradisional bali menggunakan keramik dan ada juga yang tidak
menggunakan keramik, melainkan langsung menyentuh tanah.
Dinding

Pada zaman dahulu bangunan rumah golongan masyarakat biasa menggunakan


popolan (speci yang terbuat dari lumpur tanah liat) untuk dinding bangunannya.
Kekuatan bahan ini cukup baik dan mampu bertahan hingga puluhan tahun. Golongan raja
dan brahmana menggunakan tumpukan bata. Untuk tempat suci/tempat pemujaan milik
satu keluarga maupun milik suatu kumpulan kekerabatan, digunakan bahan sesuai
kemampuan ekonomi masing-masing keluarga. Dan ada j uga aturan tentang dinding yang
lain, yaitu menggunakan kayu yang jenisnya dibedakan sesuai dengan peruntukan
bangunan tersebut (bangunan ibadah, rumah, dan dapur).
Pintu Dan Jendela

Pintu dan jendela pada rumah bali menggunakan bahan kayu yang jenisnya dibedakan
sesuai dengan peruntukan bangunan tersebut (sama dengan dinding).
Tiang Penyangga

Tiang penyangga di dalam rumah tradisional bali memiliki formasi yang berbeda sesuai
dengan bale - bale yang ada. Contohnya:
• Bale Sakepat adalah bangunan dengan tiang penyangga berjumlah empat buah,
dengan konstruksi tiang kolom yang disatukan dalam satu puncak atap. Jadi tidak
terdapat kuda- kuda.
• Bale Sakenam adalah bangunan dengan tiang penyangga berjumlah enam buah
dalam deretan 2 x 3 kolom.
• Bale Tiang Sanga adalah sebuah bale dengan tiang penyangga berjumlah sembilan
dan biasanya dalam formasi 3 x 3.
• Bale Sakarolas atau bale gede adalah bale dengan tiang penyangga berjumlah dua
belas dan biasanya dengan formasi 3 x 4.
• Sedangkan Wantilan yang jumlah kolomnya berjajar dalam formasi 2 x 8 atau 2
x 12 sehingga bangunan memanjang mengikuti deretan kolomnya.

32
Ornamen

Umumnya bangunan arsitektur tradisional daerah Bali identik dengan hiasan, berupa
ukiran, peralatan serta pemberian warna dengan warna keemasan/prada atau warna yang
beragam karena dipengaruhi oleh kebudayaan Cina. Biasanya mulai dari dinding,tiang,
plafon dipenuhi ukiran berbagai corak dan cerita, sesuai fungsi bangunan tersebut.
Terkadang ragam hias ini mengandung arti tertentu sebagai ungkapan keindahan simbol-
simbol dan penyampaian komunikasi.
4 FLORA

Bentuknya yang mendekati keadaan sebenarnya ditampilkan sebagai latar belakang hiasan-
hiasan bidang dalam bentuk hiasan atau pahatan relief. Ceritera-ceritera pewayangan,legenda
dan kepercayaan, yang dituangkan ke dalam lukisan atau pahatan relief umumnya dilengkapi
dengan latar belakang berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang menunjang penampilannya.
Berbagai macam flora yang ditampilkan sebagai hiasan dalam bentuk simbolis atau
pendekatan bentuk-bentuk tumbuh-tumbuhan dipolakan dalam bentuk-bentuk pepatraan
dengan macam- macam ungkapan masing-masing.
Ragam hias yang dikenakan pada bagian-bagian bangunan atau peralatan dan
perlengkapan bangunan dari jenis-jenis flora dinamakan sesuai jenis dan keadaannya.
1. Keketusan
Mengambil sebagian terpenting dari suatu tumbuh-tumbuhan yang dipolakan
berulang dengan pengolahan untuk memperindah penonjolannya. Keketusan
wangga melukiskan bunga-bunga besar yang mekar dari jenis berdaun lebar
dengan lengkung-lengkung keindahan. Keketusan wangga umumnya ditatahkan
pada bidang-bidang luas atau peperadaan lukisan cat perada warna emas pada
lembar- lembar kain hiasan. Keketusan bunga tuwung, hiasan berpola bunga
terung dipolakan dalam bentuk liku-liku segi banyak berulang atau bertumpuk
menyerupai bentuk bunga terung. Keketusan bun-bunan, hiasan berpola tumbuh-
tumbuhan jalar atau jalar bersulur, memperlihatkan jajar-jajar jala ran dan sulur-
sulur di sela-sela bunga-bunga dan dedaunan.

33
2. Kekerangan
Menampilkan suatu bentuk hiasan dengan suatu karangan atau rancangan
yang berusaha mendekati bentuk-bentuk flora yang ada dengan penekanan pada
bagian- bagian keindahan.
Karang simbar, suatu hiasan rancangan yang mendekati atau serupa dengan
tumbuh-tumbuhan lekar dengan daun terurai ke bawah yang namanya simbar
manjangan. Karang simbar dipakai untuk hiasan-hiasan sudut bebaturan di bagian atas
pada pasangan batu atau tatahan kertas pada bangunan pada bangunan bade wadah,
bukur atau hiasan-hiasan sementara lainnya

pura bukit dharma


Karang bunga, suatu hiasan rancangan yang berbentuk bunga dengan kelopak dan
seberkas daun yang juga digunakan untuk hiasan sudut-sudut bebaturan atau hiasan
penjolan bidang-bidang.

pura kediri

34
Karang suring, suatu hiasan yang menyerupai serumpun perdu dalam bentuk
kubus yang difungsikan untuk sendi alas tiang tugeh yang dalam bentuk lain dipakai
bersayap garuda. Karangan suring yang diukir dalam-dalam
,memungkinkankan karena tiang tugeh bebas beban.Bentuk-bentuk karangan yang lain
mengambil bentuk-bentuk binatang atau jenis fauna yang dikarang keindahannya.
3. Pepatraan

Mewujudkan gubahan-
gubahan keindahan
hiasan dalam patern-
patern yang disebut
Patra atau Pepatraan.
Pepatraan yang juga
banyak didasarkan pada
bentuk-bentuk
keindahan flora
menamai pepatraan
dengan jenis flora
yang
diwujudkan Pepatraan yang memakai nama yang memungkinkan kemungkinan
negara asalnya ada pula yang merupakan perwujudan jenis-jenis flora tertentu.
Ragam hias yang tergolong pepatraan merupakan pola yang berulang yang
dapat pula diwujudkan dalam pola berkembang. Masing-masing Patra memiliki
identitas yang kuat untuk penampilannya sehingga mudah diketahui. Dalam
penterapannya dapat bervariasi sesuai kreasi masing-masing seniman Sangging
yang merancang tanpa meninggalkan pakem-pakem identitasnya.

Potra Wangga

Kembang mekar atau kuncup dengan daun-daun lebar divariasi lengkung-


lengkung keserasian yang harmonis. Batang-batang bersulur di selas-sela
bawah bunga dan daun-daun. Patra Wangga juga tergolong kekerasan yang
merupakan sebagian dari suatu flora dengan penampilan bagian-bagian
keindahannya.

35
Potra Sari

Bentuknya menyerupai flora dari jenis berbatang jalar melingkar-linggar balik


berulang. Penonjolan sari bunga merupakan identitas pengenal sesuai namanya, Patra
Sari. Daun-daun dan bunga-bunga dilukiskan dalam patern-patern yang diperindah.
Patra sari dapat digunakan pada bidang-bidang lebar atas, daun umumnya untuk
bidang-bidang sempit tidak banyak dapat divariasi karena lingkar-lingkar batang jalar,
daun-daun sari kelopak dan daun bunga merupakan pola-pola tetap sebagai identitas.

pura bukit dharma

36
Potra Bun-Bunan

Dapat bervariasi dalam berbagi jenis flora yang tergolong bun-bunan (tumbuh-
tumbuhan berbatang jalar). Dipolakan berulang antara daun dan bunga di rangkai
batang jalar. Dapat pula divariasi dengan julur-julur dari batang jalar.

Potra Pidpid

Juga melukiskan flora dari jenis daun bertulang tengah dengan daun-daun
simetris yang dapat bervariasi sesuai dengan jenis daun yang dilukiskan
penempatannya pada bidang-bidang sempit.

1.Potra Punggel

Mengambil bentuk dasar liking paku, sejenis flora dengan lengkung-


lengkung daun muda pohon paku. Bagian-bagiannya ada yang disebut batu
pohon kupil guling, util sebagai identitas Patra Punggel. Pola patern patra
punggel merupakan pengulangan dengan lengkung timbal balik atau searah
pada gegodeg hiasan sudut-sudut atap berguna. Dapat pula dengan pola
mengembang untuk bidang-bidang lebar atau bervariasi/ combinasi dengan
patra lainnya.

patra punggel
Patra Punggel merupakan patra yang paling
banyak digunakan. Selain bentuknya yang murni
sebagai Patra Punggeh utuh. Patra Punggel
umumnya melengkapi segala bentuk kekarangan
(patra- patra dari jenis fauna) sebagai hiasan
bagian (lidah naga patra punggel api-apian),
ekor singa, dan hiasan-hiasan. Untuk patra
tunggal puncak atap yang disebut Bantala pada
atap yang bukan berpuncak satu. Untuk hiasan

37
atap berpuncak satu dipakai bentuk Murdha dengan motif-motif Kusuma Tirta
Amertha Murdha Bajra yang masing-masing juga dilengkapi dengan patra punggel
sebagai hiasan bagian dari Karang Goak di sudut-sudut alas Murdha.
Potra Samblung

Pohon jalar dengan daun-daun lebar dipolakan dalam bentuk patern yang disebut
Patra Samblung. Ujung-ujung pohon jalar melengkung dengan kelopak daun dan daun-
daun dihias lengkung-lengkung harmonis.
Serupa dengan Patra Samblung ada patra Olanda, Patra Cina,Patra Bali masing-
masing dengan nama kemungkinan negara asalnya. Ada pula patra Banci yang
bervariasi dari gabungan patra yang dirangkai dalam satu kesatuan serasi dengan
mewujudkan identitas baru.
Patra Pae

Mengambil bentuk tumbuh-tumbuhan sejenis kapu-kapu yang dipolakan dalam


bentuk berulang berjajar memanjang.

pura kediri
Potra Ganggong

Menyerupai bentuk tumbuh-tumbuhan ganggang air yang dipolakan dalam


bentuk berulang berjajar memanjang.

pura bukit
dharma

38
Potra Batun Timun

Bentuk dasar serupa biji mentimun yang dipolakan dalam susunan diagonal
berulang. Sela-sela susunan dihias dengan bentuk-bentuk para mas-masan setengah bidang.
4 Potra Sulur

Melukiskan pohon jalar jenis beruas-ruas dengan daun-daun sulur bercabang-


cabang tersusun, berulang. Patra sulur dipolakan pula dalam bentuk tiga jalur batang jalar
teranyam berulang.

pura bukit dharma


Arti dan Maksud

Ragam hias dalam bangunan-bangunan tradisional mengandung arti dan maksud-maksud


tertentu. Penyajian keindahan, ungkapan simbol-simbol dan penyampaian komunikasi
merupakan maksud dan arti ragam hias pada bangunan-bangunan, peralatan dan
perlengkapan.
1. Ragam hias untuk keindahan
Umumnya ragam hias dimaksudkan untuk memperindah penampilan suatu
bangunan yang dihias. Ketepatan dan keindahan hiasan dapat mempertinggi
nilai suatu bangunan. Dengan hiasan, penampilan suatu bangunan lebih indah
dan menyegarkan pandangan.
2. Ragam hias untuk ungkapan simbolis
Dari berbagai macam, bentuk dan penempatan ragam hias dapat
mengungkapkan simbol-simbol yang terkandung padanya. Warna-warna juga
merupakan simbol arah orientasi, merah untuk warna kelod, kuning untuk
warna kauh atau barat putih untuk warna kangin atau timur, hitam untuk warna
kaja dan penyatuan dua bersisian untuk arah sudut.
3. Ragam hias sebagai alat komunikasi
Dengan bentuk hiasan yang dikenakan pada upacara atau bangunan-bangunan
tertentu dapat diketahui apa yang diinformasikan oleh hiasan yang dikenakan.
Hiasan serba putih pada wade wadah yang menunjukkan fungsinya.

4 FAU NA

Dijadikan materi hiasan dalam bentuk-bentuk ukiran, tatahan atau pepulasan.


Penterapannya,merupakan pendekatan dari keadaan sebenarnya. Pada beberapa bagian
keadaan sebenarnya divariasi dengan bentuk-bentuk penyesuaian untuk
menampilkan keindahan yang harmonis dengan pola hias keseluruhan.
Sebagai materi hiasan, fauna dipahatkan dalam bentuk-bentuk kekarangan yang
merupakan pola tetap, relief yang bercariasi dari berbagai macam binatang. Hiasan
fauna pada penempatannya umumnya disertai atau dilengkapi dengan jenis-jenis
flora yang disesuaikan.
Fauna sebagai patung hiasan pada bangunan umumnya mengambil jenis-jenis kera
dan ceritera ramayana. Parung-patung sebagai souvenir umumnya mengambil bentuk-
bentuk garuda, naga, singa, kuda, kera, sapi dan binatang ternak lainnya.
Ukiran fauna pada bidang-bidang relief di dinding,panil atau bidang-bidang ukiran
lainnya umumnya menterapkan ceritra-ceritra rakyat legenda tantri dari dunia
binatang. Penampilan fauna dalambentuk-bentuk patung-patung bercorak expresionis
pada kekarangan bercorak abstrak dan realis pada relief.
Fauna sebagai hiasan dan juga berfungsi sebagai simbol-simbol ritual ditampilkan
dalam bentuk-bentuk patung yang disebut Pratima, patung sebagai bagian dari
bangunan berbentuk Bedawang Nala. Fauna sebagai corak magic, lengkap dengan
huruf-huruf simbol mantra-mantra Fauna sebagai elemen bangunan yang juga
berfungsi sebagai ragam hiasan di kenakan sebagai sendi alas tiang dengan bentuk-
bentuk garuda, singa bersayap atau bentuk-bentuk lainnya.
Ragarn hias dari jenis-jenis fauna ditarnpilkan sebagai rnateri hiasan dalarn berbagai
rnacarn dengan narnanya rnasing-rnasing. Bentuk-bentuk penarnpilannya berupa
patung. Kekarangan atai relief-relief yang dilengkapi pepatraan dari berbagai jenis
flora.
1. Kekarangan

Penarnpilannya expresionis, rneninggalkan bentuk sebenarnya dari fauna yang


diexpresikan secara abstrak. Kekarangan yang rnengarnbil bentuk-bentuk binatang
gajah atau asti, burung goak dan binatang-binatang khayal prirnitif lainnya
dinarnai dengan narna-narna binatang yang dijadikan bentuknya.
Karang Boma

Berbentuk kepala raksasa


yang dilukiskan dari
leher ke atas lengkap
dengan hiasan dan rnahkota,

diturunkan dari ceritra Baornantaka.


Karang Berna ada yang tanpa tangan
ada pula yang lengkap dengan
tang dari pergelangan ke arah jari
dengan jari-jari rnekar. Karang
Berna urnurnnya dilengkapi dengan
patra bun-bunan atau patra punggel.
Diternpatkan sebagai hiasan di atas
lubang pintu dari Kori Agung.

Karang Sae

Berbentuk kepala kelelawar raksasa seakan bertanduk dengan gigi-gigi


runcing. Karang sae urnurnnya dilengkapi dengan tangan-tangan seperti
pada karang borna. Penarnpilannya dilengkapi dengan hiasan flora patra
punggel dan patra bun-bunan. Hiasan karang sae diternpatkan di atas pintu
Kori atau pinti rurnah tinggal dan j uga pada beberapa ternpat lainnya.
Karang Asti

Disebut pula karang gajah karena asti adalah gajah. Bentuknya rnengarnbil
bentuk gajah yang diabtrakkan sesuai dengan seni hias yang diexpresikan
dengan
bentuk kekarangan. Karang asti yang melukiskan kepala gajah dengan belalai
dan taring gadingnya bermata bulat. Hiasan flora Patra Punggel melegkapi
ke arah sisi pipi asti. Sesuai kehidupannya gajah di tanah karang asti
ditempatkan sebagai hiasan pada sudut-sudut bebaturan di bagian bawah.

pure kediri

4- Karang
Gook

Bentuknya menyerupai kepala burung gagak atau goak. Disebut pula karang
manuk karena serupa pula dengan kepala ayam dengan penekanan pada
paruhnya. Karang goak dengan paruh atas bertaring dan gigi-gigi runcing mata
bulat. Sesuai dengan kehidupan manuk atau gagak sebagai binatang bersayap,
hiasan Karangmanuk yang juga disebut Karang Goak ditempatkan pada sudut-
sudut bebaturan di bagian atas. Karang Goak sebagai hiasan bagian pipi dan
kepalanya dilengkapi dengan hiasan patra punggel. Karang Goak umumnya
disatukan dengan karang Simbar dari jenis flora yang ditempatkan di bagian
bawah Karang Goak.
pura kediri

-'Karang Tapel

Serupa dengan Karang Boma dalam bentuk yang lebih kecil hanya dengan
bibir atas. Gigi datar taring runcing mata bulat dengan hidung kedepan,lidah
terjulur yang diambil dari jenis-jenis muka yang galak. Hiasan kepala dan
pipi mengenakan Patra Punggel. Ke arah bawah kepala karang simbar dari
jenis flora yang disatukan. Karang tapel ditempatkan sebagai hiasan
peralihan bidang di bagian tengah.
Karang Bentulu

Bentuknya serupa dengan Karang Tapel lebih kecil dan lebih sederhana.
Tempatnya di bagian tengah atau bagian pada peralihan bidang di bidang tengah.
Bentuknya abstrak bibir hanya sebelah atas gigi datar taring runcing lidah terjulur.
Hanya bermata satu di tengah tanpa hidung. Hiasan kepala dan pipi Patra Punggel
yang disatukan merupakan suatu bentuk kesatuan Karang Bentulu.

Bentuk-bentuk karangan lainnya. Karang Simbar dari jenis flora, Karang Batu
dari jenis bebatuan, Karang Bunga dari bunga jenis flora sebagai hiasan-hiasan sudut,
tepi atau peralihan bidang yang berdekatan atau melengkapi kekarangan dari jenis fauna.
4 Patung

Untuk patung-patung hiasan permanen umumnya mengambil bentuk-bentuk


dewa-dewa dalam imajinasi manifestasinya, manusia dari dunia pewayangan, raksasa
dalam expresi wajah dan sifatnya dan binatang dalam berbagai bentuknya. Benda-
benda souvenir dari kerajinan seni ukir ada pula yang mengambil bentuk-bentuk
binatang yang umumnya realis naturalis.
Patung-patung dari jenis-jenis fauna yang dijadikan hiasan atau sebagai elemen
bangunan umumnya merupakan patung-patung expresionis yang dilengkapi dengan
elemen-elemen hiasan dari jenis-jenis pepateraan.
Patung-patung dari jenis raksasa untuk elemen-elemen hiasan yang seakan yang
seakan berfungsi untuk menertibkan. Patung-patung modern ada pula yang kembali
ke bentuk- bentuk primitip untuk elemen penghias atau taman atau ruang.
Penempatannya pada bangunan sebagai sendi alas tiang tugeh yang menyangga
konstruksi puncak atap. Sesungguhnya tiang tugeh bebas beban sehingga
memungkinkan ukiran patung Garuda sebagai alas penyenggahnya. Untuk fungsinya
sebagai penyanggah tiang tugeh bahannya dari kayu yang diselesaikan tanpa atua
dengan pewarnaan. Sesuai dengan penempatannya sebagai sendi tugeh umumnya
merupakan Garuda tunggal yang besarnya sekitar empat kali tebal tiang.
Patung Garuda yang difungsikan sebagai hiasan ruang umumnya lengkap dengan
pijakan Naga atau Kura-kura dan naga serta awatara Wisnu sebagai pengendaraannya.
Patung garuda sebagai hiasan simbolis pada bangunan Padmasana ditempatkan pada
bagian sisi ulu batur sari dengan sikap tegak terbang. Di atas Patung garuda dilengkapi
dengan Patung Angsa, juga dalam posisi terbang melayang. Masing-masing dengan
filosofi yang mendukung perwujudan Padmasana. Patung Garuda Wisnu juga diwujudkan
untuk pratima yang disakralkan berfungsi ritual. Untuk benda-benda souvenir sebagai
kerajinan seni ukur Patung Garuda diwujudkan dalam berbagai varia si dan dimensi dari
sebesar biji catur sampai setinggi orang tanpa atau dengan pewarnaan.
4 Patung Singa

Wujudnya singa bersayap yang juga


disebut Singa Ambara Raja. Dalam keadaan
sebenarnya tidak bersayap. Patung Singa
bersayap untuk keagungan keadaan sebenarnya
tidak bersayap. Patung singa difungsikan juga
untuk sendi alas tugeh seperti patung Garuda.
Bahannya dari kayu jenis kuat, keras dan
awet. Patung singa digunakan pula untuk
sendi alas tiang pada tiang-tiang struktur atau
tiang-tiang jajar dengan bahan dari batu padas
keras, atau batu karang laut yang putih masif
dan keras. Patung singa bersayap juga dibuat
sebagai kerajinan seni ukur
untuk benda-benda souvenir dari ukuran kecil untuk hiasan meja sampai
ukuran
besar untuk hiasan ruang. Bahannya dari batu padas kelabu atau kayu jenis keras
yang awet, tanpa atau dengan pewarnaan. Patung-patung singa bersayap ada pula yang
disakralkan untuk Pratima sebagai simbol-simbol pemujaan. Untuk petualangan
sebagai tempat-tempat pembakaran mayat dalam upacara ngaben selain patung lembu,
patung singa juga dipakai dengan perwujudan dan hiasan sementara yang ikut terbakar
bersama pembakaran mayat di badan Petualangan Patung Singan.
4 Patung Naga

Perwujudan Ular Naga


dengan mahkota kebesaran
hiasan gelung kepala,
bebadong leher anting-
anting telingan rambut
terurai, rahang terbuka
taring gigi runcing lidah api
bercabang. Patung Naga
sikap tegak bertumpu pada
dada, ekor menjulang
ke
atas gelang dan permata di ujung ekor. Patung naga sebagai penghias
bangunan ditempatkan sebagai pengapit tangga menghadap ke depan
lekuk-lekuk ekor mengikuti tingkat-tingkat tangga ke arah atas. Pemakaian
patung Naga.
Dalam fungsinya sebagai hiasan dan stabilitas losofis, Patung Naga
yang membelit Bedawang kura-kura raksasa ditempatkan pada dasar
Padmasana (gb. 107 a.b) Bedawang Naga juga sebagai dasar Meru seperti
tumpang 11di Pura Kehen Bangli. Untuk bale wadah pada upacara Ngaben
bagi satria tinggi juga memakai Bedawang Naga sebagai dasar Bade wadah yang
disebut Naga Badha. Untuk fungsi ritual Patung Naga bersayap juga digunakan
untuk pratima sebagai simbol pemujaan yang disakralkan. Sebagai benda-benda
souvenir kerajinan seni ukur juga membuat patung-patung Naga dalam
ukuran kecil atau besar yang umumnya disatukan dengan patung Garuda
atau Garuda Wisnu yang berpijak pada belitan Bedawang Naga.
Patung Kura-Kura

Perwujudan melukiskan
Kura- kura raksasa yang
disebut Bedawang, sebagai
simbol kehidupan dinamis
yang abadi. Keempat
kakinya berjari lima kuku
runcing menerkam tanah.
Kepalanya berambut api
hidung mancung, gigi kokoh
datar bertaring runcing mata
bulat. Wajah angker
memandang ke arah atas
depan
berpandangan dengan Naga yang membelitnya. Kepala Naga di atas kepala bedawang
dalam posisi berpandangan galak dinamis. Pemakaian Bedawang tidak berdiri sendiri,
selalu merupakan kesatuan berbelit dengan Naga atau Bedawang Naga sebagai pijakan
Garuda yang dikendarai awataran Wisnu. Garuda dan Bedawang merupakan kesatuan
dalam mitologi yang membawakan filosofi kehidupan ritual.
Patung Kera

Perwujudannya merupakan kera-kera


yang diekspresikan dilukiskan dalam
ceritera ramayana. Patung-patung
anoman (gb. 207/atas), Subali,
Sugriwa merupakan patung-patung
kera yang banyak dipakai hiasan
sebagai bagian dari bangunan seperti
pemegang alas tiang jajar bangunan
pelinggih. Untuk hiasan terlepas pada
bangunan juga banyak digunakan
patung kera dalam bentuk realis
dengan bahan kayu atau sabut kelapa
untuk dibuat benda-benda souvenir.
Arti Dan Makna

Ragam hias dari jenis-jenis fauna selain fungsinya sebagai hiasan juga mengandung arti
dan maksud-maksud tertentu untuk beberapa macam hiasan. Pemakaian bahan proses
pembuatan dan bentuk-bentuk penampilan membawakan identitas pemakaiannya sebagai
ragam hias. Penghias ruang menonjolkan bentuk-bentuk keindahan yang disempurnakan
ataupun di abstrakkan. Singa bersayap, Garuda bertangan, Gajah bermata bulat dengan
deretan ggi rata kura-kura berambut api bentuk-bentuk perwujudan lainnya sesungguhnya
tidak ada fauna yang sama seperti itu. Variasi penampilannya untuk keindahan komposisi
expresi dan keserasian.
Pepatraan dari jenis-jenis flora yang melengkapi jenis-jenis fauna untuk keharmonisan
kesatuan penampilan beberapa bagian bentuk hiasan. Untuk keindahan karakter penampilan
sikap-sikap fauna sebagai ragam hias diexpresikan dengan kesan galak, angker atau agung
mempesona.
FAUNA SEBAGA I SIMBOL RITUAL
Penampilannya dalam huungan dengan fungsi-fungsi ritual merupakan simbol-simbol
filosofis yang dijadikan landasan jalan pikiran. Bedawang naga sebagai stabilitas gerak
dinamis kehidupan di bumi dijadikan dasar padmasana atau bade wadah. Garuda wisnu
sebagai simbol kesetiaan keyakinan dan ketangguhan. Singa ambara atau singa bersayap
sebagai simbol ketangkasan dan kekuasaan. Angsa dan burung merak pada patung Saraswati
masing-masing sebagai simbol kesucian dan keindahan abadi.
FA UNA SEBAGA I MEDIA EJUKATIF
Ragam hias dari jenis-jenis fauna yang ditirukan dari bagian-bagian ceritra tantri
sebagai legenda yang telah memasyaratkan mengandung arti dan maksud ejukatif
konstruktif. Penampilan singa dan lembu dari persahabatan jadi permusuhan akibat fitnah
anjing ki Patih Sembade. Mengajarkan agar kita jangan muda diadu dengan cara berbagai
bentuk fitnah.
Penampilan cangak meketu sebagai Padandabaka atau bangau yang menyamar
sebagai pendeta menipu ikan-ikan untuk dijadikan mangsanya membawa maksud untuk
mengingatkan agar kita waspada terhadap segala bentuk penipuan yang berpura-pura baik.
Waspada seperti kepiting yang tenang dengan mata menonjol siap menghukum penipu
menyepit leher bangau.
Atap

Seperti untuk bahan atap digunakan ij uk bagi yang mampu sedangkan yang kurang
mampu bisa menggunakan alang-alang atau genting.
Tangga

Dalam Asta Kosala-Kosali yang diyakini masyarakat, terdapat hitungan berulang


pada jumlah anak tangga. Hitungannya adalah sebagai berikut, dimulai dari bawah keatas;
undag, gunung, rubuh atau ada juga hitungan undag, watu, gunung, runtuh. Undag
diperuntukkan bagi bangunan rumah dan kadang-kadang dipergunakan juga hitungan
watu, gunung untuk bangunan yang diagungkan dan runtuh dihindari karena bangunan
tidak akan memberikan kebahagiaan.

Jenis Kayu Dan Filosofisnya Yang Digunaban Dalam Pembuatan Rumah Tradisional Bali
Rumah tradisional masyarakat Bali memiliki peranan yang sangat penting di dalam
kehidupan. Bagi masyarakat Bali, mendirikan sebuah rumah sangat mementingkan
keseimbangan dan keselarasan dengan alam. Dalam pembuatan rumah tradisonal Bali ini,
para undagi biasanya akan menggunakan kayu-kayu yang berbeda sesuai dengan
tempatnya dalam rumah tersebut. hasil wawancara penulis dengan nara sumber, dapat
penulis paparkan bahwa ada beberapa jenis kayu yang penting dalam pembuatan rumah.
Adapun jenis kayu tersebut adalah:
Kayu yang digunakan untuk Pura (Parhayangan)

Kayu yang digunakan untuk pelinggih atau Parhayangan adalah kayu yang
dianggap "spesial" bagi masyarakat Bali, karena ada makna terpenting yang terkandung
kayu tersebut. kayu yang sering digunakan adalah kayu cempaka (Michelia champaca L.),
kayu majegau (Dysoxylum caulostachyumMiq.), dan kayu cendana (Santalum album L.).
(Klasifikasi terlampir.)
Kayu cempaka (Michelia champaca L.) banyak digunakan dalam pembuatan
pelinggih karena kayu ini memiliki aroma yang wangi. Kemudian bunga dari bunga ini
biasanya digunakan untuk keperluan upacara keagamaan. Selain itu, kayu cempaka ini
merupakan kayu peragan bhatara Siwa. Biasanya yang diguanakan adalah jenis cempaka
kuning, dan kayu yang pohonnya yang sudah usianya lebih dari 10 tahun. Menurut
klasifikasi kayu menurut masyarakat Bali, kayu cempaka ini termasuk kayu golongan
arya, artinya kayu ini biasanya digunakan dalam membuat "lambang atau ige-ige".
Kayu cendana juga sangat disakralkan oleh masyarakat Bali, dimana kayu cendana
(Santalum album L.) ini digunakan dalam pembuatan pelinggih karena kayu ini
menghasilkan aroma yang sangat wangi, sehinngga kayu ini bagus untuk digunakan
di tempat-tempat suci. Selain digunakan dalam pembuatan pelinggih, kayu cendana
ini juga dapat digunakan dalam pembuatan pratima, dimana kayu ini merupakan
peragan dari bhatara Paramasiwa . Dalam klasifikasi kayu menurut orang Bali, kayu
cendana ini termasuk golongan kayu prabu, artinya kayu ini biasanya digunakan
untuk membuat langit-langitdalam suatu pelinggih.
Jenis kayu yang tidak kalah penting yang diguankan dalam pembuatan pelinggih
adalah kayu majegau (Dysoxylum caulostachyum Miq.). Dimana kayu ini banyak
digunakan karena kayu ini memiliki aroma yang sangat wangi. Kayu ini digolongkan
kedalam jenis kayu Demung. Dimana kayu ini biasanya digunakan untuk membuat
sesaka. Kayu majegau ini dalam pembuatan pretima, merupakan peragandari Sadasiwa.
Kayu yang digunakan untuk perumahan (Bale Pesarean}

Kedudukan Bale Pesarean dalam sistem perumahan di Bali lebih rendah


dibandingkan dengan kedudukan Parhayangan atau Pelinggih. Sehingga jenis kayu
yang digunakan pun berbeda. Adapun jenis-jenis kayu yang dapat digunakan dalam
pembuatan bale pesarean adalah jenis kayu jati (Tectona grandis L.), kayu nangka
(Artocarpus integra merr.),sentul,dan lainnya.
Kayu jati (Tectona grandis L.) digunakan karena memiliki struktur kayu yang sangat
kuat, sehingga kokoh untuk menopang bangunan. Selain itu, kayu jati ini juga terkenal
sebagai kayu yang awet, dan tahan terhadap serangan rayap. Kayu jati ini termasuk
golongan kayu patih, artinya kayu ini biasanya digunakan dalam pembuatan saka.
Sama halnya dengan kayu jati, kayu nangka (Artocarpus integra merr.) juga
banyak digunakan dalam pembuatan bale pesarean, mengingat kayu nangka ini
memiliki struktur yang sangat kuat dan tidak terlalu berat seperti kayu jati,
sehingga biasanya digunakan dalam membuat langit-langit (kayu prabu). Sama halnya
dengan kayu jati dan kayu nangka, kayu sentul juga banyak digunakan dalam
pembuatanbale pesarean, mengingat kayu ini memiliki struktur yang kuat dan tahan
terhadap serangan rayap. Kayu sentul ini digolongkan kedalam golongan kayu
pangalasan.
4 Kayu yang digunakan untuk dapur (Paon}

Dapur (paon) yang merupakan bagian dari suatu perumahan memiliki tempat
tersendiri dan juga dalam pembuatannya menggunakan kayu yang berbeda dengan
kayu yang digunakan dalam membuat pelinggih maupun bale pesarean. Jenis kayu
yang biasanya digunakan adalah jenis kayu wangkal(Abizia procera Roxb.), kayu
juwet (Syzygium cumini Linn.), kayu klampuak (Syzygium zollingeriamun(Miq. )
Amsh.). (Klasifikasi terla mpir.)
Kayu ini dapat digunakan karena kayu ini memiliki struktr kayu yang sangat kuat
dan tahan lama. Kayuwangkal digolongkan kedalam kayu prabu, dan digunakan dalam
membuat langit-langit atau atap. Kayu klampuak termasuk golongan jenis kayu patih
dimana digunakan dalam membuat saka atau tiang penyangga. Dan kayu juwet termasuk
kedalam golongan kayu mantri,, dan digunakan dalam membuatlambang atau ige-ige.
Dari semua paparan mengenai jenis kayu yang digunakan dala pembuatan
perumahan tradisional Bali, pada umumnya masyarakat Bali memilih kayu berdasarkan
wangi dari kayu, kekokohan kayu tersebut, serta faktor agama yang sangat memiliki
peranan penting.

Pemilihan Tanah Pekarangan.


Tanah yang dipilih untuk lokasi membangun perumahan diusahakan tanah yang miring
ke timur atau miring ke utara, pelemahan datar (asah), pelemahan inang, pelemahan marubu
lalah(berbau pedas).
Tanah yang patut dihindari sebagai tanah lokasi membangun perumahan adalah :

1. karang karubuhan (tumbak rurung/ jalan),


2. karang sandang lawe (pintu keluar berpapasan dengan persimpangan jalan),
3. karang sulanyapi (karang yang dilingkari oleh lorong (jalan)
4. karang buta kabanda (karang yang diapit lorong/ jalan),
5. karang teledu nginyah (karang tumbak tukad),
6. karang gerah (karang di hulu Kahyangan),
7. karang tenget,
8. karang buta salah wetu,
9. karang boros wong (dua pintu masuk berdampingan sama tinggi),
10. karang suduk angga, karang manyeleking dan yang paling buruk adalah
11. tanah yang berwarna hitam- legam, berbau “bengualid” (busuk)

Tanah- tanah yang tidak baik (ala) tersebut di atas, dapat difungsikan sebagai lokasi
membangun perumahan jikalau disertai dengan upacara/ upakara agama yang ditentukan , serta
dibuatkan palinggih yang dilengkapi dengan upacara/ upakara pamarisuda.
Perumahan Dengan Pekarangan Sempit, bertingkat dan Rumah Susun.

Upacara Membangun Rumah.

 Upacara Nyapuh sawah dan tegal. Apabila ada tanah sawah atau tegal dipakai untuk tempat
tinggal. Jenis upakara : paling kecil adalah tipat dampulan, sanggah cucuk, daksina l, ketupat
kelanan, nasi ireng, mabe bawang jae. Setelah “Angrubah sawah” dilaksanakan asakap- sakap
dengan upakara Sanggar Tutuan, suci asoroh genep, guling itik, sesayut pengambeyan,
pengulapan, peras panyeneng, sodan penebasan, gelar sanga sega agung l, taluh 3, kelapa 3,
benang + pipis.
 Upacara pangruwak bhuwana dan nyukat karang, nanem dasar wewangunan. Upakaranya
ngeruwak bhuwana adalah sata/ ayam berumbun, penek sega manca warna. Upakara Nanem
dasar: pabeakaonan, isuh- isuh, tepung tawar, lis, prayascita, tepung bang, tumpeng bang,
tumpeng gede, ayam panggang tetebus, canang geti- geti.
 Upacara Pemelaspas. Upakaranya : jerimpen l dulang, tumpeng putih kuning, ikan ayam putih
siungan, ikan ayam putih tulus, pengambeyan l, sesayut, prayascita, sesayut durmengala, ikan ati,
ikan bawang jae, sesayut Sidhakarya, telur itik, ayam sudhamala, peras lis, uang 225 kepeng,
jerimpen, daksina l, ketupat l kelan, canang 2 tanding dengan uang II kepeng. Oleh karena situasi
dan kondisi di suatu tempat berbeda, maka upacara\

Mata Pencaharian dan Pengaruh Lingkungan


Lahirnya berbagai perwujudan fisik juga disebabkan oleh beberapa faktor yaitu keadaan
geografis dan ekonomi masyarakat. Ditinjau dari aspek geografi terdapatlah Arsitektur
Tradisional Bali dataran tinggi (daerah pegunungan) dan Arsitektur Tradisional Bali dataran
rendah. Untuk daerah dataran tinggi yang penduduknya berkebun, pada umunya bangunannya
kecil-kecil dan tertutup untuk menyesuaikan keadaan lingkungannya yang cenderung dingin.
Tinggi dinding relatif pendek untuk menghindari sirkulasi udara yang terlalu sering. Satu
bangunan bisa digunakan untuk berbagai aktifitas mulai aktifitas sehari-hari seperti tidur,
memasak dan untuk hari-hari tertentu juga digunakan untuk upacara. Luas dan bentuk
pekarangan relatif sempit dan tidak beraturan disesuaikan dengan topografi tempat tinggalnya.
Untuk daerah dataran rendah,yang penduduknya bertani, pekarangannya relatif luas dan
datar sehingga bisa menampung beberapa massa dengan pola komunikatif, umumnya berdinding
terbuka, yang masing-masing mempunyai fungsi tersendiri. Seperti bale daja untuk ruang tidur
dan menerima tamu penting, bale dauh untuk ruang tidur dan menerima tamu dari kalangan
biasa, bale dangin untuk upacara, dapur untuk memasak, jineng untuk lumbung padi, dan tempat
suci untuk pemujaan. Untuk keluarga raja dan brahmana pekarangnnya dibagi menjadi tiga
bagian yaitu jaba sisi (pekarangan depan), jaba tengah (pekarangan tengah) dan jero (pekarangan
untuk tempat tinggal adapun pertimbangan dalam membangun tempat tinggal diantaranya;

Tanah
Membuat rumah yang dapt mendatangkan keberuntungan bagi penghuninya,bagi
rohaniwan dari Banjar Semaga,Desa Penatih,Denpasar ini harus diawali dengan pemilihan lokasi
(tanah) yang pas.Lokasi yang bagus dijadikan bagunan adalah tanah yang posisinya lebih rendah
(miring) ke timur (sebelum direklamasi). Namun di luar lahan bukan milik kita,posisinya lebih
tinggi.Demikian juga tanah bagian utaranya juga harus lebih tinggi.Bila tanah di pinggir
jalan,usahakan posisinya tanah dipeluk jalan.Sangat baik bila ada air di arah selatan tetapi bukan
dari sungai yang mengalir deras.Air harus berjalan pelan,tetapi posisi sungai juga harus memeluk
tanah ,bukan sebaliknya menebas lokasi tanah.Diyakini,aliran air yang lambat membuat Dewa
air sebagai pembawa kesuburan dan rejeki banyak terserap dalam deras.
Selain letak tanah,tekstur tanah juga harus dipastikan memiliki kualitas baik. Tanah
berwarna kemerahan dan tidak berbau termasuk jenis tanah yang bagus untuk tempat
tinggal.Untuk menguji tekstur tanah,cobalah genggam tanah tersebut.Jika setelah lepas dari
genggaman tanah itu terurai lagi,berarti kualitas tanah tersebut cocok dipilih untuk lokasi
perumahan.Cara lain untuk menguji tekstur tanah yang baik adalah dengan cara melubangi tanah
tersebut sedalam 40 Cm persegi.Kemudian lubang itu diurug (ditimbun) lagi dengan tanah galian
tadi.
Jika lubang penuh atau kalau bisa ada sisa oleh tanah urugan itu, berati tanah itu bagus
untuk rumah.Sebaliknya jika tanah untuk menutup lubang tidak bisa memenuhi (jumlahnya
kurang) berati tanah tersebut tidak bagus dan tidak cocok untuk rumah karena tergolong tanah
anggker.Akan lebih baik memilih tanah yang terletak di utara jalan karena lebih mudah untuk
melakukan penataan bangunan menurut konsep Asta kosala-kosali.Misalnya membuat pintu
masuk rumah,letak bangunan,dan tempat suci keluarga (merajan/sanggah).Lokasi seperti ini
memungkinkan untuk menangkap sinar baik untuk kesehatan.Tata letak pintu masuk yang
sesuai,akan memudahkan menangkap Dewa Air mendatangkan rejeki.
Kurang Bagus
Jangan membangun rumah di bekas tempat-tempat umum seperti bekas balai banjar
(balai masyarakat), bekas pura (tempat suci), tanah bekas tempat upacara ngaben
massal(pengorong/peyadnyan)bekas gria (tempat tinggal pedande/pendeta) dan tanah bekas
kuburan.Usahakan pula untuk tidak memilih lokasi (tanah)bersudut tiga atau lebih dari bersudut
empat.Tanah di puncak ketinggian,di bawah tebing atau jalan juga kurang bagus untuk rumah
karena membuat rejeki seret dan penghuninya akan sakit – sakitan.Demikian juga tanah yang
terletak di pertigaan atau di perempatan jalan (simpang jalan) tidak bagus untuk tempat tinggal
tetapi cocok untuk tempat usaha.Tanah jenis ini termasuk tanah angker karena merupakan tempat
hunian Sang Hyang Durga Maya dan Sang Hyang Indra Balaka.
Tata Letak Bangunan
Setelah direklamasi (ditata) diusahkan bangunan yang terletak di timur,lantainya lebih
tinggi sebab munurut masyarakat bali selatan umumnya,bagian timur dianggap sebagai
hulu(kepala)yang disucikan.Sedangkan menurut fungsui,posisi bangunan seperti itu memberi
efek positif.Sinar matahari tidak terlalu kencang,dan air tidak sampai ke bagian hulu.Bagunan
yang cocok untuk ditempatkan diareal itu adalah tempat suci keluarga yg disebut merajan atau
sanggah.Dapur diletakan di arah barat (barat daya) dihitung dari tempat yang di anggap sebagai
hulu (tempat suci) atau di sebelah kiri pintu masuk areal rumah, karena menurut konsep lontar
Asta Bumi,tempat ini sebagai letak Dewa Api.
Sumur dan lumbung tempat penyimpanan padi sedapat mungkin diletakan di sebelah
timur atau utara dapur.Atau di sebelah kanan pintu gerbang masuk rumah karena melihat posisi
Dewa Air.
Bangunan balai Bandung (tempat tidur) diletakan diarah utara,sedangkan balai adat atau balai
gede ditempatkan disebelah timur dapur dan diselatan balai Bandung.Bangunan penunjang
lainnya diletakkan di sebelah selatan balai adat.
Pintu Masuk
Selain menemukan posisinya yang tepat untuk menangkap dewa air sebagai sumber
rejeki ukuran pintu masuk juga harus diatur. Jika membuat pintu masuk lebih dari satu,lebar
pintu masuk utama dan lainya tidak boleh sama.Termasuk tinggi lantainya juga tidak boleh
sama. Lantai pintu masuk utama (dibali berbentuk gapura/angkul – angkul) harus dibuat lebih
tinggi dari pintu masuk mobil menuju garase.jika dibuat sama akan memberi efek kurang
menguntungkan bagi penghuninya bisa boros atau sakit-sakitan.Akan sangat bagus bila di
sebelah kiri (sebelah timur jika rumah mengadap selatan) diatur jambangan air (pot air) yang disi
ikan.
Ini sebagai pengundang Dewa Bumi untuk memberi kesuburan seisi rumah.Tak
menempatkan benda – benda runcing dan tajam yang mengarah ke pintu masuk rumah seperti
penempatan meriam kuno,tiang bendera,listrik dan tiang telepon atau tataman yang berbatang
tinggi seperti pohon palm,karena membuat penghuninya sakit sakitan akibat tertusuk.Got dan
tempat pembungan kotoran sedapat mungkin di buat di posisi hilir dan lebih rendah dari pintu
masuk.Kalau menempatkan kolam di pekarangan rumah hendaknya dibuat di atas permukaan
tanah(bukan lobang).Kolam di buat di sebelah kanan pintu masuk dengan posisi memelu
rumah,bukan berlawanan.Karena keberadaan kolam yang tidak sesuai akan mempengaruhi
kesehatan penghuni rumah.

Anda mungkin juga menyukai