Anda di halaman 1dari 13

A.

Pendahuluan
Apa Itu Asta Kosala Kosali?

Awalnya, Asta Kosala Kosali dibuat sebagai pedoman dalam membuat Pura di Bali.
Namun kehidupan masyarakat Bali, utamanya penganut Hindu, tidak bisa dilepaskan dari
aktivitas di Pura. Bahkan di rumahpun ada Pura keluarga yang disebut “Pemerajan” atau
“Sanggah”, minimal Sanggah Kemulan.

Oleh sebab itu, Asta Kosala Kosali kemudian dijadikan acuan dasar dalam setiap
membangun apapun di Bali, termasuk pengaturan atau Tata Kota dan Wilayah.

Salah satu contoh penerapan Asta Kosala Kosali yang sering dirujuk adalah Desa
Pengelipuran Bangli. Misalnya: Pura-Pura dibangun di wilayah ‘keluan’ (hulu) desa,
sedangkan rumah penduduk di bangun di wilayah madya (tengah-tengah) desa, dan kuburan
dibangun di wilayah ‘teben’ (hilir) desa.

Lalu, apa itu Asta Kosala Kosali?

Asta Kosala Kosali adalah aturan mengenai ukuran dan tata ruang bangunan di Bali,
yang pertamakalinya dibuat oleh dua orang suci Hindu, yakni: Bhagawan Wiswakarma dan
Bhagawan Panyarikan.

Aturan Asta Kosala Kosali terbagi menjadi 2 bagian utama, yakni:

 Asta Kosala, yang mengatur tentang bentuk-bentuk niyasa (symbol) bangunan Pura,
di Bali, yakni: ukuran panjang, lebar, tinggi, tingakatan (‘pepalih’) dan hiasan.
 Asta Bumi, yang mengatur tentang luas halaman Pura, pembagian ruang halaman, dan
jarak antar bangunan pura.
B. Pembahasan

Asta Kosala Kosali merupakan Fengshui-nya Bali, adalah sebuah tata cara, tata letak, dan
tata bangunan untuk bangunan tempat tinggal serta bangunan tempat suci yang ada di Bali yang
sesuai dengan landasan Filosofis, Etis, dan Ritual dengan memperhatikan konsepsi
perwujudan, pemilihan lahan, hari baik (dewasa) membangun rumah, serta pelaksanaan
yadnya.
Menurut Ida Pandita Dukuh Samyaga, perkembangan arsitektur bangunan Bali, tak
lepas dari peran beberapa tokoh sejarah Bali Aga berikut zaman Majapahit. Tokoh Kebo Iwa
dan Mpu Kuturan yang hidup pada abad ke 11, atau zaman pemerintahan Raja Anak Wungsu
di Bali banyak mewarisi landasan pembanguna arsitektur Bali.
Danghyang Nirartha yang hidup pada zaman Raja Dalem Waturenggong setelah
ekspidisi Gajah Mada ke Bali abad 14, juga ikut mewarnai khasanah arsitektur tersebut ditulis
dalam lontar Asta Bhumi dan Asta kosala-kosali yang menganggap Bhagawan Wiswakarma
sebagai dewa para arsitektur.
Penjelasan dikatakan oleh Ida Pandita Dukuh Samyaga. Lebih jauh
dikemukakan,Bhagawan Wiswakarma sebagai Dewa Arsitektur, sebetulnya merupakan
tokoh dalam cerita Mahabharata yang dimintai bantuan oleh Krisna untuk membangun kerjaan
barunya. Dalam kisah tersebut, hanya Wismakarma yang bersatu sebagai dewa kahyangan
yang bisa menyulap laut menjadi sebuah kerajaan untuk Krisna. Kemudian secara turun-
temurun oleh umat Hindu diangap sebagai dewa arsitektur. Karenanya, tiap bangunan di bali
selalu disertai dengan upacara pemujaan terhadap Bhagawan Wiswakarma. Upacara demikian
dilakukan mulai dari pemilihan lokasi, membuat dasar bagunan sampai bangunan selesai. Hal
ini bertujuan minta restu kepada Bhagawan Wiswakarma agar bangunan itu hidup dan
memancarkan vibrasi positif bagi penghuninya. Menurut kepercayaan masyarakat Hindu Bali,
bangunan memiliki jiwa bhuana agung (alam makrokosmos) sedangkan manusia yang
menepati bangunan adalah bagian dari buana alit (mikrokosmos).Antara manusia
(mikrokosmos) dan bangunan yang ditempati harus harmonis, agar bisa mendapatkan
keseimbangan anatara kedua alam tersebut.Karena itu,mebuat bagunan harus sesuai dengan
tatacara yang ditulis dalam sastra Asta Bhumi dan Atas Kosala-kosali sebagai fengsui Hindu
Bali.
Asta Kosala Kosali merupakan sebuah cara penataan lahan untuk tempat tinggal dan
bangunan suci. penataan Bangunan yang dimana di dasarkan oleh anatomi tubuh yang punya.
Pengukurannya pun lebih menggunakan ukuran dari Tubuh yang empunya rumah. Mereka
tidak menggunakan meter tetapi menggunakan seperti:

 Musti (ukuran atau dimensi untuk ukuran tangan mengepal dengan ibu jari yang menghadap
ke atas),
 Hasta (ukuran sejengkal jarak tangan manusia dewata dari pergelangan tengah tangan sampai
ujung jari tengah yang terbuka)
 Depa (ukuran yang dipakai antara dua bentang tangan yang dilentangkan dari kiri ke kanan)

Jadi nanti besar rumahnya akan ideal sekali dengan yang empunya rumah.
Di atas telah dijelaskan mengenai Buana Agung (makrokosmos) dan Buana Alit
(Mikrokosmos). Nah, kosmologi Bali itu bisa digambarkan secara hirarki atau berurutan
seperti:

1. Bhur alam semesta, tempat bersemayamnya para dewa.


2. Bwah, alam manusia dan kehidupan keseharian yang penuh dengan godaan duniawi,
yang berhubungan dengan materialisme
3. Swah, alam nista yang menjadi simbolis keberadaan setan dan nafsu yang selalu
menggoda manusia untuk berbuat menyimpang dari dharma.

Selain itu juga Konsep ini berpegang juga kepada mata angin, 9 mata angin(Nawa Sanga).
Setiap bangunan itu memiliki tempat sendiri. seperti misalnya:

 Dapur, karena berhubungan dengan Api maka Dapur ditempatkan di Selatan,


 Tempat Sembahyang karena berhubungan dengan menyembah akan di tempatkan di Timur
tempat matahari Terbit.
 Karena Sumur menjadi sumber Air maka ditempatkan di Utara dimana Gunung berada begitu
seterusnya.

Selain itu sosial status juga menjadi pedoman. jadi rumah di bali itu ada yang disebut
Puri juga atau Jeroan, biasanya dibangun oleh warna / wangsa Kesatria. tapi karena sekarang
banyak yang sudah kaya diBali, jadi siapapun boleh membuat yang seperti ini. Namun mungkin
nanti bedanya di Tempat Persembahyangan di Dalamnya saja.
Warna itu merupakan sistem hirarki, di Bali Hirarkial itu juga berpengaruh terhadap tata ruang
bangunan rumahnya. Dalam pembuatan rumahnya rumah akan dibagi menjadi:

 jaba untuk bagian paling luar bangunan


 jaba jero untuk mendifinisikan bagian ruang antara luar dan dalam, atau ruang tengah
 jero untuk mendiskripsikan ruang bagian paling dalam dari sebuah pola ruang yang dianggap
sebagai ruang paling suci atau paling privacy bagi rumah tinggal

Di konsep ini juga disebutkan tentang teknik konstruksi dan materialnya. ada namanya
Tri Angga, yang terdiri dari:

 Nista menggambarkan hirarki paling bawah dari sebuah bangunan, diwujudkan dengan
pondasi rumah atau bawah rumah sebagai penyangga rumah. bahannya pun biasanya terbuat
dari Batu bata atau Batu gunung.
 Madya adalah bagian tengah bangunan yang diwujudkan dalam bangunan dinding, jendela dan
pintu. Madya mengambarkan strata manusia atau alam manusia
 Utama adalah symbol dari bangunan bagian atas yang diwujudkan dalam bentuk atap yang
diyakini juga sebagai tempat paling suci dalam rumah sehingga juga digambarkan tempat
tinggal dewa atau leluhur mereka yang sudah meninggal. Pada bagian atap ini bahan yang
digunakan pada arsitektur tradisional adalah atap ijuk dan alang-alang.
berikut bagian-bagian dari rumah Bali:

1. Pamerajan adalah tempat upacara yang dipakai untuk keluarga. Dan pada
perkampungan tradisional biasanya setiap keluarga mempunyai pamerajan yang
letaknya di Timur Laut pada sembilan petak pola ruang
2. Umah Meten yaitu ruang yang biasanya dipakai tidur kapala keluarga sehingga
posisinya harus cukup terhormat
3. Bale Sakepat, bale ini biasanya digunakan untuk tempat tidur anakanak atau anggota
keluarga lain yang masih junior.
4. Bale tiang sanga biasanya digunakan sebagai ruang untuk menerima tamu
5. Bale Dangin biasanya dipakai untuk duduk-duduk membuat bendabenda seni atau
merajut pakaian bagi anak dan suaminya.
6. Lumbung sebagai tempat untuk menyimpan hasil panen, berupa padi dan hasil kebun
lainnya.
7. Paon (Dapur) yaitu tempat memasak bagi keluarga.
8. Aling-aling adalah bagian entrance yang berfungsi sebagai pengalih jalan masuk
sehingga jalan masuk tidak lurus kedalam tetapi menyamping. Hal ini dimaksudkan
agar pandangan dari luar tidak langsung lurus ke dalam.
9. Angkul-angkul yaitu entrance yang berfungsi seperti candi bentar pada pura yaitu
sebagai gapura jalan masuk.

Arsitektur Bali atau yang buat rumah dibali disebut juga Undagi. Begitulah tradisi
pembuatan rumah di Bali.

Landasan filosofis ASTA KOSALA KOSALI

 Hubungan Bhuwana Alit dengan Bhuwana Agung. Pembangunan perumahan adalah


berlandaskan filosofis bhuwana alit bhuwana agung. Bhuwana Alit yang berasal dari Panca
Maha Bhuta adalah badan manusia itu sendiri dihidupkan oleh jiwatman. Segala sesuatu dalam
Bhuwana Alit ada kesamaan dengan Bhuwana Agung yang dijiwai oleh Hyang Widhi.
Kemanunggalan antara Bhuwana Agung dengan Bhuwana Alit merupakan landasan filosofis
pembangunan perumahan umat Hindu yang sekaligus juga menjadi tujuan hidup manusia di
dunia ini.
 Unsur- unsur pembentuk. Unsur pembentuk membangun perumahan adalah dilandasi oleh
Tri Hit a Karana dan pengider- ideran (Dewata Nawasanga). Tri Hita Karana yaitu unsur
Tuhan/ jiwa adalah Parhyangan/ Pemerajan. Unsur Pawongan adalah manusianya dan
Palemahan adalah unsur alam/ tanah. Sedangkan Dewata Nawasanga (Pangider- ideran) adalah
sembilan kekuatan Tuhan yaitu para Dewa yang menjaga semua penjuru mata angin demi
keseimbangan alam semesta ini.

Landasan Etis

 Tata nilai dari bangunan adalah berlandaskan etis dengan menempatkan bangunan pemujaan
ada di arah hulu dan bangunan- bangunan lainnya ditempatkan ke arah teben (hilir). Untuk
lebih pastinya pengaturan tata nilai diberikanlah petunjuk yaitu Tri Angga adalah Utama
Angga, Madya Angga dan Kanista Angga dan Tri Mandala yaitu Utama, Madya dan Kanista
Mandala.
 Pembinaan hubungan dengan lingkungan. Dalam membina hubungan baik dengan
lingkungan didasari ajaran Tat Twam Asi yang perwujudannya berbentuk Tri Kaya Parisudha.
Landasan Ritual
Dalam mendirikan perumahan hendaknya selalu dilandaskan dengan upacara dan
upakara agama yang mengandung makna mohon ijin, memastikan status tanah serta
menyucikan, menjiwai, memohon perlindungan Ida Sang Hyang Widhi sehingga terjadilah
keseimbangan antara kehidupan lahir dan batin.

Konsepsi perwujudan
Konsepsi perwujudan perumahan umat Hindu merupakan perwujudan landasan dan tata
ruang, tata letak dan tata bangunan yang dapat dibagi dalam :

1. Keseimbangan Alam: Wujud perumahan umat Hindu menunjukkan bentuk


keseimbangan antara alam Dewa, alam manusia dan alam Bhuta (lingkungan) yang
diwujudkan dalam satu perumahan terdapat tempat pemujaan tempat tinggal dan
pekarangan dengan penunggun karangnya yang dikenal dengan istilah Tri Hita Karana.
2. Rwa Bhineda, Hulu Teben, Purusa Pradhana. Rwa Bhineda diwujudkan dalam
bentuk hulu teben (hilir). Yang dimaksud dengan hulu adalah arah/ terbit matahari, arah
gunung dan arah jalan raya (margi agung) atau kombinasi dari padanya. Perwujudan
purusa pradana adalah dalam bentuk penyediaan natar. sebagai ruang yang merupakan
pertemuan antara Akasa dan Pertiwi.
3. Tri Angga dan Tri Mandala. Pekarangan Rumah Umat Hindu secara garis besar
dibagi menjadi 3 bagian (Tri Mandala) yaitu Utama Mandala untuk penempatan
bangunan yang bernilai utama (seperti tempat pemujaan). Madhyama Mandala untuk
penempatan bangunan yang bernilai madya (tempat tinggal penghuni) dan Kanista
Mandala untuk penempatan bangunan yang bernilai kanista (misalnya: kandang).
Secara vertikal masing- masing bangunan dibagi menjadi 3 bagian (Tri Angga) yaitu
Utama Angga adalah atap, Madhyama angga adalah badan bangunan yang terdiri dari
tiang dan dinding, serta Kanista Angga adalah batur (pondasi).
4. Harmonisasi dengan potensi lingkungan. Harmonisasi dengan lingkungan
diwujudkan dengan memanfaatkan potensi setempat seperti bahan bangunan dan
prinsip- prinsip bangunan Hindu.

Pemilihan Tanah Pekarangan.


Tanah yang dipilih untuk lokasi membangun perumahan diusahakan tanah yang miring
ke timur atau miring ke utara, pelemahan datar (asah), pelemahan inang, pelemahan marubu
lalah(berbau pedas).
Tanah yang patut dihindari sebagai tanah lokasi membangun perumahan adalah :

1. karang karubuhan (tumbak rurung/ jalan),


2. karang sandang lawe (pintu keluar berpapasan dengan persimpangan jalan),
3. karang sulanyapi (karang yang dilingkari oleh lorong (jalan)
4. karang buta kabanda (karang yang diapit lorong/ jalan),
5. karang teledu nginyah (karang tumbak tukad),
6. karang gerah (karang di hulu Kahyangan),
7. karang tenget,
8. karang buta salah wetu,
9. karang boros wong (dua pintu masuk berdampingan sama tinggi),
10. karang suduk angga, karang manyeleking dan yang paling buruk adalah
11. tanah yang berwarna hitam- legam, berbau “bengualid” (busuk)

Tanah- tanah yang tidak baik (ala) tersebut di atas, dapat difungsikan sebagai lokasi
membangun perumahan jikalau disertai dengan upacara/ upakara agama yang ditentukan, serta
dibuatkan palinggih yang dilengkapi dengan upacara/ upakara pamarisuda.
Perumahan Dengan Pekarangan Sempit, bertingkat dan Rumah Susun.

Pekarangan Sempit.
Dengan sempitnya pekarangan, penataan pekarangan sesuai dengan ketentuan Asta
Bumi sulit dilakukan. Untuk itu jiwa konsepsi Tri Mandala sejauh mungkin hendaknya
tercermin (tempat pemujaan, bangunan perumahan, tempat pembuangan (alam bhuta).
Karena keterbatasan pekarangan tempat pemujaan diatur sesuai konsep tersebut di atas
dengan membuat tempat pemujaan minimal Kemulan/ Rong Tiga atau Padma, Penunggun
Karang dan Natar.

Rumah Bertingkat.
Untuk rumah bertingkat bila tidak memungkinkan membangun tempat pemujaan di
hulu halaman bawah boleh membuat tempat pemujaan di bagian hulu lantai teratas.

Rumah Susun.
Untuk rumah Susun tinggi langit- langit setidak- tidaknya setinggi orang ditambah 12
jari. Tempat pemujaan berbentuk pelangkiran ditempatkan di bagian hulu ruangan.

Dewasa Membangun Rumah.

 Dewasa Ngeruwak. Wewaran : Beteng, Soma, Buda, Wraspati, Sukra, Tulus, Dadi.Sasih:
Kasa, Ketiga, Kapat, Kedasa.
 Nasarin. Watek: Watu. Wewaran: Beteng, soma, Budha, Wraspati, Sukra, was, tulus,
dadi. Sasih: Kasa, Katiga, Kapat, Kalima. Kanem.
 Nguwangun. Wewaran: Beteng, Soma, Budha, Wraspati, Sukra, tulus, dadi.
 Mengatapi. Wewaran : Beteng, was, soma, Budha, Wraspati, Sukra, tulus, dadi.Dewasa ala :
geni Rawana, Lebur awu, geni murub, dan lain- lainnya.
 Memakuh/ Melaspas. Wewaran : Beteng, soma, Budha. Wraspati, Sukra, tulus, dadi.Sasih :
Kasa, Katiga, Kapat, Kadasa.

Upacara Membangun Rumah.

 Upacara Nyapuh sawah dan tegal. Apabila ada tanah sawah atau tegal dipakai untuk tempat
tinggal. Jenis upakara : paling kecil adalah tipat dampulan, sanggah cucuk, daksina l, ketupat
kelanan, nasi ireng, mabe bawang jae. Setelah “Angrubah sawah” dilaksanakan asakap- sakap
dengan upakara Sanggar Tutuan, suci asoroh genep, guling itik, sesayut pengambeyan,
pengulapan, peras panyeneng, sodan penebasan, gelar sanga sega agung l, taluh 3, kelapa 3,
benang + pipis.
 Upacara pangruwak bhuwana dan nyukat karang, nanem dasar wewangunan.
Upakaranya ngeruwak bhuwana adalah sata/ ayam berumbun, penek sega manca warna.
Upakara Nanem dasar: pabeakaonan, isuh- isuh, tepung tawar, lis, prayascita, tepung bang,
tumpeng bang, tumpeng gede, ayam panggang tetebus, canang geti- geti.
 Upakara Pemelaspas. Upakaranya : jerimpen l dulang, tumpeng putih kuning, ikan ayam
putih siungan, ikan ayam putih tulus, pengambeyan l, sesayut, prayascita, sesayut durmengala,
ikan ati, ikan bawang jae, sesayut Sidhakarya, telur itik, ayam sudhamala, peras lis, uang 225
kepeng, jerimpen, daksina l, ketupat l kelan, canang 2 tanding dengan uang II kepeng.

Dalam melihat tata budaya dari berbagai suku di Indonesia , bentuk budaya Bali telah
berkembang dengan ciri dan kepribadian tersendiri.
Dari sudut arsitektur tradisional , peranan agama dan kebudayaan dipengaruhi
kebudayaan Cina dan India yang melebur ke dalam ajaran agama mereka yaitu Hindu-Budha,
sehingga peranannya sangat mendalam dan dijadikan pangkal untuk mencipta, petunjuk
petunjuk ini dikenal dengan nama Hasta Bumi,Hasta Kosala Kosali, Hasta Patali, sikuting
umah, dan lain-lain yang berisikan berbagai petunjuk , pantangan, tata cara perencanaan,
pelaksanaan dan lain-lain dalam mendirikan suatu bangunan .

Pengaruhnya terlihat pada:


Bentuk
Dari segi perbandingan ukuran setiap unsur bangunan dan pekarangan berpangkal
kepada ukuran kepala dan badan manusia terutama ukuran tubuh kepala keluarga (yang punya
rumah) secara fisik dan tingkat kastanya.
Bentuk rumah Bali, pada dasarnya bukan merupakan suatu organisasi ruangan dibawah satu
atap , tetapi beberapa bangunan yang masing-masing dengan fungsinya tertentu di dalam satu
lingkungan atau satu tembok.
Arsitektur tradisional Bali yang kita kenal, mempunyai konsep-konsep dasar yang
mempengaruhi tata nilai ruangnya. Konsep dasar tersebut adalah:

1. Konsep hirarki ruang, Tri Loka atau Tri Angga


2. Konsep orientasi kosmologi, Nawa Sanga atau Sanga Mandala
3. Konsep keseimbangan kosmologi
4. Konsep proporsi dan skala manusia
5. Konsep court, Open air
6. Konsep kejujuran bahan bangunan

Adapula beberapa ketentuan-ketentuan bangunan di Bali:

1. Tempat/ denah berdasarkan Lontar Asta Bhumi.


2. Bangunan/ konstruksinya berdasarkan lontar Asta Dewa dan lontar Asta Kosala
Kosali.
3. Bahan- bahan/ ramuan berdasarkan lontar Asta Dewa dan lontar Asta Kosala Kosali,
seperti : kayu, ijuk, alang- alang, batu alam, bata dan sebagainya

Asta Kosala Kosali merupakan sebuah cara penataan lahan untuk tempat tinggal dan
bangunan suci. penataan Bangunan yang dimana di dasarkan oleh anatomi tubuh yang punya
rumah. Pengukurannya pun tidak menggunakan meter tetapi menggunakan seperti

Mata Pencaharian dan Pengaruh Lingkungan


Lahirnya berbagai perwujudan fisik juga disebabkan oleh beberapa faktor yaitu
keadaan geografis dan ekonomi masyarakat.
Ditinjau dari aspek geografi terdapatlah Arsitektur Tradisional Bali dataran tinggi (daerah
pegunungan) dan Arsitektur Tradisional Bali dataran rendah. Untuk daerah dataran tinggi yang
penduduknya berkebun, pada umunya bangunannya kecil-kecil dan tertutup untuk
menyesuaikan keadaan lingkungannya yang cenderung dingin. Tinggi dinding relatif pendek
untuk menghindari sirkulasi udara yang terlalu sering. Satu bangunan bisa digunakan untuk
berbagai aktifitas mulai aktifitas sehari-hari seperti tidur, memasak dan untuk hari-hari tertentu
juga digunakan untuk upacara. Luas dan bentuk pekarangan relatif sempit dan tidak beraturan
disesuaikan dengan topografi tempat tinggalnya.
Untuk daerah dataran rendah,yang penduduknya bertani, pekarangannya relatif luas
dan datar sehingga bisa menampung beberapa massa dengan pola komunikatif, umumnya
berdinding terbuka, yang masing-masing mempunyai fungsi tersendiri. Seperti bale daja untuk
ruang tidur dan menerima tamu penting, bale dauh untuk ruang tidur dan menerima tamu dari
kalangan biasa, bale dangin untuk upacara, dapur untuk memasak, jineng untuk lumbung padi,
dan tempat suci untuk pemujaan. Untuk keluarga raja dan brahmana pekarangnnya dibagi
menjadi tiga bagian yaitu jaba sisi (pekarangan depan), jaba tengah (pekarangan tengah) dan
jero (pekarangan untuk tempat tinggal
adapun pertimbangan dalam membangun tempat tinggal diantaranya;

Tanah
Membuat rumah yang dapt mendatangkan keberuntungan bagi penghuninya,bagi
rohaniwan dari Banjar Semaga,Desa Penatih,Denpasar ini harus diawali dengan pemilihan
lokasi (tanah) yang pas.Lokasi yang bagus dijadikan bagunan adalah tanah yang posisinya lebih
rendah (miring) ke timur (sebelum direklamasi). Namun di luar lahan bukan milik
kita,posisinya lebih tinggi.Demikian juga tanah bagian utaranya juga harus lebih tinggi.Bila
tanah di pinggir jalan,usahakan posisinya tanah dipeluk jalan.Sangat baik bila ada air di arah
selatan tetapi bukan dari sungai yang mengalir deras.Air harus berjalan pelan,tetapi posisi
sungai juga harus memeluk tanah ,bukan sebaliknya menebas lokasi tanah.Diyakini,aliran air
yang lambat membuat Dewa air sebagai pembawa kesuburan dan rejeki banyak terserap dalam
deras.
Selain letak tanah,tekstur tanah juga harus dipastikan memiliki kualitas baik. Tanah
berwarna kemerahan dan tidak berbau termasuk jenis tanah yang bagus untuk tempat
tinggal.Untuk menguji tekstur tanah,cobalah genggam tanah tersebut.Jika setelah lepas dari
genggaman tanah itu terurai lagi,berarti kualitas tanah tersebut cocok dipilih untuk lokasi
perumahan.Cara lain untuk menguji tekstur tanah yang baik adalah dengan cara melubangi
tanah tersebut sedalam 40 Cm persegi.Kemudian lubang itu diurug (ditimbun) lagi dengan
tanah galian tadi.
Jika lubang penuh atau kalau bisa ada sisa oleh tanah urugan itu, berati tanah itu bagus
untuk rumah.Sebaliknya jika tanah untuk menutup lubang tidak bisa memenuhi (jumlahnya
kurang) berati tanah tersebut tidak bagus dan tidak cocok untuk rumah karena tergolong tanah
anggker.Akan lebih baik memilih tanah yang terletak di utara jalan karena lebih mudah untuk
melakukan penataan bangunan menurut konsep Asta kosala-kosali.Misalnya membuat pintu
masuk rumah,letak bangunan,dan tempat suci keluarga (merajan/sanggah).Lokasi seperti ini
memungkinkan untuk menangkap sinar baik untuk kesehatan.Tata letak pintu masuk yang
sesuai,akan memudahkan menangkap Dewa Air mendatangkan rejeki.

Kurang Bagus
Jangan membangun rumah di bekas tempat-tempat umum seperti bekas balai banjar
(balai masyarakat), bekas pura (tempat suci), tanah bekas tempat upacara ngaben
massal(pengorong/peyadnyan)bekas gria (tempat tinggal pedande/pendeta) dan tanah bekas
kuburan.Usahakan pula untuk tidak memilih lokasi (tanah)bersudut tiga atau lebih dari
bersudut empat.Tanah di puncak ketinggian,di bawah tebing atau jalan juga kurang bagus
untuk rumah karena membuat rejeki seret dan penghuninya akan sakit – sakitan.Demikian juga
tanah yang terletak di pertigaan atau di perempatan jalan (simpang jalan) tidak bagus untuk
tempat tinggal tetapi cocok untuk tempat usaha.Tanah jenis ini termasuk tanah angker karena
merupakan tempat hunian Sang Hyang Durga Maya dan Sang Hyang Indra Balaka.

Tata Letak Bangunan


Setelah direklamasi (ditata) diusahkan bangunan yang terletak di timur,lantainya lebih
tinggi sebab munurut masyarakat bali selatan umumnya,bagian timur dianggap sebagai
hulu(kepala)yang disucikan.Sedangkan menurut fungsui,posisi bangunan seperti itu memberi
efek positif.Sinar matahari tidak terlalu kencang,dan air tidak sampai ke bagian hulu.Bagunan
yang cocok untuk ditempatkan diareal itu adalah tempat suci keluarga yg disebut merajan atau
sanggah.Dapur diletakan di arah barat (barat daya) dihitung dari tempat yang di anggap sebagai
hulu (tempat suci) atau di sebelah kiri pintu masuk areal rumah, karena menurut konsep lontar
Asta Bumi,tempat ini sebagai letak Dewa Api.
Sumur dan lumbung tempat penyimpanan padi sedapat mungkin diletakan di sebelah
timur atau utara dapur.Atau di sebelah kanan pintu gerbang masuk rumah karena melihat posisi
Dewa Air.
Bangunan balai Bandung (tempat tidur) diletakan diarah utara,sedangkan balai adat
atau balai gede ditempatkan disebelah timur dapur dan diselatan balai Bandung.Bangunan
penunjang lainnya diletakkan di sebelah selatan balai adat.

Pintu Masuk
Selain menemukan posisinya yang tepat untuk menangkap dewa air sebagai sumber
rejeki ukuran pintu masuk juga harus diatur. Jika membuat pintu masuk lebih dari satu,lebar
pintu masuk utama dan lainya tidak boleh sama.Termasuk tinggi lantainya juga tidak boleh
sama. Lantai pintu masuk utama (dibali berbentuk gapura/angkul – angkul) harus dibuat lebih
tinggi dari pintu masuk mobil menuju garase.jika dibuat sama akan memberi efek kurang
menguntungkan bagi penghuninya bisa boros atau sakit-sakitan.Akan sangat bagus bila di
sebelah kiri (sebelah timur jika rumah mengadap selatan) diatur jambangan air (pot air) yang
disi ikan.
Ini sebagai pengundang Dewa Bumi untuk memberi kesuburan seisi rumah.Tak
menempatkan benda – benda runcing dan tajam yang mengarah ke pintu masuk rumah seperti
penempatan meriam kuno,tiang bendera,listrik dan tiang telepon atau tataman yang berbatang
tinggi seperti pohon palm,karena membuat penghuninya sakit sakitan akibat tertusuk.Got dan
tempat pembungan kotoran sedapat mungkin di buat di posisi hilir dan lebih rendah dari pintu
masuk.Kalau menempatkan kolam di pekarangan rumah hendaknya dibuat di atas permukaan
tanah(bukan lobang).Kolam di buat di sebelah kanan pintu masuk dengan posisi memelu
rumah,bukan berlawanan.Karena keberadaan kolam yang tidak sesuai akan mempengaruhi
kesehatan penghuni rumah
C. Penutup

Asta Kosala Kosali adalah aturan mengenai ukuran dan tata ruang bangunan di Bali,
yang pertamakalinya dibuat oleh dua orang suci Hindu, yakni: Bhagawan Wiswakarma dan
Bhagawan Panyarikan. Asta Kosala Kosali dibuat sebagai pedoman dalam membuat Pura di
Bali. Namun kehidupan masyarakat Bali, utamanya penganut Hindu, tidak bisa dilepaskan dari
aktivitas di Pura. Bahkan di rumahpun ada Pura keluarga yang disebut “Pemerajan” atau
“Sanggah”, minimal Sanggah Kemulan. Oleh sebab itu, Asta Kosala Kosali kemudian
dijadikan acuan dasar dalam setiap membangun apapun di Bali, termasuk pengaturan atau Tata
Kota dan Wilayah.

Dijaman yang mengglobal ini, dimana jaman sudah semakin modern, kita makin
melupakan ajaran tersebut dalam merancang dan membangun suatu bangunan. Kita sebagai
orang yang beragama hindu mestinya melestarikan budaya-budaya dan aturan-aturan agama
hindu seperti panduan membangun sebuah pekarangan rumah menggunakan asta kosala kosali,
walaupun tanah yang tersedia sudah terbatas, setidaknya kita menerapkan inti atau dasar-dasar
dari ajaran tersebut. Jika bukan kita yang beragama hindu sendiri siapa lagi yang akan
melestarikan budaya-budaya tersebut.
Daftar Pustaka
http://popbali.com/mengenal-asta-kosala-kosali-tata-ruang-dan-bangunan-bali/
http://arsitekturtradisionalrumahadatbali.blogspot.com/2012/07/asta-kosala-kosali.html

https://id-id.facebook.com/notes/hindu-bali/asta-kosala-kosali-arsitektur-bali-fengshui-
membangun-bangunan-di-bali/357005384322114

Anda mungkin juga menyukai