Anda di halaman 1dari 9

ARSITEKTUR BALI 2

TAT TWAM ASI

OLEH KELOMPOK 11A


ANGGOTA:

1. I GUSTI AYU VRINDA VANESHVARI (1304205050)


2. KHANSA AATHIRAH EL PUTRI (1304205056)
3. NYOMAN RATIH PRABANDARI (1304205057)
4. CHRISHILDA FLORA MEIRANI (1304205059)

UNIVERSITAS UDAYANA
FAKULTAS TEKNIK
JURUSAN ARSITEKTUR
TAHUN 2014
TAT TWAM ASI

1. PENGERTIAN
Tat twam asi menurut bahasa sansekerta adalah Tat berasal dari kata "Tad" yang
berarti "itu" atau "dia" , Twam berasal dari kata " Yusmad" yang berarti. "kamu" dan
Asi berasal dari kata " As(a) " yang berarti "adalah".
Jadi dapat disimpulkan " Tat Twam Asi " adalah " kamu adalah aku, aku adalah
kamu". Yang dimaksud dari kalimat "aku adalah kamu , kamu adalah aku" adalah jika
kita menyayangi diri sendiri maka secara tidak langsung kita akan menyayangi
lingkungan sekitar kita ( entah manusia, hewan ataupun alam ). Tetapi, jika kita
merusak atau menyakiti lingkungan sekitar kita, maka itu berarti kita menyakiti dan
merusak diri kita sendiri.

2. DASAR PEMIKIRAN (FILOSOFI)

2.1. Prinsip Arsitektur Tradisional Bali

Arsitektur tradisional Bali merupakan ceriman pola pikir, sikap hidup


masyarakat Bali seutuhnya serta berbagai aspek kehidupan tradisional pada umumnya
sehingga arsitektur tradisional Bali mengandung unsur tata nilai dan tata cara dalam
menempatkan diri terhadap lingkungannya. Sebagaimana dalam prinsip ekologi,
hubungan manusia dengan alam dalam berbagai proses kegiatan berpedoman dengan
ajaran agama Hindu yaitu mengenai etika dan ritual. Aspek spiritual ini melandasi
perwujudan karya arsitektur tradisional Bali dalam berbagai fungsi untuk mewadahi
kegiatan manusia. Bertitik tolak dari pemikiran tersebut di atas, arsitektur tradisional
Bali merupakan suatu unsur pengakraban antara manusia dengan alam lingkungannya.
Hal ini terlihat dalam penataan ruang yang berlandaskan pada panca maha butha sebagai
pencerminan wujud makrokosmos (bhuwana agung) dan mikrokosmos (bhuwana alit)

2.2. Filosofi Perwujudan Arsitektur Tradisional Bali

Ungkapan dalam arsitektur tradisional Bali merupakan endapan filosofi atau dasar-
dasar perwujudannya ke dalam bentuk yang lebih nyata. Dasar-dasar filosofi tersebut
meliputi:
A. Pandangan hidup masyarakat (etnik Bali). Merupakan titik tolak dan diyakini
memiliki unsur-unsur pembentuk yang sama pada manusia dan alam, hal ini
menjadikan sebagai aturan/etika bagi manusia Bali untuk menempatkan diri di
dalam lingkungannya.
B. Norma-norma agama maupun kepercayaan pada dasarnya bertitik tolak dari
keyakinan daam kerangka ajaran agama Hindu yaitu Panca Sradha, berupa lima
keyakinan terhahap adanya : Brahman atau Tuhan, Atman atauroh, punarbhawa
atau reinkarnasi, karma phala atau hukum sebab akibat, moksa (ke alam Tuhan).
C. Sikap hidup masyarakat, suatu sikap terhadap sesama manusia, alam dan
makhluk dibawahnya, sikap ini terkandung dalam ajaran Tat Twam Asi. Ketiga
hal ini, pada akhirnya melahirkan konsep perwujudan arsitektur tradisional Bali.

2.3. Konsep Dasar Arsitektur Tradisional Bali

Konsep dasar arsitektur tradisional Bali yang lahir dari endapan filosofi di atas
adalah :

A. Rwa Bhineda, konsep dikotomi atau dua unsur yang bertentangan namun akan
melahirkan suatu keharmonisan dalam perpaduannya.
B. Tri Hita Karana, terdiri dari unsur jiwa, fisik dan tenaga yang terdapat dalam
suatu raga/kehidupan (Parhyangan, Pawongan dan Palemahan).
C. Tri Angga, perwujudan keharmonisan bhuwana agung dan bhuwana alit dalam 3
(tiga) bagian fisik bangunan arah vertikal maupun horizontal.

2.4. Filosofi dalam Tat Twam Asi

Falsafah ruang di Bali berkembang dari ajaran Tat Twam Asi dalam Hindu. Tat
Twam Asi berarti “itu adalah aku”. Inti ajaran Tat Twam Asi adalah menjaga
keharmonisan dalam kehidupan, terhadap segala bentuk ciptaan Tuhan, termasuk dunia
ini.. Dalam hal ini kita menemukan konsep ruang arsitektur dalam arti yang sejati, yakni
konsep ruang yang diilhami oleh kedalaman jiwa manusia yang peka dimensi
kosmologi, yang tumbuh dari penghayatan keagamaan.
Dalam kaitannya dengan ruang, ajaran Tat Twam Asi mengandung makna konsep
ruang dalam keseimbangan kosmos (balance cosmologi). Dalam hal ini ruang makro
(Bhuwana Agung) senantiasa harus seimbang dengan ruang mikro (Bhuwana Alit). Di
dalam makrokosmos, terdapat tiga struktur ruang secara vertikal yang dianalogikan
sebagai tiga dunia (Tribhuwana). Struktur Tri Bhuwana dalam kosmos juga dapat
dianalogikan dengan “litosfir” untuk “alam bawah”, “hydrosfir” untuk “alam tengah”
dan “atmosfir” untuk “alam atas”.

Falsafah Tri Bhuwana kemudian dijabarkan ke dalam konsep Tri Hitakarana, yang
pendekatannya dilakukan ke dalam perencanaan ruang secara makro (macro planing)
dan perencanaan ruang mikro (micro design) menjadi tiga kelompok ruang (Tri
Mandala): ruang sakral – ruang untuk aktivitas manusia – ruang yang bersifat
pelayanan/servis. Sedangkan secara filosofis, Tri Hitakarana sendiri mengandung
pengertian sebagai tiga kutub yang menjadikan suatu kehidupan di bumi, terdiri dari
jiwa (atma), fisik (angga) dan tenaga (kaya).

Lestarinya hubungan harmonis dari filosofi tersebut ditransformasikan ke dalam


ruang-ruang ciptaannya yang diyakini dapat melangsungkan, menyelamatkan,
mensejahterakan kehidupan dan penghidupannya. Dengan demikian, ruang bukan
sekadar isi dan wadah, namun juga sebuah pemaknaan hidup. Tat Twam Asi merupakan
konsepsi analogi mereka terhadap alam dengan segala isi dan wujud karyanya.

3. PENERAPAN

3.1. Penerapan Tat Twam Asi dalam Lingkup Makro

Lingkup makro merupakan cakupan yang paling luas atau besar. Seperti yang sudah
dijelaskan bahwa Tat Twam Asi mengajarkan kita untuk menghormati semua ciptaan
Tuhan. Tidak bisa dipungkiri, bahwa arsitektur sangat erat hubungannya dengan alam
dan lingkungan. Konsepsi Tat Twam Asi yang ada dalam Arsitektur Bali prinsipnya
berusaha menjaga keseimbangan dan keharmonisan alam semesta beserta isinya
(bhuana agung dan bhuana alit). Jadi, penerapan konsepsi Tat Twam Asi dalam skala
Makro itu dengan mencegah kerusakan lingkungan dan menjaga lingkungan agar tetap
lestari, dengan cara :
 Menghindari penggunaan tanah produktif sebagai lahan pembangunan

Gbr 1. Lahan Produktif Gbr 2. Penyalahgunaan Lahan Produktif

 Berusaha mendirikan bangunan menggunakan material lokal dan ramah


lingkungan

Gbr 3. Ilalang sebagai bahan lokal


 Jika pembangunan dilakukan di lahan yang terjal atau tebing, hindari
penggunaan teknik cut and fill, karena dapat merusak alam serta ekosistem yang

Gbr 4. Lahan terjal atau tebing


hidup disana. Cara yang paling memungkinkan untuk dilakukan adalah dengan
membuat tipologi bangunan panggung serta bangunan yang dibuat mengikuti
kontur tanah sehingga dapat menghindari perusakan struktur tanah
 Melakukan penghijauan dan reboisasi hutan yang gundul, dll.

3.2. Penerapan Tat Twam Asi dalam Lingkup Meso

Cakupan lingkup meso ini lebih sempit dari


lingkup makro. Contoh penerapan konsepsi Tat
Twam Asi dalam lingkup meso salah satunya
pemukiman di desa Penglipuran.
Desa Penglipuran menerapkan konsepsi Tat
Twam Asi (Harmoni) dalam pola pemukiman
desanya bahkan sistem sosial masyarakatnya. Pola
desa yang terbentuk tak lepas dari kepercayaan yang
dianut masyarakat Penglipuran yang dibawa dari
leluhurnya, yaitu Desa Buyung Gede (Dwijendra,
2009:98). Pola pemukiman yang diterapkan adalah

Gbr 5. Pola Pemukiman pola linier (linier pattern) dengan struktur rumah
berderet. Karena sistem pemukimannya tidak
memusat dan rumahnya saling berhadapan.
Penglipuran merupakan desa yang tidak terkena
pengaruh Majapahit karena letak desanya
berjauhan dengan pusat kerajaan saat itu
(Dwijendra, 2009:92). Sehingga masyarakatnya
menganut sistem legaliter, kedudukannya sama
dan tidak berkasta. Setiap orang punya

Gbr 6. Desa Adat Penglipuran kesempatan untuk menjadi pemimpin (Ulupad).


(Sueca, penjelasan kuliah ATB 1, 2014).
Persamaan derajat dan tidak membeda-bedakan inilah yang menjadi poin penting dalam
konsepsi Tat Twam Asi.
Falsafah hubungan selaras antara alam
dengan manusia, kearifan manusia dalam
mendayagunakan alam sehingga terbentuk
ruang kehidupan yang seimbang antara bhuana
agung dan bhuana alit yang diwujudkan dalam
konsepsi turunan dari konsepsi Tat Twam Asi,
yaitu Tri Hita Karana. Masyarakat Penglipuran Gbr 7. Desa Adat Penglipuran
menggunakan bahan alam yang tersedia di
alam sekitarnya sebagai bahan material dalam membangun bangunan mereka. Selain itu
bentuk-bentuk bangunannya sangat harmonis dengan lingkungan. Keseragaman dan
keselarasan bahan dan bentuk inilah yang menjadi ciri khas desa Penglipuran.

3.3. Penerapan Tat Twam Asi dalam Lingkup Mikro

Ruang lingkup mikro merupakan yang terkecil, untuk contoh pada ruang lingkup
mikro ini kami mengambil contoh rumah tinggal orang bali. menurut kepercayaan
masyarakat hindu bali, bangunan memiliki jiwa bhuana agung (alam makrokosmos)
sedangkan manusia yang menempati bangunan adalah bagian dari buana alit
(mikrokosmos). antara manusia dan bangunan yang ditempati harus harmonis, agar bisa
mendapatkan keseimbangan antara kedua alam tersebut, oleh sebab itu pembangunan
rumah umat hindu di bali pada tahap awal membuka lahannya, tahap mulai
pembangunan rumah sampai pada saat selesai tahap pembangunannya selalu dibuatkan
upacara yang bertujuan untuk mohon ijin dan meminta restu kepada dewa agar
bangunan itu memancarkan aura positif untuk penghuninya kelak. adapun beberapa
upacara yang harus dilakukan saat membangun rumah bali adalah:

1. Upacara Nyapuh Sawah dan Tegal.


Apabila ada tanah sawah atau tegal
dipakai untuk tempat tinggal.
2. Upacara Pangruwak Bhuwana dan
Nyukat Karang, Nanem Dasar
Wewangunan.
Upakaranya Ngeruwak Bhuwana adalah
sata/ ayam berumbun, penek sega manca
warna.
Upakara Nanem Dasar: Merupakan
upacara meletakan batu atau material

bangunan yang pertamakali akan di Gbr 8: Upacara Nanem Dasar


kerjakan
3. Upakara Pemelaspas.
Berasal dari kata “paspas” artinya membersihkan atau membuang yang tidak
perlu, makna nya adalah membersihkan material bangunan sehingga tidak lagi
dianggap sebagai material, melainkan suatu kesatuan bangunan.

Gbr 9. Upacara Melaspas

4. Upakara Mapralina
Upacara yang dilakukan ketika pembongkaran/peruntuhan bangunan, Di tiap
pelinggih, selain pejati, agar ada ‘Daksina Pelinggih’ yaitu daksina biasa yang
dibungkus kain putih/ kuning. Fungsinya sebagai stana Ida Bhatara agar
nantinya dituntun ke tempat yang baru, atau dihanyutkan ke segara.

Oleh karena situasi dan kondisi di suatu tempat berbeda, maka upacara dan
upakara tersebut di atas disesuaikan dengan kondisi setempat
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2012. Mengenal Arsitektur Nusantara Khas Panglipuran Bali. Tersedia pada
http://archiholic99danoes.blogspot.com/2012/02/mengenal-arsitektur-nusantara-
khas.html. Diakses pada tanggal 14 November 2014.
Artha, I Made, 2010. Jurnal Anala volume 1 nomor 6 th 2010: Pengaruh Kebudayaan
Cina Pada Arsitektur Tradisional Daerah Bali (Kajian Kepustakaan). Tersedia
pada : http://vol1no6tahun2010.wordpress.com/ . Diakses pada tanggal 7
November 2014.
Dwijendra, Ngakan Ketut Acwin. 2009. Arsitektur dan Kebudayaan Bali Kuno.
Denpasar : Udayana University Press.
Juliana, Pande. 2012. Tri Hita Karana dan Tat Twam Asi. Tersedia pada :
http://pandejuliana.wordpress.com/2012/01/20/tri-hita-karana-dan-tat-twam-asi/.
Diakses pada tanggal 8 November 2014.
Raharja, I Gede Mugi. 2009. Fasafah dan Konsep Ruang Tradisional. Tersedia pada
http://www.isi-dps.ac.id/berita/falsafah-dan-konsep-ruang-tradisional-bali .
Diakses pada tanggal 14 November 2014.
Salain, Rumawan. 2005. Menyiasati Bangunan terhadap Bencana Alam (2). Gempa,
Bangunan Tradisi pun Banyak yang Kokoh. Tersedia pada
http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2005/4/3/ars1.html. Diakses pada
tanggal 10 November 2014

Anda mungkin juga menyukai