Anda di halaman 1dari 19

KONSEP SANGGAH KAMULAN BAGI MASYARAKAT BALI

SEBUAH ANALISIS FOLKLOR


Oleh:
Pande Kadek Juliana,S.S.

BAB I PENDAHULUAN

Pada dasarnya masyarakat Bali yang terdiri dari kumpulan individu-individu. Memiliki
bentuk-bentuk kebudayaan yang sangat menarik untuk digali dan dikaji, salah satunya adalah adanya
bentuk bangunan-bangunan tradisional Bali yang dari dulu sampai sekarang masih di pakai dan
dilestarikan oleh masyarakat Bali. Masyarakat Bali yang dijadikan objek penelitian dalam
kesempatan ini adalah orang-orang Bali yang tinggal di Bali yang beragama Hindu. Kehidupan
masyarakat tersebut masih dipengaruhi oleh suatu kepercayaan-kepercayaan yang berasal dari
folklore; apakah itu mite, dongeng, legenda atau ekspresi budaya (kebiasaan dari turun temurun).
Salah satu yang menarik adalah ekspresi budaya. Pengaruh kebudayaan Hindu yang tidak
dapat lepas dari masyarakat Hindu Bali yakni adanya bangunan-bangunan tradisional suci umat
Hindu seperti kepercayaan masyarakat tentang Sanggah Kamulan. Kepercayaan rakyat, atau yang
sering disebut dengan “takhyul”, adalah kepercayaan yang oleh orang berpendidikan Barat dianggap
sederhana bahkan pander, tidak berdasarkan logika, sehingga secara ilmiah tidak dapat
dipertanggung jawabkan (Dananjaya, 1984: 153).

Hampir setiap karang perumahan di Bali, pada bagian hulu atau udiknya terdapat
sebuah “sanggah” yang umum disebut “Sanggah kamulan” untuk golongan tertentu disebut juga
“Sanggah Kemimitan”. Karena sanggah tersebut selalu letaknya pada udik atau hulu dari karang,
maka disebut juga “Panghulun Karang”.
Sampai saat ini masih saja ada suatu keraguan, tentang siapa sesungguhnya yang dipuja pada
sanggah itu. Apa sebenarnya fungsinya dan pengertian Sanggah Kamulan/ Kamimitan itu. Apakah
makna dan nilai-nilai yang terkandung dalam kepercayaan atau keyakinan memuja Sanggah
Kemulan. Permasalahan tersebut perlu dikaji dan dipecahkan untuk menghilangkan kekaburan
pengertian dikalangan umat Hindu. Dari beberapa cerita masyarakat yang ada dan sumber pustaka
yang pasti, penulis juga ingin mencoba meneliti tentang Sangah Kamulan ini. Sampai saat ini,
memang belum banyak ditemukan tulisan ilmiah yang khusus mengungkapkan tentang Sanggah
Kamulan itu.
Untuk memperoleh jawaban, maka metode yang digunakan ialah metode penelitian sastra
yaitu mencari obyek dimasyarakat dengan teknik merekam dan mencatat data yang diberikan
informan juga metode observasi dengan mengamati keberadaan Sangah Kamulan. Selain itu juga
didukung dengan metode kepustakaan, yakni mencari informasi topik yang dibahas dengan
mengambil sumber dari beberapa buku dan lontar sebagai pedoman, dengan menggunakan teknik
pencatatan. Populasi yang dipilih adalah seluruh dengan cara acak tanpa membedakan asal informan,
dan dipilih sampel beberapa orang yang mengetahui dan mengerti tentang keagamaan dan bangunan
suci. Teori yang melandasi adalah:
1. Teori fungsi oleh koentjaraningrat; bahwa ada hubungan sesuatu hal dengan tujuan
tertentu (1981: 87).

2. Teori dorongan untuk menentukan suatu sikap mencari rasa aman sebagai kebutuhan
manusia ( Susanto, 1983: 178).
3. Teori survival bahwa kebudayaan orang primitip masih bisa tetap hidup dijaman
peradaban modern ( Dananjaya, 1984: 58).

4. Teori sympathetic magic menurut Frazer bahwa ada hubungan erat yang sebenarnya
antara benda-benda tak ada hubungannya.

5. Lalu timbul kepercayaan bahwa tahyul masih dapat hidup berdampingan dengan ilmu
pengetahuan dan agama.

Demikian teori yang melandasi sehingga tujuan penelitian untuk mengetahui sumber budaya
daerah yang bersumber dari folklor khususnya kepercayaan rakyat. Sehingga hasilnya nanti dapat
menggugah dan menambah pengetahuan masyarakat tentang Sanggah Kamulan selain itu juga
masyarakat mengetahui bahwa kepercayaan-kepercayaan masyarakat mengandung konsep kehidupan
yang universal, disamping ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan jangkauan yang akan
disampaikan adalah: pengertian Sang Hyang Kemulan, sejarah dan jenisnya, fungsi sanggah
kemulan, makna dan nilai yang terkandung.

BAB II
PENGERTIAN SANG HYANG KAMULAN

2.1 Dasar Hukum Pendirian Sanggah Kamulan.


Secara etimologi kata, Sanggah Kamula terdiri dari dua buah kata yaitu Sanggah dan
Kamulan. Sanggah adalah perubahan ucapan dari pada “sanggar”, arti sanggar menurut pengertian
lontar keagamaan di Bali adalah tempat memuja. Misalnya dalam lontar Sivagama disebutkan “nista
sapuluhing saduluk sanggar pratiwi wangun” (Rontal Sivagama, lembar 328). Kamulan berasal dari
kata “mula” (samkrit), yang berarti; akar, umbi, dasar, permulaan, asal. Awalan ka-, dan akhiran –
an menunjukkan tempat pemujaan asal atau sumber. Sanggah Kamulan adalah tempat pemujaan asal
atau sumber, Hyang Kamulan atau Hyang Kamimitan. Kamimitan berasal dari kawa Wit, (huruf m
adalah sekeluarga huruf W). Kamimitan adalah lain ucapan dari kata kawiwitan, berasal dari kata
wit, yang berarti asal atau sumber pula (Wikarman, 1998: 2). Dengan pengertian ini sebenarnya kita
sudah dapat menarik atau menyimpulkan bahwa yang dipuja pada Sanggah Kamulan itu tidak lain
yang merupakan sumber atau asal dari mana manusia itu ada.
Lalu muncul suatu pertanyaan, siapakah yang dimaksud dengan Hyang Kamulan atau
kawitan yang merupakan asal manusia itu? Inilah yang perlu kita telaah secara mendalam dalam
uraian selanjutnya. Namun sebelumnya marilah kita ungkapkan dulu dasar hukum dari pendirian
Sanggah Kamulan itu. Dalam lontar Sivagama kita jumpai suatu uraian tentang pendirian Hyang
Kamulan. Kutipannya sebagai berikut;
“……bhagawan manohari, Sivapaksa sira, kinwa kinon de Sri Gondarapati, umaryanang
sadhayangan, manista madya motama, mamarirta swadarmaning wong kabeh. Lyan swadadyaning
wang saduluking wang kawan dasa kinon magawe pangtikrama. Wwang setengah bhaga rwang
puluhing saduluk, sanggarpratiwi wangunen ika mwang kamulan panunggalanya sowing……”

Arti kutipan tersebut ;


“….. Bhagawan Manohari pengikut Siva, beliau disuruh oleh Sri Gondarapati, untuk membangun Sad
Khayangan Kecil, sedang maupun besar. Yang merupakan beban kewajiban orang semua. Lain
kewajiban sekelompok orang untuk empat pulih keluarga harus membangun panti. Adapun setengah
bagian dari itu yakni 20 keluarga, harus membangun ibu. Kecilnya 10 keluarga pratiwi harus
dibangun, dan kamulan satu-satunya tempat pemujaan (yang harus dibangun) pada masing-masing
pekarangan…..”

Dengan kutipan di atas jelaslah bagi kita, bahwa setiap keluarga yang menempati karang
perumahan tersendiri wajib membangun Sanggah Kamulan. Jadi lontar Sivagama inilah yang
merupakan dasar hukum bagi pendirian Sanggah Kamulan itu.
Lontar Sivagama adalah merupakan Pustaka suci bagian Smrti dari Sekte Siva. Oleh karena
itu ajaran Siva seperti yang tercantum pada lontar Sivagama itu wajib diikuti oleh pengikutnya.

2.2 Hyang Kamulan adalah Sanghyang Triatma


Kamulan atau kawitan adalah merupakan sumber atau asal manusia itu sendiri. Lalu siapakah
yang dimaksud sumber atau asal itu? Siapakah yang menyebabkan adanya manusia atau jatma itu?
Manusia umumnya dalam bahasa Bali halus disebut “jatma” yang berasal dari akar kata Ja, yang
artinya lahir, dan atma berarti roh. Jadi jatma berarti roh yang lahir. Dengan ungkapan itu maka
sesungguhnya manusia ada karena adanya atma yang lahir, dengan demikian atmalah yang menjadi
sumber adanya manusia itu sesungguhnya.
Hal ini akan sesuai benar dengan pernyataan lontar-lontar Gong Wesi, Usana Dewa, tattwa
kepatian dan Purwa bhumi kamulan. Lontar-lontar tersebut menyebutkan bahwa yang bersthana pada
Sanggah Kamulan adalah Sanghyang Triatma atau tiga aspek dari atma itu sendiri.
Dalam lontar Usana Dewa disebutkan :
“ring kamulan ngaran ida sang hyang atma, ring kamulan tengen bapa ngaran sang paratma, ring
kamulan kiwa ibu ngaran sang sivatma,ring kamulan tengah ngaran raganya, tu brahma dadi meme
bapa, meraga sang hyang tuduh….” (Rontal Usana Dewa, lembar 4)

Yang artinya :
”Pada sanggah Kamulan beliau bergelar Sang Hyang Atma, pada ruang kamulan kanan ayah,
namanya Sang Hyang Paratma. Pada kamulan kiri ibu, disebut Sivatma. Pada kamulan ruang tengah
diri-Nya, itu Brahma, menjadi purusa pradana, berwujud Sang Hyang Tuduh (Tuhan yang
menakdirkan).”

Demikian juga lontar Gong Wesi, kita jumpai kutipan yang hampir sama dengan yang
tersurat pada Usana Dewa.
Kutipannya adalah sebagai berikut :
“….. ngaran ira sang atma ring kamulan tengen bapanta, nga, sang paratma, ring kamulan kiwa
ibunta, nga, sang sivatma, ring kamulan madya raganta, atma dadi meme bapa ragane mantuk ring
dalem dadi sanghyang tunggal, nungalang raga….” (Rontal Gong Wesi, lembar 4b).

Artinya :
“…… nama beliau sang atma, pada ruang kamulan kanan bapakmu, yaitu Sang Paratma, pada ruang
kamulan kiri ibumu, yaitu Sang Sivatma, pada ruang kamulan tengah adalah menyatu menjadi
Sanghyang Tunggal menyatukan wujud”

Dari dua kutipan lontar di atas jelaslah bagi kita, bahwa yang bersthana pada sanggah
kamulan itu adalah Sanghyang Triatma, yaitu; Paratma yang diidentikkan sebagai ayah (purusa),
Sang Sivatma yang diidentikkan Ibu (predana) dan Sang Atma yang diidentikkan sebagai diri sendiri
(roh individu). Yang hakekatnya Sanghyang Triatma itu tidak lain dari pada Brahma atau Hyang
Tunggal/ Hyang Tuduh sebagai pencipta (upti).
2.3 Hyang Kamulan adalah Roh suci Leluhur
dalam lontar Purwa Bhumi Kamulan disebutkan bahwa atma yang telah disucikan yang
disebut Dewapitara, juga disthanakan di sanggah kamulan, seperti disebutkan :
“riwus mangkana daksina pangadegan Sang Dewa Pitara, tinuntun akena maring sanggah kamulan,
yan lanang unggahakena ring tengen, yan wadon unggahakena maring kiwa, irika mapisan lawan
dewa hyangnya nguni……” (Purwa Bhumi kamulan, lembar: #).
Yang artinya :
“Setelah demikian daksina perwujudan roh suci dituntun pada Sanghyang Kamulan, kalau bekas roh
itu laki naikkan pada ruang kanan, kalau roh suci itu bekas perempuan dinaikkan di sebelah kiri,
disana menyatu dengan leluhurnya terdahulu.”

Dalam rontal Tatwa Kapatian disebutkan bahwa sanghyang atma (roh) setelah mengalami
proses upacara akan bersthana pada sanggah kamulan sesuai dengan kadar kesucian atma itu sendiri.
Atma yang masih belum suci, yang hanya baru mendapat “tirtha pangentas pendem” atau upacara
sementara (ngurug) juga dapat tempat pada Sanggah Kamulan sampai tingkat “batur kamulan”,
seperti disebutkan :
“Mwah tingkahing wong mati mapendem, wenang mapangentas wau mapendem, phalanya polih
lungguh Sang Atma munggwing batur kamulan” (Rontal Tattwa Kapatian, 1a. 1b).

Artinya :
“Dan prihalnya orang mati yang ditanam, harus memakai tirtha pangentas baru diurug, hasilnya
mendapatkan tempat Sang Atma pada Batur Kamulan”

Dari kutipan-kutipan di atas jelaslah bagi kita bahwa Hyang Kamulan yang dipuja pada
Sanggah Kamulan adalah juga roh suci leluhur, roh suci Ibu dan Bapak ke atas yang merupakan
leluhur lencang umat yang telah menyatu dengan Sang Penciptanya, yang dalam lontar Gong Wesi/
Usana Dewa sebagai Hyang Tuduh atau Brahma, yang merupakan asal muasal adanya manusia di
dunia ini.

2.4 Hyang Tri Murti Dewanya Sanghyang Tri Atma


Kalau kita renungkan lebih mendalam, tentang Sanghyang Tri Atma seperti disebutkan pada
Gong Wesi dan Usana Dewa, maka pengertian Hyang Kamulan sesungguhnya akan lebih tinggi lagi.
Karena telah disebutkan bahwa Penyatuan Sanghyang Tri Atma adalah hyang Tuduh/Tunggal yang
menjadi Brahma sebagai Sang Pencipta.
Di samping itu, ketiga tingkatan Sanghyang Tri Atma itu juga ditinjau dari segi filsafat Siwa
Tattwa, maka “atma” adalah yang menjadikan hidup pada mahkluk. Sivatma adalah sumber atma di
alam nyata (sekala) ini. Sedangkan Paratma adalah sumber atma (roh) di alam niskala. Ia adalah atma
tertinggi. Ia adalah Tuhan menurut sistim yoga. Ia adalah identik dengan Paramasiva dalam Siva
Tattwa. Dalam sistim wedanta ia adalah Tuhan Nirguna Brahma.
Dalam mantram “Sapta Omkaratma” disebutkan yang dimaksud dengan Tri Atma, adalah:
Am, Atma dewanya Brahma, Antaraatma dewanya Wisnu, dengan wijaksaranya Um, dan Paramatma
dewanya adalah Iswara dengan wijaksaranya Mang. Ketiga dewa tersebut dalam sekte Siwa Sidhanta
umum disebut Tri Murti. Ketiga dewa tersebut adalah merupakan roh alam semesta. Sebagai roh
(atma) alam semesta ia adalah juga bergelar Tri Purusa atau Trilingga.
Sesungguhnya yang merupakan jiwa (atma) atau roh dari jagat kita ini termasuk mahkluk
hidup utamanya manusia adalah beliau yang bergelar Tri Murti., Tri Purusa dengan wujud
Trilingganya. Sebagai roh (atma) dengan sendirinya beliau itu adalah Ida Hyang Widhi, yang
didalam penunggalan-Nya adalah Ida Hyang Widhi, yang di dalam lontar Usana Dewa dan Gong
Wesi disebut Hyang Tuduh/ Tunggal atau Brahma sebagai pencipta alam dengan isinya termasuk
manusia.
Siwa adalah Tuhan dalam dimensi imanen (sakala), Sadasiwa adalah Tuhan dalam dimensi
sakala-niskala (Ardenareswara), sedangkan Paramasiwa adalah Tuhan dalam dimensi niskala
(transcendental).
Siwa dalam ketiga wujud di atas, dalam lontar Siwagama digelari Batara Guru, karena beliau
(Siwa) menjadi “Dang Guru ing Iswara” di jagat kita ini. Konon gelar Batara Guru dihaturkan oleh
murid beliau terpandai yakni Dewa Surya, setelah Dewa Surya dianugerahi gelar Siwa Raditya oleh
Siwa sendiri sebagai Dang Guru (Wikarman, 1998: 12).
Oleh karena Siwa beraspek tiga, sebagai Tri purusa maka Guru pun ada tiga aspek pula, yakni
Guru Purwam, Guru Madyam, Guru Rupam. Guru purwam, guru dalam dimensi niskala, Guru
Madyam, guru dalam dimensi sakala-niskala, sedangkan Guru Rupam, adalah guru dalam dimensi
sakala. Tri Guru, dalam mantram “ngaturang bakti ring kawitan” juga merupakan objek yang dipuja,
seperti dinyatakan :
“Om Guru Dewa Guru Rupam
Guru Madyam Guru Purwam
Guru Pantaram dewam
Guru Dewa Sudha nityam”

Artinya:
“Om Guru Dewa, yaitu Guru Rupam (sakala), Guru Madya (sakala-niskala) dan Guru Purwa
(niskala) adalah guru para dewa. Dewa Guru Suci selalu”

Jadi melihat uraian dan kutipan mantra di atas, jelaslah bagi kita bahwa yang dipuja pada
Sanggah Kamulan pada hakekatnya adalah Tuhan/ Hyang Widhi, baik sebagai Hyang Tri Atma, yang
sebagai roh (atma) alam semesta dengan isinya (jagat) yang dewanya adalah Brahma, Wisnu dan
Iswara, yang merupakan aspek Tuhan dalam bentuk horizontal dan Siwa, Sada Siwa, Parama Siwa,
aspek Tuhan dalam bentuk vertikal (Tri Purusa). Sebagai Tri Purusa beliau juga disebut Guru Tiga.
Oleh karenanya umum juga menyebutkan bahwa Sanggah Kemulan “sthana” Bhatara Guru/Hyang
Guru.
Dengan demikian pengertian Kamulan atau Kawitan sesungguhnya mengandung pengertian
yang sangat tinggi, yang merupakan asal muasal manusia yang tidak lain dari Ida Sang Hyang Widhi
sendiri dengan semua manifestasinya.

BAB III
FUNGSI SANGGAH KAMULAN

1. Tempat Pemujaan Ida Hyang Widdhi


Dimuka sudah dijelaskan, bahwa pengertian Hyang Kamulan, adalah Sanghyang Tri Atma
yang panunggalannya adalah Hyang Tuduh atau Hyang Tunggal. Sanghyang Tri Atma yakni : Atma,
Sivatma dan Paratma adalah Tuhan, dalam manifestasinya sebagai Roh. Menurut sistim Yoga, Ia
adalah identik dengan Tri Purusa (Siva, Sadasiva dan Paramasiva) menurut filsafat Siva Sidhanta dan
sesuai pula dengan Brahma, Visnu, Isvara. Ia juga sesuai dengan fungsi Siva sebagai Guru. Oleh
karenanya Hyang Kamulan adalah juga Bhatara Guru, yang berdimensi tiga pula, yaitu Guru Purwam
(Paramasiva), Guru Madyam (Sadasiva) dan Guru Rupam (Siva). Jadi dengan demikian
sesungguhnya yang dipuja pada Sanggah Kamulan adalah Ida Hyang Widhi dalam wujud sebagai
Sanghyang Tri Atma, Sanghyang Tri Purusa (Bhatara Guru) dan Sanghyang Tri Murti.
2. Tempat Memuja Leluhur
Dalam lontar Purwabhumi kamulan dinyatakan bahwa Sanggah Kamulan adalah tempat
Ngunggahang Dewapitara,
“… iti kramaning anggunggahaken pitra ring kamulan …”
(Rontal Purwabhumi Kamulan, lembar 53).
Ngunggahang Dewapitara pada kamulan dimaksudkan adalah untuk “melinggihkan” atau
mensthanakan” dewa pitara itu.
Yang dimaksud dengan dewa pitara adalah : roh leluhur yang telah suci, yang disucikan
melalui proses upacara Pitra Yadnya, baik Sawa Wedana maupun Atma Wedana.
Ngunggahang Dewa Pitara pada Sanggah Kamulan adalah mengandung maksud
mempersatukan dewa pitara (roh leluhur yang sudah suci) kepada sumbernya (Hyang Kamulan).
Kalimat “irika mapisan lawan dewa Hyangnia nguni” mengandung pengertian bersatunya atma yang
telah suci dengan sumbernya, yakni Sivatma (ibunta) dan Paratma (ayahta). Hal ini adalah
merupakan realisasi dari tujuan akhir Agama Hindu yakni mencapai moksa (penyatuan Atma dengan
paratma).
Pemikiran tersebut didasarkan atas aspek Jnana kanda dari ajaran Agama Hindu.
Dari segi susila (aspek etika) ngunggahang Dewa Pitara pada Sanggah Kamulan, adalah
bermaksud mengabdikan/melinggihkan roh leluhur yang telah suci pada Sanggah Kamulan untuk
selalu akan dipuja, mohon doa restu dan perlindungan.
Atma yang dapat diunggahkan pada Sanggah Kamulan adalah Atma yang telah disucikan
melalui proses upacara Nyekah atau mamukur seperti dinyatakan dalam rontal :
“… iti kramaning ngunggahakan pitra ring kamulan, ring wusing anyekah kurung muah mamukur, ri
tutug rwa wales, dinanya, sawulan pitung dinanya…”.
Artinya :
“… Ini perihalnya menaikkan dewa pitara pada Kamulan, setelah upacara nyekah atau mamukur,
pada dua belas harinya, atau 42 harinya…”.

Jadi upacara ngalinggihang Dewapitara adalah merupakan kelanjutan dari upacara nyekah
atau mamukur itu. Tetapi karena pitara sudah mencapai tingkatan dewa, sehingga disebut
Dewapitara, maka upacara ini tidak tergolong pitra yadnya lagi, melainkan tergolong Dewayadnya.
Dari uraian di atas itu, jelaslah bagi kita, bahwa Sanggah Kamulan disamping untuk memuja Hyang
Widhi, juga tempat memuja roh suci leluhur yang telah menunggal dengan sumbernya (Hyang
Kamulan, atau Hyang Widdhi).
3. Fungsi Taksu
Pada areal Sanggah Kamulan, ada sebuah pelinggih yang penting lagi disebut “Taksu”. Kata
taksu sudah merupakan bahasa baku dalam kosa kata Bali, yang dapat diartikan sebagai daya magis
yang menjadikan keberhasilan dalam segala aspek kerja, misalnya para seniman, seperti pragina,
balian, dalang dan lain-lain, yang berhasil disebut “mataksu”.
Dan dalam ajaran Tantrayana, taksu itu bisa diartikan sama dengan “sakti” atau “Wisesa”.
Dan yang dimaksud dengan sakti itu adalah simbul dari pada “bala” atau kekuatan. Dalam sisi lain
sakti juga disamakan dengan energi atau “kala”.
Dalam Tattwa, daya atau sakti itu tergolong “Maya Tattwa”. Energi dalam bahasa Sanskrit
disebut “prana” adalah bentuk ciptaan yang pertama dari Brahman. Dengan mempergunakan “prana”
barulah muncul ciptaan berikutnya (Panca mahabhuta). Dengan digerakkan oleh “prana” kemudian
terciptalah alam semesta termasuk mahluk isinya secara evolusi. Tuhan Nirguna Brahma atau
Paramasiva dalam sistem Siva Tattwa, memanfaatkan energi atau sakti itu, sehingga Ia menjadi
Maha Kuasa, memiliki Cadu Sakti dengan asta Aisvaryanya. Dalam keadaan yang demikian itu, Ia
adalah Maha Pencipta, Pemelihara, dan Pelebur, yang dalam Wrhaspati Tattwa disebut Sadasiva
Tattwa dan di dalam Filsafat Vedanta Ia disebut “Saguna Brahma”.
Menyimak dari uraian di atas, dapatlah disimpulkan bahwa kalau Purusa (Sanghyang Tri
Purusa) dang Sanghyang Tri Atma kita puja melalui palinggih kamulan, maka Sakti atau Mayanya
dipuja melalui “Taksu”. Dalam upacara “nyekah” disamping adanya “sekah” sebagai perwujudan
Atma yang akan disucikan, juga kita mengenal adanya “Sangge”. Menurut penjelasan Ida Pedanda
Putra Manuaba (almarhum). Sangge itu adalah simbul dari “Dewi Mayasih”. Siapakah Dewi
Mayasih itu? Bukankah ia mewakili unsur “Maya Tattwa” (pradana atau sakti) itu? Yang juga
bersama-sama Atma, dalam upacara Nyekah ikut disucikan. Dalam ajaran “kandapat” kita mengenal
adanya saudara empat, yang mana setelah melalui proses penyucian saudara empat itu dikenal
dengan sebutan: Ratu Wayan Yangkeb Langit, Ratu Ngurah Teba, Ratu Gede Jalawung, Ratu
Nyoman Sakti Pangadangan. Ratu Nyoman Sakti Pangandangan itulah dianggap dewaning taksu
(Wikarman, 1998 : 19).
Kemungkinan dalam upacara Ngunggahang Dewapitara, unsur maya (sakti)nya yang telah
ikut disucikan juga disthnakan pada palinggih taksu. Disinilah unsur sakti dari atma individu
“menyatu dengan unsur sakti” dari Hyang Tripurusa, dan Atma itu sendiri menyatu dengan Hyang
Tripurusa, pada Kamulan itu. Sehingga dengan demikian utuhlah pemujaan pada Sanggah Kamulan,
adalah pemujaan Tuhan Tripurusa, dengan sakti (maya)nya.
Khusus palinggih Taksu, adalah berfungsi untuk memohon “kesidhian” atau keberhasilan
untuk semua jenis profesi seperti seniman, pedagang, petani, pemimpin masyarakat dan
sebagainya.

BAB IV
SEJARAH DAN JENISNYA

Sanggah Kamulan, menurut Tattwanya, jelas bersumber dari ajaran Hindu, aspek Jnana
kanda dan etikanya. Aspek Jnana kanda adalah bersumber dari sistim Yoga, Wedanta, Samkhya, dan
Siva Sidhanta. Hal ini sudah kita uraikan di muka, pada bab III.
Sedangkan latar belakang etiknya, adalah kewajiban (swadharman) dari keturunan atau
“pretisentana” untuk selalu memuja leluhurnya. Konsep pemujaan leluhur yang dilakukan oleh umat
Hindi di Indonesia khususnya Bali adalah bersumber dari ajaran agama Hindu. Pustaka suci agama
Hindu banyak sekali menguraikan tata cara pemuhaan leluhur, yang lazim disebut “sraddha”.
Dalam buku Griha Sutra, disebutkan bahwa pada setiap rumah tangga Hindu, terdapat tempat
pemujaan leluhur yang disebut “Wastospati”. Upacara pemujaannya disebut “pinda pitara yajna”.
Alam Dharmasastra, tatacara pemujaan leluhur dengan panjang lebar diuraikan pada bab III.
Demikian juga pada buku-buku Purana cerita Itihasa, baik Ramayana maupun Mahabarata.
Dengan adanya data-data pasti tentang adanya konsep pemujaan leluhur dalam ajaran Agama
Hindu, ini berarti pendapat para pakar kepurbakalaan tentang pemujaan leluhur dalam masyarakat
Hindu di Bali, yang dikatakan bersumber dari konsep pemikiran pra Hindu dapat di kesampingkan.
Jadi dengan demikian adanya Sanggah Kamulan sebagai tempat leluhur, dalam rumah tangga
di Bali, adalah setua masuknya Agama Hindu di Indonesia.
Sedangkan kata “Kamulan” itu sendiri, sebagai sebutan tempat suci, telah disebut-sebut
dalam Prasasti Sri Kahulunan pada tahun 842 AD yang kutipan kalimatnya sebagai berikut :
“Tatkala Sri Kahulunan manusuk warna I trupurussan watak kahulunan simaning kamulan bhumi
sembara”.
(Wikarman, 1998 : 22)
Kamulan bhumi sambara dimaksudkan adalah candi Borobudur, yang menurut De Casparis
merupakan pemujaan 14 tingkat leluhur dari raja Cailendra.

Nama Kamulan sebagai tempat suci juga kita dapati dalam prasasti Siman A-126 yang
menyebutkan “Sanghyang Dharma Kamulan i paradah”. Demikian juga dalam prasasti Klungkung
A-439 ada juga disebut Kamulan. Bangunan tempat suci yang bernama kamulan telah ada kurang
lebih 1.000 tahun yang lalu. Di Bali sebagai pemujaan dalam setiap rumah tangga digariskan dalam
lontar Sivagama. Diperkirakan lontar tersebut adalah merupakan ajaran Mpu Kuturan. Jadi dengan
demikian dapat diperkirakan Mpu Kutuanlah yang mengajarkan agar setiap karang perumahan bagi
umat Hindu di Bali, didirikan Sanggah Kamulan.
Jenis Sanggah Kamulan
Umat Hindu di Bali menurut dimensi dan kondisinya, membedakan Sanggah Kamulan
menjadi beberapa jenis antara lain :
a. Turus Lumbung, adalah Sanggah Kamulan darurat, karena satu dan lain hal belum mampu
membuat yang permanent. Bahannya dari turus kayu dapdap (kayu sakti). Fungsinya hanyalah untuk
ngelumbung atau ngayeng Hyang Kamulan atau Hyang Kawitan. Satu tahun setelah membuka
karang baru diharapkan sudah membangun Kamulan yang permanen.
b. Sanggah Penegtegan, adalah kamulan yang berfungsi hanya sebagai tempat negtegang (membuat
ketentraman) dengan memuja Hyang Kawitan bagi mereka yang baru berumah tangga. kamulan
sejenis ini banyak kita jumpai di daerah Kabupaten Bangli bagian atas. Setiap mereka yang baru
kawin diwajibkan membangun sebuah Sanggah rong tiga, sehingga dalam satu pekarangan akan
berdiri beberapa yang telah berumah tangga.
c. Kamulan jajar.
Sesuai dengan namanya, kamulan ini memiliki dua saka (tiang) yang berjajar dimuka yang menancap
langsung pada bebaturan (palih batur).
Disamping itu, Kamulan jenis ini, disamping mempunyai ruang tiga yang berjajar, juga terdiri dari
tiga bagian, yaitu : bebaturan, ruang lepitan, dan ruang gedong sampai atapnya. Ruang lepitan
letaknya dibawah rong tiga yang berjajar itu. Jadi kalau disimpulkan Kamulan jajar ini terdiri dari
jajar horisontal dan jajar vertikal, sebagai simbolis dari Hyang Murti dan Tri Purusa.
Apa fungsi ruang lepitan itu? Belum diketemukan sumber pasti. Namun kita lihat fungsi
Kamulan sebagai Palinggih Atma dapat dijelaskan sebagai berikut :
Batur Kamulan Sthana Atma yang masih kotor, yang baru mendapat pengentas pendem
(lontar Tattwa Kapatian) Rong tiga, terutama kiri dan kanan adalah tempat Atma suci yang telah
dilinggihkan. Kemungkinan ruang lepitan adalah tempat yang dapat dicapai oleh Atma yang sudah
diaben. Jadi dengan demikian dapatlah dikatakan, Sanggah Kamulan terdiri dari tiga bagian kosmos,
yakni bebaturan sebagai Bhur Loka atau pitra loka alamnya para Pitara, yaitu Atma yang sudah
diaben, sedangkan Rong tiga sebagai Swah Loka alamnya para Dewa, yang dapat dicapai oleh atma
yang mencapai alam kedewaan setelah melalui proses upacara memukur.
Demikianlah jenis-jenis Kamulan yang kita jumpai dalam masyarakat Hindu di Bali.
Bahan/Kayu yang dipakai untuk Sanggah Kamulan
Dalam lontar Astakosala-kosali diuraikan kayu yang baik untuk bahan bangunan adalah :
1. Cendana tergolong kayu prabhu (Utama)
2. Menengen tergolong katu patih (madya)
3. Cempaka tergolong kayu arya (utama)
4. Majagau tergolong kayu demung (madya)
5. Suren tergolong kayu demung (nista)

BAB V
NILAI DAN MAKNA KEBERADAAN
SANGGAH KAMULAN

1. Nilai-Nilai
Menurut Koentjaraningrat sesuatu hal yang berisikan ide-ide yang mengonsepsikan hal-hal
penting, yang berharga dalam kehidupan bermasyarakat. Selain itu nilai juga dapat dikatakan sebagai
suatu yang esensial di dalam suatu karya, tinggi rendahnya suatu karya ditentukan oleh nilai-nilai
yang terkandung di dalamnya. Beranjak dari pengertian tersebut, adapun beberapa nilai yang didapat
dari keberadaan Sanggah Kamulan , yaitu ;
 Nilai Agama
Nilai ini adalah nilai yang dominant terkandung dalam keberadaan Sanggah Kamulan,
sebagai salah satu tempat pemujaan Tuhan/ Hyang Widhi dan Kawitan. Keberadaan Sanggah
Kamulan seperti yang dijelaskan pada bab sebelumnya, adalah karena adanya kepercayaan umat
Hindu sebagai tempat pemujaan Hyang Widhi akibat kepercayaan dari adanya Brahma, Sang Hyang
Triatma atau Siwa. Apalagi sebagai penganut Sekta Siwa.
 Nilai Adat

Masalah adat sangat erat sebenarnya dengan agama, karena adanya adat agama menjadi kuat,
dan agama sebagai dasar pandang adat. Kedua hal tersebut berjalan seiringan dalam masyarakat Bali.
Adanya upacara-upacara adat di bali seperti upacara pengabenan, pernikahan dan upacara-upacara
yadnya lain dalam pelaksanaannya pasti berhubungan dengan Sanggah Kemulan, seperti nunas
Tirtha (air suci). Selain itu misalnya dalam upacara pernikahan. Ketika Sang istri dinikahi
(dipamitkan/dipejatikan) pasti melakukan sembah dinatar Hyang Guru/ Kemulan. Dari gambaran
tersebut terlihat jelas betapa ada nilai adat yang berjalan dalam prosesi upacara tersebut dan
berhubungan dengan Sanggah kemulan.
 Nilai Etika

Membahas nilai etika yang berhubungan dengan Sangah Kemulan ini, sangat berkaitan
dengan kesucian dari sanggah Kemulan itu sendiri. Sudah tentu orang-orang yang cuntaka dilarang
masuk kea real sanggah atau tempat suci lainnya, agar tidak mengurangi kesucian tempat tersebut.
Selain itu ada juga etika-etika lain yang harus dipatuhi, misalnya saat seseorang melakukan upacara
tertentu ketika mohon air suci (nunas tirtha) harus menghaturkan banten sesuai dengan tingkatan
upacaranya. Biasanya dengan menghaturkan daksina, ajuman, rayunan dan segehan dalam tingkat
madya, yang tergantung dari Desa Kala Patra daerah masing-masing. Dari segi nilai etika yang lain
seperti saat ngunggahang pitara pada Sanggah Kamulan, adalah bermaksud mengabadikan/
melinggihkan roh leluhur yang telah suci pada Sanggah Kamulan untuk selalu akan dipuja, mohon
doa restu dan perlindungan.
 Nilai Ekonomi

Merupakan modal utama atau sumber Taksu. Taksu adalah berfungsi untuk semua jenis
propesi seperti; seniman, pedagang, petani, pemimpin masyarakat dan sebagainya. Dari penjelasan di
atas maka nilai ekonomi yang dapat dipetik adalah dalam melakukan pekerjaan untuk mencari
penghidupan, maka taksu pada diri kita harus ada, dan untuk mendapatkan atau menghidupkan taksu
itu, kita dapat nunas (memohon) di Sanggah Kamulan.
 Nilai pendidikan

Sanggah Kamulan seperti yang dijelaskan, merupakan sthana Batara Guru/ Hyang Guru dan
dalam pejelasan pada bab sebelumnya sudah dijelaskan dimana Siwa Turun ke dunia dengan wujud
Sarasuati yaitu Dewi Ilmu pengetahuan yang juga bersthana sebagai Hyang Guru di Sanggah
Kamulan. Jadi dengan memohon kaweruhan (kepintaran) baik dalam bentuk apapun banyak
dilakukan orang di Sanggah Kamulan.

2. Makna
Kata kunci dalam pengertian makna adalah arti atau maksud yang terkandung. Dalam
menganalisis makna Sanggah kamulan kita kembali melihat pengertian Snggah Kamulan itu sendiri,
yaitu tempat pemujaan asal atau sumber yang diartikan sebagai tempat pemujaan Hyang Kamulan
atau Hyang Kamimitan. Dari setiap keluarga yang telah memiliki pekarangan sendiri seperti
disebutkan dalam lontar Siwagama, harus membangun/ membuat sebuah tempat pemujaan Hyang
Guru yang disebut Sanggah Kamulan yang letaknya di hulu atau udik pakarangan. Dengan makna
sebagai pelindung dan pemberi anugrah keluarga tersebut agar tidak mendapatkan halangan apapun.

KESIMPULAN
Dengan uraian yang begitu mendalam, serta tinjauan dari berbagai sistim filsafat Hindu,
maka dapatlah disimpulkan bahwa Sanggah Kamulan adalah :
1. Sebagai penghulun karang, menempati posisi hulun dari konsepsi Rwabinedadan
uttama mandala dari konsepsi Tri Hita Karana.

2. Sthana Ida Sang Hyang Widi Wasa dalam wujudnya sebagai Sang Hyang Tri Atma
(Atma, Sivatma dan Paratma) sebagai asal muasal adanya mahkluk kehidupan khususnya
manusia di bumi ini.
3. Sthana Ida Sang Hyang Widhi dalam manifestasi sebagai Sang Hyang Tri Murti
(Brahma, Wisnu, Iswara) sebagai Jiwatman (roh) Bhuana Agung (alam semesta) dan Hyang
Tri Purusa, yakni Siwa, Sadasiwa dan Paramasiwa yang dianggap sebagai Bhatara.

4. Berfungsi sebagai tempat mensthanakan roh suci leluhur (dewa pitara) yang dianggap
manunggal dengan sumbernya, untuk selalu dipuja oleh keturunannya, guna memohon
perlindungan, bimbingan dan waranugrahanya.

5. Konsep pemujaan leluhur bagi umat Hindu di Bali bukan bersumber dari Pra Hindu,
melainkan bersumber dan merupakan bagian dari ajaran Hindu.

6. Mendirikan Sanggah Kemulan berdasarkan petunjuk “Astakosala” dan “Astabhumi”,


khususnya dalam pendiriannya.

DAFTAR PUSTAKA
Bagus, I Gusti Ngurah. 1988. “Eksistensi Tata Nilai Sastra Tradisional Dalam Persepsi masyarakat
Bali”. Denpasar: fakultas Sastra Universitas Udayana.
Dananjaya, James. 1984. Folklor Indonesia, Ilmu Gosip, Dongeng dan Lain-Lain.Jakarta: PT. Temprint.
Hadriyani, Tjok Istri Putra. 1992. “Pengaruh Mite Sang Hyang Gili Putri Pda Masyarakat Bali”. Denpasar:
Fakultas Sastra Universitas Udayana.
Jendra, I Wayan. 1981. Suatu Pengantar Ringkas Dasar-Dasar Penyusunan Rancangan
Penelitian. Denpasar : Fakultas Sastra Unud.
Koentjaraningrat, 1974. Kebudayaan dan Mentalitet dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.
Meganada, I Wayan, dkk. 1982. Arsitektur Tradisional Daerah Bali”. Denpasar: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan.
Wikarman, I Nyoman Singgih. 1988. Sanggah kemulan. Surabaya: Paramita.
Pustaka Lontar;
 Lontar Purwa Bhumi Kamulan (Tutur). Kropak 141. No.Rt.193. Jumlah lontar: 76 lembar.
Koleksi Perpustakaan Lontar Fak.Sastra Unud.

 Lontar Sivagama. Kropak 3. No.Rt.165. Jumlah lontar: 347 lembar. Koleksi Perpustakaan
Lontar Fak.Sastra Unud.

 Lontar Usana Dewa (Tutur). Kropak 37. No.Rt.142. Jumlah lontar: 40 lembar. Koleksi
Perpustakaan Lontar Fak.Sastra Unud.

 Jarak antara penyengker dengan pelinggih = 3,5 tampak

 Pemedal pada bil. 6 dari lebar dibagi 9.


 Palinggih taksu tengah-tengah natar antara kamulan dan pahyasan ditarik ke utara bertemu
dengan 3,5 tampak dari penyengker.

Anda mungkin juga menyukai