BAB I
LATAR BELAKANG
1
Bab I. Pendahuluan
2
Aspek Budaya Jawa Dalam Pola Arsitektur Bangunan Domestik dan Publik
3
Bab I. Pendahuluan
4
Aspek Budaya Jawa Dalam Pola Arsitektur Bangunan Domestik dan Publik
5
Bab I. Pendahuluan
6
Aspek Budaya Jawa Dalam Pola Arsitektur Bangunan Domestik dan Publik
7
Bab I. Pendahuluan
B. ZAMAN CANDI-CANDI
8
Aspek Budaya Jawa Dalam Pola Arsitektur Bangunan Domestik dan Publik
9
Bab I. Pendahuluan
10
Aspek Budaya Jawa Dalam Pola Arsitektur Bangunan Domestik dan Publik
11
Bab I. Pendahuluan
Nulada laku utama / Tumraping wong Tanah Jawa / Wong Agung ing
Ngeksiganda / Panembahan Senopati / Kapati Amarsudi/ Sudaning
Hawa lan Nepsu / Pinesu Tapa brata / Tanapi ing siyang ratri /
Amamangun karyenek tyasing sasama//
12
Aspek Budaya Jawa Dalam Pola Arsitektur Bangunan Domestik dan Publik
Angandika Syaikh kang luwih arif / Eseh Juned kang abangsa Bahdad /
ikilah pangandikane / wa kulluka sirkiyyun / tegesipun sireku sirik /
dening angrasa sira / ndarbeni panebut / pamuji lawan panembah /
cipta rasa makripat kang angalingi / iku dereng sampurna //
13
Bab I. Pendahuluan
14
Aspek Budaya Jawa Dalam Pola Arsitektur Bangunan Domestik dan Publik
Pertama: Tidak ada hal yang pasti atau tepat benar tentang waktu.
Selalu harus ada koreksi atau penyesuaian setiap saat untuk memperoleh
ketepatan. Artinya, untuk memperoleh keserasian perlu adanya usaha
penyesuaian dan tenggang rasa serta pengorbanan.
Kedua, untuk memperoleh sesuatu yang baru tidak harus secara mutlak
membuang (waktu) yang lama, karena nilai-nilai lama banyak yang
masih bermanfaat dan diperlukan oleh lingkungan yang sama.
15
16
Bab I. Pendahuluan
17
Bab I. Pendahuluan
18
Aspek Budaya Jawa Dalam Pola Arsitektur Bangunan Domestik dan Publik
Rumusan spasial ini hadir dalam satu set yang lengkap. Becker
mendefinisikan rumusan spasial berbasis tiga dalam pentas wayang:
adegan pertemuan di balai persidangan agung di awal, adegan di alam
pada pertengahan dan perang di akhir. Meskipun persisten struktur
dramaturgi ini sangat fleksibel untuk membagi dan mengembangkan
lakon. Rumusan kelengkapan serupa kita dapati pada petungan, cara
penghitungan yang dipergunakan orang Jawa untuk merumuskan aspek
numeric suatu ruang, khususnya ruang domestik. Cara yang juga
dipergunakan untuk merumuskan waktu ini didasarkan pada
kelengkapan elemen-elemen suatu set yang berulang. Meskipun
hasilnya berupa dimensi elemen bangunan, petungan tidak
menghasilkan proporsi maupun skala ruang yang tertentu yang dapat
dirasakan. Sebagaima na sistem kalender siklikal, petungan
menunjukkan ruang macam apa (dan bukan ruang sebesar apa) yang
tepat. Yang menjadi perhatian sistem penghitungan ini adalah
kesejahteraan yang dipancarkan suatu ruang dan kecocokannya bagi
peruntukan tertentu.
19
Bab I. Pendahuluan
akan tercapai bila terbentuk hubungan yang semestinya antara ruang dan
kekuasaan yang mengontrolnya. Untuk mengelola suatu teritori, raja-
raja Jawa menggunakan cacah – satuan luasan lahan dengan orang yang
mengerjakan yang akan memberi hasil tertentu – sebagai unit
penghitungan. Suatu ruang akan diperhitungkan jika ada yang
mengontrol dan hasil yang diharapkan. Karena dianggap tidak memiliki
nilai, lahan yang belum terjamah tidak diperhitungkan. Penguasa Jawa
sebenarnya menguasai cacah dalam jumlah tertentu dari pada suatu
wilayah utuh dengan batas yang jelas. Pada pembagian kerajaan
Mataram menjadi dua di pertengahan abad ke-18, yang dibagi kepada ke
dua raja adalah cacah dalam jumlah tertentu yang terserak di berbagai
tempat sehingga tidak membentuk satuan luasan wilayah yang utuh
yang berbatas jelas. Kewenangan lelaki dalam membentuk ruang dan
mengontrol teritori direpresentasikan dalam sejumlah simbolisme
phallus (alat kelamin lelaki) yang menunjukkan hubungan yang erat
antara kekuasaan dan kesuburan. Di antara pusaka yang disimpan di
keraton Surakarta adalah Kyai Cengkal Baladewa yang berupa tongkat
pengukur tanah yang dianugerahkan oleh Baginda. Pemberian lahan
adalah sepenggal kewenangan kerajaan yang dilimpahkan kepada
seseorang yang berjasa. Lahan itu hadiah tapi sekaligus pengikat bagi
orang tersebut untuk tetap setia dan patuh sehingga harus
mengekspresikan kekuasaan sang pemberi (tanah lungguh atau apanase
seorang pejabat bisaanya tidak dapat diwariskan sehingga tetap berada
di bawah kewenangan raja). Untuk menunjukkan secara simbolis
kekuasaan Baginda atas wilayahnya – yang berarti kemampuannya
untuk mengontrol dan menyejahterakan – tongkat Kyai Cengkal
Baladewa tersebut berukuran sejauh jarak antara ujung alat kelamin raja
dengan jatuhnya air seninya (Pemberton, 1994: 32; Revianto, 2000: 13-
14).
20
Aspek Budaya Jawa Dalam Pola Arsitektur Bangunan Domestik dan Publik
sistem yang diciptakan manusia. Maka ketika orang Barat mulai jenuh
dengan modernitas super teknologi hingga pada gilirannya sebagian
pemikirnya menjadi kurang puas dengan batas-atas paradigma realitas
dan rasionalitas, kemudian mereka meloncat kembali pada rambahan
apresiasi dan analisasi terhadap obyek-obyek fenomenal alam semesta,
baik makrokosmik maupun mikrokosmik. Mereka kembali menyadari
bahwa sehat dan waras raga saja tidak cukup untuk memberikan pre-
agregasi anatomis manusia untuk bisa hidup, sadar, gerak, merasa dan
berpikir. Jelas bahwa pre-agresasi „jagad cilik’ saja masih sedemikian
misterius. Belum lagi otomatisasi tata surya dan angkasa. Maka orang
Barat kini mulai kembali menyadari tentang masih membahananya
jurang anakronisme kebudayaan Barat terhadap komprehensi filosofi
„Mamayu Hayuning Bawana’. Anakronisme disini dimaknai sebagai
wahana cipta, rasa, akal, dan wacana perilaku yang ‘keconthalan’
(terbirit-birit) atau sebaliknya „kebat kliwat’ (terlalu cepat, hingga
kelewatan) dalam menyikapi irama keseimbangan alam semesta dan
kultur global dalam masing-masing konteksnya. Namun anehnya dalam
lingkup budaya kita sendiri, holisme komprehensi yang sebetulnya
justru telah diawali oleh Sultan Agung dengan penciptaan Kalender
Jawa dengan berbagai penetapan valensi variable waktu (neptu, titi dan
mongso), ternyata justru banyak ditinggalkan oleh orang Jawa yang
sebagian masih ‘kemaruk’ dan gandrung (tergila-gila) modernitas.
Super interaksi alami dalam „mekanisme‟. Segala zat dalam aransemen
alam semesta sesungguhnya sudah sedemikian rupa diciptakan sejak
awal oleh Yang Maha Khalik. Segala ciptaan teknologi „Barat‟,
sesungguhnya merupakan pengejawantahan realitas dari sifat-sifat
kesemestaan yang telah ada. Hal ini bisa kita saksikan dalam karya-
karya teknologi dan elektronika sampai masa kini, misalnya: energy
listrik, energy nuklir, sistem radio, televisi, pesawat terbang, sistem
komputer dan sebagainya. Maka, meskipun segala segi „rahasia alam‟
seolah sudah ter-ejawantah dalam teori ilmu teknologi dan ilmu-ilmu
lain, tetapi sejuta medan variable yang menantang dalam misteri alam
semesta tentu dirasakan sungguh masih sangat luas, bahkan tetap tak
terhingga. Inilah kemahaan kehidupan sekaligus misterinya. Itulah pula
sebabnya dunia gambling, baik di bidang politik, keuangan, ekonomi,
perdagangan ataupun kemajuan-kemajuan umat manusia sampai ke
teknologi perang bintang, berbagai rekayasa bio-teknologi, cloning,
senjata nuklir, penerbangan ke luar angkasa, penelitian ke planit lain dan
sebagainya, masih terus dikembang-citakan. Sebaliknya, berbagai
kejadian ‘meta-rasional’ agaknya juga kembali mulai actual,
diperhatikan dan diteliti secara lebih bersemangat oleh dunia Barat.
Berbagai contoh gejala itu bisa kita saksikan lewat televisi. Peluang
penelitian yang agaknya belum mampu diperhatikan sampai sekarang
21
Bab I. Pendahuluan
22
Aspek Budaya Jawa Dalam Pola Arsitektur Bangunan Domestik dan Publik
23
Bab I. Pendahuluan
24
Aspek Budaya Jawa Dalam Pola Arsitektur Bangunan Domestik dan Publik
25
Bab I. Pendahuluan
26
Aspek Budaya Jawa Dalam Pola Arsitektur Bangunan Domestik dan Publik
27
Bab I. Pendahuluan
28
Aspek Budaya Jawa Dalam Pola Arsitektur Bangunan Domestik dan Publik
29