Anda di halaman 1dari 19

Taksu

Pada areal sanggah kamulan, ada sebuah pelinggih yang penting yaitu Taksu. Kata Taksu
sudah merupakan bahasa baku dalam kosa kata Bali, yang dapat diartikan sebagai daya magis
yang menjadikan keberhasilan dalam segala aspek kerja. Misalnya para seniman, pragina,
dalang, balian, dalang dll. Mereka berhasil karena dianggap metaksu. Dalam ajaran
tantrayana, taksu itu bisa diartikan sama dengan sakti atau wisesa. Dan yang dimaksud
dengan sakti itu adalah simbul dari bala atau kekuatan. Dalam sisi lain sakti juga disamakan
dengan energi atau kala.
Dalam tatwa, daya atau sakti itu tergolong Maya Tatwa. Energi dalam bahasa sanskrit
disebut prana, yang adalah bentuk ciptaan pertama dari Brahman. Dengan mempergunakan
prana barulah muncul ciptaan berikutnya yaitu panca mahabhuta. Dengan digerakkan oleh
prana kemudian terciptalah alam semesta beserta isinya. Tuhan dalam Nirguna Brahma /
Paramasiva dalam Siva Tatwa, memanfaatkan energi atau sakti itu, sehingga ia menjadi
Maha Kuasa, memiliki Cadu Sakti dengan Asta Aiswarya-Nya. Dalam keadaan seperti itu Ia
adalah Maha Pencipta, Pemelihara dan Pelebur. Dalam Wraspati Tatwa disebut Sadasiva dan
dalam pustaka Weda disebut Saguna Brahma.
Sakti atau energi maya dari Tuhan itu dipuja dalam bentuk pelinggih yang disebut Taksu.
Sedangkan Tuhan dalam wujudnya sebagai Sang Hyang Tri Purusa dan Sang Hyang Tri
Atma dipuja dalam pelinggih kamulan. Dalam upacara nyekah, selain sekah sebagai
perwujudan atma yang telah disucikan , kita juga mengenal adanya sangge. Sangge ini adalah
perwujudan atau simbul dari Dewi Mayasih. Beliau mewakili unsur Maya Tatwa (pradana /
sakti). Yang juga dalam upacara nyekah bersama-sama Atma ikut disucikan.
Dalam ajaran Kanda Pat, dikenal adanya nyama papat / saudara empat yang ikut lahir
saat manusia dilahirkan. Setelah melalui proses penyucian, saudara empat itu menjadi Ratu
Wayan Tangkeb Langit, Ratu Ngurah Teba, Ratu Gede Jelawung dan Ratu Nyoman Sakti
Pengadangan. Kempatnya itulah disebut sebagai dewanya taksu. Tidak lain adalah saudara
kita lahir yang nantinya menemani manusia dalam kehidupannya.
Dapat dikatakan fungsi Taksu adalah pemujaan kepada Sakti dari Hyang Widhi,
sehingga lengkaplah pemujaan kita kepada Hyang Widhi sebagai Purusa dan Hyang Widhi
sebagai Cakti atau Pradana. Dalam perkembangannya Taksu berfungsi untuk memohon
kesidiian atau keberhasilan untuk semua jenis profesi baik sebagai seniman, petani, pedagang
peminpin masyarakat dan sebagainya.

Sanggah Kamulan
Sanggah kamulan berasal dari gabungan kata sanggah dan kamulan.
Sanggah sama dengan sanggar yang artinya tempat pemujaan. Kamulan ,
kata dasarnya ' mula ' yang artinya sumber atau asal. Jadi Sanggah
Kamulan dapat diartikan sebagai Tempat Pemujaan kepada asal kita
sebagai manusia.
Lontar Siwagama:
" ...bhagawan Manohari, Sivapaksa sira, kinwa kinon de Sri
Gondarapati, umaryanang sadhayangan, manista madya motama,

mamarirta swadharmaning wong kabeh. Lyan swadadyaning


wang saduluking wang kawan dasa kinon magawe pangtikrama.
Mwang setengah bhaga rwang puluhing saduluk, sanggarpratiwi
wangunen ika, mwang kamuln panunggalanya sowang..."
artinya :
" Bhagawan Manohari pengikut Siwa, beliau disuruh oleh Sri
Gondarapati, untuk membangun sad kahyangan kecil, sedang
maupun besar. Yang merupakan beban kewajiban orang semua.
Lain kewajiban sekelompok orang untuk empat puluh keluarga
harus membangun panti. Adapun setengah bagian itu yakni
duapuluh keluarga, harus membangun ibu, dan Kamulan satusatunya tempat pemujaan yang harus dibangun pada masingmasing pekarangan...."
Kamulan dimaksudkan untuk selalu ingat kepada sumber atau asal
manusia. Manusia dalam bahasa Sanskrit berasal dari kata ' jatma' yaitu
' ja + atma '. Ja berarti lahir, sedangkan atma artinya roh. Jatma atau
manusia adalah roh yang lahir. Maka dapat disimpulkan bahwa manusia
hidup karena adanya roh yang lahir. Jadi yang menjadi sumber asal
manusia adalah roh itu sendiri.
Lontar Usana Dewa:
"Ring kamulan ngaran Ida Sang Hyang Atma, ring kaulan tengen
bapa ngarang sang Paratma, ring kamulan kiwa ibu ngaran sang
Siwatma, ring kaulan tengah ngaran raganya, tu Brahma dadi
meme bapa, meraga Sang Hyang Tuduh..."
artinya:
"Pada sanggah kamulan beliau bergelar Sang Hyang Atma, pada
ruang kamulan kanan ayah, namanya Sang Hyang Paratma. Pada
kamulan kiri ibu, disebut Sivatma. Pada kamulan ruang tengah
diri-Nya, itu Brahma, menjadi purusa pradana berwujud Sang
Hyang Tuduh ( Tuhan Yang Menakdirkan )..."
Lontar Gong Wesi:
"...ngaran ira Sang atma ring kamulan tengen bapanta, nga, Sang
Paratma, ring kamulan kiwa ibunta, nga, Sang Sivatma, ring
kamulan madya raganta, atma dad meme bapa ragane mantuk
ring dalem dadi Sang Hyang Tunggal, nunggalang raga...."
artinya:
"... nama beliau Sang Atma, pada ruang kamulan kanan bapakmu,
yaitu Sang Paratma, pada ruang kamulan kiri ibumu, yaitu Sang
Sivatma, pada ruang kamulan tengah adalah menyatu menjadi
Sang Hyang Tunggal, menyatukan wujud...."
Lontar Purwa Bumi Kamulan:
" Riwus mangkana daksina pangadegan Sang Dewa Pitara,
tinuntun
akena
maring
Sanggah
Kamulan,
yan
lanang

unggahakena ring tengen, yan wadon unggahakena maring kiwa,


irika mapisan lawan dewa hyangnya nguni.."
artinya:
" Setelah demikian daksina perwujudan roh suci dituntun pada
Sang Hyang Kamulan, kalau bekas roh itu laki naikkan pada ruang
kanan, kalau roh tiu bekas perempuan dinaikkan disebelah kiri,
disana menyatu dengan leluhurnya terdahulu"
Dalam Siwa Tatwa, sanggah kamulan dapat diwujudkan sebagai
perwujudan Tri Murti, yaitu Brahma sebagai atma ( ANG ), wisnu sebagai
antaratma ( UNG ) dan iswara sebagai Paramatma ( MANG ). Ketganya
adalah roh alam semesta sebagai perwujudan dari Hyang Widhi.
Perwujudan itu dari aspek horisontal, sedangkan dari sudut pandang
vertikal Hyang Widhi diwujudkan dalam Tri Purusa yaitu Siwa, Sadasiwa
dan Paramasiwa.
Dari uraian lontar-lontar itu dapat diambil kesimpulan utama adalah,
fungsi sanggah kamulan adalah untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi
Wasa sebagai asal muasal manusia , dan sebagai tempat pemujaan roh
leluhur agar mencapai penyatuan dengan sumbernya yaitu Hyang Widhi
( moksa ).

Manusa Yadnya
Manusa yadnya adalah korban suci yang bertujuan untuk memelihara hidup dan
membersihkan lahir bathin manusia, mulai dari terwujudnya jasmani di dalam kandungan
sampai akhir hidup manusia.
Bagi seseorang yang tinggi kekuatan batinnya, pembersihan dapat dilakukan sendiri melalui
yoga samadhi secara tekun dan disiplin. Sedangkan mereka orang pada umumnya
memerlukan bantuan orang lain melalui upacara-upacara dan upakara tertentu.
Pembersihan secara lahir batin dianggap perlu agar manusia dapat menerima petunjukpetunjuk suci dari Hyang Widhi. Dengan demikian selama hidupnya tidak menempuh jalan
yang sesat dengan mempelajari dharma, sehingga setelah kematian rohnya dapat mencapai
kesucian dan menuju asalnya yaitu Hyang Widhi.
Dalam pancasrada, umat hindu percaya dengan adanya reinkarnasi, menjelma kembali ke
dunia untuk meluruskan jalan hidupnya terdahulu sehingga tercapai suatu keadaan yang
sempurna yaitu tidak lahir kembali ( mencapai moksa ).
Dalam lontar Cilakrama ada sloka yang berbunyi:
Adbhir gatrani cudhayanti
Manah satyena cudhayanti
Widyatapobhyam bhrtatma
Buddhir jnanena cudhyanti
Artinya adalah:
Tubuh dibersihkan dengan air, pikiran dibersihkan dengan kejujuran, roh dibersihkan dengan
ilmu dan tapa, akal dibersihkan dengan kebijaksanaan.
Rangkaian upacara manusa yadnya

Ada empat rangkaian dalam manusa yadnya yang tidak dapat dipisahkan, dalam artian
rangkaian upacara tersebut akan selalu ditemukan dalam upacara manusa yadnya.
Mabiyakala / mabiyakaonan
Tujuannya adalah memberikan kurban kepada bhutakala, yang tidak sepatutnya berada atau
menerima upacara berikutnya.Setelah mereka mendapat kurban, mereka akan pergi
meninggalkan orang atau tempat tersebut dan tidak mengganggu lagi, bahkan mereka
memberi restu dan keselamatan. Hal ini dapat dilihat saat natab banten biyakala tangan
diarahkan ke belakang . Upacara ini dilakukan di halaman rumah atau sanggar, menghadap ke
pintu halaman rumah.
Malukat / mejaya-jaya
Yang paling kecil disebut penglukatan, yang sedang disebut pedudusan alit, dan yang utama
disebut pedudusan agung. Tingkatan tersebut disesuaikan dengan banten tataban dan pasaksi
di Sanggar Surya. Tujuan upacara ini adalah untuk membersihkan lahir batin seseorang, lahir
dibersihkan dengan air dan bathin dibersihkan dengan puja-puja dari pemimpin upacara.
Beberapa jenis tirta dalam upacara ini adalah tirta penglukatan, tirta pabersihan, tirta
padudusan dll yang dipuja oleh peminpin upacara. Upacara ini dilakukan di salah satu
paruman di pemerajan atau salah satu bangunan rumah seperti bale daje atau bale gede.
Natab / ngayab
Upakaranya disebut banten tataban, yang terdiri dari beberapa buah banten. Kumpulan banten
itu disebut sorohan, misalnya sorohan sesayut pengambian, sorohan bebangkit dll. Dalam
pelaksanaannya banten itu dipersembahkan kepada dewa-dewa tertentu, agar beliau berkenan
merestui atau menempati banten tersebut. Kemudian banten itu akan ditatab oleh orang yang
akan diupacarai. Tujuannya adalah agar Dewa itu berkenan merestui dan menempati jasmani
orang bersangkutan sehingga dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Jasmani kita sebetulnya
ditempati oleh Dewa-dewa tertentu seperti hati oleh Dewa Brahma, jantung oleh Dewa
Iswara, empedu oleh Dewa Wisnu , usus oleh Dewa Rudra dll. Makanya saat natab banten
tangan diarahkan ke dada/ ke badan.
Muspa / bersembahyang
Upacara ini dibagi menjadi dua bagian:
1. Muspa yang dilakukan setelah mebiyakala ( sebelum upacara sebenarnya ). Tujuannya
adalah memohon wara nugraha / pesaksian bahwa seseorang akan melakukan sesuatu
upacara. Persembahyangan ditujukan kepada Hyang Surya Raditya dan kehadapan
para leluhur.
2. Muspa yang dilakukan setelah upacara natab. Tujuannya
menghubungkan diri kehadapan Hyang Widhi dan para leluhur.

adalah

untuk

Upacara diakhiri dengan mohon wasuhpada sebagai simbol bahwa Beliau telah berkenan
berada pada diri orang tersebut. Wasuh artinya pencuci, sedangkan pada artinya kaki. Jadi
wasuhpada dijadikan simbol air untuk mencuci kaki padma Hyang Widhi.
BANTEN DAPETAN (Untuk OTONAN)

Banten Dapetan dapat dibuat/ditata di atas sebuah tamas/taledan yang isinya; buah, pisang,
kue, tumpeng putih 1 buah, lauk sedapatnya, penyeneng, sampyan jaet guak, canang sari
(Lontar Mpu Lutuk, lp. 11a). Dapetan berasal dari akar kata dapet mendapatkan akhiran
An, yang dalam bahasa Indonesia memiliki arti yang didapatkan, ditemukan atau dihasilkan.
Banten Dapetan sebagai lambang/nyasa dari Karma Wasana, semua yang kita alami, yang
kita temukan/dapatkan dan kita hasilkan dalam kehidupan ini, baik ataupun buruk, suka
maupun duka, pintar ataupun bodoh, kaya maupun miskin, keberhasilan ataupun kegagalan
semua itu tiada lain disebabkan oleh Karma wasana kita sendiri, yang harus kita terima pada
kehidupan sekarang ini. Hendaknya kita dapat mensyukurinya, dengan mensyukuri dua
dimensi kehidupan yang menimpa kehidupan kita, sebagai hasil dari perbuatan kita, kita tidak
akan terbebani olehnya (Ida Pandita Mpu Jaya Wijayananda, 2004: 78).
Untuk mendapatkan suatu Dapetan yang baik, hendaknya mulai sekaranglah kita
mempersembahkan Dapetan (Karma wasana) yang baik, agar dalam kehidupan nanti kita
dapat menikmati suatu kehidupan yang lebih baik. Kehidupan kita yang sekarang adalah
merupakan refleksi dari kehidupan terdahulu, dan sebagai dasar dari kehidupan yang akan
datang, karena kita yakin dan percaya dengan hukum Karmaphala. Sekecil apapun perbuatan
yang pernah kita lakukan, pasti akan mendapatkan pahala yang setimpal, walaupun hanya
dalam pikiran sekalipun. Untuk itu marilah kita berusaha untuk selalu dapat
mempersembahkan Dapetan (aktivitas karma-karma yang baik, sehingga nantinya kita dapat
menuai hasil yang penuh dengan kebajikan-kebajikan.

10. PERAS (untuk OTONAN)

Yang menjadi unsur-unsur Peras, yaitu:


1. Alasnya Tamas/ taledan/ Ceper; berisi aled/ kulit peras, kemudian disusun di atasnya
beras, benang, base tampel/porosan, serta uang kepeng/recehan. Diisi buah-buahan,
pisang, kue secukupnya, dua buah tumpeng, rerasmen/lauk pauk yang dialasi kojong
rangkat, sampyan peras, canang sari. Pada prinsipnya Banten Peras memiliki fungsi
sebagai permohonan agar semua kegiatan tersebut sukses (prasidha)
2. Aled/kulit peras, porosan/base tampel, beras, benang, dan uang kepeng; merupakan
lambang bahwa untuk mendapatkan keberhasilan diperlukan persiapan yaitu: pikiran
yang benar, ucapan yang benar, pandangan yang benar, pendengaran yang benar, dan
tujuan yang benar.
3. Dua buah tumpeng; lambang kristalisasi dari duniawi menuju rohani, mengapa dua
tumpeng karena sesungguhnya untuk dapat menghasilkan sebuah ciptaan maka
kekuatan Purusa dan Pradhana (kejiwaan/laki-laki dengan kebendaan/perempuan)
harus disatuakan baru bisa berhasil (Prasidha), tumpeng adalah lambang keuletan
orang dalam meniadakan unsur-unsur materialis, ego dalam hidupnya sehingga dapat
sukses menuju kepada Tuhan.
4. Tamas; lambang Cakra atau perputaran hidup atau Vindu (simbol kekosongan yang
murni/ananda).

5. Ceper/ Aledan; lambang Catur marga (Bhakti, Karma, Jnana, Raja Marga)
6. Kojong Ragkat, tempat lauk pauk; memiliki makna jika ingin mendapatkan
keberhasilan harus dapat memadukan semua potensi dalam diri (pikiran, ucapan,
tenaga dan hati nurani).
7. Sampyan peras; terbuat dari empat potong janur dibentuk menyerupai parabola di
atasnya, merupakan lambang dari kesiapan diri kita dalam menerima intuisi, inisiasi,
waranugraha dari Hyang Widhi yang nantinya akan kita pakai untuk melaksanakan
Dharma.

11. AJUMAN /SODA


Yang menjadi unsur-unsur banten Ajuman/Soda:
1. Alasnya tamas/taledan/cepe; berisi buah, pisang dan kue secukupnya, nasi penek dua
buah, rerasmen/lauk-pauk yang dialasi tri kona/ tangkih/celemik, sampyan
plaus/petangas, canang sari. Sarana yang dipakai untuk memuliakan Hyang Widhi
(ngajum, menghormat, sujud kepada Hyang Widhi)
2. Nasi penek adalah nasi yang dibentuk sedemikian rupa sehingga berbentuk bundar
dan sedikit pipih, adalah lambang dari keteguhan atau kekokohan bhatin dalam
mengagungkan Tuhan, dalam diri manusia adalah simbol Sumsuma dan Pinggala
yang menyangga agar manusia tetap eksis.
3. Sampyan Plaus/Petangas; dibuat dari janur kemudian dirangkai dengan melipatnya
sehingga berbentuk seperti kipas, memiliki makna simbol bahwa dalam memuja
Hyang Widhi manusia harus menyerahkan diri secara totalitas di pangkuan Hyang
Widhi, dan jangan banyak mengeluh, karunia Hyang Widhi akan turun ketika
BhaktaNya telah siap.

12. PENYENENG/ PEBUAT/TEHENAN : Yang membentuk Penyeneng:

1. Jenis jejaitan yang di dalamnya beruang tiga masing-masing berisi beras, benang,
uang, nasi aon (nasi dicampur abu gosok) dan porosan, adalah jejahitan yang
berfungsi sebagai alat ntuk nuntun, menurunkan Prabhawa Hyang Widhi, agar Baliau
berkenan hadir dalam Upacra yang diselenggarakan.
2. Panyeneng dibuat dengan tujuan untuk membangun hidup yang seimbang sejak dari
baru lahir hingga meninggal.
3. Ruang 1, berisi Nasi aon adalah lambang dari Deva Brahma sebagai pencipta alam
semesta ini dan merupakan sarana untuk menghilangkan semua kotoran (dasa mala).

4. Ruang 2 berisi beras benang dan uang, lambang dari Deva Visnu yang memelihara
alam semesta ini, beras adalah sumber makanan manusia, uang adalah alat transaksi
untuk melangsungkan kehidupan, benang sebagai penghubung antara manusia dengan
manusia, manusia dengan lingkungan dan manusia dengan Hyang Widhi.
5. Ruang 3 berisi bunga, daun kayu sakti (dapdap), yang ditumbuk dengan kunir dan
beras, melambangkan Deva Siva dalam prabhawaNya sebagai Isvara dan Mahadeva
yang senantiasa mengarahkan manusia dari yang tidak baik menuju benar,
meniadakan (pralina) Adharma dan kembali ke jalan Dharma. Bagian atas dari
Penyeneng ini ada jejahitan yang menyerupai Ardhacandra = Bulan, Windu =
Matahari, dan Titik = bintang dan teranggana (planet yang lain).

13. SEGEHAN

Secara etimologi Segehan artinya Suguh (menyuguhkan), dalam hal ini adalah kepada
Bhuta Kala, yang tak lain adalah akumulasi dari limbah/kotoran yang dihasilkan oleh pikiran,
perkataan dan perbuatan manusia dalam kurun waktu tertentu. Dengan segehan inilah
diharapkan dapat menetralisir dan menghilangkan pengaruh negatik dari libah tersebut.
Segehan adalah lambang harmonisnya hubungan manusia dengan semua ciptaan Tuhan.
Jahe, secara imiah memiliki sifat panas. Semangat dibutuhkan oleh manusia tapi tidak boleh
emosional.
Bawang, memiliki sifat dingin. Manusia harus menggunakan kepala yang dingin
dalam berbuat tapi tidak boleh bersifat dingin terhadap masalah-masalah sosial (cuek).
Garam, memiliki PH-0 artinya bersifat netral, garam adalah sarana yang mujarab untuk
menetralisir berbagai energi yang merugikan manusia (tasik pinaka panelah sahananing
ngaletehin).
Tetabuhan Arak, Berem, Tuak, adalah sejenis alkhohol, dimana alkhohol secara ilmiah
sangat efektif dapat dipakai untuk membunuh berbagai kuman/bakteri yang merugikan. Oleh
kedokteran dipakai untuk mensteril alat-alat kedokteran. Metabuh pada saat masegeh adalah
agar semua bakteri, Virus, kuman yang merugikan yang ada di sekitar tempat itu menjadi
hilang/mati.

TRI DATU JALINAN BENANG PENUH MISTERI


I Gede Wiratmaja Karang

Benang dalam upacara keagamaan umat Hindu dimanfaatkan sebagai sarana dan prasarana
upacara, baik itu menyendiri atau pada bebanten yang digunakan. Benang pada banten seperti
dalam banten pajati, pabuat, pamendak dengan segeh agung, mengikat jempol kaki dan
tangan orang meningal, pamegat, pementasan wayang gedog dan masih banyak lagi.
Kegunaan benang dalam upacara keagamaan umat Hindu demikian memiliki makna khusus
yang perlu ditelaah lebih mendalam. Demikian juga dengan benang Tri Datu yang perlu
diuraikan, dan dimaknai. Biasanya dipakai gelang tangan, kalung, berisi uang kepeng, dan
lain-lain. Ada angapan bahwa benang Tri Datu sebagai penjaga diri, jimat, sekedar ikutikutan trend, paica atau banyak lagi.
Hampir semua orang Bali yang beragama Hindu mengetahui benang Tri Datu atau juga
sering disebut Sri datu. Secara etimologi Tri Datu berasal dari kata tri yang berarti tiga, dan
datu yang berarti raja, jadi Tri Datu berarti tiga raja. Tiga raja di sini adalah tiga Dewa utama
dalam agama Hindu. Tiga Dewa dimaksud adalah Dewa Brahma, Dewa Wisnu, dan Dewa
Siwa. Sastra-sastra agama menguraikan bahwa Dewa Brahma dengan aksara suci Ang,
memiliki urip 9 dengan sakti Dewi Saraswati, disimbolkan dengan warna merah. Dewa
Wisnu dengan aksara suci Ung, memiliki urip 4 dengan sakti Dewi Sri, dengan simbol warna
hitam. Dan Dewa Siwa dengan aksara suci Mang, memiliki urip 8 dengan sakti Dewi Durga,
disimbolkan dengan warna putih. Ketiga aksara ini yaitu Ang, Ung, Mang bila disatukan akan
menjadi aksara AUM yang bila diucapkan menjadi OM. Aksara pranawa OM merupakan
aksara suci umat Hindu serta memiliki nilai magis yang luar biasa sebagai simbol dari Ida
Sanghyang Widi Wasa.
Jalinan benang ini benar bila ukuran benangnya, besar benangnya sama dijalin saling ikat
bukan terlepas begitu saja, atau bukan dijalin seperti jalinan rambut. Benang Tri Datu bagi
masyarakat Hindu difungsikan sebagai sarana dan prasarana upacara keagamaan. Semua
kegiatan keagamaan yang terangkum dalam Panca Maha Yaja dalam pelaksanaannya
memakai benang Tri Datu. Upacara Dewa Yaja benang Tri Datu difungsikan sebagai sarana
nuntun Ida Sang Hyang Widhi dengan segala manifestasinya. Benang sebagai alat atau media
penghubung antara pemuja dan yang dipuja. Dalam upacara Butha Yaja, benang Tri Datu
dipakai pamogpog atas kekurangan persembahan yang dilaksanakan. Pelaksanaan upacara
Rsi Yaja juga memakai benang Tri Datu yang digunakan sebagai slempang pada tubuh yang
di diksa atau winten sebagai pawitra dari nabe kepada sisya. Pada upacara Manusa Yaja
benang Tri Datu difungsikan sebagai lambang panugrahan. Memakai benang pawitra
berwarna Tri Datu bermakna pengikatan diri terhadap norma-norma agama. Sedangkan pada
upacara Pitra Yaja benang Tri Datu difungsikan sebagai panuntun atma yang telah
meninggal.

Hakikatnya benang Tri Datu merupakan salah satu aktualisasi diri dalam konteks Tri Murti.
Dalam ajaran agama Hindu Tri Murti adalah tiga kekuatan Sang Hyang Widhi Wasa dalam
menciptakan, memelihara, dan mengembalikan pada asalnya alam beserta isinya. Tri Murti
merupakan tiga kekuatan Ida Sang Hyang Widhi, yang terdiri dari tiga Dewa utama, yaitu
Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan Dewa Siwa. Dewa Brahma sebagai pencipta alam beserta
isinya yang disebut utpeti. Dewa Wisnu sebagai pemelihara alam beserta isinya yang disebut
sthiti. Dan Dewa Siwa sebagai kekuatan mengembalikan alam beserta isinya pada asalnya
yang disebut pralina. Sang Hyang Widhi Wasa merupakan suatu Zat Abadi dan Supernatural,
biasanya dikatakan mengawasi dan memerintah manusia dan alam semesta atau jagat raya.
Zat Abadi adalah sebuah bentuk energi atau kesadaran yang merasuki seluruh alam semesta,
di mana keberadaan-Nya membuat alam semesta ada; sumber segala yang ada; Kebajikan
yang terbaik dan tertinggi dalam semua makhluk hidup; atau apa pun yang tak bisa
dimengerti atau dijelaskan.
Sang Hyang Widhi Wasa merupakan suatu Zat Abadi yang disimbolkan dengan Tri Murti dan
diaktualisasikan dengan benang Tri Datu. Memakai benang Tri Datu diharapkan umat Hindu
dapat memfungsikan Tri Pramana. Tri Pramana berarti tiga unsur yang menyebabkan
terjadinya suatu kehidupan. Tri Pramana terdiri dari bayu, sabda dan idep. Tumbuhan hanya
memiliki bayu atau tenaga untuk tumbuh, binatang memiliki bayu dan sabda. Sehingga
binatang memiliki tenaga untuk bertumbuh, berkembang, dan mengeluarkan suara.
Sedangkan manusia memiliki bayu untuk tumbuh dan bergerak, sabda untuk bersuara, dan
idep agar dapat berpikir sehingga bisa memilah benar dan salah, baik atau tidak baik.
Penyatuan Tri Pramanan inilah merupakan jalinan kuat serta satu kesatuan utuh yang
disimbolkan dengan benang Tri Datu.
Penjelasan di atas menegaskan bahwa manusia merupakan makhluk yang sempurna diantara
ciptaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Manusia berasal dari kata Manusah, yang berakar dari
kata Manu yang berarti kebijaksanaan, dan sah berarti mempunyai. Sehingga Manusia adalah
makhluk hidup yang mempunyai kebijaksanan. Kebijaksanaan diperoleh dari tiga
kemampuan kodrati manusia, yaitu bayu, sabda dan idep, yang dikenal dengan istilah Tri
Pramana. Tri Pramana inilah yang perlu dituntun oleh ajaran agama dan ilmu pengetahuan.
Bertujuan agar manusia menjadi lebih bijaksana, dan menjadi manusia yang sempurna.
Makhluk lain seperti binatang hanya mempunyai dua kemampuan saja, yaitu kemampuan
bergerak atau bayu dan kemampuan bersuara atau sabda.
Kitab Sarasamusccaya menyatakan, bahwa manusia wajib bersyukur karena atman telah
menjelma menjadi makhluk yang utama. Oleh karena itu gunakanlah kesempatan hidup
sebagai manusia yang sempit ini dengan sebaik-baiknya. Karena kelahiran sebagai manusia
sungguh sangat sulit diperoleh. Lakukanlah segala sesuatu yang baik untuk mencegah
kejatuhan harkat kemanusiaan. Gunakanlah kelahiran sebagai manusia ini untuk mencapai
moksa. Manusia adalah makhluk yang lemah dibanding makhluk lain, oleh sebab itu gunakan
akal budi untuk menguasai dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Hanya dengan ilmu
pengetahuan, manusia dapat hidup dengan lebih baik.
Memahami konsep Tri Pramana akan menjadi penggerak konsep Trikaya Parisudha. Trikaya
Parisudha berdasarkan etimologinya berasal dari kata Tri berarti tiga, Kaya berarti perbuatan
atau prilaku, dan Parisudha berarti upaya penyucian. Trikaya Parisudha berarti upaya
pembersihan atau penyucian atas tiga perbuatan atau prilaku. Tri Kaya Parisuda merupakan
tiga gerak perilaku manusia yang harus disucikan, yaitu berpikir yang bersih dan suci disebut
dengan Manacika, berkata yang baik dan benar disebut dengan Wacika, dan berbuat yang

jujur adalah Kayika. Trikaya Parisudha merupakan konsep dasar manusia dalam hidupnya.
Benang Tri Datu yang merupakan simbol dari Tri Murti, Tri Pramana, dan Tri Kaya Parisudha
sebagai aktualisasi diri ini, diharapkan umat Hindu mulai sadar akan jati dirinya. Salah
satunya dengan cara introspeksi diri atau dengan istilah mulat sarira. Dengan adanya
introspeksi diri ini diharapkan umat Hindu dapat hidup sesuai dengan konsep ajaran agama
Hindu yang satu dengan yang lainnya memiliki keterikatan. Umat Hindu akan sadar
bahwasannya ini adalah bagian dari kehidupan, dan kehidupan hanyalah sebagian kecil alam
semesta. Dengan mengingat-Nya, menjalankan ajaran-Nya ada kerinduan manusia untuk
kembali pada-Nya.
Benang Tri Datu yang merupakan simbol dari Tri Murti, Tri Pramana, dan Tri Kaya Parisudha
menuntun umat Hindu akan jati dirinya. Sehingga dapat meningkatkan kualitas dirinya
menjadi lebih baik. Walau tidak mudah, tetapi lebih baik berdiri dari pada duduk, lebih baik
berjalan dari pada berdiri, lebih baik berlari dari pada berjalan. Berpikir, berkata, berbuat
dengan baik dan benar merupakan makanan bagi manusia kelahiran tua. Berpikir, berkata,
berbuat dengan baik dan benar merupakan makanan bagi atman yang rindu akan asalnya.
Benang Tri Datu, Tri Murti, Tri Pramana, Tri Kaya Parisudha, dan tri-tri yang lainya
merupakan jalinan penuh misteri dan mesti diuraikan.

PEMAKAIAN BENANG SEBAGAI TANDA PROSES KEHIDUPAN


Wayan Miasa

Berbicara mengenai tanda-tanda yang dipakai sebagai penanda dalam kegiatan ritual
keagamaan, bisa dikatakan bahwa agama Hindu memang sangat kaya dalam hal tersebut.
Misalnya dalam agama Hindu ada gambar-gambar tertentu yang menyatakan senjata para
dewa, warna-warna tertentu yang menyatakan arah mata angin menurut Hindu, dan tandatanda lainnya.
Seperti telah disebutkan di atas bahwa dari tanda-tanda keagamaan yang ditunjukkan
seseorang kita sudah dapat menebak dari warga mana mereka tersebut. Misalnya para pemuja
Siwa, biasanya mereka memakai Rudraksa sebagai ciri khasnya, sedangkan bagi warga
pemuja Wisnu tanda yang paling mencolok yang bisa dilihat adalah tanda Sika kuncir di
belakang kepala, mereka memakai Kunti mala kalung dari kayu tulasi, serta tanda-tanda
lainnya.
Khusus dalam kegiatan keagamaan di Bali serta wilayah Nusantara umumnya, di mana Hindu
pernah berkembang, masyarakatnya juga memiliki tanda khusus yang sering dipakai dalam

kegiatan ritual, khususnya pemakaian benang suci. Dilihat dari jenis benang yang dipakai,
ada berbagai nama benang suci yang dipakai oleh masyarakat kita, seperti benang tetebus,
benang pepegat, benang suci tanda brahmana, benang tri datu, serta jenis benangbenang lainnya.
Menurut tradisi masyarakat Bali, pemakaian benang tersebut erat hubungannya dengan ritual
tertentu, seperti saat acara matepung tawar, otonan, padiksan, odalan serta ritual lainnya. Bagi
warga kebanyakan, memakai benang suci tersebut merupakan suatu acara seremonial tanpa
perlu menanyakan apa maksud yang dikandung dalam pemakaian benang tersebut.
Menurut pendapat penulis, bahwa memakai benang suci itu bukan sekedar memakai seutas
tali, namun ada makna yang lebih dalam dari pemakaian benang tersebut. Benang adalah
cerminan suatu proses pematangan diri untuk menuju suatu kehidupan yang berguna dan
suatu jalanan yang saling mengikat dan mengisi satu sama lain. Seperti proses pembuatan
benang yang berasal dari kapas, sebelum menjadi benang kapas tersebut harus dipintal agar
kita mendapatkan benang. Setelah mendapatkan benang, maka kita dipersilakan lagi
mememakainya sesuai dengan kebutuhan kita, apakah mau dipakai untuk menyulam atau
ditenun untuk dijadikan kain dan lain sebagainya.
Mengenai nama-nama benang yang dihasilkan dari proses pemilinan tersebut tergantung dari
pesan yang kemudian ingin disampaikan sesuai imaginasi seseorang. Misalnya benang tridatu
atau benang tiga warna melambangkan proses bersatunya tiga kekuatan yang diwakili oleh
warna benang tersebut, misalnya hitam mewakili aspek dewa Wisnu, merah mewakili aspek
kekuatan Brahma, putih mewakili manifestasi Dewa Siwa. Melalui benang tiga warna ini,
masyarakat ingin menyatakan bahwa mereka itu memuja tiga manisfestasi kekuatan dewa
berdasarkan prinsip Tri Murti. Bahkan bisa juga diulas lebih lanjut bahwa warna benang tri
datu: hitam, merah, warna keemasan memiliki arti yang lain. Misalnya warna hitam
melambangkan kesuburan, warna merah berarti darah, kekuatan atau tenaga , dan warna
kuning keemasan melambangkan kemuliaan.
Dalam merayakan otonan, perayaan hari kelahiran berdasarkan siklus wuku dimana hari
terus tersebut terulang setiap 210 hari, mereka yang natab banten otonan akan diberikan
benang tetebus, benang yang harus dituntaskan. Tetebus berarti lunasi, atau tuntaskan. Jadi
makna filosfis benang tetebus tersebut adalah, jika kita mengerjakan sesuatu seharusnya
dilakukan sampai tuntas, bagaikan memilin benang tetebus yang bercerai-berai dan kita
diwajibkan untuk mempersatukan dan menjadikan benang tersebut menjadi satu-kesatuan.
Artinya apa pun yang yang kita mulai seharusnya diselesaikan secara sempurna bagaikan
orang memilin benang tetebus tersebut, semua diproses dengan penuh kesabaran dan
ketelatenan.
Berbeda lagi pesan yang disampaikan dalam benang pepegat saat orang melakukan
perpisahan khususnya dalam upacara Pitra Yadnya. Para tetua mungkin ingin menyampaikan
bahwa kita ini memang terikat seperti benang, antara satu dengan lainnya, namun bila
waktunya kita sudah harus berpisah atau melepaskan perikatan terhadap dunia material, maka
orang seharusnya menerima kejadian tersebut sebagai proses yang tidak dihindari dalam
kehidupan manusia normal. Perpisahan bukan berakhirnya suatu proses, namun perpisahan
adalah awal dari proses kehidupan baru.
Bisa dikatakan, bahwa makna pemakaian benang suci tersebut tergantung dari jenis aktivitas
ritual yang dilakukan dan benang tersebut menyiratkan makna kepada manusia, bahwa kita

seharusnya dalam hidup ini mengalami proses pematangan, sehingga terlahir generasi yang
bisa saling bersatu dengan yang lainnya. Namun jika pemakaian benang suci tersebut tidak
dimaknai secara serius, maka pemakaian benang suci dalam kegiatan ritual tak ubahnya
bagaikan orang mendengarkan music rock keras yang berlirik bahasa Inggris, terdengar keren
namun kita tidak tahu dengan jelas artinya.
Begitu juga dalam kehidupan ritual orang Bali, mereka banyak merayakan upacara, rela
mengorbankan waktu namun, memakai banyak simbul. Namun bila makna yang disampaikan
dalam kegiatan tersebut tidak bisa ditelaah secara sempurna, maka hal itu kurang bermakna
dan manfaatnya pun kurang.
Dalam kehidupan beragama kita mewarisi banyak petuah yang harus dicerna dan perlu dikaji
secara mendalam untuk mengerti makna yang tersirat dalam tanda atau lambang yang
digunakan dalam ritual tersebut. Para tetua kita dalam praktek kehidupannya tidak bergulat
dengan aktivitas penghafalan sloka-sloka buku suci, namun lebih mewujudnyatakan ajaran
itu dalam tindakan nyata. Sehingga tidak mengherankan bila kita diwariskan begitu banyak
tanda-tanda keagamaan yang seharusnya kita perdalam maknanya, agar kita memahami cara
ritual masyarakat kita di jaman dulu.
Bila kita dalam kegiatan berspiritual hanya mendasarkan diri pada suatu proses prejani
tanpa mau belajar dari simbol-simbol yang dipakai dalam kegiatan ritual, maka kita akan
hanya menjadi selebriti pada kegiatan spiritual, semua ditampilkan dengan meriah, mewah
namun semua datang dan pergi tanpa kesan. Hal ini seperti juga mulai menjangkiti kita dalam
beritual, karena pengaruh jaman global maka kebijaksanaan leluhur kita yang dulunya
menyiratkan pesan-pesan filosofi, sekarang digantikan dengan gaya persembahan modern.
Akibatnya, kini jarang terjadi suatu proses komunikasi dengan alam di mana kita berpijak.
Hal tersebut kita bisa lihat sekarang di kehidupan masyarakat yang ekonominya sudah
mapan, seperti dalam merayakan hari kelahiran. Banyak di antara mereka tidak lagi
merayakan otonan-nya, namun lebih berdasarkan kalender modern, sehingga pemakaian
benang tetebus, benang tridatu hampir tidak ada lagi. Mereka lebih senang merayakan hari
kelahirannya dengan pola prejani itu, sehingga mereka lebih hafal dengan istilah
Burgerking, Fried Chicken, French Fries, dan hal-hal prejani (instant) lainnya. Karena
mereka tidak mendapatkan ajaran filosofis yang terkandung dalam benang, maka semua
mereka lakukan dengan prejani.
Ketika mereka ingin memiliki kendaraan, mereka cenderung lakukan secara cepat dengan
menjual tanah warisan. Begitu juga tentang bahan persembahan yang dihaturkan untuk
upacara mereka cenderung memakai produk dari luar Bali, sehingga ibu pertiwi Bali
terabaikan. Jadinya jarang ada proses pelestarian terhadap tanaman Bali, seperti tanaman
sentul, mundeh, dau, gunggung, juwet, dan yang lainnya.
Sebelum hal lebih parah terjadi marilah kita bercermin dari pemakaian benang suci atau tali
suci itu, biarkanlah kita mengalami suatu proses yang susah untuk mencapai suatu tujuan,
seperti apa yang dialami benang itu. Jika kita tidak mau mendalami makna benang suci itu,
maka bukan tidak mungkin suatu saat kita ganti benang suci itu dengan tali plastik, atau bagi
yang berada bisa saja mengganti benang suci itu dengan untaian gelang emas, kalung emas
dan lain sebagainya.
Marilah kita jadikan benang suci sebagai penanda keterikatan kita terhadap agama kita,

persatuan di antara warga Hindu, dan berlindung kepada kekuatan tridatu yang
melambangkan kekuatan dewa Tri Murti. Semoga saja nantinya kita semakin sadar bahwa
kegiatan beragama atau berspritualitas kita semakin kokoh, terpilin seperti benang suci
tersebut, saling terikat satu sama lainnya untuk menyatukan dirinya agar berguna pada
kehidupan ini.

Sloka Niti Sataka


Bacalah beberapa Sloka Niti Sataka di bawah ini, yang dapat digunakan sebagai pedoman
dalam kehidupan.
7. YADAKINCI JJNYOAHAM DVIPA IVA MADANDHAH SAMABHAVAM, TADA
SARVAJNO ASMITYA BHAVADA VALIPTAM MAMA MANAH, YADA
KINCITKINCID BUDHAJANA SAKASADAVAGATAM, TADA MURKHOASMITI
JVAR IVA MADO ME VYAPAGATAH.
Ketika menguasai sedikit pengetahuan, aku bagaikan seekor gajah yang mengamuk, penuh
dengan keangkuhan dan merasa paling tahu segalanya, tetapi ketika mulai bergaul dengan
orang-orang bijaksana, maka kesombonganku perlahan-lahan mereda bagaikan demam, dan
akhirnya menyadari bahwa aku adalah orang bodoh.
9. SIRAH SARVAM SVARGAT PASUPATISIRASTAH KSITIDHARAM, MAHI
DHRADUTTUNGADAVANIMAVANESCAPI JALADHIM, ADHO ADHO
GANGEYAM SA PADAMUPAGATA STOKAMATHAVA, VIVEKA BHRASTANAM
BHAVATI VINIPATAH SATAMUKHAH.
Bagaikan sungai Gangga yang mengalir dari swargaloka dan jatuh diatas kepala Dewa Siwa,
kemudian jatuh lagi di puncak Himalaya, kemudian jatuh ke bumi dan mengalir kelaut hingga
mencapai tempat terendah. Demikian pula manusia yang telah kehilangan kesadarannya, akan
jatuh dengan ratusan cara.
15. KEYURANI NA BHUSAYANTI PURUSAM HARAH NA CANDROJJVALAH, NA
SNANAM NA VILEPANAM NA KUSUMAM NALAM KRTAH MURDHAJA,
VANYEKA SAMALANKAROTI PURUSAM YA SANSKRTA DHARYATE,
KSIYANTE KHALU BHUSANANI SATATAM VAG BHUSANAM BHUSANAM.
Bukan karena kilauan gelang atau kalung permata, bukan karena kemewahan pakaian, bukan
karena bau yang wangi, bukan pula karena bunga yang harum, melainkan karena ucapan
halus dan baiklah yang membuat kecantikan seorang wanita. Semua busana yang lain akan
sirna, karena ucapan yang baik dan benar adalah perhiasan yang sesungguhnya
16. VIDYA NAMA NARASYA RUPAMADHIKAM PRACCHANNA GUPTAM
DHANAM, VIDYA BHOGAKARI YASAH SUKHAKARI VIDYA GURUNAM
GURUH, VIDYA BANDHU JANO VIDESA GAMANE VIDYA PARA DEVATA,
VIDYA RAJASU PUJYATE NA HI DHANAM VIDYA VHINAH PASUH.

Pengetahuan adalah kecantikan manusia yang paling agung dan merupakan harta yang
tersembunyi. Ia adalah sumber dari semua kesenangan, kemashuran, kebahagiaan. Ia adalah
guru dari semua guru dan menjadi sahabat di negeri asing. Pengetahuan bagaikan Dewa yang
dapat mengabulkan setiap keinginan. Pengetahuanlah yang dihormati para raja, bukan
kekayaan. Oleh karena itu, manusia tanpa pengetahuan yang benar,adalah rendah
40. YAD DHATRA NIJABHALA PATTA LIKHITAM STOKAM MAHDVA DHANAM,
TATPRAPNOTI MARUSTHALEAPI NITARAM MERAU TATO NADHIKAM,
TADDHIRO BHAVA VITTAVATSU KRPANAM VRTTIM VRTHA MA KRTHAH,
KUPE PASA PAYYONIDHAVAPI GHATO GRHANATI TULYAM JALAM.
Apa yang telah digariskan Tuhan didahi seseorang, misalnya harta dengan jumlah yang
sedikit atau banyak, meski bagaimanapun akan diperoleh seadanya dan tidak bisa lebih
banyak meski ia berada di suatu tempat yang penuh dengan kekayaan. Oleh karena itu, wahai
manusia, bersabarlah dan jangan berlaku sebagai pengemis. Bagaikan tempayan yang hanya
mampu menampung air sesuai dengan ukurannya, meski air itu diambil dari sumur atau
samudra.
43. YADYAM HRIMATI GANYATE VRATRUCAU DAMBHAH SUCAU KAITAVAM,
SURE NIRGHRNATA MUNAU VIMATITA DAINYAM PRIYA LAPINI,
TEJASVINYAVALIPTATA MUKHARTA VAKTARYASAKTIH STHIRE, TATKO
NAM GUNO BHAVETSA GUNINAM YO DURJANAIRNANGKITAH.
Bagaimana pandangan orang jahat kepada orang baik? Seorang pemalu dan rendah hati
dianggap bodoh; yang melaksanakan brata dianggap tak waras; kesucian hati dianggap
penipuan; keberanian dan ketegasan dianggap kekejaman; pendeta dianggap berprilaku aneh;
yang berkata-kata halus dianggap perlu dikasihani; orang berwibawa dianggap sombong;
pedharma wacana dianggap pendusta; penyabar dan cinta damai dianggap bodoh. Maka sifatsifat baik mana yang tak pernah disalahkan oleh para penjahat?
45. SASI DIVASADHUSARO GALITAYAUVANA KAMINI, SARO VIGAT VARIJAM
MUKHAMANAKSARAM SVAKRTEH, PRABHURDHANAPARAYANAH SATATA
DURGATAH SAJJANO, NRPANGANAGATAH KHALO MANASI SAPTA SALYANI
ME.
Ada tujuh hal yang menyakiti hati orang-orang suci: bulan yang bersinar ketika matahari
sudah terbit; gadis yang kehilangan keperawanan; danau tanpa bunga lotus; wanita cantik
tetapi suka berkata-kata kasar; orang yang serakah dalam kekayaan; orang baik yang selalu
menderita; orang-orang jahat yang berkuasa.
50. MRGA MINA SAJJANANAM TRNA JALA SANTOSA VIHITA VRTTINAM,
LUBDHAKA DHIVARA PISUNAH NISKARANAMEVA VAIRINO JAGATI.

Rusa yang makan rumput, ikan yang minum air, dan manusia baik yang bersifat penyabar,
tanpa alasan menjadi musuh pemburu, nelayan dan penghasut. Demikian pula orang yang
baik selalu dimusuhi oleh orang jahat.
53. KARE SLAGHYASTYAGAH SIRASI GURUPADAPRANAYITA, MUKHE SATYA
VANI VIJAYAYI BHUJAYORVIRYAMATULAM, HRDI SVACCHA VRTIH
SRUTAMADHIGATAM CA SRAVANAYOR, VINAPYAISVARYENA
PRAKRTIMAHATAM MANDANAMIDAM.
Tangan yang indah adalah tangan yang selalu medana-punia kepada orang lain, kepala yang
agung adalah yang selalu menunduk didepan guru, keindahan bibir adalah yang selalu
berkata benar, ketegapan bahu adalah yang memiliki kekuatan untuk menang, hati yang baik
adalah yang memiliki belas kasihan, telinga yang indah adalah yang mendengarkan weda.
Bagi orang-orang baik keindahan-keindahan itu merupakan busana yang terbaik, bukanlah
kekayaan.
55. SAMPATSU MAHATAM CITTAM BHAVATYUTPALA KOMALAM, APATSU CA
MAHA SAILASILASAMGHATA KARKASAM.
Dalam kemakmuran, hati orang-orang berkuasa menjadi lembut bagaikan bunga lotus, dan
dalam kesulitan menjadi keras bagaikan karang.
56. ASANTO NABHYARTHYAH SUHRDAPI NA YACYAH KRSADHANAH, PRIYA
NYAYYA VRTTIRMALINAMASUBHANGE APYASUKARAM, VIPADYUCCAIH
STHAIRYAM PADAMANUVIDHEYAM CA MAHATAM, SATAM KENODDISTAM
VISAMAMASIDHARA VRATAMIDAM.
Tidak meminta dari orang yang lebih rendah atau orang miskin, pada saat sekarat tetap
mempertahankan kejujuran, menjauhkan diri dari hasil kejahatan, tetap memegang prinsip
yang baik meskipun dalam berbagai kesulitan, dan selalu mengikuti jalan orang bijaksana.
Siapakah yang telah mengajarkan semua itu, yang ibarat berjalan diatas pedang?
57. PRADANAM PRACCHANAM GRHAMUPAGATE SAMBHRAMAVIDHIH,
PRIYAM KRTVA MAUNAM SADASI KATHANAM CAPYUPKRTEH, ANUTSEKO
LAKSMYAM NIRABHIBHAVASARAH PARA KATHAH, SATAM KENODDISTAM
VISAMASIDHARA VRATAMIDAM.
Memberi dana-punia tanpa menonjolkan nama, menghormati tamu, melakukan kebaikan
tanpa membicarakannya, menceritrakan pertolongan orang lain, tidak menyombongkan diri
meskipun kaya, berkata-kata dengan jujur. Siapakah yang telah mengajarkan semua itu yang
bagaikan berjalan diatas pedang?
58. SANTAPTAYASI SAMSTHITASYA PAYASO NAMAPI NA SRUYATE,
MUKTAKARTAYA TADEVA NALINIPATRASTHITAM RAJATE, SVATYAM

SAGAR SUKTIMADHYA PATITAM TANMAUKTIKAM JAYATE,


PRAYENADHAMAMADHYAMOTTAMAJUSAMEVAM VIDHA VRTTAYAH.
Setetes embun yang jatuh di bara api tak ada yang tahu, tetapi embun yang jatuh diatas daun
teratai terlihat bagaikan mutiara; Dengan demikian maka pergaulanlah yang membuat
manusia menjadi rendah (hina), madya (biasa-biasa), atau utama (mulia)
59. YAH PRINAYET SUCARITAIH PITARAM SA PUTRO, YAD BHARTUREVA
HITAMICCHATI TAT KALATRAM, TANMITRAMAPADI SUKHE CA
SAMAKRIYAM YAD, ETATRAYAM JAGATI PUNYAKRTO LABHANTE.
Putra yang baik adalah yang dapat membahagian orang tuanya, istri yang baik adalah yang
dapat menerima dan menghormati suaminya, sahabat yang baik adalah yang selalu ada pada
saat suka maupun duka. Ketiga hal itu hanya didapatkan oleh orang-orang yang karmanya
baik.
60. NAMRATVENONNAMANTAH PARAGUNAKATHANAIH SVANGUNAN
KHYAPAYANTAH, SVARTHANSAMPADAYANTO
VITATAPRTHUTARARAMBHAYATNAH PARARTHE,
KSANTYAIVAKSEPARUKSA KSARAMUKHARMUKHAN DURJANAN
DUKHAYANTAH, SANTAH SASCARYA JAGATI BAHUMATAH KASYA
NABHYARCANIYAH.
Mendapatkan kemajuan dengan kerendahan hati, pandai mengambil hati orang, banyak
menolong tetapi tujuan sendiri tetap tercapai, memaafkan yang suka memfitnah berkata kasar
dan menyakiti; Orang-orang demikian yang mendapat pujian dan kehormatan dalam
masyarakat.
62. SROTRAM SRUTENAIVA NA KUNDALENA, DANENA PANIRNA TU
KANGKANENA, VIBHAKTI KAYAH KARUNAMAYANAM, PAROPAKARENA NA
CANDANENA.
Keindahan telinga karena mendengarkan weda, bukan karena anting-anting; keindahan
tangan karena suka berderma, bukan karena gelang; demikian pula keindahan badan orang
baik-baik karena suka menolong orang lain, bukan karena bedak cendana.
63. PADMAKARAM DINAKARO VIKACAM KAROTI, CANDRO VIKASAYATI
KAIRAVACAKRAVALAM, NABHYARTHITO JALADHARO API JALAM DADATI,
SANTAH SVAYAM PARAHITESU KRTABHIYOGAH.
Tanpa diminta sinar matahari memekarkan bunga lotus, bulan memekarkan bunga sedap
malam, dan awan menjatuhkan hujan; demikian pula orang baik-baik menolong orang lain
atas keinginannya yang tulus tanpa pamrih

64. EKE SATPURUSAH PARARTHA GHATAKAH SVARTHAN PARITYAI YA YE,


SAMANYASTU PARARTHAMUDYAMBHRTAH SVARTHA VIRODHENA YE, TE
AMI MANUSARAKSASAH PARAHITAM SVARTHAYA NIGHNANTI YE, YE
NIGHNANTI NIRARTHAKAM PARAHITAM TE KE NA JANIMAHE.
Ada tiga kategori manusia; pertama adalah manusia yang selalu siap menolong orang lain
tanpa mengharapkan imbalan; kedua adalah manusia yang siap menolong orang lain asalkan
tidak merugikan dirinya sendiri; ketiga adalah manusia yang hanya memikirkan kepentingan
dirinya sendiri dan tidak segan-segan menghancurkan orang lain. Selain ketiga kategori
manusia-manusia itu masih ada jenis manusia yang selalu membuat masalah untuk orang
lain, dan kita tidak tahu jenis manusia apakah itu
65. PAPANI VARAYATI YOJAYATE HITAYA, GUHYAM NIGUHAYATI GUNAN
PRAKATI KAROTI, APADGATAM CA NA JAHATI DADATI KALE,
SANMITRALAKSANAMIDAM PRAVADANTI SANTAH.
Sahabat adalah ia yang menghentikan kita dari perbuatan dosa dan mengajak untuk berbuat
baik, menjaga rahasia kita dan menceritrakan kepada orang lain hanya tentang kebaikankebaikan kita saja; dalam kesulitan mereka tidak meninggalkan kita dan siap menolong.
Itulah sifat-sifat sahabat sejati
69. MANASI VACAQSI KAYE PUNYAPIYUSAPURNASA,
TRIBHUVANAMUPAKARA SRENIBHIH PRINAYANTAH,
PARAGUNAPARMANUN PARVATIKRTYA NITYAM, NIJAHRDI VIKASANTAH
SANTI SANTAH KIYANTAH.
Pikiran yang penuh cinta kasih, ucapan yang manis, menolong orang lain sekuat tenaga,
selalu ingin berbuat baik, dan membesar-besarkan kebaikan orang lain dengan bahagia, orang
dengan sifat-sifat tersebutlah yang membuat triloka (dunia) bahagia. Berapa banyakkah orang
yang memiliki sifat seperti itu?
74. NINDANTU NITINIPUNA YADI VA STUVANTU, LAKSMIH SAMAVISATU
GACCHATU VA YATHESTAM, ADYAIVA VA MARANAMASTU YUGANTARE VA,
NYAYYATPATHA PRAVICALANTI PADAM NA DHIRAH.
Biarpun ada orang yang menghina atau memuji, meskipun kekayaan datang dan pergi, juga
kematian datang sekarang atau nanti, orang-orang yang sabar tetap tak tergoyahkan, terus
berjalan menuju keadilan
75. KANTAKTAKSAVISIKHA NA DAHANTI YASYA, CITTAM NA NIRDAHATI
KOPAKRSANUTAPAH, KARSANTI BHURIVISAYASCA NA LOBHAPASAIR,
LOKATRAYAM JAYATI KRTSNAMIDAM SA DHIRAH.
Seseorang yang memiliki kesabaran bisa menenangkan dunia, api kemarahan tak mampu
menghanguskannya, dan keserakahan tak mampu menjerumuskannya.

79. CHINNO API ROHATI TARUH KSINOAPYUPACIYATE PUNASCANDRAH, ITI


VIMRSANTAH SANTAH SATAPYANTE NA VIPLUTAH LOKE.
Meski sebuah pohon ditebang, tunasnya akan tumbuh kembali; bulan gelappun akan menuju
purnama. Begitulah orang-orang yang bijaksana tidak akan pernah resah dalam menghadapi
musibah
95. GUNAVADAGUNAVADVA KURVATA KARYAMADAU, PARINATIRAVA
DHARYA YATNATAH PANDITENA, ATIRABHASAKRTANAM
KARMANAMAVIPATTER, BHAVATI HRDAYADAHI SALYATULYO VIPAKAH.
Orang yang bijaksana selalu memperhitungkan akibat baik dan buruk dengan teliti sebelum
berbuat, karena perbuatan yang dilakukan terburu-buru dapat membawa akibat yang pahit
seumur hidup, bagaikan duri dalam daging
100. BHIMAM VANAM BHAVATI TASYA PURAM PRADHANAM, SARVO JANAH
SVAJANATAMUPAYATI TASYA, KRTSNA CA BHURBHAVATI
SANNIDHIRATNAPURNA, YASYASTI PURVASUKRTAM VIPULAM NARASYA.
Seseorang yang melakukan karma yang baik dan benar, baginya hutan rimba bagaikan istana
yang indah, semua manusia dan mahluk menjadi sahabat, dan seluruh bumi dipenuhi dengan
kekayaan

Perbedaan Wangsa Menurut Hindu


QUESTION:
Bagaimanakah pandangan agama Hindu terhadap perbedaan Wangsa?
ANSWER:
Kitab suci Manawa Dharma sastra, Bhagawadgita, Sarasamuscaya, dll. mengajarkan bahwa
tidak ada perbedaan wangsa diantara manusia. Yang ada hanyalah perbedaan warna (profesi).
Semua manusia mempunyai harkat derajat yang sama di hadapan Ida Sanghyang Widhi
Wasa; bahkan binatang dan tumbuh-tumbuhan pun demikian karena semua ciptaan-Nya.
Dengan pengertian seperti itu akan timbul rasa saling menghormati sesama kita.
Seorang lelaki yang menikahi seorang gadis tidak hanya mencintai dan menyayangi gadis itu
saja, tetapi juga wajib menghormati dan menyayangi keluarga si gadis, termasuk para
leluhurnya.

Ngaturang bakti di sanggah pamerajan pihak wanita tidak selamanya berarti nyumbah
leluhur si gadis, tetapi (dalam upacara pawiwahan) lebih bermakna sebagai permakluman dan
perkenalan diri kepada para leluhur si gadis.
Upacara mepamit tidak berarti mohon diri kepada Ida Bethara di Sanggah Pamerajan, tetapi
berarti pemindahan registrasi (secara niskala), yaitu registrasi di Sanggah pamerajan gadis
dicoret kemudian terdaftar di Sanggah Pamerajan laki-laki, sehingga nanti bila meninggal
dunia lalu di-aben, arwah si gadis sudah sah mepaingkup di Sanggah Pamerajan laki-laki.
Satu lagi tips untuk anda: bila seorang gadis dinikahi oleh seorang triwangsa janganlah
namanya diganti misalnya ketika gadis bernama Made Arini, lalu karena menikah dengan
triwangsa namanya diganti menjadi Jero Jempiring.
Ini tidak ada aturan dalam sastra Agama; ini hanya tradisi gugon tuwon yang berbau feodal.
Lontar Dharma Kauripan mengatakan bahwa yang berhak memberi nama atau merubah nama
seorang anak hanyalah ayah dan ibu kandungnya (guru rupaka). Nama diberikan ketika
upacara tiga bulanan, disaksikan oleh Ida Bethara Hyang Guru (Kemulan), karena itu ada
unsur sakralnya.
Anak yang namanya diganti bukan atas kehendak orang tuanya akan menemui kesialan dalam
hidup selanjutnya, karena terkena kutukan prasangga pada guru rupaka.
Mudah-mudahan juga ketika natab banten pekala-kalaan Jero Jempiring tidak natab
bersama keris sebagai ganti sang suami. Kalau ini juga terjadi penyimpangan dharma agama
makin melebar.

Anda mungkin juga menyukai