Anda di halaman 1dari 6

Fungsi Sanggah Kamulan

etelah mengerti dan memahami Sanggah Kemulan, bagaimana sejarahnya dan apa saja yang dipuja pada
sanggah kemulan pada artikel kali ini kita akan memahami fungsi sanggah kemulan

1. Tempat Pemujaan Ida Hyang Widdhi


Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa pengertian Hyang Kamulan, adalah Sanghyang
Tri Atma yang panunggalannya adalah Hyang Tuduh atau Hyang Tunggal. Sanghyang Tri Atma
yakni : Atma, Sivatma dan Paratma adalah Tuhan, dalam manifestasinya sebagai Roh. Menurut
sistim Yoga, Ia adalah identik dengan Tri Purusa (Siva, Sadasiva dan Paramasiva) menurut filsafat
Siva Sidhanta dan sesuai pula dengan Brahma, Visnu, Isvara. Ia juga sesuai dengan fungsi Siva
sebagai Guru. Oleh karenanya Hyang Kamulan adalah juga Bhatara Guru, yang berdimensi tiga
pula, yaitu Guru Purwam (Paramasiva), Guru Madyam (Sadasiva) dan Guru Rupam (Siva). Jadi
dengan demikian sesungguhnya yang dipuja pada Sanggah Kamulan adalah Ida Hyang Widhi
dalam wujud sebagai Sanghyang Tri Atma, Sanghyang Tri Purusa (Bhatara Guru) dan Sanghyang
Tri Murti.
2. Tempat Memuja Leluhur
Dalam lontar Purwabhumi kamulan dinyatakan bahwa Sanggah Kamulan adalah tempat
Ngunggahang Dewapitara,
ti kramaning anggunggahaken pitra ring kamulan  (Rontal Purwabhumi Kamulan, lembar 53).
Ngunggahang Dewapitara pada kamulan dimaksudkan adalah untuk “melinggihkan” atau
mensthanakan” dewa pitara itu.
Yang dimaksud dengan dewa pitara adalah : roh leluhur yang telah suci, yang disucikan melalui proses upacara
Pitra Yadnya, baik Sawa Wedana maupun Atma Wedana.
Ngunggahang Dewa Pitara pada Sanggah Kamulan adalah mengandung maksud mempersatukan dewa pitara
(roh leluhur yang sudah suci) kepada sumbernya (Hyang Kamulan). Kalimat “irika mapisan lawan dewa Hyangnia
nguni” mengandung pengertian bersatunya atma yang telah suci dengan sumbernya, yakni Sivatma (ibunta) dan
Paratma (ayahta). Hal ini merupakan realisasi dari tujuan akhir Agama Hindu yakni mencapai moksa (penyatuan
Atma dengan paratma).
Dari segi susila (aspek etika) ngunggahang Dewa Pitara pada Sanggah Kamulan, adalah bermaksud
mengabdikan/melinggihkan roh leluhur yang telah suci pada Sanggah Kamulan untuk selalu akan dipuja, mohon
doa restu dan perlindungan.

Atma yang dapat diunggahkan pada Sanggah Kamulan adalah Atma yang telah disucikan melalui proses upacara
Nyekah atau mamukur seperti dinyatakan dalam rontal :
iti kramaning ngunggahakan pitra ring kamulan, ring wusing anyekah kurung muah mamukur, ri tutug rwa
wales, dinanya, sawulan pitung dinanya
Artinya: Ini perihalnya menaikkan dewa pitara pada Kamulan, setelah upacara nyekah atau mamukur, pada dua
belas harinya, atau 42 harinya

Jadi upacara ngalinggihang Dewapitara adalah merupakan kelanjutan dari upacara nyekah atau mamukur itu.
Tetapi karena pitara sudah mencapai tingkatan dewa, sehingga disebut Dewapitara, maka upacara ini tidak
tergolong pitra yadnya lagi, melainkan tergolong Dewayadnya. Dari uraian di atas itu, jelaslah bagi kita, bahwa
Sanggah Kamulan disamping untuk memuja Hyang Widhi, juga tempat memuja roh suci leluhur yang telah
menunggal dengan sumbernya (Hyang Kamulan, atau Hyang Widdhi).

Memahami Sanggah Kamulan


anggah Kamulan adalah tempat pemujaan asal atau sumber, Hyang Kamulan atau Hyang Kamimitan. Kamimitan
berasal dari kawa Wit, (huruf m adalah sekeluarga huruf W). Kamimitan adalah lain ucapan dari kata kawiwitan,
berasal dari kata wit, yang berarti asal atau sumber pula. Dengan pengertian ini sebenarnya kita sudah dapat
menarik atau menyimpulkan bahwa yang dipuja pada Sanggah Kamulan itu tidak lain yang merupakan sumber
atau asal dari mana manusia itu ada.
Dalam lontar Sivagama kita jumpai suatu uraian tentang pendirian Hyang Kamulan. Kutipannya sebagai berikut;
“bhagawan manohari, Sivapaksa sira, kinwa kinon de Sri Gondarapati, umaryanang sadhayangan, manista
madya motama, mamarirta swadarmaning wong kabeh. Lyan swadadyaning wang saduluking wang kawan dasa
kinon magawe pangtikrama. Wwang setengah bhaga rwang puluhing saduluk, sanggarpratiwi wangunen ika
mwang kamulan panunggalanya sowing”
Artinya: Bhagawan Manohari pengikut Siva, beliau disuruh oleh Sri Gondarapati, untuk membangun Sad
Khayangan Kecil, sedang maupun besar. Yang merupakan beban kewajiban orang semua. Lain kewajiban
sekelompok orang untuk empat pulih keluarga harus membangun panti. Adapun setengah bagian dari itu yakni
20 keluarga, harus membangun ibu. Kecilnya 10 keluarga pratiwi harus dibangun, dan kamulan satu-satunya
tempat pemujaan (yang harus dibangun) pada masing-masing pekarangan.

Dengan kutipan di atas jelaslah bagi kita, bahwa setiap keluarga yang menempati karang perumahan tersendiri
wajib membangun Sanggah Kamulan. Jadi lontar Sivagama inilah yang merupakan dasar hukum bagi pendirian
Sanggah Kamulan.

Hyang Kamulan adalah Sanghyang Triatma. Kamulan atau kawitan adalah merupakan sumber atau asalnya
manusia. Lalu siapakah yang dimaksud sumber atau asal itu? Siapakah yang menyebabkan adanya manusia atau
jatma itu? Manusia umumnya dalam bahasa Bali halus disebut “jatma” yang berasal dari akar kata Ja, yang
artinya lahir, dan atma berarti roh. Jadi jatma berarti roh yang lahir. Dengan ungkapan itu maka sesungguhnya
manusia ada karena adanya atma yang lahir, dengan demikian atmalah yang menjadi sumber adanya manusia
itu sesungguhnya.
Hal ini akan sesuai benar dengan pernyataan lontar-lontar Gong Wesi, Usana Dewa, tattwa kepatian dan Purwa
bhumi kamulan. Lontar-lontar tersebut menyebutkan bahwa yang bersthana pada Sanggah Kamulan adalah
Sanghyang Triatma atau tiga aspek dari atma itu sendiri.
Dalam lontar Usana Dewa disebutkan :
ring kamulan ngaran ida sang hyang atma, ring kamulan tengen bapa ngaran sang paratma, ring kamulan kiwa
ibu ngaran sang sivatma,ring kamulan tengah ngaran raganya, tu brahma dadi meme bapa, meraga sang hyang
tuduh.

Artinya:
Pada sanggah Kamulan beliau bergelar Sang Hyang Atma, pada ruang kamulan kanan ayah, namanya Sang
Hyang Paratma. Pada kamulan kiri ibu, disebut Sivatma. Pada kamulan ruang tengah diri-Nya, itu Brahma,
menjadi purusa pradana, berwujud Sang Hyang Tuduh (Tuhan yang menakdirkan).

Demikian juga lontar Gong Wesi, kita jumpai kutipan yang hampir sama dengan yang tersurat pada Usana Dewa.
Kutipannya adalah sebagai berikut :
ngaran ira sang atma ring kamulan tengen bapanta, nga, sang paratma, ring kamulan kiwa ibunta, nga, sang
sivatma, ring kamulan madya raganta, atma dadi meme bapa ragane mantuk ring dalem dadi sanghyang
tunggal, nungalang raga (Lontar Gong Wesi, lembar 4b).
Artinya : nama beliau sang atma, pada ruang kamulan kanan bapakmu, yaitu Sang Paratma, pada ruang
kamulan kiri ibumu, yaitu Sang Sivatma, pada ruang kamulan tengah adalah menyatu menjadi Sanghyang
Tunggal menyatukan wujud

Dari dua kutipan lontar di atas jelaslah bagi kita, bahwa yang bersthana pada sanggah kamulan itu adalah
Sanghyang Triatma, yaitu; Paratma yang diidentikkan sebagai ayah (purusa), Sang Sivatma yang diidentikkan
Ibu (predana) dan Sang Atma yang diidentikkan sebagai diri sendiri (roh individu). Yang hakekatnya Sanghyang
Triatma itu tidak lain dari pada Brahma atau Hyang Tunggal/ Hyang Tuduh sebagai pencipta (upti).

Hyang Kamulan adalah Roh suci Leluhur


Dalam lontar Purwa Bhumi Kamulan disebutkan bahwa atma yang telah disucikan yang disebut Dewapitara, juga
disthanakan di sanggah kamulan, seperti disebutkan :
riwus mangkana daksina pangadegan Sang Dewa Pitara, tinuntun akena maring sanggah kamulan, yan lanang
unggahakena ring tengen, yan wadon unggahakena maring kiwa, irika mapisan lawan dewa hyangnya
nguni (Purwa Bhumi kamulan, lembar: #).
Artinya: Setelah demikian daksina perwujudan roh suci dituntun pada Sang Hyang Kamulan, kalau bekas roh itu
laki naikkan pada ruang kanan, kalau roh suci itu bekas perempuan dinaikkan di sebelah kiri, disana menyatu
dengan leluhurnya terdahulu.

Dalam lontar Tatwa Kapatian disebutkan bahwa Sang Hyang atma (roh) setelah mengalami proses upacara akan
bersthana pada sanggah kamulan sesuai dengan kadar kesucian atma itu sendiri. Atma yang masih belum suci,
yang hanya baru mendapat “tirtha pangentas pendem” atau upacara sementara (ngurug) juga dapat tempat
pada Sanggah Kamulan sampai tingkat “batur kamulan”, seperti disebutkan :
Mwah tingkahing wong mati mapendem, wenang mapangentas wau mapendem, phalanya polih lungguh Sang
Atma munggwing batur kamulan (Rontal Tattwa Kapatian, 1a. 1b).

Artinya: Dan prihalnya orang mati yang ditanam, harus memakai tirtha pangentas baru diurug,
hasilnya mendapatkan tempat Sang Atma pada Batur Kamulan
Dari kutipan-kutipan di atas jelaslah bagi kita bahwa Hyang Kamulan yang dipuja pada Sanggah Kamulan adalah
juga roh suci leluhur, roh suci Ibu dan Bapak ke atas yang merupakan leluhur lencang umat yang telah menyatu
dengan Sang Penciptanya, yang dalam lontar Gong Wesi/ Usana Dewa sebagai Hyang Tuduh atau Brahma, yang
merupakan asal muasal adanya manusia di dunia ini.

Hyang Tri Murti Dewanya Sanghyang Tri Atma


Kalau kita renungkan lebih mendalam, tentang Sanghyang Tri Atma seperti disebutkan pada Gong Wesi dan
Usana Dewa, maka pengertian Hyang Kamulan sesungguhnya akan lebih tinggi lagi. Karena telah disebutkan
bahwa Penyatuan Sanghyang Tri Atma adalah Hyang Tuduh/Tunggal yang menjadi Brahma sebagai Sang
Pencipta.
Di samping itu, ketiga tingkatan Sanghyang Tri Atma itu juga ditinjau dari segi filsafat Siwa Tattwa, maka “atma”
adalah yang menjadikan hidup pada mahkluk. Sivatma adalah sumber atma di alam nyata (sekala) ini.
Sedangkan Paratma adalah sumber atma (roh) di alam niskala. Ia adalah atma tertinggi. Ia adalah Tuhan
menurut sistim yoga. Ia adalah identik dengan Paramasiva dalam Siva Tattwa. Dalam sistim wedanta ia adalah
Tuhan Nirguna Brahma.
Dalam mantram “Sapta Omkaratma” disebutkan yang dimaksud dengan Tri Atma, adalah: Am, Atma dewanya
Brahma, Antara atma dewanya Wisnu, dengan wijaksaranya Um, dan Paramatma dewanya adalah Iswara
dengan wijaksaranya Mang. Ketiga dewa tersebut dalam sekte Siwa Sidhanta umum disebut Tri Murti. Ketiga
dewa tersebut adalah merupakan roh alam semesta. Sebagai roh (atma) alam semesta ia adalah juga bergelar
Tri Purusa atau Trilingga.

Sesungguhnya yang merupakan jiwa (atma) atau roh dari jagat kita ini termasuk mahkluk hidup utamanya
manusia adalah beliau yang bergelar Tri Murti., Tri Purusa dengan wujud Trilingganya. Sebagai roh (atma)
dengan sendirinya beliau itu adalah Ida Hyang Widhi, yang didalam penunggalan-Nya adalah Ida Hyang Widhi,
yang di dalam lontar Usana Dewa dan Gong Wesi disebut Hyang Tuduh/ Tunggal atau Brahma sebagai pencipta
alam dengan isinya termasuk manusia.

Siwa adalah Tuhan dalam dimensi imanen. Sadasiwa adalah Tuhan dalam dimensi sakala-niskala, sedangkan
Paramasiwa adalah Tuhan dalam dimensi niskala.

Siwa dalam ketiga wujud di atas, dalam lontar Siwagama digelari Batara Guru, karena beliau (Siwa) menjadi
“Dang Guru ing Iswara” di jagat kita ini. Konon gelar Batara Guru dihaturkan oleh murid Beliau terpandai yakni
Dewa Surya, setelah Dewa Surya dianugerahi gelar Siwa Raditya oleh Siwa sendiri sebagai Dang Guru .
Oleh karena Siwa beraspek tiga, sebagai Tri purusa maka Guru pun ada tiga aspek pula, yakni Guru Purwam,
Guru Madyam, Guru Rupam. Guru purwam, guru dalam dimensi niskala, Guru Madyam, guru dalam dimensi
sakala-niskala, sedangkan Guru Rupam, adalah guru dalam dimensi sakala. Tri Guru, dalam mantram “ngaturang
bakti ring kawitan” juga merupakan objek yang dipuja, seperti dinyatakan :
Om Guru Dewa Guru Rupam
Guru Madyam Guru Purwam
Guru Pantaram dewam
Guru Dewa Sudha nityam

Artinya: Om Guru Dewa, yaitu Guru Rupam (sakala), Guru Madya (sakala-niskala) dan Guru Purwa (niskala)
adalah guru para dewa. Dewa Guru Suci selalu

Jadi melihat uraian dan kutipan mantra di atas, jelaslah bagi kita bahwa yang dipuja pada Sanggah Kamulan
pada hakekatnya adalah Tuhan/ Hyang Widhi, baik sebagai Hyang Tri Atma, yang sebagai roh (atma) alam
semesta dengan isinya (jagat) yang dewanya adalah Brahma, Wisnu dan Iswara, yang merupakan aspek Tuhan
dalam bentuk horizontal dan Siwa, Sada Siwa, Parama Siwa, aspek Tuhan dalam bentuk vertikal (Tri Purusa).
Sebagai Tri Purusa beliau juga disebut Guru Tiga. Oleh karenanya umum juga menyebutkan bahwa Sanggah
Kemulan “sthana” Bhatara Guru/Hyang Guru.
Dengan demikian pengertian Kamulan atau Kawitan sesungguhnya mengandung pengertian yang sangat tinggi,
yang merupakan asal muasal manusia yang tidak lain dari Ida Sang Hyang Widhi sendiri dengan semua
manifestasinya.
Mengenal Fungsi Taksu

Pada areal Sanggah Kamulan, ada sebuah pelinggih yang penting lagi disebut “Taksu”. Kata taksu sudah
merupakan bahasa baku dalam kosa kata Bali, yang dapat diartikan sebagai daya magis yang menjadikan
keberhasilan dalam segala aspek kerja, misalnya para seniman, seperti pragina, balian, dalang dan lain-lain,
yang berhasil disebut “mataksu”.

Dan dalam ajaran Tantrayana, taksu itu bisa diartikan sama dengan “sakti” atau “Wisesa”. Dan yang dimaksud
dengan sakti itu adalah simbul dari pada “bala” atau kekuatan. Dalam sisi lain sakti juga disamakan dengan
energi atau “kala”.

Dalam Tattwa, daya atau sakti itu tergolong “Maya Tattwa”. Energi dalam bahasa Sanskrit disebut “prana”
adalah bentuk ciptaan yang pertama dari Brahman. Dengan mempergunakan “prana” barulah muncul ciptaan
berikutnya (Panca mahabhuta). Dengan digerakkan oleh “prana” kemudian terciptalah alam semesta termasuk
mahluk isinya secara evolusi. Tuhan Nirguna Brahma atau Paramasiva dalam sistem Siva Tattwa, memanfaatkan
energi atau sakti itu, sehingga Ia menjadi Maha Kuasa, memiliki Cadu Sakti dengan asta Aisvaryanya. Dalam
keadaan yang demikian itu, Ia adalah Maha Pencipta, Pemelihara, dan Pelebur, yang dalam Wrhaspati Tattwa
disebut Sadasiva Tattwa dan di dalam Filsafat Vedanta Ia disebut “Saguna Brahma”.

Menyimak dari uraian di atas, dapatlah disimpulkan bahwa kalau Purusa (Sanghyang Tri Purusa) dang
Sanghyang Tri Atma kita puja melalui palinggih kamulan, maka Sakti atau Mayanya dipuja melalui “Taksu”.
Dalam upacara “nyekah” disamping adanya “sekah” sebagai perwujudan Atma yang akan disucikan, juga kita
mengenal adanya “Sangge”. Menurut penjelasan Ida Pedanda Putra Manuaba (almarhum). Sangge itu adalah
simbul dari “Dewi Mayasih”. Siapakah Dewi Mayasih itu? Bukankah ia mewakili unsur “Maya Tattwa” (pradana
atau sakti) itu? Yang juga bersama-sama Atma, dalam upacara Nyekah ikut disucikan. Dalam ajaran “kandapat”
kita mengenal adanya saudara empat, yang mana setelah melalui proses penyucian saudara empat itu dikenal
dengan sebutan: Ratu Wayan Yangkeb Langit, Ratu Ngurah Teba, Ratu Gede Jalawung, Ratu Nyoman Sakti
Pangadangan. Ratu Nyoman Sakti Pangandangan itulah dianggap dewaning taksu .

Kemungkinan dalam upacara Ngunggahang Dewapitara, unsur maya (sakti)nya yang telah ikut disucikan juga
disthnakan pada palinggih taksu. Disinilah unsur sakti dari atma individu “menyatu dengan unsur sakti” dari
Hyang Tripurusa, dan Atma itu sendiri menyatu dengan Hyang Tripurusa, pada Kamulan itu. Sehingga dengan
demikian utuhlah pemujaan pada Sanggah Kamulan, adalah pemujaan Tuhan Tripurusa, dengan sakti
(maya)nya.
Khusus palinggih Taksu, adalah berfungsi untuk memohon “kesidhian” atau keberhasilan untuk semua jenis
profesi seperti seniman, pedagang, petani, pemimpin masyarakat dan sebagainya.

Cara Membuat Tirtha(Air Suci)


1 CommentPosted by admin on May 28, 2012

Tirta bisa diwujudkan dengan dua cara: Dibuat dan Dimohon. Didalam ajaran Agama Hindu, ada ketentuan yang
menetapkan bahwa yang boleh membuat tirtha hanyalah sulinggih yang sudah melakukan dwijati, seperti:
Peranda,Rsi,Pandita Mpu dan sebagainya. sedangkan mereka yang belum didiksa dan belum melakukan Loka
Phalacraya, misalkan pemangku dan sejenisnya belum dibolehkan membuat air suci(tirtha).
Karena itulah dalam persembahyangan para pinandita yang belum medwijati hanya bisa memohon(nunas)
tirtha.Ketentuannya adalah pemangku(pemohon atau siapapun dia, bisa saja kepala keluarga kalau untuk
kepeentingan keluarga harus sudah bersih lahir batin. Berpakaian yang semestinya dilakukan dalam
bersembahyang,menghadap ke Pura atau Sanggah atau Padmasana atau pelangkiran, tergantung sarana yang
ada. Kedua tangan diangkat sampai diatas kepala dengan memegang suatu wadah khusus untuk air suci, berisi
bunga didalam air, sambil memegang dupa yang telah dinyalakan.

Doa Memohon Tirtha:

Om Anantasanaya namah
Om Padmasanaya Om iba sa ta a
Om nama siwa man ang uang namah.
Om Aum Dewapratushthaya namah
Om sa ba ta a i, Om nama siwa ya ang ung mang namah,
Om gangga saraswati sindhu, wipaca kauciinadi jamuna mahacrestha sa rayu camahandi.
Om ganggadewi mahapunya, gangga sahasramedhini, gangga tarangga sam yukte, ganggadewi namo’stute.
Om gangga mahadewi tadupama mrtanjiwani,ungkaraksara bhuwana padamrta manohara.
Om utpatika surasanca, utpati tawa ghorasca,utpati sarva hitanca,utpativa srivahinam.

Doa Ngastawa tirtha:

 Cuci tangan ; OM HRAH PAT ASTRA YANAMAH


 Berkumur ; OM PAT ASTRA YANAMAH
 Sile Pened ; OM OM PADMASANA YA NAMAH SWAHA.
             Jika bersila: OM OM sILASANA YA NAMAH SWAHA
Jika bersimpuh ; OM OM BAJRASANA YA NAMAH SWAHA.

 Mantram carira; OM PRASADA STHITI SARIRA SIWA SUCI NIRMALA YA NAMAH SWAHA.
 Mantram Asep; OM ANG BRAHMA AMRETHA DIPA YA NAMAH. OM UNG WISNU AMRETHA DIPA
YA NAMAH. OM ANG LINGGA PURUSA YA NAMAH. Jika yang dipakai bukan asep tetapi dupa,
maka mantramnya: OM ANG DUPA DIPASTRA YA NAMAH SWAHA.
 Ngastawa tirtha(Ngambil Kembang)
A. Astra mantra
OM UNG RAH PAT ASTRA YA NAMAH,
ATMA TATTWAATMA SUDHAMAM SWAHA,
OM OM KASAMA SAMPURNA YA NAMAH,
OM SRI PASUPATHAYE UNG PAT,
OM PURNAM BHAWANTU
OM SUKHAM BHAWANTU.
(Bunga kemudian dimasukkan kedalam tempat air yang sudah disediakan)

B. Pengaksama (Ngambil Bunga)


OM KSAMA SWAMAM MAHA DEWA
SARWA PRANI HINTANG KARAH
MAMOCA SARWA PAPEBIYAH
PALAYASWA SADHA SIWA

OM PAPO’HAM PAPA KARMAHAM


PAPATMA PAPA SAMBAWAH,
TRAHIMAM SARWA PAPEBIYAH
KENACID MAMARAK SANTHU

OM KSANTAWIYA KAYIKADOSAH,
KSANTAWIYA WACIKA MAMA,
KSANTAWIYA MANASO DOSAH
TAT PRAMADAT KSAMA SWAMAM

OM HINAKSARA HINA PADAM


HINA MANTRA TAT TAIWACA
HINA BHAKTI HINA WERDHI
SADACIWA NAMOSTUTE.

OM MANTRA HINA KRYA HINAM


BHAKTI HINA MAHESWARAH
YAT PUJINTTA MAHADEWAH
PARIPURNAM TAD ASTUME.

C. Apsudewa(ngambil bunga)

OM APSUDEWA PAWITRANI
GANGGA DEWI NAMOSTUTE
SARWA KLESA WINASANAM
TOYANAM PARI CUIDATE

SARWA PAPA WINASINI


SARWA ROGA WIMOCANE
SARWA KLESA WINASANAM
SARWA BOGAM AWAPNUYAT.

D. Pancaaksara

PANCAAKSARA MAHA TIRTAM


PAWITRAM PAPA YA SANEM
PAPA KOTI SAHA CARANAM
AGADAIM BAWET SAGARAM

E. Gangga sindhu

OM GANGGA SINDHU SARASWATI SUYAMUNA


GODAWARI NARMADA,KAWERI SERAYU
MAHENDRATANAYA, CARWANWATI WEMUKAM
BADRA NETRAWATI MAHASURANADI
KIATAN CA YA GANDAKI
PUNIAM PURNA JALE SAMUDRA
SAHITANG KURWANTU TEMANGGALAM

F. Mretyun Jaya

OM MRETYUM JAYA DEWA SIA


YONAMAMI ANU KIRTAYET
DIRGA YUSIAM AWAPNOTI
SANGGRAMA WIJAYI BAWET
OM ATMA TATTWAATMA SUDDHAMAM SWAHA

G. Ayu Wredhi
OM AYU WREDHI YASO WREDHI
WREDHI PRADNYA SUKA SRIYA
DHARMA SANTANA WREDHISCA
SANTUTE SAPTA WREDAYAH
YATA MERO STITO DEWAH
YAWAT GANGGA MAHI TALE
CANDRARKA GAGENE TAWAT
TAWATUAM WIJAYI BAWET

OM DIRGAYURASTU TATASTU ASTU


OM AWIGHNAM ASTU TATASTU ASTU
OM SUBAMASTU TATASTU ASTU
OM CRIYAM BAWANTU
OM SUKAM BAWANTU
OM PURNAM BAWANTU, SAPTA WREDIR ASTU YA NAMAH

H. Nyiratang tirtha ring raga sarira.

OM PRATAMA SUDHA DWITYA SUDHA


TRITYA SUDHA CATUR TI SUDHA
OM SUDHA,SUDHA,SUDHA WARIASTU.

Anda mungkin juga menyukai