etelah mengerti dan memahami Sanggah Kemulan, bagaimana sejarahnya dan apa saja yang dipuja pada
sanggah kemulan pada artikel kali ini kita akan memahami fungsi sanggah kemulan
Atma yang dapat diunggahkan pada Sanggah Kamulan adalah Atma yang telah disucikan melalui proses upacara
Nyekah atau mamukur seperti dinyatakan dalam rontal :
iti kramaning ngunggahakan pitra ring kamulan, ring wusing anyekah kurung muah mamukur, ri tutug rwa
wales, dinanya, sawulan pitung dinanya
Artinya: Ini perihalnya menaikkan dewa pitara pada Kamulan, setelah upacara nyekah atau mamukur, pada dua
belas harinya, atau 42 harinya
Jadi upacara ngalinggihang Dewapitara adalah merupakan kelanjutan dari upacara nyekah atau mamukur itu.
Tetapi karena pitara sudah mencapai tingkatan dewa, sehingga disebut Dewapitara, maka upacara ini tidak
tergolong pitra yadnya lagi, melainkan tergolong Dewayadnya. Dari uraian di atas itu, jelaslah bagi kita, bahwa
Sanggah Kamulan disamping untuk memuja Hyang Widhi, juga tempat memuja roh suci leluhur yang telah
menunggal dengan sumbernya (Hyang Kamulan, atau Hyang Widdhi).
Dengan kutipan di atas jelaslah bagi kita, bahwa setiap keluarga yang menempati karang perumahan tersendiri
wajib membangun Sanggah Kamulan. Jadi lontar Sivagama inilah yang merupakan dasar hukum bagi pendirian
Sanggah Kamulan.
Hyang Kamulan adalah Sanghyang Triatma. Kamulan atau kawitan adalah merupakan sumber atau asalnya
manusia. Lalu siapakah yang dimaksud sumber atau asal itu? Siapakah yang menyebabkan adanya manusia atau
jatma itu? Manusia umumnya dalam bahasa Bali halus disebut “jatma” yang berasal dari akar kata Ja, yang
artinya lahir, dan atma berarti roh. Jadi jatma berarti roh yang lahir. Dengan ungkapan itu maka sesungguhnya
manusia ada karena adanya atma yang lahir, dengan demikian atmalah yang menjadi sumber adanya manusia
itu sesungguhnya.
Hal ini akan sesuai benar dengan pernyataan lontar-lontar Gong Wesi, Usana Dewa, tattwa kepatian dan Purwa
bhumi kamulan. Lontar-lontar tersebut menyebutkan bahwa yang bersthana pada Sanggah Kamulan adalah
Sanghyang Triatma atau tiga aspek dari atma itu sendiri.
Dalam lontar Usana Dewa disebutkan :
ring kamulan ngaran ida sang hyang atma, ring kamulan tengen bapa ngaran sang paratma, ring kamulan kiwa
ibu ngaran sang sivatma,ring kamulan tengah ngaran raganya, tu brahma dadi meme bapa, meraga sang hyang
tuduh.
Artinya:
Pada sanggah Kamulan beliau bergelar Sang Hyang Atma, pada ruang kamulan kanan ayah, namanya Sang
Hyang Paratma. Pada kamulan kiri ibu, disebut Sivatma. Pada kamulan ruang tengah diri-Nya, itu Brahma,
menjadi purusa pradana, berwujud Sang Hyang Tuduh (Tuhan yang menakdirkan).
Demikian juga lontar Gong Wesi, kita jumpai kutipan yang hampir sama dengan yang tersurat pada Usana Dewa.
Kutipannya adalah sebagai berikut :
ngaran ira sang atma ring kamulan tengen bapanta, nga, sang paratma, ring kamulan kiwa ibunta, nga, sang
sivatma, ring kamulan madya raganta, atma dadi meme bapa ragane mantuk ring dalem dadi sanghyang
tunggal, nungalang raga (Lontar Gong Wesi, lembar 4b).
Artinya : nama beliau sang atma, pada ruang kamulan kanan bapakmu, yaitu Sang Paratma, pada ruang
kamulan kiri ibumu, yaitu Sang Sivatma, pada ruang kamulan tengah adalah menyatu menjadi Sanghyang
Tunggal menyatukan wujud
Dari dua kutipan lontar di atas jelaslah bagi kita, bahwa yang bersthana pada sanggah kamulan itu adalah
Sanghyang Triatma, yaitu; Paratma yang diidentikkan sebagai ayah (purusa), Sang Sivatma yang diidentikkan
Ibu (predana) dan Sang Atma yang diidentikkan sebagai diri sendiri (roh individu). Yang hakekatnya Sanghyang
Triatma itu tidak lain dari pada Brahma atau Hyang Tunggal/ Hyang Tuduh sebagai pencipta (upti).
Dalam lontar Tatwa Kapatian disebutkan bahwa Sang Hyang atma (roh) setelah mengalami proses upacara akan
bersthana pada sanggah kamulan sesuai dengan kadar kesucian atma itu sendiri. Atma yang masih belum suci,
yang hanya baru mendapat “tirtha pangentas pendem” atau upacara sementara (ngurug) juga dapat tempat
pada Sanggah Kamulan sampai tingkat “batur kamulan”, seperti disebutkan :
Mwah tingkahing wong mati mapendem, wenang mapangentas wau mapendem, phalanya polih lungguh Sang
Atma munggwing batur kamulan (Rontal Tattwa Kapatian, 1a. 1b).
Artinya: Dan prihalnya orang mati yang ditanam, harus memakai tirtha pangentas baru diurug,
hasilnya mendapatkan tempat Sang Atma pada Batur Kamulan
Dari kutipan-kutipan di atas jelaslah bagi kita bahwa Hyang Kamulan yang dipuja pada Sanggah Kamulan adalah
juga roh suci leluhur, roh suci Ibu dan Bapak ke atas yang merupakan leluhur lencang umat yang telah menyatu
dengan Sang Penciptanya, yang dalam lontar Gong Wesi/ Usana Dewa sebagai Hyang Tuduh atau Brahma, yang
merupakan asal muasal adanya manusia di dunia ini.
Sesungguhnya yang merupakan jiwa (atma) atau roh dari jagat kita ini termasuk mahkluk hidup utamanya
manusia adalah beliau yang bergelar Tri Murti., Tri Purusa dengan wujud Trilingganya. Sebagai roh (atma)
dengan sendirinya beliau itu adalah Ida Hyang Widhi, yang didalam penunggalan-Nya adalah Ida Hyang Widhi,
yang di dalam lontar Usana Dewa dan Gong Wesi disebut Hyang Tuduh/ Tunggal atau Brahma sebagai pencipta
alam dengan isinya termasuk manusia.
Siwa adalah Tuhan dalam dimensi imanen. Sadasiwa adalah Tuhan dalam dimensi sakala-niskala, sedangkan
Paramasiwa adalah Tuhan dalam dimensi niskala.
Siwa dalam ketiga wujud di atas, dalam lontar Siwagama digelari Batara Guru, karena beliau (Siwa) menjadi
“Dang Guru ing Iswara” di jagat kita ini. Konon gelar Batara Guru dihaturkan oleh murid Beliau terpandai yakni
Dewa Surya, setelah Dewa Surya dianugerahi gelar Siwa Raditya oleh Siwa sendiri sebagai Dang Guru .
Oleh karena Siwa beraspek tiga, sebagai Tri purusa maka Guru pun ada tiga aspek pula, yakni Guru Purwam,
Guru Madyam, Guru Rupam. Guru purwam, guru dalam dimensi niskala, Guru Madyam, guru dalam dimensi
sakala-niskala, sedangkan Guru Rupam, adalah guru dalam dimensi sakala. Tri Guru, dalam mantram “ngaturang
bakti ring kawitan” juga merupakan objek yang dipuja, seperti dinyatakan :
Om Guru Dewa Guru Rupam
Guru Madyam Guru Purwam
Guru Pantaram dewam
Guru Dewa Sudha nityam
Artinya: Om Guru Dewa, yaitu Guru Rupam (sakala), Guru Madya (sakala-niskala) dan Guru Purwa (niskala)
adalah guru para dewa. Dewa Guru Suci selalu
Jadi melihat uraian dan kutipan mantra di atas, jelaslah bagi kita bahwa yang dipuja pada Sanggah Kamulan
pada hakekatnya adalah Tuhan/ Hyang Widhi, baik sebagai Hyang Tri Atma, yang sebagai roh (atma) alam
semesta dengan isinya (jagat) yang dewanya adalah Brahma, Wisnu dan Iswara, yang merupakan aspek Tuhan
dalam bentuk horizontal dan Siwa, Sada Siwa, Parama Siwa, aspek Tuhan dalam bentuk vertikal (Tri Purusa).
Sebagai Tri Purusa beliau juga disebut Guru Tiga. Oleh karenanya umum juga menyebutkan bahwa Sanggah
Kemulan “sthana” Bhatara Guru/Hyang Guru.
Dengan demikian pengertian Kamulan atau Kawitan sesungguhnya mengandung pengertian yang sangat tinggi,
yang merupakan asal muasal manusia yang tidak lain dari Ida Sang Hyang Widhi sendiri dengan semua
manifestasinya.
Mengenal Fungsi Taksu
Pada areal Sanggah Kamulan, ada sebuah pelinggih yang penting lagi disebut “Taksu”. Kata taksu sudah
merupakan bahasa baku dalam kosa kata Bali, yang dapat diartikan sebagai daya magis yang menjadikan
keberhasilan dalam segala aspek kerja, misalnya para seniman, seperti pragina, balian, dalang dan lain-lain,
yang berhasil disebut “mataksu”.
Dan dalam ajaran Tantrayana, taksu itu bisa diartikan sama dengan “sakti” atau “Wisesa”. Dan yang dimaksud
dengan sakti itu adalah simbul dari pada “bala” atau kekuatan. Dalam sisi lain sakti juga disamakan dengan
energi atau “kala”.
Dalam Tattwa, daya atau sakti itu tergolong “Maya Tattwa”. Energi dalam bahasa Sanskrit disebut “prana”
adalah bentuk ciptaan yang pertama dari Brahman. Dengan mempergunakan “prana” barulah muncul ciptaan
berikutnya (Panca mahabhuta). Dengan digerakkan oleh “prana” kemudian terciptalah alam semesta termasuk
mahluk isinya secara evolusi. Tuhan Nirguna Brahma atau Paramasiva dalam sistem Siva Tattwa, memanfaatkan
energi atau sakti itu, sehingga Ia menjadi Maha Kuasa, memiliki Cadu Sakti dengan asta Aisvaryanya. Dalam
keadaan yang demikian itu, Ia adalah Maha Pencipta, Pemelihara, dan Pelebur, yang dalam Wrhaspati Tattwa
disebut Sadasiva Tattwa dan di dalam Filsafat Vedanta Ia disebut “Saguna Brahma”.
Menyimak dari uraian di atas, dapatlah disimpulkan bahwa kalau Purusa (Sanghyang Tri Purusa) dang
Sanghyang Tri Atma kita puja melalui palinggih kamulan, maka Sakti atau Mayanya dipuja melalui “Taksu”.
Dalam upacara “nyekah” disamping adanya “sekah” sebagai perwujudan Atma yang akan disucikan, juga kita
mengenal adanya “Sangge”. Menurut penjelasan Ida Pedanda Putra Manuaba (almarhum). Sangge itu adalah
simbul dari “Dewi Mayasih”. Siapakah Dewi Mayasih itu? Bukankah ia mewakili unsur “Maya Tattwa” (pradana
atau sakti) itu? Yang juga bersama-sama Atma, dalam upacara Nyekah ikut disucikan. Dalam ajaran “kandapat”
kita mengenal adanya saudara empat, yang mana setelah melalui proses penyucian saudara empat itu dikenal
dengan sebutan: Ratu Wayan Yangkeb Langit, Ratu Ngurah Teba, Ratu Gede Jalawung, Ratu Nyoman Sakti
Pangadangan. Ratu Nyoman Sakti Pangandangan itulah dianggap dewaning taksu .
Kemungkinan dalam upacara Ngunggahang Dewapitara, unsur maya (sakti)nya yang telah ikut disucikan juga
disthnakan pada palinggih taksu. Disinilah unsur sakti dari atma individu “menyatu dengan unsur sakti” dari
Hyang Tripurusa, dan Atma itu sendiri menyatu dengan Hyang Tripurusa, pada Kamulan itu. Sehingga dengan
demikian utuhlah pemujaan pada Sanggah Kamulan, adalah pemujaan Tuhan Tripurusa, dengan sakti
(maya)nya.
Khusus palinggih Taksu, adalah berfungsi untuk memohon “kesidhian” atau keberhasilan untuk semua jenis
profesi seperti seniman, pedagang, petani, pemimpin masyarakat dan sebagainya.
Tirta bisa diwujudkan dengan dua cara: Dibuat dan Dimohon. Didalam ajaran Agama Hindu, ada ketentuan yang
menetapkan bahwa yang boleh membuat tirtha hanyalah sulinggih yang sudah melakukan dwijati, seperti:
Peranda,Rsi,Pandita Mpu dan sebagainya. sedangkan mereka yang belum didiksa dan belum melakukan Loka
Phalacraya, misalkan pemangku dan sejenisnya belum dibolehkan membuat air suci(tirtha).
Karena itulah dalam persembahyangan para pinandita yang belum medwijati hanya bisa memohon(nunas)
tirtha.Ketentuannya adalah pemangku(pemohon atau siapapun dia, bisa saja kepala keluarga kalau untuk
kepeentingan keluarga harus sudah bersih lahir batin. Berpakaian yang semestinya dilakukan dalam
bersembahyang,menghadap ke Pura atau Sanggah atau Padmasana atau pelangkiran, tergantung sarana yang
ada. Kedua tangan diangkat sampai diatas kepala dengan memegang suatu wadah khusus untuk air suci, berisi
bunga didalam air, sambil memegang dupa yang telah dinyalakan.
Om Anantasanaya namah
Om Padmasanaya Om iba sa ta a
Om nama siwa man ang uang namah.
Om Aum Dewapratushthaya namah
Om sa ba ta a i, Om nama siwa ya ang ung mang namah,
Om gangga saraswati sindhu, wipaca kauciinadi jamuna mahacrestha sa rayu camahandi.
Om ganggadewi mahapunya, gangga sahasramedhini, gangga tarangga sam yukte, ganggadewi namo’stute.
Om gangga mahadewi tadupama mrtanjiwani,ungkaraksara bhuwana padamrta manohara.
Om utpatika surasanca, utpati tawa ghorasca,utpati sarva hitanca,utpativa srivahinam.
Mantram carira; OM PRASADA STHITI SARIRA SIWA SUCI NIRMALA YA NAMAH SWAHA.
Mantram Asep; OM ANG BRAHMA AMRETHA DIPA YA NAMAH. OM UNG WISNU AMRETHA DIPA
YA NAMAH. OM ANG LINGGA PURUSA YA NAMAH. Jika yang dipakai bukan asep tetapi dupa,
maka mantramnya: OM ANG DUPA DIPASTRA YA NAMAH SWAHA.
Ngastawa tirtha(Ngambil Kembang)
A. Astra mantra
OM UNG RAH PAT ASTRA YA NAMAH,
ATMA TATTWAATMA SUDHAMAM SWAHA,
OM OM KASAMA SAMPURNA YA NAMAH,
OM SRI PASUPATHAYE UNG PAT,
OM PURNAM BHAWANTU
OM SUKHAM BHAWANTU.
(Bunga kemudian dimasukkan kedalam tempat air yang sudah disediakan)
OM KSANTAWIYA KAYIKADOSAH,
KSANTAWIYA WACIKA MAMA,
KSANTAWIYA MANASO DOSAH
TAT PRAMADAT KSAMA SWAMAM
C. Apsudewa(ngambil bunga)
OM APSUDEWA PAWITRANI
GANGGA DEWI NAMOSTUTE
SARWA KLESA WINASANAM
TOYANAM PARI CUIDATE
D. Pancaaksara
E. Gangga sindhu
F. Mretyun Jaya
G. Ayu Wredhi
OM AYU WREDHI YASO WREDHI
WREDHI PRADNYA SUKA SRIYA
DHARMA SANTANA WREDHISCA
SANTUTE SAPTA WREDAYAH
YATA MERO STITO DEWAH
YAWAT GANGGA MAHI TALE
CANDRARKA GAGENE TAWAT
TAWATUAM WIJAYI BAWET