Anda di halaman 1dari 6

BRAHMA VIDYA & POKOK AJARAN SIWA SIDDHANTA DALAM

BHUWANA KOSA
Dalam Weda, kitab suci Hindu ilmu yang mempelajari tentang Tuhan dinamakan brahma vidya atau
brahma tattva jnana. Brahma diartikan Tuhan, yaitu gelar yang diberikan kepada Tuhan sebagai unsur
yang memberikan kehidupan pada semua ciptaanNya, Yang Maha Kuasa. Vidya atau Jnana kedua-duanya
artinya sama yaitu ilmu. Tattva berarti hakikat tentang Tat atau “Itu”, yaitu Tuhan dalam bentuk Nirguna
Brahman. Tattva Jnana artinya sama dengan ilmu tentang hakikat, yaitu ilmu tentang Tuhan.
Berdasarkan uraian tersebut yang dimaksud dengan brahma vidya dalam agama Hindu adalah brahma
tattwa jnana, yaitu ilmu tentang Tuhan. Ajaran Hindu adalah bersifat monoteistis, yaitu menyembah
Tuhan Yang Maha Esa.
Dikatakan demikian karena di dalam Chandogya-Upanisad, IV.2.1 ditegaskan
“Ekam Eva Advityam Brahman”, (“Hanya ada satu Tuhan (Brahman) tidak ada yang kedua”). Pada
mantram Trisandhya dikatakan “Eko Narayanaa na dwityo’sti kaccit”.
(‘Tuhan hanya satu, sama sekali tidak ada duanya (yang kedua)’).
Di dalam Rg. Weda I.164.46. disebutkan
“Ekam Sat Viprah bahudha vadanti”,
(“Hanya terdapat satu Kebenaran Yang Mutlak, orang bijaksana (resi) menyebut dengan banyak nama”).
Dalam Kakawin Arjuna Wiwaha disebutkan,
“Wahyadhyatmika sembahing hulun i jong ta tan hana waneh”.
(‘Lahir batin sembah hamba ke hadapan Tuhan tak ada yang lainnya’). Demikian pula dalam mantra,
Tuhan Yang Maha Esa (Sang Hyang Widhi Wasa) diwujudkan sebagai pranawa dengan suku kata suci
OM.
Dalam Siwa Tattwa (1999:25) disebutkan bahwa Tuhan dalam agama Hindu Indonesia adalah Sang
Hyang Widhi Wasa. Nama ini berarti Yang Menakdirkan, Yang Maha Kuasa, yang dalam bahasa Bali
diterjemahkan dengan Sang Hyang Tuduh atau Sang Hyang Titah. Dalam sastra-sastra, baik lontar
maupun dalam puja astawa saat upacara keagamaan Tuhan atau Sang Hyang Widhi Wasa disebut dengan
Bhatara Siwa. Artinya, umat Hindu di Indonesia termasuk di Bali yang telah memeluk agama Hindu
secara turun temurun adalah memuja Tuhan atau Sang Hyang Widhi Wasa sebagai Bhatara Siwa.
Brahman memiliki dua aspek, yaitu Saguna Brahman dan Nirguna Brahman. Nirguna Brahman disebut
Para Brahman, yaitu Brahman Tertinggi adalah Brahman yang bebas dari guna, Brahman yang tak
terbatas, tak terkondisikan dan tanpa sifat. Ia tidak dapat dipahami. Dalam Bhagawadgita. VIII. 3 Sri
Bhagavan bersabda,
“Yang kekal abadi, maha Agung, adalah Brahman; persemayaman-Nya dalam badan individu
dinamakan adhyatman; karma adalah nama yang diberikan kepada persembahan yang melahirkan
makhluk hidup di dunia”.
Ia tanpa ruang, tanpa waktu, tanpa sebab, tidak berpribadi. Ia tak berawal, tiada pertengahan, tiada
berakhir, berada di mana-mana.
Dalam Bhagawadgita. IX. 18 dijelaskan bahwa
“Aku adalah tujuan, pengemban, penguasa, Aku adalah saksi, tempat kediaman, tempat perlindungan;
Aku adalah kawan, asal mula, akhir kesudahan; Aku adalah dasar, tempat penyimpanan, benih abadi”.
Bhagawadgita. IX. 19
“Aku adalah pemberani, kehangatan, menahan dan menurunkan hujan, Aku adalah keabadian dan
kematian, sat dan asat, wahai Arjuna.
Saguna Brahman yang juga disebut Apara Brahman adalah Ia yang Kuasa yang terbatas, yang tersangkut
dengan dunia pengalaman dan jiwa perseorangan. Ia adalah Isvara.
Hal ini dijelaskan dalam Bhagawadgita, IV.6 bahwa
“Walaupun Aku tak terlahirkan, kekal, Aku adalah Isvara dari semua makhluk, Aku menjadikan diriKu
sendiri dan menjadi ada dengan kekuatan Maya-Ku”.
Ia yang menciptakan, memelihara, dan melebur dunia ini. Hal ini diuraikan dalam Bhagwadgita, XIV. 3
dan 4, yaitu
“Kandungan Ku adalah Maha Brahma (prakrti) dimana aku meletakkan benih (kehidupan) di dalamnya
dan dari sanalah adanya semua kelahiran makhluk ini, wahai Arjuna”. “Apapun wujud yang lahir itu,
wahai Arjuna, pada kandungan siapapun, Maha Brahma adalah kandungannya dan Aku adalah bapak
pemberi benih”.

Manawa Dharmasastra, I. 8, juga menjelaskan bahwa


“Tuhan menciptakan dari dirinya sendiri semua makhluk hidup yang beraneka ragam”.
Ia yang hadir di mana-mana, maha tahu, maha kuasa, pengendali jiwa perseorangan, dan pengendali alam
semesta.
Hal ini dijelaskan dalam Bhagawadgita, IX. 4 bahwa
“Alam semesta ini diliputi oleh-Ku dengan wujudKu yang tak nyata”.
Ia adalah penguasa hukum karma dan moral. Hal ini dijelaskan dalam Bhagawadgita. IX. 17 bahwa
“Aku adalah Bapa, Ibu, Pelindung, dan Datuk alam semesta ini, Aku adalah objek ilmu pengetahuan,
pensuci, Aku adalah Omkara, dan juga Rg, Sama, dan Yayuh”.
Masyarakat Hindu di Bali lebih mengenal Brahma Vidya atau Brahma Jnana Tattwa dengan sebutan
Tattwa yang berarti hakikat tentang Tat atau “Itu”, yaitu Tuhan dalam bentuk Nirguna Brahman. Hal ini
diterima sebagai salah aspek dari agama Hindu di Indonesia (Bali), di samping Susila dan Acara
(Upacara).
Ketiganya itu, yaitu tattwa, susila, dan acara dikenal sebagai kerangka dasar agama Hindu di Bali. Ajaran
tattwa lebih dikenal dengan sebutan Siwatattwa yang merupakan kelompok lontar tattwa yang bersifat
siwaistik. Termasuk ke dalam golongan ini, antara lain Buana Kosa, Wrspatitattwa, Tattwajnana, Sang
Hyang Mahajanana, Ganapatitattwa, Buana Sangksepa, dan Jnanasiddhanta.
Lontar yang disebutkan pertama sajalah yang akan dijadikan pusat bahasan pada kajian ini seperti
dijelaskan berikut di bawah ini.
Bhuwana Kosa adalah sebuah lontar yang tergolong jenis tattwa atau tutur yang bercorak Siwaistik.
Lontar ini merupakan yang tertua hal ini tampak dari adanya teks Sansekertanya yang jumlahnya banyak,
bahkan lebih banyak dari uraiannya dalam bahasa Jawa Kuna dan keadaan teksnya cukup baik. Lontar ini
terdiri atas sebelas bab yang disebut dengan patalah dan 487 sloka.
Pokok-pokok isi secara keseluruhan Bhuwana Kosa (Brahma Rahasyam) alih aksara dan alih bahasa,
1994, diterjemahkan oleh tim penerjemah yang terdiri atas Rai Mirsha, Sura, Maka, Djapa, Sujana dan
Sunu diterbitkan oleh Upada Sastra di Denpasar dapat distrukturisasi sebagai berikut.
Pokok-pokok isi secara keseluruhan Bhuwana Kosa (Brahma Rahasyam) alih aksara dan alih bahasa,
1994, diterjemahkan oleh tim penerjemah yang terdiri atas Rai Mirsha, Sura, Maka, Djapa, Sujana dan
Sunu diterbitkan oleh Upada Sastra di Denpasar dapat distrukturisasi sebagai berikut.
1. Patalah I berjudul Brahma Rahasyam, Pretamah Patalah terdiri atas 33 sloka.
2. Patalah II berjudul Brahma Rahasyam, Dwitiyah Patalah terdiri atas 20 sloka.
3. Patalah III berjudul Brahma Rahasyam, Tritiyah Patalah terdiri atas 80 sloka.
4. Patalah IV berjudul Buana Kosa, Catur Patalah terdiri atas 76 sloka.
5. Patalah V berjudul Brahma Rahasyam, Panca Patalah terdiri atas 52 sloka.
6. Patalah VI berjudul Jnana Siddhanta, Pretamah Patalah terdiri atas 4 sloka.
7. Patalah VII berjudul Basma Mantra terdiri atas 30 sloka.
8. Patalah VIII berjudul Jnana Sangksepa terdiri atas 40 sloka.
9. Patalah IX berjudul Buana Kosa, Nawa Patalah terdiri atas 44 sloka.
10. Patalah X berjudul Siddhanta Sastra, Dasa Patalah terdiri atas 35 sloka.
11. Patalah XI berjudul Buana Kosa, Siwopadesa Samaptam terdiri atas 75 sloka.
Adapun kesebelas topik pembahasan dalam 11 patala diantaranya:
1. Brahma Rahasyam, Prathama Patala (Rahasia Brahma Yang Pertama) yang menjelaskan rahasya
Tuhan Yang Maha Esa yang disebut sebagai Siva yang bersemayam dalam hati yang dapat dilihat
oleh seorang Yogisvara.
2. Brahma Rahasyam, Dvitiya Patala (Rahasia Brahma yang Kedua) yang menjelaskan rahasya
Tuhan YangMaha Esa menciptakan alam semesta, sapta loka dan makhluk hidup lainnya serta
sifat-sifat Tuhan Yang Maha Esa yang Nirguna.
3. Brahma Rahasyam, Tritiya Patala (Rahasia Brahma yang Ketiga) yang menjelaskan rahasya
Tuhan Yang Maha Esa sebagai Sang Hyang Rudra yang bersatu dengan Sang Hyang Siva.
4. Bhuwanakosa Caturta patala (Bhuvanakosa yang menjelaskan unsur-unsur jagat raya dari yang
halus (Panca Tan Mantra) dan yang lebih kasar (Panca maha Bhuta), Buddhi, Manas, ahamkara
dan Triguna.
5. Brahma Rahasyam, Pancama Patala (Rahasia Brahma yang Kelima) yang menjelaskan rahasya
Tuhan Yang Maha Esa tentang alam Kaivalya, Jagrapada, Supta, dan Svapana serta perjalanan roh
meninggalkan badan menuju alam yang murni yang menjadi tujuan para pandita.
6. Jnana Siddhanta Sastram Prathama Patala (Pengetahuan Jnana Siddhanta yang Pertama) yang
menyatakan seorang Pandita hendaknya memahami Siddhanta.
7. Bhasma Mantra sakala vidhi sastram Dvitiya Patala (Pengetahuan tentang mantra abu suci yang
Kedua) menjelaskan tentang manifestasi-Nya yang utama, yakni Brahma, Visnu, dan Siva, aksara
yang berkaitan dengan Dewa-Dewa tersebut serta posisinya dalam tubuh manusia.
8. Jnana Samksepa (Simpulan Ajaran) menjelaskan tentang pahala penyucian diri.
9. Bhuvana Kosa Nava Patala (Bhuvana Kosa yang Kesembilan) menjelaskan tentang mudra (sikap
tangan) dan arcana (tata cara pemujaan).
10. Siddhanta Sastra, Dasama Patala (Pengetahuan Siddhanta yang Kesepuluh) menjelaskan
bagaimana seorang pandita menghadapi kematian sehingga menuju Sang Hyang Siva. Dijelaskan
pula tentang Yoga Sandhi. Lepasnya atma melalui ubun-ubun (Sivadvara).
11. Bhuvana Kosa, Sivopadesa Sampta (Bhuwana Kosa, Ajaran Siva yang tertakhir). Merupakan
bagian akhir dari Bhuvana Kosa ajaran Siva menjelaskan aksara suci perwujudan Tuhan Yang
Maha Esa (Pranava) dan prosesnya menjadi berbagai aksara dalam alam semesta serta tubuh
manusia, kemudian dari berbagai aksara itu kembali kepada asalnya.
POKOK AJARAN SIVA SIDDHANTA YANG TERKANDUNG DALAM BHUWANA KOSA
Secara garis besarnya isi Buana Kosa dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu pertama Brahmarahasyam
dan kedua Jnanarahasyam.
Brahmarahasyam berisi percakapan antara Srimuni Bhargawan dan Bhatara Siwa tentang Siwa yang
bersifat sangat rahasia. Percakapan ini diuraikan dalam patalah I sampai dengan patalah V. Selanjutnya,
Jnanarahasyam berisi percakapan antara Bhatara Siwa dengan Bhatari Uma dan Sang Kumara, yaitu
tentang pengetahuan untuk memahami Siwa yang bersifat rahasia. Percakapan ini diuraikan dari patalah
VI sampai dengan patalah XI.
Tuhan dalam Buana Kosa disebut dengan Bhatara Siwa, Yang Maha Esa, tanpa bentuk, tanpa warna, tak
terpikirkan, tak tercampur, tak bergerak, tak terbatas, tak termusnahkan, dan sebagainya.
Hal ini diuraikan dalam Buana Kosa, I. 19, yaitu
“Tan kareketan mala, tan palwir, tan pagatra, wypaka, yonggwan Sang Hyang Astasiwa, tar pacala,
wisesa ya”,
(Tanpa dosa, tanpa wujud, tanpa rupa, tetapi menguasai atau memenuhi alam. Itu tempat bersemayam
Sang Hyang Astasiwa, sangat utama tanpa cela).
Hal ini diuraikan pula dalam Buana Kosa, IV.44 disebutkan bahwa “Gunottamah niralambhah, nirgotra
nissaraninah, ati parama sunyantam, nirbhanan niskalam prabhuh. Uttama ta sira dening asta guna,
nirrassraya tar pagotra, tan pawak, atisaya ta sira ring wisesa, sunya malilang tejanira”,
(Beliau sangat utama, karena memiliki delapan keakhlian, tanpa bantuan, tanpa rupa dan tanpa wujud,
sangat sakti, sinar beliau sangat halus dan cemerlang).
Bhatara Siwa sebagai Tuhan Yang Maha Esa dalam alam Brahma dijelaskan dalam Buana Kosa. II. 14,
yaitu
“Na rupam (ia yang tanpa rupa),na warnnam (tanpa warna), na rasam (tanpa rasa), na gandham (tanpa
bau),na sabdam (tanpa suara), asparam (tak teraba), anamayam (tak terkena sakit), acintyam (tak
terpikirkan), anadi madhyantam (tanpa awal, tanpa pertengahan, tanpa akhir, tanpa batas), asangkirnnan
(tak tercampur),agatham (tanpa wujud), aracanam (tanpa rupa dan warna), adwityam (tak ada yang
melebihi dalam hal keunggulan), na calitam (tak goyah),alinggakam (tanpa lingga), acyutam (tak susut),
aksayam (tidak berkurang), anirgatam (tanpa perbuatan), aspreham (tanpa keinginan), agarbbha janma
maranam (tidak lahir dari kandungan dan tanpa kematian), arogam (tanpa sakit), asokam (tanpa susah),
awedhanam (tanpa penderitaan), asangsaram (tanpa sangsara), nirmalam (tanpa noda), na kalam (tanpa
waktu), na kasam (tanpa angkasa), na samwatsara (tanpa tahun, tanpa musim, tanpa bulan, tanpa siang dan
malam), asandhyangsam (tanpa senja kala), na muhurta (tanpa kurun waktu), na welakastam (tanpa
matahari berjalan kearah utara, tanpa matahari berjalan di tengah-tengah), na daksinayanam (tanpa
matahari berjalan di garis Khatulistiwa), animepyam (tanpa kerdip, tenang), sunyam (sepi), dhyawan
(selalu ingat), waran (utama), satyam (setia), witam (sangat sepi dan hampa), swaccam (bersih),
kewalyam (hampa), nirasrayam (tanpa bantuan atau perlidungan), Siwam (ia juga disebut Siwa), moksam
(ia itu kebebasan yang sejati), nirasradham (tanpa iri hati), nirbanam (itu nirwana), Param Brahma (ia
adalah Brahma tertinggi), nirakaram (tidak dapat diumpamakan), na bhaya (tidak terkena bahaya),
amretam (tanpa kematian), etam brahmani (demikian wujud alam Brahma).
Bhatara Siwa berada di mana-mana, sangat halus, tak terjangkau, dan tak terpikirkan oleh panca indriya
dan pikiran manusia. Hal ini diuraikan dalam Buana Kosa, II.17, yaitu
“Bhatara Siwa wyapaka, sira suksma tar keneng angen-angen, kadyangga ning akasa, tan kagrehita
dening manah, mwang indriya”.
(Sang Hyang Siwa ada di mana-mana, tetapi sangat halus tidak dapat dibayangkan atau dipikirkan. Beliau
bagaikan angkasa tidak terjangkau oleh pikiran dan panca indriya).
Bhatara Siwa, juga dikatakan menguasai pengetahuan, tanpa awal, tanpa pertengahan, dan tanpa akhir
seperti diuraikan dalam Buana Kosa, IV:40, yaitu
“Tan padi tan pamaddhya tan panta, wihikan ta sireng sarwwijnana kabeh, nitya ta sira haneng tapo
loka, tan kena ring tuhapati”,
(Tanpa awal, tanpa pertengahan dan tanpa akhir, Beliau menguasai semua pengetahuan, selalu tinggal di
Tapa Loka, terhindar dari ketuaan dan kematian).
Ia tak terbatas digambarkan secara terbatas. Oleh karena itu Ia sering disebut dengan nama yang berbeda-
beda, seperti Brahma, Wisnu, Iswara atau Rudra sesuai dengan tugas dan fungsinya. Bhawa, Pasupati,
Sarwajna, sesuai dengan tempat yang ditempatinya.
Dalam Buana Kosa, III:9 ditegaskan bahwa
“Nihan wibhaga munggwirikang tattwa kabeh, Sarwajnana ngaranya yang andel ing prethiwi, Bhawa
ngaranira yang andel ing toya, Pasupati ngaranira yan andel ing Sang Hyang Agni, Isana ngaranira yan
umandel ing bayu”,
(Itulah perincian Bhatara yang berada pada semua tattwa, Sarwajna namanya bila Ia berada pada tanah,
Bhawa namanya bila Ia berada pada air, Pasupati namanya bila Ia berada pada api, Isana namanya bila Ia
berada pada angin).
Sadyojata, Bhamadewa, Tatpurusa, Aghora, dan Isana dalam Panca Brahma. Dalam Rg. Veda I. 164. 46
disebutkan bahwa
“Indram mitram Varuna agnim ahur atho dvyah sasuparno garutman, ekam sad vipra bahudha vadanty
agnim yaman matarisvanam ahuh”.
(Mereka menyebutkan Indra, Mitra, Varuna, Agni, dan Dia yang bercahaya yaitu Garutman yang
bersaayap elok, Satu itu (Tuhan) sang bijaksana menyebut dengan banyak nama seperti Agni, Yama,
Matarisvan).
Nama-nama Bhatara Siwa diuraikan secara lebih terperinci dalam Buana Kosa. III:10, yaitu
“Bhima ngaranira yang haneng akasa, kinahanan ta sira de ning asta guna, Mahadewa ngaranira yan
haneng manah, tan pawak, Ugra ngaranira yan haneng panca tanmatra, Rudra ngaranira yan haneng
teja, makawak ahangkara”.
(Bhima namanya, bila Ia berada pada angka, Ia ditempati oleh asta guna,. Mahadewa namanya bila Ia
berada pada pikiran, Ia tanpa badan. Ugra namanya bila Ia berada pada panca tanmatra. Rudra namanya
bila Ia berada pada sinar, Ia berbadankan ahangkara).
Dalam Lontar Bhuwana Kosa, Brahma Rahasya Tritiyah Patalah, III.12 disebutkan:
katinah sarwwato bhumih, drawatwam sarwwato jalam, usnatwam sarwwato bahnih, calitwam
sarwwato nilah. ikang makas ring sarira, prettiwi ika, ikang drawa ring sarira, apah ika, ikang molah
ring sarira, bayu ika.
Terjemahannya:
Segala yang keras pada tubuh (daging dan tulang) itulah Pretiwi, yang cair pada tubuh (darah, kecing dan
air kelenjar) itulah Apah, dan yang bergerak pada tubuh (udara dalam peparu dan jantung) itulah Bayu.
Selanjutnya III.13:
Samiratwam tatha kasam, sangkalpam sarwwato manah, etat bhutwa sarirakyam, bhotika nabhi
rusyate. lyang ning sarira kabeh pinaka hawa ning bayu, ya akasa bhuta, ngaran. ikang manah
sangkalpa ring sarira, manah ika, nahan tatwani sarira panca maha bhuta inajaraken, aghora wijanya,
ring nabhi sthana, ong ang, namah.
Terjemahannya:
Semua lubang pada tubuh (telinga 2, mata 2, hidung 2, mulut, dubur, kelamin) merupakan jalan nafas/
udara itulah perwujudan Akasa. Pikiran yang selalu penuh dengan keinginan pada diri kita itulah Manah.
Demikianlah lima unsur kehidupan (Panca Maha Bhuta) yang Aku jelaskan. Manifestasi Aghora
bersemayam di pusar, Ong, Ang aksara suci-Nya.
Jadi memelihara alam adalah pekerjaan yang sangat mulia, karena dengan jalan itu manusia menunjukkan
bhakti yang nyata kepada Ida Sanghyang Widhi. Bila kita sayang kepada diri kita, maka sayangilah alam,
karena tubuh manusia diciptakan-Nya dari alam. Oleh karena itu di Bali dikenal adanya Bhuwana Agung,
yaitu alam semesta dan Bhuwana Alit, yaitu tubuh manusia, kedua-duanya identik dan mempunyai unsur-
unsur yang sama.
Ia bersifat immanent dan transcedent, artinya Ia meresapi segala, hadir pada segala termasuk pada pikiran
dan indriya (sira wyapaka).
Transcedent, artinya Ia meliputi segala, tetapi Ia berada di luar batas pikiran dan indriya. Immanent,
artinya hadir di mana-mana. Dalam Buana Kosa, I:10 ditegaskan bahwa
“Lwir Bhatara Siwa hane ri ya, wyapaka nitya, menget sira tan cala, maweh sira kawruhana dening
nina jnana, sira tamar cala irikang jagat kabeh, sthawara janggamarawaknya”,
(Keberadaan Sang Hyang Siwa di sana, selalu menyusupi segala, selalu sadar dan tak bergerak, sulit
diketahui oleh orang yang tidak berilmu pengetahuan, Beliaulah menggerakkan seluruh dunia, baik
tumbuh-tumbuhan maupun binatang).
Dalam Buana Kosa. III. 8 dinyatakan bahwa
“Ika ta kapasangan ikan tattwa rudradi, ya ta pinaka sarira jagat kabeh, sira wypaka ring rat, sira
wisesa, sira mungguh ring tattwa akabeh”.
(Itulah rangkaian tattwa Rudra dan sebagainya. Itulah dijadikan badannya bumi seluruhnya. Adapun
Bhatara Siwa, Ia meresapi seluruh dunia. Ia amat utama, berada pada semua tattwa (unsur).
Meskipun Ia ini immanent dan transcedent pada semua makhluk, tetapi Ia tidak dapat dilihat dengan kasat
mata karena Ia bersifat sangat rahasia, abstrak. Oleh karena kerahasiaannya dalam kakawin Arjuna
Wiwaha Ia digambarkan bagaikan api dalam kayu, minyak dalam santan.
Dalam Buana Kosa, II. 18 juga dinyatakan bahwa
“Sang hyang Apuy hanerikang kayu-kayu, andatan katon, makanimitra suksmanira, yatha,
kadyangganing akasa, mangkana ta Bhatara Mahadewa, an hana ring sarwa mawak, ndatar kapangguh
sira, makanimitta ng suksmanira”.
(Api itu ada pada kayu, namun tidak kelihatan, karena halusnya, ibarat angkasa.
Demikianlah Sanghyang Mahadewa, hadir pada semua yang berwujud, tetapi tidak tampak, karena
halusnya). Ia ada di mana-mana, pada semua yang ada ini. Ia tidak tampak, tetapi Ia ada. Sungguh sangat
rahasia adanya.
Dalam Buana Kosa II. 16 diuraikan bahwa
“Bhatara Siwa sira wyapaka, sira suksma tar kneng angen-angen, kadyangga ning akasa de ning manah
mwang indriya”.
(Bhatara Siwa meresapi segala, Ia gaib tak dapat dipikirkan, Ia seperti angkasa, tak terjangkau oleh pikiran
dan indriya).
Ia adalah asal dari semua yang ada ini (sangkeng bhatara Siwa sangkanya). Alam semesta (bhuwana
agung) dengan segala isinya, dan juga manusia (bhuwana alit) adalah ciptaan-Nya.
Hal ini diuraikan dalam Buana Kosa, III:67 bahwa
“Matangnyan mangkana, apan ikang satwa kabeh lingging tatwa, sangkeng Bhatara Siwa sangkanya,
sira pinaka sarira tatwaning satwa kabeh, apan sira karananing dadi kabeh, yata katuturana de sang
weruh ring tatwa”,
(Apa sebab demikian, karena semua anazir-anasir atau unsur pada hakikatnya bersumber dari Sang Hyang
Siwa.
Beliaulah menjadi inti jasad anazir-anazir atau unsur, dan Beliau pula yang menyebabkan adanya semua
yang ada. Hal itulah yang patut dihayati noleh orrang yang tahu akan hakikat hidup).
Penampakan Bhatara Siwa dalam menciptakan dunia disebutkan dalam Buana Kosa, III:76 bahwa
“Lwir Bhatara Siwa magawe jagat, Brahma rupa siran pangraksa jagat, Wisnu rupa siran pangraksa
jagat, Rudra rupa sira mralayaken rat, nahan tawak nira, bheda nama”,
(Brahma wujud-Nya waktu menciptakan dunia ini, Wisnu wujud-Nya waktu memelihara dunia ini, Rudra
wujud-Nya waktu mempralina dunia ini, Demikianlah tiga wujud-Nya (Trimurti) hanya beda nama).
Bhatara Siwa sebagai Brahma, Wisnu dan Rudra, dalam aksara dilambangkan sebagai Am Um Mam,
kesatuan ketiganya adalah Om.
Aktivitas Bhatara Siwa pada waktu mencipta dunia disebut utpatti, pada waktu menjaga dan
memeliharanya disebut sthiti, dan pada waktu mengembalikan kepada asalnya disebut pralina.
Dalam Buana Kosa, VII:25 disebutkan bahwa
“Bhatara Brahma sirotpatti, Bhatara Wisnu sira sthiti, Bhatara Rudra sira pralina, nahan tang tiga
pinaka sarana ring loka”,
(Bhatara Brahma adalah pencipta, Bhatara Wisnu adalah yang memelihara, Rudra adalah pamralina.
Demikianlah Dewa yang tiga itu sebagai pelindung).
Hal ini diuraikan pula dalam Buana Kosa, VII:27, yaitu
“Sang Hyang Brahma sira magawe jagat, Sang Hyang Wisnu sira rumakseng praja, Bhatara Rudra sira
mralayaken rat, ikang rat mwang athawara janggama, yeka pinralinaken de sang Hyang Rudra”,
(Sang Brahma menciptakan dunia, Sang Hyang Wisnu melindungi dunia, Sang Hyang Rudra melebur
dunia dengan segala isinya, baik yang tidak bergerak maupun yang bergerak. Itu semua diatur oleh Sang
Hyang Rudra).
Semua ciptaan-Nya itu merupakan wujud mayanya yang bersifat tidak kekal. Dikatakan demikian karena
segala wujud ciptaan-Nya itu dapat mengalami kehancuran. Pada saat mengalami kehancuran semua
ciptaan-Nya itu akan kembali kepada-Nya. Mengingat Ia adalah asal dan tujuan semua yang ada ini (mijil
sakeng sira, lina ri sira muwah).
Dalam Buana Kosa, III:80 disebutkan bahwa “Sakweh ning jagat kabeh, mijil sangkeng Bhatara Siwa
ika, lina ring Bhatara Siwa ya”,
(Seluruh alam ini muncul dari Bhatara Siwa, lenyap kembali kepada Bhatara Siwa juga).
Hal ini, dijelaskan pula dalam Buana Kosa, III:69 bahwa
“Mangkana pwa Bhatara Siwa, irikang tattwa kabeh, ri wekasan lina ri sira muwah, nihan
dretopamanya, kadyanggining wereh makweh wijilnya, tunggal ya sakeng wway”,
(Demikianlah Sang Hyang Siwa pada semua unsur, pada akhirnya semuanya itu akan lenyap kembali
pada Beliau. Begini ibaratnya, seperti buih banyak sekali muncul, tetapi sumbernya satu yaitu air).
Mengenai peleburan dunia ini diuraikan pula dalam Buana Kosa. III. 71, yaitu
“Sira Bhatara Rudra, nga, sira ta rumaksa ikang rat kabeh, yawat ri kalaniran pangraksa, tawat irika ta
ya hananya nitya, anglinaken pwa sira wekasan, umantuk ta ya kabeh ri sira juga”,
(Beliau Sang Hyang Rudra, Beliau menjaga seluruh dunia. Pada saat Beliau menjaga, pada saat itulah
keadaannya kekal. Akhirnya, juga melebur dan akhirnya semua itu akan kembali juga pada Beliau).

Anda mungkin juga menyukai