Anda di halaman 1dari 49

PEMBAHASAN (semester 1 UTS)

Mempelajari Ketuhanan Sebagaimana diungkapkan dalam kitab Brahma Sutra I.I.I.,


merupakan hal yang penting, karena dinyatakan sebagai jalan yang dapat mengantar manusia
kepada kesempurnaan sampai kepada moksa.

Theologi atau Brahma Vidya adalah ilmu tentang Tuhan. Theos (bhs. Yunani) berarti
Tuhan dan Logos (Bhs. Yunani) berarti Ilmu. Perlunya belajar Ketuhanan adalah untuk
mengerti dan memahami tentang Tuhan agar dapat dihindari pengertian yang salah sejauh
mungkin tentang pengertian Tuhan yang dibedakan dari hal yang bukan Tuhan.

Masalah Ketuhanan inilah yang akan dibahas berturut-turut dalam uraian berikut untuk
mendapatkan gambaran yang jelas tentang pengertian, konsep, serta metode penghayatan
tentang Tuhan sebagaimana dapat kita lihat sepanjang sejarah pertumbuhan agama Hindu.

pemahaman tentang teologi dan humanisme dipandang penting untuk membangun


religiusitas umat Hindu secara holistik dan integral dalam kerangka tattwa, susila, dan acara.
Dalam hal ini, Bhagawadgita dapat dijadikan objek material, seperti dijelaskan Sudharta
(1990:2) bahwa selain konsep yoga dan teologi, juga kemanusiaan dan moralitas merupakan
aspek penting dari ajaran Bhagawadgita. Hal ini menegaskan bahwa Bhagawadgita sebagai
teks Hindu memiliki keunggulan tersendiri karena sifat ajarannya yang komprehensif tentang
teologi dan humanisme. Jadi, pengungkapan aspek teologi dan humanisme dalam
Bhagawadgita sekurang-kurangnya diharapkan dapat memperkaya referensi tentang agama
Hindu yang lebih humanis.

Ringkasan Bhagawadgita

Bhagawadgita terdiri atas 18 bab dan 700 seloka serta tiap-tiap bab membahas topik secara
khusus. Bab I berjudul Arjuna Visada Yoga terdiri atas 47 seloka. Bab ini dimulai dengan
keraguan Arjuna setelah menyadari bahwa peperangan bertentangan dengan ajaran agama.
Arjuna juga menyadari bahwa ia tidak mengingkari kemungkinan berbagai alternatif lain,
tetapi untuk memantapkannya, Arjuna mengharapkan bimbingan dari Krishna untuk keluar
dari kebingungan. Bab II berjudul Smkhya Yoga terdiri atas 72 seloka. Krisna menanggapi
kebingungan Arjuna dengan menjelaskan dasar-dasar pemikiran Smkhya-Yoga. Smkhya
merupakan ajaran rasionalisme (Jna-yoga). Yoga merupakan ajaran disiplin moral sebagai
upaya untuk mencapai tujuan hidup beragama (moksa).
Brahmawidya Dalam Bhagawadgita

Brahmawidya adalah kata dalam bahasa Sanskerta yang artinya sama dengan teologi,
yaitu ilmu yang mempelajari Tuhan (Pudja (1999:3). Menurut Bagus (2002:1090) teologi
dalam bahasa Yunani theologia dibentuk dari kata theos berarti Tuhan dan logos berarti
wacana atau ilmu, karena itu teologi berarti wacana atau ilmu tentang Tuhan. Teologi
merupakan bagian dari metafisika yang menyelidiki hal eksisten menurut aspek dari
prinsipnya yang terakhir suatu prinsip yang luput dari inderawi tunggal. Objeknya adalah
Tuhan, yaitu esensiNya, eksistensiNya, dan aktivitasNya. Ilmu tentang Tuhan tidak
memberikan pengetahuan tentang Tuhan yang dalam setiap hal sama dengan pengetahuan
yang diperoleh dari ilmu tentang objek-objek pengalaman inderawi. Pernyataan-pernyataan
tentang Tuhan tidak memberikan pengetahuan yang memadai tentang Dia, tetapi hanya
pengetahuan yang bersifat analogis. Pengetahuan yang bersifat analogis ini menurut Pudja
(1999:3) dalam kitab suci Hindu selain disebut Brahmawidya juga disebut Brahmatattva
Jnana. Brahma berarti Tuhan, gelar yang diberikan kepada Tuhan sebagai yang memberikan
hidup pada ciptaanNya, Yang Mahakuasa. Widya atau Jnana berarti ilmu. Tattva berarti
hakikat tentang Tat (Itu, yaitu Tuhan dalam bentuk Nirguna Brahman). Tattva Jnana artinya
sama dengan ilmu tentang hakikat, yaitu ilmu tentang Tuhan. Inti dari Tattva adalah Panca
Srada, yaitu lima keimanan menurut agama Hindu. Panca Sraddha terdiri atas lima
kepercayaan, yaitu (1) Hyang Widhi, (2) Atman, (3) Karma Phala, (4) Punarbhawa, dan (5)
Moksa (Sudharta dan Punia Atmaja, 2001:6). Kelima sradha inilah aspek yang membangun
konsep Brahmawaidya yang hendak diungkap dalam Bhagawadgita.

Untuk mempelajari yang kemudian dijadikan keyakinan ada 5 hal yakni :

1. TUHAN (Eksistensi terbesar di alam semesta).


2. ATMAN (eksistensi terkecil di alam semesta)
3. KARMAPHALA (sebab akibat dan aksi reaksi).
4. SAMSARA (perubahan,semua akan berubah kecuali TUHAN).
5. MOKSA (kembali keasal).
Ke-5 ini sudah ada sejak terciptanya alam semesta,ke-5 ini disebut PANCA SRADHA.

Siapakah yang menciptakan PANCA SRADHA ini?Jawabannya: TUHAN.

Pendiri-Nya TUHAN,bukan manusia,manusia mengelompokkan dirinya untuk


mempelajari ke-5 ciptaan Tuhan ini, dalam catatan terakhir yang masih bisa dicatat bernama
sanatana dharma,kemudian menjadi HINDU DHARMA dan tentu sebelum bernama sanatana
dharma ada nama-nama lainya hanya hilang dalam catatan sejarah.
Ajaran Panca Sradha ini sdh dipelajari sejak adanya manusia di alam semesta ini dari
bermilyar-milyar tahun yang lalu,hanya karena banyaknya bencana alam di alam semesta ini
dari milyaran tahun yang lalu menyebabkan manusia yang mempelajari panca sradha,catatan-
catatannya itu hilang.

Sejarah yang masih bisa dicatat ajaran Hindu (PANCA SRADHA) pertamakali
diturunkan oleh Shri Krishna kepada Dewa Surya (vivasvan,disebut RA dijepang),kemudian
setelah adanya manusia, Dewa Surya menurunkan kepada MANU (Kelompok manusia
milyaran tahun yang lalu) dan dari MANU menurunkan kepada Raja Ikswaku.

Raja Ikswaku yang keberadaannya milyaran tahun yang lalu,apa yang diturunkan oleh
Sri Krishna hilang karena bencan alam yang berkali-kali ada dialam semesta ini sehingga
karena catatan hilang,maka berkenan lagi Shri Krishna menurunkan ajaran Panca Sradha
kepada Arjuna yang dirangkum oleh Maha Resi Wyasa dalam suatu buku yang disebut
BHAGAVADGITA,maha Resi Wyasa juga mengumpulkan ajaran Hindu yang tercecer sejak
milyaran tahun yang lalu di bantu oleh murid-murid beliau.kemudian apa ajaran yang
tercecer sejak milyaran tahun yang lalu,yang masih bisa di kumpulkan oleh Maha Resi Wyasa
yang dibantu oleh murid-muridnya beliau dicatat dalam suatu catatan yang kemudian disebut
Catur Weda(Reg Weda,Yajur Weda,Sama Weda dan Atharwa Weda).

Widhi Sradha

Widhi menurut Yasa (Sukarma & Budi Utama, 2010) adalah nama Tuhan menurut
umat Hindu di Bali, Indonesia. Kata widhi berasal dari bahasa Sanskerta, yakni dari urat
kata wi sempurna, tuntas; dh meletakkan, menaruh. Widhi artinya takdir, hukum,
aturan, penguasa tertinggi, pencipta, Tuhan Yang Mahakuasa (Sura, 2000:133). Widhi yang
tunggal itu dipanggil dengan banyak nama sesuai dengan fungsinya. Ia dipanggil Brahma
sebagai pencipta, Wisnu sebagai pemelihara, dan Siwa sebagai pelebur, bahkan banyak lagi
panggilan yang lainnya. Ia Mahatahu berada di mana-mana. Orang menyembahNya dengan
bermacam-macam cara dan tempat yang berbeda. KepadaNyalah orang beragama
menyerahkan diri, mohon kekuatan, perlindungan, dan tuntunan, agar selamat tiba di tujuan
kehidupan. Dalam Bhagawadgita dijelaskan bahwa Tuhan itu Brahman yang pertama ada,
satu adanya, bersifat kekal, pencipta, pemelihara, pelebur, raja alam semesta, cahaya
tertinggi, pelindung, dan inti alam semesta. Kitab-kitab Upanisad menyatakan realitas dari
Brahman Tertinggi sebagai satu tanpa yang kedua, tanpa atribut, tanpa penetapan-penetapan
yang identik dengan Sang Diri terdalam manusia. Brahman merupakan subjek murni yang
eksistensinya tidak dapat ditolak menjadi dunia eksternal yang objektif. Dalam hal ini,
Brahman memiliki dua aspek, yaitu Nirguna Brahman dan Saguna Brahman (Panitiya Tujuh
Belas, 1986:45).

Kedua aspek Brahman ini diperjelas lewat pertanyaan Arjuna dalam Gita, XII.1,
bhakta yang mantap senantiasa menyembahMu demikian dan yang lain lagi menyembah
yang Yang Abstrak, Yang Kekal Abadi; yang manakah dari keduanya ini yang lebih mahir
dalam yoga. Seloka ini menyatakan bahwa terdapat dua macam pemusatan pikiran dalam
bhakti, yaitu kepada Tuhan yang berwujud dalam aspek Saguna Brahman dan kepada Tuhan
yang abstrak dalam aspek Nirguna Brahaman. Demikian juga dengan jawaban Yang Kuasa
dalam Gita, XII. 2, mereka yang memusatkan pikirannya padaKu, dengan senantiasa
mengendalikannya dan dengan penuh kepercayaan, merekalah yang Aku anggap terbaik
dalam pelaksanaan yoga. Ini berarti bahwa memuja Tuhan yang berkepribadian, yaitu
Saguna Brahman merupakan cara terbaik dalam pelaksanaan bhakti. Sebaliknya, Tuhan
dalam aspek Nirguna Brahman dijelaskan dalam Gita, XII.3, mereka yang memuja Yang
Kekal Abadi, Yang Tak Terumuskan Yang Tak Nyata, Yang melingkupi segalanya, dan
Yang Tak terpikirkan, Yang Tak Berubah, Yang Tak Bergerak, Yang Abadi.

Atman Sradha

Atman menurut Sudharta dan Oka Punia Atmaja (2001:16-18) merupakan percikan
dari Paratman yang berada di dalam makhluk. tman menghidupkan sarwaprani (makhluk)
di alam semesta. Indera tidak dapat bekerja, bila tidak ada Atman. Brahman atau Hyang
Widhi sebagai matahari dan Atman sebagai sinarnya yang terpancar memasuki hidup semua
makhluk. Pada dasarnya Atman itu suci, tetapi setelah bersatu dengan tubuh ia kena pengaruh
Maya. Atman sebagai roh individu dalam sifat sejatinya dijelaskan dalam Gita, (II.1125)
berikut, (1) Acchedya, yaitu tak terlukai oleh senjata, (2) Adahya, yaitu tak terbakar oleh api,
(3) Akledya, yaitu tak terkeringkan oleh angin, (4) Asesyah, yaitu tak terbasahkan oleh air,
(5) Nitya, yaitu abadi, (6) Sarwagatah, yaitu ada dimana-mana, (7) Sthanu, yaitu tak
berpindah-pindah, (8) Acala, yaitu tak bergerak, (9) Sanatana, yaitu selalu sama, (10)
Awyakta, yaitu tak dilahirkan, (11) Acintya, yaitu tak terpikirkan, (12) Awikara, yaitu tak
berubah dan sempurna bukan laki-laki ataupun perempuan.

Atman dalam Gita, II:1618 dijelaskan, Dia adalah nyata, meliputi segalanya, kekal,
abadi, tak terhancurkan, tanpa batas. Sementara itu, Gita, II:24 kembali menyatakan bahwa
Dia kekal, meliputi segalanya, dan abadi selamanya. Di samping itu, Gita (VI:31)
menetapkan identitas Sang Diri dengan Brahman yang terkandung dalam diktum Weda, yaitu
sarva-bhta-sthitam yo mm, (dia yang memuja Aku yang bersemayam pada semua
insan), atau Dia adalah kamu. Hal ini juga tegaskan dalam Gita, XVIII:61, Yang Maha
Esa berdiam di hati setiap insan. Dalam Gita, VI.29 dan 30, yaitu setelah menjelaskan sifat
asli dari kamu dan Dia selanjutnya, dinyatakan bahwa sarva-bhta-stham tmnam
sarva-bhtni ctmani, (Atman ada pada semua insan dan semua insan ada pada Atman),
dan juga dijelaskan bahwa Aku di mana-mana dan segalanya ada padaKu. Kemudian,
seloka 30 menjelaskan, dia yang melihat Aku di mana-mana dan melihat segalanya ada
padaKu. Aku tak bisa lepas daripadanya dan dia tak bisa lepas daripadaKu. Seloka ini, juga
menegaskan hubungan yang kekal antara Atman dan Brahman.

Karmaphala Sradha

Karmaphala terdiri atas karma dan phala dari bahasa Sanskerta. Karma berarti
perbuatan dan phala berarti buah, hasil. Karma adalah prinsip kerja yang diletakkan secara
tuntas, widhi, untuk mengatur siklus hidup segala makhluk ciptaanNya (Yasa dalam Sukarma
& Budi Utama, 2010). Dengan demikian, karmaphala berarti hasil dari perbuatan. Umat
Hindu percaya bahwa perbuatan baik memberikan hasil yang baik dan perbuatan buruk
membawa hasil yang buruk. Begitu juga Vivekananda (1991:1) menjelaskan bahwa kata
karma berasal dari kata k yang berarti berbuat. Segala perbuatan adalah karma. Istilah ini
juga berarti akibat dari perbuatan. Apa yang terjadi sekarang diakibatkan oleh perbuatan
masa lampau. Bhagawadgita (3:4--5) menyatakan bahwa seseorang tidak mungkin tidak
berkarma. Manusia dibuat tak berdaya oleh hukum alam ini. Di samping itu, tampa bekerja
manusia tidak mungkin mencapai kebebasan. Dalam Gita, III.5 dijelaskan bahwa tidak ada
yang mampu melepaskan diri dari karma, walaupun untuk sesaat tak seorang pun mampu
untuk tidak berbuat karena manusia dibuat tak berdaya oleh hukum alam, yang memaksanya
bertindak. Artinya, eksistensi setiap makhluk senantiasa merujuk pada hukum sebab-akibat.
Untuk mempertahan eksistensinya, manusia terikat pada karmanya, seperti diterangkan Gita,
III.8, Bekerjalah seperti yang telah ditentukan, sebab berbuat lebih baik daripada tidak
berbuat, dan bahkan tubuh pun tak akan berhasil terpelihara tanpa berkarya. Tegasnya, tanpa
melakukan kerja, tanpa berbuat, dan tanpa berkarya, manusia tidak dapat mempertahankan
keberadaannya. Dunia akan hancur dan manusia akan musnah, bila Tuhan tidak bekerja,
seperti diuraikan Gita, III.24, Dunia ini akan hancur, jika Aku tidak bekerja; Aku akan
menjadi pencipta kekacauan ini dan memusnahkan manusia. Dengan demikian, baik Tuhan
maupun manusia tidak dapat berhenti bekerja karena hanya dengan bekerja eksistensi alam
semesta dan manusia dapat dipertahankan. Tidak bekerja berarti kehancuran dan
kemusnahan. Jadi, keberadaan itu sepenuhnya merupakan wujud dukungan dari perbuatan
sehingga tidak ada sesuatu apapun yang dapat menghindarkan diri untuk tidak berbuat.

Punarbhawa Sradha

Punarbhwa berarti Atman dalam kondisi terjebak dalam lingkaran kelahiran karena
pikiran cenderung larut dalam obyek duniawi (Yasa dalam Sukarma & Budi Utama, 2010).
Punarbhawa menurut Panitya Tujuh Belas (1986:78-94) serta Sudharta dan Oka Punia
Atmaja (2001:21-23) berasal dari bahasa Sanskerta yang terdiri atas Punar yang berarti
kembali, lagi, atau berulang; dan bhawa yang berarti lahir, hidup, ada, menjelma atau
berwujud. Jadi, punarbhawa berarti lahir kembali, lahir lagi, tumimbal lahir, menjelma
kembali, menitis, dumadi, mangjanma atau reinkarnasi. Hal ini ditegaskan dalam Gita, II.27,
Sesungguhnya setiap yang lahir, kematian adalah pasti, demikian pula setiap yang mati
kelahiran adalah pasti, dan ini tak terelakkan. Seloka ini hendak menyatakan bahwa apa
yang ada tidak akan pernah berhenti ada dan apa yang tidak ada tidak akan pernah menjadi
ada tanpa diciptakan oleh Tuhan. Ini merupakan sebuah kepastian yang tak terelakkan karena
kelahiran sudah pasti akan diikuti oleh kematian dan kematian diikuti pula oleh kelahiran.
Setiap kelahiran disebabkan oleh bekas karma, untuk berkarma, dan menikmati karma. Oleh
karena itu, jiwa yang ada di dalam prakerti menerima pengaruh dari sifat-sifat prakerti.

Dalam Gita, XIII.21 dikatakan, Purusa yang diam dalam prakrti mengalami triguna
yang ada pada prakrti sendiri dan ikatan dengan atribut menimbulkan akibat kelahiran.
Dalam hal ini dapat pahami bahwa kelahiran atau menjelma kembali merupakan kesempatan
untuk menerima phalakarma yang belum dinikmati pada masa kelahiran yang lalu. Di
samping itu, juga diyakini sebagai kesempatan untuk memperbaiki segala keburukan atau
dosa yang dilakukan pada masa kelahiran yang lalu. Artinya, kelahiran kembali merupakan
kesempatan untuk menyempurnakan hidup dan kehidupan hingga terhentinya kelahiran.

Moksa Sradha

Moksa dalam Upanisad dijelaskan adalah keadaan Atman yang bebas dari ikatan dan
bebas dari punarbhawa dan samsara. Moksa dapat dicapai, baik selama masih hidup maupun
setelah meninggal dunia. Bila moksa dicapai selama masih hidup, orang tersebut mencapai
tingkat moral yang tertinggi dan kehidupannya sempurna. Sebaliknya, bila moksa dicapai
setelah meninggal dunia, terjadilah menyatunya Atman dengan Brahman, karena itu Atman
tidak lahir kembali. Moksa adalah tujuan tertinggi kehidupan manusia dalam agama Hindu.
Moksa,, yaitu menunggalnya Atman dengan Brahman diyakini dapat dicapai, baik dalam
kehidupan yang sedang berlangsung maupun ketika telah meninggalkan badan jasmani.
Dalam Gita, II:72 disebutkan dengan mencapai nirvana bersatu dengan Brahman.Begitu
juga Sudharta dan Punia Atmaja (2001:23) mengatakan bahwa hal ini dapat dicapai hanyalah
bila sudah bebas dari ikatan-ikatan keduniawian. Dalam hal ini, semua indera benar-benar
dapat dikuasai dan dikendalikan, seperti dinyatakan dalam Gita, II.64 bahwa untuk mencapai
nirvana manusia harus tetap menguasai indera-inderanya dan bebas dari kesenangan dan
kebencian. Begitu juga Gita, II:65 ditegaskan, pikiran teguh dalam keseimbangan, dan
Gita, II:71 menyebutkan, mencampakkan semua keinginannya dan bebas tanpa keinginan,
bebas dari perasaan aku dan punyaku. Keadaan ini disebut jiwanmukti atau moksa
semasih hidup, seperti halnya prabhu Janaka dan Maharsi lainnya yang telah bekerja tanpa
pamrih memberikan kesejahteraan pada dunia. Hal ini juga dijelaskan dalam Gita, III:20,
Sesungguhnya dengan kerja itu saja prabu Janaka dan yang lainnya mencapai
kesempurnaan.

kata Panca Sradha berasal dari bahasa sansekerta yang berarti lima keyakinan. Sradha bersifat
filosofis abstrak yang mengarah pada tattwa. Yaitu tentang itu (abstrak).

Panca sradha terdiri dari :

1. Brahma Tattwa

Brahma Tattwa adalah keyakinan adanya Hyang widhi. Beberapa sloka dalam weda
menyebutkan :

Ekam sad wiprah bahudha vadanti, agni Yamam Matarisvanam

Artinya :

Hanya ada satu hakekat dari pada Tuhan, akan tetapi para arif bijaksana menyebutkan
dengan banyak nama seperti agni, yama, matariswa dsb.

Melihat adanya sloka tersebut di atas, maka ajaran agama hindu adalah Monotheisme.
Namun dalam penghayatan dan pengamalan ajaran agama hindu dipakai gelar sesuai
dengan fungsi, sinar suci dan kekuatan Tuhan itu sendiri.
Penanaman atas fungsi, sinar suci dan kekuatan itulah disebut Dewa. Berasal dari kata
Div artinya sinar suci. Dewa ada beribu-ribu tetapi Tuhan tetaplah tunggal.

2. Atma tattwa
Atma Tattwa adalah keyakinan adanya Atma sebagai sumber makhluk hidup. Atma
bersumber pada Brahman yang merupakan percikan halus yang menghidupkan
makhluk hidup. Di dalam badan/sarira atman disebut Jiwatman.sesungguhnya tiap
makhluk hidup terdiri dari unsur raga dan jiwa atau atman. Bila atman meninggalkan
badan kasarnya disebut mati. Hal ini bagaikan bola lampu tidak akan menyala tanpa
ada aliran listrik. Begitu pula aliran listrik tidak terlihat dalam lampu yang menyala
Sifat Atma adalah kekal abadi, karena merupakan unsur Brahman. Hanya badan raga
yang mengalami kematian sedangkan Atma tidak pernah mati. Agama Hindu yakin
bahwa setiap makhluk hidup dihidupkan oleh Atman yang bersumber dari Brahman

3. Karma Phala Tattwa


Karma Phala Tattwa adalah keyakinan adanya perbuatan yang akan menerima hasil.
Perbuatan baik akan menghasilkan hasil yang baik, perbuatan yang tidak baik akan
menerima hasil yang tidak baik. Perbuatan yang baik disebut subha karma, dan
perbuatan yang tidak baik disebut asubha karma.
Karma Phala dibedakan menjadi tiga, yaitu :
Sancita karma phala artinya perbuatan yang terdahulu yang belum habis dinikmati
dan sisanya dinikmati pada kehidupan sekarang ini.
Prarabdha Karma Phala artinya hasil dari pada perbuatan kita masa hidup ini dan
langsung kita nikmati tanpa ada sisanya.
Kryamana karma phala artinya hasil dari perbuatan kehidupan ini hasilnya belum
sempat dinikmati dan akan dinikmati pada kehidupan yang akan datang.

4. Punarbhawa Tattwa
Punarbhawa Tattwa adalah percaya adanya kehidupan yang berulang-ulang, atau
percaya pada reinkarnasi. Hal ini disebabkan karena karma seortang belum habis
dinikmati, sehingga Atma harus mengalami kelahiran kembali. Dari penjelmaan satu
ke penjelmaan berikutnya selalu berbeda, disebabkan dari karma wanasananya. Bila
seorang lebih banyak subha karma, maka dalam penjelmaan akan lebih baik. Begitu
pula sebaliknya. Oleh karena itu kelahiran itu disebabkan oleh karma wanasananya.

5. Moksa Tattwa
Moksa Tattwa adalah bebas dari reinkarnasi, bebas dari kelahiran dan ini berarti
Moksa adalah apabila Atma menyatu dengan Paramatma/Tuhan.
Moksa dalam arti yang lebih luas adalah kebebasan dari ikatan duniawi, yakni apabila
kita bisa melepaskan segala nafsu duniawi.
Jadi kelima unsur ajaran itu juga dinamakan Sraddha. Sraddha adalah kepercayaan atau
keimanan. Agama pada dasarnya merupakan pokok-pokok kepercayaan yang diyakini
sebagai jalan untuk menuju keselamatan.Tidak ada satu garis yang dapat dijadikan ukuran
keimanan seseorang beragama Hindu. Termasuk mengenai keimanan atau Sraddha. Kata
Sraddha berarti kepercayaan yang diikuti. Kata Sraddha diartikan pula upacara pemujaan
kepada arwah leluhur yang diwajibkan bagi setiap umat hindu.

Panca Sraddha berarti lima macam kepercayaan atau lima macam keimanan.

* Kelima macam keyakinan itu adalah :


1.Keyakinan tentang Tuhan (Brahman)
2.Keyakinan tentang Atman
3.Keyakinan tentang Karmaphala
4.Keyakinan tentang Punarbawa atau reinkarnasi
5.Keyakinan tentang Moksa
Nampaknya konsepsi Sad Sradha ini merupakan unsur pendukung dari Sradha itu sendiri
sehingga antara Sad Sradha dengan Panca Sradha tidaklah masalah.

Panca Sradha yang menjadi keyakinan umat hindu unsurnya adalah Sad Sradha dengan kata
lain Panca Sradha nampaknya diterapkan dalam wujud nyata dalam Sad Sradha.

Sraddha sebagai fundamental bagi umat Hindu mempunyai fungsi dan kedudukan yang khas
dalam sistem ajaran keagamaan Hindu itu.

Ada beberapa fungsi Sraddha yang perlu diketahui, yaitu :

Sraddha sebagai kerangka Dharma merupakan kerangka bentuk isi dari pada Agama Hindu.
Laksana melihat sebuah perumahan agama hindu, kerangkanya adalah Sraddha itu. Karena
itu Sraddha yang mewujudkan bentuk lahir dari pada Agama Hindu dan sebagai penyangga
dari pada bangun rumah itu.

Sraddha sebagai alat atau sarana dalam mengantar manusia menuju kepada Tuhan. Pengertian
ini dapat kita lihat dalam Yajur Weda XIX.30 dan 77 yang mengatakan :

Sraddha Satyam Apyati (dengan Sraddha orang akan mencapai Tuhan).

Sraddha Satye Prajapatih (Tuhan menetapkan, dengan Sraddha menuju kepada Satya).
Dalam uraian lainnya dapat pula jumpai ketentuan yang mengatakan :
Wratena Diksam Apnoti
Diksayapnoti Daksinam
Daksinam Sraddham Apnoti
Sraddhaya Satyam Ayate

Dari uraian itu, jelas bahwa Sraddha mempunyai kedudukan dan fungsi tertentu di dalam
agama Hindu. Dengan berpedoman pada Sraddha itulah berbagai dasar pengertian
keagamaan agama Hindu yang akan dapat dijelaskan. Karena itu Sraddha adalah kerangka
dasar yang membentuk berbagai ajaran di dalam agama Hindu yang perlu diyakini dan
dihayati dengan penuh pengertian.

Landasan ajaran ajaran agama Hindu

Satya

Salah satu unsur dalam keimanan yang merupakan landasan ajaran Agama Hindu
menurut Atharwa Weda XII,1.1 adalah ajaran mengenai Satya. Kata Satya dalam
bahasa Sanskerta itu dipergunakan dalam banyak hubungan karena kata itu dapat
berarti macam-macam
Adapun arti kata Satya antara lain, yaitu :

Satya yang berarti kebenaran, yaitu merupakan sifat hakekat dari pada Tuhan Yang Maha Esa,
sehingga kata itu diartikan sama sebagai Ketuhanan Yang Maha Esa. Kata ini pula diartikan
sama pula dengan kata Dewa, yaitu aspek sifat Tuhan atau wujud kekuasaan Tuhan yang
bersifat khusus, atau juga sama dengan malaekat.

Satya yang berarti kesetiaan atau kejujuran. Kata ini biasanya dirangkaikan dengan kata Wak
atau Wacana yang berarti kata-kata. Satya wacana berarti setia pada kata-kata, atau segala apa
yang dikatakan akan dilakukan sesuai menurut janji.

Satya dapat berarti kebenaran dalam arti relatif.

Kata Satya dalam arti ke Tuhanan dipergunakan sebagai sifat, yang lazimnya dipergunakan
dengan kata SAT yang artinya sama dengan ZHAT atau sering diterjemahkan dengan kata
Yang Maha Ada, sebagai hakekat sifat benar dari pada Tuhan yang bersifat mutlak atau
absolut. Kata SAT inilah yang sering kita jumpai dalam banyak sukta dari pada mantra-
mantra dalam Rg Weda dan Upanisad.

Penggunaan kata Satya dalam arti bahasa sehari-hari dengan pengertian kebenaran atau
kejujuran adalah dalam pengertian biasa menurut arti kata itu sendiri. Satya dijadikan dasar
ajaran yang merupakan landasan untuk pengembangan sikap mental dan jalan pikiran dalam
agama Hindu. Dengan kata Satya dimaksudkan agar setiap orang berlaku jujur dan selalu
setia pada kata-kata adalah merupakan sifat terpuji karena sifat itu pula yang menjadi milik
sifat Tuhan. Orang yang memiliki sifat Satya itu dikatakan dapat mendekatkan dirinya kepada
Tuhan atau dengan kata lain mereka itulah yang berjalan dijalan Tuhan. Setiap perbuatan,
setiap kata-kata, setiap pikiran, hendaknya harus dilandasi dengan dasar satya atau
berdasarkan iman pada Tuhan.

Pokok pengertian Satya yang dapat kita jumpai di dalam Weda sebagai salah satu sendi
keimanan dalam Agama Hindu.

Kedudukan Theologi dalam agama Hindu :

Mempelajari Ketuhanan sebagaimana diungkapkan dalam kitab Brahma Sutra 1.1.1


merupakan hal yang amat penting dan perlu karena dengan mengenal Tuhan secara
tepat dan baik, dinyatakan sebagai jalan yang dapat mengantar manusia kepada jalan
kesempurnaan sampai kepada Moksa atau Nirwana. Surga dan Neraka, Moksa dan
Samsara mempunyai arti dalam hubungan yang erat sekali dengan ajaran
KETUHANAN baik dalam rangkaian penghayatannya maupun dalam hubungan
pengamalannya.
Keinginan manusia untuk lebih banyak tahu tentang Tuhan dan keutuhan yang serba ghaib
(suksma), misteri (rahasiya) dan mutlak mengenai gambaran sifat hakekat (Tattwa) Tuhan
mendorong manusia untuk lebih banyak menghabiskan waktu mereka untuk merenung dan
mengagumi keghaiban itu dengan berbagai akibatnya. Penggambaran atau pengucapan
tentang Tuhan secara lahiriah, tidak lebih hanya membatasi sifat keabsolutannya secara
arbitratif. Setiap orang akan berfikir dan bicara lain tentang hal yang sama dan karena itu apa
yang lahir dari pikiran dan perkataannya akan lain pula wujudnya yang dipresentasikannya
baik dalam sistem kefilsafatannya (darsana,tattwa darsana) maupun dalam sastra dan bahasa.

Theologi atau brahma widya adalah ilmu tentang Tuhan. Theos (bhs. Yunani) berarti
Tuhan dan Logos (bhs. Yunani) berarti ilmu. Di dalam sastra Sanserta dan berbagai kitab suci
Hindu, ilmu yang mempelajari tentang Tuhan dinamakan BRAHMA WIDYA atau BRAHMA
TATTWA JNANA, kata Brahma dalam hubungan pengertian-Nya diartika TUHAN yaitu
gelar yang diberikan kepada Tuhan sebagai unsur SABDA atau AKSARA (Yang Maha
Kuasa). Widya atau Jnana kedua-duanya artinya sama yaitu ilmu, sedangkan kata Tattwa
berarti hakekat tentang TAT (Itu, yaitu Tuhan dalam bentuk Nirguna Brahman). Penggunaan
kata TAT sebagai kata yang artinya TUHAN, adalah untuk menunjuk kepada Tuhan yang ada
jauh dari manusia. Kata itu dibedakan dengan kata Idam, yang artinya yang ini menunjuk
pada benda yang dekat, yaitu semua benda ciptaan Tuhan, oleh karena itu, kata Tattwa Jnana
artinya sama dengan ilmu tentang hakekat yaitu ilmu tentang Tuhan.

Di dalam ilmu Agama, khusus dalam bidang theologi, dikenal berbagai ajaran (isme)
yang emnggambarkan hubungan kepercayaan manusia dengan Tuhan, seperti Monoteisme,
Polytheisme, Pantheisme, Monisme dan Henotheisme. Isme artinya kepercayaan atau ajaran.
Di samping isme-isme itu, terdapat pula berbagai ajaran yang dianggap bersumber pada
agama primitif (agama pertama) yaitu, animisme, spiritisme, totemisme, magisme dan
sebagainya yang isinya membahas berbagai aspek kepercayaan masyarakat primitif tentang
rokh yang mempengaruhi hidup manusia.

Adapun pembahasan secara khusus mengenai Theologi Hindu kita jumpai secara
panjang lebar dari kitab-kitab Darsana, mulai dari kitab Upanisad sampai pada kitab Brahma
Sutra. Adapun kitab-kitab Purana yang dijadikan sumber informasi dalam mempelajari
Ketuhanan pada hakekatnya tidak akan memberi gambaran yang jelas, kecuali ajaran tentang
KOSMOGONI (ilmu tentang penciptaan dunia) dan berbagai pokok kepercayaan yang
menceritakan kehidupan alam dewa-dewa (Malaekat) secara mitologis dan pantheistis.

Mitologi dan konsepsi pantheon yang kita jumpai di dalam kitab-kitab Purana pada
hakekatnya sangat banyak mempengaruhi cara berfikir para peneliti Theologi Hindu yang
kurang menyadari arti serta kedudukan kitab-kitab Purana yang dipergunakan sebagai sumber
informasi.

Berfikir tentang Tuhan orang akan sampai kepada Tuhan. Berfikir tentang Raksasa
orang akan sampai kepada Raksasa. Oleh karena itu untuk sampai pada Tuhan, orang harus
selalu berfikir tentang Tuhan. Berfikir tentang Tuhan berarti orang harus mengenal TUHAN
dalam kenyataanNya, baik sebagai hakekat yang dikenal sebagai NIRGUNA BRAHMAN
maupun sebagai aspek SAGUNA BRAHMAN.

Agama Hindu sebagai agama tertua di dunia, setidak-tidaknya mempunyai gudang


ajaran yang tidak mudah dimengerti sebagai akibat pertumbuhan dan perpaduan dari berbagai
tradisi mempengaruhi. Diberbagai wilayah yang luas tanpa terkendalikan. Berbagai
perbedaan konsep dan pengertian telah berkembang sebagai akibat perbedaan cara berfikir
dan cara penafsirannya atas satu pokok keimanan yang sama tentang TUHAN.
Apakah atau siapakah yang dimaksud dengan Tuhan itu?
Jawaban:merupakan dasar dalam pemberian definisi tentang Tuhan. (tugas 1)
Pendefinisian tentang Tuhan tidak mungkin atau mungkin salah, kalau kita mendefinisikan
tentang Tuhan, namun untuk keperluan praktis dalam pembahasan ini mungkin definisi itu
kita perlukan sebagai titik tolak kita dalam berfikir

Kesulitan dalam memberi definisi karena satu definisi yang baik harus benar-benar
memberi gambaran yang jelas dan lengkap, sedangkan TUHAN mencakup pengertian yang
luas dan serba mutlak.

Untuk pertama kali kita menjumpai definisi tentang TUHAN di dalam kitab Brahma Sutra
1.1.2 berbunyi :

JANMADHYASYA YATAH

(TUHAN ialah dari mana mula (asal) semua ini)


Salah satu untuk mempelajari Ketuhanan adalah berusaha untuk mengenal atau
mengetahui TUHAN. Untuk mengenal dan mengetahui kita memerlukan nama,
penggambaran tentang sifat, hakekatnya atau apa saja yang dapat memberi keterangan yang
jelas dalam membantu untuk menghayati Tuhan itu. Setiap kali kita menyebutkan nama
TUHAN pikiran kita dipaksa untuk berfikir tentang TUHAN dalam segala kemampuan pikir
kita untuk mengenalnya, melihat secara mental baik dengan bantuan kat-kata maupun cara
penggambaran abstrak lainnya yang lebih kongkrit (Riil).

Tuntutan pikiran seperti ini adalah wajar karena pikiran itu sendiri adalah satu wujud
pula yang merupakan ada secara mental atau non fisik. Tentang keadaanNya secara mental
belum juga cukup karena kadang-kadang kita ingin menamakan wujud yang kita bayangkan
secara mental dengan kata-kata atau suara. Karena itu timbul pemberian gelar atau
penanaman akan hakekat yang kita lihat secara mental.

Keinginan lebih banyak tahu dan termasuk juga pemberian nama lalu
menggambarkannya, dikemukakan pula di dalam kitab suci Brahma Sutra 1.1.1 yaitu :

ATHATO BRAHMA JIJNASA

(Sekarang (setelah tahu) Brahma (Tuhan) karena itu sebagai akibat tahu dan melihat
segala ciptaan yang merupakan hasil Yajna-nya untuk mengetahui Tuhan akan timbul
sebagai keinginan untuk mengenal segala aspek perwujudan dari pada hakekat yang
esa, sebagai pikiran yang menjelma dalam berbagai bentuk-Nya).
Tuhan dalam keadaan sebagaimana halnya adalah dalam keadaan tanpa sifat (nirguna atau
sunya). Nirguna atau sunya adalah istilah yang dipergunakan untuk memahami hakekat
Tuhan dalam keadaan hukumnya semula. Dalam ilmu Filsafat dikatakan sebagai keadaan
dalam alam Transcendental. Sesuatu yang dikatakan transcendental artinya diluar dari
lingkaran kemampuan pikir. Kalau diibaratkan pikiran itu mempunyai batas seperti lingkaran
(Mandala), segala ada diluar lingkaran kita namakan dalam alam transcenden dengan yang
imanen.

Segala sesuatu yang ada dalam wilayah imanen dapat diketahui. Mengetahui artinya
dapat membedakan dan membedakan dapat dilakukan melalui pengenalan sifat-
sifatnya.karena itu mengenal dalam alam imanen berarti mengenal secara limitatip, secara
relatip, secara riil dll-Nya. Kalau diartikan dalam arti pengenalan Tuhan dalam alam imanen
artinya mengenal Tuhan dalam keadaan sifat-sifat yang ada. Saguna Brahman (Tuhan dengan
sifat hakekatnya, menurut pikiran manusia).

Disamping pengertian Tuhan dalam pengertian Transcendental, untuk tujuan praktisnya,


terdapat pula gambaran Tuhan.

Penggambaran seperti itu bukan merupakan hal yang baru, karena gambaran seperti
itu kita jumpai dalam kitab weda. Disamping penggambaran Tuhan dalam bahasa Manusia,
Tuhan digambarkan pula secara simbolis dimana simbol (nyasa) Tuhan dapat bermacam-
macam pula bentuknya menurut pikiran manusia. Dalam TANTRAYANA Tuhan
digambarkan dalam bentuk CAKRA atau dalam bentuk YATRA, dengan berbagai aspek sifat
yang digambarkan dalam yatra itu.

Jari-jemari CAKRA adalah simbol sinar (DEWA) yang memancar dari AXIS
(Sumbu/Poros) sebagai sumber sinar dalam bentuk Matahari (SURYA). SURYA
PRATYAKASA DEWATA. Sinar itulah yang digambarkan sebagai pengejawantahan sifat-
sifat TUHAN

Tuhan adalah sumber pertama dari semua ciptaan ini. Tuhan yang menciptakannya semua.
Tuhan yang menjadikannya.(R.Weda X.129).

Antara Pencipta (Tuhan) dengan yang dicipta tidaklah sama kedudukannya, artinya
Tuhan tidak sama dengan yang tidak Tuhan. Namun dalam arti bahasa kadang-kadang kita
dihadapkan pada satu kenyataan yang sulit dimana kata DEWA yang dipergunakan didalam
Weda mempunyai dua arti yang sepintas lalu, kadang-kadang kita tidak pernah menyadari
dan tidak pernah mau tahu soal itu.

Menurut R.Weda X.129, Dewa diciptakan olehNya setelah menjadikan semua alam
semesta berikut isinya. Jadi dewa bukan Tuhan karena Dewa diciptakan, yang menciptakan
ITU (TAT) yaitu TUHAN. Karena hanya Tuhan sebagai pencipta, bukan lainnya. Dewa
dijadikan dari Sinar (DEWA) dan karena itu menurut sifatnya makhluk Tuhan itu disebut
DEWA

Sebaliknya didalam kitab Rg. Weda X.12.8 DAN X.90.3, Terdapat kalimat yang
mengatakan bahwa Tuhan melebihi sinarnya yang dalam bahasa aslinya disebut sebagai
Dewa melebihi Dewa. Jadi dua kata Dewa yang dipergunakan dalam satu kalimat. Dewa
yang satu dimaksudkan Tuhan sedangkan Dewa-Dewa lainnya dimaksudkan Makhluk Tuhan
yang sama artinya dengan Malaekat. Kalau digambarkan akan memperoleh satu gambaran
semacam roda (Cakra) atau matahari dengan sinarnya.

Adapun titik tengah atau poros dalam roda itu merupkan sumber kekuatan dan
tumpuan jari-jari roda (cakra) sinar matahari. Dalam hubungan itu Sinar adalah Dewa
sedangkan poros atau Centrum (Windu) adalah Dewa Para Dewa-Dewa yang disebut dengan
istilah DEWATA. Jadi pengertiannya sama dengan Tuhan.

Tuhan Sumber Segala

Kita kadang-kadang selalu bertanya dimanakah kita berada sebelum lahir dan
kemanakah kita pergi setelah mati? Dari manakah asalnya segala yang ada ini dan
kemanakah ia kembali. Kitab-kitab agama Hindu menyatakan :

Yathorria zdbhi srjate grhnate ca


Yatha prtivyam osadhayas sainbhavanti
Yatha satah purusat kesalomani tathaksarat
Sambhavatiha visvam
(Mundaka Upanisad. 1.7)

Terjemahan :

Seperti laba-laba mengeluarkan dan menarik benangnya, seperti tumbuh-tumbuhan bahan


obat tumbuh di bumi, seperti rambut di kepala dan badan orang, demikianlah alam semesta
ini muncul dan Tuhan.
Tuhan yang menyebabkan mata kita dapat melihat, telinga kita dapat mendengar,
lidah kita dapat mengecap, hidk. mhkluung kita dapat membaui, kulit kita merasakan rasa
sentuhan dan pikiran kita dapat berfikir. Ta sumber hidup dan sumber tenaga, dan dari dialah
asal segala yang ada ini dan kepada-Nya pula segala yang ada ini kembali. Karena itu ia
disebut Sangkan Paraning Dumadi, asal dan kembalinya semua mahkluk, mendukung
kehidupan semua.

Tuhan berada dimana-mana

Tuhan hadir dimana-mana. Beliau bersifat vyapi-vyapaka, meresapi segala. Tidak ada
suatu tempatpun yang beliau tiada tempati. Beliau berada disini dan berada di sana. Tuhan
bersifat mahima, maha besar. Banyak ayat-ayat kitab suci agama Hindu menyebutkan hal ini.
Beberapa diantaranya sebagai berikut :

Sa bhumim visato vrtva, tyatistad dasangulam.

(Rg VedaX.90.1)

Terjemahan :

Tuhan berkepala seribu, bermata seribu, berkaki seribu, ia memenuhi bumi, bumi pada semua
arah, mengatasi ke sepuluh penjuru.

Seribu dalam mantra veda diatas berarti tak terhingga. Tuhan berkepala tak terhingga,
bermata tak terhingga, bertangan tak terhingga. Semua kepala adalah kepalanya, semua mata
adalah matanya, semua tangan adalah tangannya. Walaupun ia tidak dapat dilihat dengan
mata, ia dapat dirasakan kehadirannya pada segala dengan rasa hati. Di dalam kitab suci
Chandogya Upanisad terdapat sebuah percakapan yang menarik tentang kehadiran Tuhan di
mana-mana.

Tuhan itu Esa adanya.

Alam semesta ini tunduk pada satu Hukum yang berlaku baginya. Hukum itu disebut
Rta. Bila ada dua Rta, mungkin saja alam semesta ini akan berbenturan karena Rta yang satu
dengan yang lain berbenturan. Kenyataannya badan-badan angkasa beredar dengan teratur
dan Karena Rta satu maka Rtavan-pun satu. Tuhan hanya satu, Tuhan Yang Maha Esa. Kitab
Veda, Upanisad dan lain-lainnya menyatakan demikian itu:

Ya etam devam ekavrtam veda,


Na dvitiya na trtiya caturtho napyucyate,
Na pancamo na ca saptamo napyucyate,
Nasthamo na navamo dasamo napyucyate,
Sa sarvasmai vi pasyati yacca prdnati yacca na,
Tamidam nigatam sahah sa esa eka ekavrd eka eva,
Sarve asmin deva ekavrto bhavanti.
(Atharva Veda XIII.4)

Terjemahan:

Kepada ia yang mengetahui ini Tuhan semata hanya Tunggal,Tidak ada yang kedua, ketiga,
keempat, ia dipanggil,Tidak ada yang kelima, keenam, ketujuh ia dipanggil, Tidak ada yang
kedelapan, kesembilan ia dipanggil, Ia melihat segala apa yang bernafas dan apa yang tidak
bernafas, Kepada-Nyalah tenaga penakluk kembali, ia hanya tunggal, Tunggal belaka, pada-
Nya semua Dewa hanya satu saja.

Dalam kehidupan beragama sehari-hari panggilan-Nya banyak sekali. Umat Hindu


memanggil-Nya Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Kuasa.

TATTWA

Sumber-sumber ajaran Tattwa

Ajaran Agama Hindu dibedakan menjadi Tattwa, etika dan acara. Ketiga bagian ini
tidak dapat dipisah-pisahkan. Seseorang yang hanya mengetahui tattwa tanpa mengetahui
etika dan acara tidak disebut pemeluk agama Hindu yang baik. Demikian juga orang yang
hanya bersusila atau melaksanakan ibadah saja tanpa mengetahui tattwa akan menjadi
pemeluk agama yang tangguh.

Tattwa artinya thatness, itu sendiri, atau hakikat. Dalam ajaran Samkhya tattwa
berarti unsur. Dalam agama Hindu di Indonesia tattwa berarti kebenaran. Ajaran Ketuhanan
yang merupakan landasan ajaran agama adalah tattwa. Kepercayaan akan adanya Tuhan
merupakan dasar agama. Oleh karena bayangan orang akan Tuhan bermacam-macam, maka
wujud Tuhan juga dibayangkan bermacam-macam. Namun dalam tattwa wujud yang
bermacam-macam itu hanyalah kebhinekaan dari yang Esa.

Akan ajaran Tattwa yang demikian dapat kita telusuri dari kitab-kitab agama Hindu.
Dalam pelajaran ini ajaran tattwa dan yang berkaitan dengan itu akan ditelaah dari beberapa
buku sumber. Buku-buku itu ialah Veda, Upanisad (materi berikutnya), Samkhya, Purana,
dan lontar-lontar.

VEDA
Veda artinya pengetahuan. Dalam hubungan dengan agama Hindu Veda artinya
pengertahuan suci. Pengetahuan suci Veda merupakan kitab suci agama Hindu. Ada 4 kitab
suci Veda yaitu : Rgveda, Yajurveda, Samaveda dan Atharvaveda. Diantara empat veda itu
Rgveda paling tua umurnya, Artharvaveda paling muda.

SAMKHYA

Ajaran Samkhya dan yoga sangat berpengaruh pada ajaran agama Hindu di Indonesia.
Kitab Tattvajnana, Vrhaspatitattwa, adalah ajaran Samkhya-Yoga dalam Saivapaksa. Ajaran
Samkhya adalah merupakan ajaran yang sudah tua benar usianya. Buktinya baik kitab Sruti
maupun Smrti pun pula Purana menunjukkan pengaruh ajaran Samkhya-Yoga.

Menurut tradisi pembangunnya adalah Rsi Kapila yang menulis Samkhyasutra,


namun karya tulis mengenai Samkhya yang sampai kepada kita ialah Samkhyakarika karya
isvarakrsna.

PRAKRTI DAN TRIGUNA

Pokok ajaran Samkhya ialah tentang Purusa dan Prakrti yaitu azas rohani dan azas
jasmani. Dari kedua azas inilah tercipta alam semesta ini dengan segala isinya. Prakrti adalah
mula sebab, karena Prakrti itu sebab pertama dari semua alam semesta ini, ia haruslah bersifat
kekal abadi, sebab tidak mungkin yang tidak kekal menjadi sebab yang pertama dari semua
yang ada di alam semesta ini. Prakrti dibangun oleh Triguna yaitu sattvam, rajas dan tamas.

PURUSA

Jenis kebenaran yang tertinggi yang kedua dalam ajaran Samkhya ialah Purusa atau
Roh. Setiap orang merasa bahwa ia ada dan memiliki sesuatu. Rasa akan dirinya adalah rasa
yang alamiah dan pengalaman yang tak dapat diragukan lagi. Maka itu Samkhya mengatakan
bahwa roh itu ada karena roh itulah yang menjelma dan akan tidak adanya tidak dapat
dinyatakan dengan jalan apapun juga. Menurut ajaran samkhya roh itu berbeda dengan
indriya, pikiran dan akal. Ia bukan dunia subyek, ia adalah semangat kesadaran yang selalu
menjadi subjek pengetahuan dan tidak pernah menjadi objek pengetahuan. Ia adalah
kesadaran yang langgeng yang padanya tidak ada perubahan dan aktivitas. Ia tanpa sebab,
abadi menyusupi segala, namun bebas dari segala ikatan dan pengaruh dunia objek ini.

EVOLUSI ALAM SEMESTA


Prakrti akan mengembang menjadi alam semesta ini bila berhubungan dengan purusa.
Melalui perhubungan ini prakrti dipengaruhi oleh purusa seperti halnya anggota badan kita
dapat bergerak karena hadirnya pikiran. Hubungan antara purusa dan prakrti menyebabkan
terganggunya keseimbangan dalam triguna. Yang mula-mula terganggu ialah rajas yang
menyebabkan guna yang lain ikut terguncang pula. Masing-masing guna itu berusaha
mengatasi kekuatan guna lainnya. Maka terjadilah pemisah dan penyatuan triguna itu
menyebabkan munculnya objek kedua ini.

YOGA

Hampir semua ajaran agama Hindu menerima ajaran Yoga sebagai ajaran
pengendalian diri, pengendalian pikiran dan indriya. Sumber pertama ajaran yoga ialah
Yogasutra Patanjali. Sumber ini menyebutkan bahwa yang disebut yoga : Yogascitta vrtti
nirodhah, yoga adalah meneduhkan gerak-gerak pikiran. Cara meneduhkan atau
mengendalikan gerak-gerak pikiran inilah yang diuraikan dalam yoga sebagai asta angga
yoga yaitu yama, niyama, asana, pranayama, pratyahara, dharana, dhyana dan samadhi.
Dalam perkembangan ajaran agama Hindu susunan asta angga Yoga itu terdapat perbedaan-
perbedaan seperti dalam upanisad minor dan lontar-lontar di Bali.

PURUNA

Purana adalah nama buku-buku yang sangat populer dan mengandung bermacam-
macam ajaran tentang upacara, cara pemujaan, sorga, neraka, dosa, kebijakan, penebusan
dosa, tirthayatra dan sebagainya. Buku-buku itu mempopulerkan pemujaan Tuhan sebagai
Visnu, Siva dan Sakti sehingga buku-buku itu dapat digolongkan atas saivapurana,
vaisnavapurana dan saktapurana. Saivapurana lebih menekankan jnanayoga. Vaisnavapurana
bhaktimarga sebagai jalan mencapai kelepasan.

LONTAR

Sumber-sumber ajaran tattwa di bali khususnya dan Indonesia umumnya berupa


cakepan lontar yang berbahasa Sansekertha dan bahasa jawa kuno. Lontar-lontar itu ialah
Bhuwanakosa, Tattwajnana, mahajnana, ganapatitattwa, jnanasiddhanta dan beberapa lontar
puja yang bercorak monisme. Bila diamati esesnsi isi lontar-lontar itu sejalan dengan sumber-
sumber ajaran agama hindu di Indonesia.
BHUWANA KOSA

Bhuwana kosa adalah nama salah satu lontar yang tergolong jenis tattwa atau tutur
yang dipandang sebagai lontar tertua dan su.mber lontar-lontar tattwa yang bercorak
Siwaistik lainnya, seperti: Wrhaspatitattwa, Tattwajnana, mahajnana, Ganapatitattwa dan
sebagainya. Lontar ini terdiri atas 11 bab yang disebut dengan patalah dengan jumlah 487
sloka. Setiap patalah tidak sama jumlah slokanya, periciannya sebagai berikut :

Patalah Jumlah Sloka


I 33
II 20
III 80
IV 76
V 52
VI 4
VII 30
VIII 40
IX 44
X 35
XI 75
JUMLAH 487 Sloka

Pokok-pokok isi secara keseluruhan Bhuwana Kosa (Brahma Rahasyam) alih aksara
dan alih bahasa, 1994, diterjemahkan oleh tim penerjemah yang terdiri atas Rai Mirsha, Sura,
Maka, Djapa, Sujana dan Sunu diterbitkan oleh Upada Sastra di Denpasar dapat
distrukturisasi sebagai berikut:

(1) Patalah I berjudul Brahma Rahasyam, Pretamah Patalah terdiri atas 33 sloka.

(2) Patalah II berjudul Brahma Rahasyam, Dwitiyah Patalah terdiri atas 20 sloka.

(3) Patalah III berjudul Brahma Rahasyam, Tritiyah Patalah terdiri atas 80 sloka.

(4) Patalah IV berjudul Buana Kosa, Catur Patalah terdiri atas 76 sloka.
(5) Patalah V berjudul Brahma Rahasyam, Panca Patalah terdiri atas 52 sloka.

(6) Patalah VI berjudul Jnana Siddhanta, Pretamah Patalah terdiri atas 4 sloka.

(7) Patalah VII berjudul Basma Mantra terdiri atas 30 sloka.

(8) Patalah VIII berjudul Jnana Sangksepa terdiri atas 40 sloka.

(9) Patalah IX berjudul Buana Kosa, Nawa Patalah terdiri atas 44 sloka.

(10) Patalah X berjudul Siddhanta Sastra, Dasa Patalah terdiri atas 35 sloka.

(11) Patalah XI berjudul Buana Kosa, Siwopadesa Samaptam terdiri atas 75 sloka.

Secara garis besar Bhuwana Kosa dapat dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama
adalah bagian Brahmarahasyam yaitu bagian yang berisi percakapan antara Srimuni
Bhargawa dengan Bhatara Siwa tentang Siwa yang bersifat rahasia. Bagian ini diuraikan
dalam 5 patalah yaitu dari patalah I sampai patalah V. Sdangkan bagian kedua adalah bagian
Jnana-rahasyam yang berisi percakapan antara Bhatara Siwa dengan Bhatari Uma dan Sang
Kumara tentang pengetahuan untuk memahami Siwa yang bersifat sangat rahasia. Bagian ini
diuraikan dalam 6 patalah yaitu dari patalah VI sampai dengan patalah XI.

Adapun ajarannya dapat dijelaskan sebagai berikut. Tuhan dalam Bhuwana Kosa
disebut Bhatara Siwa. Beliau maha esa, tanpa bentuk, tanpa warna, tak terpikirkan, tak
tercampur, tak bergerak, tak terbatas dan sebagainya.

Ia yang tak terbatas digambarkan secara terbatas. Karena itu, ia sering disebut dengan nama
yang berbeda seperti: Brahma, Wisnu, Iswara/Rudra sesuai dengan tugas dan fungsinya.
Bhawa, Pasupati, Sarwajna sesuai dengan tempat yang ditempatinya.

Ia bersifat immanent dan transcendent. Immanent artinya ia meresapi segala, hadir


pada segala termasuk mersap pada pikiran dan indriya (sira wyapaka). Transcendent artinya
ia meliputi segala tetapi ia berada di luar batas pikiran dan indriya. Meskipun ia immanent
dan transcendent pada semua mahkluk, tetapi ia tidak dapat dilihat dengan kasat mata, karena
ia bersifat sangat rahasia, abstrak. Karena kerahasiaannya ia digambarkan bagaikan api dalam
kayu, minyak dalam santan. Ia ada dimana-mana, pada semua yang ada ini. Ia tidak tampak,
tetapi ia ada, sungguh sangat rahasia adanya.

Ia adalah asal dari semua yang ada ini (sangkeng bhatara siwa sangkanya). Alam
semesta (bhuwana agung) dengan segala isinya, dan manusia (bhuwana alit) adalah ciptaan-
Nya juga. Semua ciptaan-Nya itu merupakan wujud maya-Nya yang bersifat tidak kekal
karena dapat mengalami kehancuran. Pada saat mengalami kehancuran semua ciptaan-Nya
itu akan kembali kepada-Nya. Karena ia adalah asal dan tujuan semua yang ada ini (mijil
sakeng sira ; lina ri sira muwah).

Proses penciptaan-Nya terjadi secara bertahap dari penciptaan Purusa yang pertama
oleh Bhatara Siwa sampai pada penciptaan yang terakhir yaitu prthiwi, seperti berikut :

Zat unsur kehidupan Tahapan Sifat


penciptaan benih
alam
Bhatara Siwa
Purusa Sinar Matahari
Awyakta Tamah
Buddhi Sattwam
Ahangkara Rajas
Pancatanmatra Tamas
Manah Ingin,bimbang
Telinga,hidung,hati,dubur,kemaluan,tulang Akasa Suara
Prana,apana,samana,udana,byana Bayu Suara,sentuhan
Mahagni,grhaspatyagni,daksinagni Agni Suara,rupa
Darah,najis,air Apah Suara,rupa,rasa
kemih,keringat,ludah,sumsum,otak
Daging,tulang,otot rambut,bulu kaki,buah Prthiwi Suara,sentuhan,rupa,rasa,bau
pinggang,paru-paru,jantung,hati,limpa

Sedangkan proses melebur semua ciptaan-Nya juga terjadi secara bertahap dan terbalik yaitu
dari unsur yang paling kasar, prthiwi sampai kepada yang paling halus menuju Bhatara
Sangkara,sebagai berikut :
Sanghyang Sangkara

Purusa hakekat wujud dewata

Awyakta

Buddhi

Ahangkara

hakekat yang berwujud abstrak

Pancatanmatra

Manah

Akasa

Bayu

Agni wujud kehidupan segala yang hidup (bhotika)

Apah

Prthiwi
Tingkatan-tingkatan alam dalam Bhuwana Agung bila dihubungkan dengan tubuh
manusia (Bhuwana Alit) akan ditemukan pada bagian-bagian tubuh manusia dari alam yang
paling bawah sampai dengan yang tertinggi yaitu alam kamoksan. Pada irbana siwa adalah
dewa yang tertinggi yang harus dijadikan objek dalam kamoksan. Adapun tingkat-tingkatan
alam dalam Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit adalah sebagai berikut :

Alam dalam Bhuwana Agung Letaknya dalam Bhuwana Dewanya


Alit
- Ubun-ubun Sanghyang parama
nirbana siwa
- Lobang kepala Sanghyang nirbana siwa
- Rongga kepala Sanghyang antyatma
suksma
Parama Kewalya Kepala Sanghyang parama siwa
dan sanghyang sadasiwa
- Di antara kedua alis Sanghyang siwatma
Kewalya Dahi Sanghyang parasiwa
- Langit-langit Sanghyang siwatara
- Leher Sanghyang siwa purusa
Satyaloka Pangkal leher Rudra/mahadewa
Tapaloka Dada Sanghyang Brahma
Janaloka Hati wisnu
Mahaloka Perut Sanghyang yaksa
prajapati
Indraloka Pusat

Eksistensi Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit tersebut merupakan pengetahuan tentang
rahasia hidup yang sangat rahasia dan utama.

Untuk memiliki pengetahuan tersebut tidaklah mudah, ia harus dicari dengan tekun dan teliti
dan dengan persyaratan yang berat seperti :

1. Memiliki kepribadian yang baik.


2. Memiliki tata krama.
3. Berfikir tenang.
4. Tidak minum-minuman keras.
5. Menjauhi perbuatan nista.
6. Guru susrusa.
7. Tekun menjalankan brata.
8. Memiliki pengetahuan tentang Weda dan sastra lainnya.
9. Memiliki keyakinan yang kuat akan ajaran tersebut.
10. Penguasaan ajaran itu yang dapat dilaksanakan dengan mempelajari secara tekun dan
teliti.
11. Melaksanakan yoga selalu.
WRHASPATITATTWA

Wrhaspatitattwa terdiri atas 74 pasal menggunakan bahasa Sanskerta dan bahasa jawa kuna.
Bahasa sanskertanya disusun dalam bentuk sloka dan bahasa jawa kunanya disusun dalam
bentuk bebas (gancaran) yang dimaksudkan sebagai terjemahan/penjelasan bahasa
sanskertanya.

Wrhaspatitattwa berisi dialog antara seorang guru spiritual yaitu Sanghyang Iswara dengan
seorang sisia (murid) spiritual yaitu Bhagawan Wrhaspati. Sanghyang Iswara berstana di
puncak gunung Kailasa yaitu sebuah puncak gunung Himalaya yang dianggap suci.
Sedangkan Bhagawan Wrhaspati adalah orang suci yang merupakan guru dunia (guru loka)
yang berkedudukan di sorga.

Untuk mengakhiri lingkaran samsara ini, Wrhaspatitattwa mengajarkan agar setiap orang
menyadari hakikat Ketuhanan dalam dirinya. Hal ini dapat dilakukan dengan :

1. Mempelajari segala tattwa (Jnanabhyudreka)


2. Tidak tenggelam dalam kesengan hawa nafsu (indriyayogamarga)
3. Tidak terikat pada pahala-pahala perbuatan baik atau buruk (trsnadosaksaya)
GANAPATI TATTWA

Ganapati tattwa menggunakan bahasa jawa kuna yang kadang-kadang diselingi dengan
bahasa sansekerta. Penyampaian ajarannya menggunakan dialog atau percakapan
sebagaimana ditemukan dalam bhuwanakosa, wrhaspatitattwa, sanghyang mahajnana dan
sebagainya.
SANGHYANG MAHAJNANA

Sanghyang mahajnana terdiri atas 87 pasal menggunakan bahasa sanskerta dan bahasa
jawa kuna. Bahasa sanskertanya disusun dalam bentuk sloka dan bahasa jawa kunanya
disusun dalam bentuk bebas (gancaran) yang dimaksudkan sebagai terjemahan/penjelasan
bahasa sanskertanya. Sanghyang mahajnana mengandung ajaran yang bersifat siwaistik yang
pada intinya mengajarkan mengenai cara untuk mencapai kelepasan, bersatu dengan Sang
pencipta yaitu bhatara siwa. Ajarannya disampaikan dalam bentuk dialog, tanya jawab.
Tokoh yang ditampilkan adalah bhatara Guru dan sang kumara. Bhatara Guru berperan
sebagai guru rohani yang menjelaskan ajaran tentang bhatara siwa. Sedangkan sang kumara
berperan sebagai siswa kehormatan yang selalu bertanya kepada bhatara Guru mengenai
hakekat tertinggi tentang bhatara siwa.

Oleh karena itu inti ajarannya adalah tentang kelepasan, maka di dalam menjelaskan
ajarannya, sanghyang mahajnana mengungkap rahasia diri manusia dalam hubungannya
dengan dewa-dewa dan alam semesta. Dimana hal tersebut mutlak harus diketahui bila
seseorang menginginkan kelepasan (ika ta kawruhana de sang mahyun kali pasan). Di
dalam sanghyang mahajnana dijelaskan bahwa sepuluh indriya (dasendriya) yang ada dalam
diri manusia bersifat tidur, tidak ada gerak, diam. Sedangkan lima unsur tenaga hidup
(pancawayu) dan teja memiliki sifat jaga, penuh dengan gerak.

Sanghyang mahajnana juga memaparkan rahasia diri manusia terkait dengan alam, dewa-
dewa, letaknya dalam tubuh, warna dan sebagainya seperti berikut :

Bagian Tubuh Warna Alam Dewanya


Pusat Putih Jagrapada Brahma
Hati Spt. Matahari Swapnapada Wisnu
Pangkal hati Spt.bulan Susuptapada Rudra
Pangkal kerongkongan Kristal Turyapada Maheswara
Dahi Spt.perak Turyantapada Mahadewa
Paha Spt.emas Kewalyapada Isana
Kepala Tak tentu Paramakewalya Paramasiwa
TATTWAJNANA

Tattwajnana menggunakan bahasa jawa kuna yang disusun dalam bentuk bebas
(gancaran). Sebagai kitab tattwa disebutkan bahwa tattwajnana merupakan dasar semua
tattwa (bungkahing tattwa kabeh). Pemahaman tattwajnana secara baik akan memberikan
pahala yang luar biasa seperti memahami betapa menderitanya menjelma dan (mengetahui
jalan) untuk kembali pada asal mula, sehingga lepas dari proses kelahiran sebagai manusia
(luputeng janma sangsara).

Tattwajnana dalam menjelaskan ajarannya dimulai dengan memaparkan dua unsur


universal yang ada di alam raya ini yaitu cetana dan acetana. Cetana adalah unsur kesadaran
(consciousness) yang disebut dengan siwatattwa yang memiliki sifat tutur prakasa.
Sedangkan Acetana adalah unsur ketidaksadaran (unconsciuosness) yang disebut mayatattwa
yang memiliki sifat lupa, tan pajnana, tan pacetana.

JNANASIDDHANTA

Jnanasiddhanta dalam menyampaikan ajarannya menggunakan bahasa sanskerta dan


bahasa jawa kuna. Kitab ini terdiri atas 27 bab yang mencakup suatu bidang ajaran yang
sangat luas yang pada intinya mengandung ajaran tentang kelepasan/moksa, menyatunya
atma kepada sumber asalnya. Tuhan dalam Jnanasiddhanta disebut bhatara siwa. Beliau
dipahami sebagai kodrat siwa yang sejati sebagai satu-satunya saja, tidak dua, dan tidak pula
tiga. Ia tidak jauh, tidak juga dekat. Ia tidak ada permulaan, tengah dan akhir. Ia tidak dapat
musnah, maha sempurna, tanpa tubuh, nirajnanam, teramat kecil, sukar ditangkap karena
halus, tanpa batas, ia merupakan kekuasaan tertinggi.

Tubuh manusia di samping digambarkan sebagai tiruan dunia yang besar juga
dilukiskan sebagai lambang Om-kara, Om-kara disebut pula Pranawa, Visva, Ghosa,
Ekaksara, Tumburu-tryaksarangga. Bagian tubuh yang melambangkan Om-kara adalah :

Dlm Tubuh Simbol Tubuh bagian dalam Simbol


Dada O-kara Paru-paru O-kara
Lengan Ardhacandra Limpah Ardhacandra
Kepala Vindu Jantung Vindu
Rambut Nada Empedu Nada
Ati Matra
Itulah gambaran tentang rahasia diri manusia yang mutlak harus dikenal oleh
seseorang yang menginginkan kelepasan. Dalam kelepasan semuanya akan kembali kepada
bhatara siwa (surud ri sira), karena beliau adalah pencipta semua yang ada ini (dadi sakeng
bhatara siwa ika). Dalam melaksanakan yoga, maka ia harus mewujudkan atmalingga dalam
dirinya. Atmalingga adalah mewujudkan sanghyang ongkara dan tri aksara dalam diri
berstana dalam bathin..

Dalam meditasi ada tujuh hal yang harus diperhatikan yaitu :

1. Semua tingkah laku dipusatkan kepada bhatara siwa.


2. Batin dipusatkan pada bhatara siwa.
3. Pendengaran dipusatkan pada bhatara siwa.
4. Penglihatan dipusatkan pada bhatara siwa.
5. Kata-kata dipusatkan pada bhatara siwa.
6. Jadikan kedipan mata itu kepada bhatara siwa.
7. Jadikanlah bhatara siwa sebagai nafasmu.
Ketujuh pemusatan pikiran ini disebut Sapta-buddhyanggamarga. Apabila ketujuh ini berhasil
ditunggalkan maka disebut ekatara parama (ketunggalan tertinggi).
PEMBAHASAN (Semester 1 UAS)

Upanisad menyatakan bahwa Tuhan pada hakekatnya Esa, sumber segala sesuatu
yang ada di Alam Semesta dan menjadi tempat kembalinya segala sesuatu. Beliau Pencipta,
Pengatur sekaligus sebagai Pemralina segala sesuatu yang ada di Alam Semesta ini. Dalam
pernyataan tersebut terdapat konsep Ketuhanan yang bersifat monotheisme transendent dan
immanent. Dan sebuah kalimat dalam Brhadranyaka Upanisad menyatakan : Sarwam
Khalvidam Brahman Segalanya adalah Tuhan Yang maha Esa. Konsep ini mengandung
paham Monisme. Keyakinan terhadap adanya Keesaan Tuhan yang merupakan hakekat alam
semesta. Esa dalam segala. Segalanya berada di dalam yang Esa.

Dalam Taitirya Upanisad 3.1, Varuna sang ayah mengajar putranya Bhrgu,
pengetahuan suci. Beliau menjelaskan : Itu sesungguhnya, dari mana mahluk-mahluk ini
dilahirkan dan dari mana sejak lahir mereka hidup, dan memasuki apa ketika mereka pergi.
Itulah yang ingin diketahui. Itulah Brahman.

Dalam Chandogya Upanisad III.14.1. dinyatakan Sarwam khalv idam brahma,


Semua yang ada sesungguhnya Brahman. Brahman adalah di luar juga di dalam alam
semesta dan pada semua mahluk. Beliau yang disebut Narayana ada pada yang hidup dan ada
pula pada yang fana.

Di dalam Kena Upanisad dinyatakan bahwa dewa Agni, dan Vayu tidak dapat
beraktivitas tanpa Brahman. Para dewa itu mendapatkan kuasa mereka untuk membakar
segala sesuatu dari Brahman. Dengan demikian Brahman adalah tokoh dewa, sekaligus pula
sebagai dewa yang tertinggi.

Para dewa itu dipandang sebagai penjelmaan dari Brahman. Hal ini terungkap dalam
kitab Taittiriya Upanisad yang menyatakan bahwa dewa Mitra, Varuna, Aryaman, Indra,
Brihaspati, Wisnu, adalah Brahman yang kelihatan. Jadi sebenarnya hanya satu dewa, yaitu
Brahman, sedangkan yang lain-lainnya adalah penjelmaan dewa yang satu itu pula.

Dalam kitab Katha Upanisad Brahman bukan dipandang sebagai tokoh dewa,
melainkan sebagai asas pertama, sebagai asal segala sesuatu yang meliputi segalanya.

Sesungguhnya Brahman itu tidak dapat dikatakan bagaimana. Dalam Brhad-aranyaka


Upanisad III.8.8-9, tentang jawaban Yjavalkya atas pertanyaan Grg dinyatakan bahwa :
Yang mengerti Brahman menyebutnya yang Kekal. Dia tidaklah kasar, bukan pula
halus, tidak pendek tidak pula panjang, tidak bersinar merah (seperti api) tidak pula
menempel (seperti air). Dia bukanlah bayangan ataupun kegelapan,bukan pula udara atau
angkasa, yanpa ikatan, tanpa rasa, tanpa bau, tanpa mata , tanpa telinga, tanpa suara, tanpa
pikiran, tanpagemerlapan, tanpa nafas,tanpa mulut, tanpa ukuran, tiada apapun di dalam dan
di luar-Nya. Dia tidak memakan apapun dan tiada apapun bisa memakan-Nya. Sesungguhnya
atas perintah yang kekal itu, matahari dan bulan berada pada kedudukannya masing-
masing,.

Dalam Taittiriya Upanisad II.1.1. dinyatakan yang muncul pertama dari Brahman (Atman)
adalah angkasa, dari angkasa udara, dari udara api, dari api air, dari air tanah, dari tanah
pohon obat-obatan, dari pohon obat-obatan makanan, dari makanan oknum. Demikianlah
segala sesuatu muncul dari pada Brahman . Oleh karena itu segala sesuatu datang dari
Brahman, maka segala sesuatu pada hakekatnya adalah Brahman.

Sweta Swatara Upanisad mempertegas tentang kedudukan Tuhan sebagai berikut ya


eko jlavn ata anbhih sarvn lokn ata anbhih, ya evaika udbhave ca, ya etad vidur
amrts te bhavanti.

Artinya :

Dia Diri Yang Maha Agung, yang di alam semesta ini menjadi satu-satunya
Penguasa Alam Semesta, yang memiliki kemampuan mencipta, yang menguasai Alam
Semesta dengan kekuasaan-Nya yang amat besar, dengan kemampuan Maya-Nya itu telah
mencipta dan mengatur muncul dan lenyapnya segala sesuatu di Alam Semesta ini. Siapa
yang telah dapat menyadari dan menghayati Kasunyataan ini, Dia menjadi bersifat
abadi(Sugiarto, 1982 : 28).

Kedua dasar ajaran ini didasarkan pada konsep Upanisad yang menguraikan bahwa tujuan
hidup manusia pada hakikatnya dapat dicapai melalui dua jalan, yaitu Pravrtti Marga dan
Nivrtti Marga.

Bab III berjudul Karma Yoga terdiri atas 43 seloka. Bab ini membahas dasar-dasar pengertian
karma yoga yang dibedakan dari ajaran smkhya-yoga. Kedua ajaran ini dibahas dari aspek
ajaran smkhya dan yoga. Dengan memahami kesalahan pengertian Karma Yoga sebagai satu
sistem yang dianggap bertentangan dengan sistem samnyasa, Krsna mencoba menegaskan
makna ajaran karma yoga secara lebih mendetail. Jna dengan ajaran Jna Yoga
merupakan inti ajaran Smkhya sebaliknya, karma atau tindakan tidak harus berarti sama
dengan Jna. Bab IV berjudul Jna Yoga terdiri atas 42 seloka. Bab ini menguraikan Jna
Yoga yang telah berkali-kali disampaikan Krisna kepada umat manusia agar menjadi manusia
bijak. Manakala dharma terancam dan adharma merajalela beliau sendiri turun ke dunia
dengan mengenakan badan jasmani untuk melindungi ajaran dharma dari kehancuran dan
melindungi orang-orang bijak.

Bab V berjudul Karma Samnyasa Yoga terdiri atas 29 seloka. Bab ini intinya
membandingkan antara dua sistem jalan menuju kesempurnaan, yaitu karma samnyasa di satu
pihak dan yoga di bagian lain. Di dalam Yoga, karma itu tetap ada, tetapi tidak dimotivasikan
untuk kepentingan pribadi. Karma dimaksudkan untuk pelepasan keakuan terhadap benda-
benda duniawi dengan memusatkan perhatian pada kebaktian kepada Tuhan Yang Maha Esa
dengan ber-samadhi. Bab VI berjudul Dhyna Yoga terdiri atas 47 seloka. Bab ini
menguraikan makna Dhyna Yoga sebagai suatu sistem dalam Yoga. Yoga mengajarkan
delapan macam disiplin untuk memungkinkan seseorang mencapai tingkat kesucian batin dan
kesempurnaan citta. Kedelapan disiplin itu adalah (1) Yama, (2) Niyama, (3) Asana, (4)
Pranayama, (5) Pratyahara, (6) Darana, (7) Dhyna, dan (8) Samadhi.

Bab VII berjudul Jna Vijana Yoga terdiri atas 30 seloka. Intinya membahas Jna dan
Vijana. Jnana artinya pengetahuan dan Vijnana adalah serba tahu dalam pengetahuan.
Dengan demikian, perhatian pembahasannya terletak pada tujuan atau objek Dhyna, yaitu
Tuhan Yang Maha Esa yang dalam agama disebut Para Brahman, Para Atman, Parama
Isvara. Bab VIII berjudul Aksara Brahma Yoga terdiri atas 28 seloka. Aksara Brahma Yoga
berbicara tentang hakikat sifat kekekalan Tuhan Yang Maha Esa. Aksara berarti kekal. Inti
bab ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan Arjuna tentang Brahman-Adhyatman dan
Karma. Demikian pula tentang Adhibhuta, Adhidaiva, Adhiyadnya, dan hakikat kematian.

Bab IX berjudul Rja Vidyra Yoga terdiri atas 34 seloka. Bab ini membahas hakikat dasar-
dasar ajaran Raja Yoga dengan judul Rja Vidy Rjaguhya Yoga. Dijelaskan hakikat raja
hanya sebagai istilah untuk menunjukkan raja dari semua ilmu (Vidy), yaitu ajaran
ketuhanan. Dikatakan demikian karena segala hal yang ada berasal dari Tuhan. Oleh karena
itu, mempelajari Ketuhanan Yang Maha Esa dianggap sangat mulia dan ilmunya merupakan
ilmu tertinggi dari semua ilmu. Bab X berjudul Vibhuti Yoga terdiri atas 41 seloka. Bab ini
menjelaskan sifat hakikat Tuhan yang absolut secara empiris. Dikatakan bahwa hakikat
absolut transendental sebagai akibat hakikat tanpa permulaan, pertengahan, akhir. Demikian
pula manifestasi Brahman dalam alam semesta, sebagai kitab suci, Devata, manusia, dan
huruf yang semuanya memerlukan pengertian dan dasar-dasar keimanan yang kuat.

Bab XI berjudul Visva Rupa Darsana Yoga terdiri atas 55 seloka. Visvarupa Darsana Yoga
sebagai penjelasan lebih lanjut dari ajaran Vibhuti Yoga yang mencoba menjelaskan bentuk
manifestasinya secara nyata. Dengan menyadari persamaan itu, maka terjawablah misteri
yang ada pada Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai hakikat yang Mahaada. Bab XII berjudul
Bhakti Yoga terdiri atas 20 seloka. Di dalam bhakti yoga manusia bersembah sujud kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Ada dua hal yang ingin dipertanyakan oleh Arjuna, yaitu (1)
menyembah Tuhan dalam wujudnya yang abstrak, dan (2) menyembah Tuhan dalam wujud
nyata misalnya, menggunakan nyasa atau pratima berupa arca atau mantra.

Bab XIII berjudul Ksetra Ksetrajna Vibhaga Yoga terdiri atas 34 seloka. Bab ini membahas
hakikat Ketuhanan Yang Maha Esa yang dihubungkan dengan hakikat purusa dan prakrti
(pradana) sebagai nama-rupa. Kebutuhan nama-rupa yang digelari dengan purusa dan prakrti
adalah untuk memberi landasan dalam penjelasan bagaimana mengenal Tuhan Yang Maha
Esa sebagai hakikat yang maha mengetahui. Demikian pula, bagaimana proses kejadian ini
dari purusa dan prakrti sampai pada segala bentuk ciptaan alam semesta. Bab XIV berjudul
Gunatraya Vibhaga Yoga terdiri atas 27 seloka. Bab ini membahas triguna atau gunatraya,
yaitu tiga macam guna yang terdiri atas sattvam, rajas, tamas. Manifestasi guna pada diri
manusia dapat dilihat dari bentuk tingkah laku mereka sebagai refleksi dari triguna.
Sebaliknya, yang menjadi tujuan pembahasan gunatraya ini adalah bagaimana seseorang
dapat mengatasi ketiga guna itu sehingga dapat mengatasi segala-galanya.

Bab XV berjudul Purusottama Yoga terdiri atas 20 seloka. Bab ini membahas pengertian
purusa sebagai asal dari semua ciptaan. Purusattama atau purusa utama adalah purusa yang
Mahatinggi, yaitu hakikat Ketuhanan Yang Maha Esa dan hakikat Aku yang transendental. Ia
adalah Brahman. Bahasan ini menggambarkan hakikat hubungan antar Sang Pencipta dengan
segala ciptaannya.

Bab XVI berjudul Daivasura Sampad Vibhaga Yoga terdiri atas 24 seloka. Bab ini intinya
membahas hakikat tingkah laku manusia yang dikenal sebagai perbuatan baik dan buruk.
Krsna menggambarkan sifat-sifat baik yang disebut sifat Devata dan sifat-sifat jahat sebagai
sifat-sifat raksasa atau asura.

Bab XVII berjudul Sraddhatraya Vibhaga Yoga teridiri dari 28 seloka. Sraddha Traya
Vibhaga Yoga bertujuan untuk meyakinkan, agar manusia berkeyakinan akan tiga hal, yaitu
triguna. Penekanan ini dimaksudkan sebagai penanggulangan terhadap pengaruh yang timbul
karena triguna dengan tujuan akhir adalah untuk mencapai kesempurnaan hidup. Bab XVIII
berjudul Samnyasa Yoga terdiri atas 78 seloka. Bab ini merupakan bab terakhir dan simpulan
dari semua ajaran yang menjadi inti tujuan pelaksanaan agama, yaitu brahma nirvana.
Dengan simpulan ini, jelaslah bahwa Gita mencoba mendorong Arjuna untuk bertindak tanpa
ragu-ragu dan tidak mengikatkan diri pada kewajiban dan akibat-akibatnya.

Penghayatan Terhadap Brahman/Sang Hyang Widhi Waa.

Berbagai model yang dapat dilihat dalam kehidupan beragama untuk menghayati dan
menunjukan rasa bhakti dari setiap kelompok keyakinan kepada yang diyakini sebagai kausa
prima. Berikut ini adalah beberapa model termaksud:

1. Animisme.

Model keyakinan dalam Animisme adalah bahwa setiap yang ada di alam raya ini adalah
mempunyai jiwa/roh. Roh adalah wujud non fisik yang senantiasa hidup sepanjang alam raya
ini ada. Demikian juga bahwa setiap satu kesatuan wilayah ada roh yang bertanggung jawab,
melindungi, menata dan mengatur wilayah tersebut.

Karena roh sifatnya permanen, maka setiap orang wajib dan sangat menghormati roh
leluhurnya serta roh para tokoh yang ada di lingkungannya. Mereka (para roh leluhur)
diyakini senantiasa akan menuntun, membimbing dan mengarahkan para keturunannya (sang
prati-sentana) sehingga menemukan kebahagiaan hidup.

2. Dynamisme.

Merupakan suatu keyakinan akan adanya roh-roh suci, benda-benda dan tempat-tempat
sakral. Bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini adalah berjiwa (memiliki kekuatan). Di
atas segala jiwa, ada jiwa tertinggi/jiwa utama. Dari keyakinan akan adanya roh-roh suci
dan benda-benda serta tempat-tempat sakral ini, memunculkan adanya aktivitas perawatan
terhadap benda-benda tersebut dan perawatan terhadap tempat-tempat khusus di masing-
masing wilayah.

3.Polytheisme.

Suatu keyakinan yang mengakui adanya banyak tuhan, dimana masing-masing tuhan
mempunyai sifat sendiri-sendiri. Penganut Polytheisme dalam memuja tuhan sering dan pasti
melakujan perpindahan dari satu tuhan ke tuhan yang lain apabila ybs. beralih profesi. Oleh
Max Muller (pemimpin kaum missionaris Jerman), karena kebingungannya dalam memahami
konsep-konsep pemikiran pada pustaka suci Reg Weda, model demikian disebut
Kathenoisme.

Ciri-ciri umum dari model penghayatan secara Polytheisme ada beberapa macam, seperti:

a.Dalam melakukan pemujaan, digunakan nyanyian dari berbagai bentuk ucapan pemujaan
yang tersusun dalam model puisi/syair-syair. Juga digunakan musik, gamelan dan tari-tarian,
sehingga pemujaan menjadi menyentuh seluruh perasaan, dan menekankan kepada rasa
keindahan.

b.Aktifitas pemujaan kepada tuhan tidak bersifat formalitas dan uniformitas, melainkan
menekankan kepada kepuasan bathin masing-masing pemuja.

c.Masyarakat penganut pada masing-masing tempat melakukan pemujaan dengan caranya


sendiri-sendiri serta menggunakan sarana-sarana yang berbeda sesuai dengan yang tersedia di
daerah masing-masing. Namun, secara keseluruhan memiliki prinsip dasar yang sama yakni
memohon dan mencapai kesucian serta ketentraman hidup.

d.Model penghayatan Polytheisme menjamin adanya penghayatan dengan penuh kreatif,


penuh daya imaginasi, daya seni, sastera, serta senantiasa terbuka dalam menerima berbagai
perubahan dan kemajuan zaman, namun identitas inti yang terdapat pada dirinya tetap
dipertahankan.

e.Simbol-simbol keagamaan diberikan berkembang secara luas dan optimal sehingga


kehidupan beragama menjadi demikian semarak. Imaginasi para penganut juga diberi
kesempatan luas untuk maju dan berkembang, tetapi tetap terarah dan mantap.

4.Monotheisme.

Model ini menekankan akan adanya keyakinan terhadap satu tuhan. Keyakinan model ini
dapat dibedakan menjadi dua macam yang antara satu dengan yang lain sangat bertolak
belakang, yakni:

a.Monotheisme Absolut.

Model ini bercirikan:

- Tuhan berwujud tunggal dan bersifat personal/individu serta memiliki jenis kelamin laki-
laki.
-Dalam pemujaan selalu dituakan, harus dipuja dengan sebutan bapak, tidak boleh dipuja
sebagai: kakak, teman, adik, ibu, dan sejenisnya.

-Memiliki tempat sendiri, yaitu sorga. Ia dapat pergi kemana-mana tetapi tempat tinggal yang
tetap adalah sorga.

-Merupakan raja yang berkuasa penuh atas sorga dan dunia; juga penguasa atas segala takdir.

-Raja ini harus selalu disembah dan dipuja. Manusia harus sering dan taat menyembah dan
menghormatinya sehingga sang raja menjadi puas, dan manusia harus senantiasa takut
kepadanya.

-Manusia harus hanya menyembahnya, tidak boleh menyembah yang lain. Apabila
menyembah yang lain, berarti penghianatan terhadap kerajaan-Nya. Bila hal ini terjadi, maka
tuhan akan menghukum dan menjebloskannya ke neraka.

-Tuhan mempunyai musuh/saingan abadi yakni Setan/Kuasa Kegelapan. Karena itu akan
selalu terjadi persaingan antara kedua kekuatan tersebut dalam memperebutkan manusia.
Apabila manusia mau dikuasai oleh setan, maka tuhan akan murka dan pada akhirnya
manusia akan dijebloskan ke neraka abadi.

-Kehendak tuhan di sorga, agar diketahui oleh manusia, maka dikirim para rasul. Manusia
harus menuruti kehendak tersebut, apabila menentang atau menyimpang, maka akan
dijebloskan ke neraka.

b.Monotheisme Non Absolut.

Model ini menunjukkan ciri-ciri:

- Tuhan adalah tunggal, tetapi boleh dipuja dalam banyak nama serta boleh diposisikan
sebagai ayah, ibu, guru, pemimpin, teman, kekasih, kakak, dan sejenisnya.

-Tuhan yang tunggal memiliki berbagai manifestasi atau perwujudan. Fungsi perwujudan
adalah agar para penyembahnya dapat menghayati keberadaan beliau.

-Tuhan tidak menentukan segalanya, beliau hanya menguasai beberapa takdir saja, seperti:
umur planet, gerakan alam, pertumbuhan mahluk, dsb.

-Tuhan tidak mempunyai musuh abadi, juga tidak murka apabila manusia melakukan
penyimpangan. Tuhan hanya memantulkan apa adanya seperti apa yang dilakukan mahluk
ciptaannya (ibarat cermin).
-Manusia menjadi baik atau jahat, cerdas atau bodoh, kaya atau miskin, dan sejenisnya
tergantung dari dirinya sendiri. Bukan karena rayuan setan, cobaan dari tuhan, bukan pula
karena takdir tuhan.

-Manusia masuk sorga atau jatuh ke dalam neraka juga karena dirinya sendiri, bukan karena
hukuman dari tuhan.

-Tuhan mengayomi seluruh ciptaannya dengan penuh kasih sayang. Beliau bersifat netral
ibarat cermin datar memantulkan setiap bayangan yang ada di depannya.

5.Pantheisme.

Konsepsi ketuhanan pada model ini menyatakan bahwa jiwa yang terdapat pada setiap
mahluk pada akhirnya akan kembali kepada tuhan (manunggaling kawula lan Gusti). Selain
itu, tuhan juga mau mengambil perwujudan dalam berbagai bentuk duniawi, bukan saja
sebagai manusia, tetapi juga sebagai manusia setengah binatang, sebagai binatang, bahkan
sebagai tumbuh-tumbuhan.

Ada tiga macam perwujudan umum yang dipakai oleh tuhan, seperti:

a.Anthrophomorphes; tuhan mengambil wujud sebagai manusia super, yakni manusia dengan
berbagai kelebihan/keistimewaan, seperti: sangat sakti, dapat memurti, melakukan hal-hal
diluar kemampuan manusia biasa, dsb.

b.Semi Anthrophomorphes; tuhan mengambil wujud setengah atau sebagian manusia


sebagian binatang, seperti: Narasimha, Ganea, dsb.

c.Unanthrophomorphes; tuhan mengambil wujud penuh sebagai binatang atau sebagai


tumbuh-tumbuhan, seperti: Kurma Awatara, Matsya Awatara, Soma, dsb.

6.Henotheisme.

Model ini menyatakan bahwa dewa yang banyak itu adalah tunggal adanya, dan yang tunggal
itu adalah banyak adanya.

Ciri-ciri dari konsep model ini adalah:

a.Tuhan ada pada posisi: paling tinggi, paling mulia, paling utama dan seluruh alam beserta
isinya menyatu dengannya.

b.Tuhan merupakan perwujudan keindahan dan kemegahan seluruh alam, termasuk kebajikan
dan kemuliaan yang terdapat dalam diri manusia.
c.Pemujaan dilakukan dalam bentuk yang maha utama dalam usaha menggambarkan
kemaha-kuasaan tuhan, walaupun nama-nama tuhan yang digunakan berbeda-beda.

d.Keberadaan tuhan adalah dalam posisi netral dan memenuhi seluruh alam yang ada.

e.Dewa yang banyak itu adalah satu, sehingga tidak ada kontradiksi dalam penampilan satu
dewa terhadap dewa yang lain. Yang ada hanyalah perbedaan tugas masing-masing.

f.Dalam kehidupan beragama senantiasa disertai nilai-nilai keindahan dan kesemarakan.

7. Monisme.

Konsep ini menjelaskan bahwa tuhan adalah tunggal, tetapi melingkupi seluruh alam ini.
Tuhan juga adalah inti dan kesejatian dari segala yang ada. Segala yang ada muncul dari
tuhan.

Sarwam khalu idam Brahman (Bhad Aranyaka Upanisad), artinya bahwa segalanya ada
dalam tuhan dan tuhan ada dalam segalanya. Tuhan ada pada setiap mahluk, apapun jenis
mahluk itu. Sebaliknya, seluruh mahluk, apapun jenisnya, ada/hidup dalam tuhan.

8. Atheisme.

Konsep ini merupakan kelanjutan dari Monisme. Ia menyatakan tuhan ada dalam diri sendiri.
Diri inilah tuhan, tetapi diri di sini tidak menunjuk badan wadag, melainkan atman yang
sudah mencapai kesadaran optimal (setara dengan Brahman). Saat inilah berlaku Aham
Brahman Asmi (aku adalah Brahman), Brahman Atman aikyam.(Brahman dan Atman
adalah tunggal), atau Ayam Atman Brahman (Atman ini adalah Brahman).

Atheisme dalam hal ini tidak sama dengan atheisme komunis dari Karl Mark (tidak percaya
akan adanya tuhan). Di sini atheisme artinya tidak bertuhan/perlu lagi mencari tuhan, karena
ybs. telah sampai kepada tuhan.

Dari semua model/paham/isme yang telah disebutkan dapat digambarkan bahwa posisi ajaran
Hindu seperti berikut:

Hindu

Animisme Dynamisme

Monotheisme

Pantheisme
Monisme

Henotheisme

Polytheisme

Atheisme

Pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi Waa.

Pemujaan dilakukan terhadap Brahman/Ida Sang Hyang Widhi dilakukan dalam dua model,
yakni:

1.Trancendental Nirguna Brahman (Impersonal God).

Sang Hyang Widhi Waa dipuja/dihayati dalam posisi acintyarpa artinya diluar daya
jangkau/kemampuan pikir manusia. Sang Hyang Widhi Waa: serba maha, serba bukan,
serba seluruh, dsb. Serba di luar daya jangkau pikir manusia maupun mahluk lain, yang
dalam teks Kawi dinyatakan tan kagrahita dening manah mwang indriya. [Reg Weda
X.90.1].

2.Immanen Saguna Brahman (Personal God).

Sang Hyang Widhi Waa dipuja/dihayati dalam posisi berwujud sehingga dapat dijangkau
oleh rasa atau daya pikir manusia. Dalam posisi ini beliau dipuja dengan menggunakan
berbagai gelar/nama nmarpa. Beliau dipuja dalam seribu gelar/nama sahasranma [Reg
Weda I.164.46]. Pemujaan model ini disebut Saguna Upsana.

Beberapa gelar diantaranya:

a. Sang Hyang Acintya = Ia yang tak terpikirkan.

b. Sang Hyang Jagatnatha = Ia yang menjadi raja segala raja.

c. Sang Hyang Jagatkarana = Ia yang menyebabkan adanya alam raya.

d. Sang Hyang Paramakawi = Ia yang maha penyusun/pengarang.

e. Sang Hyang Parama Wisesa = Ia yang penguasa utama.

f. Sang Hyang Pramesti Guru = Ia yang guru segala guru.

g. Sang Hyang Taya = Ia yang tanpa panca indriya.

h. Sang Hyang Tri Purusha = Ia yang memiliki tiga kesucian tertinggi.


i. Sang Hyang Tri Murti = Ia yang memiliki tiga wujud utama.

j. Sang Hyang Tri Lokasarana = Ia yang menjadikan adanya Tri Loka.

k. Sang Hyang Prajapati = Ia yang menjadi raja semua mahluk.

l. Sang Hyang Tuduh = Ia yang maha mengatur.

m. Sang Hyang Tunggal = Ia yang satu-satunya.

n. Sang Hyang Wenang = Ia yang maha menentukan.

o. Sang Hyang Widhi Waa = Ia yang maha kuasa.

Prabhawa dan Mahluk Ciptaan Ida Sang Hyang Widhi Waa.

Prabhawa Sang Hyang Widhi Waa.

Dalam Reg Weda III.55.1 dan dalam Weda Parikrama, maupun dalam pustaka-pustaka lain
khususnya yang menganut model aiva Siddhnta, prabhawa Ida Sang Hyang Widhi ada 7
macam. Perinciannya seperti berikut:

Sapta Loka Sapta Prabhawa Sapta Atman

Satya Loka Sang Hyang Parama Siwa Sunya Atman

Tapa Loka Sang Hyang Sadha Siwa Niskala Atman

Jana Loka Sang Hyang Siwa Adhi Atman

Maha Loka Sang Hyang Mahadewa Nir Atman

Swah Loka Sang Hyang Iswara Para Atman

Bhuwah Loka Sang Hyang Wisnu Antar Atman

Bhr Loka Sang Hyang Brahma Jiwa Atman

Mahluk-Mahluk Ciptaan Sang Hyang Widhi Waa.

Mahluk-mahluk ciptaan Brahman/Ida Sang Hyang Widhi Waa ada tiga macam, yakni:

I. D e w a.

II. M a n u s i a.

III. B h u t a k a l a:
a. Bhutakala Sekala (Hewan dan Tumbuh-tumbuhan).

b. Bhutakala Niskala (Raksasa, Paisaca, Asura, Krikara, Yatudhana, Naga, dsb.).

IV. Mahluk Peralihan:

a. Gandharwa.

b. Apsara [Widydhar/ Widydhar].

c. Kinnara/Kinnari.

D e w a.

Dewa ada 2 macam, yakni: Dewa Prabhawa (dewa yang merupakan perwujudan atau
manifestasi dari Ida Sang Hyang Widhi Waa) [Reg Weda III.55.1; Nirukta VII.4; Yajur
Weda XL.17; Weda Parikrama]. Yang kedua, adalah Dewa Ciptaan (dewa yang sengaja
diciptakan oleh Ida Sang Hyang Widhi Waa guna melaksanakan tugas-tugas tertentu) [Reg
Weda X.90.3; Reg Weda X.129.6; Ath. Weda X.7.27; M.Dh. I.22].

Dewa ciptaan bukan perwujudan/manifestasi dari Ida Sang Hyang Widhi Waa, melainkan
mahluk ciptaan sebagaimana halnya mahluk lain. Tubuhnya disusun oleh bahan-bahan yang
sama dengan mahluk ciptaan lainnya, yakni Panca Maha Bhuta: perthiwi/tanah, apah/air,
teja/api/sinar, bayu/angin, dan akasa/ruang kosong berkekuatan.

Tubuh Dewa dominant tersusun oleh unsur div (teja/sinar), karena itu dewa dikenal juga
dengan sebutan mahluk sinar atau mahluk bersinar.

Sebagai mahluk ciptaan, dewa memiliki berbagai kelebihan dan kekurangan.

Kelebihan dewa:

1) Nirjara (tidak mengalami umur tua).

2) Sakti (mempunyai kekuatan istimewa).

3) Gerak dan kerjanya serba cepat.

4) Bisa Nyuti Rupa (berubah wujud).

5) Bisa Nyepih Raga (menduplikasi diri).

6) Cara kerjanya sangat professional/mengkhusus.

Kekurangan dewa:
1) Sulit diatur.

2) Tidak senang dan tidak mau diperintah.

3) Sangat senang apabila dimohoni.

4) Hanya mau mengerjakan satu hal saja.

Perincian Dewa Ciptaan.

Diantara semua loka dari Sapta Loka yang terdapat dewa ciptaan hanya di Tri Loka/Tri
Bhuwana. Mereka memiliki tugas sendiri-sendiri. Jumlahnya adalah 3.339 dewa [Reg Weda
III.9.9; Reg Weda X.52.6].

Dari jumlah sebanyak 3.339 dewa, yang cukup penting diantaranya adalah 33 dewa [Reg
Weda I.34.11; Rdg Weda I.52.2; Reg Weda I.139.11; Reg Weda III.6.9; Brihad Aranyaka
Up. III.9.1; Yaj Weda XIV.31; Atharwa Weda X.7.27; Ath Weda X.7.23; Ath Weda X.7.27;
Satapatha Brahmana XIV.5]. Penting, artinya sering dihubungi oleh manusia, karena
memegang hal-hal yang banyak berhubungan dengan kebutuhan atau kehidupan manusia.

Diantara 33 dewa, ada 11 dewa yang sangat penting [Reg Weda VIII.57.2; Wisnu Purana 15;
Amsa Purana 1]. Dari 11 dewa tersebut, yang lebih penting lagi ada 9 dewa.

Perincian yang 9 (sembilan) itu disebut Dewa Asta Dikpalaka (penanggung jawab 8
penjuru angin + 1 di tengah/poros). Dalam pustaka Jawa Kuna maupun lontar-lontar di Bali
disebut Dewata Nawa Sanga [Reg Weda X.36.14; Prasna Up. VI.5-6]. Diantara 9 dewa,
yang paling penting karena tiap hari dihubungi oleh manusia, khususnya mereka yang
tergolong Grihasthin, ada 5 dewa. Ini disebut Sang Hyang Panca Dewata [Reg Weda
X.36.14].

Aksara Jendra, Tugas, Pasuk Wetu, dan Sesaji untuk Sang Hyang Panca Dewata.

Perincian Sang Hyang Panca Dewata beserta segala hal yang berkaitan dengan beliau seperti
berikut:

Sang Hyang Sadhyajata:

Aksara Jendra : Sang

Nama : Sang Hyang Sadhyajata/Indra Bhalaka.

Bhuwana Agung : Penjaga ufuk timur.


Bhuwana Alit : Pepusuhan/jantung.

Tempat Suci Umum : Penanggung jawab Uttama Mandala.

Tri Kahyangan Desa : Tidak bertugas.

Rumah Keluarga Hindu : Penjaga Pekarangan.

Tugas Lain : Penanggung jawab bendungan, sawah, pengatur karang


angker, dan pelindung segala jenis binatang piaraan.

Pasuk Wetu : Ibu jari tangan kiri/Putih mata kanan kiri.

Wahana : Sang Bhuta Bhucari

Warna Bunga Sesaji : dominan putihSweta Warna (warna putih).

Warna Nasi Segehan : Warna Putih.

Sesaji Inti Wetonan : Ketupat Dampul.

Sang Hyang Bhamadewa:

Aksara Jendra : Bang

Nama : Sang Hyang Bhamadewa.

Bhuwana Agung : Penjaga ufuk selatan.

Bhuwana Alit : Ati/hati.

Tempat Suci Umum : Apit Surang/Candi Bentar (Dwaraphala).

Tri Kahyangan Desa : Tidak bertugas.

konsep ketuhanan dalam beberapa susastra Hindu, seperti dalam purana, kuturan
tattwa, gong wesi,buana kosa, kusumadewa, dan siwagama.

Ketuhanan Dalam Siva Purana

Dalam iva Pura atau Vyu Pura juga ada diuraikan bagaimana keagungan Deva iva
ketika bersama ketiga deva yang lainnya dalam tri murti yakni Deva Brahm, Deva
Viu,dan Deva iva sendiri. Dalam sumber ini dijelaskan bahwa bermula dari
keingintahuan dari Deva Viu tentang apa yang terjadi dan apa yang dilakukan oleh Deva
Brahm.Dari rasa ingin tahu tersebut, maka akhirnya Deva Viu secara perlahan-lahan
untuk memasuki perut Deva Brahm, begitu sebaliknya Deva Brahm pun akhirnya
bergantian untuk memasuki perut Deva Viu untuk membuktikan tentang keindahan
alam yang ada di tengah perutnya masing-masing. Dalam perutnya itu dijumpai pohon
teratai yang indah dan mengagumkan. Namun apa yang terjadi akhirnya Deva Brahm
tidak bisa keluar sama sekali dari perut Deva Viu.Akhirnya Deva Brahm punya
akal yang jitu dengan mengecilkan badannya dengan cara menduduki bunga teratai
yang ada di tengah perut Deva Viu, yang akhirnya bisa keluar melalui pusar-Nya
dengan selamat, saat itulah Akhirnya Deva Brahm Dinamai Padmayoni.Setelah
perbincangan antara Deva Viu dengan Deva Brahm begitu suci dan seriusnya,
maka hadirlah Deva iva di antara perbincangan kedua deva itu. Saat itu baik Deva
Viudan Deva Brahm akhirnya menyembah Deva iva serta dengan keagungan-Nya
akhirnya memberikan anugerah berupa kerahayuan serta telah memaafkan kehilafan
yang dilakukan oleh Deva Viu dan Deva Brahm yang selanjutnya telah berjanji
untuk berbhakti dan hormat kepada Deva iva.

Ketuhanan Dalam Kuturan Tattwa Dalam Kuturan Tattwa ada diajarkan tentang konsep
ketuhanan dalam Hindu, bahwa Hyang Widhi Wasadengan berbagai prabhava Beliau atau
murti dari Hyang Widhi dalam gelar-Nya yang beraneka yakni Bhatara Bayu, Bhatara
Sambhu, Bhatara Brahma, Bhatara Visnu, Bhatara Ludra, Bhatara Isora, termasuk
dalam gelar Beliau sebagai Hyang Pasupati.Dalam sumber ini walaupun Beliau diajarkan
bahwa nama Beliau ada banyak, namun umat Hindu pada hakikatnya memuja dan
memuliakan Beliau sebagai Yang Esa, Tuhan hanya satu, nama boleh banyak dan
beraneka. Beliau intinya adalah tunggal.

Ketuhanan Dalam Buana Kosa

Naskah Buana Kosa terdiri atas sebelas bab (eka dasa adhyaya),486 sloka yang berbahasa
Sansekerta yang artinya 4 diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa Kuna dan saat ini telah pula
adaterjemahannya ke dalam bahasa Indonesia. Secara utuh bahwa isinya lebih
menekankan pada paham ketuhanan iva yang dalam naskah tersebut diistilahkan
dengan nama Brahm Rahasyam (mengenai rahasia Tuhan iva), di antaranya :
mengenai Brahm Rahasya, Jna Siddhnta, Bhasma Mantra, Jna Sang Kepa,
Bhuwana Koan, dan Siwopadesa. Kemudian jika dirinci lagi inti ajarannya adalah alam
sepi (sunya), kelepasan (moksha), ciptaan iva(sresti), Tuhan ivaada dimana-mana
(vyapi vyapaka), lima unsur alam (panca maha bhuta), lima unsur alam yang tak
berwujud (panca tan matra), lima unsur dalam tubuh (panca pada), tujuh pulau (sapta
dwipa), tujuh lautan (sapta sagara), tujuh gunung (sapta parvata), tiga kualitas dalam
karakter (tri guna), lima indriya pekerja pikiran (panca buddhindriya), lima unsur
pekerja badan (panca karmendriya), empat spirit umat manusia (catur atman), tujuh
alam sapta loka), tiga alam (tri loka atau tri bhuwana), tiga kenyataan Tuhan iva (tri
kona), lima aksara Tuhan iva (Panca Aksara Brahma),tiga wujud Tuhan iva (tri murti),
aksara suci Tuhan iva (Ongkra), penggunaan abu suci (bhasma), sikap tetanganan
saat memuja Tuhan iva(mudra), pengetahuan niskala (jna niskala), pelaksanaan
meditasi (yoga), doa suci kepada Tuhan iva(mantra),aksara suci Tuhan iva (praava),
saat kematian orang suci dan yogi, tentang nyata (sakala) dan tidak nyata (niskala),
tiga huruf suci Tuhan iva (tri aksara), tentang titik (vindu), dan tentang kemuliaan
ajaran aiva Siddhnta. Demikian inti sari naskah buana kosasebagai sumber ajaran dan
pembangkit spiritual bagi umat Hindu.

Ketuhanan Dalam Kusumadewa

Ajaran teologi Hindu (Brahma Widya) sangat banyak diajarkan dalam naskah
Kusumadewa.Terutama pada bagian-bagian mantra suci (saa) yang disuratkan pada bagian
awal, inti, dan sampai akhir dari naskah ini sangat kaya memuat ajaran teologi Hindu.
Hal tersebut dapat dibaca secara berurutan pada mantra-mantra serta dalam jenis-jenis
upacara yang dihaturkan melalui perantara pamangku,bahwa ada banyak menyebutkan
nama-nama Tuhan Yang Maha Esa dalam sebutan sesuai ajaran agama Hindu, baik
yang diajarkan dalam pustaka suci Veda maupun sumber susastra Hindu lainnya.
Semua mantra atau saa selalu diawali dengan ucapan aksara suciOng. Kata Ong
merupakan aksara pranava Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa. Kata
Ong mengandung makna yang sama dengan kata Om sebagai simbol aksara suci Ida
Sang Hyang Widhi Wasa, yang secara teologis memiliki makna untuk mengagungkan,
memuliakan, menghormati, serta wujud bhakti kehadapan Tuhan Yang Maha Esa Ida
Sang Hyang Widhi Wasa. Setelah dicermati pada mantra-mantradalam naskah
Kusumadewa bahwa bahasa yang digunakan adalah bahasa agama Hindu secara
campuran. Sebagian mantra ada yang berbahasa Sansekerta dan sebagian juga
berbahasa Bali yang dipadukan dengan pengaruh dari bahasa Kawi atau bahasa Jawa Kuna.
Dalam mantra untuk membersihkan dupa dimohonkan kehadapan Dewa Brahma untuk
menyucikan sarana dupa guna memberikan sinar suci. Dalam menghaturkan banten
prayascita ada disebutkan mengenai pemujaan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa dalam
wujud Beliau sebagai Bhuta, seperti : Sang Kala Purwa, Sang Kala Sakti,Sang Kala
Prajamuka, Sang Bhuta Preta, dan Sang Kala Ngulaleng.Selain itu juga ditujukan
kehadapan Dang Guru Iswara beserta Beliau yang menempati lima arah mata angin
dengan gelar Beliau sebagai Sadyotjata, Bamadewa, Tatpurusa, Aghora, dan Isana. Dalam
menghaturkan banten pabeyakala ditujukan kehadapan wujud (murti) Tuhan Yang Maha
Esa sebagai Hyang Kala, seperti : Hyang Kal-5Kali, Bhatara Kala Sakti, Kala Putih, Sang
Kala Abang, Sang Kala Jenar, Sang Kala Ireng, Sang Kala Amancawarna, Sang
Kala Anggapati, Sang Kala Karogan-rogan, Sang Kala Sepeten, SangKala Gering, Sang
Kala Pati, Sang Kala Sedahan, dan sebagainya.Kemudian dalam menghaturkan tetabuhan
bahwa hal itu ditujukan kehadapan Hyang Siva, Hyang Sadasiva, serta kehadapan
Hyang Parama Siva.Seperti telah disinggung di atas, bahwa dalam menghaturkan dupa
juga ditujukan kehadapan Hyang Brahma, Hyang Visnu, dan Hyang Isvara.Selain itu
juga ditujukan kehadapan Hyang Mahadewa, Hyang Rudra, Hyang Iswara, Hyang
Sangkara, Hyang Sambhu, Hyang Maheswara, Hyang Baruna, Hyang Taya, Hyang
Widhyadhara-Widhyad hari.Kemudian dalam wujud Beliau sebagai pemberi anugerah, maka
Tuhan Yang Maha Esa disebutkan bergelar Hyang Pasupati yang bersthana di
gunung Mahameru yang dirapalkan dengan mantra untuk memuja semua kekuatan
Beliau dengan mantra : ...Ong Ang, Ang ya namah svaha, Sa, Ba, Ta, A, I, Na, Ma, i, Wa,
Ya.Demikian juga pada pamangku untuk memohon kehadiran Tuhan Yang Maha Esa
untuk turun ke kahyangan maka dalam pujanya itu agar segera hadir wujud Beliau yakni :
Iswara dan Dewi Uma, Maheswara dan Dewi Laksmi, Brahma dan Dewi Saraswati, Rudra
dan Dewi Santani, Mahadewa dan Dewi Saci, Sangkara dan Dewi Warahi, Wisnu dan
Dewi Sri. Sambhu dan Dewi Uma, Hyang Siwaditya dan Dewi Saci, Hyang Sunya,
Hyang Ardhanaresvari,dan Hyang Arcana. Pada saat Ngabejiang ditujukan kehadapan
Bhatara Samodaya.Saat Pangeresikan ditujukan kehadapan Hyang Siva Guru. Juga saat
menghaturkan lis dan isuh-Isuh ditujukan kehadapan Hyang Siva dan Hyang Taya.Saat
menghaturkan Beyakaonan ditujukan kehadapan Sang Hyang Galacandu, Dewa Bayu,
Hyang Bamadewa.Saat Nebusin ditujuka kehadapan Hyang Surya Candra.Saat majaya-jaya
tirtha ditujukan kehadapan Dewi Gangga dan Hyang Parama Siwa. Dalam memuja tirtha
kakuluh memohon kepada Hyang Sivaguna memberikan kasiddhian.Dalam menyucikan
Sesajen sesuai dengan uncaran mantranya ditujukan kehadapan Dwi Gangga, Dewa Iswara,
Dewa Brahma, Dewa Mahadewa, Dewa Wisnu, Dewa Siwa, Hyang Tri Murti, Hyang
Eka, dan Sang Hyang Suci Nirmala Jnana.Saat menghaturkan datengan tegak linggih
ditujukan kehadapan Sang Sedahan Panyarikan dan Hyang Siva.Selanjutnya saat
mensthanakan Tuhan pada Sajen Suci ditujukan kehadapan Hyang Siva, Hyang
Pulacek, Sang Hyang Wisesa, Sang Kasuhun Dewa Kala sakti, Dewa Ganapati,
Bhatara Korsika, Bhatara Gana Sakti, Sang Hyang Kumara, Dewa Wisnu, Dewa
Brahma, DewaMahadewa, Dewa Siwa, Dewa Sambhu, Dewa Rudra, Sang Hyang
Suklapaksa, Sang Hyang Besawarna, Dewa Baruna, Dewa Maheswara, Sang Hyang
Dharma, Sang Hyang Tunggal, Sang Hyang Pramana, dan Sang Hyang
Lokanatha.Selanjutnya dalam menstanakan para dewa ditujukan kehadapan Dewa
Brahma, Dewa Wisnu, Dewa Iswara, Dewa Rudra, Dewa Sri Guru Jagat,dan Dewa
Siwa Natha.Kemudian saat Pamangku menghaturkan upacara piodalan ditujukan
kepada Hyang Ongkara, Hyang Sakaram,dan Hyang Siddhi.Demikian juga saat
menghaturkan bebangkit ditujukan kepada Tuhan dalam wujudnya sebagai Hyang
Durgha Bucarya, Hyang Kala Bucarya, Hyang Bhuta Bucarya, Hyang
Drembhamoha, Hyang Kala Wisaya, Hyang Kala Ngadang, Sang Kala Katung
dengan kekuatan Beliau yang berjumlah tiga belas yakni :Sang, Bang, Tang, Ang,
Ing, Nang, Mang, Sing, Wang, Yang, Ang, Ung, dan Mang.Demikian juga saat
mempersembahkan gelar sanga ditujukan kepada Tuhan dengan wajud-Nya sebagai
Bhuta Dengen, Hyang Pasupati,Sang Bhuta Dangdang, Sang Bhuta 6 Brahma, Sang
Bhuta Putih, Sang Bhuta Janggitan, Sang Bhuta Bang, Sang Bhuta Langkir, Sang
Bhuta Kuning, Sang Bhuta Lembukanya, Sang Bhuta Ireng, Sang Bhuta Karuna, dan
sebagainya. Lalu saat menghaturkan Segehan Agung ditujukan kepada Sang Hyang
Purusangkara, Sang Kala Sakti, Sang Hyang Rudra, Sang Kala Wisesa, Sang Hyang
Durghadewi, Sang Hyang Kala Dengen Agung, dan Sang Hyang Kala Bhuta Bhukti.
Terakhir pada saat membagikan Tirtha memohon kepada Dewa Brahma, Dewa Wisnu,
Dewa Iswara, Dewa Siwa, Dewa Sadasiwa, Dewa Paramasiwa.

Ketuhanan Dalam Siwagama

Naskah iwgama menceritakan tentang teologi Hindu dengan menyebutkan gelar Ida
Sanghyang Widhi(sebagai asal dan tujuan dari semua yang ada, karena Beliau memiliki
kekuatan hukum abstrak atau rtam niskala Vidhi berarti hukum abadi) atau Sanghyang
Titah. Selain itu, Tuhan juga disebut sebagai Sang Adisuksma yang diyakini sebagai
pencipta alam semesta beserta dengan isinya, yang diyakini juga Beliau sebagai
kekuatan utama (adi) yang memiliki sabda suci, mulia, dan maha kuasa (Suksma)
Sebutan Tuhan yang lainnya adalah unya yang tiada lain adalah gelar Beliau dalam
kondisi abstrak atau niskala.Kata unya adalah bahasa Saksekerta yang artinya kosong
atau nol. Maksudnya bahwa segala yang ada ini dengan berbagai bentuk dan wujudnya
awalnya dari kosong atau unya, karena unyaitu tiada lain adalah Tuhan Yang Maha Esa.
Selain sebutan Sanghyang unya,juga digelari Sanghyang Titah.Yang dimaksudkan
Sanghyang Titahadalah Tuhan itu sendiri yang memiliki sabda niskala uttama atau suara gaib
yang utama. Apapun perintah Beliau,maka segala ciptaan-Nya mesti patuh, tunduk,
turut, serta tidak bisa menolak. Begitulah perintah Tuhan Yang Maha Esa. Beliau sebagai
penentu terakhir. Beliau juga yang mengendalikan yang Beliau ciptakan (utpeti),
Beliaulah yang memeliharanya, menjaganya, melindunginya, serta membesarkannya
(sthiti), yang pada gilirannya, akhirnya Beliau pula yang menitahkan untuk
kembali ke asalnya yakni Sanghyang Titah sendiri (praline atau pralaya).Apapun cara
Beliau lakukan, itulah rtam vidhi.Bisa saja kembali kepada Beliau melalui utama, biasa,
atau jalan musibah atau bencana alam. Semua itu Beliau yang menitahkan.
Ciptaan-Nya ini tinggal menunggu perintah saja.Dalam naskah iwgama juga dijelaskan
bahwa Tuhan Yang Maha Esa memiliki aksara suci atau pranava yakni Om Aksara
Om adalah penunggalan dari tri aksara,antara lain : aksara A atau Ang, aksara U atau
Ung, dan aksara M atau Mang. Ketiga aksara suci setelah disandhikan menjadi
AUM atau AUNG (Om atau Ong). Aksara suci Omini merupakan aksara untuk
memuliakan Tuhan Yang Maha Esa. Om sebagai aksara yang digunakan pada saat
puja atau mantra.Orang suci, sedharma, atau penganut Hindu selalu mengucapkan
aksara suci Ompada saat memuja dan menyembah Tuhan Yang Maha Esa. Seperti saat
memuja Sanghyangiwa, diucapkanlah mantra suci: Om Om iwya namah, Om Om
Sadaiwya namah, Om Om Paramaiwya namah.Atau Dengan mantra suci: Om Hrang
Hring sah Paramaiw ditya ya namah.Mantra suci tersebut sebagai puja untuk
menghormati Tuhan Yang Maha Esa yang bergelar Sanghyang iwa.Sanghyng
iwa juga digelari Bhatara iwa,yang dalam kekuatan Beliau sebagai maha tahu, maha
adil, dan maha saksi. Dalam gelar Beliau sebagai maha saksi, maka Beliau bergelar
Bhatara iwa Raditya atau Sanghyang Surya. Sanghyang Surya hadir sebagai saksi
terhadap semua ciptaan Beliau dengan sinar suci yang maha cemerlang, yang
memberikan sinar kehidupan kepada semua ciptaan-Nya. Saat Beliau hadir sebagai
saksi terhadap 7 ciptaan-Nya, maka Beliau dimuliakan, dihormati, dan disembah dengan
puja mantra suci Surya Astawa (mantra khusus memuliakan Hyang Widhi atau Hyang Siwa
dalam wujud Beliau sebagai Hyang Surya atau Hyang iwa Raditya).Dalam realitas
kehidupan masyarakat Hindu, Beliau dihormati atau dipuja setiap hari terutama saat pagi
hari (subhaha samayam puja).Bagi Pandita,atau orang suci (sulinggih) memiliki tata
krama pemujaan kehadapan Beliau melalui aktivitas Surya Sevana. Begitulah rasa
bhakti dan penghormatan umat Hindu kehadapan Sanghyang iwa Raditya secara rutin
setiap hari (prati dinam puja ya iwa Raditya).Jadi gelar Sanghyang iwa
Radityamerupakan kekuatan Beliau untuk menyaksikan segala perilaku ciptaan-
Nya, Beliau sebagai saksi perilaku kebaikan dan keburukan yang diperbuat oleh segala
ciptaan Beliau.Naskah iwgama sesungguhnya sarat dengan nilai teologi Hindu, oleh
karena dalam naskah inilah sebutan Tuhan Yang Maha Esa bisa dipahami dan dihayati
oleh umat Hindu sesuai kondisi, tempat, serta waktu yang terjadi secara kearifan lokal di
Bali pada khususnya maupun di Indonesia pada umumnya. Sekali lagi bahwa gelar
Tuhan Yang Maha Esa yang tersurat dalam naskah iwgama sebagai media suci
untuk menghormati dan berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa. Beliau digelari Sanghyang
Taya, oleh karena Beliau dalam kondisi niskala atau tidak nyata (Taya Tayaca
Vijeyah).Beliau digelari sebagai Sanghyang Tunggal oleh karena sesungguhnya
eksistensi Beliau adalah Esa atau Ika (adwityam).Beliau digelari juga Sanghyang Catur
Dewata yaitu Sanghyang Kusika, Sanghyang Garga, Sanghyang Metri, dan Sanghyang
Kurusya, yang tiada lain adalah Sanghyang Acintya (Beliau yang tak terpikirkan),
tetapi Beliau mampu menciptakan berbagai hal dari empat/segala penjuru.Beliau
diberi gelar Bhatara Guru,oleh karena kekuasaan Beliau untuk menuntun umat manusia
menjadi cerdas, cendekiawan, pintar, arif, prajna, wisesa,terampil, dan bijaksana.
Kekuatan Beliau mampu memberikan anugerah pengetahuan suci dan berbagai
teknologi dari berbagai dimensi sesuai desa kala patra.Beliau pula menjadikan umat
manusia menjadi insan atau sumber daya manusia yang berkualitas (suputra,
suputri, sadhu gunawan, buddhiman, buddhiwati,manusia Indonesia seutuhnya,
manusia yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa). Pada saat kehadiran Beliau, maka
manusia memuliakannya melalui puja suci Sarasvati Astawa,sehingga umat manusia
menjadi Brahmacarya, menjadi Pandita, menjadi Dang Acarya, menjadi Tri Kang
Sinanggah Guru, menjadi Catraverti atau Vidyarti (sisya Atau mahasisya), dan mengikuti
kegiatan aguron-Guron sesuai dengan sasana masing-masing. Begitulah nilai teologi
Hindu yang terkandung dalam naskah iwgama,yang sesungguhnya sebagai tuntunan
moral dan spiritual bagi umat Hindu, sekaligus merupakan pustaka suci sebagai
pedoman untuk meyakini dan percaya dengan keesaan Ida Hyang Widhi Wasa.
Diyakini bahwa Beliau adalah Esa atau Tunggal.Tetapi dalam naskah ini bahwa Beliau
dimuliakan dengan gelar yang beraneka (bahu vadanti).Gelar Beliau yang lainnya
adalah Sanghyang Mahadewa, Sanghyang Iswara, Sanghyang Mretyunjaya, Bhatara
Sadhana, Bhatari Nini, Bhatari Uma, Bhatari Sri, Bhatari Mahadewi, Bhatara Wisnu,
Bhatara Siwa, Sanghyang Indra, Bhatara Brahma, Bhatara Gana, Sanghyang
Dharma, Bhatara Guru, Sanghyang Kala, Bhatara Parameswara, Sanghyang Ghana,
Sanghyang Kumara, dan sebagainya. Dalam wujud Beliau sebagai Sanghyang
Kala,maka Beliau bergelar Sang Bhuta Kedap, Sang Bhuta Gelap, Sang Bhuta Tatit,
Sang Bhuta Kilap, Sang Bhuta Dadali, Sang Bhuta Kawanda, Sang Bhuta Syama,
Sang Bhuta Semang, Sang Bhuta Sendu, Sang Bhuta Kubandha, Sang Bhuta Girindi,
dan yang lainnya.

Ketuhanan Dalam Gong Wesi Nama Beliau (Tuhan) jika dalam Pawukon sesuai Tutur
Gong Besi juga beraneka nama atau sebutan Tuhan, yakni saat wuku Sinta bergelar
Sanghyang Yamadipati, Landep bergelar Sanghyang Mahadewa, Ukir bergelar Sanghyang
Mahayukti, Kulantir bergelar Sanghyang Langsur, Tolu bergelar Sanghyang Bayu,
Gumbereg bergelar Sanghyang Cakra, Wariga bergelar Sanghyang Semara, Warigadean
bergelar Sanghyang Maha Resi, Julungwangi bergelar Sanghyang Sambhu, Sungsang
bergelar Sanghyang Gana, Dunggulan bergelar Sanghyang Kamajaya, Kuningan bergelar
Sanghyang Indra, Langkir bergelar Sanghyang Kala, Medangsia bergelar Sanghyang
Brahma, Pujut bergelar Sanghyang Guretno, Pahang bergelar Sanghyang Tantra, Krulut
bergelar Sanghyang Wisnu, Merakih bergelar Sanghyang Suranggana, Tambir bergelar
Sanghyang Siwa, Medangkungan bergelar Sanghyang Basuki, Matal bergelar
Sanghyang Sakra, Uye bergelar Sanghyang Kuwera, Menail bergelar Sanghyang
Citragatra, Perangbakat bergelar Sanghyang Bisma, Bala bergelar Sanghyang Bhatari
Durga, Ugu bergelar Sanghyang Singajatma, Wayang bergelar Bhatari Sri, Kelawu
bergelar Bhatara Sedhana, Dukut bergelar Sanghyang Agni, dan pada wuku Watugunung
Beliau bergelar Sanghyang Anantabhoga Dan Sanghyang Naga Gini.

Anda mungkin juga menyukai