Anda di halaman 1dari 5

Di Kerajaan Sunda berlaku sistem pemerintahan yang unik, yang disebut Tri Tangtu di

Buana. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap makna Tri Tangtu di Buana yang
mengandung aspek komunikasi politik dalam Fragmen Carita Parahyangan. Penelitian ini
menggunakan metode analisis hermeneutik Paul Ricoeur. Data penelitian diperoleh dari teks
naskah Sunda kuno Fragmen Carita Parahyangan. Berdasarkan hasil penelitian terhadap teks
naskah Sunda kuno Fragmen Carita Parahyangan diketahui bahwa secara umum, Tri Tangtu
di Buana yang terdiri dari prebu, rama, dan resi di dalam naskah Sunda kuno Fragmen Carita
Parahyangan ini merupakan tiga lembaga yang secara bersamaan memegang jabatan di
pemerintahan Kerajaan Sunda; ketiganya memiliki hak dan kewajiban yang berbeda dalam
memimpin Kerajaan Sunda, yang di dalamnya mengandung aktivitas komunikasi politik
dalam dua peristiwa, yaitu peristiwa pembagian kekuasaan dan pembagian wilayah
kekuasaan.

Tri tangtu adalah cara berpikir masyarakat tradisional Sunda. Tri tangtu berasal dari
bahasa Sunda, di mana kata tri atau tilu yang artinya tiga dan tangtu yang artinya pasti atau
tentu. Masyarakat tradisional Sunda memaknai tri tangtu sebagai falsafah hidup yang
berpedoman pada tiga hal yang pasti yakni; Batara Tunggal yang terdiri dari Batara Keresa,
Batara Kawasa dan Batara Bima Karana.[1] Cara berpikir dalam pola pembagian tiga adalah
umum untuk masyarakat Indonesia,karena orang Indonesia hidup dalam pertanian ladang.[2].
Dalam pandangan hidup orang Sunda, ditegaskan bahwa orang Sunda tidak mengandalkan
keyakinan hidupnya itu pada kekuatan diri sendiri saja, melainkan pada kuasa yang lebih
besar, pengguasa tertinggi, sumber dan tujuan dari segalanya, yang disebut dengan berbagai
nama, antara lain Gusti Nu Murbeg Alam.

1. Tri Tangtu di Buana

Model pembagian/pemisahan kekuasaan pada sistem Kerajaan Sunda masa lalu, maka
peneliti dapat menganalogikannya sebagai berikut. Fungsi atau tugas kekuasaan di kerajaan
Sunda ada tiga. Tiap-tiap fungsi atau tugas itu terpisah-pisah sehingga organ atau badan yang
satu tidak mencampuri fungsi atau tugas badan-badan lainnya. Hal yang dimaksud disiratkan
secara jelas berikut ini:

1) Tugas legislatif dipegang oleh golongan Rama dan semata-mata boleh dijalankan oleh
badan itu.
2) Tugas eksekutif menjadi wewenang Prebu yang semata-mata boleh dijalankan oleh
badan itu.
3) Tugas yudikatif semata-mata dipegang oleh golongan Resi sebagai badan peradilan.

Jelaslah bahwa pemimpin pusat tidak serta merta diwariskan secara genealogis kepada
putra sulung raja terdahulu. Akan tetapi, hal itu dilakukan atas kesepakatan dengan pihak
rama (para tokoh wakil masyarakat) dan pihak resi (kaum intelektual ahli di bidang
pengetahuan peradilan). Di lain pihak, pemimpin wilayah atau daerah itu juga ditentukan atas
mekanisme kesepakatan dan kebijakan lembaga adat Tri Tangtu di Buana yang ada di
masing-masing kerajaan daerah. Ini dapat memeperkecil terjadinya potensi gesekan atau
konfik kepentingan di kalangan rakyat secara horizontal.
Dalam Tri Tangtu di Buana inilah banyak terjadi kegiatan politik yang di dalamnya
mengandung aspek-aspek komunikasi politik yang terwujud dalam aktivitas komunikasi
politik antar pemegang kekuasaan. Aktivitas komunikasi politik yang terjadi utamanya terjadi
dalam proses pembagian/pemisahan kekuasaan dan pembagian wilayah kekuasaan dalam
Kerajaan Sunda. Tri Tangtu di Buana kini masih tampak jelas dalam tradisi kehidupan
masyarakat Baduy di Kanekes yang terpusatkan pada “Tangtu Telu” atau tiga kapuunan,
yakni Cibeo berkedudukan sebagai Puun Ponggawa (dapat diidentikkan sebagai Prebu),
Cikartawana berkedudukan sebagai Puun Resi, dan Cikeusik berkedudukan sebagai Puun
Rama.
Salah satu naskah Sunda kuno yang isinya mengandung aspek-aspek komunikasi
politik Tri Tangtu di Buana dan masyarakat Sunda kuno pada umumnya adalah Fragmen
Carita Parahyangan (FCP). Teks naskah FCP berwujud sebuah tulisan tangan yang hingga
saat ini hanya ditemukan dalam satu buah naskah, itu pun tersimpan bersatu dengan naskah
Carita Parahyangan (CP) dalam sebuah Kropak 406 yang kini tersimpan di bagian koleksi
naskah Perpustakaan Nasional Jakarta. Naskah FCP mungkin dapat dikatakan memiliki
keistimewaan tersendiri dalam khazanah pernaskahan Sunda Kuno karena

2. Tri Tangtu di Bumi

Konsep Tritangtu di Bumi merupakan rucita kepemimpinan masyarakat Sunda yang


sangat tua. Embaran-embaran mengenai Tritangtu di Bumi ini ditunjang atau didasarkan pada
naskah-naskah Sunda Buhun dan perikehidupan masyarakat kampung adat yang kini masih
dapat kita saksikan salah satunya di Kampung Naga. Sementara itu, lembaran naskah yang
memuat rucita Tritangtu di Bumi dapat ditelusuri pada naskah Siksa Kanda ng Karesian
(1518), Carita Parahyangan (1580), dan Sewekadarma (masih abad ke-15).

Secara rinci Tritangtu di Bumi terdiri atas 3 (tiga) unsur yaitu: raja/ratu (prabu), rama,
dan resi. Kekuatan Tritangtu terletak pada kekukuhan atau keteguhannya pada masing-
masing unsur. Tidak ada diantara ketiga unsur tersebut saling berebut kekuasaan, tetapi
masing-masing berjalan pada tempatnya sesuai dengan kapasitas dan profesialismenya
masing-masing. Tujuannya adalah untuk menyentosakan pribadi (seseorang). Ia harus sentosa
bagaikan raja, ucapannya harus dapat dipegang bagaikan petuah para tetua (rama), sedangkan
budinya haruslah bagaikan budi seorang resi.

Tritangtu di Bumi adalah sistem kepemimpinan Sunda secara tradisional, yaitu sistem
kepemimpinan yang dilakukan oleh tiga orang (Rama - Resi - Prabu). Meskipun tidak sama
persis, karena telah mengalami perubahan istilah dan ada sedikit perbedaan dengan aslinya,
sistem ini pada saat ini masih dipertahankan dan dijalankan oleh warga Kampung Naga.

Fungsi dari Tri Tangtu dijelaskan didalam naskah Sanghiyang Siksa, yakni sebagai
pene guh dunia, dilambangkan dengan raja sebagai sumber wibawa ; rama sebagai sumber
ucap (yang benar) ; dan resi sebagai sum ber tekad (yang baik). Ini tri-tangtu di bumi. Bayu
kita pina/h/ka prebu, sabda kita pina/h/ka rama. h(e)dap kita pina/hka resi. Ya tritangtu di
bumi, ya kangken pineguh ning bwana ngara(n)na. Inilah tiga ketentuan di dunia.
Kesentosaan kita ibarat raja, ucap kita ibarat rama, budi kita ibarat resi. Itulah tritangtu di
dunia, yang disebut peneguh dunia. Lingkungan perkampungan Baduy, memiliki tiga fungsi
sosi al, yakni :1. Cibeo disebut tangtu Parahyangan, fungsi Puun mengemban tugas sebagai
kepala pemerintahan (Raja) ;2. Cikeusik disebut Tangtu Pada Ageung, fungsi Puun mengem
ban tugas sebagai pemuka/tokoh masyarakat ;3. Cikertawana disebut Tangtu Kadu Kujang,
fungsi Puun me- ngemban tugas sebagai tokoh agama (Resi).

3. Nilai-Nilai Karakter Bidang Pemerintahan Pada Masa Kerajaan Dan


Kabupaten Di Tatar Galuh

Sunda memiliki persfektif dalam menjalankan kehidupan beragama sekaligus bernegara,


ada 3 prinsip hidup orang Sunda yang disebut sebagai "Tri Tangtu Jaya di Buana". Tri Tangtu
di Buana atau konsep Tri Tangtu di Bumi. Tri tangtu di Bumi merupakan pembagian peran di
dalam tatanan sosial dan negara, yang dalam hal ini masing-masing bagian mempunyai
wilayah teritorial sendiri.
Bila kita bandingkan tugas masing-masing unsur, maka -seperti Tritangtu yang lain-
Tritangtu di Bumi juga merupakan refleksi dan representasi 3 unsur yaitu Tuhan, Alam, dan
Manusia.

1. Rama: Representasi dari unsur Tuhan yang dimanifestasikan dalam tugas Rama yaitu
bidang spiritual, yakni seorang Rama ini adalah manusia yang sudah meninggalkan
kepentingan yang bersifat duniawi dan lahiriah, sehingga bisa menjaga rasa asih yang
tinggi dan bijaksana. kaum agamawan bertugas membangun kesadaran religius
masyarakat, tiada politik dalam benak juangnya. lurus selurusnya.
2. Resi: Representasi dari unsur alam yang merupakan penyedia bagi kepentingan
kehidupan, maka para Resi merupakan ahli-ahli atau guru-guru dalam berbagai
bidang di antaranya: pendidikan, pertanian, militer, seni, perdagangan, kesehatan dan
lain sebagainya Misinya adalah asah. Kaum intelektual pencerdas bangsa, ia tidak
boleh berpolitik praktis, gerakannya adalah gerakan kultur dan gerakan nilai.
3. Ratu (Prabu): sebagai reprensentasi unsur manusia yang bertugas untuk mengasuh
seluruh kegiatan dan kekayaan negara karena misinya asuh maka di dalam tatanan
Sunda para pemimpin pemerintahan ini disebut pamong atau pangereh dan bukan
pemerintah. Ratu adalah pemangku kebijakan, ia hidup menterjemahkan kultur dan
nilai dalam setiap kebijakannya, lurus dan tidak transaksional.
MAKALAH KAGALUHAN

Nilai-Nilai Karakter Bidang Pemerintahan Pada Masa Kerajaan Dan


Kabupaten Di Tatar Galuh

Kelompok I
Disusun Oleh:
1. 2109190026 ( Alif Reza Ramdani )
2. 2109190041 ( Sri Shofiatur Rahayu )
3. 2109190053 ( Ayu Nuraeni )

UNIVERSITAS GALUH CIAMIS

Alamat : Jl. R.E. Martadinata No.150 tlp/fax (0265) 776787 Ciamis 46251 Jawa Barat.

Anda mungkin juga menyukai