Anda di halaman 1dari 20

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/315530799

MAKNA TRI TANGTU DI BUANA YANG MENGANDUNG ASPEK KOMUNIKASI


POLITIK DALAM FRAGMEN CARITA PARAHYANGAN

Article  in  Jurnal Kajian Komunikasi · December 2015


DOI: 10.24198/jkk.vol3n2.8

CITATIONS READS

7 1,084

1 author:

Rangga Saptya Mohamad Permana


Universitas Padjadjaran
47 PUBLICATIONS   95 CITATIONS   

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Rangga Saptya Mohamad Permana on 06 April 2019.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


MAKNA TRI TANGTU DI BUANA YANG MENGANDUNG ASPEK KOMUNIKASI POLITIK
DALAM FRAGMEN CARITA PARAHYANGAN 173

MAKNA TRI TANGTU DI BUANA


YANG MENGANDUNG ASPEK KOMUNIKASI POLITIK DALAM
FRAGMEN CARITA PARAHYANGAN

Rangga Saptya Mohamad Permana


Komunitas Pecinta Naskah Sunda Kuno

ABSTRAK

Dahulu, di Kerajaan Sunda berlaku sistem pemerintahan yang unik, yang disebut Tri Tangtu di Buana.
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap makna Tri Tangtu di Buana yang mengandung aspek komunikasi
politik dalam Fragmen Carita Parahyangan. Penelitian ini menggunakan metode analisis hermeneutik Paul
Ricoeur. Data penelitian diperoleh dari teks naskah Sunda kuno Fragmen Carita Parahyangan. Berdasarkan
hasil penelitian terhadap teks naskah Sunda kuno Fragmen Carita Parahyangan diketahui bahwa secara
umum, Tri Tangtu di Buana yang terdiri dari prebu, rama, dan resi di dalam naskah Sunda kuno Fragmen
Carita Parahyangan ini merupakan tiga lembaga yang secara bersamaan memegang jabatan di pemerintahan
Kerajaan Sunda; ketiganya memiliki hak dan kewajiban yang berbeda dalam memimpin Kerajaan Sunda,
yang di dalamnya mengandung aktivitas komunikasi politik dalam dua peristiwa, yaitu peristiwa pembagian
kekuasaan dan pembagian wilayah kekuasaan.

Kata-kata kunci: Makna, teks, komunikasi, politik, kekuasaan

CONTAIN OF POLITICAL COMMUNICATION ASPECTS IN THE MEANING OF TRI


TANGTU DI BUANA IN THE FRAGMEN OF CARITA PARAHYANGAN

ABSTRACT

In the past, Sundanese Kingdom applied a unique system of governance, which is called Tri Tangtu di Buana.
This study aims to reveal the meaning of Tri Tangtu di Buana containing political communication aspects
in Fragment of Carita Parahyangan. This research uses Paul Ricoeur’s hermeneutic analysis method. Data
were obtained from the text of ancient Sundanese manuscript Fragment of Carita Parahyangan. The result
shows that Tri Tangtu di Buana consist of prebu, rama, and resi are three institutions that simultaneously hold
the leadership roles in Sundanese Kingdom; these three institutions have different rights and obligations,
which contains the activities of political communication in two events of distribution of power and territory.

Keywords: Meaning, text, communications, politics, power

Korespondensi: Rangga Saptya Mohamad Permana, M.I.Kom. Komunitas Pecinta Naskah Sunda Kuno. Jl.
Moch Yusuf No.23 Cilengkrang Kabupaten Bandung 40620, Indonesia. Email: ranggasaptyamp@gmail.com
174 Jurnal Kajian Komunikasi, Volume 3, No. 2, Desember 2015 hlm 173-191

PENDAHULUAN oleh badan itu.


2) Tugas eksekutif menjadi wewenang Prebu
Sejak dahulu, masyarakat Sunda telah yang semata-mata boleh dijalankan oleh
memiliki tiga kelembagaan yang masing- badan itu.
masing memiliki tugas yang berbeda satu 3) Tugas yudikatif semata-mata dipegang oleh
sama lain. Tiga kelembagaan tersebut memiliki golongan Resi sebagai badan peradilan.
kekuasaan dalam bidangnya masing-masing.
Model pembagian/pemisahan kekuasaan Jadi, jelaslah bahwa pemimpin pusat
tradisional masyarakat Sunda beserta aturan- tidak serta merta diwariskan secara genealogis
aturan lainnya cukup jelas digambarkan dalam kepada putra sulung raja terdahulu. Akan
teks Fragmen Carita Parahyangan (FCP) (abad tetapi, hal itu dilakukan atas kesepakatan
ke-16 M). Hal ini tidak semata-mata ditentukan dengan pihak rama (para tokoh wakil
oleh seorang prebu, akan tetapi dilakukan atas masyarakat) dan pihak resi (kaum intelektual
kesepakatan dengan pihak rama dan pihak ahli di bidang pengetahuan peradilan). Di lain
resi. Prebu-rama-resi inilah yang disebut pihak, pemimpin wilayah atau daerah itu juga
sebagai Tri Tangtu di Buana (Tiga golongan ditentukan atas mekanisme kesepakatan dan
yang menentukan roda kekuasaan di dunia). kebijakan lembaga adat Tri Tangtu di Buana
Sistem kekuasaan pada masyarakat Sunda pada yang ada di masing-masing kerajaan daerah. Ini
masa itu harus dibagi-bagi sedemikian rupa dapat memeperkecil terjadinya potensi gesekan
sehingga yang satu terpisah dari yang lainnya. atau konflik kepentingan di kalangan rakyat
Hal tersebut tentunya sangat beralasan supaya secara horizontal.
kekuasaan kerajaan tidak terpusatkan pada satu Dalam Tri Tangtu di Buana inilah banyak
tangan (raja). Dengan pemisahan kekuasaan- terjadi kegiatan politik yang di dalamnya
kekuasaan itu dapatlah dicegah tindakan- mengandung aspek-aspek komunikasi politik
tindakan penguasa secara sewenang-wenang yang terwujud dalam aktivitas komunikasi
dan kebebasan berpolitik dalam kerajaan akan politik antar pemegang kekuasaan. Aktivitas
lebih terjamin. komunikasi politik yang terjadi utamanya
Diuraikan dalam FCP lembar 5b bahwa, terjadi dalam proses pembagian/pemisahan
sang prebu itu harus ngagurat batu (menggores kekuasaan dan pembagian wilayah kekuasaan
batu) yang berarti berwatak teguh dalam dalam Kerajaan Sunda. Tri Tangtu di Buana
menjalankan aturan, sedangkan sang rama kini masih tampak jelas dalam tradisi kehidupan
harus ngagurat lemah (menggores tanah) yang masyarakat Baduy di Kanekes yang terpusatkan
berarti berwatak bisa menentukan pijakan atau pada “Tangtu Telu” atau tiga kapuunan, yakni
aturan bagi para pelaksana pemerintahan, dan Cibeo berkedudukan sebagai Puun Ponggawa
sang resi harus ngagurat cai (menggores air) (dapat diidentikkan sebagai Prebu), Cikartawana
yang berarti berwatak menyejukkan dan adil. berkedudukan sebagai Puun Resi, dan Cikeusik
Di sini tampak adanya perbedaan antara organ berkedudukan sebagai Puun Rama.
dan fungsi itu (Darsa, dkk. 2000: 61). Salah satu naskah Sunda kuno yang
Jika dibandingkan antara Trias Politica isinya mengandung aspek-aspek komunikasi
model Montesquieu dengan Tri Tangtu di Buana, politik Tri Tangtu di Buana dan masyarakat
model pembagian/pemisahan kekuasaan pada Sunda kuno pada umumnya adalah Fragmen
sistem Kerajaan Sunda masa lalu, maka peneliti Carita Parahyangan (FCP). Teks naskah
dapat menganalogikannya sebagai berikut. FCP berwujud sebuah tulisan tangan yang
Fungsi atau tugas kekuasaan di kerajaan Sunda hingga saat ini hanya ditemukan dalam satu
ada tiga. Tiap-tiap fungsi atau tugas itu terpisah- buah naskah, itu pun tersimpan bersatu dengan
pisah sehingga organ atau badan yang satu tidak naskah Carita Parahyangan (CP) dalam
mencampuri fungsi atau tugas badan-badan sebuah Kropak 406 yang kini tersimpan di
lainnya. Hal yang dimaksud disiratkan secara bagian koleksi naskah Perpustakaan Nasional
jelas berikut ini: Jakarta. Naskah FCP mungkin dapat dikatakan
1) Tugas legislatif dipegang oleh golongan memiliki keistimewaan tersendiri dalam
Rama dan semata-mata boleh dijalankan khazanah pernaskahan Sunda Kuno karena
MAKNA TRI TANGTU DI BUANA YANG MENGANDUNG ASPEK KOMUNIKASI POLITIK
DALAM FRAGMEN CARITA PARAHYANGAN 175

selain berbahasa Sunda Kuno dan berbentuk Terbukti, banyak hal yang saat ini sedang
prosa juga merupakan codex unicus (naskah menjadi urusan besar, namun telah terbiasa bagi
tunggal). Secara garis besar, teks naskah FCP masyarakat masa silam.
berisi mengenai tiga kisah utama para penguasa Setelah penulis membaca dengan seksama
kerajaan Sunda yang berpusat di ibukota terjemahan teks dalam naskah FCP ini, penulis
Pakuan Pajajaran. Ketiga kisah yang dimaksud tertarik untuk melakukan sebuah penelitian
adalah (1) pendahulu Maharaja Trarusbawa, kualitatif untuk mengetahui makna Tri Tangtu
(2) Maharaja Trarusbawa penguasa Pakuan di Buana yang mengandung aspek komunikasi
Pajajaran yang bertakhta di keraton “Sri-Bima politik dalam Fragmen Carita Parahyangan.
Punta Narayana Madura Suradipati”, dan (3) Penulis memilih untuk meneliti makna Tri
Rakeyan Darmasiksa penguasa dari Saunggalah Tangtu di Buana yang mengandung aspek-
yang mewarisi keraton di Pakuan Pajajaran aspek komunikasi politik setelah sebelumnya
(Darsa, dkk., 2000: 59-60). melakukan pra-penelitian untuk mengetahui
Ada beberapa hal yang dapat digali dari konteks komunikasi apa saja yang terkandung
isi teks FCP, di antaranya. Pertama, sistem dalam FCP ini. Ternyata, setelah penulis
pembagian kekuasaan didasarkan atas Tri melakukan pra-penelitian tersebut, konteks
Tangtu di Buana (tiga penentu urusan di komunikasi politiklah yang mendominasi teks
negara) yang terdiri atas golongan: (1) Prebu FCP, karena sejatinya FCP berisi teks-teks
ialah raja yang bisa dianalogikan sebagai yang berkaitan dengan sistem pemerintahan
pemegang lembaga eksekutif, (2) Rama ialah yang sarat dengan unsur politik dan aktivitas
tokoh yang dituakan oleh masyarakat yang komunikasi politik yang melibatkan orang-
bisa dianalogikan sebagai pemegang lembaga orang dalam tiga kelembagaan Tri Tangtu di
legislatif, dan (3) Resi ialah kaum “akademisi” Buana. Penulis memilih beberapa bagian teks
dan agamawan yang bisa dianalogikan sebaga FCP berdasarkan nomor lembar halaman yang
pemegang lembaga yudikatif. Kedua, sistem mengandung aspek-aspek komunikasi politik
birokrasi dalam hal kekuasaan mengatur dalam Tri Tangtu di Buana (apakah itu teks yang
seluruh daerah di dalam wilayah kerajaan telah mengandung unsur aktor politik, pembicaraan
tampak didasarkan atas sistem desentralisasi politik, dan sebagainya).
yang terbagi menjadi 12 wilayah penguasa Naskah FCP yang mengandung Tri
yang memungkinkan daerah-daerah itu tumbuh Tangtu di Buana ini digarap dan ditransliterasi
secara otonom (Sunda: berkembang sesuai oleh Dr. Undang Ahmad Darsa, M.Hum.,
dengan ciri sabumi cara sadésa). Inilah salah salah seorang filolog dari Universitas
satu ciri telah tumbuhnya “Bhineka Tunggal Padjadjaran. Penelitian ini bertujuan untuk
Ika”. Ketiga, model pengaturan pemerintahan mendeskripsikan naskah FCP beserta teksnya
yang dikelola melalui pangwereg yang bersifat sejelas mungkin. Penggarapan naskah FCP
top-down dan pamwatan yang bersifat bottom- ini didasarkan atas kajian secara filologi
up dalam upaya meningkatkan stabilitas dengan menerapkan metode edisi tunggal.
otonomi daerah demi menjamin kehidupan Sedangkan untuk memahami isinya dilakukan
kesejahteraan masyarakat. tinjauan berdasarkan konsep-konsep kajian
Dengan demikian, isi teks naskah FCP historiografi tradisional. Penelitian Undang
ini telah mampu memberikan sebagian ini menghasilkan teks-teks naskah FCP yang
gambaran bahwa masyarakat Sunda di masa telah ditransliterasi ke dalam Bahasa Indonesia.
lampau telah memiliki satu taraf kehidupan Hasil dari transliterasi itulah yang digunakan
sosial kemasyarkatan yang cukup teratur, oleh penulis untuk menghimpun berbagai data
seperti juga sebagian masyarakat lainnya yang digunakan. Bila penelitian ini merupakan
yang ada di Nusantara. Masyarakat lama telah kajian filologi murni, maka penelitian yang
mewariskan sesuatu yang mungkin sama dilakukan oleh penulis di dalam artikel ilmiah
sekali di luar perhitungan dan perkiraan kita ini banyak menonjolkan hal-hal yang berkaitan
saat ini. Masalahnya, antara lain, kurangnya dengan ilmu komunikasi, khususnya dalam
pengetahuan dan pengenalan kita terhadap konteks komunikasi politik dalam lingkup Tri
khazanah pernaskahan bangsa kita sendiri. Tangtu di Buana. Berdasarkan paparan di atas,
176 Jurnal Kajian Komunikasi, Volume 3, No. 2, Desember 2015 hlm 173-191

maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk bagian teks FCP lembar 7b-8a dan lembar 25a-
mengungkap makna Tri Tangtu di Buana yang 3b. Penulis memilih bagian teks ini karena di
mengandung aspek komunikasi politik dalam dalamnya merepresentasikan Tri Tangtu di
Fragmen Carita Parahyangan. Buana, khususnya dalam lingkup Kerajaan
Sunda. Secara tidak langsung, bagian teks ini
METODE PENELITIAN juga menjelaskan keseluruhan isi teks FCP
yang bernuansa historis-politis. Jadi, dengan
Penelitian ini masuk ke dalam paradigma membaca bagian teks ini, penulis berpendapat
interpretatif, sedangkan tradisi yang mendukung bahwa sebagian besar kandungan makna dalam
penelitian ini adalah tradisi fenomenologis, teks FCP ini sudah dapat diketahui. Hal ini
adapun tradisi fenomenologis ini masuk sejalan dengan prinsip hermeneutika, yakni satu
ke dalam paradigma interpretatif. Tradisi bagian untuk seluruhnya, dan seluruhnya untuk
fenomenologis sendiri menekankan pada proses satu bagian.
interpretasi, sehingga pada metode penelitian Setidaknya ada dua jenis metode
akan digunakan metode analisis hermeneutik pengumpulan data yang dilakukan oleh penulis,
sebagai “alat” untuk menginterpretasikan yaitu menggunakan analisis teks dan wawancara.
makna teks yang akan diteliti. Penelitian ini Analisis teks yang dilakukan penulis adalah
bertujuan untuk mengungkap makna Tri Tangtu menafsirkan makna Tri Tangtu di Buana yang
di Buana yang mengandung aspek komunikasi terkandung dalam teks naskah Sunda kuno
politik dalam naskah Sunda Kuno Fragmen FCP yang telah terlebih dulu ditransliterasi ke
Carita Parahyangan. Oleh karena itulah, dalam huruf latin dan diterjemahkan ke dalam
kerangka pemikiran penulis dalam penelitian ini bahasa Indonesia (berhubung teks FCP ditulis
adalah paradigma interpretatif, di mana proses dalam aksara dan bahasa Sunda Kuno) melalui
interpretasi naskah dengan tradisi pendukung lima tahap analisis hermeneutik Paul Ricoeur.
penelitian kualitatif analisis hermeneutik Dari naskah tersebut, penulis kemudian
digunakan sebagai “alat” untuk menyingkap menafsirkan makna-makna yang terkandung di
makna Tri Tangtu di Buana yang terkandung dalam Tri Tangtu di Buana; yang di dalamnya
dalam naskah Sunda kuno FCP ini. mengandung aspek-aspek komunikasi politik,
Sumber data penelitian ini adalah teks apakah itu menyangkut aktor politik atau pesan-
hasil transliterasi naskah Sunda kuno berjudul pesan politiknya. Naskah tersebut merupakan
Fragmen Carita Parahyangan (FCP). Dalam sumber informasi (media) dan sumber data
penelitian ini, pertama-tama penulis mengamati dalam menggarap penelitian ini. Sedangkan
seluruh teks FCP. Tetapi, tidak semua teks yang metode wawancara yang dipakai oleh penulis
terkandung dalam FCP ini akan dianalisis. adalah metode wawancara secara mendalam.
Penulis hanya menganalisis teks-teks yang Untuk menggali informasi-informasi yang
mengandung unsur-unsur Tri Tangtu di Buana, dibutuhkan dari naskah FCP, penulis telah
yang di dalamnya mengandung aspek-aspek mewawancarai salah seorang filolog yang
komunikasi politik. Aktor politik, pesan-pesan memang ahli di bidang pernaskahan Sunda
politik, pembicaraan politik, atau hubungan- kuno. Filolog yang penulis wawancarai adalah
hubungan antar elit politik dalam lingkup Tri Dr. Undang Ahmad Darsa, M.Hum. Beliau
Tangtu di Buana telah tertuang dalam FCP ini. adalah dosen sekaligus peneliti yang ahli dalam
Setelah penulis membaca dan memahami bidang penggarapan naskah-naskah Sunda kuno,
seluruh isi teks FCP, penulis memilih beberapa sekaligus penggarap naskah Fragmen Carita
bagian teks berdasarkan nomor lembar halaman Parahyangan (FCP). Wawancara dilakukan
yang mengandung unsur Tri Tangtu di Buana dengan teknik wawancara mendalam, di mana
(di dalamnya terkandung unsur aktor politik, informasi tambahan akan penulis dapatkan dari
pembicaraan politik, dan sebagainya). Dalam beliau. Tentu saja data yang peneliti dapatkan
tahap pemilihan teks ini, penulis berupaya dari hasil wawancara ini sangat berguna untuk
memperhatikan unsur-unsur kata dan kalimat menunjang penelitian yang tengah dilakukan.
yang dipakai dalam teks FCP. Penulis menggunakan metode penelitian
Bagian teks yang dipilih oleh penulis adalah kualitatif untuk melakukan penelitian ini.
MAKNA TRI TANGTU DI BUANA YANG MENGANDUNG ASPEK KOMUNIKASI POLITIK
DALAM FRAGMEN CARITA PARAHYANGAN 177

Mengingat sumber berdasarkan kaitan dengan mengungkapkan makna tindakan. Teks itu
teks lain, dan makna teks berdasarkan dialog sendiri terbagi atas teks lisan berupa folklore
teks dengan pembaca. Telah dijelaskan di dan teks tertulis yang di antaranya dalam wujud
atas bahwa penelitian ini dianalis dengan naskah. Namun pada dasarnya, baik teks lisan
analisis hermeneutik. Secara etimologis, maupun teks tertulis itu bersifat abstrak dan
hermeneutika berasal dari kata hermeneuin, kekal. Di samping itu, teks dapat dikategorikan
bahasa Yunani, yang berarti menafsirkan sebagai teks illahiah berupa wahyu yang bersifat
atau menginterpretaskan. Secara mitologis, dogmatis dan teks insaniah berupa karya-karya
hermeneutika dihubungkan dengan Hermes, kreasi manusia yang bersifat profan (populer).
nama Dewa Yunani yang menyampaikan pesan Dalam hal folklor yang datanya diperoleh
Illahi kepada manusia. Pada dasarnya medium secara lisan, data itu harus diafiksasikan terlebih
pesan dan bahasa, baik bahasa lisan maupun dahulu ke dalam bentuk teks. Ricoeur (1976:
bahasa tulisan. Jadi, penafsiran disampaikan 29) berpendapat bahwa teks adalah wacana
lewat bahasa, bukan bahasa itu sendiri. Karya (berarti lisan) yang diafiksasikan ke dalam
sastra perlu ditafsirkan sebab di satu pihak bentuk tulisan. Sebuah teks mempunyai tiga
karya sastra terdiri atas bahasa, sedangkan tingkat otonomisasi, yaitu otonomisasi yang
di pihak lain, di dalam bahasa sangat banyak berhubungan dengan penulis, otonomisasi yang
makna yang tersembunyi, atau dengan sengaja berhubungan dengan kondisi-kondisi sosial-
disembunyikan (Ratna, 2009: 45). budaya, dan otonomisasi yang berhubungan
Hymes (dalam Kuswarno, 2009: 25), dengan dengan pembaca.
spesifik menyebutkan bahwa secara tradisional, Karena objek utama hermenutika adalah
hermeneutika merupakan ilmu atau seni yang teks, dan teks adalah hasil atau produk praksis
diaplikasikan untuk memahami tulisan. Karena berbahasa, maka antara hermeneutika dengan
variasi sumber tertulis akan menghasilkan bahasa akan terjalin hubungan sangat dekat,
informasi mengenai pola-pola penggunaan sehingga kajian hermeneutika tidak lain adalah
bahasa dan kebudayaan dari masyarakat yang juga kajian terhadap bahasa secara filosofis
menghasilkan tulisan tersebut. (Raharjo, 2008: 33). Penafsiran teks sastra
Dasar teori hermeneutika adalah asumsi setidaknya akan mengkuti salah satu atau lebih
bahwa manusia secara aktif senantiasa dari enam pokok rambu-rambu (Endraswara,
menginterpretasikan pengalamannya dengan 2008: 43-45), yaitu:
cara memberi makna terhadap apa pun yang Penafsiran yang bertitik tolak dari pendapat,
dilihatnya. Atas dasar itulah maka interpretasi bahwa teks sendiri sudah jelas. Menurut
merupakan proses kegiatan kreatif agar bisa pandangan ini, maka isyarat-isyarat dan susunan
mengungkapkan makna teks suatu naskah dari teks membuka kesempatan bagi seorang
berbagai kemungkinan makna. Dengan kata pembaca yang kompeten untuk menemukan arti
lain, hermeneutika adalah kajian untuk mengerti yang tepat; Penafsiran yang berusaha menyusun
melalui interpretasi, khususnya tindakan dan kembali arti historik. Dalam pendekatan ini si
teks. Jadi, teori tentang proses mengerti ini juru tafsir dapat berpedoman pada maksud si
disebut hermeneutika. Adapun pengertian pengarang seperti nampak pada teks sendiri
teks mencakup segala bentuk rekaman dan atau di luar teks; Penafsiran hermeneutik baru
berbagai aspek tindakan manusia, baik sebagai yang terutama diwakili oleh Gadamer berusaha
perseorangan maupun sebagai kelompok memadukan masa silam dengan masa kini. Juru
budaya. tafsir sadar, bahwa ia berdiri di tengah-tengah
Hermeneutika ditujukan untuk mengerti suatu arus sejarah yang menyangkut baik
perasaan orang, makna suatu peristiwa, atau penerimaan maupun penafsiran: cara ia mengerti
menerjemahkan suatu tindakan sehingga sebuah teks turut dihasilkan sebuah tradisi;
dapat dimengerti oleh orang lain. Atas dasar Penafsiran yang bertolak pada pandangannya
ini, hermeneutika dapat dibedakan ke dalam sendiri mengenai sastra. Ini seringkali
dua kelompok, yaitu hermeneutika tekstual dilakukan dengan pretensi bahwa kita dapat
yang diterapkan untuk mengerti teks, dan menunjukkan arti teks yang pokok; Penafsiran
hermeneutika kultural yang diterapkan untuk yang berpangkal pada suatu problematik
178 Jurnal Kajian Komunikasi, Volume 3, No. 2, Desember 2015 hlm 173-191

tertentu, misalkan dari aspek politik, psikologis, pendengar aslinya, dan situasi diskursif yang
sosiologis, moral dan sebagainya. Dari model umum pada yang ikut berbicara. Dengan
hermeneutik ini, berarti penafsiran karya sastra dituangkan dalam tulisan, sebuah teks menjadi
bersifat parsial, hanya bagian tertentu saja yang otonom; dengan kata lain teks terlepas dari
sejalan dengan isu strategis; Tafsiran yang tak maksud penciptanya. Makna teks pun tidak lagi
langsung berusaha agar memadahi sebuah teks tumpang tindih dengan maksud penciptanya.
diartikan, melainkan hanya ingin menunjukkan Penafsiran sebuah teks tak akan
kemungkinan-kemungkinan yang tercantum terlepas dari bahasa yang tidak pernah
dalam teks, sehingga pembaca sendiri dapat tanpa pengandaian dan situasi penafsir pada
menafsirkannya. Pendekatan yang berkiblat waktu tertentu. Kesenjangan ini membuat
pada pembaca ini dinamakan estetik-reseptif. Ricoeur menyatakan bahwa sebenarnya teks
Dalam penelitian ini, penulis memilih itu mempunyai tempat di antara penjelasan
untuk menggunakan analis hermeneutik Paul struktural dan pemahaman hermeneutik.
Ricoeur. Ricoeur (dalam Sumaryono, 1999: Seperti dalam aksioma yang disebutkannya,
107) mendefinisikan hermeneutika sebagai teori penjelasan struktural (dalam hal ini arti teks)
pengoperasian pemahaman dalam hubungannya bersifat objektif dan pemahaman hermeneutik
dengan interpretasi terhadap teks. Tugas (dalam hal ini peristiwa) yang memberi kesan
hermeneutika menurut Ricoeur adalah mencari subjektif. Dikotomi ini menimbulkan sebuah
dinamika internal yang mengatur struktural permasalahan baru. Teks memiliki sifat otonom
kerja di dalam sebuah teks dan mencari daya untuk melakukan dekontekstualisasi (proses
yang dimiliki kerja teks untuk memproyeksikan pembebasan dari konteks) baik dari sudut
diri ke luar dan memungkinkan isi teks tersebut pandang sosiologis maupun psikologis serta
muncul ke permukaan. melakukan rekonekstualisasi (proses masuk
Sebuah kata yang diucapkan secara verbal kembali ke dalam konteks) secara berbeda
maupun yang tertulis sebenarnya memiliki dalam tindakan membaca.
makna lebih dari satu bila dihubungkan Menurut Ricoeur, otonomi teks ada tiga
dengan konteks yang berbeda. Pemaknaan macam, yaitu intensi atau maksud pengarang,
ini dikarakteristikan sebagai polisemi oleh situasi kultural dan kondisi sosial pengadaan
Ricoeur. Sebuah teks selalu berhubungan teks, dan untuk siapa teks itu dimaksudkan
dengan masyarakat, tradisi, ataupun budaya (dalam Sumaryono, 1999: 109). Atas dasar
yang ada. Sebuah teks adalah diskursus, bila otonomi ini, maka yang dimaksud dengan
dituangkan dalam tulisan. Sebagai diskursus, dekontekstualisasi adalah materi teks
dialektika peristiwa-arti dan dialektika arti- melepaskan diri dari tujuan yang terbatas pada
referensi berlaku pula pada teks. Oleh Ricoeur, pengarang. Teks membuka diri seluas-luasnya
hubungan antara peristiwa dan arti dinyatakan untuk dimana pembacaan selalu berbeda-beda
dalam suatu aksioma: (rekontekstualisasi). Dalam memahami teks,
Ricoeur mengatakan bahwa ada tiga langkah
“Jika semua diskursus diaktualisasi sebagai pemahaman, yaitu yang pertama langkah
suatu peristiwa, semua diskursus dipahami simbolik (pemahaman dari simbol ke simbol),
sebagai arti. Sebagai peristiwa, diskursus yang kedua pemberian makna terhadap simbol
bersifat berlalu, tetapi sebagai arti, diskurusus dan pemberian yang cermat atas makna, serta
bertahan di dalam isi proporsional. Dengan
yang ketiga adalah langkah filosofis, berpikir
ini, pengalaman individual menjadi umum
dengan menggunakan simbol sebagai titik tolak
lewat diskursus. Arti menjadi umum, tetapi
pengalaman sebagai sesuatu yang terhayati (dalam Sumaryono, 1999: 111). Simbol-simbol
tetap bersifat individual, pribadi. Arti ini bisa bermakna ganda, sehingga simbol selalu
merupakan sisi objektif diskurusus, sedangkan dapat ditafsirkan dan diurai kembali. Simbol
peristiwa merupakan sisi subjektifnya,” merangsang manusia untuk mengadakan
(Ricoeur, dalam Poespoprodjo, 2004: 122). refleksi sehingga mengawali setiap pemikiran
religius, filsafat, dan ilmu. Simbol senantiasa
Karena berupa tulisan, teks mencapai otonomi harus dapat diberi arti dan interpretasi baru
semantik dalam kaitannya dengan pembicara, (Poespoprodjo, 2004: 128).
MAKNA TRI TANGTU DI BUANA YANG MENGANDUNG ASPEK KOMUNIKASI POLITIK
DALAM FRAGMEN CARITA PARAHYANGAN 179

Ricoeur (1976: 30) mengembangkan teori kaitan dengan teks lain merupakan salah satu
melingkar ini ke dalam dialog antara explanation bentuk dari intertekstualitas yang memang
dan understanding. Explanation merupakan menjadi ciri utama dari hermeneutik. Jadi,
kajian yang bersifat analitis dan empiris penulis menganalisis data yang berasal dari teks
sehingga kajian dilakukan terhadap obyek yang FCP tentang makna Tri Tangtu di Buana dan
terdiri atas unsur-unsur yang telah terpolakan dikaitkan juga dengan teks-teks lain yang juga
walaupun unsur-unsur yang telah terstruktur ini berhubungan, baik itu teks-teks yang berasal
belum mengungkapkan makna apa pun. Makna dari bagian lain naskah FCP ataupun teks-teks
itu baru akan terungkapkan setelah unsur-unsur yang berasal dari naskah Sunda kuno lainnya
ini diproyeksikan menjadi sebuah pola yang (yang terkait dengan Tri Tangtu di Buana juga
utuh untuk kemudian diletakkan pada tahap tentunya). Teks-teks lain yang berkaitan dengan
interpretasi. Jadi, interpretasi adalah tahap Tri Tangtu di Buana dalam FCP antara lain
sintesa, dan interpretasi dilakukan terhadap teks yang terkandung dalam naskah Amanat
pola yang menyeluruh dan utuh tadi. Dengan Galunggung tentang pembagian kekuasaan,
demikian, lingkaran hermeneutik terjadi antara teks dalam naskah Sang Hyang Hayu yang
explanation ke understanding dan kembali ke berkaitan dengan konsep “Tiga Rahasia”, dan
explanation dan seterusnya. Berikut ini adalah konsep Tri Buana yang merupakan sebuah
tahapan-tahapan yang dilakukan penulis dalam sistem kosmologis masyarakat Sunda. Pada
menganalisis teks secara hermeneutik dengan tahap ini akan diketahui hubungan antara teks
menggunakan metode analisis hermeneutik Tri Tangtu di Buana dalam FCP dengan teks-
Paul Ricoeur: teks lainnya.
Tahap pertama, makna teks berdasarkan Tahap terakhir, makna teks berdasarkan
unsur-unsur pembentukan teks (bahasa). Pada dialog teks dengan pembaca. Teks yang
tahap ini, penulis menafsirkan bagian teks membahas tentang Tri Tangtu di Buana yang
dengan cara membagi lagi bagian-bagian teks diciptakan oleh pengarang dalam naskah
tersebut ke dalam beberapa kalimat. Setelah FCP, yang diciptakan oleh sang pengarang
penulis mambagi lagi bagian teks tersebut, pada abad ke-16 Masehi, berdialog dengan
penulis menafsirkannya berdasarkan bahasa peneliti yang memiliki dasar pemikiran abad
yang dipakai oleh pembuat teks. Dengan kata ke-21 Masehi. Karena perbedaan zaman
lain, makna teks akan coba diungkap dari inilah, memungkinkan terjadinya perbedaan
konstruksi kalimat yang tersurat dalam naskah. pemikiran. Oleh karena itu, dibutuhkan dialog
Tahap kedua, makna teks berdasarkan antara pikiran pengarang FCP yang diwakili
latar belakang produksi teks. Pada tahap ini, oleh teks FCP dengan pikiran penulis. Jadi,
penulis menafsirkan teks berdasarkan makna pikiran penulis saat ini direfleksikan dengan
yang berusaha disampaikan oleh pembuat teks teks-teks yang terkandung dalam naskah FCP.
berdasarkan latar belakang kehidupan dan Teks-teks yang tentunya mengadung makna Tri
pikiran sang pembuat teks. Pembuat teks sendiri Tangtu di Buana. Setelah proses selesai, pada
adalah sekelompok kaum intelektual Kerajaan tahap ini akan diketahui makna Tri Tangtu di
Sunda pada waktu Maharaja Trarusbawa Buana dalam pikiran penulis.
memegang tampuk pimpinan. Sang pembuat
teks sendiri menempatkan diri pada masanya HASIL DAN PEMBAHASAN
sebagai wakil dari komunitas masyarakat
pemilik naskah. Jadi, makna teks akan diungkap Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
dari sisi sang pembuat teks secara historis. makna Tri Tangtu di Buana sebagai
Tahap ketiga, makna teks berdasarkan tiga kelembagaan Kerajaan Sunda yang
lingkungan teks. Pada tahap ini, penulis mengandung aspek-aspek komunikasi politik
menafsirkan teks berdasarkan situasi sosial- dalam naskah Sunda Kuno Fragmen Carita
kemasyarakatan masyarakat Sunda pada abad Parahyangan (FCP). Data-data yang dianalisis
ke-16 dan kepada siapa saja teks FCP ini dan dibahas pada bab ini berasal dari teks
dikomunikasikan. naskah FCP dengan menggunakan analisis
Tahap keempat, makna teks berdasarkan hermeneutik. Dalam naskah FCP, penulis
180 Jurnal Kajian Komunikasi, Volume 3, No. 2, Desember 2015 hlm 173-191

mendapatkan gambaran mengenai berbagai dijalankan oleh tiga unsur (prebu, rama, resi).
aspek komunikasi politik yang melibatkan tiga Pada sekitar abad ke-17 Masehi, Montesquieu di
kelembagaan dalam Tri Tangtu di Buana, yaitu dalam bukunya Esprit des Lois mengemukakan
prebu, rama, dan resi. Sebagaimana unsur-unsur sebuah konsep pemisahan kekuasaan yang kita
komunikasi pada umumnya, maka komunikasi kenal bernama Trias Politica yang mengandung
politik pun terdiri dari beberapa unsur. Salah tiga fungsi kekuasaan, yaitu kekuasaan legislatif
satu model komunikasi yang cukup simpel (la puissance legislatief), kekuasaan eksekutif
dan mewakili aspek-aspek dalam komunikasi (la puissance executief) dan kekuasaan yudikatif
adalah model yang dikemukakan oleh Harold (la puissance de juger) (Harun & Sumarno,
Lasswell (1948) yang menggambarkan proses 2006: 43-44).
komunikasi dan fungsi-fungsi yang diembannya Kerajaan Sunda sendiri adalah sebuah federasi
dalam masyarakat (Mulyana, 2007: 147). yang menganut sistem desentralisasi, di mana
Model komunikasi Lasswell berupa ungkapan wilayahnya terbagi atas 12 negara bagian,
verbal, yakni who says what in which channel yakni Galunggung, Denuh, Sanghyang
to whom with what effect? Bila dijabarkan Talagawarna, Mandala Cidatar, Geger Gadung,
berdasarkan model tersebut, maka unsur-unsur Windupepet, Galuh Wetan, Mandala Utama
komunikasi politik meliputi komunikator Jangkar, Mandala Pucung, Reuma, Lewa, dan
politik, pesan politik, media komunikasi politik, Kandangwesi. Masing-masing negara bagian/
komunikan politik dan efek apa yang terjadi wilayah memiliki Tri Tangtu di Buana (prebu,
setelah komunikan menerima pesan politik dari rama, resi) tersendiri (di Indonesia sekarang
komunikator politik. sejenis dengan gubernur dan DPD).
FCP dapat dikatakan sebagai salah satu Dalam wilayah sistem, komunikasi
media penyampai pesan mengenai sekelumit politik akan selalu berada dalam dua suasana,
kehidupan masyarakat Sunda Kuno pada masa yaitu dalam suasana pemerintahan (the
Kerajaan Sunda masih berdiri. FCP berisi governmental communication sphare) yang
teks-teks yang menyangkut aspek komunikasi disebut pula suprastruktur komunikasi, dan
politik suprastruktur Kerajaan Sunda, yang di suasana kehidupan dalam masyarakat (the
dalamnya terdapat banyak sekali pesan-pesan socio communication sphare) yang disebut juga
komunikasi politik yang dipertukarkan oleh para infrastruktur komunikasi (Harun & Sumarno,
elit politik Kerajaan Sunda. Untuk menyingkap 2006: 42). Teks FCP memuat suasana komunikasi
makna Tri Tangtu di Buana dari pesan-pesan yang pertama, yakni dalam tataran suprastruktur
yang terkandung dalam FCP tersebut, penulis komunikasi, yang di dalamnya tentu melibatkan
menggunakan metode analisis hermeneutik. pertukaran pesan-pesan komunikasi politik
Salah satu tokoh yang merupakan ahli dari teori antarelit politik yang memegang jabatan tinggi
penafsiran hermeneutika adalah Paul Ricoeur. di Kerajaan Sunda. Oleh karena itu, penulis
Penafsiran naskah sangat penting ketika tertarik untuk menganalisis dan membahas
pembicara dan penulis tidak tersedia, seperti makna Tri Tangtu di Buana yang sarat dengan
pada teks-teks yang terkandung dalam naskah- aspek komunikasi politik yang terkandung
naskah Sunda kuno. Namun, hal tersebut tidak dalam teks FCP ini, karena isi dari naskah
perlu dibatasi pada situasi ini saja. Sebenarnya, FCP ini sendiri bernuansa politik, sehingga
naskah itu sendiri selalu berbicara kepada menurut pandangan penulis, penelitian tentang
kita dan pekerjaan juru bahasa adalah untuk komunikasi politik yang melibatkan orang-
menemukan arti dari apa yang dikatakan oleh orang dalam tatanan suprastruktur komunikasi
naskah tersebut. Bagi Ricoeur, pembaca selalu Kerajaan Sunda sangat menarik untuk diteliti;
menguji penafsiran mereka dengan melihat selain karena penelitian ini diharapkan mampu
pada fitur-fitur naskah untuk menemukan makna membuka khazanah penelitian tentang aspek-
yang ada di dalamnya (Littlejohn, 2009: 197). aspek komunikasi politik di masa lampau.
Seperti yang telah dijelaskan pada bab-bab Pada tahap pertama, penulis membahas
sebelumnya, Kerajaan Sunda menganut sistem dan menganalisis bagian-bagian teks
pemisahan/pembagian kekuasaan Tri Tangtu di (mengungkap makna Tri Tangtu di Buana
Buana, di mana sistem pemerintahan kerajaan berdasarkan konstruksi kalimatnya). Dalam
MAKNA TRI TANGTU DI BUANA YANG MENGANDUNG ASPEK KOMUNIKASI POLITIK
DALAM FRAGMEN CARITA PARAHYANGAN 181

FCP yang di dalamnya melibatkan Tri Tangtu Maharaja Trarusbawa melakukan pembagian
di Buana yang mengandung aspek-aspek kewenangan dan tugas tersebut, beliau pun
komunikasi politik di Kerajaan Sunda. Hal ini menyampaikan sebuah kalimat yang di
ditandai oleh terdapatnya pesan-pesan yang dalamnya terdapat nilai moral, seperti yang
isinya menyangkut pembagian/ pemisahan tertuang dalam kutipan teks berikut:
kewenangan dan kewajiban Tri Tangtu di
Buana (prebu, rama, resi). Para pemangku “…Oleh karena itulah tidak pantas bila berebut
kebijakan dalam masyarakat ini mendapatkan kedudukan, dan hendaknya janganlah khawatir
mandat dari aturan atau ketentuan tentang apa saling berebut wilayah kekuasaan. Nah,
yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh para begitulah kalian bagi kalangan Prebu, Rama,
dan Resi semua sebagai kaum pejabat pengatur
penyelenggara pemerintahan pada masa itu.
tanah air…” (lembar nomor 7b)
Pesan-pesan tentang pembagian kekuasaan ini
tersurat dalam FCP lembar 7b-8a. Kedua kalimat ini adalah kalimat
Bagian ini mewakili tahap pertama penyimpulan dari kalimat sebelumnya yang
dalam analisis hermeneutik Ricoeur, yakni berisi pembagian kekuasaan prebu, rama
mengungkap makna unsur-unsur pembentukan dan resi oleh Maharaja Trarusbawa. Karena
teks (bahasa). Tahap ini meliputi analisis yang kalangan prebu, rama dan resi telah diberikan
dilakukan dengan cara membagi lagi bagian wewenang masing-masing, maka tidak ada
teks yang dianalisis menjadi beberapa kalimat. alasan bagi masing-masing orang yang
Beberapa kalimat dari bagian teks ini dianalisis memegang jabatan untuk berebut kedudukan
berdasarkan makna bahasanya. Hal ini bisa dan wilayah kekuasaan, karena seluruhnya
dilihat dari analisis dan pembahasan dari sudah diatur dengan adil oleh Maharaja
kutipan bagian-bagian teks di bawah ini, yaitu Trarusbawa. Akhirnya, beliau memperjelas
bagian-bagian teks naskah FCP yang berisi kalimat pembagian kekuasaan tersebut dengan
pembagian kekuasaan yang mengandung aspek sebuah kalimat penegasan, seperti yang
komunikasi politik dalam Tri Tangtu di Buana tercantum dalam kutipan berikut:
tersebut:
“…Jikalah sudah sepakat semua, maka
Maharaja Trarusbawa berkata, “Bagi kalangan mengenai urusan kekuatan itu bagian kalangan
Resi diperkenankan melaksanakan seperangkat Prebu, urusan kata-kata itu bagian kalangan
aturan dasar demi kedamaian di seluruh Rama, dan urusan pikiran dan perasaan itu
negeri, yang bertanggung jawab atas urusan bagian kalangan Resi.” (lembar nomor 8a)
kesentosaan. Kalangan Rama (diperkenankan)
merumuskan seperangkat aturan dasar demi
Kalimat ini adalah penutup dari bagian
ketertiban undang-undang pemerintahan,
kedua. Maharaja Trarusbawa kembali
yang bertanggung jawab atas urusan
bimbingan. Kalangan Prebu diperkenankan memberikan penjelasan peran prebu, rama dan
melaksanakan rumusan seperangkat aturan resi dalam menjalankan tugas kenegaraannya.
dasar demi ketertiban kedudukan pemimpin Hanya saja, kalimat yang dipakai lebih tersirat.
(raja), yang bertanggung jawab atas urusan Prebu memegang urusan kekuatan, artinya
pemerintahan…” (lembar nomor 7b) prebu memiliki kekuasaan untuk menjalankan
roda pemerintahan dan berperan pula sebagai
Kalimat-kalimat yang terdapat dalam penentu kebijakan, rama memegang urusan
kutipan teks di atas merupakan kalimat berita kata-kata, artinya rama adalah penyalur aspirasi
tidak langsung yang berisikan titah Maharaja dari rakyat pada pemimpin, dan pembimbing
Trarusbawa, di mana pembagian kewenangan untuk rakyat. Resi memegang urusan pikiran
dan tugas kenegaraan bagi kalangan prebu, dan perasaan, artinya resi berperan sebagai “otak
rama dan resi masih menjadi isi dari teks yang dan hati” kerajaan; di mana resi berperan besar
terkandung pada bagian ini. Prebu merupakan untuk masalah peradilan demi mewujudkan
kepala pemerintahan, rama adalah wakil dari negara yang adil, makmur dan sentosa.
kerajaan yang bertugas membimbing rakyat, Kalimat-kalimat yang terdapat dalam
sedangkan resi merupakan pengadil. Setelah kutipan teks pembagian kekuasaan merupakan
182 Jurnal Kajian Komunikasi, Volume 3, No. 2, Desember 2015 hlm 173-191

kalimat berita tidak langsung yang berisikan Mrewasa, Bagawat Angga Brama, Bagawat
titah Maharaja Trarusbawa, di mana pembagian Resi Karangan, Bagawat Cinta Premana,
kewenangan dan tugas kenegaraan bagi Bagawat Tiga Warna, Bagawat Pitu Rasa
kalangan prebu, rama dan resi masih menjadi kembali ke Pakuan, ke keraton Sri “Bima
isi dari teks yang terkandung pada bagian ini. Punta Narayana Madura Suradipati”. Datang
mengabdi kepada Maharaja Trarusbawa, baik
Prebu merupakan kepala pemerintahan, rama
dari kalangan resi, raja, dengan premana…
adalah wakil dari kerajaan yang bertugas (lembar nomor 25a-26b)
membimbing rakyat, sedangkan resi merupakan
pengadil. Karena kalangan prebu, rama dan Kalimat-kalimat pada bagian di atas berisikan
resi telah diberi wewenang masing-masing, informasi bahwa orang-orang kepercayaan
maka tidak ada alasan bagi masing-masing Maharaja Trarusbawa datang ke Keraton Sri
orang yang memegang jabatan untuk berebut Bima Punta Narayana Madura Suradipati
kedudukan dan wilayah kekuasaan, karena yang merupakan Pakuan (pusat pemerintahan)
seluruhnya sudah diatur dengan adil oleh Kerajaan Sunda. Mereka yang datang adalah
Maharaja Trarusbawa. Prebu memegang urusan Sang Resi Putih, Bagawat Sangkan Windu,
kekuatan, artinya prebu memiliki kekuasaan Bagawat Cinta Kelepa, Bagawat Cinta Putih,
untuk menjalankan roda pemerintahan dan Bagawat Angga Sunyia, Bagawat Tiga
berperan pula sebagai penentu kebijakan, Mrewasa, Bagawat Angga Brama, Bagawat
rama memegang urusan kata-kata, artinya Resi Karangan, Bagawat Cinta Premana,
rama adalah penyalur aspirasi dari rakyat pada Bagawat Tiga Warna, dan Bagawat Pitu Rasa.
pemimpin, dan pembimbing untuk rakyat. Resi Mereka semua datang ke Pakuan dengan tujuan
memegang urusan pikiran dan perasaan, artinya untuk mengabdi kepada Maharaja Trarusbawa
resi berperan sebagai “otak dan hati” kerajaan; dengan cara menerima titah dari beliau untuk
di mana resi berperan besar untuk masalah menjalankan pemerintahan di negara-negara
peradilan demi mewujudkan negara yang adil, bagian Kerajaan Sunda yang telah ditentukan.
makmur dan sentosa. Setelah kalimat-kalimat informatif tersebut,
Selain pesan-pesan yang isinya menyangkut Maharaja Trarusbawa menyampaikan kalimat-
pembagian/pemisahan kewenangan dan kalimat pelantikan yang berisi pengangkatan
kewajiban Tri Tangtu di Buana (prebu, rama, Sang Resi Putih sebagai rama di Galunggung.
resi) oleh Maharaja Trarusbawa, dalam naskah Seperti yang tersurat dalam kutipan teks berikut:
FCP juga terdapat aktivitas komunikasi politik
dalam Tri Tangtu di Buana yang terkait dengan …Maharaja Trarusbawa berkata, “Anakku,
pembagian wilayah kekuasaan di Kerajaan Sang Resi Putih, engkaulah yang bertanggung
Sunda. Pembagian wilayah kekuasaan ini jawab dalam urusan kependidikan; dinobatkan
tersurat dalam FCP lembar 25a sampai awal sebagai Batara Dangiang Guru di Galunggung,
lembar nomor 3b. Sistem pembagian wilayah dan dijadikan sebagai pelindung wilayah, guna
kekuasaan ini berisi tentang pesan-pesan yang menaungi masyarakat daerah yang kegerahan,
disampaikan oleh Maharaja Trarusbawa dan sebagai lambang ketenteraman negeri. Jaminan
orang-orang berpengaruh di kalangan kerajaan kehidupanmu adalah bertanggung jawab pada
bidang pendidikan. Tanggung jawabmu ialah
yang membagi wilayah kekuasaan kepada para
mengenai urusan kesejahteraan. Hendaklah
pemangku jabatan wilayah dalam masyarakat jangan beristeri dua atau tiga, satu suami-isteri
Sunda kuno. Bagian-bagian teks naskah FCP lebih mulia. Engkau akan dijadikan panutan
yang berisi pembagian wilayah kekuasaan seluruh masyarakat, dijadikan sebagai peneguh
Kerajaan Sunda yang mengandung aspek negeri, sebagai pijakan di bumi, kepercayaan
komunikasi politik dalam Tri Tangtu Di Buana setiap orang yang hidup. Apabila engkau
tersurat dalam bagian-bagian teks berikut: berniat beristeri dua atau tiga dapat berdampak
buruk sehingga dikatakan keadaan akan jadi
Dikatakan bahwa anak-anaknya yang bernama kacau…” (lembar nomor 26b-26a)
Sang Resi Putih, Bagawat Sangkan Windu,
Bagawat Cinta Kelepa, Bagawat Cinta Putih, Dalam bagian ini, Maharaja Trarusbawa
Bagawat Angga Sunyia, Bagawat Tiga menyampaikan pesan berupa kalimat langsung
MAKNA TRI TANGTU DI BUANA YANG MENGANDUNG ASPEK KOMUNIKASI POLITIK
DALAM FRAGMEN CARITA PARAHYANGAN 183

kepada Sang Resi Putih. Sang Resi Putih sendiri Bagawat Resi Kelepa dinobatkan sebagai
dinobatkan sebagai Batara Dangiang Guru, yaitu Batara Walayut, yakni rama yang berkedudukan
rama yang bertanggung jawab dalam urusan di Mandala Cidatar oleh Maharaja Trarusbawa.
pendidikan dan ketentraman penduduk wilayah Disebutkan pula bahwa Mandala Cidatar adalah
Galunggung. Pada kalimat kedua, pada intinya, daerah kunci di wilayah Kerajaan Sunda. Beliau
Sang Resi Putih hanya boleh memiliki satu istri pun hanya bisa memperistri satu wanita, karena
dan diharamkan berpoligami, karena apabila apabila beristri lebih dari satu, hal itu bukanlah
poligami dilakukan, maka akan terjadi hal yang sesuatu yang pantas untuk dilakukan.
tidak diharapkan. Disebutkan pula bahwa Sang Lalu, Maharaja Trarusbawa mengeluarkan
Resi Putih yang bergelar Batara Dangiang Guru sebuah kalimat yang berisi pelantikan Bagawat
adalah seorang rama yang bertanggung jawab Cinta Putih untuk menduduki jabatan prebu di
atas urusan kesejahteraan dan menjadi panutan Gegergadung, yang kutipan teksnya terdapat di
masyarakat. bawah ini:
Lalu, setelah Maharaja Trarusbawa
melantik Sang Resi Putih sebagai rama di …Tersebutlah kesepakatan para penerus seisi
Galunggung, beliau melantik Bagawat Sangkan istana yang bernaung ke Pakuan. Sementara
Windu sebagai prebu di Denuh. Berikut kutipan itu, Bagawat Cinta Putih dinobatkan sebagai
teksnya: Batara di Gegergadung. Dia menjiwai sifat
mulia yang penuh tawakal, selang-selang
…Tersebutlah kesepakatan para penerus tetap sekedar berdoa, bagaikan dunia dan raga
seisi istana yang bernaung ke Pakuan. Oleh tengadah, yang dijadikan harapan kehidupan
Maharaja Trarusbawa, Bagawat Sangkan suci, mengharap berkah kekayaan. Hendaklah
Windu dinobatkan sebagai pemerkokoh jangan beristeri dua atau tiga karena dapat
Denuh. Hidupnya sebagai peneguh negeri berdampak buruk sehingga dikatakan keadaan
serta seluruh manusia. “Isterimu mesti akan jadi kacau, khawatirnya dikatakan tidak
seorang, dan hendaknya jangan mendua atau pantas memiliki integritas. Sang Prebu selalu
tiga karena dapat berdampak buruk sehingga menyadari kekuasaan, baik yang besar maupun
dikatakan keadaan akan jadi kacau, itulah yang yang kecil. Demikianlah. (lembar nomor 10b-
dikhawatirkan…” (lembar nomor 26a-10a) 2a)

Dalam bagian ini, Maharaja Trarusbawa Pada bagian teks ini, Bagawat Cinta Putih
memberikan kewenangan kepada Bagawat yang menjiwai sifat mulia yang penuh tawakal
Sangkan Windu untuk menjadi prebu di diangkat sebagai prebu di Gegergadung. Beliau
Denuh. Beliau ditugaskan sebagai pemimpin juga hanya diperkenankan untuk beristri satu,
masyarakat. Sama seperti sebelumnya, Bagawat karena apabila beristri lebih dari satu, bisa
Sangkan Windu diharamkan untuk berpoligami menyebabkan keadaan menjadi kacau dan
karena dikhawatirkan keadaan akan menjadi menghilangkan integritas prebu yang beliau
buruk. emban. Dikatakan pula bahwa salah satu
Selanjutnya, Maharaja Trarusbawa sifat prebu yaitu selalu menyadari kekuasaan
melantik Bagawat Resi Kelepa sebagai rama di yang ia miliki, baik itu kekuasaan yang besar
Mandala Cidatar. Seperti yang tertuang dalam (kekuasaannya dalam menjalankan tugasnya
kutipan teks berikut: sebagai pemimpin masyarakat) maupun
kekuasaan yang kecil (kekuasaannya dalam
…Tersebutlah kesepakatan para penerus seisi mengendalikan dirinya sendiri).
istana yang bernaung ke Pakuan. Bagawat Setelah pelantikan Bagawat Cinta Putih
Resi Kelepa yang dinobatkan sebagai Batara tersebut, Maharaja Trarusbawa kemudian
Walayut berkedudukan di Mandala Cidatar. Dia mengangkat Bagawat Cinta Premana sebagai
dijadikan pemerkokoh negeri, sebagai daerah rama di Puntang. Berikut ini adalah kutipan
kunci. Kewenangannya beristeri satu. “Apabila teksnya:
engkau berniat beristeri dua atau tiga dapat
berdampak buruk, dikatakan tidak pantas…” Tersebutlah kesepakatan para penerus seisi
(lembar nomor 10a-10b) istana yang bernaung ke Pakuan. Oleh
184 Jurnal Kajian Komunikasi, Volume 3, No. 2, Desember 2015 hlm 173-191

Maharaja Trarusbawa, Bagawat Cinta Premana Jangkar. Sebagaimana yang tertuang dalam
dinobatkan sebagai Sanghyang Premana di kutipan teks berikut:
Puntang. Dari situlah permulaan apa yang harus
diperbuat oleh yang berdaulat apabila sanggup …Bagawat Piturasa dinobatkan sebagai Batara
memperkokoh hakikat alam kesejahteraan. Sugih Warna di Mandala Utama Jangkar,
Jagat diartikan sebagai buana. Tri Buana terdiri diberi kewenangan isterinya merencanakan
atas bumi, antara, dan angkasa; termasuk di pelaksanaan persiapan didirikannya pintu
dalamnya langit, rasi bintang, dan kilauan gerbang, mengingat pada bekas Maharaja
nebula (gugusan bintang) pada malam hari. Trarusbawa bermukim dahulu keluar lewat
Itulah sebabnya alam raya bernama demikian. gerbang istana itu. (lembar nomor 3a-3b)
Seandainya itu dipahami dan diamalkan para
siswa, maka berarti akan sejahtera. Apabila Bagawat Piturasa dinobatkan sebagai
kalian berniat mempersaudarakan dalam Batara Sugih Warna di Mandala Utama Jangkar,
satu kerabat bermadu isteri saudara tua,
di mana Mandala Utama Jangkar merupakan
memperbudak tanpa tebusan, menghukum
tak berdasarkan aturan; maka khawatir dapat tempat keluarnya Maharaja Trarusbawa dari
berakibat hancurnya negeri… (lembar nomor wilayah kerajaan. Mandala Utama Jangkar
2b-3a) terletak pada batas terluar Kerajaan Sunda,
di mana Maharaja Trarusbawa memberikan
Pada bagian ini, Maharaja Trarusbawa kewenangan pada istri dari Bagawat Piturasa
memberikan kewenangan kepada Bagawat untuk merencanakan pelaksanaan persiapan
Cinta Premana menjadi rama di Puntang dengan didirikannya pintu gerbang wilayah Kerajaan
gelar Sanghyang Premana. Beliau bertugas Sunda.
sebagai wakil rakyat yang membimbing Jadi, konstruksi kalimat yang mengandung
masyarakat menuju kesejahteraan. Disebutkan teks Tri Tangtu di Buana dalam Fragmen
bahwa apabila masyarakat mengerti akan Carita Parahyangan (FCP) pada tahap pertama
hakikat kehidupan, maka kesejahteraan akan menunjukkan bahwa Tri Tangtu di Buana adalah
datang dengan sendirinya. Disebutkan pula tiga lembaga yang terdiri dari prebu, rama, dan
bahwa bila para pemegang kekuasaan bermadu resi. Prebu memegang urusan kekuatan, artinya
isteri saudara tua, memperbudak tanpa tebusan prebu memiliki kekuasaan untuk menjalankan
dan menghukum tak berdasarkan aturan, maka roda pemerintahan dan berperan pula sebagai
negeri akan hancur. Di dalam bagian teks ini penentu kebijakan. Dalam aktivitas komunikasi
disebutkan juga konsep Tri Buana. politik pembagian wilayah kekuasaan yang
Selepas melantik bagawat Cinta Premana melibatkan Tri Tangtu di Buana, Maharaja
menjadi rama di Puntang, Maharaja Trarusbawa Trarusbawa mengangkat Bagawat Sangkan
lalu menyampaikan sebuah kalimat informatif Windu dan Bagawat Cinta Putih sebagai prebu
yang berisi tentang pengangkatan Bagawat di Denuh dan Gegergadung. Rama memegang
Tiga Warna sebagai rama di Mandala Pucung. urusan kata-kata, artinya rama adalah penyalur
Beliau bersama istrinya bertugas membimbing aspirasi dari rakyat pada pemimpin, sekaligus
masyarakat menuju kesejahteraan. Berikut ini sebagai pembimbing untuk rakyat. Berkaitan
kutipan teksnya: dengan rama, Maharaja Trarusbawa mengangkat
Sang Resi Putih, Bagawat Resi Kelepa, Bagawat
…Tersebutlah kesepakatan para penerus Cinta Premana, Bagawat Tiga Warna, dan
seisi istana yang bernaung ke Pakuan. Oleh Bagawat Piturasa sebagai rama di Galunggung,
Maharaja Trarusbawa, Bagawat Tiga Warna Mandala Cidatar, Puntang, Mandala Pucung,
dinobatkan sebagai penebar anak (murid) di dan Mandala Utama Jangkar. Resi memegang
Mandala Pucung, diberi kewenangan bagi urursan pikiran dan perasaan, artinya resi
isterinya… (lembar nomor 3a) berperan sebagai “otak dan hati” kerajaan;
di mana resi berperan besar untuk masalah
Pada kalimat terakhir dari bagian teks
peradilan demi mewujudkan negara yang adil,
lembar 25a-3b FCP ini, Maharaja Trarusbawa
makmur, dan sentosa. Ketiga lembaga tersebut
memberikan kewenangan kepada Bagawat
mengandung aspek-aspek komunikasi politik
Piturasa sebagai rama di Mandala Utama
dalam peristiwa pembagian kekuasaan dan
MAKNA TRI TANGTU DI BUANA YANG MENGANDUNG ASPEK KOMUNIKASI POLITIK
DALAM FRAGMEN CARITA PARAHYANGAN 185

pembagian wilayah kekuasaan Kerajaan Sunda. kekuasaan juga disuratkan dengan jelas dalam
Peristiwa pembagian kekuasaan tertuang dalam naskah Fragmen Carita Parahyangan tersebut.
naskah FCP lembar 7b-8a, sedangkan peristiwa Bisa dikatakan, makna yang syarat akan aspek-
pembagian wilayah kekuasaan tersurat dalam aspek komunikasi politik dan terkandung
lembar 25a-3b. dalam teks Tri Tangtu di Buana yang diproduksi
Tahap kedua digunakan untuk mengungkap oleh para pembuat teks yang merupakan kaum
makna teks berdasarkan latar belakang intelektual Kerajaan Sunda dapat diinterpretasi
pemroduksi teks. Tahap ini membahas tentang dengan baik oleh kaum elit Kerajaan Sunda
makna teks yang terkandung dalam pikiran dalam menjalankan pemerintahan dan konsep
dan pengalaman hidup sang pengarang teks. Tri Tangtu di Buana yang mereka emban. Tahap
Pengarang teks FCP diduga kuat adalah kaum ketiga adalah makna teks berdasarkan lingkungan
intelektual pada saat masa pemerintahan teks. Tahap ini membahas tentang makna yang
Maharaja Trarusbawa. Teks diciptakan dengan terkandung di tengah kelompok sasaran di
tujuan sebagai sumber informasi mengenai mana sebuah teks dikomunikasikan. Teks ini
pembagian kekuasaan dan pembagian wilayah dikomunikasikan di kalangan Kerajaan Sunda
kekuasaan pada masa sistem pemerintahan pada masa pemerintahan Maharaja Trarusbawa.
Kerajaan Sunda yang dilakukan Maharaja Teks ini juga terdapat pada naskah FCP yang di
Trarusbawa dalam lingkup Tri Tangtu di Buana dalamnya memang membahas masalah-masalah
kepada perangkat kelembagaan yang dibangun politik, terutama yang terkait dengan konsep
pada saat itu, yakni prebu, rama dan resi. Tri Tangtu di Buana di Kerajaan Sunda pada
Pemroduksi teks merekam peristiwa masa pemerintahan Maharaja Trarusbawa. Teks
tersebut ketika peristiwa tersebut berlangsung. tentang pembagian kekuasaan dan pembagian
Selain sebagai sumber informasi, teks ini wilayah kekuasaan ini dikomunikasikan di
berperan sebagai “perekam” peristiwa yang kalangan elit pemegang kekuasaan Kerajaan
terjadi pada saat itu. Sebagai kaum intelektual, Sunda, di mana masyarakat Sunda pada saat itu
pemroduksi teks berperan sebagai peneliti dan juga menilai kinerja para pemegang kekuasaan
pencatat peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam yang dituntun oleh bagian teks FCP ini. Para
seluruh ruang lingkup masyarakat Sunda pada pemegang kekuasaan Kerajaan Sunda (Tri
zaman kerajaan tersebut. Hal ini mengungkap Tangtu di Buana) menjadikan bagian teks
sisi historis dari Tri Tangtu di Buana. Jadi, sisi FCP ini sebagai panduan untuk menjalankan
historis dari Tri Tangtu di Buana juga tidak lepas tugas dan wewenang sesuai dengan jabatan
dari aspek komunikasi politik; para pemroduksi mereka masing-masing. Bagian-bagian teks
teks membuat teks Tri Tangtu di Buana dalam ini juga memberikan informasi bahwa pada
naskah Fragmen Carita Parahyangan sebagai saat Kerajaan Sunda masih eksis, pembagian
media komunikasi politik tradisional, baik wilayah kekuasaan telah dilakukan dengan
itu sebagai sumber informasi politik kerajaan menempatkan orang-orang yang memiliki
maupun sebagai “media” perekam aktivitas integritas di wilayah-wilayah kerajaan yang
komunikasi politik Kerajaan Sunda (dari telah ditentukan. Undang Ahmad Darsa, filolog
teks berbentuk perilaku politik menjadi teks sekaligus penggarap naskah FCP, memberikan
tertulis) yang bisa diwariskan dari zaman ke informasi sebagai berikut:
zaman. Berkat adanya naskah Fragmen Carita
Parahyangan yang memuat teks Tri Tangtu
di Buana ini, sistem pemerintahan Kerajaan “Dinyatakan dalam teks FCP bahwa Maharaja
Sunda yang berpegang teguh pada pembagian Trarusbawa berusia 1100 tahun. Ini sulit
kekuasaan prebu, rama, dan resi ini dapat untuk dipercaya dari sisi usia fisik hidup
menjalankan pemerintahannya dengan baik, manusia, akan tetapi hal ini harus ditafsirkan
harmonis, dan tanpa ada halangan berarti. Para justru konsep Tri Tangtu di Buana itulah yang
aktor politik disebutkan secara jelas oleh para berlaku selama 1100 tahun. Hal dimaksud
pemroduksi teks, pesan-pesan politik dalam diduga secara historis muncul setelah Kerajaan
aktivitas komunikasi politik dalam peristiwa Tarumanagara tenggelam (abad ke-7 M) dan
pembagian kekuasaan dan pembagian wilayah berakhir ketika sistem Kerajaan Sunda juga
186 Jurnal Kajian Komunikasi, Volume 3, No. 2, Desember 2015 hlm 173-191

tenggelam (abad ke-16 M).” penghasilan (lembar nomor 4b dan awal


lembar 5a).
Jadi, konsep Tri Tangtu di Buana ini mulai
dijalankan di lingkungan elit Kerajaan Sunda Teks bagian ini terdapat pada lembar
mulai dari Kerajaan Sunda berdiri (setelah nomor 4b dan awal lembar 5a FCP yang berisi
Kerajaan Tarumanagara tenggelam pada abad tentang pembagian kekuasaan oleh Maharaja
ke-7 M) hingga Kerajaan Sunda tenggelam Trarusbawa kepada kalangan prebu, rama dan
pada abad ke-16 M. Dengan kata lain, teks Tri resi dalam menjalankan tugasnya. Pada saat
Tangtu di Buana yang banyak mengandung itu sang Maharaja-lah yang memegang tampuk
aspek komunikasi politik ini dikomunikasikan kepemimpinan pemerintahan Kerajaan Sunda.
melalui naskah Fragmen Carita Parahyangan Maharaja juga adalah simbol kerajaan/negara.
selama 9 abad lamanya. Dalam konsep kekuasaan, kekuasaan tertinggi
Tahap keempat ditempuh untuk dipegang oleh negara. Secara formal negara
mengungkap makna teks berdasarkan kaitan memiliki hak untuk melaksanakan kekuasaan
dengan teks lain, yaitu makna yang diperoleh tertinggi. Negara jualah yang membagi-bagikan
dengan cara mengkombinasikan makna yang kekuasaan yang lebih rendah derajatnya. Itulah
terkandung baik yang terdapat dalam teks yang yang dinamakan kedaulatan (sovereignity).
sama dalam satu naskah maupun dalam naskah Dalam hal ini, karena maharaja merupakan
yang berbeda. Terdapat kaitan yang kuat antara simbol dari Kerajaan Sunda, maka ia memiliki
pembagian kekuasaan Tri Tangtu di Buana kedaulatan untuk menjalankan pemerintahan
dalam naskah FCP pada lembar 7b-8a dengan dan membagikan kekuasaan kepada orang-
teks pembagian kekuasaan pada lembar 4b-5a orang yang telah ia percayai.
yang berisi tentang pembagian kekuasaan oleh Kaitan kuat juga terjadi dalam teks Tri
Maharaja Trarusbawa kepada kalangan prebu, Tangtu di Buana dalam naskah FCP dengan
rama dan resi dalam menjalankan tugasnya. Tri Tangtu di Buana dalam naskah Amanat
Berikut ini adalah kutipan teks FCP lembar Galunggung (AG). Kedua bagian teks ini
4b-5a yang berisi tentang proses pembagian menyebutkan tentang pembagian kekuasaan
kekuasaan dalam Kerajaan Sunda yang prebu, rama dan resi dalam lingkup Tri Tangtu
melibatkan Tri Tangtu di Buana: di Buana. Bagian yang persis sama terdapat
pada bagian kalimat yang menyebutkan bahwa
Anggeus pahi diduuman ku Maharaja dunia bimbingan adalah tanggung jawab rama,
Trarusbawa, diduuman deui jagat, saukur dunia kesentosaan menjadi tanggung jawab
nu wenangkeun rabi tunggal. Na jagat kreta resi, dan dunia pemerintahan menjadi tanggung
di sang resi dijiéunan lemah putih, lemah jawab prebu. Sama halnya dengan kalimat yang
pasartan husireun wong kapanasan; jagat menyebutkan bahwa dalam pekerjaanya sebagai
darana di sang rama; jagat palaka di sang pejabat, hendaknya kalangan prebu, rama dan
prebu. Kéh mulah dék paala-ala, palungguh-
resi tidak berebut penghasilan.
lungguhan. Haywa pamali pangmeunang dék
Hanya saja, pada bagian teks yang terdapat
paala-ala.
pada AG, bagian akhirnya juga menyebutkan
hal-hal yang harus dilakukan untuk menjadi
Terjemahan: seorang pejabat yang mulia, dengan perbuatan,
Setelah semua mendapat bagian dari Maharaja ucapan dan sifat-sifat yang terpuji. Dengan
Trarusbawa, dibagi lagi tanggung jawab menjiwai sifat-sifat tersebut, niscaya para
kekuasaan, untuk setiap yang diharuskan pemegang tampuk kekuasaan ini akan menjadi
beristeri satu. Maka dunia kesentosaan teladan masyarakat. Keterkaitan ini membentuk
tanggung jawab kalangan Resi yang dijadikan sebuah intertekstualitas, di mana esensi teks
sebagai tempat suci, tempat mencari keadilan yang sama terkandung dalam dua naskah
orang yang teraniaya. Dunia bimbingan
yang berbeda. Kaitan ini semakin menguatkan
tanggung jawab kalangan Rama. Dunia
konsep Tri Tangtu di Buana sebagai sistem
pemerintahan tanggung jawab kalangan Prebu.
Nah janganlah saling berebut kedudukan. kelembagaan Kerajaan Sunda yang menganut
Hendaklah jangan khawatir saling berebut pembagian/pemisahan kekuasaan dan memuat
MAKNA TRI TANGTU DI BUANA YANG MENGANDUNG ASPEK KOMUNIKASI POLITIK
DALAM FRAGMEN CARITA PARAHYANGAN 187

unsur-unsur politik yang kuat, yang di dalamnya dari tradisi. Tradisi tersebut menjadi sebuah
juga terkandung aspek-aspek komunikasi pijakan dan menghasilkan sebuah legitimate
politik. Aspek komunikasi politik yang power bagi orang-orang yang memegang
terkandung di dalam kedua naskah ini berkaitan kekuasaan tertinggi. Mereka (prebu, rama,
dengan aktor politik (Maharaja Trarusbawa) resi) menjalankan kekuasaan yang mereka
dan pesan-pesan politik yang berkaitan dengan miliki melalui saluran politik dan saluran
pembagian kekuasaan dan sikap-sikap yang tradisional. Melalui saluran politik, mereka
harus dimiliki oleh prebu, rama, dan resi dalam mengkomunikasikan aturan-aturan yang harus
sistem pemerintahan Tri Tangtu di Buana. ditaati oleh segenap pejabat dan rakyat Kerajaan
Konsep Tri Tangtu di Buana ini berkaitan Sunda. Melalui saluran tradisional, mereka
juga dengan konsep Tri Buana, yakni sebuah mempertahankan nilai-nilai tradisi Sunda yang
sistem kosmologis masyarakat Sunda sudah tertanam beratus-ratus tahun lamanya
berdasarkan konsep triumvirate (tiga serangkai, dalam masyarakat.
tritunggal) yang terdiri atas bumi, antara, dan Terkait dengan pembagian wilayah
angkasa; termasuk di dalamnya langit, rasi kekuasaan, terdapat kaitan yang kuat antara
bintang, dan kilauan nebula (gugusan bintang) pembagian wilayah kekuasaan pada naskah FCP
pada malam hari. Selain berkaitan dengan lembar 25a-3b dengan teks pembagian wilayah
konsep Tri Buana, konsep Tri Tangtu di Buana kekuasaan pada lembar 8b-9b. Perbedaan yang
ini juga berkaitan dengan konsep “Tiga Rahasia” lain adalah bila pada teks FCP lembar 25a-3b
yang tercantum dalam naskah Sang Hyang Hayu proses pembagian wilayah kekuasaan dilakukan
(SHH). Dalam naskah SHH, unsur prebu-rama- dengan melibatkan Maharaja Trarusbawa
resi inilah yang mengemban tugas dalam upaya beserta kalangan prebu, rama, dan resi, serta
ngretakeun bumi lamba (mensejahterakan dilakukan dalam sebuah forum komunikasi
kehidupan di dunia). Berdasarkan konsep yang besar dan formal, pada teks lembar 8b-
“Tiga Rahasia”, berarti prebu harus menjiwai 9b ini proses pembagian wilayah kekuasaan
nilai bayu (tenaga), rama harus menjiwai nilai hanya melibatkan dua orang, yakni Rakeyan
sabda (ucapan), dan resi harus menjiwai nilai Darmasiksa dan Batara Dangiang Guru. Berikut
hedap (pikiran/qalbu). Dengan kata lain, prebu ini adalah kutipan teks FCP lembar 8b-9b
mewakili bayu, rama mewakili sabda, dan resi yang berisi tentang proses pembagian wilayah
mewakili hedap. Adanya konsep Tri Tangtu kekuasaan:
Di Buana, Tri Buana dan “Tiga Rahasia” ini
menggambarkan bahwa konsep tata ruang Anggéus ta diéusikeun na Rakéan Darmasiksa
masyarakat Sunda secara kosmologis selalu na Sunggalah. Diheuleutan: Hanggat
bersifat triumvirate. Cipanglebakan, alas ti kidul heuleutna
Gegergadung, Geger Handiwung, Pasir Taritih
Ternyata, setelah bayu-sabda-hedap
na muhara Cipager Jampang. Heuleutna ti
ini diterapkan pada nilai yang harus dijiwai Windupepet Manglayang Padabeunghar.
oleh prebu-rama-resi, terjadi kecocokan Sakitu dibéréan alas Rakéan Darmasiksa ku
dengan bagian teks pada lembar 7b-8a FCP Batara Danghyang Guru di Galunggung.
yang menyebutkan bahwa urusan kekuatan Heubeul siya ngadeg di Saunggalah dwa
itu bagian kalangan prebu, urusan kata-kata welas tahun, deung anak Sang Rajaputra
itu bagian kalangan rama, dan urusan pikiran dieusikeun di Saunggalah.
dan perasaan itu bagian kalangan resi. Hal ini
membuktikan terjadinya intertekstualitas antara Terjemahan:
naskah FCP dengan naskah SHH yang sama- Selesailah Rakeyan Darmasiksa tersebut
sama membahas tentang konsep dan nilai- diperkenankan menduduki Saunggalah. Batas
wilayahnya: tepi sungai Cipanglebakan;
nilai yang terdapat dalam proses pembagian
wilayah sebelah selatan berbatasan dengan
kekuasaan. Konsep “Tiga Rahasia” dalam SHH Gegergadung dan Geger Handiwung
memperkaya konsep pembagian kekuasaan terus ke Pasir Taritih hingga ke muara
Tri Tangtu di Buana dalam FCP. Hal ini Cipager Jampang; sedangkan batas wilayah
menyiratkan bahwa kekuasaan yang muncul dengan Windupepet ialah Manglayang dan
dalam masyarakat Sunda kuno bersumber Padabeunghar.
188 Jurnal Kajian Komunikasi, Volume 3, No. 2, Desember 2015 hlm 173-191

Seluas itulah wilayah yang diberikan kepada komunikasi politik yang dilakukan dalam
Rakeyan Darmasiksa oleh Batara Dangiang lingkup kelembagaan Tri Tangtu di Buana yang
Guru di Galunggung. Lamanya dia menjabat dilakukan oleh Maharaja Trarusbawa dengan
di Saunggalah ialah dua belas tahun, dan segenap pejabat di Kerajaan Sunda. Komunikasi
anaknya yang bernama Sang Rajaputra politik yang dilakukan bersifat face-to-face
kemudian ditempatkan di Saunggalah (lembar
dalam sebuah forum komunikasi “satu-
nomor 8b dan lembar nomor 9b).
kepada-banyak” dalam tatanan suprastruktur
Dalam bagian teks ini, Batara Dangiang komunikasi Kerajaan Sunda.
Guru berperan sebagai komunikator yang Maharaja Trarusbawa berperan sebagai
menyampaikan pesan politik kepada komunikator politik yang menyampaikan
komunikannya, yakni Rakeyan Darmasiksa pesan-pesan politiknya kepada para komunikan
yang diberikan kewenangan untuk menjadi politiknya, dalam hal ini para prebu, rama dan
prebu di Saunggalah dengan batas-batas resi yang berada dalam tataran suprastruktur
wilayah yang telah ditentukan. Komunikasi ini komunikasi politik Kerajaan Sunda. Maharaja
berlangsung secara face-to-face, di mana Batara Trarusbawa memiliki kekuasaan yang sah
Dangiang Guru menyampaikan pesannya (legitimate power) yang memiliki hak untuk
secara langsung kepada Rakeyan Darmasiksa. membagikan kekuasaannya melalui aktivitas
Pola komunikasi politik antara atara Dangiang komunikasi politik. Beliau juga memiliki
Guru dengan Rakeyan Darmasiksa adalah pola persyaratan yang memadai untuk menjadi
komunikasi informal dalam konteks komunikasi komunikator politik, yakni berorientasi kepada
antar pribadi, karena dilakukan melalui sebuah kepentingan negara (Kerajaan Sunda).
pertemuan yang di dalamnya tidak terdapat Maharaja Trarusbawa sebagai komunikator
prosedur-prosedur formal layaknya pada proses politik memiliki dominasi yang bersumber dari
pembagian kekuasaan yang telah dibahas pada legitimate power. Legitimate power yang beliau
bahasan sebelumnya. miliki memungkinkan beliau menyampaikan
Perbedaan yang lain adalah bila pada teks pesan komunikasi politik vertikal top-down.
FCP lembar 25a-3b proses pembagian wilayah Bersumber dari kedudukannya sebagai
kekuasaan dilakukan dengan melibatkan Maharaja yang memiliki kewenangan sebagai
Maharaja Trarusbawa beserta kalangan prebu, pemegang dunia pemerintahan, beliau juga
rama, dan resi, serta dilakukan dalam sebuah memiliki kemampuan untuk memerintah (agar
forum komunikasi yang besar dan formal, pada yang diperintah patuh) dan juga untuk memberi
teks lembar 8b-9b ini proses pembagian wilayah keputusan-keputusan yang secara langsung
kekuasaan hanya melibatkan dua orang, yakni maupun tidak langsung memengaruhi tindakan-
Rakeyan Darmasiksa dan Batara Dangiang tindakan pihak-pihak lainnya.
Guru. Seperti yang telah dikemukakan di atas, Pesan yang terdapat pada naskah FCP
komunikasi politik adalah komunikasi yang lembar 7b-8a berisi tentang pembagian/
pesannya berisi tentang kelangsungan hidup pemisahan kekuasaan dan tanggung jawab
suatu negara/pemerintahan. Maka, pemberian yang dipikul oleh prebu, rama, dan resi. Pesan
kewenangan Rakeyan Darmasiksa untuk politik yang disampaikan Maharaja Trarusbawa
memimpin Saunggalah oleh Batara Dangiang tentang pembagian kekuasaan ini termasuk ke
Guru juga mengandung aspek komunikasi dalam sejumlah metode dan cara pendekatan
politik yang terwujud dalam aktivitas untuk mewujudkan sifat-sifat integratif bagi
komunikasi politik. penghuni sistem. Komunikasi politik yang
Bagian terakhir ditempuh untuk dilakukan bersifat face-to-face dalam tatanan
mengungkap makna teks berdasarkan dialog suprastruktur komunikasi Kerajaan Sunda.
teks dengan pembaca. Tahap ini membahas Beliau menyampaikan pesan politiknya
tentang makna yang timbul setelah pembaca kepada para komunikan dalam sebuah forum
teks juga memasukkan makna yang ada dalam komunikasi “satu-kepada-banyak” tentang
pikirannya setelah membaca sebuah teks. Teks pembagian kewenangan dan tugas dari kalangan
FCP ini mengandung aspek-aspek komunikasi prebu, rama, dan resi sehingga para pemangku
politik yang terwujud dalam aktivitas jabatan tersebut mengerti apa tugas yang harus
MAKNA TRI TANGTU DI BUANA YANG MENGANDUNG ASPEK KOMUNIKASI POLITIK
DALAM FRAGMEN CARITA PARAHYANGAN 189

mereka laksanakan dan sampai di mana mereka ada di dalam tatanan suprastruktur, di mana
bisa berperan dalam sistem pemerintahan. Maharaja Trarusbawa sebagai komunikator
Bentuk pesan politik yang disampaikan politik melakukan pembagian/pemisahan
Maharaja Trarusbawa kepada kalangan prebu, kekuasaan kepada kalangan prebu, rama dan
rama, dan resi ini berupa keputusan, kebijakan, resi dengan pola komunikasi top-down, dari
dan peraturan yang menyangkut kepentingan pemimpin kepada yang memimpin. Hal tersebut
dari keseluruhan masyarakat, bangsa, dan tampak jelas dalam titah Maharaja Trarusbawa
negara. yang disampaikan langsung melalui sebuah
Ditambah pula, terdapat pesan bahwa forum komunikasi kepada para perwakilan
para pejabat kerajaan tersebut haruslah beristri pejabat Kerajaan Sunda, di mana pesan politik
satu, karena apabila beristri lebih dari satu, yang disampaikan adalah tentang pembagian/
dikhawatirkan akan mengganggu konsentrasi pemisahan kekuasaan.
dalam menjalankan aturan-aturan pemerintahan Terkait dengan pembagian wilayah
sehingga dapat berakibat terganggunya kekuasaan di Kerajaan Sunda, Maharaja
kesentosaan dan kesejahteraan masyarakat. Hal Trarusbawa membagikan wilayah kekuasaan
ini merupakan sebuah panduan dan nilai-nilai Kerajaan Sunda kepada para pejabat
idealis yang tertuju pada upaya mempertahankan daerah karena beliau memiliki kedaulatan
dan melestarikan sistem nilai yang berlangsung. (sovereignity) dan juga memang menjadi tugas
Media yang beliau pergunakan berupa sebuah beliau untuk menjalankan tanggung jawab
forum komunikasi “satu-kepada-banyak” yang di dunia pemerintahan, sesuai dengan tugas
dihadiri oleh perwakilan prebu, rama dan resi. seorang prebu dalam konsep Tri Tangu di
Pembicaraan politik yang dilakukan dalam Buana. Maharaja Trarusbawa juga merupakan
tatanan suprastruktur komunikasi tersebut, tentu simbol Kerajaan Sunda. Dengan kata lain,
saja pesan yang disampaikan oleh Maharaja Maharaja Trarusbawa memiliki kekuasaan
Trarusbawa kepada kalangan prebu, rama, dan tertinggi dalam dunia pemerintahan, karena
resi adalah pesan komunikasi politik, karena berdasarkan konsep kekuasaan, secara formal,
pesan tersebut disampaikan oleh pemegang negara memiliki hak untuk melaksanakan
kekuasaan tertinggi pada sebuah pemerintahan, kekuasaan tertinggi. Negara jualah yang
dan pesannya sendiri mengandung nilai- membagi-bagikan kekuasaan yang lebih rendah
nilai idealis yang tertuju kepada upaya derajatnya. Itulah yang dinamakan kedaulatan
mempertahankan dan melestarikan sistem nilai (sovereignity) (Soekanto, 2006: 31).
yang sedang berlangsung dalam sebuah negara, Aktivitas komunikasi politik yang
dalam hal ini Kerajaan Sunda. dilakukan oleh Maharaja Trarusbawa berpola
Selain itu, konsep Tri Tangtu di Buana top-down dan dilakukan dalam sebuah forum
dalam tatanan suprastruktur Kerajaan Sunda komunikasi antara pemerintah pusat dengan
tidak terlepas pada sistem kosmologis Sunda para pejabat daerah. Komunikasi politik dalam
yang menganut konsep triumvirate yang forum komunikasi ini bersifat formal, karena
artinya tiga serangkai/tritunggal (bumi, antara, dilakukan dalam konteks pembagian wilayah
angkasa). Maka dapat disimpulkan bahwa tradisi kekuasaan, di mana komunikan yang hadir juga
Sunda yang berangkat dari sistem kosmologis merupakan orang-orang penting di Kerajaan
triumvirate ini juga memengaruhi sistem Sunda. Saluran komunikasi politik yang dipakai
legitimasi di Kerajaan Sunda. Otomatis, sistem adalah gabungan komunikasi “satu-kepada-
legitimasi ini juga memengaruhi komunikasi satu” dan “satu-kepada-banyak”.
politik yang terjadi dalam tatanan suprastruktur Komunikasi politik pembagian
Kerajaan Sunda. Pada akhirnya, komunikasi wilayah kekuasaan yang dilakukan oleh
politik masyarakat Sunda kuno dalam FCP Maharaja Trarusbawa pada teks lembar 25-
yang kental dengan konsep Tri Tangtu di Buana 3b berorientasi kepada kepentingan negara
ini dilakukan dengan berpegang pada tradisi (kerajaan) berisi panduan dan nilai-nilai idealis
yang telah dianut sejak awal Kerajaan Sunda yang tertuju kepada upaya mempertahankan
berdiri. dan melestarikan sistem nilai yang sedang
Aktivitas komunikasi politik yang terjadi berlangsung dan bertujuan untuk mewujudkan
190 Jurnal Kajian Komunikasi, Volume 3, No. 2, Desember 2015 hlm 173-191

sifat-sifat integratif bagi penghuni sistem. Pesan- tatanan suprastruktur komunikasi tersebut
pesan komunikasi politik yang disampaikan (Tri Tangtu di Buana), tentu saja pesan yang
oleh Maharaja Trarusbawa merupakan sebuah disampaikan oleh Maharaja Trarusbawa kepada
produk penguasa setelah melalui proses kalangan prebu, rama dan resi adalah pesan
encoding atau setelah diformulasi ke dalam komunikasi politik, karena pesan tersebut
simbol-simbol sesuai lingkup kekuasaannya disampaikan oleh pemegang kekuasaan
(Harun & Sumarno, 2006: 12). tertinggi pada sebuah pemerintahan, dan
Teks pada lembar 25-3b jelas berisi tentang pesannya sendiri mengandung nilai-nilai idealis
aktivitas komunikasi politik dalam tatanan yang tertuju kepada upaya mempertahankan
suprastruktur komunikasi yang dilakukan dan melestarikan sistem nilai yang sedang
oleh Maharaja Trarusbawa dengan segenap berlangsung dalam sebuah negara, dalam
orang yang beliau percayai memiliki integritas hal ini Kerajaan Sunda. Selain berisi tentang
untuk ditempatkan sebagai pejabat di wilayah- pembagian kekuasaan dalam lingkup Tri
wilayah Kerajaan Sunda yang telah ditentukan. Tangtu di Buana, teks FCP ini juga berisi
Maharaja Trarusbawa sebagai komunikator tentang aktivitas komunikasi politik yang
memberikan kewenangan kepada para dilakukan oleh Maharaja Trarusbawa sebagai
komunikannya yakni Sang Resi Putih, Bagawat prebu dalam Tri Tangtu di Buana dengan
Sangkan Windu, Bagawat Cinta Kelepa, segenap orang yang beliau percayai memiliki
Bagawat Cinta Putih, Bagawat Resi Karangan, integritas untuk ditempatkan sebagai pejabat
Bagawat Cinta Premana, Bagawat Tiga Warna, di wilayah-wilayah Kerajaan Sunda yang telah
dan Bagawat Pitu Rasa untuk memegang ditentukan. Maharaja Trarusbawa memberikan
jabatan di wilayahnya masing-masing. kewenangan kepada Sang Resi Putih, Bagawat
Sedangkan teks pada lembar 8b-9b berisi Sangkan Windu, Bagawat Cinta Kelepa,
tentang komunikasi politik dalam pembagian Bagawat Cinta Putih, Bagawat Resi Karangan,
wilayah kekuasaan yang melibatkan calon Bagawat Cinta Premana, Bagawat Tiga Warna,
penerus Maharaja Trarusbawa, yaitu Rakeyan dan Bagawat Pitu Rasa untuk memerintah di
Darmasiksa dengan Batara Dangiang Guru wilayahnya masing-masing. Komunikasi politik
yang berperan sebagai kalangan rama. Rakeyan yang dilakukan oleh Maharaja Trarusbawa
Darmasksa diserahi sebuah tanggung jawab berorientasi kepada kepentingan negara
untuk menduduki kursi prebu di Saunggalah. (kerajaan) berisi pesan-pesan politik yang
Dengan diperolehnya wilayah kekuasaan yang bertujuan untuk kesejahteraan Kerajaan Sunda.
merupakan hak milik kebendaan, otomatis
Rakeyan Darmasiksa juga memiliki kekuasaan SIMPULAN
yang bersumber dari hak milik kebendaan atas
wilayah Saunggalah. Dengan begitu, beliau Setelah membaca dan menghayati teks
juga memilki sumber kekuasaan politik, yang dalam FCP ini, makna yang didapatkan oleh
berguna untuk proses pengambilan keputusan peneliti adalah Tri Tangtu di Buana yang terdiri
yang berkaitan dengan dunia pemerintahan dari prebu, rama, dan resi ini merupakan tiga
(sebagaimana memang menjadi tugas yang lembaga yang secara bersamaan memegang
diemban seorang prebu dalam konsep Tri jabatan di pemerintahan Kerajaan Sunda; di
Tangtu Di Buana) di wilayah Saunggalah. mana ketiganya memiliki hak dan kewajiban
Berdasarkan paparan di atas, ditemukan yang berbeda dalam memimpin Kerajaan
Maharaja Trarusbawa menyampaikan Sunda. Pada peristiwa pembagian kekuasaan,
penjelasannya tentang pembagian/pemisahan aspek komunikasi politik yang terwujud dalam
kewenangan dan tugas dari masing-masing aktivitas komunikasi politik yang dilakukan
prebu, rama dan resi, sehingga para pemangku oleh Maharaja Trarusbawa dengan segenap
jabatan tersebut mengerti apa tugas yang pejabat di Kerajaan Sunda dan bersifat face-to-
harus mereka laksanakan dan sampai di mana face dalam tatanan suprastruktur komunikasi
mereka bisa berperan dalam pemerintahan Kerajaan Sunda. Komunikasi politik yang
(lembar nomor 7b dan awal lembar 8a). Dalam dilakukan oleh Maharaja Trarusbawa berpola
pembicaraan politik yang dilakukan dalam top-down dan dilakukan dalam sebuah forum
MAKNA TRI TANGTU DI BUANA YANG MENGANDUNG ASPEK KOMUNIKASI POLITIK
DALAM FRAGMEN CARITA PARAHYANGAN 191

komunikasi antara pemerintah pusat dengan Gambaran Sistem Pemerintahan Masyarakat


para calon pejabat daerah di wilayah Kerajaan Sunda. Sosiohumaniora 2: 57-63.
Sunda. Sedangkan pada peristiwa pembagian Endraswara, S. (2008). Metodologi penelitian
wilayah kekuasaan, aktivitas komunikasi politik sastra: epistemologi, model, teori, dan
terkandung dalam peristiwa yang melibatkan aplikasi. Yogyakarta: MedPress.
Maharaja Trarusbawa sebagai komunikator Harun, R. & Sumarno AP. (2006). Komunikasi
politik yang menyampaikan pesan-pesan politik sebagai suatu pengantar. Bandung:
politik berupa pembagian wilayah kekuasaan Mandar Maju.
kepada kalangan prebu, rama, dan resi selaku Hoed, B. H. (2011). Semiotik dan dinamika
pemegang kekuasaan di wilayah-wilayah sosial budaya: ferdinand de saussure, roland
Kerajaan Sunda. Komunikasi politik yang barthes, julia kristeva, jacques derrida,
dilakukan oleh Maharaja Trarusbawa berpola charles sanders peirce, marcel danesi & paul
top-down dan dilakukan dalam sebuah forum perron, dll. Jakarta: Komunitas Bambu.
komunikasi antara pemerintah pusat dengan Kuswarno, E. (2008). Etnografi komunikasi:
para calon pejabat daerah. Selain itu, terdapat suatu pengantar dan contoh penelitiannya.
Bandung: Widya Padjadjaran.
juga komunikasi politik pembagian wilayah
Littlejohn, S. W. & Karen A. Foss. (2009).
kekuasaan antara Batara Dangiang Guru dengan
Theories of human communication, 9th ed.
Rakeyan Darmasiksa yang bersifat face-to-face.
Jakarta: Salemba Humanika.
Saran yang penulis berikan berdasarkan
Mulyana, D. (2007). Ilmu komunikasi:
penelitian ini adalah perlu dikembangkannya
suatu pengantar. Bandung: PT. Remaja
penelitian lanjutan terhadap berbagai naskah Rosdakarya.
Sunda Kuno khususnya dan naskah-naskah Poespoprodjo, W. (2004). Hermeneutika.
kuno Indonesia lain pada umumnya, karena di Bandung: Pustaka Setia.
dalam naskah-naskah kuno ini terdapat banyak Raharjo, M. (2008). Dasar-dasar hermeneutika:
informasi dari berbagai bidang kajian yang dapat antara intensionalisme dan gadamerian.
kita gali, serta perlunya penelitian komunikasi Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
politik tradisional untuk memperluas khazanah Ratna, N. K. (2009). Teori, metode, dan teknik
ilmu komunikasi, khususnya komunikasi penelitian sastra. Yogyakarta: Pustaka
politik. Saat ini telah banyak penelitian yang Pelajar.
mengangkat tema komunikasi politik mutakhir, Ricoeur, P. (1976). Interpretation theory:
tetapi penelitian yang bertemakan komunikasi discouse and the surplus of meaning.
politik tradisional masih amat langka. Fortworth: Christian University of Texas
Press.
DAFTAR PUSTAKA Soekanto, S. (2006). Sosiologi: suatu pengantar.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Darsa, U. A., dkk. (2000). Tinjauan Filologis Sumaryono, E. (1999). Hermeneutik: sebuah
Terhadap Fragmen Carita Parahyangan: metode filsafat. Yogyakarta: Kanisisus.
Naskah Sunda Kuno Abad XVI Tentang

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai