Anda di halaman 1dari 3

Ringkasan Nagara, hal. 303 Nagara and Commandery.

Nagara bisa dibedakan melalui kondisi-kondisi berikut stabililitas politik, kejayaan, kesejahteraan, pertumbuhan penduduk, dan pengendalian atas populasi, terutama ketika seseorang memiliki pengikut dalam pemimpin dalam ritual-ritual tertentu. Konsekuensinya seorang pemimpin harus bisa meluaskan kekuasaannya untuk menguasai hak pekerja dalam pemukiman yang berbeda. Nagara adalah bentuk lanjutan dari chiefdom yang diorganisasikan bersama. Prinsip-prinsip Nagara dituangkan dalam bahasa sangsekerta yang dipengaruhi oleh ibukota kerajaan yang menambahkan bahasa sangsekerta tersebut. Dalam sebuah Nagara ada dewa yang disembah, seperti Siva dan seorang dukun (shaman). Dalam Nagara juga terdapat tribesman yang bertugas mengumpulkan dana atau uang sewa. Pada waktu yang sama di India Nagara dikenal melalui Dharmasastra. Dalam Nagara terdapat monumen berupa batu yang disebut Linga dan menjadi tanda batas Nagara dengan dunia luar. Dengan kata lain terminologi kampung berubah menjadi Nagara atau di Jawa dikenal dengan keraton melalui perubahan sosial, politik, dan ekonomi. Perubahan kolektivitas tersebut mengubah budaya (culture) menjadi peradaban (civilization). (atau menurut Pak Gun Societas menjadi Civitas). Seperti yang dikatakan sebelumnya bahwa Nagara adalah bentuk lanjutan dari chiefdom maka ciri-cirinya adalah sebagai berikut dalam chiefdom tersebut sudah terdapat bentuk pemerintahan berupa piramid, yang mungkin diperintah oleh seorang pemimpin utama (studi kasus, dataran tinggi polinesia dan tanah arab sebelum Islam turun). Nagara memiliki dasar hukum. Pada negara yang berbentuk daratan dan kepulauan di asia tenggara, pada abad ke 7 sudah diperintah dengan dasar berupa kitab Smrti canon, terutama kitab Manava Dharmasastra, atau buku panduan Manu. Manu dalam bahasa sangsekerta berati budak. Jadi kitab tersebut diartikan sebagai kitab yang mengatur jalannya negara. Kitab ini sudah digunakan di Khmer (Kamboja) yang tercatat sejak tahun 668 M. Sebelum masa tersebut kitab ini sudah disebutkan dalam epik India yang teekenal Mahabrata dan Ramayana yang sudah dikenal di Kamboja sejak lama.

Dalam Nagara, raja atau pemimpin adalah pejabat tinggi negara. Pada masa Ankor, raja memiliki tugas untuk mempertahankan peraturan yang sudah dibuat dan mengendalikan simbol banteng (yang diartikan sebagai perbuatan, dharma) yang hilang pada masa transisi dan menghasilkan menurunnya standar moral. Dalam negara tersebut juga ada fungsi legislatif. Kerajaan Ankor berusaha untuk memperluas kekuasaannya yang didasarkan pada ajaran Hindu, dalam kerajaan ini juga terdapat peran guru. Tugas guru lebih seperti ayah dengan anak, selain itu seorang guru juga bertugas mengambil kesimpulan. Sedikit dari teks yang berasal dari masa per-ankorian menyebutkan tentang penghargaan yang dikaitkan dengan kantor (tempat pengurusan) administratif. Pada abad ke 7, yang Mulya Ugrapura menerima sebuah penghargaan yang berbentuk payung cantik dengan bordiran di dalamnya dan dihiasi dengan hiasan dari emas. Pada masa yang sama Jayavarman I menerima ditetapkan sebagai Presiden dari kelompok bangsawan berupa vas bunga yang terbuat dari emas dan tropi yang berbentuk tengkorak serta payung berwarna putih. Ketidakcukupan data dalam rangka merestorasi sistem administratif dan politik pada masa pre-ankorian. Data tersebut berupa potongan-potongan informasi dari tulisantulisan yang ada. Dalam catatan orang-orang Tionghoa mereka menyebutkan pernah memiliki 5 orang menteri yang memiliki tugas mengatur administrasi pemerintah, mengatur urusan-urusan politik, mengatur hukum-hukum kriminal. Disebutkan bahwa pada komposisi sosial pada zaman dahulu pekerjaan yang mulya adalah para pelayan raja bukan petani, artis, atau pemahat patung. Hal ini terlihat dari Telaga Batu yang berisi jadwal kantor beroperasi dan jenis-jenis pekerjaan, juga termasuk di dalamnya penjual alat potong dan tukang cuci. Dalam bagian Indonesia, pelaut adalah satu-satunya pekerjaan yang tercatat di prasasti tersebut. Pada masa preankorian juga terdapat data tentang keragaman dasar agama. Akhirnya Wheatley juga meragukan bahwa tidak ada data yang memastikan bahwa konsep Nagara sama dengan apa yang terdapat di chapter I. Walaupun konsep umum tentang masyarakat suku dan negara (atau perdesaan dan perkotaan) telah dibedakan tetapi penetrasinya terhadap satu sama lain tetap dipertahankan.

Tambahan: Dalam artikel lain dikatakan bahwa commandery itu adalah bentuk pemaksaan dari Nagara. Intinya Nagara adalah perkembangan dari chiefdom yang masih didasarkan pada budaya yang berlaku umum di masyarakat. Sementara Nagara sudah memiliki dasar hukum yang menjadi kesepakatan antara negara dengan rakyatnya melakui proses modern seperti demokrasi. Saran saya dalam membuat tugas berikutnya, kita jangan terkooptasi dengan penjajahan yang disebutkan pada chapter I, karena penjajahan yang dilakukan oleh Belanda pada abad 16 tidak terlalu menginggalkan konsep tentang Nagara yang baru di Indonesia, sebelum Belanda menjajah, Indonesia atau nusantara ketika itu sudah memiliki konsep tersendiri tentang pemerintahan. Kerajaan adalah bukti nyata sudah ada konsep pemerintahan di Indonesia. Apa yang ditinggalkan Belanda hanyalah bangunan fisik (lebih jelasnya baca di Rutz yang Bab I).

Anda mungkin juga menyukai