Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Budaya Sunda yang di
ampu oleh :
UNIVERSITAS PASUNDAN
BANDUNG
2020/2021
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul ”Falsafah Tritangtu dalam Kehidupan Masyarakat Sunda”.
Makalah ini disusun sebagai salah satu tugas dari mata kuliah Budaya Sunda.
Akhir kata, penulis berharap semoga makalah ini dapat berguna untuk
mahasiswa/i Universitas Pasundan pada khususnya dan pihak yang akan
menggunakan makalah ini untuk berbagai hal pada umumnya.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..............................................................................................1
C. Tujuan Penelitian...............................................................................................1
D. Manfaat Penelitian.............................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Tritangtu..........................................................................................2
B. Penerapan Tritangtu Sunda................................................................................3
C. Pemikiran Tritangtu Sunda................................................................................6
D. Penerapan Konsep Tritangtu..............................................................................6
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan........................................................................................................7
B. Saran..................................................................................................................7
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................. ii
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan falsafah tritangtu dalam kehidupan masyarakat sunda?
2. Bagaimana penerapan tritangtu sunda?
3. Bagaimana pemikiran tritangtu sunda?
4. Bagaimana penerapan konsep tritangtu sunda?
C. Tujuan Penulisam
D. Manfaat Penulisan
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tritangtu
Tri tangtu adalah cara berfikir masyarakat tradisional Sunda. Tri tangtu berasal
dari bahasa Sunda, dimana kata tri atau tilu yang artinya tiga dan tangtu yang artinya
pasti atau tentu. Masyarakat tradisional Sunda memaknai tri tangtu sebagai falsafah
hidup yang berpedoman pada tiga hal yang pasti yakni, Batara Tunggal yang terdiri
dari Batara Keresa, Batara Kawasa dan Batara Bima Karana. Cara berpikir dalam pola
pembagian tiga adalah umum untuk masyarakat Indonesia, karena orang Indonesia
hidup dalam pertanian ladang. Dalam pandangan hidup orang Sunda, ditegaskan
bahwa orang Sunda tidak mengandalkan keyakinan hidupnya itu pada kekuatan diri
sendiri saja, melainkan pada kuasa yang lebih besar, pengguasa tertinggi, sumber dan
tujuan dari segalanya, yang disebut dengan berbagai nama, antara lain Gusti Nu
Murbeg Alam. Konsep filosofi Tritangtu Sunda, sebagai falsafah hidup masyarakat
Sunda di Kabupaten Bandung. Filosofi tritangtu memiliki tiga makna penting tentang
pembagian dunia, tiga dunia itu yakni Buana Nyungcung (Dunia Atas, simbolnya
yaitu Langit, Air, dan Perempuan), Buana Larang (Dunia Bawah, simbolnya yaitu
Bumi, Tanah, dan Laki-laki), dan Buana Pancatengah (Dunia Tengah, simbolnya yaitu
Batu, Manusia, Laki-laki dan Perempuan). Tritangtu Sunda merupakan perspektif
penyatuan tiga dunia dalam kehidupan masyarakat petani. Penyatuan tersebut yaitu
perkawinan Buana Nyungcung dengan Buana Larang, dan Buana Pancatengah-lah
yang menyatukannya. Konsep Tritangtu Sunda berpengaruh terhadap seni tutur
Wawacan yang lazim ditampilkan ke dalam Seni Beluk. Wawacan inilah yang ikut
membentuk pikiran kolektif masyarakat Sunda.
Dalam masyarakat Sunda,tri tangtu diterapkan dalam sejumlah hal, antara lain:
1. Senjata Kujang
Kujang merupakan senjata tradisional kaum petani orang Sunda Jawa Barat yang
terbuat dari besi, baja dan bahan panor. Kujang melambangkan kekuatan dan
keberanian. Dalam kosmologi orang Sunda, tri tangtu terlihat dari struktur lekukan
yang terbagi menjadi pola tiga fungsu yaitu pukul, potong, dan tusuk.
2. Kampung Sunda
Di masa modern seperti saat ini, memang cukup sulit untuk menemukan rumah
adat asli Sunda yang masih sangat kental dengan bambu sebagai material utama
pondasinya. Rumah adat ini sebagian besar menggunakan material yang berasal
dari alam, sehingga memiliki ikatan yang kuat dengan alam, lingkungan dan juga
kesederhanaan. Secara tradisional, rumah adat dari Sunda memiliki bentuk rumah
panggung dengan ketinggian sekitar 0,5 hingga 1 meter di atas permukaan tanah.
Bahkan pada rumah adat yang usianya sudah lebih tua, ketinggian kolong rumah
bisa mencapai 1,8 meter. Bentuk rumah panggung ini dibuat sebagai
penaggulangan untuk bencana gempa bumi atau banjir. Selain itu, bagian kolong
rumah juga digunakan untuk menyimpan alat-alat pertanian, menyimpan kayu
bakar, mengikat hewan ternak, atau makanan untuk hewan ternak. Biasanya, rumah
tradisional ini dilengkapi dengan tangga yang jumlahnya tidak lebih dari tiga buah
anak tangga yang disebut dengan golodog. Golodog berfungsi sebagai tempat untuk
membersihkan kaki sebelum masuk ke dalam rumah.
Dalam tri tangtu sunda penerapan pada rumah adat sunda itu terdiri dari ruang
tengah, ruang belakang, dan ruang depan. Yang tentunya memiliki 3 kegunaan
Bagian Hareup adalah ruang bagian depan yang memiliki fungsi sebagai
teras dan tempat untuk menerima tamu laki-laki. Pada rumah yang masih
sangat tradisional, bagian teras biasanya tidak dilengkapi dengan meja kursi
dan hanya menggelar tikar ketika ada tamu yang datang.
Bagian Tengah Imah atau bagian tengah rumah dibatasi dengan dinding
atau sekat dengan beberapa bilik atau pangkeng di dalamnya. Ruang tengah
ini berfungsi sebagai tempat untuk beristirahat dan juga sebagai ruang
berkumpulnya keluarga.
Contoh dari rumah adat sunda yang masih terjaga adalah di kampung naga
dimana dikampung naga ini memiliki keunikan tersendiri yang bangunan
etniknya masih seragam mulai dari bahan bangunan sampai pada potongan
bangunan dan arah hadapnya. Lalu jumlah bangunan yang ada di kampung naga
tidak kurang dan tidak lebih, karena ada larangan menambah bangunan baru,
disana juga masih kental dengan adat istiadatnya pantrangan atau pamali
merupakan ketentuan hukum yang tidak tertulis yang mereka patuhi seperti tata
cara membangun dan bentuk rumah, letak rumah, arah dan sebagainya.
4. Boboko atau wadah nasi
Boboko adalah suatu tempat untuk mencuci beras atau wadah nasi. Boboko
terbuat dari bambu yang dianyam rapat, berbentuk bundar cembung dengan kaki
segi empat yang disebut soko. Sisi permukaan wadah diberi wengku yang
dililitkan dengan bambu tali. Pada masyarakat Sunda, boboko digunakan juga
untuk menyimpan barang makanan yang akan dikirimkan ke tetangga atau
saudara. Dalam praktiknya tri tangtu sunda pada boboko ini yaitu terdapat pada
bentuknya, dimana tiga bentuk tersebut yakni bundar, segi delapan, dan bujur
sangkar.
Tri tangtu juga diterapkan dalam pemikiran masyarakat tradisional Sunda, antara lain:
Hubungan antara sesama manusia dalam masyarakat sunda pada dasarnya harus
dilandasi sikap silih asah, silih asuh harus saling mengasuh atau membimbing dan
silih asih yaitu saling mengasihi sehingga terciptalah masyarakat yang diwarnai
keakraban kerukunan kedamaian ketentraman, karena hidup harus saling
memahami tanpa selisih. Tri tangtu ini merupakan ruh dalam pengembangan
masyarakat sunda yang senantiasa mengedepankan kebersamaan, rasa sayang, dan
saling mengayomi satu sama lain oleh karena itu silih asah, silih asih, dan silih asuh
tak dapat terpisahkan.
Tekad yaitu keinginan dalam hati, yang di ucapkan oleh bibir dan dilakukan oleh
perbuatan. Hanya perbuatan nyata manusialah yang dapat mengubah dunia, meski
begitu tidak akan ada lampah tanpa tekad dan ucapan, keinginan dan pikiran, tidak
akan mengubah apapun kalau tidak dilaksanakan dalam perbuatan nyata. Maka tri
tangtu ini tidak akan dapat terpisahkan satu sama lainnya.
Filosofi tritangtu memiliki tiga makna penting tentang pembagian dunia, tiga dunia itu
yakni Buana Nyungcung (Dunia Atas, simbolnya yaitu Langit, Air, dan Perempuan),
Buana Larang (Dunia Bawah, simbolnya yaitu Bumi, Tanah, dan Laki-laki), dan Buana
Pancatengah (Dunia Tengah, simbolnya yaitu Batu, Manusia, Laki-laki dan Perempuan).
6. Langit pemberi hujan, tanah yang menumbuhkan tanaman dan manusia yang
memungkinkan itu, dengan mengawinkan langit dan bumi.
Implementasi Tritangtu Sunda yang tertanam pada seni Beluk, ini mampu
diterapkan ke dalam sistim latihan olah vocal untuk keaktoran. Pelatihan aktor
secara teknis bisa menggunakan cara pelantunan hurup-hurup hidup yang terungkap
dari warna vokal yang digunakan dalam teriakan-teriakan atau lengkingan Beluk.
Hurup hidup dalam Beluk, cenderung dominasi pada tiga hurup hidup yakni; “(a-
A)”, “(e-E)”, “(i-I)” dan “(e’-E’)”. Lantunan permainan vokal dengan irama bebas
dalam Beluk, sangat memungkinkan untuk eksplorasi pelatihan vocal aktor. Beluk
menggunakan juga sistem pernafasan Diafrahma, dengan beberapa penekanan pada
vocal tenggorokan dan Head Voice untuk suara-suara yang membutuhkan
lengkingan yang tinggi.
Sebagai sebuah gagasan, penciptaan merupakan hibriditas unsur seni yang
dimiliki teater rakyat Jawa Barat, dengan perkembangan teater modern ke kinian di
Indonesia. Hibriditas unsur-unsur seni tersebut, penulis mengolahnya ke dalam
komposisi antara varian seni Beluk, Tarawangsa, Angklung, dan Wayang Golek,
yang diolah ke dalam pembauran dengan seni visual multimedia masa kini. Dari
unsur yang dimilikinya, dilakukan kolaborasi untuk melihat sisi persamaan dan
keunikan. Pada tahapan ini dilakukan seleksi material dan non material, yang
memiliki kemungkinan untuk dilakukan rekayasa, distorsi, dan stilisasi guna
menemukan kekuatan teatrikalitas yang mampu memberi peluang penciptaan bentuk
‘teater baru’.
Dalam pemilahan material terutama difokuskan pada usaha menemukan model
artistik, dengan berpijak pada filosofi tritangtu Sunda guna penciptaan teater yang
penulis ciptakan. Perwujudan penciptaan, berhasrat melakukan gabungan antara
performing arts, seni rupa pertunjukan, sastra, dan ritual. Hasrat Penciptaan terfokus
pada mimpi-mimpi manusia kelas bawah yang mengalami tingkat pemiskinan dan
termaginalisasi dari kehidupan. Mereka mendapat benturan dengan sosio budayanya,
lingkungan, dengan dirinya sendiri, untuk merebut hidup, untuk ‘menemukan
hakikat hidup, dan jati diri dalam kehidupan’.
Konsep kerja penciptaan terfokus pada proses penyutradaraan, dilalui dengan
tahapan peristiwa yang dialami tokoh, perjalanan tokoh berhadapan dengan dilema
moral pada situasi Buana Pancatengah (Dunia tengah/manusia). Pada tahap ini tokoh
dihadapkan dengan goncangan pikiran dan goncangan bathin, perasaan nasibnya
yang marginal dan tersingkir, kehancuran diri dari konteks sosialnya. Tokoh
kemudian melakukan pergerakan horizontal untuk menemukan Buana Nyungcung
(Dunia atas/langit). Pada tahap ini tokoh dihadapkan dengan rongrongan dan
gangguan dari kekuatan Buana Nyungcung (Dunia atas), sebagai suatu godaan, serta
kejahatan yang menggocang bathin dan pikiran. Gangguan atau chaos tokoh (Dunia
tengah/manusia) yang berhadapan dengan serangan Dunia bawah, termasuk
kegelapan nafsu manusia, memaksa situasi peristiwa si tokoh untuk menemukan
realitas Buana Nyungcung (Dunia atas) yang sebenarnya. Realitas tokoh
menemukan sublime dirinya setelah menemukan Buana Nyungcung. Pada tahap
perjalanan vertikal tokoh meminta dan mengundang bantuan Langit, agar ‘Cahaya
Langit’ mengiringinya di Buana Pancatengah (tengah/manusia) melawan kejahatan
pikiran yang ditimbulkan ‘nafsu manusia kekuasaan’ sebagai realitas Buana Larang
(Dunia bawah). Inilah yang dimaksudkan dengan penciptaan ‘teater provokasi’
sekarang.
BAB III
PENUTUP
B. Kesimpulan
Konsep filosofi Tritangtu Sunda, adalah falsafah hidup milik masyarakat
pola tiga yang hidup berladang di jajaran barisan pegunungan di tanah
Sunda/Pasundan. Falsafah ini diyakini sebagai pedoman hidup pada masyarakat
Pasundan. Dalam masyarakat Sunda,tri tangtu diterapkan dalam sejumlah hal
seperti dalam Senjata Kujang, Kampung Sunda, Rumah adat Sunda, Boboko atau
wadah nasi yang dibuat dari jalinan bambu, selain itu Tri tangtu juga diterapkan
dalam pemikiran masyarakat tradisional Sunda seperti kata Silih asah, silih asuh,
silih asih. Konsep tri tangtu sunda dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari
contohnya dalam penciptaan teater lalu pengembangan aktor dan lainnya.
C. Saran
Diera modern ini kita sudah seharusnya melestarikan kebudayaan sunda
seperti hal nya konsep filosofi sunda ....
DAFTAR PUSTAKA
https://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=&cad=rja&uact=8&ved=2ahUKEwi668DhwaDvAhUmILcA
HTvjBSMQFjACegQIARAD&url=https%3A%2F%2Fid.wikipedia.org%2Fwiki
%2FTri_tangtu&usg=AOvVaw1YQNgJRiedT1DgJ8Dsnie4
https://www.researchgate.net/publication/309959165_PERAN_MODAL_SOSIAL_FILSAFAT_TRI_T
ANGTU_SILIH_DALAM_PEMBERDAYAAN_EKONOMI_MASYARAKAT_DI_DESA_ALAMEN
DAH_RANCABALI_BANDUNG
https://www.researchgate.net/publication/324234236_Rekontruksi_Nilai-
Nilai_Konsep_Tritangtu_Sunda_Sebagai_Metode_Penciptaan_Teater_Ke_Dalam_Bentuk_Teater_Kont
emporer
https://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=&cad=rja&uact=8&ved=2ahUKEwi668DhwaDvAhUmILcA
HTvjBSMQFjAKegQICRAD&url=https%3A%2F%2Fwww.kompasiana.com%2Fwarsa
%2F569f18c7f97a610305550683%2Ftritangtu-dan-harmoni-
kehidupan&usg=AOvVaw3dVaoz01YiZ9pzsckyNJx1
iii