Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

Falsafah Tritangtu dalam Kehidupan Masyarakat Sunda

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Budaya Sunda yang di
ampu oleh :

Ridwan S, S.Pd., M.Pd.Sn.

Disusun Oleh : Kelompok 5

Khatrine Regina S 204020008


Firda Muthia 204020017
Mutiara Septiani 204020020
Reyvika P P 204020036
Ramdani 204020037
Arif Riski Januar 204020041

PROGRAM STUDI AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS PASUNDAN

BANDUNG

2020/2021
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul ”Falsafah Tritangtu dalam Kehidupan Masyarakat Sunda”.
Makalah ini disusun sebagai salah satu tugas dari mata kuliah Budaya Sunda.

Penulis menyadari bahwa didalam penyelesaian makalah ini masih terdapat


banyak kekurangan yang disebabkan oleh keterbatasan data dan kemampuan
penulis yang masih dalam tahap belajar. Untuk itu penulis sangat menghargai
setiap saran dan kritik untuk perbaikan dan pengembangan makalah ini.

Akhir kata, penulis berharap semoga makalah ini dapat berguna untuk
mahasiswa/i Universitas Pasundan pada khususnya dan pihak yang akan
menggunakan makalah ini untuk berbagai hal pada umumnya.

Bandung, April 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................................i

DAFTAR ISI............................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..............................................................................................1
C. Tujuan Penelitian...............................................................................................1
D. Manfaat Penelitian.............................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Tritangtu..........................................................................................2
B. Penerapan Tritangtu Sunda................................................................................3
C. Pemikiran Tritangtu Sunda................................................................................6
D. Penerapan Konsep Tritangtu..............................................................................6
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan........................................................................................................7
B. Saran..................................................................................................................7
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................. ii
ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tritangtu dalam Budaya Sunda merupakan sebuah konklusi-meditatif yang telah


dicetuskan oleh para leluhur atau karuhun Sunda. Totalitas dalam kehidupan merupakan ciri
utama konsep ini. Pembagian masyarakat menjadi tiga kelompok dilakukan bukan untuk
membedakan melainkan untuk meneguhkan posisi dan jati diri setiap individu. Resi,
Rama/Sepuh, dan Ratu menjadi tiga lembaga , berperan dalam mensejahterakan masyarakat;
Ngaping, Ngajaring, Ngaheuyeuk. Ngasah, Ngaasuh, dan Ngaasih. pandangan utama dalam
konsep tritangtu adalah lahirnya keharmonian karena pada dasarnya manusia berasal dari satu
sumber yang sama. Adanya totalitas dan kesinambungan manusia yang dengan yang lain,
hilangnya diferensiasi berdasarkan subyektivitas diri, dan lahirnya kemanunggalan kehidupan
dalam masyarakat. Kesadaran bahwa manusia tidak berbeda dengan semesta mengharuskan
manusia pun menghormati alam dan manusia lainnya. Rakean Dharmasiksa, dalam Naskah
Amanat Galunggung menyebutkan, pentingnya manusia Sunda menghargai nilai-nilai historis
atau masa lalu sebagai pijakan untuk melangkah saat ini. Hana nguni hana mangké, ada dahulu
dan ada sekarang. Jika dielaborasi lebih jauh, masa kini tidak terlepas dari masa lalu. Akar
historis semesta dan kehidupan ini berjalan secara harmoni sesuai dengan kehendak Sang Maha
Pencipta. Maka, dalam naskah Amanat Galunggung tersebut, Dharmasiksa begitu kuat
menyebutkan bagaimana semestinya manusia hidup dalam kehidupan ini agar tetap selaras dan
harmoni. Konflik dan peperangan merupakan hal tabu dalam masyarakat yang memegang teguh
tritangtu sebab kepastian yang lahir dalam kehidupan masyarakat seperti itu adalah kesejajaran
yang dipersatukan oleh fakta subyektif bahwa manusia membutuhkan orang lain bukan dengan
cara paksaan namun memang sudah alamiah.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan falsafah tritangtu dalam kehidupan masyarakat sunda?
2. Bagaimana penerapan tritangtu sunda?
3. Bagaimana pemikiran tritangtu sunda?
4. Bagaimana penerapan konsep tritangtu sunda?

C. Tujuan Penulisam

1. Mengetahui maksud dari falsafah tritangtu masyarakat sunda


2. Mengetahui bagaimana penerapan tritangtu sunda
3. Mengetahui bagaimana pemikiran tritangtu sunda
4. Mengetahui bagaimana penerapan konsep tritangtu sunda

D. Manfaat Penulisan

1. Dapat melestarikan tritangtu sunda ini dengan mempraktikannya dalam kehidupan


sehari-hari
2. Memberikan wawasan mengenai falsafah tritangtu sunda

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Tritangtu

Tri tangtu adalah cara berfikir masyarakat tradisional Sunda. Tri tangtu berasal
dari bahasa Sunda, dimana kata tri atau tilu yang artinya tiga dan tangtu yang artinya
pasti atau tentu. Masyarakat tradisional Sunda memaknai tri tangtu sebagai falsafah
hidup yang berpedoman pada tiga hal yang pasti yakni, Batara Tunggal yang terdiri
dari Batara Keresa, Batara Kawasa dan Batara Bima Karana. Cara berpikir dalam pola
pembagian tiga adalah umum untuk masyarakat Indonesia, karena orang Indonesia
hidup dalam pertanian ladang. Dalam pandangan hidup orang Sunda, ditegaskan
bahwa orang Sunda tidak mengandalkan keyakinan hidupnya itu pada kekuatan diri
sendiri saja, melainkan pada kuasa yang lebih besar, pengguasa tertinggi, sumber dan
tujuan dari segalanya, yang disebut dengan berbagai nama, antara lain Gusti Nu
Murbeg Alam. Konsep filosofi Tritangtu Sunda, sebagai falsafah hidup masyarakat
Sunda di Kabupaten Bandung. Filosofi tritangtu memiliki tiga makna penting tentang
pembagian dunia, tiga dunia itu yakni Buana Nyungcung (Dunia Atas, simbolnya
yaitu Langit, Air, dan Perempuan), Buana Larang (Dunia Bawah, simbolnya yaitu
Bumi, Tanah, dan Laki-laki), dan Buana Pancatengah (Dunia Tengah, simbolnya yaitu
Batu, Manusia, Laki-laki dan Perempuan). Tritangtu Sunda merupakan perspektif
penyatuan tiga dunia dalam kehidupan masyarakat petani. Penyatuan tersebut yaitu
perkawinan Buana Nyungcung dengan Buana Larang, dan Buana Pancatengah-lah
yang menyatukannya. Konsep Tritangtu Sunda berpengaruh terhadap seni tutur
Wawacan yang lazim ditampilkan ke dalam Seni Beluk. Wawacan inilah yang ikut
membentuk pikiran kolektif masyarakat Sunda.

B. Penerapan Tritangtu Sunda

Dalam masyarakat Sunda,tri tangtu diterapkan dalam sejumlah hal, antara lain:

1. Senjata Kujang

Kujang merupakan senjata tradisional kaum petani orang Sunda Jawa Barat yang
terbuat dari besi, baja dan bahan panor. Kujang melambangkan kekuatan dan
keberanian. Dalam kosmologi orang Sunda, tri tangtu terlihat dari struktur lekukan
yang terbagi menjadi pola tiga fungsu yaitu pukul, potong, dan tusuk.

2. Kampung Sunda

Kampung Sunda merupakan sekumpulan masyarakat sunda yang masih memegang


erat adat istiadatnya, yang tentunya masyarakat sunda sebagai pemiliknya,
pelaksananya, dan begitu pula dengan penjaganya ketiga konsep ini disebut dengan
tri tangtu. Kampung sunda ini harus memegang tri tangtu ini karena jika tidak di
jaga bagaimana bisa tetap ada kampung sunda ini, dan jika tidak dimiliki, tidak
akan bisa dijaga. Maka dari itu konsep tri tangtu disini tidak bisa terpisahkan.
3. Rumah adat Sunda

Di masa modern seperti saat ini, memang cukup sulit untuk menemukan rumah
adat asli Sunda yang masih sangat kental dengan bambu sebagai material utama
pondasinya. Rumah adat ini sebagian besar menggunakan material yang berasal
dari alam, sehingga memiliki ikatan yang kuat dengan alam, lingkungan dan juga
kesederhanaan. Secara tradisional, rumah adat dari Sunda memiliki bentuk rumah
panggung dengan ketinggian sekitar 0,5 hingga 1 meter di atas permukaan tanah.
Bahkan pada rumah adat yang usianya sudah lebih tua, ketinggian kolong rumah
bisa mencapai 1,8 meter. Bentuk rumah panggung ini dibuat sebagai
penaggulangan untuk bencana gempa bumi atau banjir. Selain itu, bagian kolong
rumah juga digunakan untuk menyimpan alat-alat pertanian, menyimpan kayu
bakar, mengikat hewan ternak, atau makanan untuk hewan ternak. Biasanya, rumah
tradisional ini dilengkapi dengan tangga yang jumlahnya tidak lebih dari tiga buah
anak tangga yang disebut dengan golodog. Golodog berfungsi sebagai tempat untuk
membersihkan kaki sebelum masuk ke dalam rumah.
Dalam tri tangtu sunda penerapan pada rumah adat sunda itu terdiri dari ruang
tengah, ruang belakang, dan ruang depan. Yang tentunya memiliki 3 kegunaan

1) Hareup atau ruang depan

Bagian Hareup adalah ruang bagian depan yang memiliki fungsi sebagai
teras dan tempat untuk menerima tamu laki-laki. Pada rumah yang masih
sangat tradisional, bagian teras biasanya tidak dilengkapi dengan meja kursi
dan hanya menggelar tikar ketika ada tamu yang datang.

2) Tengah Imah atau tengah rumah

Bagian Tengah Imah atau bagian tengah rumah dibatasi dengan dinding
atau sekat dengan beberapa bilik atau pangkeng di dalamnya. Ruang tengah
ini berfungsi sebagai tempat untuk beristirahat dan juga sebagai ruang
berkumpulnya keluarga.

3) Tukang atau belakang rumah

Bagian Tukang atau belakang rumah berfungsi sebagai dapur untuk


memasak makanan. Bagian ini identik digunakan oleh kaum wanita
sehingga lelaki dianggap tabu untuk memasukinya kecuali dalam keadaan
darurat. Ruangan ini juga menjadi tempat untuk menerima tamu wanita.
Kondisi ini kerap dianggap seolah menyiratkan bagaimana posisi laki-laki
dan perempuan dalam kehidupan masyarakat Sunda.

Contoh dari rumah adat sunda yang masih terjaga adalah di kampung naga
dimana dikampung naga ini memiliki keunikan tersendiri yang bangunan
etniknya masih seragam mulai dari bahan bangunan sampai pada potongan
bangunan dan arah hadapnya. Lalu jumlah bangunan yang ada di kampung naga
tidak kurang dan tidak lebih, karena ada larangan menambah bangunan baru,
disana juga masih kental dengan adat istiadatnya pantrangan atau pamali
merupakan ketentuan hukum yang tidak tertulis yang mereka patuhi seperti tata
cara membangun dan bentuk rumah, letak rumah, arah dan sebagainya.
4. Boboko atau wadah nasi

Boboko adalah suatu tempat untuk mencuci beras atau wadah nasi. Boboko
terbuat dari bambu yang dianyam rapat, berbentuk bundar cembung dengan kaki
segi empat yang disebut soko. Sisi permukaan wadah diberi wengku yang
dililitkan dengan bambu tali. Pada masyarakat Sunda, boboko digunakan juga
untuk menyimpan barang makanan yang akan dikirimkan ke tetangga atau
saudara. Dalam praktiknya tri tangtu sunda pada boboko ini yaitu terdapat pada
bentuknya, dimana tiga bentuk tersebut yakni bundar, segi delapan, dan bujur
sangkar.

C. Pemikiran Tritangtu Sunda

Tri tangtu juga diterapkan dalam pemikiran masyarakat tradisional Sunda, antara lain:

1. Silih asah, silih asuh, silih asih

Hubungan antara sesama manusia dalam masyarakat sunda pada dasarnya harus
dilandasi sikap silih asah, silih asuh harus saling mengasuh atau membimbing dan
silih asih yaitu saling mengasihi sehingga terciptalah masyarakat yang diwarnai
keakraban kerukunan kedamaian ketentraman, karena hidup harus saling
memahami tanpa selisih. Tri tangtu ini merupakan ruh dalam pengembangan
masyarakat sunda yang senantiasa mengedepankan kebersamaan, rasa sayang, dan
saling mengayomi satu sama lain oleh karena itu silih asah, silih asih, dan silih asuh
tak dapat terpisahkan.

2. Tekad, ucap, lampah

Tekad yaitu keinginan dalam hati, yang di ucapkan oleh bibir dan dilakukan oleh
perbuatan. Hanya perbuatan nyata manusialah yang dapat mengubah dunia, meski
begitu tidak akan ada lampah tanpa tekad dan ucapan, keinginan dan pikiran, tidak
akan mengubah apapun kalau tidak dilaksanakan dalam perbuatan nyata. Maka tri
tangtu ini tidak akan dapat terpisahkan satu sama lainnya.

3. Naluri, nurani, nalar


4. Leuweung larangan, leuweung tutupan, dan leuweung garapan.
5. Dunia atas, dunia bawah, dan dunia tengah

Filosofi tritangtu memiliki tiga makna penting tentang pembagian dunia, tiga dunia itu
yakni Buana Nyungcung (Dunia Atas, simbolnya yaitu Langit, Air, dan Perempuan),
Buana Larang (Dunia Bawah, simbolnya yaitu Bumi, Tanah, dan Laki-laki), dan Buana
Pancatengah (Dunia Tengah, simbolnya yaitu Batu, Manusia, Laki-laki dan Perempuan).

6. Langit pemberi hujan, tanah yang menumbuhkan tanaman dan manusia yang
memungkinkan itu, dengan mengawinkan langit dan bumi.

D. Penerapan Konsep Tritangtu

Contoh dalam penerapan konsep tritangtu ini adalah :

- Dalam Penciptaan Teater


Penerapan konsep Tritangtu Sunda sebagai hasil yang dicapai dapat diuraikan
dalam beberapa tahapan temuan, hasilnya berupa pedekatan model
penyutradaraan, konsep desain artistik, konsep struktur penulisan naskah teater,
dan perwujudan akting visual keaktoran. Konsep filosofi Tritangtu Sunda,
diposisikan dan difungsikan sebagai perangkat pendekatan metode
penyutradaraan, untuk penciptaan seni teater masa kini berbasis teater
kontemporer. Arsipatoris budaya sumber sebagai materi literature untuk
penunjang gagasan penciptaan, yang dimulai dari kerja pemindahan teks lisan
Beluk dan tutur wawacan Nata Sukama menjadi naskah teater dengan judul Nata
Sukma.
Hasil yang berkembang dari konsep tritangtu Sunda terhadap pembentukkan
rancangan ke aktoran, dan rancangan teknik penataan model artistik yang
melingkupi desain-desain pemanggungan dapat diurai sebagai berikut;
1. Dunia Atas atau yang disebut Buana Nyungcung (atas), ruang ini cenderung
menunjukan dunia metafisik, tempatnya: Tuhan, Roh, Dewa. Pada ruang
ini dalam pandangan kosmologi Sunda di maknai sebagai tempat:
Penciptaan, Asal-usul, Kasih, Kejahatan, dan Godaan. Sementara
pendekatan laku peran atau akting/visual dapat meliputi: Tubuh Kosmik,
Trance, dan Sakral.
2. Dunia Tengah atau yang disebut Buana Pancatengah (tengah), ruang ini
cenderung menempatkan dunia halus, posisi keberadaanRaja, Pemimpin,
Ksatria. Pada bagian ruang ini, persoalan yang dibangun cenderung pada
soal-soal normatif: Kekuasaan, Ambisi, dan Sikap pemimpin. Tata
pemeranan yang harus dibangun aktor mengesankan akting/visual:
Stilisasi, Terukur Indah, dan Matang.
3. Dunia Bawah atau yang disebut Buana Larang (bawah), pada bagian ruang
ini menempatkan tatanan dunia kasar, bagian posisi: Orang-orang Biasa,
Rakyat, Siluman, Demon . Masalah yang dibangun cenderung pada soal-
soal keseharian menunjukkan: Rasa Senang, Susah, Sakit, Hu- mor,
percobaan. Ruang akting dan visual yang harus dibangun aktor menunjukan:
Fisikal, Distorsi, Stilisasi, Mentah, dan Bebas.
Desain yang tertuang melingkupi pembagian ruang pada pola lantai atau
ploorplan pemanggungan penciptaan teater yang peneliti sebut sebagai ‘teater
provokasi’. Pembagian ruang panggung diurai sebagai berikut : Buana
Nyungcung (Dunia Atas) berada pada Up Stage, Buana Larang (Dunia Bawah)
berada pada Down Stage, dan Buana Pancatengah (Dunia Tengah) berada pada
Cen- ter Stage. Pembagian ploorplan untuk panggung proscenium.
Selanjutnya denah pembagian ruang dari hasil penelitian konsep filosofi
tritangtu Sunda, dapat juga dipetakan untuk desain ploorplan panggung arena tapal
kuda. Pada pembagian ruang panggung Arena Tapal Kuda, ruang mulai
menunjukan kearah persepektif muti fokus. Di mana pandangan audience dapat
terbagi dari tiga arah sudut pandang, dengan perspektif, panggung
memungkinkan untuk terjadi transaksi saling terkait antar tontonan dengan
penonton, antara aktor dan apresiator, antara pertunjukan dan masyarakat.
Sangat memungkinkan untuk terjadi transaksi saling terkait antara aktor,
penonton dan masyarakat ataupun sebaliknya.

- Dalam Pengembangan Aktor

Teater adalah seni tampilan, sehingga kehadiran manusia menjadi media


langsung yang menghidupkan keberadaannya. Ini yang membedakan teater dengan
seni lainnya. Manusia dalam seni teater hadir sebagai medium, memiliki fungsi yang
komplek untuk terbentuknya penciptaan teater. Itulah sebabnya teater cenderung
dipandang sebagai salah satu cabang seni yang bersifat kolektif. Tidak ada
pendekatan yang memiliki potensi lebih besar dari teater, karena manusia
merupakan pokok bahasannya dan manusia adalah media utamanya. Teater pada
intinya terletak pada pertemuan antara manusia dan manusia. Medium teater
sebenarnya ada pada aktor yang dalam hal ini manusianya, “...media dalam seni
peran adalah diri si pemeran itu sendiri. Pada tubuh pemeran seperti juga manusia
lainnya adalah tubuh dan sukmanya” (Anirun, 2002: 61).
Persiapan tubuh dan sukma para pemain dalam penciptaan teater ini, dilalui
dengan serangkaian latihan yang berkaitan dengan penciptaan naskah lakon teater
Nata Sukma. Latihan-latihan yang dimaksud berupa observasi dan eksplorasi
lingkungan, yang diterapkan kepada para pemain dalam hal mengenal tubuh
lingkungan. Observasi dan ekplorasi sistim latihan, dilalui dengan serangkaian
pengamatan pada prilaku kehidupan budaya tani, melatih ingatan emosi pemain
terhadap ingatan masa lalu tempat kelahirannya, melalui pemahaman literasi lewat
arsip-arsip audio- visual seni pertunjukan masyarakat pertanian Sunda. Bahkan
dilakukan juga serangkaian pendekatan gejala- gejala prilaku psikologi tubuh dari
kecenderungan masyarakat urban perkotaaan akibat modernisme dan industrialisasi.
Dari pengamatan tersebut, kemudian diserap dan ditransformasi pada sistim
latihan keaktoran untuk mempertajam kepekaan tubuh aktor. Sehingga aktor ketika
membawakan peranannya dalam penciptaan teater Nata Sukma, akan lebih mampu
menggunakan talenta tubuh dan sukmanya, yang telah terisi dengan upaya
pendekatan emosi sosial baik secara fisik maupun psikologis masyarakat petani dan
kontaminasi.

Implementasi Tritangtu Sunda yang tertanam pada seni Beluk, ini mampu
diterapkan ke dalam sistim latihan olah vocal untuk keaktoran. Pelatihan aktor
secara teknis bisa menggunakan cara pelantunan hurup-hurup hidup yang terungkap
dari warna vokal yang digunakan dalam teriakan-teriakan atau lengkingan Beluk.
Hurup hidup dalam Beluk, cenderung dominasi pada tiga hurup hidup yakni; “(a-
A)”, “(e-E)”, “(i-I)” dan “(e’-E’)”. Lantunan permainan vokal dengan irama bebas
dalam Beluk, sangat memungkinkan untuk eksplorasi pelatihan vocal aktor. Beluk
menggunakan juga sistem pernafasan Diafrahma, dengan beberapa penekanan pada
vocal tenggorokan dan Head Voice untuk suara-suara yang membutuhkan
lengkingan yang tinggi.
Sebagai sebuah gagasan, penciptaan merupakan hibriditas unsur seni yang
dimiliki teater rakyat Jawa Barat, dengan perkembangan teater modern ke kinian di
Indonesia. Hibriditas unsur-unsur seni tersebut, penulis mengolahnya ke dalam
komposisi antara varian seni Beluk, Tarawangsa, Angklung, dan Wayang Golek,
yang diolah ke dalam pembauran dengan seni visual multimedia masa kini. Dari
unsur yang dimilikinya, dilakukan kolaborasi untuk melihat sisi persamaan dan
keunikan. Pada tahapan ini dilakukan seleksi material dan non material, yang
memiliki kemungkinan untuk dilakukan rekayasa, distorsi, dan stilisasi guna
menemukan kekuatan teatrikalitas yang mampu memberi peluang penciptaan bentuk
‘teater baru’.
Dalam pemilahan material terutama difokuskan pada usaha menemukan model
artistik, dengan berpijak pada filosofi tritangtu Sunda guna penciptaan teater yang
penulis ciptakan. Perwujudan penciptaan, berhasrat melakukan gabungan antara
performing arts, seni rupa pertunjukan, sastra, dan ritual. Hasrat Penciptaan terfokus
pada mimpi-mimpi manusia kelas bawah yang mengalami tingkat pemiskinan dan
termaginalisasi dari kehidupan. Mereka mendapat benturan dengan sosio budayanya,
lingkungan, dengan dirinya sendiri, untuk merebut hidup, untuk ‘menemukan
hakikat hidup, dan jati diri dalam kehidupan’.
Konsep kerja penciptaan terfokus pada proses penyutradaraan, dilalui dengan
tahapan peristiwa yang dialami tokoh, perjalanan tokoh berhadapan dengan dilema
moral pada situasi Buana Pancatengah (Dunia tengah/manusia). Pada tahap ini tokoh
dihadapkan dengan goncangan pikiran dan goncangan bathin, perasaan nasibnya
yang marginal dan tersingkir, kehancuran diri dari konteks sosialnya. Tokoh
kemudian melakukan pergerakan horizontal untuk menemukan Buana Nyungcung
(Dunia atas/langit). Pada tahap ini tokoh dihadapkan dengan rongrongan dan
gangguan dari kekuatan Buana Nyungcung (Dunia atas), sebagai suatu godaan, serta
kejahatan yang menggocang bathin dan pikiran. Gangguan atau chaos tokoh (Dunia
tengah/manusia) yang berhadapan dengan serangan Dunia bawah, termasuk
kegelapan nafsu manusia, memaksa situasi peristiwa si tokoh untuk menemukan
realitas Buana Nyungcung (Dunia atas) yang sebenarnya. Realitas tokoh
menemukan sublime dirinya setelah menemukan Buana Nyungcung. Pada tahap
perjalanan vertikal tokoh meminta dan mengundang bantuan Langit, agar ‘Cahaya
Langit’ mengiringinya di Buana Pancatengah (tengah/manusia) melawan kejahatan
pikiran yang ditimbulkan ‘nafsu manusia kekuasaan’ sebagai realitas Buana Larang
(Dunia bawah). Inilah yang dimaksudkan dengan penciptaan ‘teater provokasi’
sekarang.
BAB III
PENUTUP

B. Kesimpulan
Konsep filosofi Tritangtu Sunda, adalah falsafah hidup milik masyarakat
pola tiga yang hidup berladang di jajaran barisan pegunungan di tanah
Sunda/Pasundan. Falsafah ini diyakini sebagai pedoman hidup pada masyarakat
Pasundan. Dalam masyarakat Sunda,tri tangtu diterapkan dalam sejumlah hal
seperti dalam Senjata Kujang, Kampung Sunda, Rumah adat Sunda, Boboko atau
wadah nasi yang dibuat dari jalinan bambu, selain itu Tri tangtu juga diterapkan
dalam pemikiran masyarakat tradisional Sunda seperti kata Silih asah, silih asuh,
silih asih. Konsep tri tangtu sunda dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari
contohnya dalam penciptaan teater lalu pengembangan aktor dan lainnya.

C. Saran
Diera modern ini kita sudah seharusnya melestarikan kebudayaan sunda
seperti hal nya konsep filosofi sunda ....
DAFTAR PUSTAKA

https://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=&cad=rja&uact=8&ved=2ahUKEwi668DhwaDvAhUmILcA
HTvjBSMQFjACegQIARAD&url=https%3A%2F%2Fid.wikipedia.org%2Fwiki
%2FTri_tangtu&usg=AOvVaw1YQNgJRiedT1DgJ8Dsnie4

https://www.researchgate.net/publication/309959165_PERAN_MODAL_SOSIAL_FILSAFAT_TRI_T
ANGTU_SILIH_DALAM_PEMBERDAYAAN_EKONOMI_MASYARAKAT_DI_DESA_ALAMEN
DAH_RANCABALI_BANDUNG

https://www.researchgate.net/publication/324234236_Rekontruksi_Nilai-
Nilai_Konsep_Tritangtu_Sunda_Sebagai_Metode_Penciptaan_Teater_Ke_Dalam_Bentuk_Teater_Kont
emporer

https://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=&cad=rja&uact=8&ved=2ahUKEwi668DhwaDvAhUmILcA
HTvjBSMQFjAKegQICRAD&url=https%3A%2F%2Fwww.kompasiana.com%2Fwarsa
%2F569f18c7f97a610305550683%2Ftritangtu-dan-harmoni-
kehidupan&usg=AOvVaw3dVaoz01YiZ9pzsckyNJx1
iii

Anda mungkin juga menyukai