Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

MAKNA THK SECARA HISTORIS DAN GENERIK,


EMPAT KECERDASAN MENURUT PERSPEKTIF THK

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Technopreneur Teknologi Pendidikan berbasis THK
Dosen Pengampu :
Prof. Dr. Ni Nyoman Parwati, M.Pd.
Dr. I Komang Sudarma, S.Pd., M.Pd.

Oleh:
Gede Agus Juniarta : 2329071001
Romi Hartono : 2329071015
I Kadek Wihendradinata : 2329071019

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PENDIDIKAN


PASCASARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
SEPTEMBER 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmat dan karunia-Nya,
sehingga makalah ini dapat diselesaikan. Makalah ini dibuat untuk memenuhi
tugas mata kuliah Technopreneur Teknologi Pendidikan berbasis THK.

Makalah ini berisi rangkuman materi Makna Tri Hita Karana secara historis dan
generik serta empat kecerdasan menurut perspektif Tri Hita Karana. Penulis
berharap makalah ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan bagi kita
semua.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih perlu ditingkatkan lagi mutunya.
Oleh karena itu kritik dan saran dari berbagai pihak yang membangun
sangat diharapkan.

Singaraja, 10 September 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Latar Belakang............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.......................................................................................2
C. Tujuan Penulisan.........................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................3
A. Makna THK Secara Historis dan Generik...............................................3
1. Makna THK secara Historis......................................................................3
2. Makna THK secara Generik......................................................................6
B. Empat Kecerdasan Menurut Perspektif THK.........................................6
1. Kecerdasan Emosional- Spiritual..............................................................6
2. Kecerdasan Intelektual-emosional............................................................8
3. Kecerdasan Pawongan...............................................................................9
4. Kecerdasan Palemahan..............................................................................9
BAB III KESIMPULAN......................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................11

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Secara historis konsep Tri Hita Karana telah diterapkan sejak jaman
prasejarah oleh Masyarakat Bali. Kehidupan penduduk prasejarah dimulai dari
masa berburu dan mengumpulkan makanan dengan hidup berpindah-pindah
(Nomaden), masa pertanian/bercocok tanam, hingga pada masa perundagian.
Kehidupan masyarakat jaman prasejarah sangat bergantung pada alam, terutama
pada masa berburu dan mengumpulkan makanan. Masa pertanian/bercocok tanam
masyarakat memproduksi sendiri makanannya dengan mengolah alam, terlihat
bahwa mereka telah mengenal konsep palemahan pada THK. Penemuan prasasti
Kintamani E yang berangka tahun 1200 Masehi yang menyatakan hubungan
daerah pegunungan dan pesisir di Bali. Hal ini menggambarkan pawongan dalam
konsep Tri Hita Karana. Adanya peninggalan sejarah berupa artefak logam
sebagai bekal kubur yang diletakkan didalam sarkopagus pada beberapa desa di
Bali yang erat kaitannya dengan kepercayaan animisme membuktikan konsep
parahyangan pada THK.
Konsep Tri Hita Karana terus berkembang dalam setiap aspek kehidupan,
merupakan falsafah hidup tangguh. Falsafah tersebut memiliki konsep yang dapat
melestarikan keanekaragaman budaya dan lingkungan di tengah hantaman
globalisasi dan homogenisasi. Pada dasarnya hakikat ajaran Tri Hita Karana
menekankan tiga hubungan manusia dalam kehidupan di dunia ini. Ketiga
hubungan itu meliputi hubungan dengan sesama manusia, hubungan dengan alam
sekeliling dan hubungan dengan Tuhan yang saling terkait satu sama lain. Setiap
hubungan memiliki pedoman hidup menghargai sesama aspek sekelilingnya.
Prinsip pelaksanaannya harus seimbang, selaras antara satu dan lainnya.
Apabila keseimbangan tercapai, manusia akan hidup dengan menjauhi
segala tindakan berakses buruk. Hidupnya akan seimbang, tentram, dan damai.
Hubungan antara manusia dengan alam lingkungan perlu terjalin secara harmonis,
bilamana keharmonisan tersebut dirusak oleh tangan-tangan yang jahil, bukan

1
2

mustahil alam akan murka dan memusuhinya. Jangan salahkan bilamana terjadi
musibah, kalau ulah manusia suka merusak alam lingkungan. Tidak disadari
bahwa alam lingkungan telah memberikan kebebasan kepada manusia untuk
dimanfaatkan sebesar- besarnya guna kesejahteraan hidupnya.
Hakikat mendasar Tri Hita Karana mengandung pengertian tiga penyebab
kesejahteraan itu bersumber pada keharmonisan hubungan antara manusia dengan
Tuhannya, manusia dengan alam lingkungannya, dan manusia dengan sesamanya.
Dengan menerapkan falsafah tersebut diharapkan dapat menggantikan pandangan
hidup modern yang lebih mengedepankan individualisme dan materialisme.
Membudayakan Tri Hita Karana akan dapat memupus pandangan yang
mendorong konsumerisme, pertikaian dan gejolak.
Selain itu, masyarakat Bali mengajarkan masyarakatnya dan memegang
teguh konsep Tri Hita Karana, dan mengimplementasikannya dalam kehidupan
sehari-hari. Tri berarti tiga dan Hita Karana berarti penyebab kebahagiaan untuk
mencapai keseimbangan dan keharmonisan.
Tri Hita Karana terdiri dari : Parahyangan yaitu hubungan yang seimbang
antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa, Pawongan artinya hubungan yang
harmonis antara manusia dengan manusia lainnya, dan Palemahan artinya
hubungan yang harmonis antara manusia dengan lingkungan alam sekitarnya.

B. Rumusan Masalah
Adapun masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah:
1. Apa makna Tri Hita Karana secara historis dan generik ?
2. Apa saja empat kecerdasan menurut perspektif Tri Hita Karana ?

C. Tujuan Penulisan
Beberapa tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Mengetahui makna Tri Hita Karana secara historis dan generik
2. Mengetahui empat kecerdasan menurut perspekstif Tri Hita Karana

A.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Makna THK Secara Historis dan Generik


1) Makna THK secara Historis
Makna THK secara Historis Saat ini, istilah Tri Hita Karana (THK) sangat
terkenal terutama bagi masyarakat Hindu di Bali. Konsep THK sudah diterapkan
sejak jaman prasejarah oleh masyarakat Bali. Trikotomi adalah tiga bentuk
pengelompokan hubungan yang terdiri dari hubungan manusia dengan manusia,
hubungan manusia dengan lingkungan alam, dan hubungan manusia dengan roh
leluhur (Tuhan) (Atmadja, 2020).
Kehidupan penduduk prasejarah semakin lama semakin berkembang mulai
dari masa berburu dan mengumpulkan makanan dengan hidup berpindah-pindah
(Nomaden), masa pertanian/bercocok tanam, hingga pada masa perundagian
(Kemampuan teknik) (Sudrajat, 2012). Kehidupan masyarakat jaman prasejarah
sangat bergantung pada alam, terutama pada berburu dan mengumpulkan
makanan.Pada tahap ini, kehidupan masyarakat sangat tergantung pada alam
karena mereka hanya berburu atau memetik tanaman dari alam, dan belum
mampu memproduksi makanan.Oleh karena itu, apabila makanan ditempat
mereka habis, mereka akan selalu berpindah ke tempat lain yang persediaan
makanannya masih mencukupi. Selain tempat mencari makan, lingkungan juga
berperan penting untuk menyediakan tempat tinggal bagi masyarakat pada jaman
prasejarah. Gua dipilih karena dapat digunakan sebagai tempat untuk berteduh
dari hujan maupun sinar matahari, sedangkan di dekat aliran air atau sungai
biasanya banyak terdapat makanan seperti ikan maupun hewan lain yang mencari
minum.
Pada masa bercocok tanam, masyarakat memproduksi sendiri makanan-nya
dengan mengolah alam seperti berternak dan membuat perkebunan.Hal ini
menunjukkan manusia pada jaman prasejarah memiliki kaitan erat dengan
lingkungan alam. Dengan demikian, terlihat bahwa mereka telah mengenal konsep
palemahan pada THK. Masyarakat Bali mulai menetap secara permanen melalui

3
4

kelompok-kelompok kecil dimulai pada masa bercocok tanam dan perundagian


(Sutaba, dalam Atmadja, 2020). Banyak anggota dalam suatu kelompok
ditentukan oleh luas daerah dan ketersediaan makanan pada daerah tersebut,
sehingga jika suatu kelompok melebihi jumlah optimal, maka sebagia kelompok
tersebut akan memisahkan diri.Pada masa ini masyarakat berusaha memenuhi
kebutuhan hidupnya dengan cara pembagian tugas atau gotong royong (Ardika
dkk, 2017).Keterikatan antar sesama masyarakat tidak hanya terjalin pada satu
kelompok, melainkan antara kelompok yang satu dengan kelompok yang
lainnya.Terlebih lagi apabila ada bahan kebutuhan yang tidak tersdia padasuatu
wilayah yang ditempati oleh kelompok tertentu , maka mereka harus mencari ke
wilayah lain yang telah ditempati kelompok lain.Hal ini ditunjukkan oleh sebuah
prasasti E berangka tahun 1200 masehi menyebutkan bahwa terjadi pertukaran
hasil alam antara kelompok masyarakat daerah Kintamani (pegunungan) dengan
daerah pesisir utara Bali yakni Les, Paminggir, Hiliran, Buhundalem, Julaj,
Puerwwasidhi, Inrapura, Bulian dan Manasa (Ardika dkk, 2017).Gambaran ini
menunjukkan hubungan antar masyarakat bali pada jaman prasejarah yang dalam
THK disebut Pawongan.Kehidupan pada masa prasejarah tidak hanya berkaitan
dengan hubungan manusia dengan lingkungan, hubungan manusia dengan
manusia lainnya, tetapi juga hubungan antara manusia dengan suatu kekuatan
adikodrati.Hal ini dapat diperjelas dengan adanya kepercayaan animism dan
dinamisme.Menurut Afandi (2016) Kepercayaan Dinamisme adalah keyakinan
atau kepercayaan bahwa benda-benda tertentu yang ada di bumi seperti gua,
pohon, atau batu besar memiliki kekuatan gaib yang harus di hormati agar
kekuatan tersebut tersebut tidak mengganggu manusia, melainkan dapat
membantu mereka dalam menjalani kehidupan. Kepercayaan animisme dapat
dilihat dari adanya peninggalan sejarah berupa artefak logam sebagai bekal kubur
yang diletakkan didalam sarkopagus pada beberapa desa di Bali salah satunya
adalah di desa Manikliu, Kintamani.Kepercayaan masyarakat seperti ini
membuktikan bahwa mereka telah mengenal konsep Parhyangan dalam
THK.Masyarakat Bali dapat menerima Agama hindu karena ada kesamaan dengan
kepercayaan trikotomi yang telah dijalankan oleh masyarakat Bali.Begitu pula
5

Agama Hindu dapat menerima kepercayaan orang Bali akan kekuatan-kekuatan


alam karena tidak bertentangan Agama Hindu.

2) Makna THK secara Generik

Melalui trikotomi, konsep-kosep yang ada di dalam THK sudah dijalankan


oleh masyarakat Bali sejak jaman prasejarah. Istilah Tri Hita Karana Karana
pertama kali muncul pada tanggal 11 Nopember 1966, pada waktu
diselenggarakan Konferensi Daerah l Badan Perjuangan Umat Hindu Bali
bertempat di Perguruan Dwijendra Denpasar. Konferensi tersebut diadakan
berlandaskan kesadaran umat Hindu akan dharmanya untuk berperan serta dalam
pembangunan bangsa menuju masyarakat sejahtera, adil dan makmur berdasarkan
Pancasila.Kemudian istilah Tri Hita Karana ini berkembang, meluas, dan
memasyarakat.
Tri Hita Karana bersifat universal merupakan landasan hidup menuju
kebahagiaan lahir dan batin.Jadi Tri Hita Karana artinya tiga hubungan yang
harmonis yang menyebabkan kebahagiaan bagi umat manusia.(Wisesa, 2016)
menyampaikan bahwa pada dasarnya ajaran THK menekankan tiga hubungan
manusia dalam kehidupan di dunia ini.Ketiga hubungan itu meliputi hubungan
antar sesama manusia, hubungan manusia dengan lingkungan sekitar, dan
hubungan manusia dengan Tuhan Setiap hubungan memiliki pedoman hidup
menghargai sesama aspek sekelilingnya. Hal ini dapat ditunjukkan oleh gambar
1.Tri Hita Karana Pada gambar 1, hubungan manusia dengan tuhan (Parahyangan)
berada paling atas karena Tuhan menciptakan alam semesta beserta isinya. Bentuk
ajaran THK dalam hal Pahyangan dapat ditunjukkan dengan sujud bakti
menghanturkan yadnya dan persembahan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa
(Purana, 2016).
Manusia berada sejajar dengan alam, sebab manusia juga merupakan
bagian dari lingkungan yang didalamnya terdapat binatang dan tumbuh-
tumbuhan.Walaupun demikian manusia lebih unggul daripada binatang dan
tumbuhan karena manusia memiliki pikiran yang digunakan untuk mengolah
alam.Dalam THK, manusia juga harus mampu memiliki hubungan yang baik
antar sesama maupun dengan lingungan sekitarnya.Hal ini sesuai dengan aliran
agama Hindu yang bersifat Pantheisme. Masyarakat Hindu di Bali percaya jika
6

manusia menghormati dan menjaga alam, maka secara tidak langsung mereka
menunjukkan baktinya ke Tuhan. Dengan diterapkan paham patheisme,
Palemahan dapat terlihat lebih nyata pada tradisi orang Bali. Banyak pohon-pohon
besar, sumber mata air, maupun tempat tertentu lainnya disucikan oleh masyarakat
Bali. Mereka percaya bahwa terdapat atau magis pada tempat tersebut, misalnya
Hutan (Alas) Kedaton di Tabanan, Hutan Wisata Kera Sangeh di Badung, Goa
Lawah di Klungkung, dan lain lain.Untuk memperkuat keterkaitan antara THK
dengan pantheisme maka dibangun pura sebagai tempat bersemayam para Dewa
sekaligus mengawasi tempat-tempat tersebut. Dengan cara ini, tempat tersebut
akan dianggap angker dan tidak berani dirusak oleh siapapun sehingga kelestarian
lingkungannya selalu terjaga. Dijelaskan bahwa Tuhan menciptakan manusia
dengan Yadnya, dan dengan Yadnya pula manusia akan memperoleh
kebaikan.Mengacu pada hal tersebut, manusia wajib meniru sifat Tuhan yang
telah menciptakan alam diawali dengan yadnya, yaitu memberi.Jika hal ini
dikaitkan dengan Pawongan, maka keharmonisan hubungan antar manusia akan
terwujud, karena seseorang bersedia memberi sesuatu kepada orang lain.Dengan
cara seperti ini, si penerima akan membalasnya juga dengan yadnya.Masyarakat
yang telah memiliki kesadaran bahwa “lebih baik memberi daripada meminta”
dengan sendirinya akan mampu menciptakan keharmonisan sosial.

B. Empat Kecerdasan Menurut Perspektif THK


1) Kecerdasan Emosional- Spiritual
Menurut Setyowati dalam jurnal dakwah dan komunikasi (2019)
Kecerdasan emosional merupakan kemampuan memantau dan mengendalikan
perasaan sendiri dan orang lain, serta menggunakan perasaan-perasaan itu untuk
memandu pikiran dan tindakan (Setyowati, 2010).
Kecerdasan spiritual merupakan kecendasan menghadapi dan memecahkan
persoalan makna dan nilai dalam hidup, yaitu berupa kecerdasan menempatkan
perilaku dalam konteks makna yang lebih luas, sehingga kecerdasan spiritual
menjadi landasan pokok yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara
efektif.
7

Pasek (2015) berpendapat bahwa kecerdasan spiritual adalah kemampuan


manusia memaknai bagaimana arti dari kehidupan serta memahami nilai tersebut
dari setiap perbuatan yang dilakukan dan kemampuan potensial setiap manusia
yang menjadikan seseorang dapat menyadari dan menentukan makna, nilai, moral,
serta cinta terhadap kekuatan yang lebih besar dan sesama mahkluk hidup karena
merasa sebagai bagian dari keseluruhan, sehingga membuat manusia dapat
menempatkan diri dan hidup lebih positif dengan penuh kebijaksanaan,
kedamaian, dan kebahagiaan yang hakiki.
Kecerdasan emosional memungkinkan individu memutuskan suatu hal
dengan tepat berdasarkan situasi dan kondisi, dan kecerdasan spiritual
mengarahkan pada kesadaran individu terkait dimana dan dalam situasi ia berada.
Sekilas dapat diasumsikan bahwa kecerdasan manusia menjadi sempurna
dilengkapi dengan potensi kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient/ SQ).
Dalam ajaran Tri Hita Karana terkandung aspek-aspek dan komponen
kecerdasan spiritual dan emosional yang di dalamnya.
a. Kecerdasan spiritual
b. Kecerdasan personal
c. Kecerdasan sosial

Menurut pandangan filosofi (Tri Hita Karana) ada tiga penyebab yang
akan membawakan kebahagiaan bagi manusia. Filosofi THK mengandung unsur-
unsur: kecerdasan spiritual dan kecerdasan sosial yang sangat mendalam. Tri Hita
Karana dikemas secara ilmiah menjadi tiga bagian, antara lain:

1. Dalam Parahyangan, keharmonisan kita dengan Brahman sang


pencipta.
2. Dalam Palemahan: keharmonisan kita dengan alam yang diolah tajam.
3. Dalam Pawongan, hubungan harmonis dengan sesama manusia
sebagai pelatihan dan aplikasi kecerdasan sosial.

Dengan penerapan filosofi Tri Hita Karana dalam kehidupan kita


sehari-hari akan menjadikan kita orang yang cerdas, yang meliputi:
- Cerdas mental (IQ)
- Cerdas hati (EQ)
8

- Cerdas jiwa (SQ)

Individu yang cerdas secara emosional-spiritual dapat memberi


sumbangan kepada pengembangan emosi dan spiritual sekolah, keluarga,
masyarakat, bangsa, dan Negara. Individu yang cerdas mampu meningkatkan
kemampuan olah rasa, olah hati/kalbu, kepekaan, keimanan, ketakwaan, akhlak
mulia, budi pekerti luhur seluruh warga. Berkenaan dengan ability/ kemampuan
berpikir, berbuat, mengelola emosi dan spirit untuk meningkatkan kemampuan
olah rasa, olah hati/kalbu, kepekaan, keimanan, ketakwaan, akhlak mulia, budi
pekerti luhur, penghayatan atman Pengembangan keharmonisan dengan Tuhan
(parhyangan).

2) Kecerdasan Intelektual-emosional
Intelektual adalah kecerdasan berfikir dan otak cemerlang yang
mengelolah otak kanan dan otak kiri secara berimbang. Kecerdasan intelektual
adalah kecerdasan kognitif yang dimiliki individu secara global agar bertindak
secara terarah dan berfikir secara bermakna sehingga dapat menyelesaikan
masalah, Badjuri (2019). Manusia pada dasarnya memiliki kecerdasan yang
saling mendukung. Salah satunya adalah kecerdasan intelektual-emosional, atau
lebih dikenal dengan sebutan IQ (intellegence quotient). Kecerdasan ini lebih
merujuk pada tingkat kemampuan seseorang dalam berbagai hal. Dalam hal ini,
yang dimaksud dengan kecerdasan intelektual adalah kemampuan dalam menalar,
memecahkan masalah, berpikir abstrak, memahami gagasan dan masih banyak
lagi. Berkenaan dengan ability/ kemampuan olah pikir, berbuat, mengelola diri
untuk memperoleh kompetensi dan kemandirian dalam ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni, bersikap kritis, kreatif dan imajinatif. Individu yang cerdas
secara intelektual dapat memberi sumbangan kepada pengembangan kompetensi
dan kemandirian dalam ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, bersikap kritis,
kreatif dan imajinatif. Contoh kecerdasan intelektual dalam kehidupan nyata dapat
dijumpai dalam beberapa bidang kehidupan. Seperti diketahui bersama kehidupan
bermasyarat yang berjalan terdiri dari beberapa unsur yang saling berkaitan antara
satu dan lainnya. Dimana setiap unsur membutuhkan sosok atau figur yang
menjadi panutan. Dan figur yang dibutuhkan adalah sosok yang memiliki
kecerdasan intelektual yang tinggi.
9

3) Kecerdasan Pawongan
Unsur pawongan meletakkan konsep harmonisasi hubungan sesama
manusia, pengembangan potensi diri, inisiatif dan kreativitas manusia,
kebutuhan hidup, bersama, tolong menolong, norma dan etika sosial antar asrama
antar warga, adat istiadat, awig-awig, membangun pola hubungan vertikal dalam
Catur Asrama (Brahmacari, Grihasta, Wanaprasta, Bhiksuka), serta hubungan
horizontal dalam Catur Warna (Brahmana, Ksatria, Waisya, Sudra), serta konsep
nyame braye. Berkenaan dengan ability/ kemampuan berpikir, berbuat, mengelola
secara sosial mengefektifkan pengembangan keseimbangan dan keharmonisan
antar individu (pawongan). Individu yang cerdas secara sosial dapat memberi
sumbangan kepada pengembangan hubungan timbal balik, demokratis, empatik
dan simpatik, menjunjung tinggi hak asasi manusia, ceria dan percaya diri,
menghargai kebhinekaan dalam bermasyarakat dan bernegara, serta berwawasan
kebangsaan dan lingkungan hidup dengan kesadaran akan hak dan kewajiban
sebagai warga negara.

4) Kecerdasan Palemahan
keharmonisan antara manusia dengan lingkungan (palemahan), Unsur
palemahan meletakkan konsep keseimbangan dan harmonisasi hubungan antara
manusia dengan alam. Pemanfaatan palemahan, pengorganisasian palemahan,
kesempatan hidup sehat, bugar, dan produktif bersama alam, kesejahteraan dari
alam, pelestarian alam, pengindaran bencana alam. Palemahan merupakan
tempat penyelenggaraan pendidikan atau pelatihan dalam hal untuk
pengembangan diri, pengembangan seni-budaya, pengembangan kemampuan
berorganisasi, kepemimpinan, peningkatan kemampuan berkomunikasi,
kemampuan menggunakan teknologi, kemampuan bekerja, oleh karena itu
dibutuhkan lingkungan yang dapat mendukung proses peningkatan mutu sumber
daya manusia. Oleh karena itu membangun kesadaran akan keseimbangan dan
harmonisasi hubungan antara manusia dengan alam. Penataan bangunan
menggunakan konsep tri mandala yaitu utama, madya, dan kanista sesuai jenis
dan peruntukannya. Nilai-nilai keberadaan unsur palemahan.
BAB III

KESIMPULAN

Trikotomi adalah tiga bentuk pengelompokan hubungan yang terdiri dari


hubungan manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan lingkungan alam,
dan hubungan manusia dengan roh leluhur yang sudah ada sejak zaman prasejarah
di Bali. Dari kesamaan dengan kepercayaan, trikotomi menjadi akar terbentuknya
Tri Hita Karana bagi Masyarakat hindu di Bali dan pada 11 November 1966,
Konferensi Daerah l Badan Perjuangan Umat Hindu Bali bertempat di Perguruan
Dwijendra Denpasar menjadi awal munculnya istilah Tri Hita Karana di Bali.
Hubungan yang harmonis adalah tujuan dari THK dengan keseimbangan tiga
hubungan manusia yang terdiri dari hubungan antara manusia dengan Tuhannya
(Parahyangan), manusia dengan sesamanya (Pawongan), dan manusia dengan
lingkungan alamnya (Palemahan). Dalam keberlangsungan Pendidikan kearifan
lokal di Bali guna mempertahankan mutu dan kualitas Pendidikan baik secara
nasional dan internasional, Lembaga Pendidikan hendaknya dapat
mengembangkan empat kecerdasan menurut perspektif THK yaitu kecerdasan
emosional-spiritual, , kecerdasan Palemahan, dan kecerdasan Pawongan
berdasarkan nilai-nilai hidup harmonis dan seimbang antara manusia dengan
Tuhan Yang Maha Esa (parahyangan), antar sesama manusia (pawongan).

10
DAFTAR PUSTAKA

Ardika, I.W., Setiawan, I.K., Srijaya, I.W. dan Bawono,R.A.(2017). Stratifikasi


Sosial pada Masa Prasejarah di Bali. Jurnal Kajian Bali,7(1),33-56.
Padet, I.W. & Krishna, I.B.W. (2018). Falsafah Hidup dalam Konsep Kosmologi
Tri Hita Karana. Genta Hredaya, 2(2),37-43.
Parwati, N.N.& Sudarma, K.I. (2020). E-Modul Technopreneur Teknologi
Pendidikan berbasis THK. Diakses pada 6 September 2023, dari
https://fliphtml5.com/xjwwg/rydq/basic.
Ratnasari, S. L., Supardi, S., & Nasrul, H. W. (2020). Kecerdasan Intelektual,
Kecerdasan Emosional, Kecerdasan Spiritual, Dan Kecerdasan Linguistik
Terhadap Kinerja Karyawan. Journal of Applied Business Administration,
4(2), 98-107.
Urumsah, D., Wicaksono, A. P., & Pratama, A. J. P. (2016). Melihat jauh ke
dalam: Dampak kecerdasan spiritual terhadap niat melakukan kecurangan.
Jurnal Akuntansi dan Auditing Indonesia, 20(1), 48-55.
Yhani, C. & Supastri, M. (2020). Filsafat Tri Hita Karana sebagai landasan
menuju Harmonisasi dan Hidup Bahagia. Sruti: Jurnal Agama Hindu,
1(1),36-44.

11

Anda mungkin juga menyukai