Anda di halaman 1dari 25

TIPOLOGI SUHUNAN RUMAH ADAT :

SUHUNUNAN JOLOPONG DI KECAMATAN TOMO KABUPATEN SUMEDANG

Diajukan sebagai syarat kelulusan Mata Kuliah Sejarah Seni & Arsitektur
pada program studi Sejarah dan Peradaban Islam

Oleh :
Abdul Hamid Saputra
NIM 1165010001

JURUSAN SEJARAH PERADABAN ISLAM


FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG

November, 2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufik, hidayah
serta inayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan proposal penelitian yang berjudul
“Tipologi Suhunan Rumah Adat : Suhunan Jolopong di Kecamatan Tomo Kabupaten
Sumedang )” dengan baik.

Salawat dan salam semoga tetap tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad
SAW yang telah menjadi guru terbaik dan menjadi suri tauladan bagi umat Islam di seluruh
dunia.
Penelitian ini kami susun untuk memenuhi syarat “Mata kuliah Sejarah Seni dan
Arsitektur” di semester V, dan kami harap proposal penelitian ini dapat bermanfaat, baik
untuk kami maupun para peserta didik lainnya.
Dalam menyusun makalah ini pula kami berusaha sebaik mungkin untuk
mendapatkan sumber-sumber dan informasi, baik dari buku yang telah di rekomendasikan
oleh dosen ataupun website yang terpercaya. Terimakasih kepada dosen pengajar yang
telah membimbing dalam penyelesaian proposal penelitian ini.
Untuk itu saran dan kritik kami harapkan berkenan dalam pembuatan makalah ini,
demi kesempurnaannya atas perhatiannya kami ucapkan terimakasih.

Bandung,
November 2018

i
Daftar Pustaka
KATA PENGANTAR ........................................................................................................ i
Daftar Pustaka .................................................................................................................. ii
BAB I .................................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN ............................................................................................................. 1
A. Latarbelakang ....................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................ 2
C. Tujuan Penelitian .................................................................................................. 2
D. Metode Penelitian.................................................................................................. 3
BAB II ................................................................................................................................ 4
SEJARAH SUMEDANG.................................................................................................. 4
A. Sumedang Masa Hindu-Budha ............................................................................ 4
B. Sumedang Masa Islam dan Kolonial ................................................................... 5
BAB III............................................................................................................................. 12
RUMAH TRADISONAL SUNDA................................................................................. 12
(SUHUNAN JOLOPONG DI SUMEDANG) ............................................................... 12
A. Rumah Tradisional Sunda ................................................................................. 12
B. Kontruksi Rumah Tradisional Sunda ............................................................... 15
C. Tipologi Suhunan Jolopong Rumah adat Sumedang ....................................... 18
BAB IV ............................................................................................................................. 20
PENUTUP........................................................................................................................ 20
A. Kesimpulan .......................................................................................................... 20
Daftar Pustaka ................................................................................................................ 21

ii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latarbelakang
Indonesia sebagai negara dengan keanekaragaman suku bangsa yang unik
dan adat istiadat yang beragam di setiap daerahnya, telah menjadika Indonesia
kaya dengan nilai kulturnya. Indonesia memiliki etnis yang beranekaragam
tentunya akan menghasilkan sebuah tatanan kemasyarakatan yang heterogen.
Keberagaman etnis tersebut dapat melahirkan sebuah tatanan masyarakat yang
dinamis dan integratif atau sebaliknya akan berpotensi menimbulkan konflik
apabila tidak dikelola secara bijaksana. Kearifan lokal merupakan tata nilai atau
perilaku hidup masyarakat local dalam berinteraksi dengan lingkungan
tempatnya hidup secara arif. Kearifan local dapat menjadi alat yang mampu
menyikapi masalah keanekaragaman budaya yang terdapat di suatu kawasan.
Nilai- nilai budaya yang mereka dukung dijadikan pedoman untuk bergaul
dengan lingkungan masyarakat yang beragam. Dengan kearifan lokal,
masyarakat di suatu daerah dapat menjaga lingkungan hidup mereka agar
kelestarian dan kekayaan alam ini tetap terjaga. Salah satu yang akan dikaji oleh
penulis adalah Sumedang. Sumedang memiliki akar sejarah yang panjang; ia
memiliki masa prasejarah, masa Kerajaan Kuna Sumedang Larang (tahun 900
s.d. 1601), masa Bupati Wedana (1601 s.d. 1706), masa Bupati VOC (1706 s.d.
1799), masa Bupati Zaman Pemerintah Hindia Belanda (1800 s.d. 1942), masa
Bupati Zaman Pemerintah Pendudukan Jepang (1942 s.d. 1945), dan bupati-
bupati pada zaman kemerdekaan. Ini juga berarti bahwa Sumedang memiliki
sejarah pemerintahan yang cukup lama.1

Sejak masa Kerajaan Sumedanglarang sampai periode Pemerintah


Pendudukan Jepang tercatat ada 29 penguasa (raja dan bupati). Tiap masa
pemerintahan, tentu saja, meninggalkan jejak-jejak sejarahnya, baik yang

1
Mumuh Muhsin, Kerajaan Sumedanglarang, Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran Bandung
2008,
http://ejurnalpatanjala.kemdikbud.go.id/patanjala/index.php/patanjala/article/download/276/222
diunduh pada tanggal 23 September 2018.

1
bersifat artefak (fakta berupa benda-benda), mentifak (fakta mental), maupun
sosefak (fakta sosial). Dari waktu ke waktu fakta-fakta itu mengakumulasi,
menjadi memori kolektif dan sekaligus menjadi kebanggaan masyarakatnya.
Oleh karena itu, sisi apa pun dari masa lalu di wilayah Sumedang ini, dalam
besarannya masing-masing, memiliki makna penting bagi masyarakat. Bahkan
sebagian darinya masih cukup fungsional, sehingga keberadaan fakta-fakta
masa silam itu terus dipelihara dan diabadikan. Sebagai contoh, situs-situs
sejarah berupa makam sampai sekarang masih banyak diziarahi masyarakat,
baik yang berasal dari Sumedang maupun dari luar Sumedang. Di lingkungan
masyarakat Sumedang pun masih diselenggarakan aneka ragam acara dan
upacara adat, yang secara kultural dan historis mengacu ke masa lalu
Sumedang.2

Pada kesempatan kali ini penulis akan memaparkan salah satu budaya
Indonesia, yang berwujud rumah adat. Fokus tinjauan kami adalah mengenai
Suhunan Jolopong di daerah Sumedang.

B. Rumusan Masalah
a. Apa yang dimaksud rumah tradisional Sunda ?
b. Bagaimana kontruksi rumah tradisional Sunda ?
c. Bagaimana Tipologi Suhunan Jolopong Rumah adat di Sumedang ?

C. Tujuan Penelitian
a. Untuk memahami rumah adat Sunda
b. Untuk memahami kontruksi rumah adat Sunda
c. Untuk memahami Tipologi Suhunan Jolopong Rumah adat Sumedang

2
Mumuh Muhsin, Kerajaan Sumedanglarang, Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran Bandung
2008,http://ejurnalpatanjala.kemdikbud.go.id/patanjala/index.php/patanjala/article/download/276/2
22 diunduh pada tanggal 23 September 2018.

2
D. Metode Penelitian
Metode adalah salah satu bentuk cara yang dilakukan untuk menyelesaikan
masalah dalam sebuah proses penelitian. Penelitian dapat dirumuskan sebagai
penerapan pendekatan ilmiah sebagaimana fungsi dan tujuannya penelitian
memerlukan kecermatan, ketelitian, ketersediaan waktu, tenaga, biaya dan lain
sebagainya. Hal ini menjadi sebuah kunci agar penelitian dapat berjalan sebagai
suatu usaha yang sistematis dan objektif untuk dapat mencari hasil yang dapat
dipercaya.Metode sejarah digunakan sebagai metode penelitian, pada
prinsipnya bertujuan untuk menjawab enam pertanyaan (5 W dan 1 H) yang
merupakan elemen dasar penulisan sejarah, yaitu what (apa), when (kapan),
where (dimana), who (siapa), why (mengapa), dan how (bagaimana).3
Adapun langkah-langkah yang akan ditempuh dalam metode historis ini
menurut Nugroho Notosusanto adalah sebagai berikut :
1. Heuristik, yaitu kegiatan yang mengungkapkan masa lampau.

2. Kritik, yaitu menyelidiki apakah jejak itu sah baik isi maupun
bentuknya.
3. Interpretasi, yaitu menentukan makna saling berhubungan dengan
faktor-faktor yang diperoleh itu.
4. Historiograpy, yaitu mengumpulkan sintesa yang diperoleh dalam
bentuk kisah.4
Salah satu jenis penelitian bila dilihat dari tempat pengambilan data adalah
penelitian kepustakaan (library research) (Sutrisno Hadi:1990) Disebut
penelitian kepustakaan karena data-data atau bahan-bahan yang diperlukan
dalam menyelesaikan penelitian tersebut berasal dari perpustakaan baik berupa
buku, ensklopedi, kamus, jurnal, dokumen, majalah dan lain sebagainya.Untuk
memudahkan dalam penelitian kepustakaan tentunya seorang peneliti dituntut
untuk mengenal dan memahami organisasi dan tata kerja perpustakaan. Hal ini

3
Anonim, Metode Penelitian, http://digilib.unila.ac.id/15522/3/3.pdf diunduh pada tanggal 3
Oktober 2018.
4
Anonim, Metode Penelitian, http://digilib.unila.ac.id/15522/3/3.pdf diunduh pada tanggal 3
Oktober 2018.

3
adalah penting agar lebih mudah memperoleh dan mengakses bahan-bahan atau
sumber-sumber yang dibutuhkan.5
Sedemikian pentingnya melakukan studi kepustakaan ini, sehingga tidak
mungkin suat penelitian dapat dilakukan tanpa terlebih dahulu melakukannya,
terlebih lagi dalam penelitian kepustakaan harus banyak membaca buku buku
yang berhubungan dengan fokus penelitiannya. Sumadi Suryabrata
mengemukakan bahwa lebih dari lima puluh persen kegiatan dalam seluruh
proses penelitian adalah membaca, dan karena itu sumber bacaan merupakan
bagian penunjang penelitian yang esensial.6

BAB II

SEJARAH SUMEDANG
A. Sumedang Masa Hindu-Budha
Kabupaten Sumedang adalah salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Barat
yang terletak di pedalaman layaknya daerah-daerah pedalaman lain di Jawa
Barat. Wilayah Sumedang ditandai dengan daerah yang berbukit-bukit dan
gunung-gunung dengan Gunung Tampomas sebagai gunung tertinggi dengan
puncak tertinggi 1634 Mdpl. Secara administratif, wilayah Kabupaten
Sumedang dibatasi oleh Kabupaten Bandung dan Subang di sebelah barat,
Kabupaten Indramayu di sebelah utara, dan Kabupaten Majalengka di sebelah
timur. Berdasarkan data-data sejarah, Kabupaten Sumedang termasuk
kabupaten tertua dan sejak lama wilayah ini sudah mempunyai pusat
pemerintahan tradisional.7

5
Nursaria Harahap, Penelitian Kepustakaan, Jurnal Iqra' Volume 08 No. 01,
https://media.neliti.com/media/publications/196955-ID-penelitian-kepustakaan.pdf diunduh pada
tanggal 3 Oktober 2018.
6
Nursaria Harahap, Penelitian Kepustakaan, Jurnal Iqra' Volume 08 No. 01,
https://media.neliti.com/media/publications/196955-ID-penelitian-kepustakaan.pdf diunduh pada
tanggal 3 Oktober 2018.
7
Tim Peneliti, Peta Kebudayaan Indonesia : Kabupaten Sumedang Provinsi Jawa Barat.
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, (Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional
Bandung). Hlm 14.

4
Menurut Nina Herlina Lubis dan Dedi Supriadi Arifin, menyebutkan bahwa
pada abad ke-16 muncul kerajaan Tembong Agung dengan raja pertamanya
Prabu Tajimalela. Dengan pusat kerajaan di Leuwi Hideung yang sekarag
masuk ke dalam Kecamatan Darma Jaya. Kerajaan Tembong Agung merupakan
kerajaan bawahan dari kerajaan Padjajaran.8

Sepeninggal Prabu Tajimalela, Prabu Lembu Agung, setelah Prabu Lembu


Agung meninggal kemudian digantikan oleh Prabu Gajah Agung yang menjadi
raja di Kerajaan Tembong Agung dan memindahkan pusat kerajaan ke Ciguling
yang sekarang merupakan wilayah Desa Pasanggrahan, Kecamatan Sumedang
Selatan. 9

Setelah Prabu lembu Agung meninggal di gantikan oleh Sunan Guling,


kemudain digantikan oleh Sunan Tuakan, kemudian diganti oleh putrinya
Nyimas Ratu Istri Patuakan. Kemudian digantikan oleh Nyi Mas Ratu Inten
Dewata yang menikah dengan Pangeran Santri. Setelah Nyi Mas Ratu Inten
Dewata meninggal kemudian digantikaan oleh anaknya Kusumahdinata atau
yang lebih dikenal denagan Prabu Geusan Ulun.10

B. Sumedang Masa Islam dan Kolonial


Setelah Padjajaran runtuh karena serangan dari Kerajaan Banten pada 8 Mei
1579 M, PrabuGeusan Ulun memanfaatkan kedaan untk memproklamasikan
bahwa Kerajaan Sumedang Larang merupakan krajaan penerus dari kerajaan
Padjajaran dan seluruh bekas wilayah kekuasaan Padjajaran diambil alih oleh
kerajaan Sumedang Larang.11

8
Tim Peneliti, Peta Kebudayaan Indonesia : Kabupaten Sumedang Provinsi Jawa Barat.
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, (Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional
Bandung). Hlm 14.
9
Tim Peneliti, Peta Kebudayaan Indonesia : Kabupaten Sumedang Provinsi Jawa Barat.
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, (Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional
Bandung). Hlm 15.
10
Tim Peneliti, Peta Kebudayaan Indonesia : Kabupaten Sumedang Provinsi Jawa Barat.
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, (Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional
Bandung). Hlm 15.
11
Tim Peneliti, Peta Kebudayaan Indonesia : Kabupaten Sumedang Provinsi Jawa Barat.
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, (Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional
Bandung). Hlm 15.

5
Sumedang dalam mas kekuasaan Prabu Geusan Ulun, wilayah
kekuasaannya dibatasi dengan sebelah barat Sungai Cisadane dan sebelah timur
Sungai Cipamali, kecuali daerah Dayeuh Pakuan Padjajaran yang menjadi
daerah kekuasaan Banten pada 1580 dan Sunda Kelapa pada tahun1597,
Cirebon yang dperintah oleh Panembahan Ratu, Kerajaan Galuh yang pada 159
berada di kekuasaan Mataram.12

Pada masa kekuasaan Prabu Geusan Ulun, terjadi pemindahan ibu kota
kerajaan dari Kutamaya ke Dayeuh Luhur. Hingga Prabu Geusan Ulun
meninggal dan di makamkan di Dayeuh Luhur pada 5 November 1608.13

Setelah Prabu Geusan Ulun meninggal makan digantikan oleh Raden Aria
Soeriadiwangsa, yang sering dikenal dengan Pangeran Rangga Gempol
Kusumahdinata atau Rangga Gempol 1 yang memerintah dari tahun 1608-1625.
Pada masa Pangeran Kusumahdinata, Mataram yang berada di bawah
pemerintahan Sultan Agung yang sednag mengadakan ekspansi Wilayah karena
adanya Sumpah Palapa Gajah Mada, sekitar tahun 1620 Sumedang Larang jatuh
ke tangan Mataram secara damai mengikuti Galuh, dan Cirebon.14

Keputusan Kusunahdiata untuk menyerah tanpa perang di landasi karena


dua faktor. Pertama, karena Sumedang Larang diapit oleh dua kekuatan, yaitu
Banten dan Mataram sehingga ia harus menentukan sikap tegas bila tidak ingin
manjadi bulan-bulanan kedua belah pihak. Keuda, ia mempunyai hubungan
dengan Mataram dari Ibunya, Ratu Haris Baya.15

Bagi pihak mataram, hal ini merupakan keuntungan besar sebab dengan
demikian seluruh wilayah priangan di tambah karawang berada di bawah
kekuasaanya. Mataram dapat menggunakan priangan sebagai wilayah

12
Tim Penulis, Peninggalan Sejarah di Kabupaten Sumedang, (Kementrian Kebudayaan dan
Pariwisata. Balai pelestarian Sejarah dna Nilai Tradisional Bandung). Hlm 11.
13
Tim Penulis, Peninggalan Sejarah di Kabupaten Sumedang, (Kementrian Kebudayaan dan
Pariwisata. Balai pelestarian Sejarah dna Nilai Tradisional Bandung). Hlm 12.
14
Tim Penulis, Peninggalan Sejarah di Kabupaten Sumedang, (Kementrian Kebudayaan dan
Pariwisata. Balai pelestarian Sejarah dna Nilai Tradisional Bandung). Hlm 12.
15
Tim Penulis, Peninggalan Sejarah di Kabupaten Sumedang, (Kementrian Kebudayaan dan
Pariwisata. Balai pelestarian Sejarah dna Nilai Tradisional Bandung). Hlm 8.

6
pertahanan di bagian barat terhadap kemungkinan serangan dari Banten dan
kompeni yang berkedudukan di Batavia. Kemudian Rangga Gempol diangkat
menjadi wedana bupati di daerah priangan oleh Sinuhun Mataram dengan tugas
mengawasi dan mengkordinasi bupati di willayah ini.16

Sabagai bawahan Mataram, Rangga Gempol I pernah membantu Mataram


mengerahkan pasukan ke Sampang Madura pada tahun 1624-1625, dan
meninggal di Yogyakarta pada tahun 1625 dan di makamkan di
Lempuyanganwangi.17

Pada tahun 1678, banten melakukan serangan ke Sumedang secara


mendadak kejadian itu hampir mencelakai pangeran Gempol III. Serangan yang
dilakukan bertepatan dengan Hari raya Idul Fitri tersebut merupakan dampak
karena Sumedang menolak permintaan Banten untuk membantu melawan
Mataram dan kompeni belanda (VOC). Dalam serangan tersebut pangeran
rangga Gempol III dan pasukannya tidak diberikan kesempatan untuk menahan
serangannya,sehingga dengan mudah tentara Banten dapat menguasai
Sumedang. Akibat serangan itu banyak prajurit dan rakyat Sumedang
gugur,tetapi pangeran Rangga Gempol III beserta sebagian pasukannya berhasil
meloloskan diri dari sergapan tentara banten dan lari ke daerah Indramayu.18

Di tempat persembunyian tersebut,Rangga Gempol III mengumpulkan


pasukannya dan menyusun kekuatan kembali untuk melakukan penyerangan
terhadap tentara Banten yang ada di sumedang. Selain itu,Rangga Gempol III
berhasil mengadakan diplomasi dengan pihak kompeni Belanda,sehingga
gubernur jendral Belanda memberi bantuan senjata dan amunisi kepada
Sumedang. Dalam penyerangan tersebut Rangga Gempol III berhasil mengusir

16
Tim Penulis, Inventarisasi dan Dokumentasi Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Kabupaten
Sumedang. Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata, (Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai
Tradisional Bandung). Hlm 19.
17
Tim Penulis, Inventarisasi dan Dokumentasi Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Kabupaten
Sumedang. Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata, (Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai
Tradisional Bandung). Hlm 19.
18
Anonim. Pendataan peninggalan sejarah di kab.sumedang, hal 15.

7
tentara Banten dari Sumedang. Rangga Gempol III berhasil mengusir daerah
pesisir utara antara sungai Citarum dan Cimanuk.19

Dengan terjalinnya hubungan baik antara Rangga dan Kompeni, Rangga


Gempol III tiak pernah berkunjung dan mengirim upeti ke batavia. Bahkan ia
berani tidak memenuhi panggilan dari gubernur Jendral Belanda dan sunan
Mataram. Keberanian pangeran Rangga Gempol III tersebut menggambarkan
bahwa ia merupakan sosok yang sangat memperhatikan kesejahteraan
rakyatnya. Diantaranya, ia membuka lahan persawahan. Ia juga
memperkenalkan sejumlah sawah sebagai tanah pusaka yang tidak boleh
dibagi-bagi meskipun oleh ahli warisannya yaitu para bupati Sumedang dan
keterunannya.berkat upaya dan kerja kerasnya,daerah Sumedang menjadi subur
makmur dan rakyatnya sejahtera. Oleh karena itu, jabatan sebagai Bupati
Sumedang merupakan jabatan yang cukup lama yang disandang oleh Pangeran
Rangga Gempol III, yakni sekitar 49 tahun. Demi kejayaan Sumedang di masa
datang,pada bulan Mei 1681, ia memindahkan ibukota dari Tegalkalong ke kota
Sumedang. Dalam buku sejarah leluhur sumedang (Rd. Ahmad Boelkini,1977),
Pangeran Rangga Gempol III wafat pada tanggal 11 februari 1706. Ia digantikan
oleh puteranya yang bernama Dalem Adipati Tanoemaja memerintah hanya 3
tahun (1706-1709). Ia wafat pada tanggal 6 Juni 1709 dan dimakamkan di
Gunung puyuh sumedang.20 Dengan ikut campurnya Belanda dalam
pengangkatan Bupati Sumedang,itu menandakan bahwa Sumedang telah berada
di bawah kekuasaan kompeni belanda.21

Dalam surat keputusan Kompeni tanggal 6 September 1709,yang diangkat


bupati Sumedang menggantikan Raden Adipati Tanoemadja ialah putranya
yang bernama Raden Tumenggoeng Koesomadinata ke VII, dan menurut surat
keputusan kompeni tanggal 1 november 1701 ia mendapat gelar pangeran
Rangga Gempol VI bercita-cita ingin mengembalikan lagi daerah-daerah

19
Anonim. Pendataan peninggalan sejarah di kab.sumedang, hal 15.
20
Anonim. Pendataan peninggalan sejarah di kab.sumedang, hal 15.
21
Anonim. Pendataan peninggalan sejarah di kab.sumedang, hal 16.

8
Sumedang yang pernah dikuasai para leluhurnya (pangeran Geusan Ulun).22
Yang menggantikan Pangeran Rangga Gempol IV ialah putrinya sendiri yang
bernama Dalem Istri Radjaningrat,karena putera laki-lakinya belum dewasa. Ia
bersuamikan Dalem Soerianagara ke II,putra Dalem Wangsadinata Bupati
limbangan yang masih juga keturunan bupati-bupati Sumedang. Pada tahun
1759, dalem Istri Radjaningrat wafat dan dimakamkan di gunung Ciung
Pasaeean Gede Sumedang. Dalem Istri menjabat sebagai bupati selama 15
tahun. Sebagai penggantinya ialah putranya yang nomor satu bernama Dalem
Koesoemahadinata ke VIII. 23

Ia memangku jabatan bupati Sumedang hanya selama 2 tahun, karena wafat


dan dimakamkan di gunung Ciung Pasarean Gede Sumedang pada tahun 1761.
Ia digantikan oleh saudaranya,yang bernama Dalem adipati Soerianagara. Ia
menjabat hanya 4 tahun dan wafat tahun 1765. Sebagai penggantinya adalah
saudaranya yang bernama Dalem Adipati soerialaga ke I, karena anak
sulungnya yang bernama Rd. Jamu masih kecil. Atas permintaan almarhum
(ayah Rd.Jamu), apabila nanti Dalem Adipati Soerialaga ke I wafat tampuk
kekuasaan agar diserahkan kepada anak sulungnya. Tetapi setelah adipati
Soerialaga wafat yang menggantikan bukan raden Jamu, Kompeni mengangkat
raden Adipati Tanubaya,yang pada saat itu sedang menjadi bupati
Parakanmuncang. Adipati Tanubaya wafat pada tahun 1789, penggantinya ialah
putra yang bernama Tumenggung Patrakusuma.24 Ia menyadari pengangkatan
dirinya menjadi bupati akan menimbulkan ketidaksenangan rakyat Sumedang.
Meskipun diikat dengan tali pernikahan, namun hubungan antara anak dan
menantu tidak pernah sejalan,apalagi setelah ada hasutan dari seorang demang
bahwa Raden Jamu akan menggeser kedudukan Adipati Patrakusumah sebagai
Bupati Sumedang.

22
Anonim. Pendataan peninggalan sejarah di kab.sumedang, hal 16.
23
Anonim. Pendataan peninggalan sejarah di kab.sumedang, hal 16.
24
Anonim. Pendataan peninggalan sejarah di kab.sumedang, hal 16.

9
Pengangkatan Adipati Surianegara III betul-betul menyenangkan bagi
rakyat Sumedang,karena ia merupakan keturunan langsung Bupati Sumedang
sebelumnya,dan berakhirlah bupati penyelang dari Parakanmuncang yang telah
memerintah Sumedang. Kabupaten Sumedang dalam masa pemerintahan
Pangeran Kusumadinata mengalami perubahan dan kemajuan. Diantaranya
adalah produksi hasil perkebunan kopi yang semula hanya 250 pikul menjadi
800 pikul,dan kemudian menjadi 25.000 pikul.25

Pangeran Kusumahdinatan turut memimpin pasukan langsung di medan


pertempuran. Itulah sebabnya ia dianugrahi pangkat militer “kolonel” yang
menjadikan dijuluki “pangeran kornel”26 keberanian pangeran Kusumahdinata
diperlihatkan langsung kepada Gubernur Jendral Daendels yang terkenal
galak,tatkala ia memprotes cara pengerjaan jalan raya pos di lokasi cadas
pangeran sekarang. Selain itu,ia pun pernha melaporkan kasus Lawiek van
pabts,pejabat belanda di Sumedang yang bertindak kejam dan main hakim
sendiri terhadap petinggi pribumi dan rakyat setempat serta mendakwa dan
menuntut kepada pemerintahan di atasnya agar yang bersangkutan dipecat dan
dihukum. Akhirnya,Lawiek van pabts diberitakan dari jabatannya. Bentuk
keberanian pangeran Kusumahdinata yang lain ialah berupa maju ke medan
perang untuk memimpin dan mengomando pasukan, sampai-sampai pernah
terjadi kuda yang dinaikinya roboh tertombak, tetapi ia sendiri selamat. Wilayah
pengaruh dari kekuasaan bupati Sumedang Pangeran Kusumahdinata tidak
hanya terbatas pada daerah Kabupaten Sumedang, melainkan melampaui ke
daerah-daerah sekiarnya sehingga hampir sama dengan wilayah kekuasaan
kakeknya, pangeran Rangga Gempol III. Hal itu, diakui oleh pejabat pemerintah
kolonial Belanda.

Pengganti Pangeran Kusumahdinata (Pangeran Kornel) ialah anak kedua


yang bernama Raden Adipati Kusumayuda, karena anak sulungnya Raden

25
Anonim. Pendataan peninggalan sejarah di kab.sumedang, hal 18.
26
R.memed Sastrahadiprawira, Pangeran Kornmel. (Jakarta: Java West 1930) dalam Edi
S.Ekadjati 1998. Hlm. 5.

10
Adidjaja yang pernah menjadi bupati Parakanmuncang baru diangkat menjadi
bupati Garut.27 Dalam pergantian bupati selanjutnya secara turun-temurun dan
selama menjabat bupati mereka tidak ada hal-hal yang sangat menonjol di
dalam kepemimpinannya. Baru pada era Raden Sadeli namanya diganti menjadi
Pangeran Arya Surya Atmaja (1882-1919) putera Pangeran Surya Kusumah
Adinata. Pangeran Arya Surya Atmadja terkenal cerdas, jujur, alim, dan
berusaha meningkatkan taraf hidup rakyat. Upaya yang dilakukan oleh beliau
untuk meningkatkan taraf hidup rakyatnya antara lain: bidang pendidikan,
pertanian, peternakan, perikanan, perairan, kehutanan, kesehatan, politik, dan
juga mndirikan bank priayi agar rakyat Sumedang dapat mengadakan simpan
pinjam uang untuk menabung taraf hidupnya. Beliau wafat saat menjalankan
ibadah haji di Kota Mekkah pada tanggal 1 Juni 1919, sehingga dikenal pula
dengan nama Pangeran Mekkah. Sebagai penggantinya dangkatlah
Tumenggung Adipati Kusumah dinata yang memerintah dari tahun 1919-1937.
Tumenggung Adipati Kusumahdinata kemudian diganti oleh Tumenggung
Arya Surya Kusumahdinata dari tahun 1937-1946. Setelah tahun 1946,
pengangkatan bupati dilakukan sesuai dengan alam kemerdekaan.28

27
Anonim. Pendataan peninggalan sejarah di kab.sumedang, hal 19.
28
Anonim. Pendataan peninggalan sejarah di kab.sumedang, hal 20.

11
BAB III

RUMAH TRADISONAL SUNDA

(SUHUNAN JOLOPONG DI SUMEDANG)


A. Rumah Tradisional Sunda

Sumber : dokumentasi pribadi

Manusia sejak zaman prasejarah sudah memikirkan kebutuhan akan tempat


tinggal untuk bernaung agar dapat bertahan hidup. Akan tetapi, tempat
bernaung bukanlah merupakan fungsi pokok untuk tempat tinggal semata
melainkan juga kebutuhan untuk berlindung dari binatang buas dan iklim.
Banyak penemuan gua bersejarah di Indonesia, di mana dalam gua tersebut
didapatkan bukti-bukti bahwa orang-orang prasejarah pernah tinggal untuk
berlindung dan bernaung. Hal itu dapat dibuktikan dengan ditemukannya alat-
alat orang pada zaman prasejarah dan ditemukannya lukisan atau gambar yang
terdapat pada dinding gua-gua yang dihuni orang-orang pada zaman prasejarah.
Tiap-tiap benda tersebut mempunyai peran, fungsi dan kedudukan, serta makna
tertentu dalam kehidupan masyarakat tertentu saat itu. Bahkan eksistensi benda-
benda tersebut masih sering digunakan hingga zaman modern ini. Dengan
berjalannya waktu, benda-benda tersebut mengalami perkembangan seiring
dengan berkembangnya keterampilan manusia dalam mengolah bahan-bahan
alam dari masa sebelumnya. Perkembangan ini diiringi dengan proses adaptasi

12
manusia dengan lingkungannya, salah satu buktinya adalah adanya
pembangunan rumah untuk tempat bernaung. 29

Arti olahan benda-benda yang dibuat manusia adalah bahwa manusia selalu
berpikir untuk membuat sesuatu, seperti halnya membuat tempat untuk
berlindung dari iklim dan binatang buas. Manusia zaman prasejarah membuat
tempat berlindung di dalam gua-gua. Dngan kata lain, mereka membuat ruang
di dalam gua. Seiring berjalannya peradaban, manusia mulai berpikir untuk
menciptakan sebuah ruang yang lebih nyaman dan membentuk sebuah
perkampungan atau permukiman. Dengan terbentuknya perkampungan-
perkampungan, terdapat pula rumah-rumah tradisional yang memiliki nilai-nilai
tradisi sebagai salah satu wujud dari kebudayaan dan aturannya. Manusia yang
menempatinya menjadi faktor yang mempengaruhi semua konsep makna rumah
dan tata ruangnya. Rumah tradisional Sunda merupakan suatu karya arsitektur
yang di dalamnya terdapat unsur-unsur kepercayaan dan pemaknaan. Semua ini
juga dilandasi oleh masyarakat, di mana manusia menjadi salah satu elemen
yang berpegang pada norma dan kepercayaan yang kuat. Fenomena ini akan
memberi sebuah aspirasi terhadap kaidah kebudayaan dan masyarakat dalam
ruang dan waktu sebagai perwujudan manusia dalam lingkungannya. Dengan
terwujudnya fenomena ini, maka terjadi sebuah proses perubahan dalam
manusia di dalam lingkungannya secara bertahap, dalam pengertian bahwa
terjadinya perubahan sosial-budaya pada suatu masyarakat berkembang secara
linier. Bentuk arsitektural yang dihasilkan manusia merupakan bentuk kolektif
yang telah disepakati oleh manusia dengan landasan kepercayaan. Karya
kolektif yang dihasilkan dapat berupa gaya arsitektur tertentu dengan
kepercayaan yang tertentu di setiap daerah. Keragaman karya kolektif

29
Deny Martinus, RUMAH TRADISIONAL SUNDA DALAM PERSPEKTIF TEORI PARADOKS,
(Universitas Kristen Maranatha : Bandung).
http://repository.maranatha.edu/597/1/Rumah%20Tradisional%20Sunda.pdf diunduh tanggal 20
November 2018

13
menghasilkan kebudayaan dan kepercayaan yang berbeda hingga dapat
dirasakan kehadirannya di dunia ini.30

Rumah tradisional merupakan suatu bangunan dengan struktur, cara


pembuatan, bentuk dan fungsi serta ragam hias yang memilki ciri khas
tersendiri, diwariskan secara turun – temurun dan dapat digunakan untuk
melakukan kegiatan kehidupan oleh penduduk sekitarnya. Rumah tradisional
dibangun dengan cara yang sama oleh beberapa penduduk yang dahulu tanpa
atau sedikit sekali mengalami perubahan-perubahan sehingga rumah tradisional
terbentuk berdasarkan tradisi yang ada pada masyarakat. Rumah tradisional
juga disebut rumah adat atau rumah asli atau rumah rakyat.31

Kata ‘Sunda’ yang berarti segala sesuatu yang mengandung kebaikan


membuat Tatar Sunda disebut Parahyangan atau tempat tinggal para dewa.
Wujud tempat tinggal para dewa direpresentasikan dengan kekayaan geografis
yang ada di Tatar Sunda. Kekayaan geografis Tatar Sunda mempengaruhi
budaya urang Sunda. Budaya tersebut menciptakan karakter urang Sunda yaitu
cageur (sehat), bageur/bener (baik/benar), singer (mawas diri), dan pinter
(cerdas).32 Jadi, Rumah tradisional sunda adalah sebuah tempat tinggal orang
sunda yang memiliki ciri khusus dalam bentuk maupun proses pembuatannya,
yang memiliki makna filosofis yang diturunkan oleh para leluhur orang sunda
sebagai warisan budaya masyarakat sunda.

30
Deny Martinus, RUMAH TRADISIONAL SUNDA DALAM PERSPEKTIF TEORI PARADOKS,
(Universitas Kristen Maranatha : Bandung).
http://repository.maranatha.edu/597/1/Rumah%20Tradisional%20Sunda.pdf diunduh tanggal 20
November 2018
31
Anonime, _________, http://e-journal.uajy.ac.id/11078/3/2MTA01927.pdf diunduh tanggal 26
November 2018
32
Anonime, B A B Iii and Tinjauan Pustaka, “Bab Iii Tinjauan Pustaka 3.1 T,” 2011, 36–58.

14
B. Kontruksi Rumah Tradisional Sunda

Sumber : Martinus Deny, “SUNDANESE TRADITIONAL HOUSE IN PARADOX THEORY


PERSPECTIVE,” n.d.

Konstruksi berasal dari bahasa Inggris Construction yang berarti


meletakkan unsur bersama-sama secara sistematis. Dengan perkataan lain
adalah suatu bentuk bangun yang terdiri dari unsur- unsur dan tersusun secara
sistematis. Maka dari itu tujuan dari konstruksi adalah menjaga keutuhan bentuk
sehingga kuat dan atau tidak berubah bentuknya. Sedangkan fungsi dari
konstruksi adalah menahan berbagai macam gaya yang menimpa pada
bangunan agar tidak mempengaruhi strukturnya.33

Perkampungan masyarakat Sunda dikenal sebagai masyarakat peramu dan


masyarakat peladang. Kedua masyarakat ini mempunyai tujuan yang sama,
yaitu pencapaian harmoni menuju transenden melalui penciptaan objek, tanpa
lepas dari filosofi masyarakat pendukungnya, dengan proses imanensi.
Masyarakat ini percaya bahwa keharmonian terjadi dengan bersatunya alam dan
manusia, bahwa manusia (mikrokosmos) adalah bagian dari alam
(makrokosmos) sehingga harus tercipta sinergi antara keduanya. Di Jawa barat
masih banyak kita temukan kampung-kampung adat yang masih dilestarikan
oleh masyarakat pendukungnya sehingga makna dan keharmonian masih terasa
di dalamnya. Kampung-kampung adat tersebut masih menyisakan rumah-
rumah tradisional walaupun dalam beberapa aspek bentuk arsitektural dan

33
Eko Nugroho Julianto, “Konstruksi Bangunan 1,” 2012, 120.
http://digilib.isi.ac.id/1165/1/Pages%20from%20Konstruksi%20bangunan_Hartiningsih_PSDI_20
16.pdf diunduh pada tanggal 26 November 2018

15
struktural, rumah adat tersebut telah mengalami perubahan akibat pengaruh
modernisasi. Walaupun demikian, makna rumah adat menjadi salah satu aspek
tradisi yang masih diperhatikan masyarakat pendukungnya.34

Rumah tradisional sunda atau biasa diebut Rumah Panggung (memiliki


kolong), merupakan salah satu proto type rumah adat daerah Jawa Barat. Bumi
Adat ini memiliki bentuk atap suhunan jolopong (suhunan lurus) yakni bentuk
atap yang terdiri dari dua bidang atap yang terdiri dari dua bidang atap. Kedua
bidang atap ini dipisahkan oleh jalur bubungan (suhunan) di bagian tengah
bangunan rumah. Pintu muka rumah ini dikenal dengan bentuk buka palayu
yakni letak pintu sejajar dengan salah satu sisi bidang atap, dengan demikian
jika dilihat dari arah muka tampak dengan jelas keseluruhan garis suhunan yang
melintang dari kiri ke kanan. Dihalaman bumi adat terdapat bangunan
pelengkap antara lain lumbung padi (leuit), kolam, jamban atau kamar mandi.
Leuit ini terletak di depan (timur laut) rumah, sedang kolam dan kamar
mandi/jamban terletak di sebelah timur rumah, serta saung lisung (tempat
menumbuk padi).35

Bahan bangunan : (1) Atap : Bagian penutup atap tebuat dari talahab yaitu
penutup atap yang terbuat dari bilahan bambu. (2) Flapon/langit-
langit,Flapon/langit-langit (lalangit/paparan) terbuat dari bilah-bilah bambu
yang dipasang dengan jarak tertentu,ada juga lalangit yang dibuat dari bambu
bulat (utuh) yang dijajar rapat. (3) Tiang, Tiang terbuat dari bahan kayu, untuk
pondasi tiang digunakan batu alam berbentuk bulat. (4) Dinding, Seluruh
dinding terbuat dari anyaman bambu (bilik). Untuk menahan dinding rumah di
bagian dalam dipasang kayu dengan posisi horizontal disebut Paneer dan
berfungsi pula sebagai penahan tiang rumah. (5) Jendela, Jendela berbentuk
persegi panjang dan dipasang kayu dengan jarak tertentu secara vertikal disebut

34
Martinus Deny, “SUNDANESE TRADITIONAL HOUSE IN PARADOX THEORY PERSPECTIVE,” n.d.
http://repository.maranatha.edu/597/1/Rumah%20Tradisional%20Sunda.pdf diunduh tanggal 20
November 2018
35
Anonime, Data kampung adat di Jawa Barat,
http://www.disparbud.jabarprov.go.id/wisata/fupload/Data%20Kampung%20Adat%20di%20Jaw
a%20Barat.pdf ( diunduh tanggal 17 November 2017 pada pukul 22.00 WIB)

16
jalosi, serta daun jendela kayu sebagai penutupnya. (6) Lantai, Seluruh lantai
(palapuh) terbuat dari bambu yang dibentuk lempengan bambu yang digelarkan
di atas bambu bulat (utuh) dinamakan dengan darurang.36

Fungsi bangunan : (1) Ruangan depan (tepas),Ruangan ini memiliki fungsi


untuk menerima tamu. (2) Tengah Imah, Ruangan ini memiliki fungsi sebagai
areal untuk menerima tamu dan dipergunakan juga sebagai tempat melakukan
upacara adat. (3) Dapur. Ruangan ini berfungsi sebagai tempat untuk masak-
memasak. Dalam ruangan dapur terdapat peralatan dapur yang dipergunakan
dalam keseharian. (4) Kamar tidur. Ruangan ini berfungsi sebagai tempat tidur
kuncen. (5) Goah. Ruangan ini sengaja dibuat berdampingan dengan kamar
tidur kuncen,untuk memudahkan kuncen melakukan tugasnya dalam membuat
segala keperluan sesaji. (6) Bale-bale (suplemen yang menempel pada rumah).
Ruangan ini biasanya dipergunakan pada waktu-waktu pelaksanaan upacara
adat. Bale-bale ini, biasanya dijadikan shelter bagi wanita yang sedang haid
karena mereka tidak diperbolehkan memasuki rumah adat. (7) Ruangan untuk
Hawu (suplemen yang menempel pada rumah). Dalam ruangan ini terdapat dua
hawu yang biasa dipergunakan memasak dalam keperluan pelaksanaan upacara
tradisi.37

36
Anonime, Data kampung adat di Jawa Barat,
http://www.disparbud.jabarprov.go.id/wisata/fupload/Data%20Kampung%20Adat%20di%20Jaw
a%20Barat.pdf ( diunduh tanggal 17 November 2017 pada pukul 22.00 WIB)
37
Anonime, Data kampung adat di Jawa Barat,
http://www.disparbud.jabarprov.go.id/wisata/fupload/Data%20Kampung%20Adat%20di%20Jaw
a%20Barat.pdf ( diunduh tanggal 17 November 2017 pada pukul 22.00 WIB)

17
C. Tipologi Suhunan Jolopong Rumah adat Sumedang

Sumber : Deny, “SUNDANESE TRADITIONAL HOUSE IN PARADOX THEORY PERSPECTIVE.”

Kabupaten Sumedang terletak antara 6º44’-70º83’ Lintang Selatan dan


107º21’-108º21’ Bujur Timur, dengan Luas Wilayah 152.220 Ha yang terdiri
dari 26 kecamatan dengan 272 desa dan 7 kelurahan. Kabupaten Sumedang
memiliki batas wilayah administratif sebagai berikut :

Sebelah Utara : Kabupaten Indramayu

Sebelah Selatan : Kabupaten Garut

Sebelah Barat : Kabupaten Bandung dan Kabupaten Subang

Sebelah Timur : Kabupaten Majalengka

Kecamatan paling luas wilayahnya adalah Kecamatan Buahdua dan yang


paling kecil luas wilayahnya adalah Kecamatan Cisarua.38

Tipologi berasal dari dua suku kata yaitu Tipo yang berarti pengelompokan
dan Logos yang mempunyai arti ilmu atau bidang keilmuan. Jadi Tipologi
adalah ilmu yang mempelajari pengelompokan suatu benda dan makhluk secara
umum. Tipologi adalah suatu ilmu yang mempelajari segala sesuatu tentang
tipe. Tipologi arsitektur atau dalam hal ini tipologi bangunan erat kaitannya
dengan suatu penelusuran elemen-elemen pembentuk suatu sistem objek

38
Asnang, Geografis dan Topografi Sumedang,
https://www.sumedang.online/2010/05/geografis-dan-topografi-sumedang/ diunduh pada
tanggal 26 November 2018

18
bangunan atau arsitektural. Elemen-elemen tersebut merupakan organisme
arsitektural terkecil yang berkaitan untuk mengidentifikasi tipologi dan untuk
membentuk suatu sistem, elemen-elemen tersebut mengalami suatu proyek
komposisi, baik penggabungan, pengurangan, stilirisasi bentuk dan
sebagainya.39

Suhunan jolopong dikenal juga dengan sebutan suhunan panjang. Di


kecamatan Tomo Kabupaten Sumedang dalam tahun tiga puluhan disebut atap
ini dengan suhunan Jepang "Jolopong" adalah istilah Sunda, artinya tergolek
lurus. Bentuk jolopong merupakan bentuk yang cukup tua karena bentuk ini
ternyata terdapat pada bentuk atap bangunan saung (dangau) yang diperkirakan
bentuknya sudah tua sekali. Bentuk jolopong memiliki dua bidang atap saja.
Kedua bidang atap ini dipisahkan oleh jalur suhunan di tengah bangunan rumah.
bahkan jalur suhunan itu sendiri merupakan sisi bersama (rangkap) dari kedua
bidang atap yang sebelah menyebelah.40

Suhunan akan berpengaruh terhadap isi rumah tradisional, jika


menggunakan suhunan jolopong maka akan terdiri dari :

a. Ruangan depan, disebut empara tau tepas.


b. Ruangan tengah, di sebut tengah imah atau patengahan
c. Ruangan samping, disebut pangkeng (kamar)
d. Ruangan belakang, terdiri atas : dapur yang disebut pawon, tempat
menyimpan beras disebut goah.

39
Sesilia Vania Febriana, “Definisi Tipologi Dan Morfologi Bangunan Dalam Arsitektur,” 2012, 1.
https://kupdf.net/downloadFile/59f1230ce2b6f51f0ac57409?preview=1 diunduh pada tanggal
26 November 2018
40
Deny, “SUNDANESE TRADITIONAL HOUSE IN PARADOX THEORY PERSPECTIVE.”
http://repository.maranatha.edu/597/1/Rumah%20Tradisional%20Sunda.pdf diunduh tanggal 20
November 2018

19
BAB IV

PENUTUP
A. Kesimpulan
Hunian atau tempat tinggal merupakan sebuah harta yang sangat berharga
bagi setiap orang. Mau seperti apa pun bentuknya, itu merupakan sebuah
memori yang akan diingat oleh setiap penghuninya. Sebagaimana Indonesia
yang beranekaragam budaya dan bahasa, rumah atau hunian juga beraneka
ragam jenisnya.

Sebagai sebuah contoh telah kami paparkan diatas mengenai rumah


tradisional sunda dengan beratapkan jolopong yang berada di Sumedang. Itu
merupakan hasil dari pola pikir masyarakat sehingga menghasilkan sebuah
kontruksi yang mengandung banyak filosofi yang sangat mendalam. Atap
jolopong merupakan salah satu teknik tertua di masyarakat sunda khususnya di
sekitaran Sumedang dalam kontruksi rumah mereka. Warisan nenek moyang
yang hingga saat ini masih terasa keberadaanya. Namun, sedikit demi sedikit
terkikis oleh zaman yang mulai beralih teknik yang lebih modern.

Menariknya dari warisan nenek moyang ini, dengan melihat atapnya saja
kita akan terbayang-bayang isi rumahnya seperti apa. Terkhusus masyarakat
sunda kami berasumsi bahwa setiap atap rumah masyarkat menunjukan kelas-
kelas masyarakat di tataran sunda. Jika kita melihat banyak rumah tradisional
yang banyak menggunakan atap jolpong semakin kita dapat asumsikan bahwa
masyarakat sekitar sangat memegang sekali unsur-unsur warisan nenek moyang
daerahnya. Untuk saat ini kita patut bersyukur bahwa masih ada beberapa
perkampungan yang masih menjaga kearifan local daerahnya, seperti halnya
badui, kampung naga, suku bajo, dan sebagian masyarakat sumedang yang ada
di kecmatan Tomo.

20
Daftar Pustaka

Mumuh Muhsin, Kerajaan Sumedanglarang, Fakultas Sastra Universitas


Padjadjaran Bandung 2008,
http://ejurnalpatanjala.kemdikbud.go.id/patanjala/index.php/patanjala/article/dow
nload/276/222 diunduh pada tanggal 23 September 2018.
Anonim, Metode Penelitian, http://digilib.unila.ac.id/15522/3/3.pdf
diunduh pada tanggal 3 Oktober 2018.
Nursaria Harahap, Penelitian Kepustakaan, Jurnal Iqra' Volume 08 No. 01,
https://media.neliti.com/media/publications/196955-ID-penelitian-
kepustakaan.pdf diunduh pada tanggal 3 Oktober 2018.
Tim Peneliti, Peta Kebudayaan Indonesia : Kabupaten Sumedang Provinsi
Jawa Barat. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, (Balai Pelestarian Sejarah
dan Nilai Tradisional Bandung). Hlm 14.
Anonim. Pendataan peninggalan sejarah di kab.sumedang, hal 15.
R.memed Sastrahadiprawira, Pangeran Kornmel. (Jakarta: Java West 1930)
dalam Edi S.Ekadjati 1998. Hlm. 5.
Deny Martinus, RUMAH TRADISIONAL SUNDA DALAM PERSPEKTIF
TEORI PARADOKS, (Universitas Kristen Maranatha : Bandung).
http://repository.maranatha.edu/597/1/Rumah%20Tradisional%20Sunda.pdf
diunduh tanggal 20 November 2018
Anonime, _________, http://e-journal.uajy.ac.id/11078/3/2MTA01927.pdf
diunduh tanggal 26 November 2018
Anonime, B A B Iii and Tinjauan Pustaka, “Bab Iii Tinjauan Pustaka 3.1 T,” 2011,
36–58.
Eko Nugroho Julianto, “Konstruksi Bangunan 1,” 2012, 120.
http://digilib.isi.ac.id/1165/1/Pages%20from%20Konstruksi%20bangunan_Hartin
ingsih_PSDI_2016.pdf diunduh pada tanggal 26 November 2018
Martinus Deny, “SUNDANESE TRADITIONAL HOUSE IN PARADOX
THEORY PERSPECTIVE,” n.d.

21
http://repository.maranatha.edu/597/1/Rumah%20Tradisional%20Sunda.pdf
diunduh tanggal 20 November 2018
Anonime, Data kampung adat di Jawa Barat,
http://www.disparbud.jabarprov.go.id/wisata/fupload/Data%20Kampung%20Adat
%20di%20Jawa%20Barat.pdf ( diunduh tanggal 17 November 2017 pada pukul
22.00 WIB)
Asnang, Geografis dan Topografi Sumedang,
https://www.sumedang.online/2010/05/geografis-dan-topografi-sumedang/
diunduh pada tanggal 26 November 2018
Sesilia Vania Febriana, “Definisi Tipologi Dan Morfologi Bangunan Dalam
Arsitektur,” 2012, 1.
https://kupdf.net/downloadFile/59f1230ce2b6f51f0ac57409?preview=1 diunduh
pada tanggal 26 November 2018
Deny, “SUNDANESE TRADITIONAL HOUSE IN PARADOX THEORY
PERSPECTIVE.”http://repository.maranatha.edu/597/1/Rumah%20Tradisional%
20Sunda.pdf diunduh tanggal 20 November 2018

22

Anda mungkin juga menyukai