Anda di halaman 1dari 49

ISLAMISASI DI TATAR SUNDA:

STUDI ISLAMISASI DI TATAR SUNDA WILAYAH SUMEDANG

Laporan
Diajukan sebagai syarat kelulusan Mata Kuliah Sejarah Sosial dan Intelektual Islam Indonesia
pada program studi Sejarah dan Peradaban Islam

Oleh :
Abdul Hamid Saputra
NIM 1165010001

JURUSAN SEJARAH PERADABAN ISLAM


FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufik, hidayah serta
inayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan proposal penelitian yang berjudul “Islamisasi di
Tatar Sunda: Studi Islamisasi di Tatar Sunda Wilayah Sumedang” dengan baik.

Salawat dan salam semoga tetap tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW
yang telah menjadi guru terbaik dan menjadi suri tauladan bagi umat Islam di seluruh dunia.
Penelitian ini kami susun untuk memenuhi syarat “ Mata kuliah SSII I” di semester V, dan
kami harap proposal penelitian ini dapat bermanfaat, baik untuk kami maupun para peserta didik
lainnya.
Dalam menyusun makalah ini pula kami berusaha sebaik mungkin untuk mendapatkan
sumber-sumber dan informasi, baik dari buku yang telah di rekomendasikan oleh dosen ataupun
website yang terpercaya. Terimakasih kepada dosen pengajar yang telah membimbing dalam
penyelesaian mini riset ini.
Untuk itu saran dan kritik kami harapkan berkenan dalam pembuatan makalah ini, demi
kesempurnaannya atas perhatiannya kami ucapkan terimakasih.

Bandung, Maret 2019


Daftar Isi
KATA PENGANTAR .......................................................................................................................
BAB I............................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ........................................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ........................................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................................................................... 3
C. Tujuan Penelitian ........................................................................................................................ 3
D. Kajian Pustaka ............................................................................................................................ 4
E. Langkah-langkah Penelitian ........................................................................................................ 5
A. Heuristik ..................................................................................................................................... 6
b.1 Kritik Eksternal ................................................................................................................. 7
b.2 Kritik Internal .................................................................................................................... 8
C. Interpretasi .............................................................................................................................. 9
D. Historiografi .......................................................................................................................... 11
BAB II ........................................................................................................................................... 12
A. Pengertian Islamisasi ............................................................................................................ 12
B. Teori-teori Masuknya Islam ke Indonesia ............................................................................ 14
C. Konsep dakwah Islam dan akulturasi nilai Islam dalam budaya lokal ................................. 16
D. Jalur Islamisasi di Tatar Sunda ............................................................................................. 19
BAB III .......................................................................................................................................... 23
ISLAMISASI DI WILAYAH SUMEDANG ................................................................................ 23
A. Sumedang sebelum datangnya Islam .............................................................................. 23
B. Sumedang pada masa Islam ............................................................................................ 31
C. Sumedanng pada masa kolonial ...................................................................................... 34
D. Bukti Arkeologis Islam di Sumedang ............................................................................. 35
BAB IV .......................................................................................................................................... 42
PENUTUP ..................................................................................................................................... 42
A. Kesimpulan ..................................................................................................................... 42
B. Saran ............................................................................................................................... 43
DAFTAR SUMBER ...................................................................................................................... 44
Lampiran-Lampiran ....................................................................................................................... 46
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sumedang memiliki akar sejarah yang panjang; ia memiliki masa

prasejarah, masa Kerajaan Kuna Sumedang Larang (tahun 900 s.d. 1601), masa

Bupati Wedana (1601 s.d. 1706), masa Bupati VOC (1706 s.d. 1799), masa

Bupati Zaman Pemerintah Hindia Belanda (1800 s.d. 1942), masa Bupati

Zaman Pemerintah Pendudukan Jepang (1942 s.d. 1945), dan bupati-bupati

pada zaman kemerdekaan. Ini juga berarti bahwa Sumedang memiliki sejarah

pemerintahan yang cukup lama.1

Sejak masa Kerajaan Sumedanglarang sampai periode Pemerintah

Pendudukan Jepang tercatat ada 29 penguasa (raja dan bupati). Tiap masa

pemerintahan, tentu saja, meninggalkan jejak-jejak sejarahnya, baik yang

bersifat artefak (fakta berupa benda-benda), mentifak (fakta mental), maupun

sosefak (fakta sosial). Dari waktu ke waktu fakta-fakta itu mengakumulasi,

menjadi memori kolektif dan sekaligus menjadi kebanggaan masyarakatnya.

Oleh karena itu, sisi apa pun dari masa lalu di wilayah Sumedang ini, dalam

besarannya masing-masing, memiliki makna penting bagi masyarakat. Bahkan

sebagian darinya masih cukup fungsional, sehingga keberadaan faktafakta masa

silam itu terus dipelihara dan diabadikan. Sebagai contoh, situs-situs sejarah

1
Mumuh Muhsin, Kerajaan Sumedanglarang, Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran Bandung
2008,
http://ejurnalpatanjala.kemdikbud.go.id/patanjala/index.php/patanjala/article/download/276/222
diunduh pada tanggal 23 September 2018.

1
berupa makam sampai sekarang masih banyak diziarahi masyarakat, baik yang

berasal dari Sumedang maupun dari luar Sumedang. Di lingkungan masyarakat

Sumedang pun masih diselenggarakan aneka ragam acara dan upacara adat,

yang secara kultural dan historis mengacu ke masa lalu Sumedang.2

Sumedang juga tidak telepas dari Islamisasi di tatar sunda, karena

Sumedang masuk kedalam jalur Islamisasi di priyangan yang di bawa oleh

Sunan Gunung Djati dari Cirebon. Pangkal masuknya Islam ke wilayah

Priangan dari Cirebon; sedangkan masuknya Islam ke wilayah Banten Selatan,

Bogor, dan Sukabumi dari Banten. Dengan demikian, wilayah Jawa Barat

dibagi atas dua bagian penyebaran Islam yaitu bagian barat dengan pusatnya

Banten dan daerah penyebarannya ialah Banten Selatan, Jakarta, Bogor, dan

Sukabumi. Bagian timur dengan pusatnya Cirebon dan daerah penyebarannya

adalah Kuningan, Majalengka, Indramayu, Subang, Cianjur, Bandung,

Sumedang, Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis.3

Sangat menarik ketika membahas Sumedang dari sudut pandang

keislaman, terutama dari segi struktur fungsional wilayah ini mengalami

perubahan yang sangat luar biasa ketika kedatangan Islam. Akan tetapi masih

mempertahankan beberapa tradisi nenek moyang dan bahkan masih bisa kita

lihat sampai hari ini.

2
Mumuh Muhsin, Kerajaan Sumedanglarang, Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran Bandung
2008,
http://ejurnalpatanjala.kemdikbud.go.id/patanjala/index.php/patanjala/article/download/276/222
diunduh pada tanggal 23 September 2018.

3
Nina dkk, Sejarah Perkembangan Islam di Jawa Barat, halaman 29
http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2013/10/SEJARAH-PERKEMBANGAN-ISLAM.pdf
diunduh pada tanngal 27 November 2018

2
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, penulis dalam mini riset ini

mengangkat judul “Islamisasi di Tatar Sunda: Studi Islamisasi di Tatar Sunda

Wilayah Sumedang”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, agar penelitian ini dapat terarah,

maka penulis membuat batasan-batasan penelitian dengan membuat beberapa

rumusan masalah. Rumusan-rumusan masalah tersebut antara lain;

a. Apa pengertian Islamisasi ?

b. Bagaimana konsep dakwah Islam dan Akulturasi/Transmisi nilai Islam

dalam budaya lokal ?

c. Bagaimana kondisi wilayah Sumedang sebelum masuknya Islam?

d. Bagaimana penyebaran Islam di Sumedang?

e. Bagaimana penyebaran Islam di Sumedang?

C. Tujuan Penelitian

Adapun penelitian ini memiliki beberapa tujuan, diantaranya:

a. Untuk mengetahui pengertian Islamisasi

b. Untuk mengetahui Akulturasi/Transmisi nilai Islam dalam budaya lokal

c. Untuk mengetahu kondisi wilayah Sumedang sebelum masuknya Islam

d. Untuk mengetahui penyebaran Islam di Sumedang

e. Untuk mengetahui proses Islamisasi di Sumedang

3
D. Kajian Pustaka

Penelitian sejarah biasanya tidak benar-benar berangkat dari nol,

melainkan berangkat dari topik-topik atau masalah yang telah diteliti oleh

sejarawan generasi sebelumnya. Para sejarawan itu kemudian mewariskan

seperangkat pengetahuan yang akan dikaji oleh sejarawan selanjutnya melalui

bacaan-bacaan. Karena hal tersebut merupakan sebuah asumsi pokok bagi

seorang sejarawan, dimana hasil penelian dari para pendahulunya tersebut akan

dijadikan sumber-sumber yang esensial.

Kajian Pustaka merupakan “telaah terhadap pustaka atau literatur yang

menjadi landasan pemikiran dalam penelitian”.4 Dalam kajian pustaka dapat

berupa buku-buku ataupun sumber-sumber lain yang sesuai dengan topik

penelitian. Atas berkat izin Allah Swt, penulis telah melakukan observasi ke

pelbagai tempat guna mencari sumber-sumber yang terkait dengan judul

penelitian yang penulis angkat. Hasil dari observasi tersebut, penulis

menemukan beberapa literatur yang dapat menopang penelitian ini, yakni antara

lain;

1. Islam di Tatar Sunda dan Hubungan Bupati dengan ulama zaman

Hindia Belanda, A. Sobana Hardjasaputra, 2015

Menjelaskan tentang masunya Islam di tatar sunda dan hubungan

pribumi dengan orang-orang Belanda.

2. Islamisasi Nusantara Prespektif Naskah Sejarah Melayu, Azis, S.Hum

4
Tim Prodi Ilmu Sejarah, Pedoman Penulisan Tugas Akhir Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Ilmu Sejarah
Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta, 2013, hlm. 6.
4
Memaparkan tentang problematika yang ada tentang Islamisasi di

Indonesia yang lebih menonjolkan khazanah historiografi Indonesia

secara komprehensif.

E. Langkah-langkah Penelitian

Ada begitu banyak metode dalam kegiatan penelitian. Dari sekian banyak

metode tersebut, yang akan digunakan dalam kegiatan penelitian ini adalah metode

penelitian sejarah (historical research method). Metode penelitian sejarah

bertujuan menemukan sebuah evaluasi sistematis dan objektif serta sintesis bukti-

bukti untuk menghadirkan fakta dan menarik kesimpulan mengenai kejadian-

kejadian lampau.5 Hal tersebut tidaklah mudah karena seringkali satu periode

kehidupan umat manusia hanya meninggalkan sedikit peninggalan yang dapat

dijadikan bukti atau fakta.

Untuk dapat mengatasi halangan-halangan yang dihadapi sekaligus

menyelesaikan penelitannya dalam waktu yang tepat, seorang sejarawan akan

dibantu oleh seperangkat metode yang disebut metodologi penelitian sejarah.

Dalam metodologi penelitian sejarah, seorang sejarawan dituntut untuk menguasai

metode yang digunakan agar mengetahui peristiwa di masa lampau. Untuk itu

dilakukanlah penelitian berupa prosedur penyelidikan dengan menggunakan teknik

pengumpulan data sejarah. Penelitian sejarah merupakan penelitian yang tergolong

“metode sejarah”, yaitu metode penelitian yang khusus digunakan dalam penelitian

sejarah melalui tahapan tertentu. Penerapan metode sejarah memerlukan tahapan-

tahapan kerja yang terdiri atas heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi.6

5
Nicholas Walliman, Research Methods: the Basics, New York: Routledge, 2011, hlm. 9.
6
Sulasman, Metodologi Penelitian Sejarah, Bandung: Pustaka Setia, 2014, hlm. 75.
5
A. Heuristik

Heuristik berasal dari bahasa Yunani heuriskein yang artinya

“menemukan,” Pada tahap ini, kegiatan diarahkan pada penjajakan, pencarian, dan

pengumpulan sumber-sumber yang sesuai dengan tema penelitian.7 Sumber sejarah

dibagi menjadi tiga; tertulis, lisan, dan benda.8

Di bawah ini adalah beberapa sumber sejarah yang berhasil kami temukan

di perpustakaan, observasi, dan melalui jejaring internet. Berikut sumber yang kami

temukan:

a. Sejarah Perkembangan Islam di Jawa Barat karya Prof. Dr. Hj. Nina H

Lubis, M.S. dkk.

b. Penyebaran Islam di Jawa Barat, karya Mumuh Muhsin Z (2010)

c. Islam di Tatar Sunda dan Hubungan Bupati dengan ulama zaman Hindia-

Belanda karya A. Sobana Hardjasaputra (2015)

d. Makna Sejarah dan Budaya dalam situs Jatigede Sumedang karya Dede

Mahruni (2011)

e. Islamisasi Nusantara Prespektif Naskah Sejarah Melayu karya Azis,

S.Hum (2015)

f. Enyeng karya Ajid Tohir

Sedangkan sumber-sumber sekunder yang akan penulis gunakan untuk

mendukung proses rekonstruksi sejarah dari sumber-sumber primer yang disebut

7
Sulasman, Metodologi Penelitian Sejarah, hlm. 93.
8
Sulasman, Metodologi Penelitian Sejarah, hlm. 95.
6
diatas terdiri dari beraneka buku. Sumber sekunder berupa buku, jurnal, dan karya

ilmiah lainnya yang banyak membantu penulis dalam penelitian ini di antaranya

adalah Sejarah Kerajaan Sumedang Larang karya Euis Tresnawati, Islamisasi Ilmu

Pengetahuan (Prespektif Sejarah, Kontroversi dan Perkembangannya) karya M.

Ghuron, Islam dan Adat: Tinjauan Akulturasi Budaya dan Agama dalam

Masyarakat Bugis karya Ismail Suardi, Islamisasi Ilmu Pengetahuan karya

Salafudin, Dakwah Islam dan Budaya Lokal (Akulturasi Timbal Balik) karya

Baderih, Islamisasi, Politik dan Transformasi Pendidikan karya Moeflich

Hasbullah dan M.Taufiq Rahman, Kabupaten Sumedang dalam angka tahun 2015

karya BPS Kabupaten Sumedang.

B. Kritik

Pada tahap ini, sumber dikumpulkan pada kegiatan heuristik yang berupa

sumber-sumber yang relevan dengan pembahasan yang terkait. Sumber tersebut

bisa dalam bentuk lisan, artefak, dan sebagian besar adalah tulisan. Selanjutnya,

diseleksi dengan mengacu pada prosedur yang ada, yakni sumber yang faktual dan

orisinilnya terjamin. Inilah yang dikenal dengan kritik. Kritik dilakukan oleh

sejarawan jika sumber-sumber sejarah telah dikumpulkan. Tahapan kritik memiliki

tujuan dalam pelaksanaannya, yakni untuk menguji otentisitas (authenticity).9 Ada

dua kritik, yakni kritik internal dan eksternal.

b.1 Kritik Eksternal

Kritik eksternal menyangkut pengujian terhadap keaslian sumber dan wajib

dilakukan oleh sejarawan. Kritik eksternal berguna untuk melakukan pengujian

9
Sulasman, Metodologi Penelitian Sejarah, hlm. 101.
7
terhadap aspek “luar” dari suatu sumber, seperti tentang siapa penulisnya.10

Sejarawan harus melakukan proses kritik atau seleksi yang ketat guna mendapatkan

fakta yang utuh mengenai masa lalu. Untuk itu sejarawan harus lihai dalam

melaksanakan kritik, karena bagaimanapun juga, seorang sejarawan, seperti yang

dikatakan Paul Veyne, hanya menghadirkan fakta.11

Sumber-sumber untuk penelitian mengenai Islamisasi di Sumedang, banyak

menggunakan karya-karya sejarawan terkenal saat ini, khusunya di Jawa Barat.

Kami banyak mendapat sumber dari hasil penelitian Prof. Nina Lubis yang

membahas perkembangan Islam di Jawa Barat, yang mana pada saat itu digunakan

untuk data Provinsi Jawa Barat. Selain itu di dukung oleh beberapa tulisan yang

sangat luar biasa dari beberapa dosen kami yang memiliki keahlian di bidangnya,

terutama Moeflich Hasbullah dan Ajid Tohir yang memiliki banyak karya dalam

bidang keislaman.

b.2 Kritik Internal

Jika tahapan kritik eksternal menekankan aspek “luar” sebuah sumber, maka

tahapan kritik internal akan lebih menyoroti bagian “dalam”, yaitu isi dari sebuah

sumber. Kritik internal adalah bentuk pengujian terhadap masalah kredibilitas.12

Dalam tahap ini seorang penulis harus memberikan keputusan bahwa apakah

“kesaksian itu dapat diandalkan (reliable) atau tidak.”13

10
Sulasman, Metodologi Penelitian Sejarah, hlm. 102.
11
Paul Veyne, Writing History: Essay on Epistemology, Connecticut: Wesleyan University Press,
1984, hlm. 7-13.
12
Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, terj. Nugroho Notosusanto, Jakarta: UI-Press, 2005, hlm.
112-121.

13
Sulasman, Metodologi Penelitian Sejarah, hlm 104.
8
Dalam penelitian ini, penulis banyak mengandalkan sumber-sumber yang

berasal dari tulisan dan data arkeologis. Hal ini dikarenakan kami dalam melakukan

penelitian ini menggunakan studi pustaka yang sangat mendalam, dari perpustakan

satu ke perpustkaan lain, kemudian beberapa hasil penjelajahan kami di jejaring

internet. Sejauh penelusuran kami mengenai sumber-sumber yang ada sangat

kompleks, terutam dari babad melayu yang kami dapat dari jejaring internet. Kami

setidaknya mengalami pencerahan ketika mengedepankan Historiografi Indonesia

dalam sumber kami, hal ini karena bisa menjadi bukti tentang khazanah pribumi

dalam penulisan sejarah. Meski dalam bentuk babad dan barat pasti

mempertanyakan hal ini, saya yakin kami bisa meramunya dengan mensinergikan

sumber-sumber yang ada sehingga menjadi kesatuan fakta yang sangat

komprehensif.

C. Interpretasi

Tahapan interpretasi berarti menafsirkan atau memberi makna kepada fakta-

fakta ataupun bukti-bukti sejarah. Interpretasi diperlukan karena pada dasarnya

bukti-bukti sejarah sebagai saksi realitas di masa lampau adalah hanya saksi-saksi

sejarah bisu belaka. Secara metodelogi interpretasi merupakan “bagian yang tak

terpisahkan dari keseluruhan proses penelitian sejarawan dan penulisan sejarah.”14

Dalam hal interpretasi terdapat dua hal yang paling penting untuk

diperhatikan. Pertama, analisis yaitu penguraian terhadap fakta yang didapatkan.

Hal ini bertujuan untuk melakukan penafsiran atas fakta-fakta yang diperoleh dari

sumber-sumber sejarah. Kedua, sintesis yaitu proses menyatukan semua fakta yang

14
A. Daliman, Metode Penelitian Sejarah, Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2012, hlm. 81.
9
telah diperoleh sehingga tersusun sebuah kronologi peristiwa dalam bentuk

rekonstruksi sejarah.15

Dalam tahapan ini, penulis melakukan penafsiran terhadap sumber sejarah

yang sudah ditemukan, dan telah dipilah pula fakta yang telah dikritik dengan

menggunakan kritik eksternal dan internal.

Selanjutnya, setiap peristiwa mengandung 3 pertanyaan. Yakni tentang

sebabnya, jalannya, dan akibatnya. Hal ini karena kehadiran kausalitas, yakni

hubungan antara cause (sebab) dan effect (akibat), di dunia ini. Kausalitas dapat

dijelaskan sebagai rantai yang saling berkait. Setiap peristiwa memiliki sebab, dan

peristiwa itu adalah akibat yang ditimbulkan sebab itu. Di saat yang sama, peristiwa

tadi sedang menjadi sebab bagi kejadian lain yang menjadi akibatnya. Analisa

terhadap sebab-sebab adalah hal yang wajib dalam penelitian sejarah.16

Dalam penelitian ini kami menggunakan teori perubahan sosial. Islam

sebagai agama yang baru pada saat itu mulai bisa merubah kebiasaan masyarakat

Sumedang dengan menyisipkan kebudayaan Islam dengan kebudayaan daerah pada

saat itu. Seiring berjalannya waktu terjadi sebuah akulturasi budaya diantara

keduanya. Akulturasi dapat didefinisikan sebagai proses sosial yang timbul bila

suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan

unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-

unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan

sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri.17

15
Sulasman, Metodologi Penelitian Sejarah, hlm. 107.
16
Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, hlm. 15-16.
17
Poerwanti Hadi, Asimilsi dan Akulturasi: Sebuah Tinjauan Konsep, diakses dari:
http://staffnew.uny.ac.id/upload/132326892/pengabdian/asimilasi-akulturasi.pdf pada 19 Mei 2019

10
D. Historiografi

Historiografi berasal dari bahasa Yunani, historia dan grafein. Historia

berarti penyelidikan tentang gejala alam fisik. Sedangkan grafein berarti gambaran,

lukisan, tulisan, atau uraian (description).18 Tahapan ini merupakan tahapan akhir

dari metode penelitian sejarah. Historiografi adalah proses penyusunan fakta

sejarah dan berbagai sumber yang telah diseleksi dalam bentuk penulisan sejarah.

Dalam tahapan penulisan historiografi ini yaitu mencakup cara penulisan,

pemaparan atau laporan hasil penelitian sejarah yang telah dilakukan. Sistematika

penulisan dalam penelitian ini terbagi kedalam beberapa bagian, yaitu:

BAB I, merupakan bab pendahuluan yang berisikan uraian mengenai latar

belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kerangka teori, kajian

pustaka dan langkah-langkah penelitian.

BAB II, dalam bab ini menguraikan pembahasan mengenai gambaran

umum Islamisasi di Sumedang.

BAB III, dalam bab ini menguraikan pembahasan mengenai Islamisasi di

Sumedang.

BAB IV, dalam bab ini merupakan bab penutup yang berisikan kesimpulan

dan saran.

18
Sulasman, Metodologi Penelitian Sejarah, hlm. 147.
11
BAB II

GAMBARAN UMUM ISLAMISASI DI TATAR SUNDA

A. Pengertian Islamisasi

Dalam bahasa Arab, istilah islamisasi ilmu dikenal dengan istilah

“islamiyyat al-ma’rifat” dan dalam bahasa inggris disebut dengan “islamization of

knowledge”. Jadi, islamisasi ilmu merupakan istilah yang mendeskripsikan

berbagai usaha dan pendekatan untuk mensitesakan antar etika Islam dengan

berbagai bidang pemikiran modern. Produk akhirnya akan menjadi ijma’

(kesepakatan) baru bagi umat Islam dalam bidang keilmuan yang sesuai dan metode

ilmiah yang tidak bertentangan dengan norma-norma Islam.19

Islamisasi adalah proses konversi masyarakat menjadi islam. Dalam

penggunaan kontemporer, mungkin mengacu pada pengenaan dirasakan dari sistim

sosial dan politik islam di masyarakat dengan latar belakang sosial dan politik

pribumi yang berbeda.20

Menurut Al-Faruqi, Islamisasi adalah usaha untuk mendefinisikan kembali,

menyusun ulang data, memikirkan kembali argumen dan rasionalisasi yang

berkaitan dengan data itu, menilai kembali kesimpulan dan tafsiran,

memproyeksikan kembali tujuan-tujuan dan melakukan semua itu sedemikian rupa

19
____, Islamisasi Ilmu, t.p, t.t, diunduh pada tanggal 24 maret 2019, dari: http://repo.iain-
tulungagung.ac.id/5831/7/BAB%204.pdf

20
Dewi Erifiani dkk, Islamisasi di Indonesia, Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan PGRI Wates:
Yogjakarta, 2015, t.h.

12
sehingga disiplin-disiplin ini memperkaya wawasan Islam dan bermanfaat bagi

cause (cita-cita).21

Al Attas memberi pengertian bahwa islamisasi sebagai proses pembebasan

atau pemerdekaan. Sebab ia melibatkan pembebasan roh manusia yang mempunyai

pengaruh atas jasmaninya dan proses ini menimbulkan keharmonisan dan

kedamaian dalam dirinya, sebagai fitranya.22 Atas dasar dari beberapa pendapat

diatas saya berasumsi bahwa islamisasi adalah sebuah proses dimana kebudayaan

Islam mulai diterima oleh masyarakat dan melekat dalam kehidupannya sehari-hari.

Perlu digarisbawahi bahwa terkait istilah islamisasi ilmu Mulyadhi

Kartanegara memberikan beberapa catatan khusus. Yang pertama, unsur Islam

dalam istilah islamisasi tidak mesti dipahami secara ketat sebagai ajaran yang harus

ditemukan rujukannya secara harfiah dalam Al-Qur'an dan hadis, namun sebaiknya

haruslah dilihat dari segi spiritnya yang tidak boleh bertentangan dengan ajaran-

ajaran fundamental Islam, seperti kepercayaan kepada Tuhan, alam gaib, malaikat,

hari akhir dan wahyu / kenabian. Rujukannya bisa bermacam sumber, di samping

Al-Qur'an dan hadis, rujukannya bisa dari sumber-sumber lain, seperti Yunani

Klasik, Persia, India pada masa lalu, bahkan Barat sendiri pada masa kini. Menurut

Mulyadhi, pada saat ini sebuah agama tidak bisa lagi membatasi diri secara

eksklusif hanya pada sumber aslinya, tetapi harus terbuka pada sumber kebenaran

21
M.Ghufron, Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Prespektif Sejarah, Kontroversi dan
Perkemabangannya), STIT Urwatul Wutsqo Bulurejo: Jombang, t.h.

22
Dewi Erifiani dkk, Islamisasi di Indonesia, Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan PGRI Wates:
Yogjakarta, 2015, t.h.

13
dan kebijaksanaan dari luar selama mereka tidak bertentangan dengan prinsip

ajarannya. Kedua, islamisasi ilmu yang Mulyadhi usulkan tidak semata pelabelan

sains dengan ayat Al-Qur'an atau hadis yang dipandang cocok dengan penemuan

ilmiah, tetapi beroperasi pada level epistemologis. Diawali dengan melakukan

dekonstruksi terhadap epistemologi Barat yang berkembang sekarang dan

kemudian merekonstuksi epistemologi alternatif dengan meramu secara kritis

bahan-bahan yang ada dalam tradisi intelektual Islam yang dibina selama lebih dari

satu millenium oleh para filosof dan para ilmuwan Muslim klasik. Konstruksi ulang

epistemologi alternatif ini akan meliputi pembahasan status ontologis objek ilmu,

klasifikasi dan metode-metode ilmiah ilmu. Ketiga, islamisasi ilmu didasarkan pada

asumsi bahwa sains atau ilmu tidak pernah bersifat netral dan bebas nilai.23

B. Teori-teori Masuknya Islam ke Indonesia

Berkaitan dengan masuknya Islam di Tatar Sunda, maka perlu

diketengahkan beberapa teori tentang masuknya Islam di Nusantara secara

keseluruhan. Ahmad Mansyur Suryanegara berpendapat bahwa masuknya Islam di

Indonesia dapat ditinjau dari tiga teori. Pertama, berdasarkan teori Gujarat

dikatakan bahwa Islam masuk di Indonesia dibawa oleh pedagang muslim yang

berasal dari Gujarat pada abad ke-13 Masehi. Sejalan dengan pendapat tersebut,

teori Persia mengutarakan pula bahwa Islam masuk ke Indonesia dibawa oleh

pedagang muslim yang berasal dari Persia pada abad ke-13 Masehi. Teori yang

23
____, Islamisasi Ilmu, t.p, t.t, diunduh pada tanggal 24 maret 2019, dari: http://repo.iain-
tulungagung.ac.id/5831/7/BAB%204.pdf

14
terakhir menerangkan bahwa Islam masuk di Indonesia dibawa oleh pedagang Arab

dari Mekkah pada abad ke-7 Masehi.24

Berlandaskan pada ketiga teori diatas, Hamka menerangkan bahwa Islam

masuk di Indonesia, bukanlah dari arab melainkan dari Pantai Malabar dan Persia

yang merupakan tangan kedua. Pendapat para ahli yang saling bertentangan dan

simpang siur kemudian mulai disatukan dalam Seminar masuk dan berkembangnya

Islam di Indonesia di Medan tahun 1963 serta di Aceh tahun 1978 dan tahun 1980.

Hasil seminar menyimpulkan bahwa agama Islam telah berangsur-angsur datang ke

Indonesia sejak abad-abad pertama Hijriyah atau sekitar abad ke-7 dan 8 Masehi ,

langsung dari Arab. Di antara para mubaligh Islam pertama ini terdapat orang-orang

dari Malabar, Gujarat, dan Persia. Sekalipun mubaligh itu dari Malabar, Gujarat,

dan Persia, para mubaligh tersebut hanya singgah sementara dan mereka berasal

dari Arab.25

Terlepas dari hasil seminar yang masih dalam perdebatan. Uka Candra

Sasmita dan Hasan Muarif Ambary membagi masuk dan berkembangnya Islam di

Indonesia kedalam beberapa fase. Pertama, abad ke-10 Masehi merupakan fase

kedatangan Islam yang ditandai dengan kehadiran para pedagang muslim yang

singgah di berbagai pelabuhan di Sumatera, Fase kedua abad ke-10 M sampai

dengan abad ke-13 M merupakan fase dimana sudah terdapat pemukiman Islam di

Sumatera dan ke-12 Jawa, bukti dari fase ini adalah makam Fatimah binti Maimun

24
_______, Teori Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, t.p, t.t, diunduh pada tangga 24
maret 2019, dari: http://digilib.uinsby.ac.id/582/5/Bab%202.pdf

25
_______, Teori Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, t.p, t.t, diunduh pada tangga 24
maret 2019, dari: http://digilib.uinsby.ac.id/582/5/Bab%202.pdf

15
yang ditemukan di Leran Gresik tahun 1082 M dan pemukiman muslim di Perlac

Aceh. Fase ketiga abad ke-13 hingga ke-16 M merupakan fase berdirinya kerajaan-

kerajaan Islam di Nusantara. Fase yang terakhir yakni abad 16 M sampai seterusnya

merupakan fase perkembangan Islam dan masa menghadapi penjajahan barat.26

C. Konsep dakwah Islam dan akulturasi nilai Islam dalam budaya lokal

Dakwah merupakan aktualisasi imani (teologis) yang dimanifestasikan

dalam suatu sistem kegiatan manusia beriman dalam bidang kemasyarakatan yang

dilaksanakan secara teratur untuk mempengaruhi cara merasa, berfikir, bersikap

dan bertindak manusia pada dataran kenyataan individual dan sosiokultural dalam

rangka mengusahakan terwujudnya ajaran Islam dalam semua segi kehidupan

dengan menggunakan cara-cara tertentu.27

Dakwah yang diterapkan Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah

adalah ajaran Islam sejati. Islam yang asli ini memancarkan budaya Islam syar’i

yakni pemahaman dan pengamalan Nabi atas agama yang belum dipengaruhi oleh

unsur-unsur budaya lokal, tetapi justru mengubah budaya Arab zaman Jahiliyah

yakni menyembah berhala atau yang disebutkan Nabi SAW sebagai musyrik.

Sedangkan ajaran Islam yang dibawa Nabi SAW adalah ketauhidan yaitu

menyembah hanya pada satu Tuhan yakni Allah SWT.28

26
_______, Teori Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, t.p, t.t, diunduh pada tangga 24
maret 2019, dari: http://digilib.uinsby.ac.id/582/5/Bab%202.pdf

27
Baderih, Dakwah Islam dan Budaya Lokal (Akulturasi Timbal Balik), Al-Tajdid, Vol.
VI/September 2011, halaman 60

28
Baderih, Dakwah Islam dan Budaya Lokal (Akulturasi Timbal Balik), Al-Tajdid, Vol.
VI/September 2011, halaman 61

16
Indonesia sebagai sebuah negara yang memiliki kekayaan dan keragaman

budaya lokal. Di tengah budaya lokal yang beragam itu; agama (Islam) datang,

tersebar, dan berkembang. Pertemuan Islam dan budaya lokal melahirkan banyak

perspektif termasuk berbagai pandangan mengenai titik temu antara Islam dan

budaya. Pertemuan Islam dan budaya lokal setempat menimbulkan interaksi antara

keduanya.29

Interaksi budaya, baik akulturasi maupun asimilasi bisa terjadi dalam

lingkup antar individu maupun antar kelompok. Dalam lingkup individu, proses

interaksi dalam bentuk komunikasi akan membentuk kesepakatan bersama,

selanjutnya dipakai bersama, bahkan menjadi pengikat antar sesama mereka. Kalau

masing-masing buah pikiran merupakan budaya, maka hasil komunikasi tersebut

menjadi budaya bersama, atau yang disebut sebagai budaya kolektif. Proses itu

biasa terjadi dalam satu wilayah tertentu, sehingga terbentuk apa yang disebut

dengan budaya lokal. Budaya lokal itulah yang sangat berperan dalam membentuk

masyarakat, yang terikat oleh kesamaan budaya.30

Kehadiran Islam di Indonesia tentu bersentuhan dengan tradisi-tradisi yang

berkembang di kawasan ini. Kehadirannya pun tidak serta merta melenyapkan

tradisi yang ada, melainkan mempertahankannya serta mewarnainya dengan corak

keislaman. Islam yang berkembang di Indonesia merupakan suatu entitas, karena

memiliki karakter yang khas, yang membedakan Islam di daerah lain, karena

29
Baderih, Dakwah Islam dan Budaya Lokal (Akulturasi Timbal Balik), Al-Tajdid, Vol.
VI/September 2011, halaman 61

30
Baderih, Dakwah Islam dan Budaya Lokal (Akulturasi Timbal Balik), Al-Tajdid, Vol.
VI/September 2011, halaman 62

17
perbedaan sejarah dan perbedaan latar belakang georafis dan budaya yang

dipijaknya.31

Selain itu, Islam yang datang ke Indonesia, juga memiliki strategi dan

kesiapan tersendiri, antara lain: pertama, Islam datang dengan mempertimbangkan

tradisi. Tradisi apaun tidak akan ditolak, tetapi juga diapresiasi untuk dijadikan

sarana pengembangan Islam. Kedua, Islam datang tidak mengusik agama atau

kepercayaan apapun, sehingga bisa hidup berdampingan dengan mereka. Ketiga,

Islam datang mendinamisir tradisi yang sudah usang, sehingga Islam diterima

sebagai tradisi dan agama.32

Islam sebagai agama yang ajarannya universal memungkinkannya

berinteraksi dengan budaya lokal dimana ia tersebar dan berkembang. Secara

faktual, interaksi Islam dan budaya lokal merupakan hal yang tidak dapat

dihindarkan. Interaksi yang mengambil bentuk akulturasi melahirkan karakteristik

keberagamaan Islam yang berbeda dari satu tempat ke tempat yang lain.33

Boleh jadi, Islam lebih dominan atau sebaliknya budaya lokal setempat yang

lebih dominan. Sehingga diharapkan, dengan adanya da’i yang menyampaikan

dakwah, maka kepekaan dan kesadaran masyarakat dapat lebih meningkat dalam

31
Baderih, Dakwah Islam dan Budaya Lokal (Akulturasi Timbal Balik), Al-Tajdid, Vol.
VI/September 2011, halaman 63

32
Baderih, Dakwah Islam dan Budaya Lokal (Akulturasi Timbal Balik), Al-Tajdid, Vol.
VI/September 2011, halaman 63

33
Baderih, Dakwah Islam dan Budaya Lokal (Akulturasi Timbal Balik), Al-Tajdid, Vol.
VI/September 2011, halaman 73

18
memilah unsur-unsur budaya tersebut sehingga akulturasi tersebut dapat diterima,

sejauh tetap sejalan dengan nilai dasar ajaran Islam.34

Hal ini tentunya sejalan dengan pengertian dakwah itu sendiri yakni usaha

untuk mempengaruhi orang lain agar mereka bersikap dan bertingkah laku sesuai

dengan ajaran Islam yang didakwahkan oleh da’i.35

D. Jalur Islamisasi di Tatar Sunda

Mengawali pembahasan ini akan diuraikan sedikit tentang Cirebon, Banten,


dan Sunda Kalapa karena daerah-daerah ini menjadi sentral setting spasial masuk
dan berkembangnya Islam di Jawa Barat pada masa-masa awal. Secara geografis
Cirebon terletak di pesisir utara Jawa, atau di tepi pantai sebelah timur ibu kota
Pajajaran. Penduduknya mempuyai mata pencaharian menangkap udang dan
membuat terasi. Cirebon memiliki muara-muara sungai yang berperan penting bagi
pelabuhan yang dijadikannya sebagai tempat menjalankan kegiatan pelayaran dan
perdagangan lokal, regional, dan bahkan internasional. Pada tahun 1513, Tome
Pires menceritakan bahwa pelabuhan Cirebon tiap hari disinggahi tiga atau empat
buah kapal (junk) untuk berlabuh. Dari pelabuhan ini diekspor beras, jenis-jenis
makanan, dan kayu dalam jumlah banyak sebagai bahan membuat kapal.
Penduduknya berjumlah sekitar 1.000 orang. Cirebon sebagai kota pelabuhan sudah
berlangsung sejak lama, yakni sejak Cirebon menjadi vassal Kerajaan Sunda.36

Dalam sumber-sumber lokal, Babad Cirebon (edisi Brandes) dan Carita


Purwaka Caruban Nagari misalnya, diceritakan bahwa Cirebo dulunya sebagai

34
Baderih, Dakwah Islam dan Budaya Lokal (Akulturasi Timbal Balik), Al-Tajdid, Vol.
VI/September 2011, halaman 74

35
Baderih, Dakwah Islam dan Budaya Lokal (Akulturasi Timbal Balik), Al-Tajdid, Vol.
VI/September 2011, halaman 74

36
Mumuh, PENYEBARAN ISLAM DI JAWA BARAT, (Bandung : Unpad, Ilmu sejarah. 2010).
Halaman 2. http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2013/10/pustaka_unpad_Bogor.pdf
diunduh pada tanggal 27 November 2018

19
dukuh yang diperintah oleh seorang juru labuan (syahbandar), kemudian menjadi
desa yang dipimpin oleh seorang kuwu. Pelabuhannya berlokasi di Muara Amparan
Jati yang berada di Dukuh Pasambangan. Yang menjadi kepala atau juru
labuhannya ialah Ki Gedeng Kasmaya, Ki Gedeng Sedangkasih, kemudian diganti
oleh Ki Gedeng Tapa, selanjutnya diganti lagi oleh Ke Gedeng Jumajan Jati.
Konsekuensi sebagai vassal Kerajaan Sunda, setiap tahun Cirebon menyerahkan
upeti berupa garam dan terasi.37

Sebelum tempat yang sekarang menjadi kota Cirebon dihuni orang, tidak
jauh di sebelah utara tempat itu terdapat kehidupan masyarakat. Masyarakat yang
tinggal di tempat itulah yang merupakan cikal bakal penduduk kota Cirebon. Di situ
terdapat pelabuhan Muhara Jati dan Pasambangan. Di sebelah utaranya terdapat
negeri Singapura di sebelah timurnya terdapar negeri Japura, sedangkan di sebelah
selatan di bagian pedalaman terdapat Caruban Girang. Pada perempat pertama abad
ke-14 Masehi saudagar-saudagar yang berasal dari Pasai, Arab, India, Parsi,
Malaka, Tumasik (Singapura), Palembang, Cina, Jawa Timur, dan Madura datang
berkunjung ke Pelabuhan Muhara Jati dan Pasar Pasambangan untuk berniaga dan
memenuhi keperluan pelayaran lainnya. Kedatangan mereka, yang telah memeluk
Islam, di Pelabuhan Muhara Jati dan Pasar Pasambangan memungkinkan penduduk
setempat berkenalan dengan agama Islam.38 Banten, merupakan pelabuhan yang
penting bila dilihat dari sudut geografi dan ekonomi karena letaknya yang strategis
dalam penguasaan Selat Sunda, yang menjadi matarantai pula dalam pelayaran dan
perdagangan melalui lautan Indonesia di bagian selatan dan barat Sumatera.

37
Mumuh, PENYEBARAN ISLAM DI JAWA BARAT, (Bandung : Unpad, Ilmu sejarah. 2010).
Halaman 2. http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2013/10/pustaka_unpad_Bogor.pdf
diunduh pada tanggal 27 November 2018

38
Mumuh, PENYEBARAN ISLAM DI JAWA BARAT, (Bandung : Unpad, Ilmu sejarah. 2010).
Halaman 2-3. http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2013/10/pustaka_unpad_Bogor.pdf
diunduh pada tanggal 27 November 2018

20
Pentingnya Banten lebih dirasakan terutama waktu Selat Malaka berada di bawah
pengawasan politik Portugis di Malaka.39

Banten disebut pertama kali dalam Babad Cirebon (edisi Brandes) sebagai
tempat singgah Syarif Hidayatulloh ketika ia baru tiba di Pulau Jawa sepulangnya
dari Tanah Arab. Di Banten waktu itu telah ada yang menganut agama Islam,
walaupun masih merupakan bagian dari Kerajaan Hindu Pajajaran. Penduduk
Banten diislamkan oleh Demak dan Cirebon tanpa peperangan. Menurut Carita
Purwaka Caruban Nagari, pada waktu Syarif Hidayatulloh singgah di Banten,
tempat itu telah menjadi kota pelabuhan. Menurut Tome Pires, Banten pada tahun
1513 merupakan pelabuhan dagang milik Kerajaan Sunda Empat belas tahun
kemudian (1627) orang Portugis lain bernama Barros mendapatkan Banten sebagai
kota pelabuhan besar sejajar dengan Malaka dan Sumatera. Pada tanggal 22 Juni
1596 rombongan orang Belanda yang pertama datang di Banten dipimpin oleh
Cornelis de Houtman. Ia mendapatkan Banten sebagai pusat kekuasaan Islam, di
samping sebagai kota pelabuhan besar. Di pelabuhan itu banyak berniaga saudagar
dari Cina, Persi, Arab, Turki, India, dan Portugis.40

Eksistensi Sunda Kalapa disaksikan dan diceritakan oleh Tome Pires


tahun1513, J. De Barros tahun 1527, dan Cornelis de Houtman tahun 1598. Ketiga
orang itu menyatakan bahwa Sunda Kalapa merupakan kota pelabuhan yang indah
dan ramai dikunjungi para pedagang. Pada mulanya kota pelabuhan ini merupakan
pelabuhan utama Kerajaan Sunda, kemudian diduduki oleh pasukan Islam dari

39
Mumuh, PENYEBARAN ISLAM DI JAWA BARAT, (Bandung : Unpad, Ilmu sejarah. 2010).
Halaman 3. http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2013/10/pustaka_unpad_Bogor.pdf
diunduh pada tanggal 27 November 2018

40
Mumuh, PENYEBARAN ISLAM DI JAWA BARAT, (Bandung : Unpad, Ilmu sejarah. 2010).
Halaman 3-4. http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2013/10/pustaka_unpad_Bogor.pdf
diunduh pada tanggal 27 November 2018

21
Demak dan Cirebon di bawah pimpinan Faletehan (1527). Setelah dikuasai pasukan
Islam, Sunda Kalapa berubah nama menjadi Jayakarta.41

Pangkal masuknya Islam ke wilayah Priangan dari Cirebon; sedangkan


masuknya Islam ke wilayah Banten Selatan, Bogor, dan Sukabumi dari Banten.
Dengan demikian, wilayah Jawa Barat dibagi atas dua bagian penyebaran Islam
yaitu bagian barat dengan pusatnya Banten dan daerah penyebarannya ialah Banten
Selatan, Jakarta, Bogor, dan Sukabumi. Bagian timur dengan pusatnya Cirebon dan
daerah penyebarannya adalah Kuningan, Majalengka, Indramayu, Subang, Cianjur,
Bandung, Sumedang, Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis. Setidak-tidaknya terdapat
enam rute dalam penyebaran Islami di wilayah Jawa Barat. Keenam rute penyebara
tersebut adalah sebagai berikut.

1. Cirebon – Kuningan – Talaga – Ciamis.

2. Cirebon – Kadipaten – Majalengka – Darmaraja – Garut.

3. Cirebon – Sumedang – Bandung.

4. Cirebon – Talaga – Sagalaherang – Cianjur.

5. Banten - Jakarta – Bogor – Sukabumi.

6. Banten – Banten Selatan – Bogor – Sukabumi.42

41
Mumuh, PENYEBARAN ISLAM DI JAWA BARAT, (Bandung : Unpad, Ilmu sejarah. 2010).
Halaman 4. http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2013/10/pustaka_unpad_Bogor.pdf
diunduh pada tanggal 27 November 2018

42
Nina dkk, Sejarah Perkembangan Islam di Jawa Barat, halaman 29
http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2013/10/SEJARAH-PERKEMBANGAN-ISLAM.pdf
diunduh pada tanngal 27 November 2018

22
BAB III

ISLAMISASI DI WILAYAH SUMEDANG

A. Sumedang sebelum datangnya Islam

Berdasarkan data dan penelitian arkeologis, Tanah Sunda telah dihuni oleh

masyarakat Sunda secara sosial sejak lama sebelum Tarikh Masehi. Situs purbakala

di Ciampe'a (Bogor), Klapa Dua (Jakarta), dataran tinggi Bandung dan Cangkuang

(Garut) memberi bukti dan informasi bahwa lokasi-lokasi tersebut telah ditempati

oleh kelompok masyarakat yang memiliki sistem kepercayaan, organisasi sosial,

sistem mata pencaharian, pola pemukiman, dan lain sebagainya sebagaimana

layaknya kehidupan masyarakat manusia betapapun sederhananya.43

Era sejarah di Tanah Sunda baru dimulai pada pertengahan abad ke-5 seiring

dengan dibuatnya dokumen tertulis berupa beberapa buah prasasti yang dipahat

pada batu dengan menggunakan Bahasa Sansekerta dan Aksara Pallawa. Prasasti-

prasasti itu yang ditemukan di daerah Bogor, Bekasi dan Pandeglang dibuat pada

zaman Kerajaan Tarumanagara dengan salah seorang rajanya bernama

Purnawarman dan ibukotanya terletak di daerah Bekasi sekarang. Pada masa itu

sampai abad ke-7, sistem kerajaan sebagai bentuk pemerintahan, Agama Hindu

sebagai agama resmi negara, sistem kasta sebagai bentuk stratifikasi sosial, dan

hubungan antar negara telah mulai terwujud, walaupun masih dalam tahap awal dan

terbatas. Sriwijaya di Sumatera, India dan Cina merupakan negeri luar yang sudah

43
Ajid Thohir, Enyeng, t.p, t.t, hal 15

23
menjalin hubungan dengan kerajaan Tarumanagara,sehingga kebudayaan Hindu

dari India memberi warna yang dominan dan berpengaruh di sini.44

Sunda sebagai nama kerajaan kiranya baru muncul pada abad ke-8 sebagai

lanjutan atau penerus Kerajaan Tarumanagara. Pusat kerajaannya berada di sekitar

Bogor sekarang. Paling tidak, ada tiga macam sumber yang menyebut Sunda

sebagai nama kerajaan. Pertama, dua buah prasasti (Bogor dan Sukabumi); kedua,

beberapa buah berita orang Portugis (1513,1522,1527); dan ketiga, beberapa buah

naskah lama (Carita Parahiyangan, Sanghyang Siksa Kanda'ng Karesian). Ibu kota

Kerajaan Sunda dinamai Pakuan Pajajaran,Bogor.45

Dalam tradisi lisan dan naskah sesudah abad ke-17, Pakuan biasa disebut

untuk nama ibukota, sedangkan Pajajaran untuk menyebutkan kerajaan. Kerajaan

ini hidup kira-kira 6 abad, karena runtuhnya sekitar tahun 1579. Pernah mengalami

masa kejayaan yang antara lain ditandai dengan luas wilayah yang meliputi seluruh

Tatar Sunda, kesejahteraan rakyat tinggi, keamanan stabil, hubungan dengan dunia

luar (Majapahit, Portugis, Sriwijaya) berjalan baik. Dikenal ada dua raja termasyhur

akan kebesarannya, yakni Prabu Niskala Wastukancana dan Sri Baduga Maharaja.

Ibu kotanya pernah berada di Kawali, Galuh Ciamis. Pada masa pemerintahan

Prabu Maharaja (1350-1352) terjadi konflik dengan Majapahit, karena masalah

pernikahan puteri Sunda dengan raja Majapahit Hayam Wuruk. Pada masa

pemerintahan Sri Baduga Maharaja (1482-1521) dan puteranya, Prabu Surawisesa,

44
Ajid Thohir, Enyeng, t.p, t.t, hal 15

45
Ajid Thohir, Enyeng, t.p, t.t, hal 16

24
(1521- 1535) terjalin hubungan kerjasama ekonomi dan keamanan antara kerajaan

Pajajaran dengan Portugis yang berkedudukan di Malaka.46

Dari kerajaan ini dihasilkan beras dan lada yang banyak sehingga bisa

diekspor. Kota pelabuhan yang besar antara lain Banten, Kalapa (Jakarta sekarang),

dan Cirebon. Sistem ladang merupakan cara bertani rakyatnya. Ada jalan raya darat

yang menghubungkan ibukota kerajaan dengan Banten di sebelah barat, Kalapa

disebelah utara, serta Cirebon dan Galuh di sebelah timur. Dari daerah pedalaman

ke pesisir utara dihubungkan dengan jalur lalulintas sungai dan jalan menyusuri

pantai.47

Para pedagang Islam sudah berdatangan ke kota-kota pelabuhan Kerajaan

Sunda untuk berdagang dan memperkenalkan agama Islam. Lama kelamaan para

pedagang Islam bermukim di kota-kota pelabuhan Sunda, terutama di Banten,

Karawang, dan Cirebon kemudian penduduk setempat banyak yang menganut

Agama Islam. Berkat dukungan Kesultanan Demak, berdirilah kekuasaan Islam di

Cirebon dan Banten yang dalam perkembangan selanjutnya mendesak kekuasaan

Kerajaan Sunda sampai akhirnya menumbangkan kerajaan Sunda Padjajaran sama

sekali (1579). Sementara di daerah pesisir Sunda berkembang kekuasaan

Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten. Sedangkan sisi yang lain Mataram

sedang mengukuhkan dan menancapkan pengaruhnya di daerah-daearah Sunda.

Seiring dengan hal ini di daerah-daerah pedalaman lainnya muncul semacam

46
Ajid Thohir, Enyeng, t.p, t.t, hal 16

47
Ajid Thohir, Enyeng, t.p, t.t, hal 17

25
wilayah adipati (kabupaten) yang masing-masing berdiri sendiri, akibat hancurnya

Padjajaran, seperti Sumedang dan Galuh. Kerajaan Galuh pada akhirnya mengakui

dan menyerahkan kekuasaannya pada Sumedang dan sebagai kenyataan ini

beberapa simbol kerajaan Sunda sepenuhnya menjadi warisan kerajaan Sumedang

larang, sebagai pelanjut kerajaan Sunda.48

Karena sebab-sebab politis maupun alasan-alasan sosiologis, terutama

karena hendak menghindari dan melepaskan diri dari dua cengkraman kesultanan

Islam (Banten dan Cirebon), Sumedang akhirnya memilih dan memiliki hubungan

yang sangat kuat dengan kesultanan Mataram (1625 M). Karena beberapa alasan-

alasan tersebut, raja-raja Sumedang menyerahkan sepenuhnya pada Mataram, baik

dalam mengisi corak keislaman maupun dalam pembentukan aspek-aspek sosial

dan budaya keislaman. Sejak periode ini, Sumedang pada akhirnya sebagai

bentukan dan bagian dari vasal-vasal Mataram. Dengan demikian hubungan Sunda-

Jawa Mataram terbentuk di Tatar Sunda, Sumedang.49 Pada periode ini pula

nampaknya secara intensif proses islamisasi dan pembentukan karakter lokal

berproses secara simetris, Islam mewarnai tradisi lokal sebaliknya tradisi lokal

membantu dalam pembentukan pemahaman keagamaan baru. Kenyataan ini oleh

Marshal G.S.Hudgson biasa disebut sebagai fenomena islamicate; tarik menarik

antara teks-teks (doktrin) Islam dengan konteks sosial-budaya.50

48
Ajid Thohir, Enyeng, t.p, t.t, hal 17

49
Ajid Thohir, Enyeng, t.p, t.t, hal 18

50
Ajid Thohir, Enyeng, t.p, t.t, hal 19

26
Secara geografis, Sumedang Larang yang digambarkan oleh Babad ini,

berada di daerah yang sangat strategis, pusat pemerintahannya disebut Kutamaya,

berada di lingkungan gunung dan sungai; sebelah selatan gunung Kacapi, sebelah

utaranya gunung Palasari dan diapit oleh sungai Cisugan. Tanahnya subur dan datar

sehingga nampak jelas melihat pemandangan seluruh kota Kutamaya saat itu. Kota

Kutamaya ini sebenarnya merupakan tempat ketiga pusat pemerintahan, setelah

masa-masa awal berdiri, ia berada di sekitar Sumedang Selatan, Desa

Leuwihideung Kecamatan Darmaraja (sekarang). Di kota inilah berdiri kerajaan

Sumedang Larang yang didirikan oleh Prabu Tajimalela, sebagai turunan dari

wangsa raja Padjadjaran, yakni Prabu Aji Putih saudara dari Sri Baduga Maharaja

Prabu Siliwangi I raja Sunda Padjadjaran.51

Sebelum mendirikan kerajaan Sumedang, Prabu Taji Malela berkelana

mencari tempat bertapa untuk memperdalam ilmu kesaktiannya. Akhirnya ia

menemukan Gunung Mandala Sakti, konon berdasarkan mitologi setempat, dengan

kehebatannya akhirnya ia bisa membelah gunung tersebut dan bisa menyatukan

kembali dengan membalut (nyimpai) melalui ilmunya. Sampai sekarang gunung

itupun dikenal dengan sebutan Gunung Simpai. Gunung itu sekarang terletak di

Kecamatan Situraja. Selesai bertapa akhirnya ia turun untuk mendirikan kerajaan,

dengan gelar Prabu Taji Malela, sebelum itu nama panggilannya Prabu Bathara

Tungtang Buana.52

51
Ajid Thohir, Enyeng, t.p, t.t, hal 33

52
Ajid Thohir, Enyeng, t.p, t.t, hal 33

27
Ia memproklamirkan Sumedang sebagai kota merdeka, setelah kerajaan

Sunda Pakuan Padjadjaran di Bogor takluk di bawah serangan pasukan Surosowan

Banten di bawah pimpinan Sultan Maulana Yusuf, sultan Banten ke 2 setelah Sultan

Hasanudin. Kata Sumedang Larang, berasal dari rangkaian kata, “Sumedang

Larang” insun medal insun madangan, saya lahir untuk memberi penerangan. Kata-

kata tersebut diucapkan oleh Prabu Taji Malela, saat keluar dari tempat

pertapaannya. Juga dikatakan “Su” artinya bagus, “Medang” artinga luas, dan

“Larang” artinya jarang bandingannya.53

Seluruh bekas-bekas wilayah Padjadjaran diaku oleh kepemimpinan

Sumedang Larang, Prabu Taji Malela dan dikuatkan oleh empat tokoh yang

mendukungnya, yang disebut “Kandaga Lante” yakni semacam kepala-kepala adat

yang diduga posisinya satu tingkat di atas kawedanaan, bahkan kebupaten. Tokoh-

tokoh itu adalah berasal dari tokoh-tokoh Padjadjaran, mereka itu adalah:

Sanghyang Hawu, Ngangganan, Sanghyang Kondang Hapa, dan Bathara Pancar

Buana atau Mbah Terong Peot. Semuanya sepakat untuk menyerahkan mahkota

Mas, termasuk pusaka Kujang Mas Padjadjaran dan dengan ikhlas mereka

mengabdikan dirinya pada kepemimpinan Prabu Taji Malela.54

Baginda Prabu Tajimalela mempunyai dua putra kembar, yang tertua

bernama Prabu Lembu Agung dan adiknya bernama Prabu Gajah Agung. Pengganti

53
Ajid Thohir, Enyeng, t.p, t.t, hal 33

54
Ajid Thohir, Enyeng, t.p, t.t, hal 34

28
Tajimalela yang pertama adalah Prabu Lembu Agung, akan tetapi ia lebih tertarik

menjadi resi (petapa), maka kepemimpinan diserahkan pada adiknya, Prabu Gajah

Agung, yang berkedudukan di Ciguling desa Pasanggrahan, kecamatan Situraja

(sekarang), Sumedang Selatan.55

Dari Prabu Gajah Agung kepemimpinan turun ke putranya, Sunan Guling.

Ia mempunyai seorang putri dan putra, bernama Ratu Ratnaningsing (Nyimas Raja

Mantri, yang kelak dinikahi oleh Sri Baduga Maharaja) dan Sunan Patuakan. Sunan

Guling digantikan oleh Sunan Patuakan, kemudian digantikan oleh putrinya Sunan

Patuakan bernama, Nyi Mas Ratu Patuakan yang menikah dengan Sunan Conde.

Sebelumnya Sunan Condre telah beristri Mayang Sari dari Langlang Buana

Kuningan, dan berputra bernama Ratu Wulan Sari (Ratu Payung) yang kemudian

menikah dengan Rangga Mantri alias Sunan Parung Gangsa (Pucuk Umun Talaga),

putra Munding Surya Agung. Dari Nyimas Patuakan, Sunan Condre berputri

Setyasih yang menjadi Ratu Sumedang Larang dengan gelar “Ratu Pucuk Umun”

dan menikah dengan Sunan Maulana Maghribi, putra Pangeran Pamelekaran atau

Panjunan (cucu dari Sunan Gunung Djati Cirebon), yang kelak melahirkan

Pangeran Santri.56

Sebelumnya, Ratu Pucuk Umun semula beragama Budha kemudian ia

masuk Islam, dan memindahkan pusat ibu kota Sumedang Larang ke Kutamaya,

karena dianggap lebih strategis, luas dan datar, sebagaimana disebutkan dalam

55
Ajid Thohir, Enyeng, t.p, t.t, hal 34

56
Ajid Thohir, Enyeng, t.p, t.t, hal 35

29
Babad di atas. Dari naskah-naskah ini tidak dijelaskan bagaimana kehidupan sosial

masyarakat secara rinci, ia lebih banyak dalam mengungkap aspek tokoh-tokoh

Sumedang sebelum dan menjelang kadatangan Islam.57

Luas wilayahnya saat masa Prabu Taji Malela, meliputi seluruh daearh Jawa

Barat, dikurang kesultanan Banten dan Cirebon, karena ia adalah sebagai pewaris

Kerajaan Sunda Padjadjaran saat itu setelah Galuh menyerahkan padanya; batas

sebelah timur Sungai Cipamali dan sebelah Barat sampai Sungai Cisadane, kecuali

Kota Pakuan Bogor, Cirebon dan Galuh. Sementara pada masa Ratu Pucuk Umun

Sumedang Larang meliputi beberapa negeri seperti Sumedang sebagai inti kerajaan,

Karawang, Ciasem, Pamanukan, Indramayu, Sukapura dan Parakanmuncang.58

Menurut Edi S.Ekadjati, diduga sepanjang eksistensinya, Kerajaan

Sumedang Larang mengalami dua kali perubahan agama yang pernah dianut oleh

pemegang pucuk pimpinan berikut masyarakatnya. Dari masa awal masa Prabu Taji

Malela sampai dengan berdirinya kepemimpinan Pangeran Santri (suami Ratu

Pucuk Umun) menjadi penguasa Sumedang, raja dan masyarakatnya adalah

penganut agama nenek moyang Padjadjaran, yakni agama Sunda Purbajati

semacam animisme. Sekalipun demikian, menurut penulis, tidak menutup

kemungkinan bagi wilayah-wilayah lain di luar Sumedang, seperti disebutkan di

atas, diduga sudah banyak yang menganut berbagai macam agama lain, seperti

57
Ajid Thohir, Enyeng, t.p, t.t, hal 35

58
Ajid Thohir, Enyeng, t.p, t.t, hal 35

30
Hindu atau Budha. Terutama di daerah-daerah pesisir pantai semacam Karawang,

Pamanukan atau Indramayu, karena didukung oleh sarana transfortasi dan dinamika

komunikasi dengan dunia luar.59

B. Sumedang pada masa Islam

Pada perempat kedua abad ke-16 Masehi seluruh Pantai Utara Jawa Barat

telah berada di bawah penguasaan pemimpin-pemimpin Islam. Adapun

penyebaran Islam ke daerah-daerah pedalaman Jawa Barat dilakukan setelah

itu.60

Dalam Carita Purwaka Caruban Nagari disebutkan bahwa daerahdaerah di

Jawa Barat yang diislamkan oleh Sunan Gunung Jati, selain yang telah

disebutkan di atas (Cirebon, Banten, Kalapa), adalah Kuningan, Sindangkasih,

Talaga, Luragung, Ukur, Cibalagung, Kluntung Bantar, Pagadingan, Indralaya,

Batulayang, dan Imbanganten. Daerah Priangan Selatan diislamkan oleh Haji

Abdullah Iman, uwaknya Sunan Gunung Jati. Pangeran Makhdum

mengislamkan daerah Pasir Luhur. Galuh dan Sumedang diislamkan oleh

Cirebon pada masa Sunan Gunung Jati. Luragung diislamkan tahun 1481

Masehi. Daerah Kuningan, Talaga, Galuh, dan daerah-daerah sekitarnya

59
Ajid Thohir, Enyeng, t.p, t.t, hal 36

60
Mumuh, Penyebaran Islam di Jawa Barat, (Bandung : Unpad, Ilmu sejarah. 2010). Halaman 25.
http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2013/10/pustaka_unpad_Bogor.pdf diunduh pada
tanggal 27 November 2018

31
pengislamannya terjadi pada tahun 1530 Masehi. Adapun daerah Rajagaluh

diislamkan tahun 1528 Masehi dan Talaga tahun 1530 Masehi.61

Menurut sumber dari Talaga, penguasa Talaga yang pertama masuk Islam

adalah Rangga Mantri. Ia masih punya darah Pajajaran. Kemudian ia nikah

dengan Ratu Parung, puteri penguasa Talaga. Setelah masuk Islam Rangga

Mantri diangkat menjadi Bupati Talaga. Akan tetapi, menurut keterangan lain,

penguasa Talaga yang pertama kali masuk Islam adalah Aria Wangsa Goparana.

Ia adalah putera Sunan Ciburang, cucu Sunan Wanaperih, cicit Sunan Parung

Gangsa. Daerah Talaga menjadi daerah bawahan Cirebon sejak pemerintahan

Sunan Wanaperih.62

Islam masuk ke daerah Sumedang melalui cara perkawinan. Pangeran Santri

dikenal sebagai penguasa daerah (Bupati) Sumedang pertama yang beragama

Islam. Pangeran Santri dari pihak ibu adalah keturunan raja Pajajaran dan dari

pihak ayah keturunan Sunan Gunung Jati.63

Sumedang sebagai bagian dari daerah pedalaman yang ada di sekitar Tatar

Sunda, memiliki sejumlah keunikan dalam mengapresiasi Islam sebagai tradisi

61
Mumuh, Penyebaran Islam di Jawa Barat, (Bandung : Unpad, Ilmu sejarah. 2010). Halaman 25.
http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2013/10/pustaka_unpad_Bogor.pdf diunduh pada
tanggal 27 November 2018

62
Mumuh, Penyebaran Islam di Jawa Barat, (Bandung : Unpad, Ilmu sejarah. 2010). Halaman 26.
http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2013/10/pustaka_unpad_Bogor.pdf diunduh pada
tanggal 27 November 2018

63
Mumuh, Penyebaran Islam di Jawa Barat, (Bandung : Unpad, Ilmu sejarah. 2010). Halaman 27.
http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2013/10/pustaka_unpad_Bogor.pdf diunduh pada
tanggal 27 November 2018

32
besar dunia. Bahkan sampai saat ini dibanding dengan daerah-daerah lainnya di

sekitar Tatar Sunda atau wilayah Parahiyangan Timur, Sumedang nampak

masih memiliki sejumlah masalah yakni dominannya beberapa kekuatan local

yang terbentuk oleh perpaduan antara unsur-unsur budaya local Sunda (Galuh-

Pajajaran) dan Jawa (Cirebon- Mataram). Berbeda misalnya dengan daerah-

daerah di sekitarnya seperti Tasikmalaya, Garut atau Ciamis, sekalipun sama-

sama berada di Parahiyangan Timur, mereka tidak menunjukkan gejalagejala

kebudayaan dan mentalitas sekompleks itu. Karena ketiga daerah yang disebut

terakhir ini memiliki sejarah yang berbeda dengan yang pertama. Sumedang,

dalam karakteritik keagamaan tertentu nampak sekali masih menunjukkan

kesetiaannya pada warisan budaya-budaya masa lalu (kraton Sunda-Jawa),

seperti Galuh, Mataram atau Cirebon. Karena secara histories wilayah ini telah

menjadi pusat kekuasaan politik yang kumulatif, sehingga secara cultural

memiliki lapisan-lapisan kebudayaan dan karakteristik yang sangat kompleks.64

Dibanding wilayah-wilayah lain yang secara umum dalam aspek

keagamaan sangat dominan mentalitas santrinya, Sumedang secara umum

masih menunjukkan gejala-gejala “priyayi” bahkan sedikit “abangan” untuk

kasus-kasus tertentu. Termasuk munculnya berbagai mitos dan legenda serta

berbagai ritual adat telah menguatkan kesan kesetiaan masyarakat Islam di

wilayah ini pada tradisi lokal setempat. Bahkan kemunculannya seringkali

dikaitkan dengan pemahaman keagamaan. Karena penyebaran Islam di

Sumedang, terutama di daerah-daerah “adat” sedikit banyak telah diwarnai

64
Ajid Thohir, Enyeng, t.p, t.t, hal 2

33
oleh kenyataan-kenyatan mitos dan legenda. Munculnya sejumlah mitos dan

legenda-legenda ini, semakin mengukuhkan pada kenyataan kuatnya tradisi

lokal Sumedang dalam mewarnai corak keislaman dan pemahaman

keagamaannya. Bagi dunia antropologi, kenyataan ini telah menjadi “kebun

mawar” yang sangat indah dan menarik untuk bisa digambarkan secara utuh

dan mendasar, namun sebalikny bagi para da’i dan mubaligh kenyataan-

kenyataan tersebut seringkali akan dilihat sebagai tugas bagi mereka sebagai

pencerahan keislaman yang belum tuntas.65

C. Sumedanng pada masa kolonial

Periode selanjutnya (sejak abad ke-17) Sejarah Sunda mengalami babak

baru, karena dari arah pesisir utara di Jayakarta (Batavia) telah masuk kekuasaan

Kompeni Belanda (sejak 1610). Secara perlahan-lahan tetapi pasti akhirnya seluruh

Tanah Sunda jatuh ke genggaman kekuasaan Belanda (sejak awal abad ke-19),

karena itu mulailah zaman kekuasaan kolonial Hindia Belanda10. Kolonial

kemudian membagi beberapa distrik kekuasaan berikut upaya-upaya pengelolaan

administrasinya, seperti Sukapura,Limbangan, Parakanmuncang, Bandung,

Batulayang, dan Cianjur.66

Pada masa ini masyarakat dan Tanah Sunda dieksploitasi oleh kaum

kolonial, mula-mula dengan menggunakan cara penyerahan wajib hasil bumi

tanaman ekspor (lada, nila, kopi) dan kerja paksa (rodi) yang dikenal dengan

65
Ajid Thohir, Enyeng, t.p, t.t, hal 3

66
Ajid Thohir, Enyeng, t.p, t.t, hal 19

34
sebutan Sistem Priangan (Preanger Stelsel); kemudian sejak tahun 1871 melalui

cara penanaman modal swasta dengan membuka macam-macam perkebunan (teh,

karet, kina), perdagangan, industri, pelayaran, pertambangan, dan lain-lain yang

tenaga kerjanya (tenaga kerja murah ) diambil dari masyarakat pribumi; model

eksploitasi ini dikenal dengan sebutan Sistem Imprealisme.67

Tanah Sunda yang subur dan orang-orangnya yang rajin bekerja menjadikan

pengeksploitasian tersebut sangat menguntungkan penguasa kolonial sehingga

membawa kemakmuran yang luar biasa bagi mereka yang tinggal di sini dan yang

berada di tanah leluhur mereka (Belanda). Sebaliknya rakyat pribumi tidak

mengecap keuntungan yang setimpal dengan tenaga dan jasa yang diberikan,

bahkan banyak yang hidupnya menderita; kecuali sekelompok masyarakat kecil

yang dekat dan bekerjasama dengan penguasa kolonial yang biasa disebut kaum

Menak.68

D. Bukti Arkeologis Islam di Sumedang

Secara etimologis, kata/istilah situs berasal dari bahasa Inggris, site (bentuk
jamaknya sites). Artinya adalah sebuah areal atau sebidang tanah di mana terdapat
“sesuatu” yang berharga (an area or piece of land where something was). Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya menyatakan:

“Situs adalah lokasi yamg mengandung atau diduga mengandung benda cagar
budaya termasuk lingkungannya yang diperlukan bagi pengamanannya” (Pasal 1
ayat 2).69

67
Ajid Thohir, Enyeng, t.p, t.t, hal 20

68
Ajid Thohir, Enyeng, t.p, t.t, hal 20

69
Dade Mahzuni, MAKNA SEJARAH DAN BUDAYA DALAM SITUS JATIGEDE
SUMEDANG,
35
Berdasarkan pengertian tersebut, maka pada sebutan “situs” terkandung dua
makna; pertama adalah “tempat”, kedua adalah “benda”. Baik tempat maupun
benda dalam cakupan situs, terkait dengan konteks sejarah. Bila salah satu dari
kedua hal itu atau keduanya musnah, atau bendanya dipindahkan, maka nilai
sejarahnya menjadi berkurang atau bahkan hilang.70
Berikut ini situs-situs di Sumedang yang berkaitan dengan Islam:
1. Situs Astana Gede

Situs ini berada di Kampung Astana Gede, Desa Cipaku, Kecamatan


Darmaraja. Situs ini berupa bangunan teras berundak terdiri atas tiga teras.
Teras paling atas berukuran lebih kecil, terdapat makam Embah Jalul, dan dua
teras berikutnya terdapat makam Dalem Prabu Lembu Agung, dan makam
Embah Dalem Demang Cipaku. Lingga (semu), menhir atau batu tegak
berbentuk kubus dengan atap berbentuk trapesium diletakkan pada bagian utara
permukaan puncak punden.71

2. Situs Pasir Limus

Si tus Pasir Limus terletak di Kampung Pasir Limus , Desa


Leuwihideung, Kecamatan Darmaraja. Situs ini berupa bangunan teras
berundak yang berada di atas puncak bukit dengan luas teras teratas 35 x 20
meter dan luas teras terbawah 50 x 35 meter. Sekarang ini bangunan teras
berundak dijadikan makam keramat. Makam-makam yang dianggap sebagai
makam tokoh yang berhubungan dengan leluhur masyarakat Sumedang di
antaranya: Makam Embah Dalem Jamanggala, Makam Nyi Mas Ratna Komala

http://ejurnalpatanjala.kemdikbud.go.id/patanjala/index.php/patanjala/article/viewFile/268/214
diunduh pada tanggal 23 September 2018. Halaman 550

70
Dade Mahzuni, MAKNA SEJARAH DAN BUDAYA DALAM SITUS JATIGEDE
SUMEDANG,
http://ejurnalpatanjala.kemdikbud.go.id/patanjala/index.php/patanjala/article/viewFile/268/214
diunduh pada tanggal 23 September 2018. Halaman 550

71
Dade Mahzuni, MAKNA SEJARAH DAN BUDAYA DALAM SITUS JATIGEDE
SUMEDANG,
http://ejurnalpatanjala.kemdikbud.go.id/patanjala/index.php/patanjala/article/viewFile/268/214
diunduh pada tanggal 23 September 2018. Halaman 551

36
Inten, Makam Eyang Dipa, Eyang Dipawangsa, dan Eyang Mananti, serta
makam Eyang Jayaperkasa (Eyang Nanti) atau disebut juga Petilasan Tilem.72

3. Situs Nangkod

Situs Nangkod terletak di Kampung Nangkod, Desa Leuwihideung,


Kecamatan Darmaraja. Situs berupa bangunan teras berundak. Struktur batu
yang masih tampak jelas sekarang ini adalah struktur di sisi utara, sedangkan
struktur sisi barat, selatan, dan timur sudah terputus-putus. Pada teras berundak
itu terdapat komplek makam yang berjajar dari barat ke timur, menhir, dan
sebaran batu alam. Makam hanya ditandai oleh dua batu alam berorientasi utara
– selatan. Lahan inti kelompok makam ini dibatasi oleh susunan batu alam yang
masih tampak di sisi utara, barat dan timur. Menurut informasi lisan, antara lain
dari kuncen, makam di komplek itu antara lain makam Embah Janggot Jaya
Perkosa dan kerabatnya. Kedua tokoh itu dipercaya memiliki kesaktian dan
mereka adalah pendiri kampung.

4. Situs Munjul
Situs ini terletak di sebuah bukit kecil, di sebelah selatan dan barat jalan di
Kampung Munjul, Desa Sukamenak, Kecamatan Darmaraja. Situs Munjul
adalah bangunan teras berundak dan merupakan komplek makam. Salah satu
makam yang berada di puncak teras bangunan berundak adalah
makamSingadepa. Di sebelah barat makam, terdapat makam-makam kuno lain
dengan jirat terbuat dari semen dan nisan berupa menhir (batu alam). Di bagian
selatan makam terdapat undakan-undakan batu alam.73

72
Dade Mahzuni, MAKNA SEJARAH DAN BUDAYA DALAM SITUS JATIGEDE
SUMEDANG,
http://ejurnalpatanjala.kemdikbud.go.id/patanjala/index.php/patanjala/article/viewFile/268/214
diunduh pada tanggal 23 September 2018. Halaman 551

73
Dade Mahzuni, MAKNA SEJARAH DAN BUDAYA DALAM SITUS JATIGEDE
SUMEDANG,
http://ejurnalpatanjala.kemdikbud.go.id/patanjala/index.php/patanjala/article/viewFile/268/214
diunduh pada tanggal 23 September 2018. Halaman 552

37
5. Situs Ciwangi
Situs ini berada di sebelah barat Situs Tanjungsari, tepatnya di lingkungan
pemukiman penduduk Kampung Ciwangi, Desa Cibogo, Kecamatan
Darmaraja. Situs Ciwangi berupa komplek makam kuna yang dianggap
keramat. Menurut cerita rakyat setempat, makam utama di situs itu adalah
makam Mbah Buyut Mandor Sora, pendiri Dusun Ciwangi. Komplek makam
berbentuk bujursangkar dengan teras batu alam. Di sana terdapat empat nisan
berupa menhir, terbagi atas masing-masing dua nisan di sisi barat dan sisi timur,
berorientasi utara – selatan.74
6. Situs Betok

Situs Betok terletak di Kampung Betok, Desa Leuwihideung,


Kecamatan Darmaraja. Di situs ini terdapat tiga makam kuno. Pada sudut barat
laut terdapat dua makam yang jiratnya menyatu yaitu makam Nanggapati dan
Bogapati. Makam itu berorientasi utara – selatan. Kedua tokoh itu dipercaya
oleh masyarakat setempat sebagai perintis pembukaan Kampung Betok.75

7. Situs Muhara
Situs Muhara terletak di Kampung Muhara, Desa Leuwihideung,
Kecamatan Darmaraja. Di dalam lingkungan itu terdapat makam Eyang
Narapati dan Eyang Martapati. Makam Eyang Narapati terletak di sisi barat
lahan. Jirat makam berupa tatanan batu berdenah empat persegi panjang. Nisan
terbuat dari batu alam (menhir). Makam Eyang Martapati berada di sisi timur
makam Eyang Narapati berjarak sekitar 20 meter. Jiratberupa struktur batu
berdenah empat persegi panjang, dengan nisan terbuat dari batu alam.76

74
Dade Mahzuni, MAKNA SEJARAH DAN BUDAYA DALAM SITUS JATIGEDE
SUMEDANG,
http://ejurnalpatanjala.kemdikbud.go.id/patanjala/index.php/patanjala/article/viewFile/268/214
diunduh pada tanggal 23 September 2018. Halaman 552

75
Dade Mahzuni, MAKNA SEJARAH DAN BUDAYA DALAM SITUS JATIGEDE
SUMEDANG,
http://ejurnalpatanjala.kemdikbud.go.id/patanjala/index.php/patanjala/article/viewFile/268/214
diunduh pada tanggal 23 September 2018. Halaman 552

76
Dade Mahzuni, MAKNA SEJARAH DAN BUDAYA DALAM SITUS JATIGEDE
SUMEDANG,
38
8. Situs Lameta
Situs ini berada di Kampung Lameta, Desa Leuwihideung, Kecamatan
Darmaraja. Di situs tersebut terdapat dua makam kuno yang terletak
berdampingan, yaitu makam Eyang Dira dan putranya, Eyang Toa, dengan jarak
2,6 m. Menurut cerita rakyat, Eyang Dira dan Eyang Toa adalah penjaga sungai
Ciliwung dan Cisadane. Mereka juga dipercaya sebagai pangeran Jayakarta.
Katanya, hal yang disebut terakhir berpengaruh pada sejumlah peziarah untuk
melakukan usaha di Jakarta.77
9. Situs Ngawer

Situs ini terletak di Kampung Nangewer, Desa


Leuwihideung,Kecamatan Darmaraja. Situs berada di lingkungan pohon bambu
yang sekarang dijadikan pemakaman umum. Pada situs itu terdapat makam
Eyang Wangsa Wacana. Makam ini dipagar dengan tembok setinggi 90 cm,
yang telah rubuh pada sisi barat dan timurnya. Luas lahan berpagar berukuran
3,5 x 4 meter. Penanda makam berusa nisan terbuat dari batu alam berdiameter
20 cm setinggi 22 cm.78

10.Situs Leuwi Loa

Situs Leuwiloa berada di Kampung Leuwiloa , Desa Leuwi hideung ,


Kecamatan Darmaraja. Situs berupa makam kuno yang sekaligus dijadikan
pemakaman umum. Makam tersebut berada di tengah-tengah komplek makam,

http://ejurnalpatanjala.kemdikbud.go.id/patanjala/index.php/patanjala/article/viewFile/268/214
diunduh pada tanggal 23 September 2018. Halaman 552

77
Dade Mahzuni, MAKNA SEJARAH DAN BUDAYA DALAM SITUS JATIGEDE
SUMEDANG,
http://ejurnalpatanjala.kemdikbud.go.id/patanjala/index.php/patanjala/article/viewFile/268/214
diunduh pada tanggal 23 September 2018. Halaman 552

78
Dade Mahzuni, MAKNA SEJARAH DAN BUDAYA DALAM SITUS JATIGEDE
SUMEDANG,
http://ejurnalpatanjala.kemdikbud.go.id/patanjala/index.php/patanjala/article/viewFile/268/214
diunduh pada tanggal 23 September 2018. Halaman 552

39
berpagar tembok, berdenah segi empat dengan jirat terbuat dari bata berplester
dan nisan terbuat dari batu alam. Di bawah jirat terlihat jejak tatanan batu.79

10. Situs Marongpong


Situs ini berada di daerah Desa Leuwihideung, Kecamatan Darmaraja.
Di situs ini terdapat dua makam bercorak megalitik dengan orientasi utara-
selatan. Makam berada di atas bukit berdekatandengan pemukiman. Kedua
makam itu dipercaya oleh masyarakat setempat sebagai makam Embah
Sutadiangga dan Embah Jayadiningrat. Di kalangan masyarakat setempat,
Embah Sutadiangga dan Embah Jayadiningrat dipercaya sebagai tokoh di
Kerajaan Tembong Agung dan penyebar agama Islam di daerah Darmaraja.80
11. Situs Eretan
Situs Eretan berada di Kampung Cisurat, Desa Cisurat, Kecamatan
Wado. Situs itu disebut juga makam Embah Geulis, istri dari Prabu Gajah
Agung. Makamnya ditandai oleh dua batu alam sebagai nisan, berorientasi utara
– selatan, dikelilingi pagar besi. Di situs tersebut juga ada sejumlah makam tua
lainnya yang tidak teridentifikasi. Sebuah makam bercirikan Islam dengan batu
nisan bertuliskan huruf Arab beraksara Pegon.81.
12. Situs Cipawenang

Situs ini terletak di Kampung Cigangsa, Desa Pawenang, Kecamatan


Wado. Tinggalan di situs ini berupa mata air yang terletak di sebuah bukit
dengan ketinggian 245 meter dpl. Mata air tersebut tidak pernah kering

79
Dade Mahzuni, MAKNA SEJARAH DAN BUDAYA DALAM SITUS JATIGEDE
SUMEDANG,
http://ejurnalpatanjala.kemdikbud.go.id/patanjala/index.php/patanjala/article/viewFile/268/214
diunduh pada tanggal 23 September 2018. Halaman 552

80
Dade Mahzuni, MAKNA SEJARAH DAN BUDAYA DALAM SITUS JATIGEDE
SUMEDANG,
http://ejurnalpatanjala.kemdikbud.go.id/patanjala/index.php/patanjala/article/viewFile/268/214
diunduh pada tanggal 23 September 2018. Halaman 553

81
Dade Mahzuni, MAKNA SEJARAH DAN BUDAYA DALAM SITUS JATIGEDE
SUMEDANG,
http://ejurnalpatanjala.kemdikbud.go.id/patanjala/index.php/patanjala/article/viewFile/268/214
diunduh pada tanggal 23 September 2018. Halaman 554

40
walaupun musim kemarau panjang. Mata air dibatasi batu andesit dengan
bentuk relatif persegi. Bentang lahan situs melingkar dengan luas sekitar 25 x
20 meter, dengan sebaran batuan dan beberapa menhir.82

13. Situs Cigangsa

Situs ini berada pada sebuah bukit di sebelah timur situs Cipawenang,
tepatnya di Kampung Cigangsa, Desa Pawangan, Kecamatan Wado. Situs
Cigangsa merupakan komplek makam Islam. Makam utama yang terletak di
tengah adalah makam Embah Dalem Raden Arya Wangsa Dinaya. Pada batu
nisan (batu pasiran) berbentuk kurawal, terdapat angka tahun 1247 H/1848 M.
Pada bagian nisan tertulis huruf Arab yang kini sudah pudar. Di kanan dan kiri
makam utama terdapat terdapat dua makam pendamping yang belum
teridentifikasi.83

14. Situs Sumur mas


Situs ini berada di Kampung Cadas Ngampar, Desa Sukakersa, Kecamatan
Jatigede. Tinggalan berupa sumur berdiameter ± 2,5 meter dengan kedalaman
50 cm. Saat ini sumur tersebut berdinding tembok.84

82
Dade Mahzuni, MAKNA SEJARAH DAN BUDAYA DALAM SITUS JATIGEDE
SUMEDANG,
http://ejurnalpatanjala.kemdikbud.go.id/patanjala/index.php/patanjala/article/viewFile/268/214
diunduh pada tanggal 23 September 2018. Halaman 554

83
Dade Mahzuni, MAKNA SEJARAH DAN BUDAYA DALAM SITUS JATIGEDE
SUMEDANG,
http://ejurnalpatanjala.kemdikbud.go.id/patanjala/index.php/patanjala/article/viewFile/268/214
diunduh pada tanggal 23 September 2018. Halaman 554

84
Dade Mahzuni, MAKNA SEJARAH DAN BUDAYA DALAM SITUS JATIGEDE
SUMEDANG,
http://ejurnalpatanjala.kemdikbud.go.id/patanjala/index.php/patanjala/article/viewFile/268/214
diunduh pada tanggal 23 September 2018. Halaman 554

41
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Islamisasi di Tatar Sunda terbagi menjadi dua tipe, yaitu melalui kekerasan

dan damai. Khusus untuk di Sumedang bukti yang ada menunjukan bahwa

Islamisasi dilakukan secara damai. Adanya senjata dalam hal ini digunakan

untuk simbol kekuasaan semata dan membela diri dari rongrongan luar. Dalam

penelitian ini tidak ada bukti yang menyebutkan Islam di Sumedang melalui

kekerasan, karena islam masuk dengan mengedepankan budaya yang ada tetapi

di isi dengan nilai-nilai Islami. Ini merupakan ciri khas islamisasi yang berakar

dari Cirebon.

Perubahan pola Islamisasi di Sumedang/periodisasinya meliputu: tahap

awal abad ke-10 masuknya Islam, tahap kedua abad ke-16 penyebaran, tahap

abad ke-19 masa pemerintahan Pangeran Sugih (1836- 1882), ditandai

banyaknya artefak Islam seperti pesantren Asyrafuddin di Cikule, Mesjid

Agung Sumedang, dan adanya naskah al-Quran yang disalin tahun 1856,

salinan R.H. Abdoel Madji dan al-Quran tahun 1858 salinan Arwan.

Islamisasi di Sumedang sebenarnya menurut peninggalan arkeologi,

menunjukan telah terjadi sejak masa pemerintahan Prabu Tajimalela. Bukan

pada masa Pangeran Santri, sebagaimana yang selama ini banyak dinyatakan.

Sebelum masuk kedalam fase Pangeran Santri, Islamisasi sudah mengakar di

Sumedang melalui pemerintahan Prabu Tajimalela melalui para pedagang.

42
Semakin terlihat islamisasi memang pada masa Pangeran Santri, karena sudah

terbentuk kelompok-kelompok masyarakat muslim.

Respon masyarakat terhadap peninggalan arkeologi Islam Sumedang cukup

baik, tetapi sebatan ritual yang berhubungan dengan mistik, seperti upacara

pencucian benda pusaka dan ziarah kekuburan raja-raja Sumedang. Hal ini

menunjukan masyarakat Sumedang sangat setia pada warisan peninggalan

sejarah termasuk masih dipengaruhinya oleh budaya-buday pra-islam. Hal ini

menjadi tanda bahwa islam masuk ke sumedang melalui jalan damai.

Meskipun dengan jalan damai, proses kontak budaya dan perubahan antar

bersatunya dua budaya pun ada. Terlihat adanya perubahan kebudayaan pada

hiasan batu nisan para leluhur Sumedang yang ditandai dengan hilangnya pola

hiasan flora yang merupakan ciri khas Hindu sehingga batu nisan masa sekarang

tidak terdapat hiasan. Inilah menjadi bukti bahwa kontak antar budaya satu

dengan budaya yang lain akan menghasilkan budaya baru.

B. Saran

Pembahasan mini riset di atas masih jauh dari kesempurnaan maka penulis

berharap pada pembaca untuk mengkritisi dengan konstruktif demi

menyempurnakan mini riset yang kami buat dan penulis menyarankan untuk

pembaca tidak terpacu terhadap makalah yang telah dibuat demi memperluas

wawasan tentang Islamisasi di Sumedang, karena kami sadari mini riset ini jauh

dari kesempurnaan.

43
DAFTAR SUMBER

Buku
Nina Lubis dkk, t.t, Sejarah Perkembangan Islam di Jawa Barat, Gubernur:
Jawa Barat.

Mumuh Muhsin, 2010, Penyebaran Islam di Jawa Barat, Unpad: Jatinangor,


Sumedang.

Ajid Thohir, t.t, Enyeng, Fakultas adab dan Humaniora: Bandung.

Dewi Erfani dkk, 2015, Islamisasi di Indonesia, IKIP: Yogjakarta.

Jurnal

Dede Mahzuni, 2011, "Makna Sejarah dan Budaya dalam Situs Jatigede
Sumedang", Patanjala Vol. 3, No.3, September 2011: 547-564, diunduh
pada 23 September 2018, dari:
http://ejurnalpatanjala.kemdikbud.go.id/patanjala/index.php/patanjala/art
icle/viewFile/268/214

Euis, 2011, "Sejarah Kerajaan Sumedang Larang'', Patanjala Vol. 3, No. 1,


Maret 2011: 154-168, diunduh pada 23 September 2018, dari:
http://ejurnalpatanjala.kemdikbud.go.id/patanjala/index.php/patanjala/art
icle/download/276/222Ganjar Widhiyoga, 2013, “Normativitas Perang
dalam Islam”, Jurnal Politik Profetik, Volume 2 Nomor 2, diunduh pada
tanggal 11 Juli 2018, dari: http://journal.uin-
alauddin.ac.id/index.php/jpp/article/download/955/936

Azis, 2015, “Islamisasi Nusantara Prespektif Naskah Sejarah Melayu”,


ThaqafiyyaT Vol. 16, No. 1, Juni 2015, diunduh pada 21 Maret 2018, dari:
http://ejournal.uinsuka.ac.id/adab/thaqafiyyat/article/download/623/pdf_
28Umaiyatus Syarifah, 2015, “Peran dan Kontribusi Nashiruddin Al-
Albani (W.1998) dalam Perkembangan Ilmu Hadis”, Riwayah, Vol.1,
No.1, Maret.

M. Ghufron, t.t, “Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Perspektif Sejarah, Kontroversi


dan Perkembangannya)”, STIT Urwatul Wutsqo Bulurejo Jombang,
diunduh pada 24 Februari 2019, dari:
http://ejournal.kopertais4.or.id/mataraman/index.php/wutsqa/article/dow
nload/977/712/
44
Ismail Suardi, 2013, "Islam dan Adat: Tinjauan Akulturasi Budaya dan Agama
dalam Masyarakat Bugis", Analisis, Volume XIII, Nomor 1, Juni 2013,
diunduh pada tanggal 24 Februari 2019, dari
https://media.neliti.com/media/publications/56792-ID-none.pdfsyhari,
2015

Salafudin, 2013, “Islamisasi Ilmu Pengetahuan”, FORUM TARBIYAH Vol. 11,


No. 2, Desember 2013, diunduh pada 24 Februari 2019, dari:
https://media.neliti.com/media/publications/69311-ID-islamisasi-ilmu-
pengetahuan.pdf

Baderiah, 2011, “Dakwah Islam dan Budaya Lokal (Akulturasi Timbal Balik)”,
Al-Tajdid, Vol. VI/September 2011, diunduh pada tanggal 24 Februari
2019, dari:
https://s3.amazonaws.com/academia.edu.documents/55656367/DAKW
AH__ISLAM__DAN__BUDAYA__LOKAL_AKULTURASI__TIMB
AL__BALIK.pdf?AWSAccessKeyId=AKIAIWOWYYGZ2Y53UL3A
&Expires=1551019995&Signature=vSjh5wLsJKB8rif9X6oFAdTwk6M
%3D&response-content-
disposition=attachment%3B%20filename%3DDAKWAH_ISLAM_DA
N_BUDAYA_LOKAL_AKULTURASI.pdf

Moeflich & M.Taufiq, 2018, Islamisasi, Politik, dan Transformasi Pendidikan,


Sosio-Politica, Vol. 8. No. 1, diunduh pada tanggal 21 Maret 2019, dari:
http://digilib.uinsgd.ac.id/16194/1/hasbullah%20%26%20rahman.pdf

A. Sobana, 2015, “Islam di Tatar Sunda dan Hubungan Bupati dengan Ulama
Zaman Hindia Belanda”, Makalah, diunduh pada 21 Maret 2019, dari:
https://s3.amazonaws.com/academia.edu.documents/40870814/MAKAL
AH_-_ISLAM_DI_TATAR_SUNDA___HUBUNGAN_BUAPTI_-
_ULAMA_ZAMAN_HINDIA_BELANDA.pdf?AWSAccessKeyId=A
KIAIWOWYYGZ2Y53UL3A&Expires=1553143383&Signature=fxPC
sI%2FrgjziSKMAwdy9Zq0Izeo%3D&response-content-
disposition=attachment%3B%20filename%3DISLAM_DI_TATAR_SU
NDA_Prof.Dr.H._A._Soban.pdf

______, Teori Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, t.t, t.p.

______, Islamisasi Pengetahuan, t.t, t.p.

45
Lampiran-Lampiran

Situs Cigangsa Situs Curug Mas

Situs Buah ngariung Situs Lameta

Situs Munjul Situs Ciwangi

46

Anda mungkin juga menyukai