Laporan
Diajukan sebagai syarat kelulusan Mata Kuliah Sejarah Sosial dan Intelektual Islam Indonesia
pada program studi Sejarah dan Peradaban Islam
Oleh :
Abdul Hamid Saputra
NIM 1165010001
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufik, hidayah serta
inayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan proposal penelitian yang berjudul “Islamisasi di
Tatar Sunda: Studi Islamisasi di Tatar Sunda Wilayah Sumedang” dengan baik.
Salawat dan salam semoga tetap tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW
yang telah menjadi guru terbaik dan menjadi suri tauladan bagi umat Islam di seluruh dunia.
Penelitian ini kami susun untuk memenuhi syarat “ Mata kuliah SSII I” di semester V, dan
kami harap proposal penelitian ini dapat bermanfaat, baik untuk kami maupun para peserta didik
lainnya.
Dalam menyusun makalah ini pula kami berusaha sebaik mungkin untuk mendapatkan
sumber-sumber dan informasi, baik dari buku yang telah di rekomendasikan oleh dosen ataupun
website yang terpercaya. Terimakasih kepada dosen pengajar yang telah membimbing dalam
penyelesaian mini riset ini.
Untuk itu saran dan kritik kami harapkan berkenan dalam pembuatan makalah ini, demi
kesempurnaannya atas perhatiannya kami ucapkan terimakasih.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
prasejarah, masa Kerajaan Kuna Sumedang Larang (tahun 900 s.d. 1601), masa
Bupati Wedana (1601 s.d. 1706), masa Bupati VOC (1706 s.d. 1799), masa
Bupati Zaman Pemerintah Hindia Belanda (1800 s.d. 1942), masa Bupati
pada zaman kemerdekaan. Ini juga berarti bahwa Sumedang memiliki sejarah
Pendudukan Jepang tercatat ada 29 penguasa (raja dan bupati). Tiap masa
Oleh karena itu, sisi apa pun dari masa lalu di wilayah Sumedang ini, dalam
silam itu terus dipelihara dan diabadikan. Sebagai contoh, situs-situs sejarah
1
Mumuh Muhsin, Kerajaan Sumedanglarang, Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran Bandung
2008,
http://ejurnalpatanjala.kemdikbud.go.id/patanjala/index.php/patanjala/article/download/276/222
diunduh pada tanggal 23 September 2018.
1
berupa makam sampai sekarang masih banyak diziarahi masyarakat, baik yang
Sumedang pun masih diselenggarakan aneka ragam acara dan upacara adat,
Bogor, dan Sukabumi dari Banten. Dengan demikian, wilayah Jawa Barat
dibagi atas dua bagian penyebaran Islam yaitu bagian barat dengan pusatnya
Banten dan daerah penyebarannya ialah Banten Selatan, Jakarta, Bogor, dan
perubahan yang sangat luar biasa ketika kedatangan Islam. Akan tetapi masih
mempertahankan beberapa tradisi nenek moyang dan bahkan masih bisa kita
2
Mumuh Muhsin, Kerajaan Sumedanglarang, Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran Bandung
2008,
http://ejurnalpatanjala.kemdikbud.go.id/patanjala/index.php/patanjala/article/download/276/222
diunduh pada tanggal 23 September 2018.
3
Nina dkk, Sejarah Perkembangan Islam di Jawa Barat, halaman 29
http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2013/10/SEJARAH-PERKEMBANGAN-ISLAM.pdf
diunduh pada tanngal 27 November 2018
2
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, penulis dalam mini riset ini
Wilayah Sumedang”
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
3
D. Kajian Pustaka
melainkan berangkat dari topik-topik atau masalah yang telah diteliti oleh
seorang sejarawan, dimana hasil penelian dari para pendahulunya tersebut akan
penelitian. Atas berkat izin Allah Swt, penulis telah melakukan observasi ke
menemukan beberapa literatur yang dapat menopang penelitian ini, yakni antara
lain;
4
Tim Prodi Ilmu Sejarah, Pedoman Penulisan Tugas Akhir Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Ilmu Sejarah
Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta, 2013, hlm. 6.
4
Memaparkan tentang problematika yang ada tentang Islamisasi di
secara komprehensif.
E. Langkah-langkah Penelitian
Ada begitu banyak metode dalam kegiatan penelitian. Dari sekian banyak
metode tersebut, yang akan digunakan dalam kegiatan penelitian ini adalah metode
bertujuan menemukan sebuah evaluasi sistematis dan objektif serta sintesis bukti-
kejadian lampau.5 Hal tersebut tidaklah mudah karena seringkali satu periode
metode yang digunakan agar mengetahui peristiwa di masa lampau. Untuk itu
“metode sejarah”, yaitu metode penelitian yang khusus digunakan dalam penelitian
tahapan kerja yang terdiri atas heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi.6
5
Nicholas Walliman, Research Methods: the Basics, New York: Routledge, 2011, hlm. 9.
6
Sulasman, Metodologi Penelitian Sejarah, Bandung: Pustaka Setia, 2014, hlm. 75.
5
A. Heuristik
“menemukan,” Pada tahap ini, kegiatan diarahkan pada penjajakan, pencarian, dan
Di bawah ini adalah beberapa sumber sejarah yang berhasil kami temukan
di perpustakaan, observasi, dan melalui jejaring internet. Berikut sumber yang kami
temukan:
a. Sejarah Perkembangan Islam di Jawa Barat karya Prof. Dr. Hj. Nina H
c. Islam di Tatar Sunda dan Hubungan Bupati dengan ulama zaman Hindia-
d. Makna Sejarah dan Budaya dalam situs Jatigede Sumedang karya Dede
Mahruni (2011)
S.Hum (2015)
7
Sulasman, Metodologi Penelitian Sejarah, hlm. 93.
8
Sulasman, Metodologi Penelitian Sejarah, hlm. 95.
6
diatas terdiri dari beraneka buku. Sumber sekunder berupa buku, jurnal, dan karya
ilmiah lainnya yang banyak membantu penulis dalam penelitian ini di antaranya
adalah Sejarah Kerajaan Sumedang Larang karya Euis Tresnawati, Islamisasi Ilmu
Ghuron, Islam dan Adat: Tinjauan Akulturasi Budaya dan Agama dalam
Salafudin, Dakwah Islam dan Budaya Lokal (Akulturasi Timbal Balik) karya
Hasbullah dan M.Taufiq Rahman, Kabupaten Sumedang dalam angka tahun 2015
B. Kritik
Pada tahap ini, sumber dikumpulkan pada kegiatan heuristik yang berupa
bisa dalam bentuk lisan, artefak, dan sebagian besar adalah tulisan. Selanjutnya,
diseleksi dengan mengacu pada prosedur yang ada, yakni sumber yang faktual dan
orisinilnya terjamin. Inilah yang dikenal dengan kritik. Kritik dilakukan oleh
9
Sulasman, Metodologi Penelitian Sejarah, hlm. 101.
7
terhadap aspek “luar” dari suatu sumber, seperti tentang siapa penulisnya.10
Sejarawan harus melakukan proses kritik atau seleksi yang ketat guna mendapatkan
fakta yang utuh mengenai masa lalu. Untuk itu sejarawan harus lihai dalam
Kami banyak mendapat sumber dari hasil penelitian Prof. Nina Lubis yang
membahas perkembangan Islam di Jawa Barat, yang mana pada saat itu digunakan
untuk data Provinsi Jawa Barat. Selain itu di dukung oleh beberapa tulisan yang
sangat luar biasa dari beberapa dosen kami yang memiliki keahlian di bidangnya,
terutama Moeflich Hasbullah dan Ajid Tohir yang memiliki banyak karya dalam
bidang keislaman.
Jika tahapan kritik eksternal menekankan aspek “luar” sebuah sumber, maka
tahapan kritik internal akan lebih menyoroti bagian “dalam”, yaitu isi dari sebuah
Dalam tahap ini seorang penulis harus memberikan keputusan bahwa apakah
10
Sulasman, Metodologi Penelitian Sejarah, hlm. 102.
11
Paul Veyne, Writing History: Essay on Epistemology, Connecticut: Wesleyan University Press,
1984, hlm. 7-13.
12
Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, terj. Nugroho Notosusanto, Jakarta: UI-Press, 2005, hlm.
112-121.
13
Sulasman, Metodologi Penelitian Sejarah, hlm 104.
8
Dalam penelitian ini, penulis banyak mengandalkan sumber-sumber yang
berasal dari tulisan dan data arkeologis. Hal ini dikarenakan kami dalam melakukan
penelitian ini menggunakan studi pustaka yang sangat mendalam, dari perpustakan
kompleks, terutam dari babad melayu yang kami dapat dari jejaring internet. Kami
dalam sumber kami, hal ini karena bisa menjadi bukti tentang khazanah pribumi
dalam penulisan sejarah. Meski dalam bentuk babad dan barat pasti
mempertanyakan hal ini, saya yakin kami bisa meramunya dengan mensinergikan
komprehensif.
C. Interpretasi
bukti-bukti sejarah sebagai saksi realitas di masa lampau adalah hanya saksi-saksi
sejarah bisu belaka. Secara metodelogi interpretasi merupakan “bagian yang tak
Dalam hal interpretasi terdapat dua hal yang paling penting untuk
Hal ini bertujuan untuk melakukan penafsiran atas fakta-fakta yang diperoleh dari
sumber-sumber sejarah. Kedua, sintesis yaitu proses menyatukan semua fakta yang
14
A. Daliman, Metode Penelitian Sejarah, Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2012, hlm. 81.
9
telah diperoleh sehingga tersusun sebuah kronologi peristiwa dalam bentuk
rekonstruksi sejarah.15
yang sudah ditemukan, dan telah dipilah pula fakta yang telah dikritik dengan
sebabnya, jalannya, dan akibatnya. Hal ini karena kehadiran kausalitas, yakni
hubungan antara cause (sebab) dan effect (akibat), di dunia ini. Kausalitas dapat
dijelaskan sebagai rantai yang saling berkait. Setiap peristiwa memiliki sebab, dan
peristiwa itu adalah akibat yang ditimbulkan sebab itu. Di saat yang sama, peristiwa
tadi sedang menjadi sebab bagi kejadian lain yang menjadi akibatnya. Analisa
sebagai agama yang baru pada saat itu mulai bisa merubah kebiasaan masyarakat
saat itu. Seiring berjalannya waktu terjadi sebuah akulturasi budaya diantara
keduanya. Akulturasi dapat didefinisikan sebagai proses sosial yang timbul bila
unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-
unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan
15
Sulasman, Metodologi Penelitian Sejarah, hlm. 107.
16
Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, hlm. 15-16.
17
Poerwanti Hadi, Asimilsi dan Akulturasi: Sebuah Tinjauan Konsep, diakses dari:
http://staffnew.uny.ac.id/upload/132326892/pengabdian/asimilasi-akulturasi.pdf pada 19 Mei 2019
10
D. Historiografi
berarti penyelidikan tentang gejala alam fisik. Sedangkan grafein berarti gambaran,
lukisan, tulisan, atau uraian (description).18 Tahapan ini merupakan tahapan akhir
sejarah dan berbagai sumber yang telah diseleksi dalam bentuk penulisan sejarah.
pemaparan atau laporan hasil penelitian sejarah yang telah dilakukan. Sistematika
Sumedang.
BAB IV, dalam bab ini merupakan bab penutup yang berisikan kesimpulan
dan saran.
18
Sulasman, Metodologi Penelitian Sejarah, hlm. 147.
11
BAB II
A. Pengertian Islamisasi
berbagai usaha dan pendekatan untuk mensitesakan antar etika Islam dengan
(kesepakatan) baru bagi umat Islam dalam bidang keilmuan yang sesuai dan metode
sosial dan politik islam di masyarakat dengan latar belakang sosial dan politik
19
____, Islamisasi Ilmu, t.p, t.t, diunduh pada tanggal 24 maret 2019, dari: http://repo.iain-
tulungagung.ac.id/5831/7/BAB%204.pdf
20
Dewi Erifiani dkk, Islamisasi di Indonesia, Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan PGRI Wates:
Yogjakarta, 2015, t.h.
12
sehingga disiplin-disiplin ini memperkaya wawasan Islam dan bermanfaat bagi
cause (cita-cita).21
kedamaian dalam dirinya, sebagai fitranya.22 Atas dasar dari beberapa pendapat
diatas saya berasumsi bahwa islamisasi adalah sebuah proses dimana kebudayaan
Islam mulai diterima oleh masyarakat dan melekat dalam kehidupannya sehari-hari.
dalam istilah islamisasi tidak mesti dipahami secara ketat sebagai ajaran yang harus
ditemukan rujukannya secara harfiah dalam Al-Qur'an dan hadis, namun sebaiknya
haruslah dilihat dari segi spiritnya yang tidak boleh bertentangan dengan ajaran-
ajaran fundamental Islam, seperti kepercayaan kepada Tuhan, alam gaib, malaikat,
hari akhir dan wahyu / kenabian. Rujukannya bisa bermacam sumber, di samping
Al-Qur'an dan hadis, rujukannya bisa dari sumber-sumber lain, seperti Yunani
Klasik, Persia, India pada masa lalu, bahkan Barat sendiri pada masa kini. Menurut
Mulyadhi, pada saat ini sebuah agama tidak bisa lagi membatasi diri secara
eksklusif hanya pada sumber aslinya, tetapi harus terbuka pada sumber kebenaran
21
M.Ghufron, Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Prespektif Sejarah, Kontroversi dan
Perkemabangannya), STIT Urwatul Wutsqo Bulurejo: Jombang, t.h.
22
Dewi Erifiani dkk, Islamisasi di Indonesia, Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan PGRI Wates:
Yogjakarta, 2015, t.h.
13
dan kebijaksanaan dari luar selama mereka tidak bertentangan dengan prinsip
ajarannya. Kedua, islamisasi ilmu yang Mulyadhi usulkan tidak semata pelabelan
sains dengan ayat Al-Qur'an atau hadis yang dipandang cocok dengan penemuan
bahan-bahan yang ada dalam tradisi intelektual Islam yang dibina selama lebih dari
satu millenium oleh para filosof dan para ilmuwan Muslim klasik. Konstruksi ulang
epistemologi alternatif ini akan meliputi pembahasan status ontologis objek ilmu,
klasifikasi dan metode-metode ilmiah ilmu. Ketiga, islamisasi ilmu didasarkan pada
asumsi bahwa sains atau ilmu tidak pernah bersifat netral dan bebas nilai.23
Indonesia dapat ditinjau dari tiga teori. Pertama, berdasarkan teori Gujarat
dikatakan bahwa Islam masuk di Indonesia dibawa oleh pedagang muslim yang
berasal dari Gujarat pada abad ke-13 Masehi. Sejalan dengan pendapat tersebut,
teori Persia mengutarakan pula bahwa Islam masuk ke Indonesia dibawa oleh
pedagang muslim yang berasal dari Persia pada abad ke-13 Masehi. Teori yang
23
____, Islamisasi Ilmu, t.p, t.t, diunduh pada tanggal 24 maret 2019, dari: http://repo.iain-
tulungagung.ac.id/5831/7/BAB%204.pdf
14
terakhir menerangkan bahwa Islam masuk di Indonesia dibawa oleh pedagang Arab
masuk di Indonesia, bukanlah dari arab melainkan dari Pantai Malabar dan Persia
yang merupakan tangan kedua. Pendapat para ahli yang saling bertentangan dan
simpang siur kemudian mulai disatukan dalam Seminar masuk dan berkembangnya
Islam di Indonesia di Medan tahun 1963 serta di Aceh tahun 1978 dan tahun 1980.
Indonesia sejak abad-abad pertama Hijriyah atau sekitar abad ke-7 dan 8 Masehi ,
langsung dari Arab. Di antara para mubaligh Islam pertama ini terdapat orang-orang
dari Malabar, Gujarat, dan Persia. Sekalipun mubaligh itu dari Malabar, Gujarat,
dan Persia, para mubaligh tersebut hanya singgah sementara dan mereka berasal
dari Arab.25
Terlepas dari hasil seminar yang masih dalam perdebatan. Uka Candra
Sasmita dan Hasan Muarif Ambary membagi masuk dan berkembangnya Islam di
Indonesia kedalam beberapa fase. Pertama, abad ke-10 Masehi merupakan fase
kedatangan Islam yang ditandai dengan kehadiran para pedagang muslim yang
dengan abad ke-13 M merupakan fase dimana sudah terdapat pemukiman Islam di
Sumatera dan ke-12 Jawa, bukti dari fase ini adalah makam Fatimah binti Maimun
24
_______, Teori Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, t.p, t.t, diunduh pada tangga 24
maret 2019, dari: http://digilib.uinsby.ac.id/582/5/Bab%202.pdf
25
_______, Teori Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, t.p, t.t, diunduh pada tangga 24
maret 2019, dari: http://digilib.uinsby.ac.id/582/5/Bab%202.pdf
15
yang ditemukan di Leran Gresik tahun 1082 M dan pemukiman muslim di Perlac
Aceh. Fase ketiga abad ke-13 hingga ke-16 M merupakan fase berdirinya kerajaan-
kerajaan Islam di Nusantara. Fase yang terakhir yakni abad 16 M sampai seterusnya
C. Konsep dakwah Islam dan akulturasi nilai Islam dalam budaya lokal
dalam suatu sistem kegiatan manusia beriman dalam bidang kemasyarakatan yang
dan bertindak manusia pada dataran kenyataan individual dan sosiokultural dalam
adalah ajaran Islam sejati. Islam yang asli ini memancarkan budaya Islam syar’i
yakni pemahaman dan pengamalan Nabi atas agama yang belum dipengaruhi oleh
unsur-unsur budaya lokal, tetapi justru mengubah budaya Arab zaman Jahiliyah
yakni menyembah berhala atau yang disebutkan Nabi SAW sebagai musyrik.
Sedangkan ajaran Islam yang dibawa Nabi SAW adalah ketauhidan yaitu
26
_______, Teori Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, t.p, t.t, diunduh pada tangga 24
maret 2019, dari: http://digilib.uinsby.ac.id/582/5/Bab%202.pdf
27
Baderih, Dakwah Islam dan Budaya Lokal (Akulturasi Timbal Balik), Al-Tajdid, Vol.
VI/September 2011, halaman 60
28
Baderih, Dakwah Islam dan Budaya Lokal (Akulturasi Timbal Balik), Al-Tajdid, Vol.
VI/September 2011, halaman 61
16
Indonesia sebagai sebuah negara yang memiliki kekayaan dan keragaman
budaya lokal. Di tengah budaya lokal yang beragam itu; agama (Islam) datang,
tersebar, dan berkembang. Pertemuan Islam dan budaya lokal melahirkan banyak
perspektif termasuk berbagai pandangan mengenai titik temu antara Islam dan
budaya. Pertemuan Islam dan budaya lokal setempat menimbulkan interaksi antara
keduanya.29
lingkup antar individu maupun antar kelompok. Dalam lingkup individu, proses
selanjutnya dipakai bersama, bahkan menjadi pengikat antar sesama mereka. Kalau
menjadi budaya bersama, atau yang disebut sebagai budaya kolektif. Proses itu
biasa terjadi dalam satu wilayah tertentu, sehingga terbentuk apa yang disebut
dengan budaya lokal. Budaya lokal itulah yang sangat berperan dalam membentuk
memiliki karakter yang khas, yang membedakan Islam di daerah lain, karena
29
Baderih, Dakwah Islam dan Budaya Lokal (Akulturasi Timbal Balik), Al-Tajdid, Vol.
VI/September 2011, halaman 61
30
Baderih, Dakwah Islam dan Budaya Lokal (Akulturasi Timbal Balik), Al-Tajdid, Vol.
VI/September 2011, halaman 62
17
perbedaan sejarah dan perbedaan latar belakang georafis dan budaya yang
dipijaknya.31
Selain itu, Islam yang datang ke Indonesia, juga memiliki strategi dan
tradisi. Tradisi apaun tidak akan ditolak, tetapi juga diapresiasi untuk dijadikan
sarana pengembangan Islam. Kedua, Islam datang tidak mengusik agama atau
Islam datang mendinamisir tradisi yang sudah usang, sehingga Islam diterima
faktual, interaksi Islam dan budaya lokal merupakan hal yang tidak dapat
keberagamaan Islam yang berbeda dari satu tempat ke tempat yang lain.33
Boleh jadi, Islam lebih dominan atau sebaliknya budaya lokal setempat yang
dakwah, maka kepekaan dan kesadaran masyarakat dapat lebih meningkat dalam
31
Baderih, Dakwah Islam dan Budaya Lokal (Akulturasi Timbal Balik), Al-Tajdid, Vol.
VI/September 2011, halaman 63
32
Baderih, Dakwah Islam dan Budaya Lokal (Akulturasi Timbal Balik), Al-Tajdid, Vol.
VI/September 2011, halaman 63
33
Baderih, Dakwah Islam dan Budaya Lokal (Akulturasi Timbal Balik), Al-Tajdid, Vol.
VI/September 2011, halaman 73
18
memilah unsur-unsur budaya tersebut sehingga akulturasi tersebut dapat diterima,
Hal ini tentunya sejalan dengan pengertian dakwah itu sendiri yakni usaha
untuk mempengaruhi orang lain agar mereka bersikap dan bertingkah laku sesuai
34
Baderih, Dakwah Islam dan Budaya Lokal (Akulturasi Timbal Balik), Al-Tajdid, Vol.
VI/September 2011, halaman 74
35
Baderih, Dakwah Islam dan Budaya Lokal (Akulturasi Timbal Balik), Al-Tajdid, Vol.
VI/September 2011, halaman 74
36
Mumuh, PENYEBARAN ISLAM DI JAWA BARAT, (Bandung : Unpad, Ilmu sejarah. 2010).
Halaman 2. http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2013/10/pustaka_unpad_Bogor.pdf
diunduh pada tanggal 27 November 2018
19
dukuh yang diperintah oleh seorang juru labuan (syahbandar), kemudian menjadi
desa yang dipimpin oleh seorang kuwu. Pelabuhannya berlokasi di Muara Amparan
Jati yang berada di Dukuh Pasambangan. Yang menjadi kepala atau juru
labuhannya ialah Ki Gedeng Kasmaya, Ki Gedeng Sedangkasih, kemudian diganti
oleh Ki Gedeng Tapa, selanjutnya diganti lagi oleh Ke Gedeng Jumajan Jati.
Konsekuensi sebagai vassal Kerajaan Sunda, setiap tahun Cirebon menyerahkan
upeti berupa garam dan terasi.37
Sebelum tempat yang sekarang menjadi kota Cirebon dihuni orang, tidak
jauh di sebelah utara tempat itu terdapat kehidupan masyarakat. Masyarakat yang
tinggal di tempat itulah yang merupakan cikal bakal penduduk kota Cirebon. Di situ
terdapat pelabuhan Muhara Jati dan Pasambangan. Di sebelah utaranya terdapat
negeri Singapura di sebelah timurnya terdapar negeri Japura, sedangkan di sebelah
selatan di bagian pedalaman terdapat Caruban Girang. Pada perempat pertama abad
ke-14 Masehi saudagar-saudagar yang berasal dari Pasai, Arab, India, Parsi,
Malaka, Tumasik (Singapura), Palembang, Cina, Jawa Timur, dan Madura datang
berkunjung ke Pelabuhan Muhara Jati dan Pasar Pasambangan untuk berniaga dan
memenuhi keperluan pelayaran lainnya. Kedatangan mereka, yang telah memeluk
Islam, di Pelabuhan Muhara Jati dan Pasar Pasambangan memungkinkan penduduk
setempat berkenalan dengan agama Islam.38 Banten, merupakan pelabuhan yang
penting bila dilihat dari sudut geografi dan ekonomi karena letaknya yang strategis
dalam penguasaan Selat Sunda, yang menjadi matarantai pula dalam pelayaran dan
perdagangan melalui lautan Indonesia di bagian selatan dan barat Sumatera.
37
Mumuh, PENYEBARAN ISLAM DI JAWA BARAT, (Bandung : Unpad, Ilmu sejarah. 2010).
Halaman 2. http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2013/10/pustaka_unpad_Bogor.pdf
diunduh pada tanggal 27 November 2018
38
Mumuh, PENYEBARAN ISLAM DI JAWA BARAT, (Bandung : Unpad, Ilmu sejarah. 2010).
Halaman 2-3. http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2013/10/pustaka_unpad_Bogor.pdf
diunduh pada tanggal 27 November 2018
20
Pentingnya Banten lebih dirasakan terutama waktu Selat Malaka berada di bawah
pengawasan politik Portugis di Malaka.39
Banten disebut pertama kali dalam Babad Cirebon (edisi Brandes) sebagai
tempat singgah Syarif Hidayatulloh ketika ia baru tiba di Pulau Jawa sepulangnya
dari Tanah Arab. Di Banten waktu itu telah ada yang menganut agama Islam,
walaupun masih merupakan bagian dari Kerajaan Hindu Pajajaran. Penduduk
Banten diislamkan oleh Demak dan Cirebon tanpa peperangan. Menurut Carita
Purwaka Caruban Nagari, pada waktu Syarif Hidayatulloh singgah di Banten,
tempat itu telah menjadi kota pelabuhan. Menurut Tome Pires, Banten pada tahun
1513 merupakan pelabuhan dagang milik Kerajaan Sunda Empat belas tahun
kemudian (1627) orang Portugis lain bernama Barros mendapatkan Banten sebagai
kota pelabuhan besar sejajar dengan Malaka dan Sumatera. Pada tanggal 22 Juni
1596 rombongan orang Belanda yang pertama datang di Banten dipimpin oleh
Cornelis de Houtman. Ia mendapatkan Banten sebagai pusat kekuasaan Islam, di
samping sebagai kota pelabuhan besar. Di pelabuhan itu banyak berniaga saudagar
dari Cina, Persi, Arab, Turki, India, dan Portugis.40
39
Mumuh, PENYEBARAN ISLAM DI JAWA BARAT, (Bandung : Unpad, Ilmu sejarah. 2010).
Halaman 3. http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2013/10/pustaka_unpad_Bogor.pdf
diunduh pada tanggal 27 November 2018
40
Mumuh, PENYEBARAN ISLAM DI JAWA BARAT, (Bandung : Unpad, Ilmu sejarah. 2010).
Halaman 3-4. http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2013/10/pustaka_unpad_Bogor.pdf
diunduh pada tanggal 27 November 2018
21
Demak dan Cirebon di bawah pimpinan Faletehan (1527). Setelah dikuasai pasukan
Islam, Sunda Kalapa berubah nama menjadi Jayakarta.41
41
Mumuh, PENYEBARAN ISLAM DI JAWA BARAT, (Bandung : Unpad, Ilmu sejarah. 2010).
Halaman 4. http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2013/10/pustaka_unpad_Bogor.pdf
diunduh pada tanggal 27 November 2018
42
Nina dkk, Sejarah Perkembangan Islam di Jawa Barat, halaman 29
http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2013/10/SEJARAH-PERKEMBANGAN-ISLAM.pdf
diunduh pada tanngal 27 November 2018
22
BAB III
Berdasarkan data dan penelitian arkeologis, Tanah Sunda telah dihuni oleh
masyarakat Sunda secara sosial sejak lama sebelum Tarikh Masehi. Situs purbakala
di Ciampe'a (Bogor), Klapa Dua (Jakarta), dataran tinggi Bandung dan Cangkuang
(Garut) memberi bukti dan informasi bahwa lokasi-lokasi tersebut telah ditempati
Era sejarah di Tanah Sunda baru dimulai pada pertengahan abad ke-5 seiring
dengan dibuatnya dokumen tertulis berupa beberapa buah prasasti yang dipahat
pada batu dengan menggunakan Bahasa Sansekerta dan Aksara Pallawa. Prasasti-
prasasti itu yang ditemukan di daerah Bogor, Bekasi dan Pandeglang dibuat pada
Purnawarman dan ibukotanya terletak di daerah Bekasi sekarang. Pada masa itu
sampai abad ke-7, sistem kerajaan sebagai bentuk pemerintahan, Agama Hindu
sebagai agama resmi negara, sistem kasta sebagai bentuk stratifikasi sosial, dan
hubungan antar negara telah mulai terwujud, walaupun masih dalam tahap awal dan
terbatas. Sriwijaya di Sumatera, India dan Cina merupakan negeri luar yang sudah
43
Ajid Thohir, Enyeng, t.p, t.t, hal 15
23
menjalin hubungan dengan kerajaan Tarumanagara,sehingga kebudayaan Hindu
Sunda sebagai nama kerajaan kiranya baru muncul pada abad ke-8 sebagai
Bogor sekarang. Paling tidak, ada tiga macam sumber yang menyebut Sunda
sebagai nama kerajaan. Pertama, dua buah prasasti (Bogor dan Sukabumi); kedua,
beberapa buah berita orang Portugis (1513,1522,1527); dan ketiga, beberapa buah
naskah lama (Carita Parahiyangan, Sanghyang Siksa Kanda'ng Karesian). Ibu kota
Dalam tradisi lisan dan naskah sesudah abad ke-17, Pakuan biasa disebut
ini hidup kira-kira 6 abad, karena runtuhnya sekitar tahun 1579. Pernah mengalami
masa kejayaan yang antara lain ditandai dengan luas wilayah yang meliputi seluruh
Tatar Sunda, kesejahteraan rakyat tinggi, keamanan stabil, hubungan dengan dunia
luar (Majapahit, Portugis, Sriwijaya) berjalan baik. Dikenal ada dua raja termasyhur
akan kebesarannya, yakni Prabu Niskala Wastukancana dan Sri Baduga Maharaja.
Ibu kotanya pernah berada di Kawali, Galuh Ciamis. Pada masa pemerintahan
pernikahan puteri Sunda dengan raja Majapahit Hayam Wuruk. Pada masa
44
Ajid Thohir, Enyeng, t.p, t.t, hal 15
45
Ajid Thohir, Enyeng, t.p, t.t, hal 16
24
(1521- 1535) terjalin hubungan kerjasama ekonomi dan keamanan antara kerajaan
Dari kerajaan ini dihasilkan beras dan lada yang banyak sehingga bisa
diekspor. Kota pelabuhan yang besar antara lain Banten, Kalapa (Jakarta sekarang),
dan Cirebon. Sistem ladang merupakan cara bertani rakyatnya. Ada jalan raya darat
disebelah utara, serta Cirebon dan Galuh di sebelah timur. Dari daerah pedalaman
ke pesisir utara dihubungkan dengan jalur lalulintas sungai dan jalan menyusuri
pantai.47
Sunda untuk berdagang dan memperkenalkan agama Islam. Lama kelamaan para
Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten. Sedangkan sisi yang lain Mataram
46
Ajid Thohir, Enyeng, t.p, t.t, hal 16
47
Ajid Thohir, Enyeng, t.p, t.t, hal 17
25
wilayah adipati (kabupaten) yang masing-masing berdiri sendiri, akibat hancurnya
Padjajaran, seperti Sumedang dan Galuh. Kerajaan Galuh pada akhirnya mengakui
karena hendak menghindari dan melepaskan diri dari dua cengkraman kesultanan
Islam (Banten dan Cirebon), Sumedang akhirnya memilih dan memiliki hubungan
yang sangat kuat dengan kesultanan Mataram (1625 M). Karena beberapa alasan-
dan budaya keislaman. Sejak periode ini, Sumedang pada akhirnya sebagai
bentukan dan bagian dari vasal-vasal Mataram. Dengan demikian hubungan Sunda-
Jawa Mataram terbentuk di Tatar Sunda, Sumedang.49 Pada periode ini pula
berproses secara simetris, Islam mewarnai tradisi lokal sebaliknya tradisi lokal
48
Ajid Thohir, Enyeng, t.p, t.t, hal 17
49
Ajid Thohir, Enyeng, t.p, t.t, hal 18
50
Ajid Thohir, Enyeng, t.p, t.t, hal 19
26
Secara geografis, Sumedang Larang yang digambarkan oleh Babad ini,
berada di lingkungan gunung dan sungai; sebelah selatan gunung Kacapi, sebelah
utaranya gunung Palasari dan diapit oleh sungai Cisugan. Tanahnya subur dan datar
sehingga nampak jelas melihat pemandangan seluruh kota Kutamaya saat itu. Kota
Sumedang Larang yang didirikan oleh Prabu Tajimalela, sebagai turunan dari
wangsa raja Padjadjaran, yakni Prabu Aji Putih saudara dari Sri Baduga Maharaja
itupun dikenal dengan sebutan Gunung Simpai. Gunung itu sekarang terletak di
dengan gelar Prabu Taji Malela, sebelum itu nama panggilannya Prabu Bathara
Tungtang Buana.52
51
Ajid Thohir, Enyeng, t.p, t.t, hal 33
52
Ajid Thohir, Enyeng, t.p, t.t, hal 33
27
Ia memproklamirkan Sumedang sebagai kota merdeka, setelah kerajaan
Banten di bawah pimpinan Sultan Maulana Yusuf, sultan Banten ke 2 setelah Sultan
Larang” insun medal insun madangan, saya lahir untuk memberi penerangan. Kata-
kata tersebut diucapkan oleh Prabu Taji Malela, saat keluar dari tempat
pertapaannya. Juga dikatakan “Su” artinya bagus, “Medang” artinga luas, dan
Sumedang Larang, Prabu Taji Malela dan dikuatkan oleh empat tokoh yang
yang diduga posisinya satu tingkat di atas kawedanaan, bahkan kebupaten. Tokoh-
tokoh itu adalah berasal dari tokoh-tokoh Padjadjaran, mereka itu adalah:
Buana atau Mbah Terong Peot. Semuanya sepakat untuk menyerahkan mahkota
Mas, termasuk pusaka Kujang Mas Padjadjaran dan dengan ikhlas mereka
bernama Prabu Lembu Agung dan adiknya bernama Prabu Gajah Agung. Pengganti
53
Ajid Thohir, Enyeng, t.p, t.t, hal 33
54
Ajid Thohir, Enyeng, t.p, t.t, hal 34
28
Tajimalela yang pertama adalah Prabu Lembu Agung, akan tetapi ia lebih tertarik
menjadi resi (petapa), maka kepemimpinan diserahkan pada adiknya, Prabu Gajah
Ia mempunyai seorang putri dan putra, bernama Ratu Ratnaningsing (Nyimas Raja
Mantri, yang kelak dinikahi oleh Sri Baduga Maharaja) dan Sunan Patuakan. Sunan
Guling digantikan oleh Sunan Patuakan, kemudian digantikan oleh putrinya Sunan
Patuakan bernama, Nyi Mas Ratu Patuakan yang menikah dengan Sunan Conde.
Sebelumnya Sunan Condre telah beristri Mayang Sari dari Langlang Buana
Kuningan, dan berputra bernama Ratu Wulan Sari (Ratu Payung) yang kemudian
menikah dengan Rangga Mantri alias Sunan Parung Gangsa (Pucuk Umun Talaga),
putra Munding Surya Agung. Dari Nyimas Patuakan, Sunan Condre berputri
Setyasih yang menjadi Ratu Sumedang Larang dengan gelar “Ratu Pucuk Umun”
dan menikah dengan Sunan Maulana Maghribi, putra Pangeran Pamelekaran atau
Panjunan (cucu dari Sunan Gunung Djati Cirebon), yang kelak melahirkan
Pangeran Santri.56
masuk Islam, dan memindahkan pusat ibu kota Sumedang Larang ke Kutamaya,
karena dianggap lebih strategis, luas dan datar, sebagaimana disebutkan dalam
55
Ajid Thohir, Enyeng, t.p, t.t, hal 34
56
Ajid Thohir, Enyeng, t.p, t.t, hal 35
29
Babad di atas. Dari naskah-naskah ini tidak dijelaskan bagaimana kehidupan sosial
Luas wilayahnya saat masa Prabu Taji Malela, meliputi seluruh daearh Jawa
Barat, dikurang kesultanan Banten dan Cirebon, karena ia adalah sebagai pewaris
Kerajaan Sunda Padjadjaran saat itu setelah Galuh menyerahkan padanya; batas
sebelah timur Sungai Cipamali dan sebelah Barat sampai Sungai Cisadane, kecuali
Kota Pakuan Bogor, Cirebon dan Galuh. Sementara pada masa Ratu Pucuk Umun
Sumedang Larang meliputi beberapa negeri seperti Sumedang sebagai inti kerajaan,
Sumedang Larang mengalami dua kali perubahan agama yang pernah dianut oleh
pemegang pucuk pimpinan berikut masyarakatnya. Dari masa awal masa Prabu Taji
atas, diduga sudah banyak yang menganut berbagai macam agama lain, seperti
57
Ajid Thohir, Enyeng, t.p, t.t, hal 35
58
Ajid Thohir, Enyeng, t.p, t.t, hal 35
30
Hindu atau Budha. Terutama di daerah-daerah pesisir pantai semacam Karawang,
Pamanukan atau Indramayu, karena didukung oleh sarana transfortasi dan dinamika
Pada perempat kedua abad ke-16 Masehi seluruh Pantai Utara Jawa Barat
itu.60
Jawa Barat yang diislamkan oleh Sunan Gunung Jati, selain yang telah
Cirebon pada masa Sunan Gunung Jati. Luragung diislamkan tahun 1481
59
Ajid Thohir, Enyeng, t.p, t.t, hal 36
60
Mumuh, Penyebaran Islam di Jawa Barat, (Bandung : Unpad, Ilmu sejarah. 2010). Halaman 25.
http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2013/10/pustaka_unpad_Bogor.pdf diunduh pada
tanggal 27 November 2018
31
pengislamannya terjadi pada tahun 1530 Masehi. Adapun daerah Rajagaluh
Menurut sumber dari Talaga, penguasa Talaga yang pertama masuk Islam
dengan Ratu Parung, puteri penguasa Talaga. Setelah masuk Islam Rangga
Mantri diangkat menjadi Bupati Talaga. Akan tetapi, menurut keterangan lain,
penguasa Talaga yang pertama kali masuk Islam adalah Aria Wangsa Goparana.
Ia adalah putera Sunan Ciburang, cucu Sunan Wanaperih, cicit Sunan Parung
Sunan Wanaperih.62
Islam. Pangeran Santri dari pihak ibu adalah keturunan raja Pajajaran dan dari
Sumedang sebagai bagian dari daerah pedalaman yang ada di sekitar Tatar
61
Mumuh, Penyebaran Islam di Jawa Barat, (Bandung : Unpad, Ilmu sejarah. 2010). Halaman 25.
http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2013/10/pustaka_unpad_Bogor.pdf diunduh pada
tanggal 27 November 2018
62
Mumuh, Penyebaran Islam di Jawa Barat, (Bandung : Unpad, Ilmu sejarah. 2010). Halaman 26.
http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2013/10/pustaka_unpad_Bogor.pdf diunduh pada
tanggal 27 November 2018
63
Mumuh, Penyebaran Islam di Jawa Barat, (Bandung : Unpad, Ilmu sejarah. 2010). Halaman 27.
http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2013/10/pustaka_unpad_Bogor.pdf diunduh pada
tanggal 27 November 2018
32
besar dunia. Bahkan sampai saat ini dibanding dengan daerah-daerah lainnya di
yang terbentuk oleh perpaduan antara unsur-unsur budaya local Sunda (Galuh-
kebudayaan dan mentalitas sekompleks itu. Karena ketiga daerah yang disebut
terakhir ini memiliki sejarah yang berbeda dengan yang pertama. Sumedang,
seperti Galuh, Mataram atau Cirebon. Karena secara histories wilayah ini telah
64
Ajid Thohir, Enyeng, t.p, t.t, hal 2
33
oleh kenyataan-kenyatan mitos dan legenda. Munculnya sejumlah mitos dan
mawar” yang sangat indah dan menarik untuk bisa digambarkan secara utuh
dan mendasar, namun sebalikny bagi para da’i dan mubaligh kenyataan-
kenyataan tersebut seringkali akan dilihat sebagai tugas bagi mereka sebagai
baru, karena dari arah pesisir utara di Jayakarta (Batavia) telah masuk kekuasaan
Kompeni Belanda (sejak 1610). Secara perlahan-lahan tetapi pasti akhirnya seluruh
Tanah Sunda jatuh ke genggaman kekuasaan Belanda (sejak awal abad ke-19),
Pada masa ini masyarakat dan Tanah Sunda dieksploitasi oleh kaum
tanaman ekspor (lada, nila, kopi) dan kerja paksa (rodi) yang dikenal dengan
65
Ajid Thohir, Enyeng, t.p, t.t, hal 3
66
Ajid Thohir, Enyeng, t.p, t.t, hal 19
34
sebutan Sistem Priangan (Preanger Stelsel); kemudian sejak tahun 1871 melalui
tenaga kerjanya (tenaga kerja murah ) diambil dari masyarakat pribumi; model
Tanah Sunda yang subur dan orang-orangnya yang rajin bekerja menjadikan
membawa kemakmuran yang luar biasa bagi mereka yang tinggal di sini dan yang
mengecap keuntungan yang setimpal dengan tenaga dan jasa yang diberikan,
yang dekat dan bekerjasama dengan penguasa kolonial yang biasa disebut kaum
Menak.68
Secara etimologis, kata/istilah situs berasal dari bahasa Inggris, site (bentuk
jamaknya sites). Artinya adalah sebuah areal atau sebidang tanah di mana terdapat
“sesuatu” yang berharga (an area or piece of land where something was). Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya menyatakan:
“Situs adalah lokasi yamg mengandung atau diduga mengandung benda cagar
budaya termasuk lingkungannya yang diperlukan bagi pengamanannya” (Pasal 1
ayat 2).69
67
Ajid Thohir, Enyeng, t.p, t.t, hal 20
68
Ajid Thohir, Enyeng, t.p, t.t, hal 20
69
Dade Mahzuni, MAKNA SEJARAH DAN BUDAYA DALAM SITUS JATIGEDE
SUMEDANG,
35
Berdasarkan pengertian tersebut, maka pada sebutan “situs” terkandung dua
makna; pertama adalah “tempat”, kedua adalah “benda”. Baik tempat maupun
benda dalam cakupan situs, terkait dengan konteks sejarah. Bila salah satu dari
kedua hal itu atau keduanya musnah, atau bendanya dipindahkan, maka nilai
sejarahnya menjadi berkurang atau bahkan hilang.70
Berikut ini situs-situs di Sumedang yang berkaitan dengan Islam:
1. Situs Astana Gede
http://ejurnalpatanjala.kemdikbud.go.id/patanjala/index.php/patanjala/article/viewFile/268/214
diunduh pada tanggal 23 September 2018. Halaman 550
70
Dade Mahzuni, MAKNA SEJARAH DAN BUDAYA DALAM SITUS JATIGEDE
SUMEDANG,
http://ejurnalpatanjala.kemdikbud.go.id/patanjala/index.php/patanjala/article/viewFile/268/214
diunduh pada tanggal 23 September 2018. Halaman 550
71
Dade Mahzuni, MAKNA SEJARAH DAN BUDAYA DALAM SITUS JATIGEDE
SUMEDANG,
http://ejurnalpatanjala.kemdikbud.go.id/patanjala/index.php/patanjala/article/viewFile/268/214
diunduh pada tanggal 23 September 2018. Halaman 551
36
Inten, Makam Eyang Dipa, Eyang Dipawangsa, dan Eyang Mananti, serta
makam Eyang Jayaperkasa (Eyang Nanti) atau disebut juga Petilasan Tilem.72
3. Situs Nangkod
4. Situs Munjul
Situs ini terletak di sebuah bukit kecil, di sebelah selatan dan barat jalan di
Kampung Munjul, Desa Sukamenak, Kecamatan Darmaraja. Situs Munjul
adalah bangunan teras berundak dan merupakan komplek makam. Salah satu
makam yang berada di puncak teras bangunan berundak adalah
makamSingadepa. Di sebelah barat makam, terdapat makam-makam kuno lain
dengan jirat terbuat dari semen dan nisan berupa menhir (batu alam). Di bagian
selatan makam terdapat undakan-undakan batu alam.73
72
Dade Mahzuni, MAKNA SEJARAH DAN BUDAYA DALAM SITUS JATIGEDE
SUMEDANG,
http://ejurnalpatanjala.kemdikbud.go.id/patanjala/index.php/patanjala/article/viewFile/268/214
diunduh pada tanggal 23 September 2018. Halaman 551
73
Dade Mahzuni, MAKNA SEJARAH DAN BUDAYA DALAM SITUS JATIGEDE
SUMEDANG,
http://ejurnalpatanjala.kemdikbud.go.id/patanjala/index.php/patanjala/article/viewFile/268/214
diunduh pada tanggal 23 September 2018. Halaman 552
37
5. Situs Ciwangi
Situs ini berada di sebelah barat Situs Tanjungsari, tepatnya di lingkungan
pemukiman penduduk Kampung Ciwangi, Desa Cibogo, Kecamatan
Darmaraja. Situs Ciwangi berupa komplek makam kuna yang dianggap
keramat. Menurut cerita rakyat setempat, makam utama di situs itu adalah
makam Mbah Buyut Mandor Sora, pendiri Dusun Ciwangi. Komplek makam
berbentuk bujursangkar dengan teras batu alam. Di sana terdapat empat nisan
berupa menhir, terbagi atas masing-masing dua nisan di sisi barat dan sisi timur,
berorientasi utara – selatan.74
6. Situs Betok
7. Situs Muhara
Situs Muhara terletak di Kampung Muhara, Desa Leuwihideung,
Kecamatan Darmaraja. Di dalam lingkungan itu terdapat makam Eyang
Narapati dan Eyang Martapati. Makam Eyang Narapati terletak di sisi barat
lahan. Jirat makam berupa tatanan batu berdenah empat persegi panjang. Nisan
terbuat dari batu alam (menhir). Makam Eyang Martapati berada di sisi timur
makam Eyang Narapati berjarak sekitar 20 meter. Jiratberupa struktur batu
berdenah empat persegi panjang, dengan nisan terbuat dari batu alam.76
74
Dade Mahzuni, MAKNA SEJARAH DAN BUDAYA DALAM SITUS JATIGEDE
SUMEDANG,
http://ejurnalpatanjala.kemdikbud.go.id/patanjala/index.php/patanjala/article/viewFile/268/214
diunduh pada tanggal 23 September 2018. Halaman 552
75
Dade Mahzuni, MAKNA SEJARAH DAN BUDAYA DALAM SITUS JATIGEDE
SUMEDANG,
http://ejurnalpatanjala.kemdikbud.go.id/patanjala/index.php/patanjala/article/viewFile/268/214
diunduh pada tanggal 23 September 2018. Halaman 552
76
Dade Mahzuni, MAKNA SEJARAH DAN BUDAYA DALAM SITUS JATIGEDE
SUMEDANG,
38
8. Situs Lameta
Situs ini berada di Kampung Lameta, Desa Leuwihideung, Kecamatan
Darmaraja. Di situs tersebut terdapat dua makam kuno yang terletak
berdampingan, yaitu makam Eyang Dira dan putranya, Eyang Toa, dengan jarak
2,6 m. Menurut cerita rakyat, Eyang Dira dan Eyang Toa adalah penjaga sungai
Ciliwung dan Cisadane. Mereka juga dipercaya sebagai pangeran Jayakarta.
Katanya, hal yang disebut terakhir berpengaruh pada sejumlah peziarah untuk
melakukan usaha di Jakarta.77
9. Situs Ngawer
http://ejurnalpatanjala.kemdikbud.go.id/patanjala/index.php/patanjala/article/viewFile/268/214
diunduh pada tanggal 23 September 2018. Halaman 552
77
Dade Mahzuni, MAKNA SEJARAH DAN BUDAYA DALAM SITUS JATIGEDE
SUMEDANG,
http://ejurnalpatanjala.kemdikbud.go.id/patanjala/index.php/patanjala/article/viewFile/268/214
diunduh pada tanggal 23 September 2018. Halaman 552
78
Dade Mahzuni, MAKNA SEJARAH DAN BUDAYA DALAM SITUS JATIGEDE
SUMEDANG,
http://ejurnalpatanjala.kemdikbud.go.id/patanjala/index.php/patanjala/article/viewFile/268/214
diunduh pada tanggal 23 September 2018. Halaman 552
39
berpagar tembok, berdenah segi empat dengan jirat terbuat dari bata berplester
dan nisan terbuat dari batu alam. Di bawah jirat terlihat jejak tatanan batu.79
79
Dade Mahzuni, MAKNA SEJARAH DAN BUDAYA DALAM SITUS JATIGEDE
SUMEDANG,
http://ejurnalpatanjala.kemdikbud.go.id/patanjala/index.php/patanjala/article/viewFile/268/214
diunduh pada tanggal 23 September 2018. Halaman 552
80
Dade Mahzuni, MAKNA SEJARAH DAN BUDAYA DALAM SITUS JATIGEDE
SUMEDANG,
http://ejurnalpatanjala.kemdikbud.go.id/patanjala/index.php/patanjala/article/viewFile/268/214
diunduh pada tanggal 23 September 2018. Halaman 553
81
Dade Mahzuni, MAKNA SEJARAH DAN BUDAYA DALAM SITUS JATIGEDE
SUMEDANG,
http://ejurnalpatanjala.kemdikbud.go.id/patanjala/index.php/patanjala/article/viewFile/268/214
diunduh pada tanggal 23 September 2018. Halaman 554
40
walaupun musim kemarau panjang. Mata air dibatasi batu andesit dengan
bentuk relatif persegi. Bentang lahan situs melingkar dengan luas sekitar 25 x
20 meter, dengan sebaran batuan dan beberapa menhir.82
Situs ini berada pada sebuah bukit di sebelah timur situs Cipawenang,
tepatnya di Kampung Cigangsa, Desa Pawangan, Kecamatan Wado. Situs
Cigangsa merupakan komplek makam Islam. Makam utama yang terletak di
tengah adalah makam Embah Dalem Raden Arya Wangsa Dinaya. Pada batu
nisan (batu pasiran) berbentuk kurawal, terdapat angka tahun 1247 H/1848 M.
Pada bagian nisan tertulis huruf Arab yang kini sudah pudar. Di kanan dan kiri
makam utama terdapat terdapat dua makam pendamping yang belum
teridentifikasi.83
82
Dade Mahzuni, MAKNA SEJARAH DAN BUDAYA DALAM SITUS JATIGEDE
SUMEDANG,
http://ejurnalpatanjala.kemdikbud.go.id/patanjala/index.php/patanjala/article/viewFile/268/214
diunduh pada tanggal 23 September 2018. Halaman 554
83
Dade Mahzuni, MAKNA SEJARAH DAN BUDAYA DALAM SITUS JATIGEDE
SUMEDANG,
http://ejurnalpatanjala.kemdikbud.go.id/patanjala/index.php/patanjala/article/viewFile/268/214
diunduh pada tanggal 23 September 2018. Halaman 554
84
Dade Mahzuni, MAKNA SEJARAH DAN BUDAYA DALAM SITUS JATIGEDE
SUMEDANG,
http://ejurnalpatanjala.kemdikbud.go.id/patanjala/index.php/patanjala/article/viewFile/268/214
diunduh pada tanggal 23 September 2018. Halaman 554
41
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Islamisasi di Tatar Sunda terbagi menjadi dua tipe, yaitu melalui kekerasan
dan damai. Khusus untuk di Sumedang bukti yang ada menunjukan bahwa
Islamisasi dilakukan secara damai. Adanya senjata dalam hal ini digunakan
untuk simbol kekuasaan semata dan membela diri dari rongrongan luar. Dalam
penelitian ini tidak ada bukti yang menyebutkan Islam di Sumedang melalui
kekerasan, karena islam masuk dengan mengedepankan budaya yang ada tetapi
di isi dengan nilai-nilai Islami. Ini merupakan ciri khas islamisasi yang berakar
dari Cirebon.
awal abad ke-10 masuknya Islam, tahap kedua abad ke-16 penyebaran, tahap
Agung Sumedang, dan adanya naskah al-Quran yang disalin tahun 1856,
salinan R.H. Abdoel Madji dan al-Quran tahun 1858 salinan Arwan.
pada masa Pangeran Santri, sebagaimana yang selama ini banyak dinyatakan.
42
Semakin terlihat islamisasi memang pada masa Pangeran Santri, karena sudah
baik, tetapi sebatan ritual yang berhubungan dengan mistik, seperti upacara
pencucian benda pusaka dan ziarah kekuburan raja-raja Sumedang. Hal ini
Meskipun dengan jalan damai, proses kontak budaya dan perubahan antar
bersatunya dua budaya pun ada. Terlihat adanya perubahan kebudayaan pada
hiasan batu nisan para leluhur Sumedang yang ditandai dengan hilangnya pola
hiasan flora yang merupakan ciri khas Hindu sehingga batu nisan masa sekarang
tidak terdapat hiasan. Inilah menjadi bukti bahwa kontak antar budaya satu
B. Saran
Pembahasan mini riset di atas masih jauh dari kesempurnaan maka penulis
menyempurnakan mini riset yang kami buat dan penulis menyarankan untuk
pembaca tidak terpacu terhadap makalah yang telah dibuat demi memperluas
wawasan tentang Islamisasi di Sumedang, karena kami sadari mini riset ini jauh
dari kesempurnaan.
43
DAFTAR SUMBER
Buku
Nina Lubis dkk, t.t, Sejarah Perkembangan Islam di Jawa Barat, Gubernur:
Jawa Barat.
Jurnal
Dede Mahzuni, 2011, "Makna Sejarah dan Budaya dalam Situs Jatigede
Sumedang", Patanjala Vol. 3, No.3, September 2011: 547-564, diunduh
pada 23 September 2018, dari:
http://ejurnalpatanjala.kemdikbud.go.id/patanjala/index.php/patanjala/art
icle/viewFile/268/214
Baderiah, 2011, “Dakwah Islam dan Budaya Lokal (Akulturasi Timbal Balik)”,
Al-Tajdid, Vol. VI/September 2011, diunduh pada tanggal 24 Februari
2019, dari:
https://s3.amazonaws.com/academia.edu.documents/55656367/DAKW
AH__ISLAM__DAN__BUDAYA__LOKAL_AKULTURASI__TIMB
AL__BALIK.pdf?AWSAccessKeyId=AKIAIWOWYYGZ2Y53UL3A
&Expires=1551019995&Signature=vSjh5wLsJKB8rif9X6oFAdTwk6M
%3D&response-content-
disposition=attachment%3B%20filename%3DDAKWAH_ISLAM_DA
N_BUDAYA_LOKAL_AKULTURASI.pdf
A. Sobana, 2015, “Islam di Tatar Sunda dan Hubungan Bupati dengan Ulama
Zaman Hindia Belanda”, Makalah, diunduh pada 21 Maret 2019, dari:
https://s3.amazonaws.com/academia.edu.documents/40870814/MAKAL
AH_-_ISLAM_DI_TATAR_SUNDA___HUBUNGAN_BUAPTI_-
_ULAMA_ZAMAN_HINDIA_BELANDA.pdf?AWSAccessKeyId=A
KIAIWOWYYGZ2Y53UL3A&Expires=1553143383&Signature=fxPC
sI%2FrgjziSKMAwdy9Zq0Izeo%3D&response-content-
disposition=attachment%3B%20filename%3DISLAM_DI_TATAR_SU
NDA_Prof.Dr.H._A._Soban.pdf
45
Lampiran-Lampiran
46