KUNO DI JAWA
BIDANG KEGIATAN
Diusulkan oleh:
MALANG
2019
TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui secara konkret bentuk-bentuk
persilangan budaya dalam masjid-masjid kuno di Jawa. Lebih lanjut, penelitian ini
akan mencoba mengeksplorasi aspek-aspek akulturasi yang terdapat di beberapa
masjid kuno di Jawa. Dalam penelitian yang akan secara terperinci digali unsur
akulturasinya adalah Masjid Agung Demak, Masjid Kudus, Masjid Agung
Bandung, dan Masjid Agung Banten. Setiap masjid tersebut memiliki keunikan
unsur akulturasi terutama dalam seni bangun atau arsitekturnya yang akan
dieksplorasi melalui penelitian ini.
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam mengetahui silang budaya dalam arsitektur
masjid-masjid kuno Jawa adalah menggunakan Metode Bibliografi Pustaka yaitu
serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan mempelajari dan mengumpulkan
data dari pustaka baik berupa buku – buku referensi maupun informasi di jurnal-
jurnal di yang sumbernya relevan (Zed, 2008: 3). Sesudah data terhimpun, data
divalidasi atau kritisi untuk mengecek kesesuaian konteks dengan tujuan
penelitian. Ketika data yang valid diperoleh, data pun dianalisis dan
diintepretasikan. Hasil intepretasi data kemudian disusun dan dituangkan dalam
sistematika artikel
PEMBAHASAN
Abad Perdagangan dan Gerbang Budaya Baru
Sudah sejak lama pesisir utara Jawa dikenal sebagai salah satu pusat
perdagangan di Nusantara. Melalui kegiatan perdagangan di kota-kota pelabuhan
Pulau Jawa bagian utara, Islam masuk ke Pulau Jawa. Melalui kontak
perdagangan itulah juga terjadi kontak budaya dimana budaya dari pendatang dan
budaya lokal saling memengaruhi. Islam mulai dikenal oleh masyarakat Pulau
Jawa diperkirakan pada abad 11-12 M dengan Kota Gresik sebagai pusat
perkembangan Islam. Persebaran Islam di Pulau Jawa tidak lepas dari peran
sembilan wali atau yang lebih dikenal sebagai walisanga. Walisanga mengajarkan
Islam dengan tetap mengadiluhungkan budaya Jawa yang notabene telah
berkembang jauh sejak jaman Hindu-Budha karenanya terjadi harmonisasi di
bidang budaya.
Islamisasi dengan jalur budaya menjadi salah satu faktor mudah
diterimanya ajaran Islam oleh penduduk Jawa pada masa itu. Islam diajarkan pada
saat itu dengan mengharmonisasikan konsep-konsep kebudayaan Hindu-Budha di
Jawa dengan pedoman Islam. Selain itu ajarannya, budaya Islam yang
diperkenalkan pada masa tersebut masih menganut budaya-budaya Jawa yang
berkaitan dengan budaya Hindu (Pradisa, 2017). Hingga kini bentuk harmonisasi
tersebut secara nyata masih dapat disaksikan dan menjadi saksi bisu betapa
arifnya para pendakwah Islam di saat itu yang memilih melakukan penyelarasan
daripada sebuah penaklukan.
Satu diantaranya adalah arsitektur dan konstruksi bangunan monumen
Islam di masa awal. Khususnya bangunan masjid. Masjid merupakan tempat
peribadatan umat Islam yang juga bisa difungsikan untuk memenuhi kebutuhan
infrastruktur sosial dan administratif, misalnya musyawarah dan pengadilan. Di
Jawa khususnya, masjid memiliki nilai prestise yang lebih daripada hanya sekedar
tempat beribadah. Buktinya di pusat-pusat pemerintahan, masjid jami/agung
didirikan bersebelahan dengan keraton atau kadipaten dan alun-alun. Tata ruang
yang demikian menunjukkan bahwa institusi agama memiliki peran sentris dalam
tata pemerintahan dan kekuasaan di Jawa pada abad-abad itu.
Konstruksi masjid Jawa pada abad XV-XVI menunjukkan adanya masa
peralihan atau transisi karena ciri khas yang unik dan berbeda dibandingkan masa
sebelumnya. Ciri khas dari arsitektur masjid di abad tersebut adalah
kemampuannya untuk membiarkan diri dibanjiri oleh gelombang pengaruh dari
luar dan kemampuannya untuk mempertahankan keaslian budayanya sendiri
(Handinoto, 2012). Pada periode klasik unsur-unsur arsitektur Hindu-Budhis
berhasil di-Jawa-kan. Periode selanjutnya setelah masuknya Islam, arsitektur Jawa
justru menemukan tempatnya.
Setiap bangunan memiliki bentuk, dan setiap bentuk memiliki rupa. Rupa
dari sebuah bentukan dapat dipersepsi berbeda-beda. Setiap bentuk memiliki rupa
nya sendiri tetapi dapat dipersepsi menurut anggapan pengamatnya sehingga
menghasilkan beranekaragam persepsi terhadap rupa bentuk-nya (Roesmanto,
1999). Melalui persepsi multikulturalisme, konstruksi masjid-masjid kuno di Jawa
pada khususnya memberikan pemaknaan yang mendalam terhadap
sebetapanyatanya konsep toleransi telah ada di kepribadian bangsa. Dua
kebudayaan yang berbeda jika bertemu, pada prinsipnya terdapat hal-hal yang
saling menentang namun dapat diharmonisasikan dengan baik dan indah,
bukannya malah saling konflik.
Masjid ini memiliki keistimewaan yaitu kedua belas kolom terbuat dari
batu berpenampang lingkaran dan berdiameter kurang lebih 1 meter seperti kolom
Yunani-Dorik. Pada masjid ini juga berarsitektur pilaster yang dilengkapi dengan
bukaan pelengkung patah seperti kebanyakan masjid-masjid di India dan Persia.
Setiap kolom dalam masjid ini masing-masing berjarak 5 meter yang dikelilingi
dinding. Di bagian barat terdapat dinding kiblat yang disertai mihrab. Masjid ini
juga mempunyai gaya arsitektur Arab dan masjid-masjid Timur Tengah yang
ditandai dengan adanya maqsura. Terdapat mimbar di sisi mihrab berpola
kangkungan, padasan, dan mega mendung yang bercorak lokal. Pada kaki
mimbar terdapat hiasan kala-makara sebagai pengaruh Hindu (Sumalyo, 2006).
Terdapat lima pintu masuk untuk ke ruang sembahyang, ini dimaksudkan
sebagai simbol dari rukun Islam. Bangunan serambi terbuat dari baja pada rangka
atap dengan kolom kayu berbentuk bujursangkar seperti arsitektur limasan Jawa.
Menurut Qurtuby (2003: 129) dalam Handinoto (2007), bentuk mustoko (hiasan
di puncak masjid) berbentuk bola dunia yang dikelilingi oleh empat ekor ular jelas
terinspirasi dari tradisi Cina. Terdapat menara yang merupakan bangunan
tambahan oleh Belanda tahun 1934 yang terbuat dari baja dan memiliki ketinggian
25 meter. Pada ujung menara diletakkan semacam gardu berdenah segi delapan
atau kubah bawang seperti masjid di India.
Di halaman utara masjid terdapat makam utama dan di halaman depan
utara selatan terdapat kolam yang dahulu digunakan untuk wudlu. Masjid ini
memiliki banyak ornamen keramik yang terdapat hiasan piring dan lukisan hewan
dan tumbuhan, seperti burung, bunga, dan dahan. Menurut Graaf (2004) dan
Lombard (1996) dalam Handinoto (2007), ada pengaruh Cina pada masjid-masjid
kuno mengingat bahwa pada abad ke-15 dan 16, pedagang Cina muslim adalah
pedagang yang dominan yang banyak bermukim di Demak sekaligus
menyebarkan agamanya, termasuk Cek Ko-po yang adik atau anaknya menjadi
salah satu pendiri kerajaan Demak, yakni Sultan Trenggono (Sumalyo, 2006).
Masjid Kudus
Kota Kudus terletak di 54 km timur laut Kota Semarang dan bersebelahan
dengan Demak. Sekitar abad ke XVI beberapa kota pelabuhan di pantai utara
Jawa memainkan peranan penting, namun tidak melebihi Demak. Selain menjadi
bandar dagang, Demak menjadi pusat politik yang baru setelah keruntuhan
Majapahit. Demak memegang peran yang signifikan karena berfungsi sekaligus
sebagai pusat perdagangan, pusat politik, dan pusat perkembangan Islam. Pun
demikian dengan kota-kota yang mengelilinginya, berubah menjadi kota yang
memanfaatkan perkembangan pesat perdagangan, seperti Juwana, Pati, Rembang
dan terutama Kudus (Sumalyo, 2006).
Sebagai salah satu kota yang mendapat manfaat dari pesatnya
perdagangan, Kudus menjadi salah satu titik pertemuan budaya antara kultur para
saudagar-pendatang dan budaya masyarakat sendiri. Salah satu bukti dari
percampuhan budaya tersebut tampak pada perpaduan unsur-unsur arsitektur di
Masjid Kudus. Berdasarkan keterangan yang tercantum pada bagian atas mihrab,
Masjid Kudus didirikan pada 956 H atau 1537 M oleh Djafar Shadiq atau yang
lebih mahsyur dikenal sebagai Sunan Kudus (Sumalyo, 2006). Dari inskripsi
tersebut pula diketahui nama asli masjid ini yaitu Masjid Al-Aqsa atau Al-Manar.
Hal ini selaras dengan tradisi tutur penamaan Kota Kudus. Dikatakan bahwa
setelah pulang dari berhaji, Sunan Kudus menamai kota ini dengan Al-Quds
(sebutan Arab untuk Yerusalem), yang kemudian dilafalkan menjadi Kudus, maka
wajar jika masjid yang didirikan kemudian dinamai Al-Aqsa.
Tidak seperti masjid kuno besar Jawa pada umumnya, unsur-unsur seperti
alun-alun dan kadipaten tidak ditemui dalam tata ruang Masjid Kudus, yang ada
adalah empat kampung kauman yang mengelilingi di empat penjuru, yang masih
ada hingga saat ini. Hal ini menunjukkan bahwa Masjid Kudus tidak didirikan di
pusat pemerintahan saat itu melainkan di tengah pemukiman muslim. Jelas bahwa
fungsi Masjid Kudus bukan sebagai masjid jami melainkan masjid lingkungan.
Arsitektur masjid pada umumnya tidak jauh berbeda dengan masjid-masjid
awal di Jawa. Elemen masjid terdiri dari haram (ruang sembahyang utama),
pendapa atau serambi yang menempel pada haram, sebuah menara, dan gapura-
gapura. Sekilas unsur Jawa-Hindu masih sangat terasa pada masjid ini.
Sayangnya, selain menaranya sebagian besar bagian masjid sudah tidak asli serta
tanpa adanya data renovasi yang jelas.
Ruang sembahyang utama (haram) mengalami renovasi pada 1918 namun
nampaknya tidak terjadi perubahan struktur yang masif. Konstruksi masjid masjid
masih tetap mempertahankan struktur atap tajug tumpang tiga. Denah haram
berbentuk bujur sangkar dengan empat saka guru dan duabelas tiang (penanggap)
yang mengelilingi ruangan. Keempat saka guru berbahan kayu dengan umpak segi
delapan. Uniknya terdapat ukiran geometris pada bagian kepala yang
mengingatkan dengan ragam hias Art-Deco, salah satu unsur modern Eropa.
Ruang haram dikelingingi oleh dinding di keempat sisinnya. Seperti lazimnya
masjid awal di Jawa pada bagian puncak atap haram dihiasi dengan mustaka
(mahkota). Haram tersambung langsung, menempel dengan serambi. Serambi
melintang selebar ruang sembahyang utama di bagian timurnya. Arsitektur
serambi memakai struktur atap limasan, dengan dua lapi atap, diantara kedua atap
terdapat celah yang berfungsi sebagai pencahayaan.
Gambar 2: Penampang melintang Masjid Kudus yang menampakkan Haram (A), Serambi
(B), Mihrab (C), dan Halaman Masjid (D), serta tiga gapura paduraksa (Sumber:
Sumalyo, 2006)
Gambar 1
Kompleks
Masjid
Agung
Banten
(Sumber:h
ttps://id.w
ikipedia.o
rg/wiki/Masjid_Agung Banten diakses pada 3 April 2019)
Kompleks bangunan Masjid Agung Banten memiliki luas kurang lebih 1,3
hektar yang dikelilingi oleh pagar tembok setinggi satu meter. Pada tembok sisi
timur dan barat masjid masing-masing terdapat dua buah gapura di bagian utara
dan selatan yang letaknya sejajar dan berdiri di atas pondasi setinggi kurang lebih
satu meter di atas halaman. Ruang utama masjid ini memiliki bentuk persegi
panjang dengan luas 25×19 meter. Jika dibandingkan dengan masjid di Padang
Sumatra barat konstruksi atap Masjid Agung Banten hampir sama, hal tersebut
menunjukkan adanya hubungan tradisi di dalam arsitektur di Sumatra dan Jawa.
konstruksi bagian dalam terdiri dari beberapa elemen seperti tiang-tiang yang
berfungsi sebagai penyangga atap susun yang menutupi ruang dan soko-guru yang
terdiri empat buah yang menyangga bagian atap piramidal di atas tengah dan
kolom-kolom lainnya mengitari seperti konstruksi rumah joglo Jawa. seluruh
tiang disangga oleh umpak dari batu andesit yang ditatah membentuk motif buah
labu dengan beberapa variasi bentuk. Di depan atau di timur dari bagian ruang
sembahyang yang utama dari unit lain, secara kontruksi dan bentuk terpisah
sepanjang bagian depan, namun dihubungkan dengan talang sehingga bagian
dalam menyatu. Unit tersebut menempel melintang seperti serambi atau pendapa
pada rumah-rumah tradisional di Jawa (Sumalyo,2006). Selain untuk menerima
tamu tempat tersebut digunakan untuk belajar mengaji dan sholat Jumat untuk
yang tidak mendapatkan tempat didalam masjid.
Masjid Agung Banten dalam catatan perjalanan orang-orang Eropa di
masa lalu juga menerangkan bentuk atap masjid Agung Banten berbentuk limas
bertingkat (Tihami,2007). Atap masjid Agung Banten memiliki lima tingkat yang
makin ke atas makin mengecil. Menurut Budi dalam Tihami(2006) yang menarik
dari atap masjid agung banten adalah pada dua tumpukan atap konsentris paling
atas yang samar-samar mengingatkan idiom pagoda di Kamboja dan kuil di Cina
(lihat gambar 2).
DAFTAR PUSTAKA