Anda di halaman 1dari 20

SILANG BUDAYA DALAM ARSITEKTUR MASJID-MASJID

KUNO DI JAWA

BIDANG KEGIATAN

PKM ARTIKEL ILMIAH

Diusulkan oleh:

Febri Kevin Aditya 170731637514 2017

Hannah Amirah Utomo 170731637553 2017

Yuli Fitriani 170731637523 2017

UNIVERSITAS NEGERI MALANG

MALANG
2019

PENGESAHAN PKM ARTIKEL ILMIAH

1. Judul Kegiatan : Silang Budaya pada Masjid-


Masjid Kuno di Jawa
2. Bidang Kegiatan : PKM-AI
3. Ketua Pelaksana Kegiatan
a. Nama Lengkap : Febri Kevin Aditya
b. NIM : 170731637514
c. Jurusan : Sejarah
d. Perguruan Tinggi : Universitas Negeri Malang
e. Alamat Rumah dan No Tel/HP : Jl. Candi II-A 432-D, RT 12
RW 02, Karangbesuki,
Sukun, Malang,
082233648271
f. Email : adityanaensis@gmail.com
4. Anggotan Pelaksana Kegiatan/Penulis : 2 Orang
5. Dosen Pendamping
a. Nama Lengkap dan Gelar : Drs. Slamet Sujud P. Jati,
M.Hum
b. NIDN/NIDK : 0017056604
c. Alamat Rumah dan No Tel/HP :

Malang, 5 Maret 2019


Menyetujui,
Wakil Dekan III Ketua Pelaksana
Kegiatan,
Bidang Kemahasiswaan,

Dr. I Nyoman Ruja, S. U. Febri Kevin Aditya


NIP. 196112311988121002 NIM. 170731637514

Wakil Rektor III Dosen Pembimbing,


Bidang Kemahasiswaan,
Dr. Mua’rifin, M.Pd. Drs. Slamet Sujud P. Jati,
M.Hum
NIP. 196508011990011001 NIDN. 0017056604

SILANG BUDAYA DALAM ARSITEKTUR MASJID-MASJID


KUNO DI JAWA

Febri Kevin Aditya, Hannah Amirah Utomo, Yuli Fitriani


Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang
E-mail : yulifitriani456@gmail.com
Jalan Semarang No.5 Malang 65145

Abstrak : Artikel ini akan mengeksplorasi aspek-aspek persilangan


kebudayaan pada abad XV-XVI melalui peninggalan monumental
yang berupa masjid-masjid kuno, khususnya di Jawa. Lebih lanjut,
masjid yang akan dieksplorasi adalah Masjid Agung Demak, Masjid
Kudus, Masjid Agung Banten, dan Masjid Agung Bandung. Untuk
melakukan eksplorasi data tersebut, peneliti menggunakan metode
penelitian kualitatif kajian pustaka melalui buku dan artikel jurnal
yang relevan. Dalam penelitian ini diperoleh sebuah fakta yang
menarik yaitu kemampuan arsitektur pada abad XV-XVI (utamanya
masjid) menerima pengaruh budaya asing yang masuk demikian masif
namun tetap kukuh mempertahankan nilai kelokalan yang telah lama
menetap.
Kata-kata kunci : Arsitektur Masjid, Akulturasi, Abad XV-XVI

Abstract: This article will explore aspects of cultural crossing in the


XV-XV century through monumental relics in the form of ancient
mosques, especially in Java. Furthermore, the mosques to be explored
are the Great Mosque of Demak, the Kudus Mosque, the Great
Mosque of Banten, and the Great Mosque of Bandung. To explore the
data, researchers used qualitative research methods to study
literature through relevant books and journal articles. In this study an
interesting fact was obtained, namely the ability of architecture in the
XV-XVI century (mainly mosques) to accept the influences of foreign
cultures that entered so massively but still firmly maintained the value
of long-standing locality.
Keywords: Mosque Architecture, Acculturation, XV-XVI Century

Sejarah mencatat, Islam menyebar dengan mendapat banyak tantangan-tantangan


yang berbeda-beda antara daerah yang satu dengan yang lainnya. Pertentangan
muncul disebabkan perbedaan kulturr masyaraakat. Khususnya di Jawa, tantangan
muncul dari tradisi mistik Jawa dan budaya Jawa-Hindu. Tantangan-tantangan
tidak harus ditanggapi secara konfrontatif tetapi dapat mengambil jalan adaptif-
kompromis. Atas kepekaan intelektual dan kultural para wali, Islam disebarkan di
Jawa dengan wajah yang santun, adaptif dan tidak konfrontatif.
Masyarakat Jawa sendiri dikenal sebagai masyarakat yang sangat toleran
dengan budaya asing yang masuk ke wilayah kebudayaan jawa (Bakri, 2014).
Orang-orang Jawa memiliki kecakapan kultural dalam beradaptasi dengan
berbagai bentuk busaya asing, termasuk salah satunya adalah Islam. Hal ini terjadi
karena sikap mental masyarakat Jawa berbasis pada moralitas harmonisasi
kehidupan. Ketika Islam disebarkan di Jawa hampir tidak ada catatan adanya
penolakan frontal melalui konflik.
Islam disebarkan tidak hanya membawa kaidah-kaidah keagamaannya saja
namun juga turut serta aspek kebudayaan dari asal pembawa Islam. Merujuk dari
Prof. Selo Soemardjan dalam Bachtiar (1988), kebudayaan diartikan sebagai
semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Berpedoman pada pengertian
tersebut dapat disimpulkan bahwa masyarakat Jawa jauh sebelum kedatangan para
penyebar Islam telah memiliki kebudayaan yang adiluhung karena orang-orang
jawa telah memiliki konsep etika, tata nilai, berbagai kesenian, bahkan mahakarya
monumental. Namun, kebudayaan bersifat dinamis artinya semua kebudayaan
pada suatu saat akan mengalami perubahan karena berbagai sebab. Kebudayaan
Jawa kemudian berangsur berubah karena pertemuannya dengan berbagai
kebudayaan, dalam hal ini kebudayaan Islam.
Ketika Islam dibawakan disebarkan di Jawa terjadilah pertemuan dua
kebudayaan yang berbeda. Pertemuan antara kebudayaan Jawa dan kebudayaan
Islam terjadi melalui proses akulturasi. akulturasi diartikan sebagai proses
percampuran dua kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan saling
mempengaruhi atau proses masuknya pengaruh kebudayaan asing terhadap suatu
masyarakat, sebagian menyerap secara selektif sedikit atau banyak unsur
kebudayaan asing itu, dan sebagian berusaha menolak pengaruh, dalam segi
bahasa ditandai oleh peminjaman atau bilingualisme (van Baal, 1987). Akulturarsi
Islam dengan budaya lokal adalah sebuah proses terjadinya pertemuan atau
hubungan timbal balik antara Islam dengan budaya masyarakat setempat,
sebagaimana yang terjadi dalam kehidupan masyarakat bangsa Indonesia (Junaid,
2013). Dengan demikian kebudayaan asli masyarakat Jawa tidak tergerus habis
oleh karena dominasi kebudayaan Islam, melainkan dua kebudayaan tersebut
saling memengaruhi, saling mengisi, sehingga menghasilkan variasi-variasi yang
unik.
Bukti akulturasi yang paling menonjol dalam periode ini adalah melalui
peninggalan-peninggalan monumentalnya, yang berupa masjid. Soekmono dalam
buku Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia Jilid 3 (Soekmono, 1973),
menyatakan bahwa masjid-masjid kuno di Indonesia memiliki ciri khas berbeda
dengan perkembangan masjid-masjid di wilayah persebaran Islam yang lain, hal
ini menjadi bukti proses akulturasi budaya. Sebut saja, model atap masjid
tumpang sementara lazimnya kubah, keberadaan menara masjid yang sebenarnya
tidak harus ada, hingga masjid yang berada di tepi alun-alun dan kraton atau
kadipaten.

TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui secara konkret bentuk-bentuk
persilangan budaya dalam masjid-masjid kuno di Jawa. Lebih lanjut, penelitian ini
akan mencoba mengeksplorasi aspek-aspek akulturasi yang terdapat di beberapa
masjid kuno di Jawa. Dalam penelitian yang akan secara terperinci digali unsur
akulturasinya adalah Masjid Agung Demak, Masjid Kudus, Masjid Agung
Bandung, dan Masjid Agung Banten. Setiap masjid tersebut memiliki keunikan
unsur akulturasi terutama dalam seni bangun atau arsitekturnya yang akan
dieksplorasi melalui penelitian ini.

METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam mengetahui silang budaya dalam arsitektur
masjid-masjid kuno Jawa adalah menggunakan Metode Bibliografi Pustaka yaitu
serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan mempelajari dan mengumpulkan
data dari pustaka baik berupa buku – buku referensi maupun informasi di jurnal-
jurnal di yang sumbernya relevan (Zed, 2008: 3). Sesudah data terhimpun, data
divalidasi atau kritisi untuk mengecek kesesuaian konteks dengan tujuan
penelitian. Ketika data yang valid diperoleh, data pun dianalisis dan
diintepretasikan. Hasil intepretasi data kemudian disusun dan dituangkan dalam
sistematika artikel

PEMBAHASAN
Abad Perdagangan dan Gerbang Budaya Baru
Sudah sejak lama pesisir utara Jawa dikenal sebagai salah satu pusat
perdagangan di Nusantara. Melalui kegiatan perdagangan di kota-kota pelabuhan
Pulau Jawa bagian utara, Islam masuk ke Pulau Jawa. Melalui kontak
perdagangan itulah juga terjadi kontak budaya dimana budaya dari pendatang dan
budaya lokal saling memengaruhi. Islam mulai dikenal oleh masyarakat Pulau
Jawa diperkirakan pada abad 11-12 M dengan Kota Gresik sebagai pusat
perkembangan Islam. Persebaran Islam di Pulau Jawa tidak lepas dari peran
sembilan wali atau yang lebih dikenal sebagai walisanga. Walisanga mengajarkan
Islam dengan tetap mengadiluhungkan budaya Jawa yang notabene telah
berkembang jauh sejak jaman Hindu-Budha karenanya terjadi harmonisasi di
bidang budaya.
Islamisasi dengan jalur budaya menjadi salah satu faktor mudah
diterimanya ajaran Islam oleh penduduk Jawa pada masa itu. Islam diajarkan pada
saat itu dengan mengharmonisasikan konsep-konsep kebudayaan Hindu-Budha di
Jawa dengan pedoman Islam. Selain itu ajarannya, budaya Islam yang
diperkenalkan pada masa tersebut masih menganut budaya-budaya Jawa yang
berkaitan dengan budaya Hindu (Pradisa, 2017). Hingga kini bentuk harmonisasi
tersebut secara nyata masih dapat disaksikan dan menjadi saksi bisu betapa
arifnya para pendakwah Islam di saat itu yang memilih melakukan penyelarasan
daripada sebuah penaklukan.
Satu diantaranya adalah arsitektur dan konstruksi bangunan monumen
Islam di masa awal. Khususnya bangunan masjid. Masjid merupakan tempat
peribadatan umat Islam yang juga bisa difungsikan untuk memenuhi kebutuhan
infrastruktur sosial dan administratif, misalnya musyawarah dan pengadilan. Di
Jawa khususnya, masjid memiliki nilai prestise yang lebih daripada hanya sekedar
tempat beribadah. Buktinya di pusat-pusat pemerintahan, masjid jami/agung
didirikan bersebelahan dengan keraton atau kadipaten dan alun-alun. Tata ruang
yang demikian menunjukkan bahwa institusi agama memiliki peran sentris dalam
tata pemerintahan dan kekuasaan di Jawa pada abad-abad itu.
Konstruksi masjid Jawa pada abad XV-XVI menunjukkan adanya masa
peralihan atau transisi karena ciri khas yang unik dan berbeda dibandingkan masa
sebelumnya. Ciri khas dari arsitektur masjid di abad tersebut adalah
kemampuannya untuk membiarkan diri dibanjiri oleh gelombang pengaruh dari
luar dan kemampuannya untuk mempertahankan keaslian budayanya sendiri
(Handinoto, 2012). Pada periode klasik unsur-unsur arsitektur Hindu-Budhis
berhasil di-Jawa-kan. Periode selanjutnya setelah masuknya Islam, arsitektur Jawa
justru menemukan tempatnya.
Setiap bangunan memiliki bentuk, dan setiap bentuk memiliki rupa. Rupa
dari sebuah bentukan dapat dipersepsi berbeda-beda. Setiap bentuk memiliki rupa
nya sendiri tetapi dapat dipersepsi menurut anggapan pengamatnya sehingga
menghasilkan beranekaragam persepsi terhadap rupa bentuk-nya (Roesmanto,
1999). Melalui persepsi multikulturalisme, konstruksi masjid-masjid kuno di Jawa
pada khususnya memberikan pemaknaan yang mendalam terhadap
sebetapanyatanya konsep toleransi telah ada di kepribadian bangsa. Dua
kebudayaan yang berbeda jika bertemu, pada prinsipnya terdapat hal-hal yang
saling menentang namun dapat diharmonisasikan dengan baik dan indah,
bukannya malah saling konflik.

Masjid Agung Demak


Masjid Agung Demak merupakan masjid tertua di Jawa. Masjid ini
didirikan pada masa Kerajaan Demak oleh Raden Patah abad ke-15 atau 1479 M
sebelum zaman kejayaan Demak. Masjid megah ini sudah dapat dibangun
sebelum zaman kejayaan Demak, hal ini dikarenakan adanya kebangkitan kota-
kota pesisir utara Jawa pada abad XV dan XVI, bermukimnya komunitas Cina,
awal Islamisasi dan terbentuknya Kesultanan Demak (Sumalyo, 2006). Pada
tahun 1504, Demak menjadi salah satu pusat penyebaran Islam terpenting di Jawa.
Dalam masjid ini terdapat mihrab yang bergambar kura-kura, ada yang
menginterpretasikan, kepala kura-kura yang menunjukkan angka 1, kaki 4, badan
0, dan ekor 1, yang menunjukkan tahun didirikannya tahun Saka 1401 atau 1479
Masehi. Dari pengamatan Qurtuby (2003: 188) dalam Handinoto (2007), ada
kesamaan bahan bangunan masjid Demak dengan kelenteng Talang (1428)
Cirebon. Bahan-bahan tersebut antara lain yaitu tegel bata kuno ukuran 40x40 cm,
bata merah kuno ukuran 28x14 cm, dan paku kuno segi empat. Cara penyelesaian
kolom-kolom struktur utama masjid dengan tanah menggunakan batu alam
sebagai perantara atau umpak.
Masjid Demak mempunyai tata ruang yang sama dengan masjid Tuban,
Banten, dan Bandung yang dianggap sama dengan pusat pemerintahan di Jawa,
dimana letaknya menyatu dengan alun-alun. Awalnya masjid ini hanya terdiri dari
satu unit ruang sembahyang utama atau haram dengan serambi. Haram ini
berbentuk bujursangkar dan bangunannya bergaya Jawa tipe masjid atau tajug
dimana atapnya piramidal, empat sisinya bertemu pada satu titik dan berhias
seperti bunga melati. Sama halnya dengan masjid-masjid lain yaitu atapnya
bersusun tiga. Bagian puncak atapnya berbentuk piramidal yang ditopang oleh
empat tiang utama atau soko guru yang besar yang terbuat dari tatal atau serpihan
kayu yang dilapisi oleh klem atau baja. Empat soko guru memiliki diameter 1
meter dan tinggi 22 meter yang dikelilingi oleh 12 kolom dalam posisi denah
bujursangkar (lihat gambar 1).
Gambar 1: Masjid Agung Demak, Perspektif-Potongan.
A. Haram. B. Serambi (pendapa). C. Mihrab. a. Sakaguru. b. Mustaka
(Sumber: Sumalyo, 2006)

Masjid ini memiliki keistimewaan yaitu kedua belas kolom terbuat dari
batu berpenampang lingkaran dan berdiameter kurang lebih 1 meter seperti kolom
Yunani-Dorik. Pada masjid ini juga berarsitektur pilaster yang dilengkapi dengan
bukaan pelengkung patah seperti kebanyakan masjid-masjid di India dan Persia.
Setiap kolom dalam masjid ini masing-masing berjarak 5 meter yang dikelilingi
dinding. Di bagian barat terdapat dinding kiblat yang disertai mihrab. Masjid ini
juga mempunyai gaya arsitektur Arab dan masjid-masjid Timur Tengah yang
ditandai dengan adanya maqsura. Terdapat mimbar di sisi mihrab berpola
kangkungan, padasan, dan mega mendung yang bercorak lokal. Pada kaki
mimbar terdapat hiasan kala-makara sebagai pengaruh Hindu (Sumalyo, 2006).
Terdapat lima pintu masuk untuk ke ruang sembahyang, ini dimaksudkan
sebagai simbol dari rukun Islam. Bangunan serambi terbuat dari baja pada rangka
atap dengan kolom kayu berbentuk bujursangkar seperti arsitektur limasan Jawa.
Menurut Qurtuby (2003: 129) dalam Handinoto (2007), bentuk mustoko (hiasan
di puncak masjid) berbentuk bola dunia yang dikelilingi oleh empat ekor ular jelas
terinspirasi dari tradisi Cina. Terdapat menara yang merupakan bangunan
tambahan oleh Belanda tahun 1934 yang terbuat dari baja dan memiliki ketinggian
25 meter. Pada ujung menara diletakkan semacam gardu berdenah segi delapan
atau kubah bawang seperti masjid di India.
Di halaman utara masjid terdapat makam utama dan di halaman depan
utara selatan terdapat kolam yang dahulu digunakan untuk wudlu. Masjid ini
memiliki banyak ornamen keramik yang terdapat hiasan piring dan lukisan hewan
dan tumbuhan, seperti burung, bunga, dan dahan. Menurut Graaf (2004) dan
Lombard (1996) dalam Handinoto (2007), ada pengaruh Cina pada masjid-masjid
kuno mengingat bahwa pada abad ke-15 dan 16, pedagang Cina muslim adalah
pedagang yang dominan yang banyak bermukim di Demak sekaligus
menyebarkan agamanya, termasuk Cek Ko-po yang adik atau anaknya menjadi
salah satu pendiri kerajaan Demak, yakni Sultan Trenggono (Sumalyo, 2006).

Masjid Kudus
Kota Kudus terletak di 54 km timur laut Kota Semarang dan bersebelahan
dengan Demak. Sekitar abad ke XVI beberapa kota pelabuhan di pantai utara
Jawa memainkan peranan penting, namun tidak melebihi Demak. Selain menjadi
bandar dagang, Demak menjadi pusat politik yang baru setelah keruntuhan
Majapahit. Demak memegang peran yang signifikan karena berfungsi sekaligus
sebagai pusat perdagangan, pusat politik, dan pusat perkembangan Islam. Pun
demikian dengan kota-kota yang mengelilinginya, berubah menjadi kota yang
memanfaatkan perkembangan pesat perdagangan, seperti Juwana, Pati, Rembang
dan terutama Kudus (Sumalyo, 2006).
Sebagai salah satu kota yang mendapat manfaat dari pesatnya
perdagangan, Kudus menjadi salah satu titik pertemuan budaya antara kultur para
saudagar-pendatang dan budaya masyarakat sendiri. Salah satu bukti dari
percampuhan budaya tersebut tampak pada perpaduan unsur-unsur arsitektur di
Masjid Kudus. Berdasarkan keterangan yang tercantum pada bagian atas mihrab,
Masjid Kudus didirikan pada 956 H atau 1537 M oleh Djafar Shadiq atau yang
lebih mahsyur dikenal sebagai Sunan Kudus (Sumalyo, 2006). Dari inskripsi
tersebut pula diketahui nama asli masjid ini yaitu Masjid Al-Aqsa atau Al-Manar.
Hal ini selaras dengan tradisi tutur penamaan Kota Kudus. Dikatakan bahwa
setelah pulang dari berhaji, Sunan Kudus menamai kota ini dengan Al-Quds
(sebutan Arab untuk Yerusalem), yang kemudian dilafalkan menjadi Kudus, maka
wajar jika masjid yang didirikan kemudian dinamai Al-Aqsa.
Tidak seperti masjid kuno besar Jawa pada umumnya, unsur-unsur seperti
alun-alun dan kadipaten tidak ditemui dalam tata ruang Masjid Kudus, yang ada
adalah empat kampung kauman yang mengelilingi di empat penjuru, yang masih
ada hingga saat ini. Hal ini menunjukkan bahwa Masjid Kudus tidak didirikan di
pusat pemerintahan saat itu melainkan di tengah pemukiman muslim. Jelas bahwa
fungsi Masjid Kudus bukan sebagai masjid jami melainkan masjid lingkungan.
Arsitektur masjid pada umumnya tidak jauh berbeda dengan masjid-masjid
awal di Jawa. Elemen masjid terdiri dari haram (ruang sembahyang utama),
pendapa atau serambi yang menempel pada haram, sebuah menara, dan gapura-
gapura. Sekilas unsur Jawa-Hindu masih sangat terasa pada masjid ini.
Sayangnya, selain menaranya sebagian besar bagian masjid sudah tidak asli serta
tanpa adanya data renovasi yang jelas.
Ruang sembahyang utama (haram) mengalami renovasi pada 1918 namun
nampaknya tidak terjadi perubahan struktur yang masif. Konstruksi masjid masjid
masih tetap mempertahankan struktur atap tajug tumpang tiga. Denah haram
berbentuk bujur sangkar dengan empat saka guru dan duabelas tiang (penanggap)
yang mengelilingi ruangan. Keempat saka guru berbahan kayu dengan umpak segi
delapan. Uniknya terdapat ukiran geometris pada bagian kepala yang
mengingatkan dengan ragam hias Art-Deco, salah satu unsur modern Eropa.
Ruang haram dikelingingi oleh dinding di keempat sisinnya. Seperti lazimnya
masjid awal di Jawa pada bagian puncak atap haram dihiasi dengan mustaka
(mahkota). Haram tersambung langsung, menempel dengan serambi. Serambi
melintang selebar ruang sembahyang utama di bagian timurnya. Arsitektur
serambi memakai struktur atap limasan, dengan dua lapi atap, diantara kedua atap
terdapat celah yang berfungsi sebagai pencahayaan.

Gambar 2: Penampang melintang Masjid Kudus yang menampakkan Haram (A), Serambi
(B), Mihrab (C), dan Halaman Masjid (D), serta tiga gapura paduraksa (Sumber:
Sumalyo, 2006)

Aspek Jawa-Hindu terlihat pada tiga gapura yang membentuk sumbu


linear dengan kiblat, gapura-gapura ini berstruktur paduraksa (gapura beratap
dengan kori). Terdapat dua gapura di bagian halaman masjid dan satu berada
dalam haram. Dilihat dari struktur yang masih ada saat ini, besar kemungkinan
bahwa disamping kanan dan kiri paduraksa terdapat tembok pembatas, artinya
bahwa pada mulanya Masjid kudus dikelilingi oleh setidaknya tiga dinding
pembatas yang membagi bagian masjid menjadi tiga halaman. Hal ini
mengingatkan pada Masjid Aguan Xian di Tiongkok yang juga dikelilingi oleh
dinding-dinding pembagi halaman. Tata ruang arsitektur Tiongkok agaknya sama
dengan konsep ruang Jawa-Hindu, bahwa setiap halaman memiliki tingkat
kesucian yang berbeda. Dengan adanya paduraksa yang berbaris membentuk satu
sumbu dengan arah kiblat berujung mihrab terjadi peningkatan nilai ruang,
semakin ke dalam semakin suci (Sumalyo, 2006).
Menara yang sangat terkenal dari Masjid Kudus berada di sisi selatan.
Telah banyak diketahui keunikannya, strukturnya yang masih kental arsitektur
Jawa-Hindu. Konstruksinya yang menyerupai bale kul-kul dalam arsitektur Bali
tidak ditemukan dalam menara masjid manapun (Sumalyo, 2006). Terbuat dari
batu bata merah dengan tinggi 10 m serta gardu beratap tajug dua atap, menara ini
sangat ikonik. Denahnya berbentuk segi empat, untuk mencapai gardu terdapat 32
anak tangga. Gardu dulunya berfungsi sebagai tempat muadzin
mengumandangkan adzan, jika gardu bale kul-kul di Bali ditempatkan kentongan
di Kudus ditempatkan sebuah bedug. Bagian menara terbagi menjadi tiga—
personifikasi dari kepala, badan, dan kaki. Pada bagian puncak atap gardu juga
dihiasi oleh mustaka. Apabila Sunan Kudus memang terilhami Bale Kulkul ketika
merancang bangunan Menara, maka yang dirancang adalah bangunan penyampai
informasi yang merakyat sebagaimana peran Bale (Banjar) pada pusat desa
Majapahit (Roesmanto, 2013). Pada dinding menara dihiasi oleh piring-piring dari
negeri Tiongkok, sama halnya dengan porselen-porselen yang menghiasi bagian
dinding masjid yang menunjukkan pengaruh ornamen Tiongkok yang mencolok
(Handinoto, 2012).
Implementasi budaya Jawa-Hindu dalam Masjid Kudus juga dapat dilihat
dari pengaturan tata keruangan Kota Kudus yang mengikuti pengaturan
organisasi ruang di Kerajaan Majapahit. Perpaduan budaya Hindu paling
banyak dapat dilihat dalam Menara Kudus. Pembagian bagian menara menjad tiga
bagian, atap tajug bertingkat dua, penggunaan ornamen-ornamen Hindu dan
candi siku yang berada di pintu masuk menjadi bukti penerapan budaya
Hindu dalam Menara Kudus (Pradisa, 2017). Pintu masuk yang ada di Masjid
Menara Kudus yang disebut Gapura Bentar, juga masih menerapkan budaya
Hindu dilihat dari penamaannya maupun konstruksinya. Walaupun Masjid Kudus
menerapkan budaya Hindu dalam bangunannya, pembangunan masjid ini tetap
menggunakan prinsip agama Islam sebagai pedoman utamanya. Perpaduan
budaya Islam dan Hindu dalam Masjid Kudus menunjukkan torelansi antar agama
Islam dan Hindu pada zamannya namun tetap berpedoman pada agama Islam.

Masjid Agung Banten


Banten merupakan sebuah kota di Kabupaten Serang Jawa Barat terletak
di pantai utara di Teluk Banten. Dari sedikit catatan tentang Banten hanya dapat
diketahui bahwa dahulu tidak di pantai namun masuk ke daratan sekitar sepuluh
kilo-meter di tepi sungai Ci Banten pada kawasan pingiran Kota Serang. Dahulu
disebut Banten Girang artinya “ Banten di atas sungai” namun diambil dari letak
geografisnya (Sumalyo,2006). Selama abad XVI dan XVII Banten menjadi kota
terbesar di Asia Tenggara hingga abad XVII. Dinasti muslim bermukim di
sepanjang tiga kilo meter di pantai, yang terbagi menjadi dua di muara sungai Ci
Banten yaitu pelabuhan internasional di sebelah barat dan pelabuhan regional di
timur. Di antara kedua pelabuhan inilah kota berada di kelilingi oleh benteng.
Istana di Tengah dikelilingi lapangan sebelah utara terdapat alun-alun lengkap
dengan beringin kembar hal tersebut tidak jauh berbeda dengan di Majapahit.
Masjid berada di sebelah barat (Sumalyo,2006).
Masjid Agung Banten didirikan oleh Sultan Maulana Yusuf yang
merupakan putra Sultan Maulana Hassanudin yang merupakan sultan pertama dari
kesultanan Banten putra dari Sunan Gunung Jati, sultan Cirebon pada bulan
Dzulhijah 966 H, bertepatan 166 M (Zein, 1999). Masjid Agung Banten berada di
utara timur istana berupa kompleks terdiri dari masjidnya sendiri, minaret, makam
kerajaan dan unit diberi nama Taimah. Taimah adalah sebuah unit berlantai dua
berdiri di sisi selatan unit ruang sembahyang utama, berarsitektur Eropa
(Sumalyo,2006). Masjid Agung Banten ini merupakan masjid tertua yang ada di
nusantara. Salah satu keistimewaan Masjid Agung Banten yaitu masjid ini
dibangun oleh tiga orang arsitektur yang berbeda sehingga mempunyai ciri khas
tiap-tiap arsitektur yang membangunnya (Tihami,2007). Nama-nama dari arsitek
tersebut yaitu yang pertama ada Raden Sepat yang merupakan arsitek Majapahit,
yang kedua arsitek dari Cina bernama Cek Ban Su, yang ketiga ada Hendrik
Lucaz Cardeel arsitek Belanda yang kabur dari Batavia menuju Banten di masa
pemerintahan Sultan Haji tahun 1620 dalam status mualaf. Sehingga dalam dalam
bangunan masjid tersebut terdapat unsur unsur dari negara asal arsitektur tersebut,
selain itu juga masih terdapat unsur-unsur budaya Jawa Kuno pada masa Hindu-
Budha dalam arsitekturnya (lihat gambar 1)

Gambar 1
Kompleks
Masjid
Agung
Banten
(Sumber:h
ttps://id.w
ikipedia.o
rg/wiki/Masjid_Agung Banten diakses pada 3 April 2019)
Kompleks bangunan Masjid Agung Banten memiliki luas kurang lebih 1,3
hektar yang dikelilingi oleh pagar tembok setinggi satu meter. Pada tembok sisi
timur dan barat masjid masing-masing terdapat dua buah gapura di bagian utara
dan selatan yang letaknya sejajar dan berdiri di atas pondasi setinggi kurang lebih
satu meter di atas halaman. Ruang utama masjid ini memiliki bentuk persegi
panjang dengan luas 25×19 meter. Jika dibandingkan dengan masjid di Padang
Sumatra barat konstruksi atap Masjid Agung Banten hampir sama, hal tersebut
menunjukkan adanya hubungan tradisi di dalam arsitektur di Sumatra dan Jawa.
konstruksi bagian dalam terdiri dari beberapa elemen seperti tiang-tiang yang
berfungsi sebagai penyangga atap susun yang menutupi ruang dan soko-guru yang
terdiri empat buah yang menyangga bagian atap piramidal di atas tengah dan
kolom-kolom lainnya mengitari seperti konstruksi rumah joglo Jawa. seluruh
tiang disangga oleh umpak dari batu andesit yang ditatah membentuk motif buah
labu dengan beberapa variasi bentuk. Di depan atau di timur dari bagian ruang
sembahyang yang utama dari unit lain, secara kontruksi dan bentuk terpisah
sepanjang bagian depan, namun dihubungkan dengan talang sehingga bagian
dalam menyatu. Unit tersebut menempel melintang seperti serambi atau pendapa
pada rumah-rumah tradisional di Jawa (Sumalyo,2006). Selain untuk menerima
tamu tempat tersebut digunakan untuk belajar mengaji dan sholat Jumat untuk
yang tidak mendapatkan tempat didalam masjid.
Masjid Agung Banten dalam catatan perjalanan orang-orang Eropa di
masa lalu juga menerangkan bentuk atap masjid Agung Banten berbentuk limas
bertingkat (Tihami,2007). Atap masjid Agung Banten memiliki lima tingkat yang
makin ke atas makin mengecil. Menurut Budi dalam Tihami(2006) yang menarik
dari atap masjid agung banten adalah pada dua tumpukan atap konsentris paling
atas yang samar-samar mengingatkan idiom pagoda di Kamboja dan kuil di Cina
(lihat gambar 2).

Gambar 2 Atap Masjid Agung Banten


(Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Masjid_Agung_Banten, diakses padda 3 April
2019)
Hal tersebut dikarenakan salah satu arsitek yang merancang atap tersebut dari
Cina dan memasukkan unsur budaya Cina dalam arsitekturnya. Kedua atap
tersebut berdiri tepat di atas puncak tumpukan atap ketiga dengan sistem struktur
penyalur gaya yang bertemu pada satu titik. Dua tumpukan atap paling atas
tersebut berfungsi sebagai mahkota selain sebagai atap penutup ruang bagian
dalam bangunan.
Minerat Masjid Agung Banten berbentuk seperti mercu-suar, selain untuk
adzan minaret juga difungsikan sebagai menara pengawas terutama kearah laut
seperti lingkungan yang dikelilingi oleh benteng terutama yang berada di pantai.
Hal tersebut juga nampak pada beberapa masjid di kota-kota pantai Afrika.
Mengenai bentuknya seperti mercu-suar merupakan usulan dari Hendrik Lucasz
seorang arsitek Belanda (Sumalyo, 2006). Di dalam minerat tersebut terdapat
tangga spiral yang digunakan untuk naik ke puncak, kemiringannya cukup tajam.
Denah minaret segi delapan semakin ke atas sedikit mengecil sampai pada balkon
keliling dan melebar (lihat gambar 3).

Gambar 3 Minaret Masjid Agung Banten


(sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Masjid_Agung_Banten, diakses pada 3
April 2019)
Di balkon atas ada semacam kubah di atasnya terdapat konstruksi seperti bola
tetapi tidak tidak bulat penuh dan puncaknya dihiasi mahkota. Pada dinding
minaret terdapat dekorasi geometris seperti pada aliran art-deco yang berkembang
awal abad XX (Sumalyo,2006). Seperti Masjid Jawa lainnya di Masjid Agung
Banten juga terdapat kolam sebagai tempat mengambil wudhu yang disebut
“pakulahan”. Di halaman depan masjid Agung Banten terdapat sebuah meriam
yang diberi nama “Ki Amuk” (lihat gambar 4)
Gambar 4 Meriam Ki Amuk yang berada di halaman Masjid Agung Banten
(Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Masjid_Agung_Banten, diakses pada 3 April
2019)
pada bagian pangkal meriam tersebut menggambarkan telapak tangan dengan
formasi ibu jari yang diapit jari telunjuk dan jari tengah menggenggam. Selain itu
menara masjid Agung Banten juga berbeda dengan masjid lainnya, menaranya
bergaya Eropa dan dibagian atasnya ada tergantung genta dan lonceng (Zein,
1999).

Masjid Agung Bandung


Pada awal abad ke-17 pusat Kota Bandung merupakan pusat pemerintahan
tradisional dari suatu kabupaten pada zaman Islam yang berada di bawah
kekuasaan Mataram. Pada tahun 1624, Sultan Agung merekrut pasukan dari
Sumedang untuk melawan Belanda. Pada tahun 1641, Mataram mendirikan
daerah administratif baru di daerah Sumedang, Bandung, Galuh, dan
Parakanmuncang (Cicalengka). Setelah pemerintahan Sultan Agung, kekuasaan
dipimpin oleh Amangkurat I dimana pada masa pemerintahannya banyak terjadi
peperangan dan perlawanan sehingga cita-cita untuk mendirikan kerajaan luas
tidak bisa terlaksana. Pusat Kota Bandung hingga zaman Belanda masih terlihat
tata ruang aslinya yang kemungkinan berasal dari tata ruang yang dibangun pada
saat pemerintahan Sultan Agung, misalnya seperti alun-alun dan masjid yang
identik dengan bangunan di Majapahit, Tuban, dan Banten. Berbagai bangunan
yang berada di pusat kota yang memiliki khas Jawa diubah menjadi bangunan-
bangunan modern, salah satunya yaitu masjid.
Berdasarkan lukisan yang dibuat oleh pelukis Eropa W. Spreat (1840-
1880), arsitektur masjid yang mungkin dibangun pada abad ke-17, sangat indah,
megah, dan khas arsitektur Jawa maupun Sumatera (Sumalyo, 2006). Meskipun
memiliki ukuran atap yang berbeda, namun kemiringan dan bentuk piramid pada
atapnya tidak jauh berbeda dengan masjid-masjid kuno yang terdapat di Jawa
maupun Sumatera. Masjid ini juga memiliki tingkat yang mempunyai gardu atau
teras dengan tiga pelengkung majemuk di setiap sisinya (model Andalusia). Di
atasnya juga terdapat bangunan/ infrastruktur yg hampir sama tetapi lebih kecil
dan atapnya berbentuk piramid yang runcing. Untuk menara yang digunakan
untuk adzan berada pada lantai dua maupun di puncaknya. Namun, dalam lukisan
yang dilukis oleh W. Spreat tidak terlihat adanya menara tersebut. Adanya
pengaruh Eropa, khususnya Yunani berada pada lantai dasar masjid yakni adanya
teras (portico) yang mengelilingi ruang sembahyang seperti yang terdapat pada
kuil-kuil Roma dan Yunan

Gambar 3 Lukisan Masjid Abad ke-17 karya W. Spreat (1840-1880)


(Sumber: Sumalyo, 2006)

Pada zaman Belanda, masjid mengalami banyak perubahan dengan


mengurangi gaya Jawa, lebih menonjolkan gaya Eropa, dan menambah gaya
Yunani. Di bagian tengah depan masjid ini terdapat sebuah pendopo yang berbeda
dengan pendopo-pendopo yang ada di masjid lain. Pendopo ini berbentuk lebih
kecil seperti beranda yang beratap limas yang tidak runcing dan mempunyai
kolom Dorik yang merupakan gaya arsitektur Yunani. Di bagian kanan dan kiri
masjid juga terdapat beranda kembar yang mempunyai atap tumpuk dan runcing
di bagian atasnya. Atap di bagian tempat sembahyang bertingkat tiga, runcing tiga
bagian yang berbentuk piramida.
KESIMPULAN
Persilangan kebudayaan pada abad XV-XVI melalui peninggalan
monumental yang berupa masjid-masjid kuno, khususnya di Jawa masih menjadi
banyak perbedaan pendapat, terutama dalam bidang arsitektur. Gaya dan bentuk
arsitektur masjid terus berkembang di seluruh penjuru dunia yang memiliki ciri
masing-masing. Jika dilihat secara detail tentu akan ditemukan perbedaan yang
tidak terbatas antara yang satu dengan yang lain. Bentuk masjid Jawa pada abad
ke XV-XVI, meskipun didirikan pada abad transisi tetap merupakan ciri khas dan
bagian dari perkembangan arsitektur Jawa. Ciri khas dari arsitektur Jawa terletak
pada kemampuannya yang luar biasa dalam membiarkan diri dalam pengaruh luar,
namun tetap bisa mempertahankan keasliannya.

UCAPAN TERIMA KASIH


Atas terselesaikannya penelitian dan artikel ini, disampaikan ucapan
terima kasih dan apresiasi yang tinggi kepada:
1. Bapak Drs. Slamet Sujud Purnawan Jati, M. Hum., selaku dosen
pembimbing mata kuliah yang telah membimbing penulis
menyelesaikan artikel ini.
2. Orang tua penulis yang senantiasa mengucap doa dalam
sembahyangnya untuk kelancaran dan keberkahan bagi penulis.
3. Teman-teman seperjuangan di Pendidikan Sejarah Offering
D/2017, terima kasih atas semangat dan dukungannya.
4. Serta, berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

DAFTAR PUSTAKA

Bachtiar, H. W. (Ed.). 1988. Masyarakat dan Kebudayaan: Kumpulan Karangan


untuk Prof. Selo Soemardjan. Jakarta: Djambatan.
Bakri, S. 2014. Kebudayaan Islam Bercorak Jawa (Adaptasi Islam dalam
Kebudayaan Jawa). Dalam DINIKA, 12(2).
Handinoto. 2012. Arsitektur dan Kota-Kota di Jawa Pada Masa Kolonial.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Hartono, S dan Handinoto. 2007. Pengaruh Pertukaran Cina Pada Bangunan
Masjid Kuno di Jawa Abad 15-16. Dimensi Teknik Arsitektur, 35(1),
30-31 dari http//www.petra.ac.id/puslit/journal/dir.php?
departmentld=ars
Junaid, H. (2013). Kajian Kritis Akulturasi Islam dengan Budaya Lokal. Jurnal
Diskursus Islam, 1(1), 56–73.
Pradisa, A. P. 2017. Perpaduan Budaya Islam dan Hindu Dalam Masjid Menara
Kudus. Makalah. Dalam seminar heritage IPLBI. Istitut Teknologi
Bandung.
Roesmanto, T. 2013. Rupa Bentuk Menara Masjid Kudus, Bale Kulkul dan Candi.
Jurnal arsitektur Universitas Bandar Lampung, 4(1).
Soekmono, R. 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia Jilid 3.
Yogyakarta: Kanisius.
Sumalyo, Y. 2006. Arsitektur Masjid dan Monumen Sejarah Muslim. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Tihami, H, 2007. Masjid Agung Banten. Yogyakarta: Ombak.
van Baal, J. 1987. Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya Hingga
Dekade 1970). Jakarta: Gramedia.
Zein, A. 1999. Masjid-Masjid Bersejarah di Indonesia. Jakarta: Gema Insani
Press.
Zed, M. 2008. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai