Anda di halaman 1dari 3

Arsitektur Kolonial: Masjid Cipaganti, Bandung

Gambar Masjid Cipaganti yang dulu (kiri) dan yang sekarang (kanan)

Masjid Cipaganti adalah masjid tertua di Bandung, Jawa Barat. Bangunan


bergaya perpaduan antara art deco dan gaya tradisional adat jawa ini dibuat pada
periode kolonial pembaharuan tahun 1934 oleh seorang arsitek asal Belanda bernama
Charles Prosper Wolff Schoemaker. Konon katanya, alasan sang arsitek membangun
masjid ini tak lama setelah beliau berpindah keyakinan dari Katolik menuju Islam dan
di Bandung saat itu belum ada masjid.
Meskipun dirancang oleh arsitek Belanda,
Masjid Cipaganti ini tetap memiliki ciri khas
arsitektur tradisional Indonesia, terutama
arsitektur Jawa. Elemen yang paling
menonjolkan kekhasan arsitektur tradisional
adalah bentuk atap dari masjid ini yang
berbentuk atap limasan tumpang dua. Berbeda dengan masjid pada umumnya yang
dipengaruhi budaya Timur Tengah, masjid ini tidak memiliki minaret atau menara
masjid. Sebagai pengganti fungsi minaret, atap yang paling atas berfungsi menaungi
pengeras suara.
Ornamen dan kaligrafi ditemui pula pada jendela di masjid
ini. Jendela dengan kusen kayu ini memiliki ukiran sulur
tanaman, sesuai dengan prinsip Islam yang tidak menganjurkan
adanya replika makhluk hidup. Bentuk kusen seperti ini
ditemui pula pada interior masjid. Kusen pada interior tidak
berfungsi sebagai jendela, namun hanya sebagai dekoratif
pembingkai kaligrafi saja.
Elemen arsitektur yang mencolok pada interior adalah susunan kolom kayu yang
menyerupai soko guru khas arsitektur tradisional Jawa. Meskipun susunan 4 kolom
menyerupai soko guru, keempat soko guru ini tidak memiliki prinsip kerja yang sama,
karena tidak ada balok yang mengikat seperti soko guru pada umumnya. Berbeda
dengan prinsip soko guru, balok kayu membentuk kuda-kuda, Adaptasi kuda-kuda ini
merupakan salah satu ciri khas arsitektur kolonial. Kolom kayu diberi ornamen dan
kaligrafi serta aksen warna hijau.

Gambar susunan kolom pada ruang Sholat terlihat balok kayu yang berbentuk
kuda-kuda (kiri), dan ornamen kaligrafi pada kolom (kanan)

Selain itu, unsur arsitektur yang


mencirikan arsitektur Islam yaitu
adanya arkus. Adanya arkus
menunjukan adanya pengaruh budaya
Eropa dan Timur Tengah. Arkus paling
besar dan megah menjadi entrance dari
masjid ini. Entrance arkus ini
merupakan rancangan dari Schoemaker
yang masih terjaga hingga saat ini. Diberi warna hijau dan motif ornamen seragam
dengan pembatas masjid setinggi 160 cm. Arkus utama ini diberi hiasan kaligrafi
dengan warna emas. Kaligrafi disini bertuliskan La Ghalliba Illalah yang memiliki
arti ‘Hanya Allah satu-satunya Penakluk’.

Selain arkus entrance, arkus yang lebih kecil ditemui pula pada selasar sayap
kanan dan kiri. Arkus ini memiliki bentuk yang berbeda dengan arkus sebelumnya
karena merupakan tambahan hasil renovasi. Dilihat dari dalam selasar, pinggiran
arkus ini berwarna merah muda, sedangkan jika dilihat dari luar terlihat pola bata
merah yang diekspos. Meskipun arkus ini merupakan tambahan dari hasil renovasi,
arkus tetap dapat menunjukkan kesan tradisional dengan adanya ekspos bata merah.

Gambar Arkus pada selasar masjid dilihat dari selasar (kiri), dan arkus pada selasar
masjid dilihat dari luar masjid (kanan)

Masjid Raya Cipaganti merupakan masjid unik yang memiliki nilai budaya eropa
dan Jawa dengan sejarah yang panjang. Budaya eropa khas Schoemaker dapat
berintegrasi dengan ekspresi budaya tradisional secara halus. Walaupun telah
diperbaharui, ekstensi baru dari Masjid Raya Cipaganti tidak merusak bangunan asli
dan dapat bersinergi dengan baik.

Nama: Cantika Vira Melati


NIM: 1854050001
Arsitektur Kolonial: Masjid Cipaganti, Bandung, Jawa Barat

Anda mungkin juga menyukai