Anda di halaman 1dari 31

Urban Genesis Kota Jakarta Pasca Penyelenggaraan Asian

Games IV Tahun 1962

Oleh:

Victorina Arif

1806283705

Disusun Dalam Rangka Memenuhi Tugas Akhir Mata Kuliah Sejarah dan
Pengembangan Perkotaan

Dosen Pengampu:
Prof. Ir. Gunawan Tjahjono, M. Arch., Ph.D

PROGRAM PASCASARJANA
KAJIAN PENGEMBANGAN PERKOTAAN SEKOLAH KAJIAN STRATEJIK DAN
GLOBAL UNIVERSITAS INDONESIA
2019
Urban Genesis Kota Jakarta Pasca Penyelenggaraan
Asian Games IV Tahun 1962

Victorina Arif (1806283705)

Kajian Pengembangan Perkotaan, Sekolah Kajian Stratejik dan Global, Universitas Indonesia, Jl. Salemba Raya
No. 4, 10430, Indonesia

E-mail: victorina.arif@gmail.com

ABSTRAK

Masalah: Dalam rangka menyambut Asian Games IV tahun 1962, Jakarta melakukan berbagai pembangunan
sarana dan infrastruktur. Pembangunan di Jakarta pada tahap persiapan Asian Games berdampak pada
perubahan tata ruang, pertumbuhan penduduk dan kondisi sosial. Dalam teori urban genesis, perkembangan
kota merupakan proses sistematik dari suatu level kualitatif intergrasi sosial budaya dalam tingkat kompleksitas
yang lebih tinggi. Tujuan: Mengetahui urban genesis yang terjadi di Kota Jakarta akibat penyelenggaraan Asian
Games IV Tahun 1962. Metode: Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan analisis kualitatif yang bertujuan
untuk memahami perubahan situasi bentuk ruang kota, pertumbuhan penduduk dan kondisi sosial kota. Metode
yang digunakan dalam penilitan ini adalah metode kualitatif deskriptif. Pembahasan: Untuk melihat adanya
urban genesis pada sistem masyarakat ini, saya menggunakan tiga aspek yaitu: 1) aspek pola ruang kota; 2)
aspek pertumbuhan penduduk; 3) aspek sosial masyarakat. Melalui periodisasi, ketiga aspek tersebut dibagi ke
dalam tiga periode yaitu periode pasca kemerdekaan (1945-1960), periode persiapan dan penyelenggaraan Asian
Games IV (1960-1962) dan periode pasca Asian Games (1965-1970). Kesimpulan: Pertama, terlaksananya
Asian Games IV mempengaruhi urban genesis kota Jakarta. Kedua, urban genesis yang terjadi pada kota Jakarta
merupakan urban generation

Kata kunci: urban genesis, Asian Games, Jakarta

i
UCAPAN TERIMAKASIH

Segala puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas rahmatNya kepada
saya sehingga penulis bisa menyelesaikan penulisan makalah ini. Saya mengucapkan
terimakasih kepada pihak-pihak yang telah memberikan bantuan, motivasi dan arahan terhadap
penyusunan makalah ini.

Makalah ini disusun sebagai tugas akhir mata kuliah Sejarah dan Pengembangan Perkotaan
Progam Studi Kajian Pengembangan Perkotaan, Universitas Indonesia. Saya ingin
berterimakasih kepada :

1. Prof. Ir. Gunawan Tjahjono, M. Arch., Ph.D selaku dosen pengampu pada Mata Sejarah
dan Pengembangan Perkotaan
2. Ibu Lita Sari Barus selaku dosen pengampu pada Mata Kuliah Sejarah dan
Pengembangan Perkotaan
3. Seluruh keluarga saya yang mendukung terselesaikannya makalah ini
4. Teman-teman Kajian Pengembangan Perkotaan, atas sarannya dan masukan dalam
proses pembuatan makalah ini
5. Seluruh dosen dan staff karyawan Sekolah Kajian Stratejik dan Global.

ii
DAFTAR ISI

Halaman Judul

ABSTRAK............................................................................................................................. i

UCAPAN TERIMAKASIH .................................................................................................. ii

DAFTAR ISI ....................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ........................................................................................................ 1

1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................... 1

1.3 Tujuan Penelitian .................................................................................................... 2

1.4 Keaslian Penelitian.................................................................................................. 2

1.5 Lingkup Penelitian .................................................................................................. 2

BAB II METODE PENELITIAN .......................................................................................... 3

2.1 Metode Penelitian ........................................................................................................ 3

2.2 Teknik Pengumpulan Data........................................................................................... 3

2.3 Teknik Analisa ............................................................................................................ 4

BAB III KAJIAN PUSTAKA ............................................................................................... 5

3.1 Teori Urban Genesis ................................................................................................... 5

3.1 Kerangka Teori Penelitian ........................................................................................... 6

3.1 Hipotesis Penelitian ..................................................................................................... 7

BAB IV PEMBAHASAN ..................................................................................................... 8

4.1 Analisis Perubahan Pola Ruang, Demografi dan Sosial ................................................ 8

iii
4.1.1 Periode Pasca Kemerdekaan (1945-1960) ............................................................. 8

4.1.2 Masa Persiapan dan Pelaksanaan Asian Games IV (1960-1962).......................... 13

4.1.3 Periode Pasca Asian Games IV (1965-1980) ....................................................... 17

4.2 Analisis Urban Genesis Kota Jakarta ......................................................................... 22

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ................................................................ 25

5.1 Kesimpulan ............................................................................................................... 25

5.2 Rekomendasi ............................................................................................................. 25

Daftar Pustaka ..................................................................................................................... 26

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada tahun 1945 pasca kemerdekaan, keadaan Jakarta masih seperti sebuah kampung besar
dengan mayoritas perumahan rakyat dan perkebunan. Pada tahun 1958, Indonesia menang dan
mengalahkan Pakistan dalam pemungutan suara tuan rumah Asian Games IV di Jepang.
Sebagai tuan rumah perhelatan ajang internasional, Indonesia dituntut untuk mengadakan
persiapan dan perencanaan penyelenggaraan tersebut.

Melalui dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 113 tahun 1959 tentang “Pembentukan
Badan-badan untuk Organisasi Penyelenggaraan Asia Games IV di Jakarta” dengan nama
Dewan Asian Games Indonesia (DAGI), berbagai persiapan untuk menyambut ajang
internasional tersebut dilaksanakan. Dalam jangka waktu yang singkat, Jakarta sibuk
melakukan berbagai pembangunan sarana dan infrastruktur, terutama dalam mendukung
pembangunan pekerjaan persiapan penyelenggaraan Asian Games IV tahun 1962.

Pembangunan yang dilakukan secara massif ini berpengaruh pada perkembangan kota Jakarta
baik dalam struktur kota, pertumbuhan penduduk maupun kondisi sosial. Dalam mata kuliah
Sejarah dan Perkembangan Perkotaan, salah satu teori yang diberikan adalah teori urban
genesis melalui buku Nagara and Commandery – Origins of the Southeast Asian Urban
Traditions. Urban genesis merupakan sebuah proses sistematik dari suatu level kualitatif
intergrasi sosial budaya ke wilayah lainnya dalam tingkat kompleksitas yang lebih tinggi. 1
Melalui penelitian ini, saya ingin mengetahui dampak penyelenggaraan Asian Games IV tahun
1962 terhadap urban genesis kota Jakarta.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka pertanyaan penelitian yang diajukan adalah:

 Apakah penyelenggaraan Asian Games IV tahun 1962 berpengaruh pada urban


genesis Kota Jakarta?

1
Wheatley, Paul. 1983. Nagara and Commandery – Origins of the Southeast Asian Urban Traditions. Illinois :
The University of Chicago. Hal. 21

1
1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

 Mengetahui urban genesis yang terjadi di Kota Jakarta akibat penyelenggaraan Asian
Games IV Tahun 1962.

1.4 Keaslian Penelitian

Penelitian sejenis yang mengkaji tentang Asian Games IV yang pernah dilakukan:

1. Pesta Olahraga Asia (Asian Games IV) Tahun 1962 di Jakarta: Motivasi dan
Capaiannya, disusun oleh Amin Rahayu, pascasarjana Universitas Indonesia (2012).
Penelitian ini mengkaji faktor yang menjadi motivasi dan tujuan Indonesia menjadi tuan
rumah penyelenggaraan Asian Games IV dan manfaat yang dicapai bagi Indonesia
dengan berperan sebagai tuan rumah penyelenggaraan Asian Games IV.

1.5 Lingkup Penelitian

Lingkup penelitian dibedakan menjadi dua bagian, yaitu:

A. Materi Pembahasan
Lingkup pembahasan pada penelitian yaitu identifikasi proses urban di Kota Jakarta
berdasarkan tahapan periode perkembangan yaitu periode pasca kemerdekaan tahun
1945-1960, Asian Games IV tahun 1960-1962, periode pasca Asian Games IV tahun
1965-1970.
B. Batasan
1. Batasan Wilayah penelitian yang dijadikan wilayah penelitian adalah DKI Jakarta
2. Batasan penelitian terhadap kajian urban genesis Kota Jakarta difokuskan pada
pembahasan pola tata ruang, populasi dan sosial-budaya yang ditinjau berdasarkan
perkembangannya.

2
BAB II
METODE PENELITIAN

2.1 Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan analisis kualitatif yang bertujuan untuk memahami
perubahan situasi bentuk ruang kota, pertumbuhan penduduk dan kondisi sosial kota. Metode
yang digunakan dalam penilitan ini adalah metode kualitatif deskriptif. Metode ini digunakan
untuk memberikan gambaran dan informasi secara lengkap dalam periode yang ditentukan
terkait lingkup studi.

2.2 Teknik Pengumpulan Data

1. Jenis dan Sumber Data


Prosedur pengambilan data penelitian menggunakan dua jenis data yang digolongkan
sebagai berikut:
a. Data Primer
Data primer yang digunakan dalam penelitian ini berupa dokumen-dokumen
seperti: 1) The Organizing Committee For The Fourth Asian Games. 1962. Asian
Games 4th Report. Vol. I; 2) Buku Sejarah Kota Jakarta 1950-1980, Proyek
Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional tahun 1986/1987, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan dan disusun oleh Edi Sedyawati dkk.
b. Data Sekunder
Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari kajian literatur
yang bersumber dari buku, jurnal, tesis, surat kabar dan surat kabar daring. Sumber
sekunder ini mendukung penulisan makalah dan memperkaya informasi yang ada.

2. Cara Pengumpulan Data


Pengumpulan data penelitian dilakukan dengan cara dokumentasi. Dokumentasi adalah
kegiatan penelitian dengan mengamati sumber-sumber dokumen yang berkaitan
dengan topik dan tujuan penelitian, teknik ini disebut juga observasi historis. Teknik
pengumpulan data dengan dokumentasi adalah dengan menghimpun dan menganalisis
dokumen dari berbagai sumber.

3
2.3 Teknik Analisa

Berikut adalah langkah-lankah yang dilakukan untuk menganalisis penelitian ini:

1. Pengumpulan data, melalui pengumpulan data dan dokumen terkait penelitian


2. Reduksi, melalui pemilihan data yang sesuai dengan masalah penelitian
3. Penyajian, setelah data dipilih maka disajikan dalam bentuk tabel maupun uraian
penjelasan
4. Tahap akhir, yaitu menarik kesimpulan dan rekomendasi

4
BAB III
KAJIAN PUSTAKA

3.1 Teori Urban Genesis

Pandangan kota yang tepat menurut Wheatley (1983:2) adalah sebuah entitas sosial yang
unggul, berkembang dalam lingkungan bentuk yang dibangun sebagai lokalitas kritis yang
terletak lembaga yang membangun dan memelihara ketertiban dalam subsistem masyarakat.
Struktur sebuah kota dapat melambangkan pola masyarakat pada umumnya. Dalam sebuah
kota, terjadi proses sosial dan bentuk spasial yang berinteraksi dengan mode perekam budaya
sehingga prestasi/perkembangan manusia dapat dicatat.2

Pembentukan kota menurut Wheatley dipengaruhi oleh konsep-konsep urbanisme, chiefdom


dan asal usul kota. Konsep urbanisasi dipengaruhi oleh dua bagian penting secara operasional
yaitu melalui urbanisasi (urbanization) dan proses urban (urban process).

Urbanisasi (urbanization) adalah laju perubahan proporsi penduduk kota terhadap total
populasi yang dapat merubah ukuran dan besar kota tersebut. Perubahan jumlah penduduk yang
dimaksud, dapat terjadi lewat adanya pertumbuhan penduduk secara alami, maupun lewat
adanya migrasi penduduk dari desa ke kota. Sedangkan Proses urban (urban process) adalah
hubungan antar kelompok masyarakat yang saling terkait secara fungsional & lebih kompleks
perubahannya, serta memiliki kecenderungan meningkatkan jumlah penduduk kota.
Masyarakat kota terdiri dari penduduk yang tinggal di dalam area kota & yang tinggal
diluarnya, namun terlibat dalam kegiatan di kota tersebut. 3

Urban genesis merupakan sebuah proses sistematik dari suatu level kualitatif intergrasi sosial
budaya ke wilayah lainnya dalam tingkat kompleksitas yang lebih tinggi. 4 Terdapat dua macam
asal usul pembentukan kota ditinjau dari sistem integrasinya (Wheatly, 1983), yaitu :

1. Urban imposition : adanya unsur pemaksaan dalam membentuk masyarakat kota dalam
suatu wilayah, biasanya akibat dari mekanisme penjajahan/penguasaan wilayah dalam

2
Wheatley, Paul. 1983. Nagara and Commandery – Origins of the Southeast Asian Urban Traditions. Illinois :
The University of Chicago. Hal. 3
3
https://nauvallibrary.wordpress.com/2012/12/24/nagara-commandery/nagara-andcommandery-wheatley-paul-
9780890651131/ diakses pada 26 Mei 2019 pukul 21.00
4
Wheatley, Paul. Op.cit. Hal. 21

5
mempertahankan kekuasaan kolonialnnya. Umumnya sistem ini mematikan atau menindas
sistem yang sudah ada sebelumnya. Era kolonialisasi ini menandai berakhirnya proses
transformasi dari Nagara ke Commandery.

2. Urban generation : merupakan suatu bentuk evolusi sistemik dan menghasilkan sistem
stratifikasi sosial yang ideal dalam masyarakatnya. Perkembangan masyarakat ini ditandai
dengan fenomena yang diturunkan (turun temurun) dan tidak ada unsur eksternal yang
mempengaruhi. sistem ini dikenal sebagai sistem kebangkitan atau Nagara. Menurut
Wheatley, salah satu perubahan yang ekstrim adalah terjadinya reformasi, yaitu adanya
tekanan dari dalam yang spontan dalam rangka penyesuaian kembali terhadap hubungan-
hubungan dan bentuk-bentuk institusi.

Dalam pendekatan perkembangan perkotaan, Flannery (1983) memperkenalkan dua model


yaitu Human society yang dianggap sebagai sebuah kelas dalam sistem kehidupan, dan
State/negara yang merupakan sistem dengan kompleksitas yang tinggi. State/negara dapat
dipahami dari dua proses yaitu pemisahan/segregasi (penekanan pada socio-environmental
stress) dan sentralisasi/linearisation. Kedua proses ini merupakan kontrol pada hirarki evolusi
peradaban kota. Model Flannery ini berimplikasi pada kemajuan evolusi dalam organisai
hirarkis pengambilan keputusan. Sehingga, untuk menjelaskan perkembangan perkotaan
mencakup tiga hal, yaitu: 1) Karakter demografi (ukuran populasi, kepadatan penduduk, dan
pertumbuhan penduduk); 2) Socio-environment stress (adanya tekanan berimplikasi pada
kemajuan evolusi); 3) Stratifikasi sosial (potensi capital asset menstimulasi kompetisi dan
ekspansi ke wilayah lain.

3.1 Kerangka Teori Penelitian

Untuk melihat adanya urban genesis dalam perkembangan kota dapat ditinjau melalui
identifikasi adanya perubahan melalui tiga aspek, yaitu:

1. Aspek socio-environment stress, yang teridentifikasi melalui adanya perubahan bentuk


ruang kota.
2. Aspek karakter demografi, meliputi jumlah penduduk dan laju pertumbuhan penduduk.
3. Aspek sosial, meliputi nilai-nilai sosial yang terbentuk dalam kehidupan masyarakat.

6
3.1 Hipotesis Penelitian

Dengan identifikasi fenomena-fenomena perubahan kota yang terjadi, maka hipotesa yang
digunakan dalam kajian ini adalah:

 Adanya pengaruh penyelenggaraan Asian Games IV terhadap urban genesis Kota


Jakarta yang diidentifikasi melalui perubahan kota dalam aspek demografi, aspek pola
ruang kota, dan aspek sosial.

7
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Analisis Perubahan Pola Ruang, Demografi dan Sosial

4.1.1 Periode Pasca Kemerdekaan (1945-1960)


A. Pola Ruang Kota

Sejak kemerdekaan Indonesia di tahun 1945, status wilayah Jakarta beberapa kali
mengalami perubahan dan pemindahtanganan kekuasaan wilayah. Pada tahun 1950,
Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Republik Indonesia Serikat No. 125 Tahun
1950 yang isinya adalah memperluas wilayah Ibukota Djakarta. Keputusan ini
dikeluarkan melalui pertimbangan terhadap kemungkinan-kemungkinan perkembangan
lapangan kerja masyarakat kota Jakarta sehingga wilayahnya perlu diperluas.

Berdasarkan Keputusan Republik Indonesia Serikat No. 125 Tahun 1950 Pasal 2
menetapkan daerah-daerah Ibu-kota Djakarta yang terdiri dari: 1) Kotapradja
(Stadsgemeente) Djakarta; 2) Pulau Seribu; 3) dari Keresidenan Daerah Sekitar Jakarta
dahulu: distrik Tangerang (Onderdistrik: Cengkareng), distrik Kebayoran (Onderdistrik:
Kebon Jeruk, Kebayoran Ilir, Kebayoran Udik), distrik Kramat Jati (Onderdistrik:
Mampang Prapatan, Pasar Minggu, Pasar Rebo), dan distrik Bekasi (desa Cilincing
Semper dan desa Pulo Gadung dari Onderdistrik Cilincing)

Rencana perluasan kotapradja Djakarta dibuat pada bulan Februari 1949 dengan rencana
perluasan kota ke arah Kebayoran seluas 730 Ha atau tiga kali luas wilayah Batavia.
Daerah perluasan Kebayoran diproyeksikan sebagai daerah perumahan yang tepinya
bersinggungan dengan jalan kereta api Tanah Abang-Tanggerang. 5 Realisasi dari rencana
terwujud di tahun 1950 dan tanah seluas 730 Ha dibagi untuk keperluan perumahan
rakyat 152 Ha, perumahan sedang 69,8 Ha, villa 55,l Ha, bangunan-bangunan istimewa
75,2 Ha, flat 6,6 Ha, pertokoan 17 Ha, industri 20,9 Ha, taman-taman 118,4 Ha, jalan-

5
Sedyawati, Edi, et al. 1986. Sejarah Kota Jakarta 1950-1980. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudyaan,
Direktorat Sejarah dan Nilai-Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional. Hal. 98

8
jalan 181,5 Ha dan sawah-sawah pinggiran 33 Ha. Semua ini dimaksudkan untuk
memberi tempat kediaman bagi 100,000 penduduk.6

Gambar 1 Peta Topografi AMS Kotapradja Djakarta


Sumber: Perpustakaan University of Texas https://legacy.lib.utexas.edu/maps/ams/indonesia/

Dalam pemenuhan kebutuhan perumahan rakyat, pemerintah merencanakan pendirian


kampung-kampung baru yang berada di Bendungan Ilir, Karet, Pasar Baru, Jembatan
Duren dan Tanjung Grogol. Selain itu, daerah perumahan baru juga dibuka di jalan
Gunung Sahari seluas 12 Ha oleh Jawatan Pelayaran, di Karet Bendungan seluas 4 Ha
untuk Penupetel, di Cipinanga Vrendendal dibangun kompleks asrama seluas 50. Ha,
Perkampungan baru daerah Raja Wall seluas 25 Ha dan asrama mahasiswa di Utan Kayu
seluas 50 Ha.7

6
Surjomihardjo, Abdurrachman. 1977. Pemekaran Kota Jakarta. Jakarta: Jambatan. Hal. 36,37
7
Pemerintah DKI Jakarta. Karya Jaya: Kenang-kenangan Lima Kepala Daerah Jakarta 1945-1966. Jakarta. Hal.
71

9
Pada masa pemerintahan Nasional dari tahun 1945-1947, pemerintah kota mengadakan
pengumuman pendaftaran tanah garapan. Hal ini dilakukan karena keadaan tanah pada
masa pemerintahan Jepang, yaitu dari tahun 1943-1945, penduduk dianjurkan untuk
menggarap semua tanah kosong dengan menanam sayur dan pohon tanpa
memperdulikan kepemilikan lahan. Penduduk juga diperbolehkan mendirikan gubug-
gubug yang lambat laun berubah menjadi rumah-rumah sederhana dan menjadi
perkampungan. Keputusan Badan Pemerintah Harian di tahun 1950 akhirnya mengambil
alih beberapa daerah yang tidak terdaftar secara resmi dan dianggap sebagai tempat
okupasi liar, daerah-daerah itu adalah daerah yang sekarang menjadi jalan MH. Thamrin,
Hotel Indonesia, Hotel Asoka dan President Hotel. 8

B. Pertumbuhan Penduduk

Berdasarkan data yang tercatat dalam Kantor Sensus dan Statistik DKI Jakarta (Tabel 1),
jumlah penduduk DKI Jakarta pada tahun 1941 adalah 544.823 jiwa. Pada tahun 1942,
jumlah penduduk DKI Jakarta naik menjadi 560.009 jiwa dan mengalami peningkatkan
laju pertumbuhan yang pesat di tahun 1943 yaitu 10,4% dengan jumlah penduduk
sebanyak 621.827 jiwa.

Pada tahun 1945, 1946 dan 1947, DKI Jakarta mengalami penurunan laju pertumbuhan
yaitu -3,3%, -3,4% dan -0,3%. Data empiris serupa ini oleh ahli-ahli ekonomi dan
kependudukan sering dihubungkan dengan masa-masa perjuangan fisik.9 Suatu hal yang
masuk akal mengingat masa-masa tersebut merupakan masa perang merebut
kemerdekaan dari tangan Jepang serta mempertahankannya dari pihak Belanda yang
ingin menduduki Indonesia kembali. 10

Setelah mengalami penurunan laju pertumbuhan penduduk selama tiga tahun berturut-
turut, jumlah penduduk Jakarta mengalami penambahan yang drastis pada tahun 1948
dan 1949, yaitu menjadi 823.356 orang pada tahun 1948 atau naik 37,2 persen dan naik
lagi lebih tinggi pada tahun 1949, yaitu 1.340.625 orang atau naik 62,8 persen. Pesatnya

8
Ibid. Hal. 37, 39, 41
9
Sedyawati, Edi, et al. Op.cit. Hal. 27
10
Kartodirdjo, Sartono. 1976. Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Hal. 29-54.

10
Iaju pertumbuhan penduduk ini diduga sebagai akibat dari masuknya arus migrasi
pertama yang terbesar dalam periode setelah kemerdekaan. 11

Tabel 1 Jumlah dan Pertumbuhan Penduduk Jakarta 1941-1960 (Sumber: KSS DKI
Jakarta: Jakarta dalam angka 1984)
Jumlah dan Pertumbuhan Penduduk DKI JAKARTA Tahun 1941-1960
Tahun Jumlah Penduduk Laju Pertumbuhan Penduduk
(%)
1941 544.823 0,0
1942 560.009 3,3
1943 621.827 10,4
1944 644.236 3,7
1945 623.343 -3,3
1946 601.904 -3,4
1947 599.821 -0,3
1948 823.356 37,2
1949 1.340.625 62,8
1950 1.432.085 6,8
1951 1.661.125 16,0
1952 1.781.723 7,3
1953 1.795.831 0,8
1954 1.823.918 1,6
1955 1.884.700 3,3
1956 1.889.618 0,3
1957 1.945.883 2,9
1958 2.025.909 4,1
1959 2.881.883 38,8
1960 2.910.858 3,5

Pada tahun 1950 hingga tahun 1960, laju pertumbuhan penduduk DKI Jakarta terus
mengalami peningkatan meskipun kecepatan laju berbeda-beda tiap tahunnya.
Peningkatan laju pertumbuhan penduduk yang pesat kembali terjadi pada tahun 1959
yaitu 38,8%. Laju pertumbuhan yang tinggi ini sangat mungkin berkaitan dengan
masuknya arus migrasi dari Jawa Barat akibat dari memuncaknya pergolakan politik dan
keamanan di daerah tersebut.12

11
Sedyawati, Edi, et al. Op.cit., Hal. 28
12
Loc.cit

11
C. Kondisi Sosial

Pada awal pasca kemerdekaan tahun 1945-1947, terlihat dalam demografi Kota Jakarta
laju pertumbuhan pernduduk mengalami penurunan. Hal ini disebabkan oleh kondisi
masyarakat Indonesia yang baru pulih dari perang melawan penjajah. Pertumbuhan
penduduk mengalami peningkatan pada tahun 1949, salah satu pengaruh terhadap arus
migrasi pertama pasca kemerdekaan adalah berpindahnya Pemerintah Republik
Indonesia dari Yogyakarta ke Jakarta. Sebagai tempat pemerintahan yang baru, terdapat
konsepsi masyarakat akan Jakarta sebagai simbol representasi kemerdekaan bangsa.

Awal periode tahun 1950 merupakan pundak kejayaan nasionalisme bangsa yang dapat
diidentifikasi melalui proyek budaya dengan pesat utama “menjadi Indonesia berarti
menjadi moderen”13. Pembangunan bangsa pada masa ini didasarkan untuk
medekonstruksi simbol-simbol warisan kolonial dan membangun imaji-imaji baru yang
bersifat “nasionalis”. Salah satu contoh dekonstruksi simbol warisan kolonial adalah
penghancuran Monumen Van Heutz di Taman Wilhemnia. Penghancuran monumen
tersebut ditandai sebagai simbol nasionalisme bangsa. 14

Etnisitas pada masa pasca kemerdekaan di Jakarta sangat beragam akibat


berkembanganya proses migrasi sejalan dengan perkembangan Jakarta sebagai pusat
pemerintahan dan perdagangan. Komposisi penduduk Jakarta pasca kemerdekaan
mengalami perubahan dengan sebelum kemerdekaan, khususnya etnis Eropa. Pengaruh
perpindahan penduduk keturunan Eropa merupakan dampak Konferensi Meja Bundar
pada tahun 1949 yang memberikan waktu dua tahun bagi orang Eropa untuk memutuskan
dirinya sebagai warga negara Indonesia atau tidak 15.

Pada masa pasca kemerdekaan, tidak ada kelompok etnis yang mendominasi kota
Jakarta. Hal ini menyebabkan adanya proses adaptasi dan kompromi penghuni Kota
Jakarta untuk kepentingan hidup bersama. Para pendatang dengan motif untuk mencari
pekerjaan biasanya memilih untuk tinggal di lokasi dengan mayoritas etnis mereka

13
Nordholt, Henk Schulte, et al. 2008. Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor. Hal.
386
14
Fakih, Farabi. 2005. Membayangkan Ibukota Jakarta di bawah Soekarno. Yogyakarta: Penerbit Ombak. Hal.
124
15
Candiwidoro, Rahadian R. 2017. Menuju Masyarakat Urban: Sejarah Pendatang di Kota Jakarta Pasca
Kemerdekaan (1949-1970). Jurnal Pemikiran Sosiologi Vol. 4 No. 1. Hal. 63

12
sendiri secara berkelompok atas dasar kesamaan. Keadaan ini merupakan tanda
munculnya kantung-kantung etnis di Jakarta.16

4.1.2 Masa Persiapan dan Pelaksanaan Asian Games IV (1960-1962)


A. Pola Ruang Kota

Pada tahun 1958, Indonesia menang dan mengalahkan Pakistan dalam pemungutan suara
tuan rumah Asian Games IV di Jepang. Pada saat itu, selain beberapa peninggalan dari
zaman kolonial yang tersebar di beberapa tempat, keadaan Jakarta masih seperti sebuah
kampung besar dengan mayoritas perumahan rakyat dan perkebunan. Kota Jakarta hanya
memiliki satu stadion, yaitu Stadion Ikada (Ikatan Atletik Djakarta) yang terletak di tanah
lapangan Merdeka, dengan daya tampung sekitar 15.000 penonton.17 Sebagai tuan rumah
perhelatan ajang internasional, Indonesia dituntut untuk mengadakan persiapan dan
perencanaan penyelenggaraan tersebut.

Presiden Soekarno pada tanggal 11 Mei 1959 mengeluarkan Keputusan Presiden No. 113
tahun 1959 tentang “Pembentukan Badan-badan untuk Organisasi Penyelenggaraan Asia
Games IV di Jakarta” dengan nama Dewan Asian Games Indonesia (DAGI). Organisasi
ini bertanggung jawab mengangani segala hal yang berhubungan dengan
penyelenggaraan Asian Games IV di Jakarta, termasuk penetapan infrastruktur dan
sistem pendukung lainnya. 18

Dalam jangka waktu yang singkat, Jakarta sibuk melakukan berbagai pembangunan
sarana dan infrastruktur, terutama dalam mendukung pembangunan pekerjaan persiapan
penyelenggaraan Asian Games IV tahun 1962. Sarana dan infrastruktur yang dibangun
di Jakarta pada awal tahun 1960 antara lain: 1) Kompleks Asian Games IV, mulai
dibangun sejak 8 Februari 1960; 2) Monumen Nasional pada tahun 1961; 3) Masjid
Istiqlal pada tahun 1961; 4) Hotel Indonesia pada tahun 1961; 5) Pelebaran Jalan Gatot
Subroto – M.T Haryono pada tahun 1961; 6) Pelebaran Jalan Thamrin – Sudirman pada
tahun 1961; 7) Jembatan Semanggi pada tahun 1961; 8) Wisma Warta (Pers House) pada

16
Ibid. Hal. 66
17
Rahayu, Amin. 2012. Pesta Olahraga Asia (Asian Games IV) Tahun 1962 di Jakarta: Motivasi dan
Capaiannya. Depok: Universitas Indonesia, Tesis S-2 pada Fakultas Ilmu Budaya, Juni 2012. Hal. 81
18
Ibid. Hal. 64

13
tahun 1960; 9) Gedung TVRI pada tahun 1960; 10) Tugu Selamat Datang di Bundaran
HI pada tahun 1960; dan lain-lain. 19

Pembangunan Kompleks Asian Games IV

Dalam rangka pembangunan kawasan pusat olahraga (Multi-Sports Complex),


diperlukan area yang luas untuk mampu menampung berbagai fasilitas olahraga. Pada
saat perencanaan kawasan pusat olahraga tersebut, Jakarta belum memiliki Master Plan
maupun Land Use Planning secara menyeluruh. Satu-satunya rancangan besar kawasan
Jakarta hanya berupa Outline Plan yang disusun oleh Kennerh Watts, seorang tenaga ahli
United Nation Development Programme (UNDP) dengan pihak Dinas Pekerjaan Umum
(DPU) Jakarta Raya.20

Terdapat beberapa gagasan dalam pemilihan lokasi kawasan pusat olahraga. Gagasan
pertama adalah di sekitar kawasan Bendungan Hilir (Benhil) dengan luas areal kurang
lebih 300 Ha. Namun, gagasan ini menuai kritik dari Gubernur DKI Jakarta Raya,
Soemarno Sosroatmodjo karena kawasan tersebut cukup padat sehingga dikhawatirkan
anggaran ganti rugi pembebasan lahan membengkak. Gagasan berikutnya adalah
kawasan Rawamangun yang saat itu masih banyak lahan kosong. Presiden Soekarno
secara pribadi lebih condong untuk memilih lokasi yang letaknya lebih dekat dengan
pusat kota, yaitu Jl. Thamrin dan daerah Menteng. Kemudian, pilihan utama jatuh pada
kawasan kampung Karet dan Pejompongan.21

Untuk memastikan pilihan tersebut, Presiden Soekarno dan arsitek Frederik Silaban
bersama naik pesawat helikopter berkeliling memutar di atas kota Jakarta untuk mencari
lokasi yang paling tepat untuk pembangunan kawasan pusat olahraga. Pilihan tersebut
akhirnya jatuh pada lokasi perkampungan Senayan dan sekitarnya. Selain penentuan
kawasan pusat olahraga, Presiden Soekarno juga menggasan paket segi tiga
pembangunan yaitu: 1) kawasan sekitar Monumen Nasional (Monas) ditentukan sebagai
kompleks bangunan pusat pemerintahan; 2) kawasan Senayan sebagai pusat kegiatan

19
Ibid. Hal. 72
20
Ibid. Hal. 82
21
Pemda DKI Jakarta. 1995. Jakarta: 50 Tahun dalam Pengembangan dan Penataan Kota. Jakarta: Dinas Tata
Kota Pemda DKI. Hal. 34-37

14
olahraga dan kebudayaan; serta 3) lahan di sebelah Barat Senayan diproyeksikan sebagai
political venues.22

Gambar 2 Foto Udara Kawasan Senayan sebagai lokasi pusat olahraga


Sumber: The Organizing Committee IVth Asian Games. 1960. Progress Report 1960.

Pembebasan lahan untuk kawasan pusat olahraga dilakukan pada empat kampung, yaitu
Kampung Senayan, Petunduan, Kebun Kelapa dan Bendungan Hilir. Keempat kampung
tersebut kemudian disebut sebagai Senayan. Penghuni perkampungan yang berada di
area seluas kurang lebih 300 Ha tersebut kemudian berangsur-angsur dipindahkan ke
wilayah Tebet yang pada waktu itu masih berupa lahan kosong. Lahan pengganti tersebut
luasnya mencapai 500 Ha dan dilengkapi dengan berbagai fasilitas umum, jaringan jalan,
serta fasilitas pelayanan umum seperti masjid, gereja, sekolah, perkantoran, dan pasar.
Setiap penduduk yang dipindahkan ke Tebet menerima kavling seluas 100 meter persegi
untuk setiap keluarga dan pemerintah membayar 60% dari ganti rugi atas tanah hak milik
mereka di Senayan.23

Awal pembangunan proyek Kompleks Asian Games meliputi tiga hal. Pertama,
pembangunan Stadion Utama dengan kapasitas 110.000 tempat duduk. Kedua,
pembangunan stasiun televisi (TVRI) sebagai media massa elektronik utama untuk
memancarluaskan seluruh kegiatan olahraga serta pesta budaya secara visual. Ketiga,

22
Rahayu, Amin. Op.cit. Hal. 84-85
23
Ibid. Hal. 86

15
pembangunan perkampungan Internasional khusus untuk para olahragawan yang terletak
tidak jauh dari stadion utama. 24

Kompleks Asian Games terdiri dari: 1) Stadion Utama (110.000 kursi); 2) Stadion
Renang (8.000 kursi); 3) Lapangan Indoor (10.000 kursi); 4) Stadion Hockey (25.000
kursi); 5) Stadion Tennis (6.000 kursi); 6) Lapangan Basket (4.000 kursi);25 dan 7)
Perkampungan atlet internasional dibagi menjadi dua, yaitu kampung atlet pria yang
mampu mengakomodasi 2.000 atlet dan officials dan kampung atlet perempuan yang
mampu mengakomodasi 350 atlet dan officials.

B. Pertumbuhan Penduduk

Berdasarkan data yang tercatat dalam Kantor Sensus dan Statistik DKI Jakarta (Tabel 2),
jumlah penduduk DKI Jakarta pada tahun 1960 adalah 2.910.858 jiwa. Pada tahun 1961,
jumlah penduduk DKI Jakarta mengalami penurunan yaitu menjadi 2.906.533 jiwa
dengan laju pertumbuhan penduduk -2,2%. Tahun 1961 diperkirakan merupakan tahun
terakhir jumlah penduduk Jakarta mengalami penurunan.26 Pada tahun berikutnnya, DKI
Jakarta menjadi tuan rumah Asian Games IV tahun 1962. Jumlah penduduk mengalami
peningkatan yaitu 3.022.107 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk naik sebesar 4,4%.

Tabel 2 Jumlah dan Pertumbuhan Penduduk Jakarta 1960-1962 (Sumber: KSS DKI
Jakarta: Jakarta dalam angka 1984)
Jumlah dan Pertumbuhan Penduduk DKI JAKARTA Tahun 1960-1962
Tahun Jumlah Penduduk Laju Pertumbuhan Penduduk
(%)
1960 2.910.858 0,0
1961 2.906.533 -2.2
1962 3.022.107 4,0

D. Kondisi Sosial
Pemerintahan Indonesia pada masa ini sangat berhasrat untuk menjadi tuan rumah
penyelenggaraan Asian Games, adapun motivasi yang mendorong antara lain: 1) untuk
mengangkat nama, harkat dan martabat bangsa Indonesia di masa internasional; dan 2)

24
Ibid. Hal. 88
25
The Organizing Committee IVth Asian Games. 1962. Third Progress Report on Plans and Preparation for The
IVth Asian Games.
26
Sedyawati, Edi, et al. Op.cit., Hal. 28

16
mendukung meningkatkan kemajuan prestasi olahraga yang dapat mengharumkan nama
Indonesia di mata internasional. Presiden Soekarno melihat adanya potensi olahraga
sebagai alat pembangunan karakter dan pembangun bangsa (Nation and Character
Building Indonesia). Hal ini dilakukan dengan upaya meningkatkan pembangunan sarana
dan prasarana olahraga dan meningkatkan kemajuan prestasi olahraga. 27

Presiden Soekarno dalam pidato-pidatonya menjadikan olahraga sebagai bagian penting


dari platform politiknya dalam rangka meninjau revolusi yang terjadi dalam beberapa
generasi. Tujuannya dalam pembangunan Asian Games, diterima oleh masyarakat
khusunya warga Jakarta. Hal ini terpancar dari warga Senanyan yang menjadi korban
penggusuran untuk pembangunan pusat kegiatan olahraga. Kampung dan tanah kelahiran
merupakan kelengkapan emosional sekaligus berkaitan dengan jati diri seseorang. Akan
tetapi, warga masyarakat setempat menyadari bahwa proyek pembangunan tersebut
merupakan sebuah pekerjaan bersama untuk kepentingan bangsa dan negara. Dengan
penuh kesadaran, warga Senanyan secara serentak memberikan dukungannya sehingga
pemindahan kampung dapat terlaksana tanpa hambatan. 28

4.1.3 Periode Pasca Asian Games IV (1965-1980)


A. Pola Ruang Kota

Perkembangan kota Jakarta pada periode 1965-1980 mengikuti arahan pada Djakarta
Master Plan 1965-1985. Master Plan ini merupakan perkembangan dari Djakarta
Outline Plan yang sebelumnya dibuat pada tahun 1954-1957 oleh Kennet Watts dan
pihak Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Jakarta Raya pada masa Gubernur Soemarno.
Rencana Induk Jakarta kemudian dirampungkan oleh pada tahun 1965 di masa
pemerintahan Gubernur Ali Sadikin.

Berdasarkan Rencana Induk Jakarta, peruntukan wilayah kota ditetapkan untuk


memudahkan arah perkembangan kota, adapun pembagiannya adalah sebagai berikut: 1)
Wilayah Pusat Pemerintahan; 2) Wilayah pengembangan kebudayaan dan kerohanian; 3)
Wilayah pusat kegiatan politik nasional dan internasional; 4) Wilayah perdagangan dan
usaha; 5) Wilayah industri; 6) Wilayah kewismaan; 7) Wilayah rekreasi; dan 8) Wilayah

27
Rahayu, Amin. Op.cit. Hal. 51
28
Ibid. Hal. 85-86

17
perlengkapan-perlengkapan kota serta perhubungan. 29 Melalui sistem peruntukan
wilayah, perancaan perkotaan menjadi lebih teratur, khususnya apabila dibandungkan
dengan keadaan sebelum tahun 1965. Sedangkan bentuk dan arah perkembangan kota
Jakarta ditentukan dengan adanya pemekaran kota yang seimbang pada segala arah. Titik
pancar perkembangan wilayah kota adalah Tugu Nasional dengan radius 15 km (lihat
Gambar 3). Bertambahnya luas wilayah Jakarta memusatkan daerah permukiman di
daerah Jakarta Selatan dan Jakarta Barat, sedangkan daerah industri lebih ke arah Timur
mendekati Bekasi.

Gambar 4 Peta Wilayah Jakarta dan Pusat-pusat Aktivitas (Tugu Monas sebagai Titik Pusat)
Sumber:Sedyawati, Edi, et al. 1986. Sejarah Kota Jakarta 1950-1980. Hal. 119

Keterangan Gambar: 1) Tugu Monumen Nasional; 2) Jalan Utama; 3) Pusat Kegiatan


Kota; 4) Pelabuhan Tanjung Priok; 5) Pelabuhan Pasar Ikan; 6) Rawa-rawa; 7) Lapangan
Kemayoran; 8) Lapangan Udara Cililitan (sekarang Halim Perdanakusuma).

Dalam Rencana Induk Jakarta, kota Jakarta diproyeksikan akan terus mengalami
peningkatan jumlah penduduk. Untuk mengurangi tekanan kepadatan penduduk,
Pemerintah DKI Jakarta kemudian merencanakan kerjasama dengan Pemda Jawa Barat
untuk pengembangan wilayah yang meliputi kawasan Jakarta, Bogor, Tangerang dan

29
Sedyawati, Edi, et al. Op.cit., Hal. 116

18
Bekasi atau dikenal dengan istilah “JABOTABEK”. 30 Pelaksanaan Jabotabek ini
diwujudkan pada tahun 1975 oleh Cipta Karya yang bekerjasama dengan Belanda.

Dalam rangka pemanfaatan dan normalisasi jalan, jalan-jalan ibu kota dibedakan
menurut fungsinya, yaitu jalan ekonomi, jalan lingkungan dan jalan desa. 31 Pada masa
ini telah dilaksanakan rehabilitasi jalan ekonomi sepanjang 317 km, peningkatan mutu
jalan dan nornalisasi jalan ekonomi sepanjang 200 km dan pembuatan jalan ekonomi
yang baru sepanjang 3.500 m. Sedangkan untuk jalan lingkungan telah diperbaiki
sepanjang 635 km.32 Berdasarkan Rencana Induk 1965-1985, dilakukan pembangunan
jalan yang diatur menurut kebutuhan dan persesuaian dengan tahapan perluasan kota.

Dalam menunjang pengadaan sarana rekreasi umum, Pemda DKI telah membangun
beberapa tempat wisata. Tempat rekreasi di alam terbuka yang diadakan oleh pemerintah
adalah Taman Marga Satwa Ragunan, Taman Impian Jaya Ancol, Taman Ria, serta
Pacuan kuda dan anjing. Kemudian, pemerintah juga membangun tempat rekreasi
tertutup yaitu Taman Ismail Marzuki, Museum Pusat (gajah), Museum Satria Mandala
dan bioskop film yang berjumlah 45 buah.

Pada tahun 1969, Pemda DKI yang dipimpin oleh Gubernur Ali Sadikin, menginisiasi
sebuah program yang disebut dengan Program Muhammad Hussein Thamrin (MHT).
Program ini terbentuk sebagai reaksi dari keadaan 60% kelompok penduduk Jakarta yang
tinggal pada kampung-kampung dengan fasilitas dan mutu yang buruk. Proyek MHT
atau dikenal juga sebagai Kampung Improvement Program merupakan program
pemerintah kota Jakarta sebagai upaya meningkatkan kualitas lingkungan permukiman
dan kualitas hidup bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Program ini mulai berjalan
pada tahun 1974 dengan melakukan beberapa studi kasus sebagai model percontohan.
Komponen dalam program perbaikan kampung ini dibagi menjadi tiga, yaitu 1) akses
jalan, jembatan dan trotoar; 2) penyediaan air bersih dan sanitasi, keran umum, drainase,
sungai, dan fasilitas pembuangan limbah padat dan manusia; 3) bangunan sosial, sekolah

30
Ibid. Hal. 118
31
Gita Jaya: Catatan H. Ali Sadikin, Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta 1966-1977. Hal. 238
32
Sedyawati, Edi, et al. Op.cit., Hal. 109

19
dan klinik kesehatan33. Sampai dengan tahun 1975/1976, jumlah kampung yang telah
mengalami perbaikan meliputi 4.694 Ha dan berjumlah 24 buah kampung. 34

B. Pertumbuhan Penduduk

Pada tahun 1963 hingga tahun 1980, jumlah penduduk DKI Jakarta terus mengalami
peningkatan meskipun kecepatan laju pertumbuhan penduduk berbeda-beda tiap
tahunnya. Peningkatan jumlah penduduk dari tahun 1963 hingga 1980 dapat dilihat pada
Tabel 3. Dalam waktu 10 tahun dari tahun 1970 hingga 1980, peningkatan jumlah
penduduk Jakarta mencapai kurang lebih 2 juta jiwa.

Tabel 3 Jumlah dan Pertumbuhan Penduduk Jakarta 1963-1980 (Sumber: KSS DKI
Jakarta: Jakarta dalam angka 1984)

Jumlah dan Pertumbuhan Penduduk DKI JAKARTA Tahun 1963-1980


Tahun Jumlah Penduduk Laju Pertumbuhan Penduduk
(%)
1963 3.154.405 0,0
1964 3.304.870 4,7
1965 3.462.945 4,9
1966 3.639.465 5,1
1967 3.806.866 4,6
1968 3.981.768 4,6
1969 4.273.863 7,3
1970 4.437.135 3,8
1971 4.576.009 3,1
1972 4.755.279 3,9
1973 4.973.210 4,6
1974 5.182.597 4,2
1975 5.403.957 4,3
1976 5.701.469 5,5
1977 5.925.417 3,9
1978 6.081.963 2,6
1979 6.239.293 2,6
1980 6.503.227 4,2

33
Darrudono, Ir. dan Mulyadi, Pik. 1980. Kampung Improvement Programme: Jakarta, Indonesia. The Aga Khan
Award for Architecture documents.
34
Sedyawati, Edi, et al. Op.cit., Hal. 133

20
E. Kondisi Sosial

Pada tahun 1965, Indonesia mengalami hiperinflasi atau kondisi ekonomi yang tidak
terkendali dan menyebabkan harga barang naik sedangkan nilai uang turun secara drastis.
Pada masa ini, perkembangan Jakarta mengalami perlambatan. Pemerintah kota berada
pada kondisi lemah, sedangkan dana untuk pembangunan tidak tersedia. 35 Pada masa
yang krusial ini, Soekarno menunjuk Ali Sadikin untuk menjadi Gubernur Jakarta (1966-
1977).

Ali Sadikin pada masa ini mewarisi dokumen penting Jakarta yaitu Master Plan 1965-
1985 sebagai arahan pembangunan Kota Jakarta. Setelah bergantinya rezim Orde Lama
menjadi Orde Baru, stabilitas kota Jakarta berangsur memulih. Pembangunan difokuskan
pada pengembangan transportasi berbasis jalan. Pembangunan infrastruktur ini
berpengaruh dalam menarik investasi asing masuk ke Jakarta, selain itu pembangunan
ini membawa pendekatan baru yang menjadikan Jakarta sebagai ibukota moden. 36

Sebagai Ibukota, pusat pemerintahan dan perdagangan, Jakarta menunjukan


pembangunan yang cukup mengesankan selama masa periode ini. Pembangunan yang
pesat serta agenda-agenda perluasan wilayah mendorong perluasan kesempatan kerja.
Hal inilah yang kemudian menjadi faktor utama terjadinya migrasi masyarakat luar
menuju Jakarta.

Selama pemerintahan Gubernur Ali Sadikin, beliau menerapkan beberapa kebijakan baru
yang berpengaruh terhadap kondisi sosial di Jakarta. Pertama, adanya peraturan yang
melegalisasi perjudian. Legalisasi perjudian dilakukan sebagai upaya pemanfaatan pajak
judi sebagai salah satu pendapatan daerah. Ketika ini dikeluarkan, banyak membuka
usaha klub-klub, lokasi judi di Ancol, dsb. Kedua, pembangunan komplek lokalisasi
prostitusi. Lokasilasi ini dilakukan sebagai upaya mengatur praktik prostitusi di Jakarta,
pemanfaatan pajak serta pencegahan penyebarluasan penyakit HIV/Aids. Ketiga,
program perbaikan kampung atau proyek MH Thamrin. Program ini dilakukan sebagai
upaya meningkatkan kualitas lingkungan permukiman dan kualitas hidup bagi
masyarakat berpenghasilan rendah. Program ini berhasil memperbaiki kualitas

35
Eryudhawan, Bambang. 2017. Urban Conservation in Jakarta since 1968. Journal of Archeology and Fine Arts
in South Eas Asia (SPAFA) Vol. 1 No. 1. Hal. 3
36
Ibid.

21
lingkungan 24 kampung di Jakarta dan memberikan kehidupan yang lebih layak bagi
masyarakat berpenghasilan rendah pada masa itu.

4.2 Analisis Urban Genesis Kota Jakarta

Merujuk pada konsep Wheatley (1983), urban genesis diidentifikasi melalui adanya
kebangkitan pada sistem masyarakat, yaitu dimana seluruh penataan sesuai dengan kebudayaan
dan ruang kota dibagi sesuai dengan lapisan sosial dan tata nilai yang dipahami bersama oleh
masyarakat kota. Untuk melihat adanya urban genesis pada sistem masyarakat ini, saya
menggunakan tiga aspek yaitu: 1) aspek pola ruang kota; 2) aspek pertumbuhan penduduk; 3)
aspek sosial masyarakat. Melalui periodisasi, ketiga aspek tersebut dibagi ke dalam tiga periode
yaitu periode pasca kemerdekaan (1945-1960), periode persiapan dan penyelenggaraan Asian
Games IV (1960-1962) dan periode pasca Asian Games (1965-1970).

Berdasarkan data-data terkait pola ruang kota, Jakarta mengalami perubahan yang signifikan
terutama dari masa pasca kemerdekaan menuju penyelenggaraan Asian Games IV. Pada pasca
kemerdekaan, daerah kota Jakarta masih merupakan sebuah kampung besar 37 dengan mayoritas
perumahan dan perkebunan. Pada tahun 1950, Jakarta mengalami perluasan wilayah ke arah
Kebayoran seluas 730 Ha untuk keperluan perumahan. Perluasan ini mengidentifikasikan
adanya kebutuhan akan hunian masyarakat Jakarta yang dilihat dari adanya peningkatan
jumlah penduduk pada tahun 1948 dan 1949, yaitu menjadi 823.356 orang pada tahun 1948
atau naik 37,2 persen dan naik lagi lebih tinggi pada tahun 1949, yaitu 1.340.625 orang atau
naik 62,8 persen. Peningkatan jumlah penduduk ini disinyalir sebagai arus migrasi pertama di
Jakarta.

Ditinjau dalam aspek sosial, pada pasca kemerdekaan Indonesia mengalami puncak
nasionalisme yang berakibat dekonstruksi simbol-simbol masa kolonial dalam kota. Keadaan
ini menjadi salah satu pendorong semangat Presiden Soekarno untuk maju dalam proses
pemilihan tuan rumah Asian Games. Momen ini digunakan oleh Presiden Soekarno untuk
membangun karakter dan membangun bangsa melalui olahraga.

Perubahan pola ruang kota terjadi secara signifikan setelah Indonesia terpilih menjadi tuan
rumah penyelenggaraan Asian Games IV tahun 1962. Jakarta pada tahun 1959 diketahui belum
memiliki Rencana Induk dan hanya memiliki Outline Plan yang disusun oleh Kennet Watts

37
Rahayu, Amin. Op.cit. Hal. 81

22
dan Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Jakarta Raya pada tahun 1954. Meski demikian pada tahun
1960, Jakarta terus membangun berbagai sarana dan infrastruktur untuk mengakomodasi
penyelenggaraan Asian Games antara lain: 1) Kompleks Asian Games IV; 2) Monumen
Nasional; 3) Masjid Istiqlal; 4) Hotel Indonesia; 5) Pelebaran Jalan Gatot Subroto – M.T
Haryono; 6) Pelebaran Jalan Thamrin – Sudirman; 7) Jembatan Semanggi; 8) Wisma Warta
(Pers House); 9) Gedung TVRI; dan 10) Tugu Selamat Datang di Bundaran HI. Proyek-proyek
masif tersebut berakibat pada pembentukan struktur ruang kota Jakarta yang lebih terarah
contohnya adalah kawasan sekitar Monumen Nasional (Monas) yang ditentukan sebagai
kompleks bangunan pusat pemerintahan; kawasan Senayan sebagai pusat kegiatan olahraga
dan kebudayaan; serta lahan di sebelah Barat Senayan diproyeksikan sebagai political venues.

Dalam proses pembangunan tersebut, ada sisi lain yaitu warga Senayan dan sekitarnya yang
mengalami penggusuran untuk pembangunan kompleks olahraga. Kesadaran warga akan
proyek pembangunan yang merupakan sebuah pekerjaan bersama untuk kepentingan bangsa
dan negara, warga Senayan memberikan dukungannya dan pemindahan kampung terlaksana
tanpa hambatan. Keadaan ini menandakan adanyan urban genesis, yaitu bentuk perubahan
yang sistematik bukan dari paksaan dan berasal dari sistem stratifikasi sosial masyarakat yaitu
pemerintah dan masyarakat.

Menuju ke perkembangan kota Jakarta pasca Asian Games, cikal bakal pola ruang yang
terbentuk dari penataan pada masa penyelenggaraan Asian Games dikembangkan menjadi
lebih terarah. Hal ini ditandai dengan adanya dikeluarkannya Master Plan 1965-1985. Penataan
ruang kota Jakarta yang lebih teratur dengan penggunaan sistem peruntukan wilayah. Selain
itu, kota Jakarta mengalami perluasan dan pemekaran kota dengan Tugu Monas sebagai
pusatnya. Pemekaran wilayah ini dilakukan sebagai prediksi pada Master Plan 1965-1985 yang
menjadikan kota Jakarta sebagai kota metropolitan. Jakarta mengalami peningkatan jumlah
penduduk tiap tahunnya, untuk menangani masalah tersebut pemerintah kota Jakarta
bekerjasama dengan pemerintah daerah Jawa Barat untuk pengembangan wilayah yang
meliputi kawasan Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi.

Pasca Asian Games terutama di tahun 1965, Indonesia mengalami hiperinflasi yang
mengakibatkan ketidakstabilan ekonomi, politik dan sosial. Hal ini berdampak pada
perkembangan kota Jakarta yang mengalami perlambatan di tahun 1965. Kondisi Jakarta
kembali memulih setelah adanya pergantian rezim dari Orde Lama ke Orde Baru.
Pembangunan kota Jakarta lebih banyak focus pada pembangunan infrastruktur seperti

23
perbaikan dan pernambahan ruas jalan. Visi yang dibangun pada masa ini adalah menjadikan
ibukota Jakarta sebagai kota modern dan sejajar dengan kota-kota lain di dunia. Perusahaan
asing banyak memulai investasi di Jakarta dan berpengaruh pada peluang kerja baru yang
mengakibatkan peningkatan laju migrasi.

Sejak tahun 1965 sampai tahun 1980, laju pertumbuhan penduduk kota Jakarta tidak pernah
turun. Kepadatan kota mengakibatkan tumbuhnya perumahan-perumahan kumuh. Kondisi
pada masa ini menandakan terjadinya proses urban. Proses urban (Wheatley) merupakan
hubungan antar kelompok masyarakat yang saling terkait secara fungsional & lebih kompleks
perubahannya, serta memiliki kecenderungan meningkatkan jumlah penduduk kota.
Peningkatan arus migrasi menuju Jakarta memiliki keterkaitan dengan adanya pembangunan
kota untuk tujuan pemerintah. Pada periode ini, urban genesis ditandai dengan adanya
dorongan dari sistem hirarki yaitu pemerintah terhadap perkembangan kota. Perkembangan ini
juga dilakukan secara sistematik yang berakibat pada perubahan pola ruang dan sosial
masyarakat.

24
BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, saya menarik kesimpulan sebagai berikut: Pertama,
terlaksananya Asian Games IV mempengaruhi urban genesis kota Jakarta. Adanya urban
genesis tersebut dilihat melalui perubahan tata ruang kota, pertumbuhan penduduk, maupun
kehidupan sosial yang terjadi pada tahun 1945 hingga tahun 1980. Momen Asian Games
memberikan dampak yang sangat signifikan dalam perubahan kota. Asian Games IV sangat
berpengaruh terutama karena kondisi Jakarta pasca kemerdekaan masih belum banyak
berkembang. Dengan diadakannya ajang internasional tersebut, Jakarta dituntut untuk mampu
mengakomodasi segala kegiatan dan aktifitas selama pertandingan berlangsung. Penataan ini
kemudian menjadi cikal bakal perkembangan kota Jakarta di masa pasca Asian Games.
Perkembangan kota Jakarta pasca Asian Games menjadi lebih tertata dan teratur arahnya.
Hingga akhirnya, Jakarta mampu menjadi kota modern.

Kedua, urban genesis yang terjadi pada kota Jakarta merupakan urban generation. Berdasarkan
analisis perkembangan kota Jakarta di tahun 1945-1980, diketahui bahwa perkembangan kota
Jakarta merupakan perkembangan yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat secara
sadar dan sistematik. Dari hasil analisis tersebut, saya mengidentifikasikan perkembangan kota
Jakarta sebagai urban generation.

5.2 Rekomendasi

Pada penelitian ini, saya mengangkat isu Asian Games IV tahun 1962 dan pengaruhnya
terhadap perkembangan kota Jakarta dengan menggunakan periodisasi. Untuk penelitian
selanjutnya, penelitian ini dapat dikembangkan menjadi penelitian yang memprediksi pengaruh
momen penyelenggaraan pertandingan internasional terhadap perkembangan suatu kota.
Momen penyelenggaraan pertandingan internasional seperti olimpiade, Asian Games, Sea
Games dan lain-lain membutuhkan adanya pengembangan kawasan sehingga mampu
mengakomodasi pertandingan. Hal ini menjadi menarik untuk dikaji lebih lanjut untuk melihat
implikasi dari pengembangan tersebut.

25
Daftar Pustaka

Candiwidoro, Rahadian R. 2017. Menuju Masyarakat Urban: Sejarah Pendatang di Kota


Jakarta Pasca Kemerdekaan (1949-1970). Jurnal Pemikiran Sosiologi Vol. 4 No. 1.

Darrudono, Ir. dan Mulyadi, Pik. 1980. Kampung Improvement Programme: Jakarta,
Indonesia. The Aga Khan Award for Architecture documents.

Eryudhawan, Bambang. 2017. Urban Conservation in Jakarta since 1968. Journal of


Archeology and Fine Arts in South Eas Asia (SPAFA) Vol. 1 No. 1.

Fakih, Farabi. 2005. Membayangkan Ibukota Jakarta di bawah Soekarno. Yogyakarta:


Penerbit Ombak.

Gita Jaya: Catatan H. Ali Sadikin, Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta 1966-
1977.

Kartodirdjo, Sartono. 1976. Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan.

Nordholt, Henk Schulte, et al. 2008. Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Jakarta:
Yayasan Obor.

Pemerintah DKI Jakarta. Karya Jaya: Kenang-kenangan Lima Kepala Daerah Jakarta 1945-
1966. Jakarta.

Pemda DKI Jakarta. 1995. Jakarta: 50 Tahun dalam Pengembangan dan Penataan Kota.
Jakarta: Dinas Tata Kota Pemda DKI.

Rahayu, Amin. 2012. Pesta Olahraga Asia (Asian Games IV) Tahun 1962 di Jakarta: Motivasi
dan Capaiannya. Depok: Universitas Indonesia, Tesis S-2 pada Fakultas Ilmu Budaya,
Juni 2012.

Sedyawati, Edi, et al. 1986. Sejarah Kota Jakarta 1950-1980. Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudyaan, Direktorat Sejarah dan Nilai-Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi
dan Dokumentasi Sejarah Nasional

Surjomihardjo, Abdurrachman. 1977. Pemekaran Kota Jakarta. Jakarta: Jambatan.

The Organizing Committee IVth Asian Games. 1962. Third Progress Report on Plans and
Preparation for The IVth Asian Games.

Wheatley, Paul. 1983. Nagara and Commandery – Origins of the Southeast Asian Urban
Traditions. Illinois : The University of Chicago.

Sumber Internet:

Perpustakaan University of Texas https://legacy.lib.utexas.edu/maps/ams/indonesia/ diakses


pada 26 Mei 2019 pukul 21.00

https://nauvallibrary.wordpress.com/2012/12/24/nagara-commandery/nagara-and-
commandery-wheatley-paul-9780890651131/ diakses pada 26 Mei 2019 pukul 21.00

26

Anda mungkin juga menyukai