2-2016
Penasihat:
Dr. H. Ratiyono, MMSi
(Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan
Politik Provinsi DKI Jakarta)
Pengarah:
Drs. Almer Nainggolan, MAP
R. Boge Arianto, S.Ikom, M.Pd
Dewan Redaksi:
Drs. Tumpal Datner, MM
Mazhar Setiabudi, S.Sos, M.Si
Handoko Murhestriarso, S.KM, ME
Rasminto, M.Pd
Editor:
Rasminto, M.Pd
Layout:
Ditirta P. Ramadana
Fatah H. Sidik
Penerbit:
i
DAFTAR ISI
ii
KATA PENGANTAR
Menjelang 3 (tiga) bulan menuju Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta pada
15 Februari 2017, sudah terasa hangat suhu politiknya. Pada kontestasi ini, ada 3 (tiga)
pasangan calon yang diusung, yakni nomor urut 1 pasangan calon Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni yang diusung Partai Demokrat, PAN, PKB, dan PPP; nomor
urut 2 pasangan calon petahana Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat diusung
Golkar, Nasdem, Hanura, dan PDI Perjuangan; dan pasangan calon nomor urut 3 Anies
Rasyid Baswedan-Sandiaga Salahuddin Uno yang diusung Partai Gerindra dan PKS.
Pada edisi kali ini, ada 7 orang penulis berkompeten dalam bidang masing-masing
yang terdiri dari tokoh birokrat, anggota dewan, peneliti, akademisi, dan penyelenggara
Pilgub DKI sendiri. Artikel pertama berjudul Potret Demokrasi Jakarta Menjelang
Pilgub DKI 2017 sebagai tulisan pembukaan oleh Dr. Ratiyono, MMSi (Kepala Bakesbangpol DKI Jakarta) dengan mengupas perkembangan demokrasi berdasarkan pengukuran Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) dan kesiapan menghadapi pemilihan kepala daerah
sebagai wujud demokrasi politik lokal.
Artikel kedua berjudul Mewujudkan Pilkada Serentak Gelombang Kedua yang
Demokratis dan Berintegritas pada Tahun 2017 oleh Ir. Ahmad Riza Patria, MBA
(Wakil Ketua Komisi II DPR RI), mengupas evaluasi pelaksanaan Pilkada serentak gelombang pertama tahun 2015, putusan-putusan MK terkait peraturan perundang-undangan Pilkada dan permasalahan pelaksanaan Pilkada dari sisi keamanan, anggaran, dan
partisipasi pemilih dalam mewujudkan Pilkada yang demokratis dan berintegritas. Artikel
ketiga berjudul Pilgub DKI 2017: Suramnya Demokrasi Lokal? oleh Prof Dr. R Siti
Zuhro, MA, mengulas analisis Pilgub DKI Jakarta dalam kaitannya dengan pembangunan demokrasi lokal, dimana masih belum terbangunnya kaderisasi calon pemimpin dari
internal partai. Artikel keempat berjudul Ketika Calon Kepala Daerah Menjadi Tersangka oleh Sumarno (Ketua KPUD DKI Jakarta), menelaah secara singkat berdasarkan
perspektif peraturan perundang-undangan dan Peraturan KPU bagaimana implikasinya
jika seorang calon kepala daerah ditetapkan sebagai tersangka.
Artikel kelima berjudul Mencermati Tahapan Pencarian Data Pemilih Pilgub DKI 2017 oleh Rahmatullah, M.Si (Dosen Unindra Jakarta), mengulas permasalahan
pencarian dan pemutakhiran data pemilih. Artikel keenam berjudul Mendorong Parti(Pendiri KIPP), mengupas
sipasi Pemilih pada Pilgub DKI Tahun 2017
persoalan tingkat partisipasi pemilih sebagai indikasi pelibatan dan kesadaran masyarakat
dalam berdemokrasi. Dan artikel terakhir berjudul Pengawas Pemilu dan Peran Masyarakat dalam Pengawasan Partisipatif: Peluang dan Tantangan oleh Puadi (Ketua
Panwaslu Jakarta Barat), membahas pelibatan aktif masyarakat dalam pengawasan Pilgub
DKI Jakarta sebagai bentuk dari pengawasan partisipatif.
Semoga semua artikel dalam Jurnal Demokrasi edisi kali ini dapat bermanfaat dalam memberikan informasi, pencerahan dan pengetahuan dalam mewujudkan Pilgub DKI
Jakarta yang demokratis dan berintegritas.
Jakarta, 23 November 2016
Rasminto, M.Pd
iii
2
iv
mengaktualisasikan potensi kekayaan alam
dan kependudukan yang dimilikinya dengan mendorong partisipasi rakyat dalam
membangun kesejahteraan wilayahnya secara berkeadilan dan demokratis.
DKI Jakarta sebagai daerah di pusat pemerintahan menjadi medan magnet
yang menarik dari berbagai kutub kepentingan politik demokrasi. Faktanya, setiap hajatan demokrasi baik secara nasional
maupun kejadian politik di tingkat lokal,
Jakarta menjadi wilayah yang paling banyak menyedot perhatian publik. Meskipun
Jakarta kota yang minim kekayaan sumber
daya alam, namun SDM penduduk potensial yang terus memadatinya menjadi aset
Ibukota yang terus bersolek sebagai pusat
bisnis dan perekonomian. Sebagai wilayah
miniatur keindonesiaan, Jakarta yang terus
menata pembangunannya, kini tengah diuji
reputasinya sebagai barometer politik nasional.
Dibalik prestasi demokrasi yang
berhasil dicapai Jakarta sebagai daerah
dengan Kategori Baik dan Tertinggi
melalui hasil perolehan Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) sepanjang tahun, kini
realitas Jakarta dihadapkan pada pesta
demokrasi lokal bernama pemilihan kepala daerah secara langsung ketiga kalinya,
yakni Pilgub 2017. Konon sejumlah politisi nasional menyebut bahwa ajang Pilgub
Jakarta 2017 kali ini seperti Pilkada Rasa
Pilpres.
Perkembangan Hasil IDI DKI Jakarta;
Sebuah Reputasi Demokrasi
Perkembangan terkini, tingkat demokrasi suatu negara telah diukur menurut
capaian suatu indeks demokrasi menurut
pengukuran indikator pada variabel dari
berbagai aspek demokrasi secara kuantitatif. Pengukuran indeks tersebut dirumuskan
sesuai konsep-konsep demokrasi yang te-
teratas atau di peringkat pertama capaian- jelas pada tahun 2015 ini angkanya 85,32
nya dalam perkembangan demokrasi dari mengalami kenaikan sebesar 0,62 poin,
provinsi-provinsi se-Indonesia. Terakhir, sekaligus capaian angka yang terbesar perhasil laporan IDI tahun 2015 yang dirilis tamakalinya.
BPS pada awal Agustus 2016 lalu menunDKI Jakarta tetap sama posisinya
jukkan IDI DKI Jakarta memperoleh angka seperti tahun 2014 lalu yang berada pada
sebesar 85,32 (skala 0 sampai 100). Kemu- kategori baik dalam dua tahun secara
dian setelah DKI, disusul posisi kedua oleh berturut-turut. Capaian angka hasil IDI
DI Yogyakarta (83,19), lalu berikutnya DKI Jakarta dari tahun ke tahun sejak awal
Kalimantan Timur (81,24), dan Kalimatan 2009 hingga terakhir ini dapat dilihat graUtara (80,16).
NQ\DSDGDWDEHO
Meskipun total angka secara keHasil IDI DKI Jakarta 2015 itu, terseluruhan menunjukkan Jakarta merupa- gambar adanya kenaikan 2 tahun terakhir,
kan barometer demokrasi secara nasional, yakni 2014 dan 2015 masuk pada kategori
namun masih terdapat beberapa kelemahan baik. Selain terjadi kenaikan, juga terdapat
dari aspek dan indikator tertentu yang ma- penurunan pada variabel aspek dan indisih tertinggal dari beberapa aspek dan in- kator tertentu, yaitu terjadi pada tiga asdikator pada provinsi lain. Misalnya pada pek demokrasi yang ada, terdiri: (1) Aspek
aspek Kebebasan Sipil diperoleh DKI Ja- Kebebasan Sipil (Civil Liberty) turun 2,08
Tabel 1
Perkembangan IDI DKI Jakarta, 2009-2015
Tabel 2. IDI Provinsi DKI Jakarta Berdasarkan Variabel Aspek Tahun 2014-2015
5
Sesuai pengalaman, di DKI Jakarta
telah dua kali menyelenggarakan Pilkada
di tahun 2007 dan 2012. Pengalaman tersebut telah menjawab kekhawatiran banyak kalangan bahwa Pilkada DKI bakal
terjadi kekacauan, namun terbukti sebaliknya, justru selalu berjalan lebih terbuka
dan demokratis tanpa adanya protes yang
berarti maupun gugatan hukum di MK.
Kemenanganan dan kekalahan diterima sebagai kenyataan demokrasi oleh segenap
warga Jakarta. Meskipun sempat terjadi
ketegangan selama kampanye dengan beredarnya isu-isu SARA, namun tidak sampai terjadi gesekan ataupun benturan antarkonstituen politik pendukung pasangan
calon.
Nampaknya sikap politik warga
Jakarta sudah dewasa dalam berdemokrasi khususnya menghadapi masalah perbedaan pilihan politik ataupun menyikapi
kalah-menang. Semestinya ini mendapat
apresiasi dalam pengukuran demokrasi lokal. Sayangnya, Pilkada tidak dijadikan parameter pada pengukuran IDI. Di sinilah
yang terlewatkan dari konsteks demokrasi
lokal yang sesungguhnya pada pengukuran
variabel maupun indikator IDI.
Hal tersebut dapat dimaklumi,
mengingat Pilkada penyelenggaraannya
tidak merata di seluruh Indonesia. Sedangkan pengukuran IDI dilakukan setiap
tahun. Meskipun kini Pilkada dilakukan
serentak, namun tidak setiap daerah telah menyelenggarakan Pilkada pada tahun yang sama sebagaimana diatur dalam
UU No.1/2015 yang dirubah melalui UU
No. 8/2015 tentang Perubahan Atas UU
No.1/2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No.1/2014
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota menjadi UU, dan kini dirubah
kembali dalam UU No. 10/2016 tentang
Perubahan Kedua atas UU No. 1/2015. Se-
6
lain itu juga terdapat varian dalam penyelenggaraan Pilkada antara Pilgub dengan
Pilwakot ataupun Pilbup. Mengingat
terdapat kekhususan pada daerah-daerah
tertentu yang menyelenggarakan atau tidak
menyelenggarakan. Semisal, Jakarta tidak
mengenal Pilwakot ataupun Pilbup.
Walaupun demikian, sebagaimana
disebutkan di atas, bahwa Jakarta merupakan barometer demokrasi setelah melampaui capaian IDI dan berpengalaman dalam
Pilkada damai, diharapkan ajang Pilgub
2017 ini lebih sukses dan berkualitas dengan meningkatnya partisipasi politik warga Jakarta yang berkepentingan akan kemajuan dan keberlanjutan pembangunan
Ibukota Negara RI. Dan, tentunya disertai
harapan bahwa Pilgub Rasa Pilpres janganlah diartikan sebagai ajang pertarungan
masa lalu ataupun masa mendatang 2019,
tetapi dikarenakan Pilgub DKI 2017 menjadi proyek peradaban demokrasi keindonesiaan yang harus dirawat, karena eksistensinya berada di pusat pemerintahan dan
menjadi barometer politik nasional. (*)
8
fesionalitas penyelenggara Pilkada diberbagai daerah mulai diragukan.
Evaluasi Pilkada Serentak
Di dalam UU Pilkada Pasal 201
ayat (1-7) merinci tahapan Pilkada sebagai
berikut: Tahap Pertama, Desember 2015
untuk Kepala Daerah yang masa jabatannya berakhir pada 2015 sampai pada bulan
Juni 2016. Tahap Kedua, Februari 2017
untuk Kepala Daerah yang masa jabatannya berakhir pada Juli-Desember 2016 dan
2017. Tahap ketiga, Juni 2018 untuk Kepala Daerah yang jabatannya berakhir pada
2018 dan 2019. Tahap Keempat, tahun
2020 untuk Kepala Daerah hasil pemilihan 2015. Tahap Kelima, pada 2022 untuk
Kepala Daerah hasil pemilihan pada 2017.
Tahap Keenam, pada 2023 untuk Kepala
Daerah hasil pemilihan 2018.
Baru pada tahap ketujuh, tahun
2024 Pilkada serentak nasional betul-betul akan dapat dilaksanakan secara nasional. Secara umum penyelenggaraan Pilkada serentak 2015 sebagai sebuah awalan
dapat dikatakan berhasil. Banyak fenomena
menarik, juga banyak permasalahan yang
harus diperhatikan sebagai evaluasi untuk
Pilkada serentak berikutnya.
Permasalahan Pilkada serentak dari
sejak awal tahapan sudah dibayangi beberapa gugatan hukum oleh beberapa pihak
melalui uji materi (judicial review) terhadap UU Pilkada. Tahun 2014 terjadi perdebatan politik di DPR yang berujung pada
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
UU Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Memasuki awal Tahun 2015 keluarlah UU Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1
tanggal 17 Februari 2015, Sidang Paripurna
DPR RI menetapkan UU Nomor 8 Tahun
2015 tentang Perubahan atas UU Nomor 1
9
persyaratan tidak pernah dijatuhi pidana
karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, maka sama artinya seseorang yang pernah dijatuhi pidana karena
melakukan tindak pidana yang diancam
dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau
lebih, dicabut haknya untuk dipilih dalam
pemilihan Kepala Daerah.
Namun demikian, MK memberikan semacam jaringan pengaman bagi
para pemilih dimana para mantan narapidana yang boleh mencalonkan diri itu, harus mengumumkan secara terbuka bahwa
pernah menjadi terpidana. Setelah mengumumkan pernah menjadi terpidana, maka
berpulang ke masyarakat untuk memilih
atau tidak.
Putusan inipun tak luput dari bermacam sindiran, MK dinilai telah mencederai ketentuan bahwa calon tidak pernah
melakukan perbuatan tercela, KPK misalnya menyatakan putusan MK soal narapidana akan menghambat pemberantasan korupsi (Kompas, 10/07/2015).
Keempat, melalui Putusan MK
Nomor 58/PUU-XIII/2015, MK menolak
mengadili sengketa hasil Pilkada jika selisih suara 2 persen lebih. MK menegaskan
pasal 158 UU Pilkada terkait selisih suara
minimal di bawah 2 persen sebagai syarat
menggugat tidak berentangan dengan UUD
1945. Sebab, aturan itu merupakan open legal policy (kebijakan hukum terbuka) pembentuk undang-undang.
Sebagaimana disebutkan di dalam pasal 158 ayat (1) UU Pilkada bahwa
provinsi dengan jumlah penduduk sampai
dengan dua juta jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat
perbedaan paling banyak sebesar 2 persen
dari penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi. Sementara provinsi dengan jumlah penduduk 2
10
juta hingga 6 juta pengajuan perselisihan
perolehan suara dilakukan jika terdapat
perbedaan paling banyak sebesar 1,5 persen dari penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi. Akibat
dari putusan ini, banyak pihak menyatakan
ruang peserta Pilkada untuk mengajukan
permohonan kepada MK menjadi sempit, MK dinilai terlalu membatasi proses
demokrasi. Terhadap kekhawatiran itu,
ternyata sengketa perselisihan perolehan
hasil Pilkada (PHP) masih banyak diteri
MK. Hasilnya, dari total 151 perkara PHP
yang masuk ke MK, MK telah menyelesaikan rangkaian penanganan 148 perkara.
Proses tersebut selesai tepat 45 hari.
Terdapat lima daerah yang diharuskan melalukan pemungutan suara
ulang (PSU), yaitu Kabupaten Halmahera
Selatan, Kabupaten Kepulauan Sula, Kabupaten Muna, Kabupaten Memberamo Raya,
dan Kabupaten Teluk Bintuni. Mahkamah
memberikan waktu selama 30 hari kepada
daerah-daerah tersebut untuk melakukan
PSU.
Kelima, pada 29 September 2015,
melalui Putusan MK No. 100/PUUXIII/2015, MK menerobos kebuntuan
norma atau semangat awal UU Pilkada
yang mengharuskan adanya lebih dari satu
pasangan calon sebagai syarat kontestasi
Pilkada. Rumusan norma itu nyatanya tidak menjadi solusi dalam proses demokrasi
Pilkada, karena meskipun bermacam tahapan pencalonan sudah digulirkan, terdapat
beberapa daerah yang hanya terdapat satu
pasangan calon, dan karenanya menyebabkan kekosongan hukum. Kali ini putusan
MK banyak diapresiasi, suara kontra hanya
terdengar lirih.
Mayoritas menilai putusan MK telah memecahkan kebuntuan permasalahan
dalam demokrasi, juga dianggap bagian
dari mengedepankan penghargaan atas
11
Komisi Pemilihan Umum (KPU) tingkat
partisipasi pemilih secara umum hanya
sekitar 64,23 persen atau lebih rendah daripada target yang dipatok KPU sekitar 75,5
persen.
Sejumlah kabupaten/kota yang
tingkat partisipasinya rendah, di antaranya
Kota Medan, Sumatra Utara (26,88 persen);
Kabupaten Serang (50,84 persen); Kota
Surabaya (52,18 persen); Kabupaten Jember (52,19 persen); dan Kabupaten Tuban
(52,25 persen). Sejumlah daerah yang cukup tinggi partisipasi pemilihnya, di antaranya, Kabupaten Mamuju Tengah (92,17
persen); Kabupaten Sorong Selatan, Papua
Barat (89,92 persen); Bolaang Mangondow
Timur (88,83 persen); Kota Tomohon, Sulawesi Utara (88,47 persen); dan Konawe
Utara, Sulawesi Tenggara (88,24 persen).
Menurut Nurcholish Madjid, dalam masyarakat demokratis (madani) harus adanya komitmen, keterlibatan dan
partisipasi yang diharapkan dari seluruh
lapisan anggota masyarakat, serta keterbukaan lembaga kepemimpinan terhadap pengujian atas data kemampuan
yang dicoba melembagakannya dalam pola
kepemimpinan yang tidak berdasar pertimbangan keturunan, melainkan melalui
permusyawaratan dan pemilihan (MuhamDG :DK\XQL 1DV &DN 1XU 6DQJ *XUX
%DQJVD%LRJUD3HPLNLUDQ3URI'U1XUcholish Madjid), Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2014, hlm. 296). Artinya
bahwa dalam negara yang menganut paham demokrasi, mekanisme pemilihan kepemimpinan ditentukan melalui dua cara,
yaitu musyawarah atau pemilihan. Cara itu
mengedepankan prinsip akuntabilitas dan
objektivitas dalam memilih pemimpin serta menghindari pemilihan pemimpin secara
subjektif berdasarkan penunjukan dengan
dasar keturunan (dinasti).
Oleh karena itu, pada era sekarang,
12
pemilihan kepemimpinan dalam masyarakat yang demokratis, selain mendasarkan
pada aspek akuntabilitas dan objektivitas,
tetapi juga adalah bagaimana publik diberi
ruang untuk berpartisipasi secara luas untuk menentukannya.
Pilihan ideal dalam menentukan
kepemimpinan sebagaimana dikemukakan di atas, hanya dapat dilakukan dengan
pemilihan secara langsung oleh rakyat, terutama berkaitan dengan jabatan/pekerjaan yang langsung bersentuhan dengan kepentingan rakyat banyak. Dimana rakyat
sebagai pemegang kedaulatan mempunyai
kepentingan secara langsung untuk menentukan masa depannya sendiri. Oleh karena
itu, pembatasan dengan menentukan syarat
bagi calon pemimpin publik karena dasar
adanya hubungan perkawinan dan hubungan darah bertentangan dengan prinsip
partisipasi publik dan juga pengekangan
terhadap warga negara tertentu untuk menggunakan haknya untuk dipilih dan memilih
dalam suksesi kepemimpinan.
Pemilih Pemula di Pilkada DKI Jakarta
Partai politik harus mampu memiliki kesadaran terdepan dalam membangkitkan semangat rakyat untuk memperjuangkan kepentingannya. Meminjam istilah
Bung Karno, gunanya partai politik adalah
menjadi obor, menjadi suluh kesadaran
masyarakat tentang politik, tentang kemerdekaan, tentang kesejahteraan rakyat.
Partai politik harus mampu menjadi pemimpin rakyat, partai politik harus
menjadi teladan rakyat. Partai politik harus
memiliki pengaruh atau berwibawa di depan rakyat. Hal ini hanya bisa terjadi kalau
partai politik mampu hidup bersama rakyat,
mampu menyelami hatinya rakyat (Bung
Karno, Risalah Indonesia Merdeka, 1933).
Partai politik dalam hal ini kader-kader
partai politik harus mampu menjadi te-
13
berikan suara. Namun, tantangan terbesar
ialah masih rendahnya partisipasi pemilih
pemula dalam pemilihan, baik pemilu maupun Pilkada. Oleh karena itu, para calon
Gubernur DKI Jakarta juga harus mampu
menarik sebanyak-banyaknya kelompok
pemilih pemula untuk berpartisipasi dalam
Pilkada DKI Jakarta sekarang ini. (*)
14
Tabel : Perkembangan Indeks Demokrasi Indonesia Berdasarkan Aspek dan Provinsi, 2014-2015
IDI 2014
IDI
Aspek
Kebebasan
Sipil
Aceh
72,29
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Provinsi
IDI 2015
Hak-hak
Politik
Aspek
Lembaga
Demokrasi
IDI
Aspek
Kebebasan
Sipil
Hak-hak
Politik
Aspek
Lembaga
Demokrasi
69,76
63,94
88,73
67.78
74.81
63.98
64.97
68,02
79,86
63,99
47,21
61,97
62,75
69.01
82.02
62.17
63.52
61,82
88,56
67.46
52.99
69.77
82.01
Aspek
Aspek
Riau
68,40
74,35
59,74
74,69
65.83
66.46
66.61
63.80
Jambi
71,15
78,23
54,01
89,48
70.68
75.89
62.12
77.72
Sumatera Selatan
74,82
86,09
63,57
78,53
79.81
96.06
78.79
61.00
Bengkulu
71,70
79,49
63,98
74,16
73.60
78.50
68.45
75.61
Lampung
71,62
72,06
63,69
83,66
65.95
71.99
63.19
62.74
75,32
89,80
56,48
87,01
72.31
81.25
66.95
69.60
Kepulauan Riau
68,39
82,47
58,35
66,61
70.26
80.16
65.01
66.13
DKI Jakarta
84,70
91,72
73,94
92,97
85.32
89.64
83.19
83.26
Jawa Barat
71,52
83,95
65,22
65,89
73.04
79.10
81.89
51.37
Jawa Tengah
77,44
87,87
67,08
80,77
69.75
79.44
67.28
61.48
D.I.Yogyakarta
82,71
86,25
76,07
88,82
83.19
90.41
77.98
82.38
Jawa Timur
70,36
81,62
56,29
78,54
76.90
85.26
67.44
81.39
Banten
75,50
81,10
63,68
87,22
68.46
74.28
63.72
68.66
Bali
76,13
92,16
61,27
79,56
79.83
94.42
77.42
65.31
62,62
58,73
62,08
68,38
65.08
51.59
61.11
88.36
68,81
85,92
65,13
53,12
78.47
93.19
71.69
70.73
Kalimantan Barat
80,58
98,44
63,12
85,84
76.40
96.81
65.57
67.95
Kalimantan Tengah
79,00
92,93
66,42
81,48
73.46
85.07
68.31
67.05
Kalimantan Selatan
70,84
58,43
76,45
77,53
74.76
54.15
85.77
83.17
Kalimantan Timur
77,77
93,28
70,42
69,94
81.24
93.07
82.74
63.99
Kalimantan Utara
80.16
98.10
83.65
52.05
Sulawesi Utara
83,94
93,56
80,89
76,68
79.40
86.71
77.92
72.53
Sulawesi Tengah
74,36
86,56
59,01
83,42
76.67
94.60
68.85
66.53
Sulawesi Selatan
75,30
86,27
73,99
63,58
67.90
69.38
64.25
71.84
Sulawesi Tenggara
70,13
90,89
53,20
70,92
69.44
91.14
56.95
61.99
Gorontalo
73,82
82,19
63,67
79,41
76.77
81.35
69.97
81.81
Sulawesi Barat
76,69
90,22
63,64
80,39
68.25
81.88
61.16
62.37
Maluku
72,72
90,85
60,03
70,09
65.90
76.04
63.20
57.43
Maluku Utara
67,90
76,90
60,61
68,16
61.52
73.53
61.00
47.25
Papua Barat
65,65
97,93
39,29
66,93
59.97
92.33
39.48
51.81
Papua
62,15
85,69
42,51
63,75
57.55
82.72
41.81
50.87
INDONESIA
73,04
82,62
63,72
75,81
72.82
80.30
70.63
66.87
15
Pendahuluan
enderang pemilihan Kepala Daerah
(Pilkada) serentak sudah ditabuh.1
Komisi Pemilihan Umum Daerah
(KPUD) DKI Jakarta juga telah menetapkan pasangan Cagub/Cawagubnya. Pilkada serentak kedua yang akan dilaksanakan
15 Februari 2017 ini akan diikuti oleh 101
daerah yang terdiri atas 7 provinsi, 76 kabupaten, dan 18 kota. Salah satunya adalah
DKI Jakarta. Dibandingkan dengan Pilkada
serentak pertama (264 daerah), 9 Desember 2015, jumlah peserta Pilkada serentak
kedua jauh lebih kecil.
Tak pelak lagi bahwa sorotan publik
terbesar untuk Pilkada serentak kedua tertuju pada Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI
Jakarta. Masalahnya bukan sekadar karena
menyangkut Pilgub di Ibukota Negara, melainkan karena majunya petahana Basuki
Tjahaya Purnama atau Ahok sebagai salah
satu calon Gubernur (Cagub). Terlepas
dari sejumlah keberhasilannya memimpin
Jakarta, pernyataan, gaya kepemimpinan,
dan karakternya yang sering kontroversial, telah menimbulkan hingar-bingar dan
Sejak 2005 Indonesia sudah menggelar 1.027 Pilkada langsung
di luar pemilu legislatif dan pilpres langsung.
16
ti Yudhoyono dan Sylviana Murni4, serta
Anies dan Sandiaga Uno5. Melihat ketiga
Cagub tersebut, tidak satu pun yang berasal dari kader parpol. Fenomena ini secara
jelas menunjukkan gagalnya partai politik
(parpol) dalam melakukan rekruitmen elite
dan kaderisasi kepemimpinan yang baik di
internal partainya.
Dengan sistem Pilkada langsung
di mana rakyat memilih secara langsung
pemimpinnya, sulit dielakkan bahwa faktor popularitas dan elektabilitas calon sangat menentukan. Adalah wajar bila semua
partai ingin menang. Tetapi, disadari atau
tidak, prinsip tidak ada akar rotan pun
jadi yang diperlihatkan semua partai dalam memajukan calonnya telah melukai
impian banyak kader partai untuk menjadi
Kepala Daerah. Sebab, ketika tak ada kader
yang dinilai layak tanding, mereka lebih
memilih orang di luar kader partai. Bahkan,
dalam Pilgub DKI Jakarta kali ini satu-satunya parpol yang bisa mengusung sendiri
calonnya, yakni PDIP, juga memilih Cagub
dari luar kadernya.6 Padahal, partai tersebut dikenal memiliki kader yang bagus-bagus.
Di antara ketiga Cagub di atas, Ahok
adalah yang paling mendapat sorotan. Hal
ini, terutama, terkait usaha kerasnya untuk
mendapat tiket menjadi peserta Pilgub DKI
Jakarta. Masalahnya gaya dan cara Ahok
untuk menjadi bakal Cagub seperti orang
yang menyeruak barisan sambil menyenggol kiri-kanan. Akibatnya kegaduhan poTetapi, secara hukum dukungan tersebut tidak diakui KPUD DKI
Jakarta karena persoalan dukungan partai politik dianggap sudah
selesai pada saat diterimanya pendaftaran masing-masing calon
Gubernur dan Wakil Gubernur oleh KPUD DKI Jakarta.
4
Pasangan Agus Harimurti Yudhoyono dan Sylviana Murni
didukung oleh empat partai politik dengan 28 kursi, yakni partai
Demokrat (10 kursi), PKB (6 kursi), PAN (2 kursi) dan PPP (10
kursi).
5
Pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno didukung oleh
dua partai dengan 26 kursi, yakni Gerindra (15 kursi), dan PKS
(11 kursi).
6
Di DKI Jakarta PDIP memiliki 28 kursi, sementara jumlah kursi
minimal untuk bisa mencalonkan Gubernur/Wakil Gubernur
dibutuhkan 22 kursi.
17
Dilihat dari tokoh pendukung di
balik ketiga Cagub DKI Jakarta tersebut
di atas, dapat dikatakan bahwa ketiganya merepresentasikan pertarungan tersembunyi antara tiga politisi paling berpengaruh di Indonesia saat ini, yakni Megawati (Ahok), Prabowo Subianto (Anies
Baswedan) dan SBY (Agus Harimurti Yudhoyono). Sebagaimana diketahui, ketiganya adalah ketua umum partai besar, yakni
PDIP, Gerindra, dan Demokrat.
Siapa Menang?
Dalam sistem Pilkada yang
demokratis sulit untuk memprediksi siapa
yang akan menjadi pemenang Pilgub DKI
Jakarta. Apalagi karena secara umum ketiga pasangan Cagub/Cawagub DKI Jakarta tersebut memiliki kapasitas dan
kapabilitas yang sama baiknya. Ketiganya memiliki reputasi yang baik di bidang
masing-masing. Meskipun hampir semua
survey menunjukkan keunggulan Ahok, hal
tersebut bukan jaminan menang. Pada Pilgub 2012, misalnya, hasil survey Lingkaran
Survey Indonesia (LSI) dalam rilisnya
tanggal 26 Maret hingga 1 April 2012 secara meyakinkan memprediksi kemenangan pasangan Fauzi Bowo (Foke)-Nachrowi Ramli (Nara) atas lawannya hanya dalam satu putaran pemilihan. Hasil survey
menunjukkan Foke-Nara berada jauh di
atas lawan-lawannya, yakni 49,1%, sementara pasangan Jokowi Ahok yang berada di
urutan kedua hanya 14,4%. Ternyata, hasil
Pilgub berkata lain, Pada putaran pertama
saja pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli harus menerima kekalahan telak dari Jokowi-Ahok yang memperoleh 42,56% suara, sementara Foke-Nara hanya mendapat
34,05% suara. Sebagaimana diketahui, Pilgub DKI akhirnya dimenangkan oleh Jokowi-Ahok.16
Prabowo, https://www.merdeka.com/, 24 September 2016.
16
Berdasarkan penghitungan suara yang dilakukan KPUD
18
Kesulitan untuk memprediksi pemenang Pilgub DKI, antara lain, juga karena mayoritas penduduk DKI berpendidikan
cukup dan melek informasi. Mereka dapat
dikatakan tergolong pemilih rasional. Sebagai gambaran saat ini rata-rata lama sekolah penduduk Jakarta telah mencapai 11,27
tahun naik dari tahun 2006 yang mencapai
11,10 tahun. Lebih dari 65% calon pemilih
di DKI Jakarta berpendidikan SLTA ke atas
dan hanya sekitar 16% yang berpendidikan SD ke bawah. Selain itu, kelompok penduduk yang melek informasi, lebih dari
50% calon pemilih tergolong aktif menggunakan internet dalam 3 bulan terakhir
(Susenas 2015). Hampir 95% di antaranya
mengakses internet melalui telepon seluler.
Bisa dipastikan bahwa pengguna internet
terbesar adalah pemilih pemula yang jumlahnya sekitar 13% dari jumlah pemilih.
Sebagai petahana, bisa dipastikan
bahwa Ahok-Djarot merupakan pasangan
terpopuler. Tanpa berkampanye sekalipun
secara umum para pemilih Pilgub DKI Jakarta sudah bisa menilai kinerja dan reputasinya. Beberapa pencapaian yang dianggap publik cukup berhasil adalah normalisasi Kali Sunter dan Waduk Rawa Badung,
pengadaan Scania untuk TransJakarta, Peningkatan taraf layanan puskesmas menjadi
rumah sakit, Pembangunan Ruang Publik
Terpadu Ramah Anak, dan Relokasi Kampung Pulo dan Kalijodo.
Tetapi, tantangan yang dihadapi
Ahok-Djarot juga tidak kecil. Selain, masalah reklamasi Teluk Jakarta dan kasus
Rumah Sakit Sumber Waras, karakter kepemimpinannya yang kontroversial merupakan kelemahan yang bisa memengaruhi elektabilitasnya. Salah satunya adalah ucapannya terkait Surat Al Maidah ayat
51 saat berkunjung ke Kepulauan Seribu
Jakarta, pasangan Jokowi-Ahok mendapat 53,82% suara,
sedangkan pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli memperoleh
46,18% suara (https://id.wikipedia.org/).
pada 27 September 2016. Ucapannya tersebut telah menimbulkan reaksi keras dari
banyak umat dan ormas Islam di daerahdaerah, termasuk Majelis Ulama Indonesia.
MUI menyatakan bahwa pernyataan Ahok
memiliki konsekuensi hukum.17 Meskipun
Ahok sudah meminta maaf, sejumlah ormas
Islam tetap melaporkannya ke polisi (BBC.
com, 7 Oktober 2016). Mengingat Ahok
adalah satu-satunya Cagub non-Muslim,
hasil Pilgub DKI 2017 bisa menjadi barometer apakah perilaku pemilih masih menjadikan sentimen SARA sebagai salah satu
faktor utama atau tidak. Sekadar diketahui,
jumlah penduduk Muslim di DKI Jakarta
85,36%.
Berbeda dengan Ahok, sebagai
Cawagub Djarot Saiful Hidayat memiliki karakter yang santun dan lembut. Pengalamannya sebagai Walikota Blitar dua
priode (2000-2010) sebenarnya juga cukup
menonjol. Tetapi, karena dominasi Ahok
yang sangat besar sebagai Gubernur, kinerja Djarot sebagai wagub petahana menjadi
kurang dikenal publik.
Lepas dari itu, meskipun belum
pernah berkecimpung dalam pemerintahan
daerah, Anies memiliki beberapa kelebihan, seperti pengalamannya sebagai mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan,
pelopor Gerakan Indonesia Mengajar, dan
mantan Rektor Paramadina. Setidaknya,
pengalamannya selama dua tahun membuatnya cukup mengenal birokrasi pemerintahan Indonesia. Selain dikenal cerdas dan memahami ilmu politik Indonesia,
Anies juga dikenal santun dan memiliki
kepiawaian dalam berkomunikasi. Sementara itu, pasangannya Sandiaga Uno juga
dikenal sebagai pebisnis muda yang sukses. Adapun kekurangan keduanya yang
paling menonjol adalah bahwa keduanya
lebih dikenal di kalangan menengah atas
MUI Nyatakan Sikap Soal Ucapan Ahok Terkait Al Maidah
51, ini Isinya http://news.detik.com/, 11 Oktober 2016.
17
19
berpotensi lebih besar untuk menggalang
suara perempuan jika ia mampu meyakinkan pemilihnya dengan mengangkat isu-isu
gender.
Pilkada Milik Siapa?
Sejak digelarnya Pilkada langsung
tahun 2005 Indonesia bisa disebut sebagai
negara Pilkada. Sebab, selama rentang
waktu 2005-2014 tercatat ada 1.027 Pilkada langsung. Bila dihitung secara rata-rata,
dengan 34 provinsi dan 520 kabupaten/kota,
berarti setiap 4 hari setidaknya ada Pilkada
di Indonesia. Dengan Pilkada serentak Indonesia diharapkan tidak disibukkan hanya dengan urusan Pilkada. Lebih dari itu,
biaya Pilkada juga diharapkan dapat lebih
HVLHQ
Bertentangan dengan hal tersebut,
Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra, 2013) mencatat mahalnya
biaya Pilkada. Untuk kabupaten atau kota
bisa mencapai Rp 25 miliar, sedangkan biaya Pilkada provinsi mencapai lebih dari
Rp 100 miliar. Salah satu yang membuat
mahalnya biaya Pilkada, terutama, terkait
mahar politik. Masalah ini sulit dibuktikan, tetapi aromanya sangat kuat. Aroma
tersebut juga dirasakan publik melihat
mudahnya Ahok memperoleh dukungan
partai, termasuk dari PDIP yang semula menentang Ahok. Apalagi selama ini
Ahok diketahui berpandangan agak negatif
terhadap partai.21 Jauh sebelum PDIP memutuskan mendukung Ahok, Ketua DPP
PDIP Andreas Hugo Pereira, misalnya,
menduga bahwa sebagai pendukung Ahok
jangan-jangan Partai NasDem telah menerima Rp 100 milyar (https://wwww.merdeka.com dan http://rimanews.com, 11 Maret
2016).
Besarnya biaya Pilgub DKI Jakarta secara jujur diakui Ahok. Menurutnya,
JK: Sikap Ahok Keluar Gerindra Tak Elok, Nanti Orang Bisa
Tak Percaya, 12 September 2014.
21
20
untuk mendapat dukungan dua partai ia
memperkirakan membutuhkan sedikitnya
lebih dari Rp 100 miliar. Hal tersebut belum termasuk kebutuhan dana untuk pengurus partai ranting di kecamatan, dan
bila ada tambahan partai pendukung lainnya (http://www.tribunnews.com, 11 Maret 2016). Hal yang sama juga dikatakan
Sandiaga Uno. Baru sosialisasi calon saja,
ia mengaku sudah menghabiskan Rp 29,3
miliar (http://www.cnnindonesia.com, 13
Oktober 2016). Dengan kenyataan tersebut
sulit bagi kader-kader potensial untuk bisa
bertarung dalam Pilkada bila tak memiliki
modal atau tidak memiliki investor Pilkada.
Suramnya Demokrasi Lokal?
Sebagai ibukota negara Pilgub DKI
Jakarta seharusnya menjadi contoh barometer demokrasi Indonesia di mana proses
rekruitmen calon kepala dan Wakil Kepala
Daerahnya melibatkan partisipasi masyarakat. Tetapi, hal tersebut tampaknya masih jauh dari harapan. Proses demokrasi
lokal justru cenderung makin suram atau
setidaknya masih berjalan di tempat. Pilkada masih milik para elite dan mahal. Antara lain karena hal tersebut, parpol gagal
melakukan rekruitmen elite dan kaderisasi
di internalnya. Selain itu, parpol juga gagal
menyerap aspirasi rakyat. Tumpuan besar
rakyat pada PDIP untuk mencalonkan kadernya sendiri dalam Pilgub DKI Jakarta
2017, misalnya, tak mendapat tanggapan
baik meskipun PDIP tak memerlukan koalisi partai untuk mengajukan Cagub/Cawagubnya sendiri. PDIP justru mencalonkan
tokoh dari luar partainya dan mengabaikan
kader-kader internalnya yang bagus.
Kenyataan tersebut menunjukkan
rendahya makna Pilkada langsung sebagai
WHURERVDQSROLWLNVLJQLNDQJXQDPHZXMXGkan demokratisasi yang substansial di tingkat lokal. Seperti halnya di tingkat nasio-
21
Tetapi, dalam Pilkada serentak 2017 tidak
ada satu pun peserta dari calon independen
(Okezone News, 9 Agustus 2016).23
Tantangan Ke Depan
Dinamika Pilkada selama rentang
waktu 2005-2016 menunjukkan bahwa tantangan yang dihadapi daerah dalam melaksanakan Pilkada cukup berat. Sebagai bagian proses learning by doing pelaksanaan
demokrasi lokal, kekuatan-kekuatan sosial
(societal forces) dalam masyarakat tidak
hanya mendorong perbaikan desain Pilkada, tetapi juga reformasi partai politik. Seiring dengan itu, perlu pula didorong keikutsertaan calon perseorangan dalam Pilkada
agar makna kontestasi lebih terasakan dan
kecenderungan munculnya calon tunggal
bisa dibendung. Untuk itu, pemerintah dan
parpol harus mampu mewujudkan Pilkada
yang murah, berkualitas, dan partisipatif.
Keikutsertaan calon perseorangan
dalam Pilkada penting karena setidaknya
bisa menjadi jembatan (bridging) macetnya fungsi representasi dan munculnya pemimpin dari bawah yang sejauh ini belum
dilakukan parpol secara serius dan memadai. Selain itu, hal ini juga berpengaruh
positif terhadap proses pencerahan atau
pembelajaran politik kepada masyarakat.
Bagi parpol ini merupakan sebuah tantangan dalam berbenah diri untuk menjadi pilar
demokrasi.
Pengalaman Pilkada serentak 2015
di 264 daerah (provinsi, kabupaten, dan
kota) menunjukkan dengan jelas bahwa
Menurut Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, dari 101
daerah peserta Pilkada serentak 2017, hanya 3 daerah yang
memiliki calon independen, itu pun sebagian masih dalam
YHULNDVL 'LNHWDKXL VHEHOXPQ\D VHEDQ\DN GHODSDQ SDVDQJDQ
yang menyerahkan dokumen dukungan KTP ke KPUD DKI,
semuanya dinyatakan tak memenuhi syarat minimal sehingga
dipastikan tak ada calon perseorangan dalam Pilkada DKI 2017.
Delapan calon independen DKI gagal semua. Di Banten empat
FDORQ\DQJGLYHULNDVLMXJDJDJDOFDORQLQGHSHQGHQGDUL$FHK
\DQJ GLYHULNDVL GDQ FDORQ GL *RURQWDOR MXJD WLGDN ORORV
Artinya 8 calon perseorangan dalam Pilkada serentak 2017 gagal
memenuhi persyaratan (Okezone News, 18 Agustus 2016).
23
22
meskipun di sebagian besar daerah Pilkada berlangsung relatif damai, harus diakui
bahwa substansi nilai-nilai demokrasinya
masih belum tersentuh seluruhnya. Kedepan pelaksanaan demokrasi lokal melalui Pilkada serentak perlu diperbaiki secara substantif, khususnya, terkait perilaku
distortif atau menyimpang/melanggar yang
dilakukan para peserta Pilkada. Untuk itu,
diperlukan respon yang tangkas dari daerah-daerah, mengingat keragaman atau
pluralitas lokal yang mereka miliki bisa
dimaksimalkan untuk menghasilkan Pilkada serentak yang lebih berkualitas. Pilkada
serentak diharapkan mengurangi kebosanan masyarakat terhadap Pilkada, dan sebaliknya meningkatkan semangat mereka
agar angka golput menurun. Oleh karena
itu, partisipasi masyarakat dalam Pilkada
perlu dijaga dan dicermati agar tetap dalam
koridor demokrasi. Pilkada yang demokratis memenuhi dua syarat penting yaitu
partisipati masyarakat pemilih dan adanya
kontestasi. Pilkada yang free and fair sekuUDQJNXUDQJQ\DGLUHHNVLNDQPHODOXLWHUSLlihnya pemimpin yang siddiq (jujur), amanah (trusted), tabligh (transparan/komunikatif), fathonah (bijaksana), dan kompeten.
(*)
Daftar Pustaka
Migdal, Joel S., 1988, Strong
Societies and Weak States: State-Society
Relations and State Capabilities in the Third
World. Princeton: Princeton University
Press.
Mozaffar, Shaheen and Andreas
Schedler. 2002. The Comparative Study
of Electoral Governance Introduction,
International Political Science Review 23,
1 (January): 5-27.
Nordholt, Henk S. dan Gerry van
Klinken, 2007. Politik Lokal di Indonesia,
Jakarta: YOI & KITLV.
23
Zuhro, R. Siti, 2015, Pilkada
Serentak: Keperkasaan Petahana, Media
Indonesia, 14 Desember.
Zuhro, R. Siti, 2015, Setelah
Pilkada Serentak, Sindo Weekly, No. 42
Tahun IV, 17-23 Desember.
24
25
visi UU No. 8 Tahun 2015 tentang Pilkada yang kemudian disahkan DPR menjadi
UU No. 10 Tahun 2016. Pada saat pembahasan revisi UU itu, para pegiat Pemilu
dan akademisi berharap UU Pilkada yang
baru memberikan jaminan terpilihnya para
kepala daerah yang memiliki integritas
yang baik, antara lain dengan pengaturan
pelarangan seorang tersangka maju dalam
Pilkada. Akan tetapi dalam usul inisitaif
pemerintah yang disampaikan ke DPR, tak
satupun pasal secara eksplisit mengatur
larangan itu.
Tidak adanya larangan seorang tersangka maju dalam Pilkada dalam draft
revisi UU Pilkada usulan pemerintah,
ternyata mendapat dukungan kalangan
DPR. Mereka berdalih, seorang tersangka
belum tentu bersalah atas dugaan tindak
pidana yang disangkakan kepadanya. Dengan menganut asas praduga tak bersalah,
hak seseorang, meskipun berstatus tersangka tidak boleh dirampas untuk maju dalam
pemilihan kepala daerah. Menurut Ketua
Komisi II DPR, Rambe Kamarul Zaman
dalam pembahasannya terjadi perdebatan
apakah ingin diatur dalam ketentuan UU
Status Tersangka
atau tidak, namun pada akhirnya tidak diaPerdebatan boleh tidaknya calon tur karena merujuk asas praduga tidak berkepala daerah yang berstatus tersangka salah tersebut.
mengikuti pilkada sudah muncul sejak reKegusaran kalangan yang men-
26
dukung larangan seorang tersangka maju
dalam Pilkada merujuk pada terpilihnya
empat orang yang berstatus tersangka terpilih dalam Pilkada serentak bulan Desember 2015. Bahkan mereka kemudian
dilantik sebagai kepala daerah pada tanggal
17 Februari 2016, Keempat kepala daerah
yang berstatus tersangka itu adalah Wali
Kota terpilih Gunung Sitoli, Sumatra Utara,
Lakhomizaro Zebua, yang menjadi tersangka kasus korupsi pengadaan RSUD Nias
Selatan tahun 2013 senilai Rp 5,12 miliar.
Bupati terpilih Sabu Raijua, NTT, Marthen
Dira Tome, tersangka KPK dalam kasus
korupsi di Dinas Pendidikan, Pemuda, dan
Olahraga Provinsi NTT Tahun 2007 sebesar Rp 77 miliar. Ada pula Bupati terpilih
Ngada, NTT, Marianus Sae, yang menjadi
tersangka kasus penutupan Bandara Turerelo Soa. Terakhir, Bupati terpilih Maros,
Sulawesi Selatan, Hatta Rahman berstatus
tersangka kasus korupsi pada 2011.
Di tengah kontroversi yang masih
berlanjut, RUU Pilkada hasil revisi UU No.
8 Tahun 2015 itu akhirnya disetujui DPR
untuk disahkan menjadi UU dalam rapat
paripurna DPR pada Kamis, 2 Juni 2016.
Meskipun tidak ada pasal khusus yang
melarang tersangka maju dalam Pilkada, namun dalam Pasal 7 ayat (2) huruf i disebutkan bahwa seseorang yang mencalonkan
atau dicalonkan sebagai kepala daerah tidak pernah berbuat tercela yang dibuktikan
dengan surat keterangan catatan kepolisian
(SKCK). Dalam penjelasan pasal 7 ayat (2)
huruf i disebutkan bahwa yang dimaksud
dengan melakukan perbuatan tercela antara
lain judi, mabuk, pemakai/pengedar narkoba, berzina, dan perbuatan melanggar kesusilaan.
Secara tegas UU Pilkada yang baru
itu melarang seorang terpidana yang telah
memiliki kekuatan hukum tetap, maju dalam Pilkada. Aturan itu disebutkan dalam
27
Bagaimana dengan partai politik
pengusung, bolehkah menarik dukungan dari pencalonan seseorang yang telah ditetapkan sebagai tersangka? Pada
pasal 191 ayat (2) UU No. 8 Tahun
2015 disebutkan secara jelas:
Pimpinan Partai Politik atau
gabungan pimpinan Partai Politik yang
dengan sengaja menarik pasangan
calonnya dan/atau pasangan calon
perseorangan yang dengan sengaja
mengundurkan diri setelah ditetapkan
oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota sampai dengan pelaksanaan
pemungutan suara, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 24 (dua
puluh empat) bulan dan paling lama 60
(enam puluh) bulan dan denda paling
sedikit Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) dan paling
banyak Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah)
Berdasarkan ketentuan UU tersebut
sangat jelas seorang calon kepala daerah
atau wakil kepala daerah tidak boleh mengundurkan diri dari proses pencalonan. Begitu juga halnya partai politik pengusung,
juga tidak dapat menarik dukungannya dari
proses pencalonan, meskipun calon yang
diusung sudah berstatus tersangka.
Ketentuan tidak boleh mengundurkan diri juga tercantum dalam Peraturan
KPU No. 9 Tahun 2016 tentang Pencalonan
Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur,
Bupati dan Wakil Bupati dan/atau Walikota dan Wakil Walikota. Salah satu yang disyaratkan dalam PKPU itu adalah seorang
calon harus menyerahkan surat pernyataan
form Model BB.1 KWK yang antara lain
berisi pernyataan tidak akan mengundurkan
diri dari proses pencalonan sampai tahapan
selesai. Hal yang sama juga mengikat partai
politik pengusung.
28
Status Terpidana
Kalau status tersangka tidak dapat
mengugurkan pencalonan seseorang dalam Pilkada, maka berbeda halnya kalau
yang bersangkutan telah menyandang status sebagai terpidana. Status pencalonan
kepala daerah akan dibatalkan jika yang
bersangkutan dalam proses hukum di pengadilan terbukti melakukan tindak pidana
yang disangkakan kepadanya dan divonis
sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum
tetap. Hal itu dijelaskan dalam pasal 88
PKPU No. 9 Tahun 2016 sebagai berikut:
(1) Pasangan Calon dikenakan sanksi
pembatalan sebagai peserta Pemilihan oleh KPU Provinsi/KIP Aceh atau
KPU/KIP Kabupaten/Kota, apabila:
Pasangan Calon dan/atau Tim
Kampanye terbukti menjanjikan dan/
atau memberikan uang atau materi
lainnya untuk memengaruhi pemilih
berdasarkan putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap, sebelum hari pemungutan suara;
Pasangan Calon terbukti melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam pidana penjara paling singkat
5 (lima) tahun atau lebih berdasarkan
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, sebelum
hari pemungutan suara;
Pasangan Calon terbukti menerima dan/atau memberikan imbalan
dalam proses pencalonan berdasarkan
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
Pasangan Calon terbukti melakukan kampanye di media cetak atau
elektronik, berdasarkan rekomendasi
Bawaslu Provinsi atau Panwas Kabupaten/Kota atau Keputusan KPU
Provinsi/KIP Aceh;
Melakukan penggantian pejabat
29
30
31
yang tahapannya sudah dimulai sejak pertengahan 2016 sesuai SK KPU Provinsi
DKI Jakarta No. 24/kpts/KPU-Prov-010/
Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Keputusan KPU Provinsi DKI Jakarta No. 05/
kpts/KPU-Prov-010/Tahun 2016 tentang
Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DKI Jakarta Tahun 2017.
Dalam penyelenggaraan Pemilukada DKI Jakarta, bahkan umumnya di
berbagai daerah lainnnya di Indonesia,
kerapkali terjadi masalah dalam tahapan
penyelenggaraannya, baik sejak Sosialisasi, Pemutakhiran Data Pemilih, Kampanye, hingga Pemungutan dan Rekapitulasi Suara. Dari berbagai tahapan tersebut,
kekisruhan data pemilih yang merupakan
hasil dari tahapan pemutakhiran data pemilih sering terjadi. Protes yang muncul dari
publik karena masih terdapat warga yang
belum terdaftar ataupun tidak memenuhi
syarat sebagai pemilih, termasuk warga
yang menjadi kantung basis massa dari
pihak tim pasangan calon yang berasal dari
32
partai politik ataupun pihak pasangan calon
independen karena menyangkut konstituen bakal pemilihnya yang terancam
tidak menggunakan hak pilih, sehingga
menimbulkan berbagai gugatan terhadap
penyelenggara Pemilukada.
Bukti pada penyelenggaraan Pemilukada pertama di DKI tahun 2007 yang diikuti pasangan No. 1 Adang Daradjatu-Dani
Anwar (Adang-Dani) dan pasangan No. 2
Fauzi Bowo-Prijanto, salah satunya, yakni pihak pasangan No. 1 (Adang-Dani)
beberapa kali memprotes KPU karena kerancuan daftar pemilih yang dianggap
sudah tidak akurat dan merugikan pihaknya. Meskipun hal tersebut sebenarnya
sudah diprediksi sebelumnya oleh beberapa lembaga penelitian yang membuka hasil surveynya ternyata banyak warga yang
punya hak pilih tidak terdaftar sebagai
pemilih walaupun masa pendaftaran sudah diperpanjang oleh KPU DKI.1 Bahkan,
silang sengkarut data pemilih kembali
terulang, bahkan lebih krusial karena berujung gugatan ke ranah hukum dan sengketa di Dewan Kehormatan Penyelenggara
Pemilu (DKPP). Setelah sebelumnya Pemprov DKI melalui Dinas Dukcapil DKI
menyerahkan daftar Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) pada 6 Januari
2012, sebanyak 7.545.989 bakal pemilih
sebagai bahan KPU DKI untuk dimutakhirkan menjadi Daftar Pemilih Sementara
(DPS) yang akhirnya terdapat 7.044.991
pemilih dalam DPS.
Hal tersebut menimbulkan gelombang protes tidak saja oleh pasangan calon,
tetapi juga berbagai kelompok masyarakat
karena dicurigai masih terdapat yang belum terdaftar, bahkan masih terdata pemilih
JDQGD GDQ NWLI DWDX SHPLOLK VLOXPDQ
alias ghost voters.2 DPS yang sedianya diBudiman Tanuredjo (Ed.). 2007. Jakarta Memilih, Pilkada dan
Pembelajaran Demokrasi. Jakarta Penerbit Buku Kompas. h. 243
2
Bahkan Komisi II DPR RI menyambangi KPU DKI untuk
1
33
34
dengan DP4 sebagai data referensi atau disinkronisasikan dengan data DP4 yang
data sekunder. Dari DPT yang pernah ada jumlah sebanyak 7.439.149 penduduk posebagai data pemilih pada pemilihan umum tensial pemilih.
yang pernah dihelat pada 2014 lalu dapat
Kemudian, pada tabel 3 mengenai
Tabel 1. Data DP4 Kemendagri Dianalisis KPU Pusat
No
1
2
3
4
5
6
Kabupaten/Kota
Jakarta Pusat
Jakarta Utara
Jakarta Barat
Jakarta Selatan
Jakarta Timur
Kepulauan Seribu
Total
419,671
612,127
847,326
785,205
1.047,743
9.253
3,721,325
415,629
607,166
835,496
791,090
1,059,391
9,052
3,717,824
835,300
1,219,293
1,682,822
1,576,295
2,107,134
18,305
7,439,149
Jumlah
Menggunakan
Hak Pilih
Jumlah Tidak
Menggunakan
Hak Pilih
7.001.520
4.808.198
(68,67%)
2.193.322
(31,32%)
7.096.168
5.441.705
(76,7%)
1.654.463
(23,3%)
Pemilu
35
Provinsi DKI Jakarta, Sumarno memaparkan bahwa dari hasil Sinkronisasi DPT
Pilpres 2014 dan DP4 sebanyak 8,243,651
warga bakal pemilih masih dijumpai berbagai masalah seperti:
1. Sebanyak sekitar 1.400.000-an yang tidak sinkron;
2. Hanya sekitar 6.000.000-an yang sinkron
antara DP4 dengan DPT Pilpres;
3. Dugaan adanya sejumlah KTP ganda sebanyak 85.000-an orang di DKI Jakarta.
Tabel 3. Jumlah Pemilih Hasil Sinkronisasi DP4 dan DPT Pilpres 2014
No
1
2
3
4
5
6
Nama Kabupaten/
Kota
Jakarta Pusat
Jakarta Utara
Jakarta Barat
Jakarta Selatan
Jakarta Timur
Kepulauan Seribu
Total
P
436,188
659,395
949,552
891,819
1,136,976
9,500
4,083,430
L+P+N
882,228
1,336,010
1,931,860
1,792,191
2,280,292
21,070
8,243,651
Kabupaten/Kota
Jakarta Pusat
Jakarta Utara
Jakarta Barat
Jakarta Selatan
Jakarta Timur
Kepulauan Seribu
Total
Pemilih Pemula
L
22,205
32,286
44,008
42,143
57,512
632
198,786
P
20.511
30,480
41,610
40,761
54,313
610
188,285
L+P+N
42,716
62,766
85,618
82,904
111,825
1,242
387,071
Di bawah 17 di atas
90
<17
>90
34
1,030
35
649
28
1,013
18
1,059
42
1,038
1
15
158
4,804
lam melakukan Pemutakhiran Data Pemilih dibantu oleh PPDP yang diangkat
dan diberhentikan dengan Keputusan KPU
Kab/Kota.
36
Dalam pemutakhiran data di lapangan, KPU menyerahkan susunan data pemilih per TPS (Model A-KWK) dalam bentuk
soft copy dan hard copy beserta seluruh dokumen pemutakhiran data pemilih melalui
PPS kepada masing-masing PPDP yang
akan melakukan pencocokan dan penelitian data pemilih. Kegiatan Coklit meliputi
melakukan pencoretan, perbaikan data,
mendaftar pemilih baru, cara pengisian
formulir, dan tenggat waktu yang harus diselesaikan. Selama proses Coklit PPS memonitor dan melakukan pendampingan kepada PPDP jika terjadi kesulitan di lapangan.
KPU Provinsi DKI Jakarta menerima hasil sinkronisasi DP4 dan DPT terakhir dari KPU Pusat pada 13 Agustus 2016
untuk dikaji hingga 16 Agustus 2016. Selanjutnya dilakukan persiapan waktu Coklit
yang terbatas hanya 30 hari, dari tanggal 8
September sampai dengan 7 Oktober 2016.
Hasil sinkronisasi tersebut sudah dipastikan
belum akurat. Meskipun penduduk DKI sebagian besar sudah melakukan perekaman
dan memiliki e-KTP namun bukan berarti
data kependudukan sudah valid, meskipun
Disdukcapil menganggap data dijamin sudah valid. Mengingat banyak faktor ditemui
di lapangan, berikut:
1. Masih banyak warga DKI Jakarta yang
tinggal tidak sesuai alamat yang tercantum
pada KTP, dan tersebar di berbagai tempat,
baik di dalam hingga luar kota, dan bahkan
di luar negeri.
2. Data yang didapat dari Disdukcapil
merupakan hasil registrasi kependudukan
yang selalu dinamis, sehingga diperlukan
pengecekan data di lapangan.
3. Tercantumnya usia pemilih tetapi tidak
memenuhi syarat sebagai pemilih seperti
status sebagai anggota TNI, Polri, hingga
warga yang hilang ingatan atau maupun
yang dicabut hak pilihnya oleh pengadilan.
37
sebagai pemilih yang disebabkan karena
meninggal dunia, pindah domisili, belum
cukup umur, tidak dikenal, ganda, sakit
jiwa, dan anggota TNI/Polri.
2. Perubahan data pemilih karena adanya
perbaikan data.
3. Penambahan pemilih yang terdaftar dalam Model A.A-KWK.
Menyusun daftar pemilih hasil
pemutakhiran oleh PPS dari hasil Coklit
dengan cara input data ke dokumen yang
disediakan KPU Kab/Kota karena dipastikan akan terjadi perubahan/perbaikan data,
dan dilanjutkan dengan meng-entry pemilih yang terdaftar pada Model A.A-KWK.
Usai melakukan entry data dari perubahan
tersebut dicetak dan diserahkan ke PPK.
Penyerahan soft copy Model A.B-KWK
dalam bentuk compact disc (CD) atau USB
DVKGLVN kepada PPK di antaranya untuk di
up load ke Sidalih.
PPS masih terus melakukan perbaikan jika terdapat usulan atau masukan
dengan bukti yang kuat saat Rapat Pleno rekapitulasi daftar pemilih hasil pemutakhiran. Rapat Pleno diselenggarakan PPS paling lambat 3 hari setelah penyusunan daftar pemilih hasil pemutakhiran
selesai dilaksanakan dengan mengundang
Pengawas Pemilihan Lapangan (PPL), tim
kampanye pasangan calon Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah, dan pemantau
pemilihan atau tokoh masyarakat.
Data hasil pemutakhiran dari PPS
tersebut kelak menjadi DPS setelah diproses di KPU Kabupaten/Kota dan diserahkan ke PPS kembali untuk umumkan DPS
di tempat-tempat yang mudah dijangkau
masyarakat selama 10 hari yaitu tanggal
10-19 November 2016. Selanjutnya selama
pengumuman tersebut, PPL, tim kampanye, dan masyarakat memiliki kesempatan
untuk memberikan masukan dan tanggapan
terhadap DPS. PPS melakukan pengecek-
38
an terhadap kebenaran tanggapan dan
masukan tersebut untuk dilakukan diperiksa kepastiannya dan dilakukan perbaikan.
Akurasi data DPS tersebut di lakukan kembali dalam Rapat Pleno Rekapitulasi Perbaikan DPS oleh PPS dengan mengundang
beberapa tokoh sebelumnya hingga pemantau Pemilu.
Keraguan Publik atas Pemutakhiran
Data Pemilih selama Coklit; Dari Data
Siluman hingga Masalah Keterbukaan
Penyelenggara Pemilu
Meskipun Coklit atas data penduduk yang berasal hasil sinkronisasi DP4
masih dalam proses, namun kecurigaan dan
bahkan keraguan publik terhadap tahapan
pemutakhiran data pemilih menjelang hingga selesai Coklit. Tidak sekadar mendesak
KPU yang dituntut untuk lebih cermat dan
teliti dalam melakukan Coklit, namun juga
desakan agar KPU lebih terbuka, tepat
waktu, mengakomodir penduduk yang tidak tersentuh Coklit oleh petugas PPDP.
Sejak diumumkannya DP4, banyak
bermunculan respon atas melonjaknya
jumlah pemilih DKI Jakarta. Dari Partai
Demokrat, Zainuddin (Sekretaris Biro Pemerintahan Partai Demokrat DKI Jakarta) beranggapan, Pemilukada DKI Jakarta
2017 berpotensi kisruh terhadap masalah
pemilih dalam DP4 yang membengkak.
Menurutnya perbedaan DP4, data kependudukan, hingga hasil sinkronisasi yang
cukup jauh jaraknya. Keterkejutan tersebut
dapat dilihat dari hasil sinkronisasi mencapai 8,2 juta pemilih yang dinilainya tidak masuk akal, sehingga mengundang kecurigaan adanya penggelembungan jumlah
tersebut.11
Demikian pula pendapat dari kalangan Anggota DPRD DKI, Lucky Sacawirya yang juga Ketua Fraksi Demokrat,
11
39
13
Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, M. TauN\DQJPHPLQWD.38'.,XQWXNOHELKVHrius dalam melakukan Coklit, yakni terjun
langsung ke lapangan mendatangi warga di
rumah-rumah penduduk dan memvalidasi langsung data pemilih dari DP4 dengan
memberikan tempelan stiker yang mengNRQUPDVLNDQZDUJD\DQJGLFRNOLWWHUVHEXW
terdata sebagai pemilih berikut nomor TPSnya. Jika terdapat warga yang tidak dikenal
atau asing yang muncul tiba-tiba dalam
GDIWDU KDUXV GLNRQUPDVL NH SLKDN 57
RW atau tokoh warga setempat sehingga
tidak asal cantum. Menurutnya Coklit ini
parameter awal bagi sukses dan tidaknya
Pilkada DKI Jakarta 2017, sehingga kegiatan Coklit ini jika dilakukan serampangan,
maka dipastikan akan banyak pemilih siluman tidak tercoret dan berpotensi dimanfaatkan untuk memenangkan pasangan tertentu, sebagaimana yang dicurigai berbagai
kalangan selama ini.
Berikutnya, berdasarkan data relokasi warga korban penggusuran, setidaknya ditemui sebanyak 168 ribu warga Jakarta terancam kehilangan hak pilih. Kebanyakan berasal dari penduduk yang sudah
pindah karena domisilinya tergusur. Data
yang ditemukan oleh PPDP dalam proses
YHUNDVLIDNWXDOVHFDUDface to face tersebut
menimbulkan sejumlah protes warga.16
Sejumlah perwakilan warga korban penggusuran bahkan mengadukan ke
Komisi Informasi Publik (KIP) setelah sebelumnya menyampaikan surat sebanyak
2 kali tidak mendapat respon. Surat permohonan pertama kali bernomor: KJ.01/
GUB/18/8/2016 pada 30 Agustus 2016 dan
kedua kali pada surat bertanggal 21 September 2016 ditujukan pada KPU Provinsi DKI
untuk mendapatkan informasi seputar nasib
mereka dalam masa Coklit tidak mendapat
respon. Termasuk juga permohonan infor-
14
16
40
masi mereka layangkan ke Disdukcapil
mengenai hal yang sama belum mendapat
tanggapan informasi yang semestinya.
Menurut Leonard Eko, perwakilan korban, pengaduan ke KIP mendapat respon
pada 11 Oktober 2016 di kantor KIP DKI
dengan mengundang KPU DKI dan KPU
.RWD\DQJVHNDGDUPHPEHULNDQNRQUPDVL
bahwa data masih dalam proses pendataan
petugas Coklit sehingga diharapkan warga
menunggu DPS terlebih dahulu.
Sebelumnya, Ketua Komisi A
DPRD DKI Jakarta, Riano P. Ahmad, sudah mengusulkan supaya Disdukcapil bersinergi dengan KPUD untuk menangani
data kependudukan warga yang direlokasi
dikarenakan ada aturan pemilih nanti memberikan suara sesuai domisili, sehingga
warga yang terkena relokasi tidak boleh
kehilangan haknya untuk memiliki e-KTP
maupun hak politik.
Menyikapi terancamnya sejumlah
warga yang kehilangan hak pilih karena
masalah domisili yang dipaksa pindah tanpa merasa dicoklit oleh PPDP, Ahmad Sulhy (Wakil Ketua DPD Gerindra DKI Jakarta) pun menyampaikan usulan pada KPU
DKI agar menyediakan TPS khusus di area
penggusuran agar mereka tidak dihambat
hak politiknya. Mengingat dalam KTP
mereka yang tergusur masih mencantumkan domisili alamat asal dan belum terdata
oleh Disdukcapil pasca penggusuran. Warga yang tergusur tidak semua di relokasi di
rusunawa, tetapi ada yang masih bertahan
di sekitar lokasi penggusuran. Mereka bertahan karena demi mempertahankan mata
pencaharian, anggota keluarga yang sekolah, kurangnya jaminan pelayanan, kesulitan transportasi hingga ada yang tidak mampu untuk membayar iuran rutin rusun. Sebagian lagi warga yang tergusur menyebar
ke berbagai tempat yang kurang diketahui.
Karenanya mereka tidak boleh kehilangan
41
daftar pemilih tetap mengingat jumlah kertas suara terbatas. Kecenderungan tersebut
menimbulkan jumlah data pemilih yang
tidak valid di apartemen. Albert Pattiwael,
anggota Panitia Pengawas (Panwas) Kecamatan Grogol Petamburan, pun membenarkan pada Pemilu Presiden 2014 sempat
ada kisruh data terkait penghuni apartemen
karena proses pemutakhiran data yang tidak valid.20
Sebagaimana diketahui, keterbatasan surat suara di TPS untuk pemilih di luar
DPT sesuai peraturan, sehingga kejadian
Pemilu 2014 pemungutan suara di apartemen tidak boleh lagi terulang, mengingat jumlah data pemilih yang tercantum
dalam DPT sesuai dengan kelengkapan
logistik dan kertas suara yang disediakan.
Kekhawatiran ini yang harus diantisipasi
oleh PPS di beberapa TPS agar tidak muncul kesan adanya mobilisasi pemilih yang
menyerbu TPS sekitar apartemen tanpa
terdaftar dalam DPT. Sebagaimana yang
pernah dialami di Jakarta Utara, seperti
Apartemen Gading Nias, sejumlah pemilih
ricuh akibat kehilangan hak pilih karena
tidak terdaftar dalam DPT.21
Meskipun tahapan Coklit sudah
selesai sejak 8 Oktober, namun dari sejumlah kerumitan teknis pencarian penduduk pemilih di Ibukota, khususnya di
berbagai DW seperti rusun dan apartemen,
pada akhirnya membuat KPU melanjutkan
kembali Coklit. Seperti pembukaan posko
pendaftaran di DW Rawa Bebek, Cakung,
Jakarta Timur sejak 17 Oktober hingga
selama sepekan, karena masih banyaknya
korban relokasi yang belum terdaftar pada
saat Coklit.22 Respon KPU atas kejadian
pembongkaran permukiman warga di
wilayah Bukit Duri yang tidak semuanya
direlokasi ke Rawa Bebek tersebut, melalui
21
18
42
Ketua KPU DKI, Sumarno, memberikan alternatif solusi akan didirikan TPS di bekas
wilayah gusuran tersebut.23
07DXN.HWXD'3'3DUWDL*HULQdra DKI Jakarta, mengapresiasi solusi pengadaan TPS di wilayah bekas penggusuran
agar rakyat tidak kehilangan hak pilihnya
karena keharusan memilih sesuai domisili
sebagaimana peraturan perundang-undangan. Namun kritiknya pada KPU dinilai belum sepenuhnya transparan dan terbuka
terhadap persoalan yang dihadapi seperti
Coklit yang terkesan lamban dan melewati
batas waktu akibat persoalan kependudukan tersebut. Meski Coklit sudah selesai sesuai jadwal yang diatur KPU, namun hingga kini PPDP masih melakukan Coklit di
berbagai tempat, khususnya wilayah bekas
penggusuran, seperti di kawasan Kalijodo dan Kamung Aquarium.24 Menurutnya
sudah mestinya KPU menjelaskan kepada
publik secara detil atas data penduduk
yang masih amburadul tersebut, sehingga kemudian masyarakat, atau partai-partai
politik maupun relawan pendukung bakal
Cagub dan Cawagub yang ada memahami
permasalahan yang dihadapi KPU untuk
dapat dijadikan pertimbangan dan masukan
di lapangan.
0DVLK PHQXUXW 7DXN 'LVGXNFD
pil DKI juga harus ikut bertanggung jawab
terhadap warga yang tergusur tersebut mengenai nasib data identitas kependudukannya, bukan sekadar layanan pengurusan
administrasi kependudukan hanya bagi mereka yang direlokasi ke rusun. Kewajiban
Disdukcapil bukan sekadar menunggu jika
diminta bantuan oleh KPU DKI, tetapi keharusan berinisiatif melaksanakan tugasnya
sesuai kewenangannya, mengingat sudah
menjadi kewajibannya sesuai peraturan
perundang-undangan untuk menyediakan
layanan data kependudukan valid yang di23
24
26
27
43
wa dari 7.389.470 warga DKI yang wajib
ber-KTP elektronik, baru 7.242.917 orang
(98,02%) yang sudah melakukan perekaman, sedangkan yang belum melakukan perekaman sebanyak 1,98% atau sejumlah
146.563 warga. Sedangkan warga yang
identitasnya ganda sebanyak 82.000-an.
Sedangkan hasil temuan KPU DKI
sesuai hasil Coklit yang direkapitulasi sebanyak 504.610 warga pemilih potensial
non-KTP elektronik. Sedangkan hasil rekapitulasi DPS terdapat sebanyak 7.132.856
pemilih, sebagaimana pada tabel 5 dan 6.
Dengan demikian terdapat perbedaan angka pemilih sebagai warga DKI yang
telah merekam identitasnya pada e-KTP
yang tercantum dalam DPS dan warga
pemilih non-e-KTP dengan angka penduduk e-KTP dan belum e-KTP sebagaimana
di atas. Perbedaan ini dimaklumi, karena
data pemilih masih berupa DPS yang mesti diperbaiki, namun masalah data base
kependudukan merupakan dilema tersendiri
karena menyangkut status kependudukan
secara yuridis.
Dalam suatu kesempatan, Ketua
KPU DKI Jakarta, Sumarno, mengatakan
warga Ibukota yang belum memiliki e-KTP
tetap dapat mengikuti Pilkada 2017 melalui
pendataan KPU, agar mendapatkan surat
keterangan dari Disdukcapil untuk memastikan bahwa semua warga Jakarta mendapat hak pilihnya. Masih menurut Sumarno, warga yang belum memiliki e-KTP
akan didata dan dikoordinasikan dengan
'LVGXNFDSLOXQWXNGLPLQWDLNODULNDVLEDKwa yang bersangkutan dapat menggunakan
hak pilihnya dalam pemilu.28 Lalu Disdukcapil akan membuat surat keterangan yang
menyatakan sudah merekam data, tetapi
e-KTP belum dicetak atau menyatakan
Pernyataan Ketua KPU DKI bahwa bagi warga yang belum
memiliki E-KTP DKI pernah diungkap dalam RDP Komisi
A DPRD DKI Jakarta, 6 September 2016. Hal tersebut juga
diucapkan dalam berbagai kesempatan yang lain. Diberitakan
pula dalam Suara Karya, 19 September 2016.
28
44
yang bersangkutan warga DKI. Menurut- DPS dikeluarkan dan yang bersangkutan tinya surat keterangan tersebut memiliki ke- dak terdaftar tetap dapat memilih kelak. Di
Tabel 5. Jumlah Pemilih Hasil Rekapitulasi DPS
Jumlah
Kabupaten/Kota
Jumlah TPS
6
Sumber: KPU DKI, 2016
13.067
L+P+N
3.576.091
3.556.765
7.132.856
Jumlah TPS
Kabupaten/Kota
6
12.847
Sumber: KPU DKI, 2016
sinilah peran KPU memberikan keleluasaan bagi warga dalam konteks mendorong
penduduk pemilih dan bukan dalam konteks penduduk Suket sebagai warga DKI.
Dalam pengusulan Suket, KPU
harus cermat mendeteksi warga sudah melakukan perekaman e-KTP namun tidak
memiliki surat keterangan, misalnya surat
bukti perekaman yang dijadikan bukti pengusulan atau berdasarkan data pemilih
yang telah dicoklit belum menunjukkan e.73 GHQJDQ GLNRQUPDVL NH 'LVGXNFDSLO
untuk diuji ketunggalan data kependudukan secara nasional.
Hal yang berbeda jika warga yang
belum melakukan perekaman, KPU memberikan sosialisasi atau imbauan agar warga melakukan perekaman terlebih dahulu
untuk dapat menggunakan hak pilih. Jika
harus dipaksakan didaftarkan dalam data
pemilih yang diajukan Suket ke Disdukcapil, maka yang harus dilibatkan adalah
keterangan domisili yang bersangkutan seEDJDL ZDUJD '., PHODOXL NRQUPDVL 57
RW. Ini pun berlaku khusus, hanya bagi
penduduk pemilih pemula yang bakal memasuki usia 17 tahun menjelang pemungut-
45
46
KPU Provinsi DKI Jakarta No. 05/ kpts/
KPU-Prov-010/Tahun 2016 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan
Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur
Provinsi DKI Jakarta Tahun 2017.
Lembar Berita Acara KPU Provinsi
DKI Jakarta Nomor: 122/BA/XI/2016 tentang Rekapitulasi Daftar Pemilih Sementara (DPS) Pemilihan Gubernur dan Wakil
Gubernur DKI Jakarta Tahun 2017.
Sumber Berita
Warta Kota, 18 Agustus 2016
47
Keywords: Voter Participation, Democracy Success Parameters, Jakarta Governor Election 2017.
alah satu dari banyak persoalan dalam pemilihan umum adalah dalam
hal jumlah partisipasi masyarakat untuk ikut datang dan memilih di TPS-TPS
yang sudah di tentukan. Penyelenggara
pemilu, dalam hal ini KPU, sesuai dengan
tahapan penyelenggaraan, tentunya sudah
melakukan banyak hal yang ditujukan pada
peningkatan atau minimal tingkat partisipasi masyarakat masih dalam kisaran yang
baik, guna kepentingan legitimasi hasil pemilihan umum.
Legitimasi atas hasil pemilihan
umum pastinya tidak ditentukan oleh seberapa banyak tingkat partisipasi politik
masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya, melainkan dari sisi profesionalitas
penyelenggaraan dan azas penyelenggaraan Pemilu. Tetapi, biasanya tingkat keberhasilan penyelenggaraan pemilihan umum
dapat dinilai dari seberapa besar tingkat
partisipasi (turn-out) masyarakat. Semakin
besar kisaran turn-out, semakin baik penyelenggaraan pemilihan umum.
Untuk kepentingan peningkatan
partisipasi masyarakat itulah KPU bekerja
dan mengoptimalkan seluruh sumber daya
yang dimiliki melalui kegaitan-kegiatan
48
lah pemilihdibulatkan ke atas. Pada tahun
2007, sebanyak 5.719.000 tingkat partisipasi ada di 65%. Pada tahun 2012 tingkat partisipasi meningkat hanya 2% yakni
pada angka 67%, tetapi dengan pertambahan pemilih sebanyak lebih dari 1.243.000
dibanding pada tahun 2007. Tentunya angka-angka ini menunjukkan bagaimana masyarakat Jakarta berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemilihan umum.
Untuk kepentingan supaya tingkat
partisipasi semaikin baik dan semakin tinggi, tentunya juga harus dilihat beberapa faktor yang secara langsung mempengaruhinya. Tak elok jika beban itu ditanggung
sendiri oleh penyelenggara pemilu. Karena,
sebagai penyelenggara pemilihan umum,
materi yang dimiliki oleh KPU Provinsi
DKI juga bergantung pada instansi lain,
seperti Pemerintah Daerah, meskipun secara rata-rata nasional, angka tingkat partisipasi masyarakat di DKI Jakarta adalah
berada dalam kisaran rata-rata, yang artinya tidak terlalu buruk, tetapi tetap diperlukan adanya usaha bersama untuk semakin
menciptakan penyelenggaraan pemilihan
umum yang lebih baik. Untuk itu, berikut
adalah penjelasan beberapa faktor-faktor
lain yang berpengaruh atas angka-angka
partisipasi di atas dan upaya perbaikan atau
peningkatan tingkat partisipasi masyarakat
dalam Pilgub DKI tahun 2017 mendatang.
Sistem Administrasi Kependudukan
Kira-kira sejak tahun 2005, Pemerintah Pusat sudah mengajukan dan menginisiasi program adminsitrasi kependudukan secara nasional. Merujuk pada Pemilihan Umum Legislatif dan Pemilu Presiden
secara langsung pada tahun 2004, dimana
data pemilih untuk Pemilu saat itu bisa
dikatakan tidak begitu baik dan membuat
KPU agak kewalahan dalam menentukan Daftar Pemilih Tetap (DPT), dilakukan
49
diantisipasi potensi bertambahnya jumlah
pemilih pada Pemilu Gubernur dan Wakil
Gubernur DKI Jakarta tahun 2017, yang
pastinya akan berdampak pada tingkat partisipasi masyarakat dalam Pilgub.
Manajemen Penyelenggaraan Pemilihan
Umum Gubernur/Wakil Gubernur
Sebagai penyelenggara Pemilihan
Umum Gubernur/Wakil Gubernur, KPU
Provinsi DKI Jakarta juga mungkin perlu
memikirkan cara-cara non-konvensional
dalam menyelenggarakan kegiatan-kegiatan sosisalisasi dan diseminasi informasi,
selain model-model yang sudah baku atau
lazim, tentunya juga harus berlandaskan
pada azas penyelenggaraan Pemilu seperti
fairness dan profesionalitas. Tujuan dari
kegiatan diseminasi informasi adalah selain
pada tercapainya informasi kepada khalayak, juga merupakan bagian dari manajemen penyelenggaraan Pemilu yang pada
tujuan akhirnya adalah peningkatan tingkat
partisipasi pemilih. Provinsi DKI Jakarta praktis tidak memiliki hambatan faktor
JHRJUDV VHSHUWL 3URYLQVL ODLQQ\D MDGL
sangatlah wajar jika angka partisipasi masyarakatnya pada Pilgub kali ini meningkat. Terkecuali jika terdapat apatisme yang
cukup tinggi. Dan ini menjadi tantangan
yang harus dijawab oleh setiap penyelenggara Pemilu.
Pola baku yang lazim digunakan
pada penyelenggaraan Pilgub sebelumnya,
seperti menggunakan media sebagai sarana
penyebaran informasi, meskipun sasarannya jelas, tetap perlu dilakukan upaya-upaya lain untuk memperkuat dan memperluas
cakupan informasi tentang penyelenggaraan pemilihan umum. Saat ini, sebagai contoh saja, model penyampaian informasi
melalui sarana media, meskipun tetap dipercayai sebagai model yang paling luas,
tetap saja diperlukan cara-cara lain yang
50
dapat mengisi celah yang ditinggalakan
oleh media konvensional. Sarana media sosial dan kegiatan kegaiatan yang bersifat
blow up-media, dalam beberapa kasus lebih
efektif daripada model-model baku yang
pernah ada, bergantung pada masing-masing target-group (kelompok sasaran) yang
dijadikan tujuan.
Menggunakan sarana kegiatan lain
selain yang sudah lazim digunakan, selain
memperluas cakupan diseminasi infomasi
juga pada saat yang bersamaan memperluas
audience dari kelompok-kelompok sasaran
yang dijadikan tujuan. Secara umum, KPU
yang memiliki struktur sampai tingkat masyarakat paling bawah juga semestinya memanfaatkan faktor struktur ini dalam memperkuat dan memperluas capaian kegiatan
yang dilakukan. Dari mulai tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan sampai
Kelurahan adalah modal yang begitu besar dalam melaksanakan kegiatan pemilihan umum. Toh, dalam setiap pelaksanaan
kegiatan kepemiluan di DKI Jakarta, KPU
selalu melibatkan organ yang dimiliki. Jadi
secara teknis, tidaklah menjadi sulit dalam
memperluas cakupan sebaran informasi.
Apalagi seperti disebut di atas sebelumnya,
DKI Jakarta tidaklah memiliki hambatan
IDNWRU JHRJUDV \DQJ OHELK PHPXGDKNDQ
dalam menyelenggarakan kegiatan pemilihan umum semestinya.
Manajemen Kampanye dan Birokrasi
Negara
Pemilu Gubernur tahun 2017 yang
akan datang merupakan Pilgub yang ketiga sejak pertama kali dilaksanakan tahun
2007. Tetapi kali ini ada yang cukup berbeda dalam hal pelaksanaan kampanye.
Kali ini KPU lebih banyak mengatur tentang pelaksanaan kampanye sebagaimana
dijabarkan dalam Peraturan Komisi Pemillihan Umum (PKPU) Nomor 10 Tahun
51
52
lainnya. Selain itu, DKI Jakarta juga tidak
PHPLOLNLWLQJNDWNHVXOLWDQJHRJUDVVHJDOD
fasilitas negara ada di DKI Jakarta, maka
ukuran kesuksesan penyelenggaraan Pilgub
adalah dalam hal angka/tingkat partisipasi
masyarakat dalam Pemilihan Umum Gu-
bernur/Wakil Gubernur yang akan dilakanakan pada tanggal 15 Februri 2017. Dan
itu bukanlah menjadi tanggung jawab KPU
Provinsi DKI Jakarta sendiri, tapi juga
menjadi kewajiban seluruh kelompok pemangku kepentingan di Jakarta. (*)
53
54
Bawaslu, yang oleh undang-undang diberikan tugas mengawasi segala hal terkait
proses Pemilu. Fungsi kontrol juga tetap
diperankan warga negara melalui apa yang
disebut pemantauan Pemilu. Pertanyaannya, bagaimana relasi pengawas dan pemantau Pemilu dalam menjalankan fungsi
kontrol terhadap pemilihan umum yang jujur dan adil?
Menurut Nur Hidayat Sardini, pengawasan tidak dapat diidentikkan dengan
55
Pilkada sangat penting. Karenanya, model
pengawasan seperti itu harus dikembangkan. Dilihat dari segi kedudukannya, pengawasan partisipatif ialah pengawasan
yang bersifat eksternal. Pengawasan bersifat eksternal adalah pengawasan yang
dilakukan terhadap pemerintah oleh organisasi atau lembaga-lembaga yang dibuat
masyarakat yang secara struktural berada di
luar lingkungan pemerintah. Pengawasan
partisipatif ialah juga suatu pengawasan
yang melibatkan peran masyarakat untuk
ikut andil dalam pengawasan suatu kegiatan
pemerintah secara kritis dan aktif, seperti Pilkada. Pengawasan oleh Bawaslu dan
pengawasan partisipatif oleh masyarakat
akan mewujudkan pengawasan yang optimal, Sehingga dapat terselenggara Pilkada
yang jujur dan adil, berjalan sesuai dengan
regulasi yang ada.8
Berdasarkan amanat Undang-undang No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilu, Bawaslu diberikan mandat
untuk menjalankan fungsi pengawasan.
Namun dalam konteks pengawasan, Bawaslu sebagai struktur yang terlembaga
memiliki keterbatasan, yakni kurangnya
jumlah personal dalam Bawaslu untuk mengawasi jalannya proses Pilkada, sehingga membutuhkan partisipasi masyarakat
yang aktif dan kritis serta ikut terlibat dalam pengawasan proses Pilkada. Partisipasi
masyarakat dalam pengawasan Pilkada, diharapkan dapat mencegah terjadinya segala
bentuk pelanggaran terhadap proses jalannya Pilkada di Indonesia.9
Pengawasan Partisipatif
Anggota Badan Pengawas Pemilu
(Bawaslu), Endang Wihdaningtyas menilai, Peran Masyarakat dalam Pengawasan
pengawasan partisipatif untuk pelaksanaan Partisipatif
Sunarto, K., Pengantar Sosiologi, 2004. Jakarta: Lembaga
Seiring dengan dinamika dan proPenerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Hml. 54.
blematika
Pilkada yang semakin kompleks,
M. Budiardjo, 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta:
4
56
perlu kita sadari bahwa dalam pengawasan
terhadap proses Pilkada, tidak bisa hanya
bertumpu pada pengawasan yang dilakukan oleh pengawas Pemilu (Bawaslu), melainkan juga memerlukan partisipasi dan
peranan dari masyarakat. Pertanyaannya,
mengapa partisipasi masyarakat dalam
Pilkada menjadi penting? Jawaban yang
paling mudah dan juga sulit untuk diperdebatkan adalah karena adanya amanat dari
peraturan perundang-undangan. Yaitu, UU
No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota pasal 131 menyatakan, bahwa untuk mendukung kelancaran
penyelenggaraan pemilihan dapat melibatkan partisipasi masyarakat.
Selain pertimbangan yuridis, terdapat juga beberapa pertimbangan empiris antara lain: pertama, adanya kecenderungan
partisipasi masyarakat menurun, sedangkan
kecenderungan untuk tidak menggunakan
hak pilihnya (Golput) meningkat. Kedua,
kecenderungan masyarakat tidak memiliki
sense belonging dan sense participation,
hal ini bisa disebabkan karena masyarakat
seringkali dijadikan objek oleh parpol peserta Pilkada, yang dibutuhkan hanya menjelang pemilihan. Marginalisasi politik masyarakat ini sudah sampai pada tahap yang
mengkhawatirkan, sehingga menyebabkan
perilaku politik mereka terkesan menjadi
pragmatis dan apatis. Untuk mengubah
situasi ini, paling tidak masyarakat harus
diposisikan dan dilibatkan sebagai subyek
Pilkada, tidak lagi menjadi obyek Pilkada.
Tingkat minimal pelibatan masyarakat adalah menggiring dan mengubah partisipasi
masyarakat yang pasif menjadi partisipasi
aktif dalam pengawasan Pilkada di Indonesia.
Ketiga, jumlah personil dalam Bawaslu relatif sedikit, sehingga menyebabkan pengawasan terhadap proses Pilkada
57
pilihnya kepemimpinan politik yang sesuai
dengan aspirasi terbesar rakyat Indonesia.
Adapun bentuk-bentuk kegiatan
yang dapat melibatkan masyarakat untuk
ikut berpartisipasi, menurut Minan kegiatan-kegiatan tersebut dapat berupa antara lain:
Ikut memantau pelaksanaan Pemilu,
agar terwujudnya pelaksanaan Pemilu yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Ikut serta, aktif dan kritis dalam kajian-kajian terhadap persoalan kepemiluan atau dalam Pilkada.
Ikut mencegah segala bentuk pelanggaran Pemilu sesuai dengan peran sosial
masing-masing.
Harus melaporkan segala bentuk pelanggaran Pemilu/Pilkada.
Menyampaikan dugaan adanya informasi tentang pelanggaran Pemilu/
Pilkada.
Mendukung tercipanya ketaatan peserta Pemilu dan penyelengggara Pemilu
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan untuk strategi, metode
serta langkah selanjutnya dapat dilakukan
hal-hal sebagai berikut:
Bawaslu membuat desain pengawasan
partisipatif sebagai bentuk pedoman
atau bekal yang mudah dipahami
bagi pengawas pemilu dan bagi penggiat-penggiat demokrasi laninnya, untuk melakukan tugas yang mulia ini.
Mengadakan kajian-kajian terhadap
persoalan dalam Pemilu atau Pilkada.
Bawaslu harus memberikan petunjuk
atau pedoman atas perlindungan yang
diberikan kepada masyarakat yang melaporkan pelanggaran atau dugaan informasi pelanggaran yang terjadi dalam
proses pelaksanaan Pemilu/Pilkada.
Bawaslu Provinsi/Kabupaten/Kota pun
58
14
Http://Kesbangpol.Kemendagri.Go.Id/Files_Uploads/
Paparan_Bawaslu.Pdf, (Diakses Pada 07 Oktober 2015). Langkah
Strategis Bawaslu Dalam Optimalisasi Pengawasan, Eksternal
15
59
beri kesempatan untuk ikut serta membuat keputusan politik dalam penentuan
pemimpin di daerah masing-masing.16
Keputusan politik bukan hanya memberikan hak suara, tetapi juga ikut serta
dalam pengawasannya. Hal ini didasarkan pada beberapa kendala diantaranya
keterbatasan struktur dan jumlah pengawas.
Apabila kita belajar dari pemilihan
umum sebelumnya yang diatur di UU
No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilu dalam pasal 72 tersebut
ditetapkan, jumlah anggota Bawaslu RI
sebanyak 5 orang, Bawaslu Provinsi sebanyak 3 orang, Panwaslu Kabupaten/
Kota dan Panwascam sebanyak 3 orang
dan Pengawas Pemilu Lapangan (PPL)
hanya berjumlah 1-5 orang per desa/
kelurahan.17 Sedangkan di dalam UU
No. 8 Tahun 2015 diatur, bahwa setiap TPS dapat diawasi oleh pengawas
pemilihan lapangan dan satu pengawas
TPS. Di sisi lain, pengawasan terhadap
pelaksanaan pemilihan umum tidak hanya pada saat pemilihan saja, tapi dari
masa kampanye pengawasan harus tetap dijalankan. Sehingga di sini peran
masyarakat dirasa perlu untuk menjamin pelaksanaan pemilihan umum
kepala daerah yang sesuai dengan azasazas yang ada.
Tingkat partisipasi masyarakat. Pengalaman Pemilu 2014 Pelaksanaan
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
2014 menunjukkan keberhasilan pengawasan partisipatif masyarakat, pengawasan partisipatif yang dikembangkan oleh Bawaslu tersebut dirasa
cukup efektif untuk dapat melakukan pengawasan maksimal termasuk
16
Septi Nur Wijayanati, 2013. Keterlibatan Partai Politik Dalam
Pemilihan Kepala Daerah. Jurnal Konstitusi, Vol. II No.1, Hal. 8.
17
Http://Nasional.Sindonews.Com/Read/816986/12/BawasluKekurangan-Tenaga-Pengawas-Pemilu-1387028215, (Diakses
Pada 5 Oktober 2016).
18
60
61
hal ini akan menjadi pilihan yang sulit
bagi pengawas partisipatif antara harus
aktif atau tidak, disebabkan belum terwujudnya perlindungan yang pasti bagi
pelapor.
Kesimpulan dan Saran
a) Kesimpulan
Pelaksanaan Pemilihan Gubernur
dan Wakil Gubernur secara langsung merupakan perwujudan demokrasi dan kedaulatan rakyat. Disinilah rakyat diberi
kesempatan untuk ikut serta membuat keputusan politik dalam penentuan pemimpin
di daerah masing-masing. Keputusan politik bukan hanya memberikan hak suara,
tetapi juga ikut serta dalam pengawasannya. Peran pengawasan masyarakat dalam
Pilkada sangat dibutuhkan, hal tersebut didasarkan beberapa kendala yang dihadapi
Bawaslu selaku pengemban amanah untuk
melakukan pengawasan Pilkada. Diantaranya terbatasnya pengawas pemilu yang terDOLDVL GHQJDQ %DZDVOX 1DPXQ EHODMDU
dari Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden, telah terbukti, masyarakat mampu
berperan aktif dalam mengawasi jalannya
Pilkada serentak. Hal tersebut dibuktikan
dengan banyaknya gerakan relawan seperti JPPR, Gerakan Sejuta Pengawas Pemilu
yang dibentuk oleh Bawaslu dan maupun
gerakan sukarela pengawasan lainnya yang
dibentuk oleh masyarakat.
b) Saran
Berdasarkan penjelasan di atas, telah
menyinggung beberapa hal, terkait dengan
tantangan yang dihadapai oleh masyarakat
dalam pengawasan partisipatif masyarakat.
Hendaknya persoalan-persoalan di atas dikaji dan dibahas bersama oleh semua aspek, khususnya masyarakat dan pengawas
Pemilu, sehingga dapat menemukan solusi
atau jalan keluar dari persoalan-persoalan
62
63
64
Penetapan Peserta Pilkada DKI Jakarta 2017 di Balai Sudirman, 24 Oktober 2016
65
Deklarasi Kampanye Damai Pilkada DKI 2017 di Silang Monas, 29 Oktober 2016
Kaban Kesbangpol DKI Jakarta Dr. Ratiyono, MMSi beserta Jajaran Bidang
Politik dan Demokrasi Kesbangpol DKI menghadiri Deklarasi Kampanye Damai,
29 Oktober 2016
66
Paslon Nomor Urut 1 Mengikuti Pawai Kampanye Damai Pilkada DKI 2017,
29 Oktober 2016
Paslon Nomor Urut 2 Mengikuti Pawai Kampanye Damai Pilkada DKI 2017,
29 Oktober 2016
67
68
Paslon Nomor Urut 3 Mengikuti Pawai Kampanye Damai Pilkada DKI 2017,
29 Oktober 2016