Anda di halaman 1dari 72

No. ISSN 2548-6934 Vol. 5 No.

2-2016

No. ISSN 2548-6934 Vol. 5 No.2-2016

Jurnal Demokrasi | Edisi 2016


REDAKSI
JURNAL DEMOKRASI
Pemimpin Umum:
Arnal Sulaeman

Penasihat:
Dr. H. Ratiyono, MMSi
(Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan
Politik Provinsi DKI Jakarta)

Pengarah:
Drs. Almer Nainggolan, MAP
R. Boge Arianto, S.Ikom, M.Pd

Dewan Redaksi:
Drs. Tumpal Datner, MM
Mazhar Setiabudi, S.Sos, M.Si
Handoko Murhestriarso, S.KM, ME
Rasminto, M.Pd

Editor:
Rasminto, M.Pd

Layout:
Ditirta P. Ramadana
Fatah H. Sidik

Penerbit:

Bakesbangpol DKI bekerjasama


dengan Jaringan Komunikasi Pelajar
Pemuda Jakarta
Jl. Kramat Jaya Gg. V Blok C
RT 010 RW 013 No.10
Semper Barat, Cilincing,
Jakarta Utara
Telepon: (021) 4411 318
Email: dki.jkpj@yahoo.com

i
DAFTAR ISI

Potret Demokrasi Jakarta Menjelang Pilgub DKI 2017


Dr. H. Ratiyono, MMSi
(Kepala Bakesbangpol DKI Jakarta) hal 1

Mewujudkan Pilkada Serentak Gelombang Kedua yang


Demokratis dan Berintegritas
Ir. Ahmad Riza Patria, MBA
(Wakil Ketua Komisi II DPR RI) hal 7

Pilgub DKI 2017: Suramnya Demokrasi Lokal?


Prof Dr. R Siti Zuhro, MA
(Peneliti Utama LIPI) hal 15

Ketika Calon Kepala Daerah Menjadi Tersangka


Sumarno
(Ketua KPUD DKI Jakarta) hal 25

Mencermati Tahapan Pencarian Data Pemilih


Pilgub DKI 2017
Rahmatullah, M.Si
(Dosen Unindra Jakarta) hal 31

Mendorong Partisipasi Pemilih pada Pilgub DKI Tahun


2017
(Pendiri KIPP) hal 47

Pengawas Pemilu dan Peran Masyarakat dalam


Pengawasan Partisipatif: Peluang dan Tantangan
Puadi, S.Pd, MM
(Ketua Panwaslu Jakarta Barat) hal 53

Dokumentasi Pilkada Damai DKI 2017


hal 63

Jurnal Demokrasi | Edisi 2016

ii

KATA PENGANTAR
Menjelang 3 (tiga) bulan menuju Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta pada
15 Februari 2017, sudah terasa hangat suhu politiknya. Pada kontestasi ini, ada 3 (tiga)
pasangan calon yang diusung, yakni nomor urut 1 pasangan calon Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni yang diusung Partai Demokrat, PAN, PKB, dan PPP; nomor
urut 2 pasangan calon petahana Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat diusung
Golkar, Nasdem, Hanura, dan PDI Perjuangan; dan pasangan calon nomor urut 3 Anies
Rasyid Baswedan-Sandiaga Salahuddin Uno yang diusung Partai Gerindra dan PKS.
Pada edisi kali ini, ada 7 orang penulis berkompeten dalam bidang masing-masing
yang terdiri dari tokoh birokrat, anggota dewan, peneliti, akademisi, dan penyelenggara
Pilgub DKI sendiri. Artikel pertama berjudul Potret Demokrasi Jakarta Menjelang
Pilgub DKI 2017 sebagai tulisan pembukaan oleh Dr. Ratiyono, MMSi (Kepala Bakesbangpol DKI Jakarta) dengan mengupas perkembangan demokrasi berdasarkan pengukuran Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) dan kesiapan menghadapi pemilihan kepala daerah
sebagai wujud demokrasi politik lokal.
Artikel kedua berjudul Mewujudkan Pilkada Serentak Gelombang Kedua yang
Demokratis dan Berintegritas pada Tahun 2017 oleh Ir. Ahmad Riza Patria, MBA
(Wakil Ketua Komisi II DPR RI), mengupas evaluasi pelaksanaan Pilkada serentak gelombang pertama tahun 2015, putusan-putusan MK terkait peraturan perundang-undangan Pilkada dan permasalahan pelaksanaan Pilkada dari sisi keamanan, anggaran, dan
partisipasi pemilih dalam mewujudkan Pilkada yang demokratis dan berintegritas. Artikel
ketiga berjudul Pilgub DKI 2017: Suramnya Demokrasi Lokal? oleh Prof Dr. R Siti
Zuhro, MA, mengulas analisis Pilgub DKI Jakarta dalam kaitannya dengan pembangunan demokrasi lokal, dimana masih belum terbangunnya kaderisasi calon pemimpin dari
internal partai. Artikel keempat berjudul Ketika Calon Kepala Daerah Menjadi Tersangka oleh Sumarno (Ketua KPUD DKI Jakarta), menelaah secara singkat berdasarkan
perspektif peraturan perundang-undangan dan Peraturan KPU bagaimana implikasinya
jika seorang calon kepala daerah ditetapkan sebagai tersangka.
Artikel kelima berjudul Mencermati Tahapan Pencarian Data Pemilih Pilgub DKI 2017 oleh Rahmatullah, M.Si (Dosen Unindra Jakarta), mengulas permasalahan
pencarian dan pemutakhiran data pemilih. Artikel keenam berjudul Mendorong Parti(Pendiri KIPP), mengupas
sipasi Pemilih pada Pilgub DKI Tahun 2017
persoalan tingkat partisipasi pemilih sebagai indikasi pelibatan dan kesadaran masyarakat
dalam berdemokrasi. Dan artikel terakhir berjudul Pengawas Pemilu dan Peran Masyarakat dalam Pengawasan Partisipatif: Peluang dan Tantangan oleh Puadi (Ketua
Panwaslu Jakarta Barat), membahas pelibatan aktif masyarakat dalam pengawasan Pilgub
DKI Jakarta sebagai bentuk dari pengawasan partisipatif.
Semoga semua artikel dalam Jurnal Demokrasi edisi kali ini dapat bermanfaat dalam memberikan informasi, pencerahan dan pengetahuan dalam mewujudkan Pilgub DKI
Jakarta yang demokratis dan berintegritas.
Jakarta, 23 November 2016
Rasminto, M.Pd

iii

Jurnal Demokrasi | Edisi 2016

POTRET DEMOKRASI JAKARTA MENJELANG


PILGUB DKI 2017
Oleh Dr. H. Ratiyono, MMSi.
Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik DKI Jakarta
Abstract
Images Democracy Election Candidate Pairs Jakarta Governor and Vice Governor of DKI Jakarta in 2017 describes the
development of democracy is based on the measurement of Indonesian Democracy Index (IDI) and the preparedness of the
local elections as aw form of local political democracy that
puts Jakarta as a political barometer of democracy in Indonesia.
Keywords: Indonesian Democracy Index and Governor Jakarta Election.
Merawat Demokrasi
tis untuk tumbuh kembangnya negara
alam demokrasi kehendak rakyat demokrasi. Praktik atas perilaku politik
adalah dasar utama bagi otoritas tersebut terkait dengan nilai-nilai demokranegara demi tegaknya legitimasi si yang dipegang teguh atau tumbuh sebagai
kekuasaan dalam sistem politik. Keabsahan kesadaran politik sehingga akan membenpolitik dalam bangunan negara demokrasi tuk budaya atau kultur demokrasi. Sehingdicerminkan oleh dukungan rakyatnya da- ga, negara atau pemerintahan memiliki perlam upaya mewujudkan aspirasi politik formance demokrasi karena sokongan yang
kuat dari rakyat maupun elite dan pejabat
yang dijamin sesuai koridor konstitusi.
Demokrasi tidak sekedar suatu ben- politik yang dipilihnya.
Di sinilah pelaku demokrasi memituk pemerintahan melainkan sebagai sistem
politik yang keberadaannya menuntut ber- liki keharusan mendorong keterbukaan
bagai prosedur yang mesti dipenuhi dalam dan akuntabilitas dalam berbagai institusi
berbagai aspek seperti kebebasan hak sipil, demokrasi, termasuk lembaga negara atau
dan politik serta supremasi hukum yang badan pemerintahan dengan menggerakkan
diperlukan bagi pelembagaan atau institu- birokrasi yang sejalan dengan tuntutan aspirasi publik. Karena kepemimpinan dan
sionalisasi demokrasi.
Kehadiran demokrasi perlu dito- perwakilan politik dalam kontestasi politik
pang oleh pandangan hidup dan perilaku yang diperebutkan di tengah arena sirkulapolitik yang demokratis dari individu atau si demokrasi bernama Pemilu berdampak
warga negara selaku pemilik kedaulatan. pada pilihan dan penilaian publik.
Sebab, demokrasi sebagai struktur politik
Desentralisasi politik pasca tunsulit berkembang tanpa mendapatkan sup- tutan gerakan reformasi telah menggeser
port dari warga negara dan pelaku politik paradigma daerah untuk masuk pada perdemokrasi. Demokrasi sejatinya memerlu- caturan politik demokrasi di tingkat lokal.
kan perilaku atau praktik politik demokra- Daerah-daerah berkesempatan besar untuk

2
iv
mengaktualisasikan potensi kekayaan alam
dan kependudukan yang dimilikinya dengan mendorong partisipasi rakyat dalam
membangun kesejahteraan wilayahnya secara berkeadilan dan demokratis.
DKI Jakarta sebagai daerah di pusat pemerintahan menjadi medan magnet
yang menarik dari berbagai kutub kepentingan politik demokrasi. Faktanya, setiap hajatan demokrasi baik secara nasional
maupun kejadian politik di tingkat lokal,
Jakarta menjadi wilayah yang paling banyak menyedot perhatian publik. Meskipun
Jakarta kota yang minim kekayaan sumber
daya alam, namun SDM penduduk potensial yang terus memadatinya menjadi aset
Ibukota yang terus bersolek sebagai pusat
bisnis dan perekonomian. Sebagai wilayah
miniatur keindonesiaan, Jakarta yang terus
menata pembangunannya, kini tengah diuji
reputasinya sebagai barometer politik nasional.
Dibalik prestasi demokrasi yang
berhasil dicapai Jakarta sebagai daerah
dengan Kategori Baik dan Tertinggi
melalui hasil perolehan Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) sepanjang tahun, kini
realitas Jakarta dihadapkan pada pesta
demokrasi lokal bernama pemilihan kepala daerah secara langsung ketiga kalinya,
yakni Pilgub 2017. Konon sejumlah politisi nasional menyebut bahwa ajang Pilgub
Jakarta 2017 kali ini seperti Pilkada Rasa
Pilpres.
Perkembangan Hasil IDI DKI Jakarta;
Sebuah Reputasi Demokrasi
Perkembangan terkini, tingkat demokrasi suatu negara telah diukur menurut
capaian suatu indeks demokrasi menurut
pengukuran indikator pada variabel dari
berbagai aspek demokrasi secara kuantitatif. Pengukuran indeks tersebut dirumuskan
sesuai konsep-konsep demokrasi yang te-

Jurnal Demokrasi | Edisi 2016


lah disederhanakan dalam bentuk variabel
operasional yang dapat diukur secara ilmiah. Bahwa suatu negara dapat disebut paling demokratis, cukup demokratis hingga
kurang demokratis, berdasarkan parameter
demokrasi yang diukur. Sebagaimana Freedom House yang melakukan pengukuran
tingkat demokrasi negara-negara melalui
skoring atas variabel-variabel demokrasi
seperti kebebasan sipil dan politik, maka
di Indonesia kini terdapat pengukuran
tersendiri bernama Indeks Demokrasi Indonesia (IDI).
IDI digunakan di Indonesia untuk
melihat perkembangan demokrasi melalui
pengukuran keadaan demokrasi di tiap-tiap provinsidi seluruh Indonesia sehingga bisa diketahui tingkat demokratisnya
masing-masing provinsi tersebut, kemudian diakumulasi sesuai agregasi capaian
rata-rata keseluruhan. Dengan demikian
diperoleh angka rata-rata secara nasional
untuk melihat capaian demokrasi Indonesia
yang telah terjadi selama satu tahun.
Dapat dipahami jika kemudian IDI
tidak untuk mengevaluasi kinerja pemerintah. Meskipun IDI berupaya melihat peran
pemerintah dalam kebijakan pembangunan, termasuk institusi publik lainnya, yakni peradilan dan kepolisian, DPRD, Penyelenggara Pemilu atau KPUD, hingga peran
partai politik. Namun praktik demokrasi
tidak semata melibatkan lembaga pemerintah maupun struktur demokrasi yang ada
tetapi juga melibatkan masyarakat sipil secara luas melalui perilaku yang mendukung
suatu sistem demokrasi. Partisipasi masyarakat yang juga merupakan bagian yang
diukur sehingga turut berpengaruh bagi
kualitas demokrasi.
Sejak digulirkannya IDI pada 2009
hingga kini, capaian hasil IDI DKI Jakarta secara keseluruhan cukup menakjubkan.
DKI Jakarta masih bertengger di posisi

Jurnal Demokrasi | Edisi 2016

teratas atau di peringkat pertama capaian- jelas pada tahun 2015 ini angkanya 85,32
nya dalam perkembangan demokrasi dari mengalami kenaikan sebesar 0,62 poin,
provinsi-provinsi se-Indonesia. Terakhir, sekaligus capaian angka yang terbesar perhasil laporan IDI tahun 2015 yang dirilis tamakalinya.
BPS pada awal Agustus 2016 lalu menunDKI Jakarta tetap sama posisinya
jukkan IDI DKI Jakarta memperoleh angka seperti tahun 2014 lalu yang berada pada
sebesar 85,32 (skala 0 sampai 100). Kemu- kategori baik dalam dua tahun secara
dian setelah DKI, disusul posisi kedua oleh berturut-turut. Capaian angka hasil IDI
DI Yogyakarta (83,19), lalu berikutnya DKI Jakarta dari tahun ke tahun sejak awal
Kalimantan Timur (81,24), dan Kalimatan 2009 hingga terakhir ini dapat dilihat graUtara (80,16).
NQ\DSDGDWDEHO
Meskipun total angka secara keHasil IDI DKI Jakarta 2015 itu, terseluruhan menunjukkan Jakarta merupa- gambar adanya kenaikan 2 tahun terakhir,
kan barometer demokrasi secara nasional, yakni 2014 dan 2015 masuk pada kategori
namun masih terdapat beberapa kelemahan baik. Selain terjadi kenaikan, juga terdapat
dari aspek dan indikator tertentu yang ma- penurunan pada variabel aspek dan indisih tertinggal dari beberapa aspek dan in- kator tertentu, yaitu terjadi pada tiga asdikator pada provinsi lain. Misalnya pada pek demokrasi yang ada, terdiri: (1) Aspek
aspek Kebebasan Sipil diperoleh DKI Ja- Kebebasan Sipil (Civil Liberty) turun 2,08
Tabel 1
Perkembangan IDI DKI Jakarta, 2009-2015

Sumber: Data BPS DKI Jakarta, 3 Agustus 2016


karta sebesar 89,64,tentu masih di bawah
Kalimantan Utara sebesar 98,10, Kalimantan Barat sebesar 96,81, Sumatera Selatan
sebesar 96,06, dan sebagainya.
Bagi DKI sendiri capaian hasil
IDI 2015 secara keseluruhan cukup prestisius. Sebab, bila dibandingkan dengan
capaian IDI DKI 2014 yang sebesar 84,70,

poin (dari 91,72 menjadi 89,64); (2) Aspek


Hak-Hak Politik (Political Rights) naik
9,25 poin (dari 73,94 menjadi 83,19); dan
(3) aspek Lembaga-lembaga Demokrasi
(Institution of Democracy) turun 9,71 poin
(dari 92,97 poin menjadi 83,26). Dari aspek
tersebut dapat dilihat pada sejumlah variabel sebagaimana tabel 2.

Jurnal Demokrasi | Edisi 2016

Tabel 2. IDI Provinsi DKI Jakarta Berdasarkan Variabel Aspek Tahun 2014-2015

Sumber: Data BPS DKI Jakarta, 3 Agustus 2016


Pada tabel 2 tersebut, diketahui capaian IDI DKI Jakarta 2015, setidaknya
terdapat empat variabel yang mengalami peningkatan skor, yaitu terdapat pada
variabel: (1) kebebasan berkumpul dan
berserikat meningkat 6,41 poin dari 91,25
menjadi 97,55; (2) hak memilih dan dipilih meningkat 0,08 poin dari 77,18 menjadi 77,26; (3) partisipasi politik dalam
pengambilan keputusan dan pengawasan
meningkat 18,42 poin dari 70,71 menjadi
89,13; serta (4) peran DPRD meningkat
1,62 poin dari 66,26 menjadi 67,88.
Adapun penurunan skor pada 2015
terjadi pada lima variabel jika dibanding tahun 2014, yaitu: (1) kebebasan berpendapat
yang turun 6,94 poin dari 77,77 menjadi
70,83; (2) kebebasan berkeyakinan turun
2,58 poin dari 100 menjadi 97,42; (3) kebebasan dari diskriminasi turun 1,96 poin
dari 77,10 menjadi 75,14; (4) peran partai
politik turun 1,99 poin dari 100 menjadi
98,01; dan (5) peran birokrasi pemerintah
daerah turun 42,44 poin dari 100 menjadi 57,56.Penurunan angka tersebut tentunya perlu menjadi perhatian dari semua
kalangan agar dapat diperbaiki kembali
melalui berbagai dukungan aktivitas atau
kegiatan penguatan demokrasi di Ibukota
Jakarta.

Demikian pentingnya hasil IDI


untuk dijadikan parameter bagi capaian
pengembangan demokrasi sekaligus pembangunan politik di daerah, pemerintah
pusat mendorong daerah-daerah untuk
meningkatkan pembangunan demokrasi.
Melalui Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 200/526/SJ tanggal 21 Februari 2012 tentang Pembentukan Kelompok
Kerja (Pokja) Pengembangan Demokrasi
Provinsi agar masing-masing daerah memantapkan capaian dan pengembangan
IDI. Selanjutnya melalui Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional
Tahun 2015-2019, di dalamnya terdapat
upaya mendorong mewujudkan konsolidasi demokrasi yang salah satunya diukur
melalui capaian IDI. Selain itu telah dikeluarkan pula Surat Mendagri No: 200/618/
SJ tanggal 4 Februari 2015 tentang Pelaksanaan Demokrasi di Daerah dan maupun
Surat Menkopolhukam No.B-33/Menko/
Polhukam/DN.02.02.4/3/2016 tanggal 17
Maret 2016 tentang Optimalisasi Peran dan
Fungsi Pokja Pengembangan Demokrasi
Provinsi.
Bahkan, perkembangan terakhir,
terdapat Surat Edaran Menteri Dalam Negeri RI Nomor 200/1147/ SJ tanggal 6 April

Jurnal Demokrasi | Edisi 2016


2016 tentang Pelaksanaan Kelompok Kerja
(Pokja) Demokrasi di Daerah disebutkan
bahwa dari perspektif provinsi dengan dinamika demokrasi yang sedikit berbeda,
mengingat provinsi-provinsi merupakan
unit politik yang otonom, melihat kualitas
demokrasi yang beragam perlu mendapat
perhatian sehingga tidak banyak terdapat
SHUEHGDDQ \DQJ VLJQLNDQ SDGD NXDOLWDV
demokrasi antarprovinsi. Perbedaan capaian nilai IDI antarprovinsi tersebut dapat diminimalkan dengan upaya Penguatan Kelompok Kerja (Pokja) Demokrasi di setiap
provinsi agar lebih serius meningkatkan
komunikasi, koordinasi dan pemberdayaan
dalam Pokja. Pemberdayaan dimaksud dapat melalui memasukkan program IDI ke
dalam Rencana Pembangunan Daerah seperti RPJMD Provinsi, Kabupaten, dan
Kota dan/atau melalui Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) sebagai bagian
dari pembangunan bidang ideologi Pancasila, wawasan kebangsaan, dan politik di
daerah.
Demikian itu menunjukkan bahwa
pengukuran hasil IDI yang dilakukan setiap tahunnya dapat dimanfaatkan dalam
perencanaan kebijakan pembangunan, serta memberikan dukungan bagi program
pengembangan dan penguatan demokrasi
agar terjadi peningkatan kualitas demokrasi
di daerah.
Hajatan Pilgub DKI 2017
Prestasi Jakarta dalam capaian
demokrasi secara nasional sesuai kategori
penilaian IDI di atas dapat menjadi modal sosial yang layak diapresiasi sebagai
barometer dan kesiapan dalam kompetisi
demokrasi berikutnya. Sebab kini Jakarta
memasuki tahapan pesta demokrasi lokal
Pilgub 2017 yang tidak kalah gempitanya
dari berbagai ajang Pilkada serentak tahap
2 se-Indonesia.

5
Sesuai pengalaman, di DKI Jakarta
telah dua kali menyelenggarakan Pilkada
di tahun 2007 dan 2012. Pengalaman tersebut telah menjawab kekhawatiran banyak kalangan bahwa Pilkada DKI bakal
terjadi kekacauan, namun terbukti sebaliknya, justru selalu berjalan lebih terbuka
dan demokratis tanpa adanya protes yang
berarti maupun gugatan hukum di MK.
Kemenanganan dan kekalahan diterima sebagai kenyataan demokrasi oleh segenap
warga Jakarta. Meskipun sempat terjadi
ketegangan selama kampanye dengan beredarnya isu-isu SARA, namun tidak sampai terjadi gesekan ataupun benturan antarkonstituen politik pendukung pasangan
calon.
Nampaknya sikap politik warga
Jakarta sudah dewasa dalam berdemokrasi khususnya menghadapi masalah perbedaan pilihan politik ataupun menyikapi
kalah-menang. Semestinya ini mendapat
apresiasi dalam pengukuran demokrasi lokal. Sayangnya, Pilkada tidak dijadikan parameter pada pengukuran IDI. Di sinilah
yang terlewatkan dari konsteks demokrasi
lokal yang sesungguhnya pada pengukuran
variabel maupun indikator IDI.
Hal tersebut dapat dimaklumi,
mengingat Pilkada penyelenggaraannya
tidak merata di seluruh Indonesia. Sedangkan pengukuran IDI dilakukan setiap
tahun. Meskipun kini Pilkada dilakukan
serentak, namun tidak setiap daerah telah menyelenggarakan Pilkada pada tahun yang sama sebagaimana diatur dalam
UU No.1/2015 yang dirubah melalui UU
No. 8/2015 tentang Perubahan Atas UU
No.1/2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No.1/2014
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota menjadi UU, dan kini dirubah
kembali dalam UU No. 10/2016 tentang
Perubahan Kedua atas UU No. 1/2015. Se-

6
lain itu juga terdapat varian dalam penyelenggaraan Pilkada antara Pilgub dengan
Pilwakot ataupun Pilbup. Mengingat
terdapat kekhususan pada daerah-daerah
tertentu yang menyelenggarakan atau tidak
menyelenggarakan. Semisal, Jakarta tidak
mengenal Pilwakot ataupun Pilbup.
Walaupun demikian, sebagaimana
disebutkan di atas, bahwa Jakarta merupakan barometer demokrasi setelah melampaui capaian IDI dan berpengalaman dalam
Pilkada damai, diharapkan ajang Pilgub
2017 ini lebih sukses dan berkualitas dengan meningkatnya partisipasi politik warga Jakarta yang berkepentingan akan kemajuan dan keberlanjutan pembangunan
Ibukota Negara RI. Dan, tentunya disertai
harapan bahwa Pilgub Rasa Pilpres janganlah diartikan sebagai ajang pertarungan
masa lalu ataupun masa mendatang 2019,
tetapi dikarenakan Pilgub DKI 2017 menjadi proyek peradaban demokrasi keindonesiaan yang harus dirawat, karena eksistensinya berada di pusat pemerintahan dan
menjadi barometer politik nasional. (*)

Jurnal Demokrasi | Edisi 2016

FGD IDI DKI Jakarta Tahun 2015,


25-26 Mei 2016 di Golden Boutique Hotel
Jakarta Pusat.
Surat Edaran Menteri Dalam Negeri
RI Nomor 200/1147/SJ tertanggal 6 April
2016 tentang Pelaksanaan Kelompok Kerja
(Pokja) Demokrasi di Daerah.
Undang-Undang RI Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi
Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai
Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun
2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota.
Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun
2015 tentang Perubahan atas UU Nomor 1
tahun 2015 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas
UU Nomor 1 tahun 2015 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Referensi
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
Berita Resmi Statistik BPS DKI
Peraturan Daerah Khusus Ibukota
Jakarta No. 35/08/31/th.XVIII, 3 Agustus Jakarta Nomor 12 Tahun 2014 tentang Or2016.
ganisasi Perangkat Daerah.

Jurnal Demokrasi | Edisi 2016

MEWUJUDKAN PILKADA SERENTAK GELOMBANG KEDUA


YANG DEMOKRATIS DAN BERINTEGRITAS
Oleh Ir. H. Ahmad Riza Patria, MBA
Wakil Ketua Komisi II DPR RI
Abstract
This paper describes the evaluation of elections Simultaneously
First Wave in 2015, rulings of the Constitutional Court (MK)
related to Regulation Legislation Implementation Problems
related to the elections and the elections in terms of security,
budget and election turnout in creating a democratic and
integrity.
Keywords: Head Territory of Election Together in 2017,
Democracy and Integrity.

ikada dan demokrasi adalah bagian


yang tidak terpisahkan dalam sistem
pemerintahan. Sebuah negara atau
pemerintahan yang menganut nilai-nilai
demokrasi akan melaksanakan Pilkada dalam proses pergantian kekuasaan. Meskipun dalam praktek dan sistem pemilu di
setiap negara berbeda-beda tidak terkecuali
di Indonesia.
Pilkada serentak 2015 dan yang
akan berlangsung Pilkada serentak 2017
telah dan akan terselenggara. Pilkada
atau yang lebih dikenal dengan pemilihan
Kepala Daerah merupakan salah satu cerminan dari pelaksanaan tata pemerintahan
demokrasi. Demokrasi merupakan salah
satu cerminan pelaksanaan pemerintahan yang memberikan kedaulatan kepada
rakyat. Melalui Pilkada rakyat memperoleh
kesempatan untuk memilih langsung pemimpin-pemimpin daerahnya. Jadi, suara
rakyat berpengaruh terhadap keterpilihan
calon-calon pemimpin yang diusung baik
oleh partai maupun nonpartai. Salah satu
tujuan khusus diberinya rakyat kesempatan
dalam Pilkada dengan asumsi bahwa rakyat
adalah negara, artinya negara tidaklah be-

rarti tanpa adanya rakyat dan rakyat juga


membutuhkan negara sebagai pendukung
kehidupan rakyat.
Menurut Rousseau dalam teori kontrak sosial bahwa negara merupakan produk
perjanjian sosial. Individu-individu dalam
masyarakat sepakat menyerahkan sebagian
hak-hak, kebebasan dan kekuasaan yang
dimilikinya kepada suatu kekuasaan bersama. Ini yang dikenal dengan istilah Negara. Menurut Rousseau Negara berdaulat
karena mandat dari rakyat.
Negara diberi mandat untuk mengatur, mengayomi dan menjaga keamanan maupun harta benda mereka. Kedaulatan Negara akan tetap absah selama negara
menjalankan fungsi-fungsinya sesuai dengan kehendak rakyat. Selama pelaksanaan
Pilkada serentak di berbagai daerah terdapat
sejumlah masalah diantaranya perlakuan
tidak sama terhadap calon serta tidak cermat dan tidak telitinya para penyelenggara
Pilkada. Kasus tersebut disebabkan banyak
faktor dan salah satunya adalah faktor kultur lokal.
Dampak kasus adalah tidak mampu
mencapai Pilkada yang berintegritas. Pro-

8
fesionalitas penyelenggara Pilkada diberbagai daerah mulai diragukan.
Evaluasi Pilkada Serentak
Di dalam UU Pilkada Pasal 201
ayat (1-7) merinci tahapan Pilkada sebagai
berikut: Tahap Pertama, Desember 2015
untuk Kepala Daerah yang masa jabatannya berakhir pada 2015 sampai pada bulan
Juni 2016. Tahap Kedua, Februari 2017
untuk Kepala Daerah yang masa jabatannya berakhir pada Juli-Desember 2016 dan
2017. Tahap ketiga, Juni 2018 untuk Kepala Daerah yang jabatannya berakhir pada
2018 dan 2019. Tahap Keempat, tahun
2020 untuk Kepala Daerah hasil pemilihan 2015. Tahap Kelima, pada 2022 untuk
Kepala Daerah hasil pemilihan pada 2017.
Tahap Keenam, pada 2023 untuk Kepala
Daerah hasil pemilihan 2018.
Baru pada tahap ketujuh, tahun
2024 Pilkada serentak nasional betul-betul akan dapat dilaksanakan secara nasional. Secara umum penyelenggaraan Pilkada serentak 2015 sebagai sebuah awalan
dapat dikatakan berhasil. Banyak fenomena
menarik, juga banyak permasalahan yang
harus diperhatikan sebagai evaluasi untuk
Pilkada serentak berikutnya.
Permasalahan Pilkada serentak dari
sejak awal tahapan sudah dibayangi beberapa gugatan hukum oleh beberapa pihak
melalui uji materi (judicial review) terhadap UU Pilkada. Tahun 2014 terjadi perdebatan politik di DPR yang berujung pada
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
UU Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Memasuki awal Tahun 2015 keluarlah UU Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1
tanggal 17 Februari 2015, Sidang Paripurna
DPR RI menetapkan UU Nomor 8 Tahun
2015 tentang Perubahan atas UU Nomor 1

Jurnal Demokrasi | Edisi 2016


Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun
2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati
dan Walikota. Selanjutnya, pada tanggal 1
Juli 2016 di Sahkannya perubahan kedua
atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota dengan
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 130. Memang ada banyak
catatan kritis terkait penyelenggaraan Pilkada serentak tahap pertama seperti, persoalan keterlambatan anggaran Pilkada masih
dibebankannya pada Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD), kemudian
soal kisruh dualisme kepengurusan partai
melahirkan beragam gugatan dan berujung
pada penundaan Pilkada dibeberapa daerah,
persoalan menurunnya tingkat partisipasi
masyarakat (vote turn out), dan lain-lain.
Suksesnya penyelenggaraan Pilkada tahap
pertama akan menjadi sejarah berharga untuk Pilkada serentak pada tahap berikutnya.
Beberapa Putusan MK
Pada beberapa putusan Mahkamah
.RQVWLWXVL 0.  \DQJ QDO GDQ PHQJLNDW
(QDO DQG ELQGLQJ), masih juga tidak
memuaskan banyak pihak. Beberapa putusan MK tersebut, sebagaimana berikut:
Pertama, terkait pembatalan pasal 7 huruf s UU Nomor 8 Tahun 2015
terkait pencalonan anggota DPR, DPRD,
DPD dalam Pilkada (Putusan Nomor 38/
PUU-XIII/2015). MK menyatakan para
wakil rakyat tersebut harus mundur dari keanggotaannya sebagai wakil rakyat/anggota
legislatif, jika berniat maju sebagai Kepala
Daerah (Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, Wakil Walikota).
Hal demikian untuk mengedepankan asas
fairness dan menciptakan kompetisi yang
setara antarkandidat. Putusan ini menyamai

Jurnal Demokrasi | Edisi 2016


dengan syarat bagi TNI, Polri, dan Pegawai
Negeri Sipil (PNS), juga pejabat BUMN
yang wajib mundur dari keanggotaannya
pada saat berniat mencalonkan diri dalam
konstestasi Pilkada. Meski demikian, yaitu kekhawatiran pada minimnya kandidat
karena takut kehilangan status, baik sebagai
PNS, anggota TNI/Polri, pegawai BUMN
dan terutama dari keanggotaan legislatif
(pusat atau daerah).
Kedua, MK memutus pembatasan
politik dinasti (Putusan MK Nomor 33/
PUU-XIII/2015). MK menyatakan Pasal
7 UU Nomor 8 Tahun 2015 bertentangan
dengan UUD 1945. lahir-hidup adalah
kodrat dan karunia Allah, membatasi gerak
harapan tentu melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Terhadap putusan ini, tetap
saja banyak pihak khawatir, politik dinasti akan merusak tatanan kehidupan politik.
Politik dinasti dinilai cenderung menghilangkan akal sehat yang menghancurkan
substansi politik dan demokrasi. Hal demikian karena kecenderungan politik dinasti adalah mempertahankan kekuasaannya
sebagai naluri politik, cenderung membangun kekuatan dominan dengan mengarahkan seluruh potensi dan kekuatan yang dimilikinya untuk menjaga keberlangsungan
kekuasaannya.
Ketiga, MK memutuskan membolehkan mantan narapidana ikut maju
dalam Pilkada. MK menyatakan bahwa
dalam pembukaan UUD 1945 antara lain
menegaskan bahwa dibentuknya Pemerintahan Negara Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Pembukaan UUD
1945 tersebut tidaklah membedakan bangsa Indonesia yang mana dan tentunya termasuk melindungi hak mantan narapidana.
Yang dibatalkan dalam Putusan MK Nomor 42/PUU-XIII/2015 ini adalah pasal 7
huruf g, yang berbunyi menentukan bahwa calon Kepala Daerah harus memenuhi

9
persyaratan tidak pernah dijatuhi pidana
karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, maka sama artinya seseorang yang pernah dijatuhi pidana karena
melakukan tindak pidana yang diancam
dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau
lebih, dicabut haknya untuk dipilih dalam
pemilihan Kepala Daerah.
Namun demikian, MK memberikan semacam jaringan pengaman bagi
para pemilih dimana para mantan narapidana yang boleh mencalonkan diri itu, harus mengumumkan secara terbuka bahwa
pernah menjadi terpidana. Setelah mengumumkan pernah menjadi terpidana, maka
berpulang ke masyarakat untuk memilih
atau tidak.
Putusan inipun tak luput dari bermacam sindiran, MK dinilai telah mencederai ketentuan bahwa calon tidak pernah
melakukan perbuatan tercela, KPK misalnya menyatakan putusan MK soal narapidana akan menghambat pemberantasan korupsi (Kompas, 10/07/2015).
Keempat, melalui Putusan MK
Nomor 58/PUU-XIII/2015, MK menolak
mengadili sengketa hasil Pilkada jika selisih suara 2 persen lebih. MK menegaskan
pasal 158 UU Pilkada terkait selisih suara
minimal di bawah 2 persen sebagai syarat
menggugat tidak berentangan dengan UUD
1945. Sebab, aturan itu merupakan open legal policy (kebijakan hukum terbuka) pembentuk undang-undang.
Sebagaimana disebutkan di dalam pasal 158 ayat (1) UU Pilkada bahwa
provinsi dengan jumlah penduduk sampai
dengan dua juta jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat
perbedaan paling banyak sebesar 2 persen
dari penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi. Sementara provinsi dengan jumlah penduduk 2

10
juta hingga 6 juta pengajuan perselisihan
perolehan suara dilakukan jika terdapat
perbedaan paling banyak sebesar 1,5 persen dari penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi. Akibat
dari putusan ini, banyak pihak menyatakan
ruang peserta Pilkada untuk mengajukan
permohonan kepada MK menjadi sempit, MK dinilai terlalu membatasi proses
demokrasi. Terhadap kekhawatiran itu,
ternyata sengketa perselisihan perolehan
hasil Pilkada (PHP) masih banyak diteri
MK. Hasilnya, dari total 151 perkara PHP
yang masuk ke MK, MK telah menyelesaikan rangkaian penanganan 148 perkara.
Proses tersebut selesai tepat 45 hari.
Terdapat lima daerah yang diharuskan melalukan pemungutan suara
ulang (PSU), yaitu Kabupaten Halmahera
Selatan, Kabupaten Kepulauan Sula, Kabupaten Muna, Kabupaten Memberamo Raya,
dan Kabupaten Teluk Bintuni. Mahkamah
memberikan waktu selama 30 hari kepada
daerah-daerah tersebut untuk melakukan
PSU.
Kelima, pada 29 September 2015,
melalui Putusan MK No. 100/PUUXIII/2015, MK menerobos kebuntuan
norma atau semangat awal UU Pilkada
yang mengharuskan adanya lebih dari satu
pasangan calon sebagai syarat kontestasi
Pilkada. Rumusan norma itu nyatanya tidak menjadi solusi dalam proses demokrasi
Pilkada, karena meskipun bermacam tahapan pencalonan sudah digulirkan, terdapat
beberapa daerah yang hanya terdapat satu
pasangan calon, dan karenanya menyebabkan kekosongan hukum. Kali ini putusan
MK banyak diapresiasi, suara kontra hanya
terdengar lirih.
Mayoritas menilai putusan MK telah memecahkan kebuntuan permasalahan
dalam demokrasi, juga dianggap bagian
dari mengedepankan penghargaan atas

Jurnal Demokrasi | Edisi 2016


hak konstitusi publik dalam Pilkada. Implikasinya tiga daerah yang hanya memiliki
calon tunggal, Kabupaten Blitar, Tasikmalaya, Timor Tengah Utara, akhirnya dapat
menyelenggarakan Pilkada pada 9 Desember 2015 dengan diikuti pasangan calon
tunggal.
Keamanan dan Anggaran
Di samping itu perlu diperhatikan juga masalah-masalah keamanan dan
kesatuan bangsa dalam penyelenggarakan
Pilkada serentak secara nasional, karena
dalam prakteknya sekarang ini sering kali
3LONDGD PHQLPEXONDQ NRQLN KRUL]RQWDO
yang cukup masif antarpendukung masingmasing calon, sebagai akibat tidak puasnya para pendukung terhadap hasil Pilkada
tersebut.
Sehingga dikhawatirkan bila hal
tersebut terjadi di berbagai daerah, bisa
menimbulkan kondisi keamanan yang cukXS UDZDQ NDUHQD NRQLN GL VDWX GDHUDK
GDSDW PHQ\XOXW NRQLN GL GDHUDK ODLQQ\D
dan bila hal tersebut terus berlangsung bisa
PHQLPEXONDQ NRQGLVL NRQLN \DQJ VHPDkin besar yang dapat mengancam keamanan dan keutuhan bangsa dan negara. Selanjutnya, tahapan pelaksanaan Pilkada yang
cukup panjang sebagaimana diatur dalam
Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016
dapat menimbulkan berbagai permasalahan
antara lain, hal tersebut dapat menimbulkan suasana persaingan antar kandidat
yang semakin lama semakin panas sehingJDPHPSHUEHVDUSHOXDQJWHUMDGLQ\DNRQLN
antarpendukung kandidat.
Permasalahan lainnya adalah dengan lamanya tahapan pelaksanaan Pilkada tersebut dapat menimbulkan biaya yang
semakin besar yang akan dikeluarkan oleh
masing-masing kandidat dan juga penyelenggara Pilkada, serta tidak sesuai deQJDQ VHPDQJDW HVLHQVL 7HUNDLW GHQJDQ

Jurnal Demokrasi | Edisi 2016


pembiayaan penyelenggaraan Pilkada, undang-undang mengatur bahwa pembiayaan
penyelenggaraan Pilkada bersumber dari
APBD dan didukung oleh APBN.
Di sisi lain, selama ini biaya penyelenggaraan Pilkada serentak 2017 yang
dibebankan kepada APBD tidak berjalan
dengan baik ini terlihat dengan NPHD
yang sulit dicairkan oleh Kepala Daerah
dan rentan dimanfaatkan oleh Kepala Daerah yang akan mencalonkan kembali. Berdasarkan pengalaman praktek di lapangan
jika pembiayaan Pilkada serentak 2015
sering mengalami keterlambatan dalam
pengalokasiannya, sehingga hal tersebut
dapat mengganggu pelaksanaan tahapan
dan penyelenggaraan Pilkada.
Sementara dalam keterangan pemerintah atas rancangan UU tersebut dalam halaman 5 point 2 disebutkan bahwa
khusus untuk pelaksanaan Pilkada pada tahun 2015 pendanaannya dibebankan pada
APBD. Perlu diformulasikan apakah pembiayaan penyelenggaraan Pilkada melalui
APBN, atau APBD atau APBN dan APBD.
Partisipasi Pemilih
Dari sekian banyak tahapan Pilkada
serentak, pemutakhiran data pemilih merupakan salah satu kegiatan Pilkada serentak yang sangat kompleks dan sangat dinamis namun berpengaruh langsung terhadap
tahapan Pilkada lainnya. Pilkada serentak
yang substansial, demokratis, langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur, adil, serta
memiliki legitimasi yang kuat. Oleh karena
itu, seluruh proses kegiatan daftar pemilih
dari mulai tahapan hingga proses akhir seyogyanya dilakukan dengan secara transparan dan terbuka agar mencapai Pilkada
yang berkualitas.
Di samping itu juga, hal yang mengganggu dan merisaukan, yakni rendahnya partisipasi pemilih. Berdasarkan data

11
Komisi Pemilihan Umum (KPU) tingkat
partisipasi pemilih secara umum hanya
sekitar 64,23 persen atau lebih rendah daripada target yang dipatok KPU sekitar 75,5
persen.
Sejumlah kabupaten/kota yang
tingkat partisipasinya rendah, di antaranya
Kota Medan, Sumatra Utara (26,88 persen);
Kabupaten Serang (50,84 persen); Kota
Surabaya (52,18 persen); Kabupaten Jember (52,19 persen); dan Kabupaten Tuban
(52,25 persen). Sejumlah daerah yang cukup tinggi partisipasi pemilihnya, di antaranya, Kabupaten Mamuju Tengah (92,17
persen); Kabupaten Sorong Selatan, Papua
Barat (89,92 persen); Bolaang Mangondow
Timur (88,83 persen); Kota Tomohon, Sulawesi Utara (88,47 persen); dan Konawe
Utara, Sulawesi Tenggara (88,24 persen).
Menurut Nurcholish Madjid, dalam masyarakat demokratis (madani) harus adanya komitmen, keterlibatan dan
partisipasi yang diharapkan dari seluruh
lapisan anggota masyarakat, serta keterbukaan lembaga kepemimpinan terhadap pengujian atas data kemampuan
yang dicoba melembagakannya dalam pola
kepemimpinan yang tidak berdasar pertimbangan keturunan, melainkan melalui
permusyawaratan dan pemilihan (MuhamDG :DK\XQL 1DV &DN 1XU 6DQJ *XUX
%DQJVD %LRJUD3HPLNLUDQ3URI'U1XUcholish Madjid), Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2014, hlm. 296). Artinya
bahwa dalam negara yang menganut paham demokrasi, mekanisme pemilihan kepemimpinan ditentukan melalui dua cara,
yaitu musyawarah atau pemilihan. Cara itu
mengedepankan prinsip akuntabilitas dan
objektivitas dalam memilih pemimpin serta menghindari pemilihan pemimpin secara
subjektif berdasarkan penunjukan dengan
dasar keturunan (dinasti).
Oleh karena itu, pada era sekarang,

12
pemilihan kepemimpinan dalam masyarakat yang demokratis, selain mendasarkan
pada aspek akuntabilitas dan objektivitas,
tetapi juga adalah bagaimana publik diberi
ruang untuk berpartisipasi secara luas untuk menentukannya.
Pilihan ideal dalam menentukan
kepemimpinan sebagaimana dikemukakan di atas, hanya dapat dilakukan dengan
pemilihan secara langsung oleh rakyat, terutama berkaitan dengan jabatan/pekerjaan yang langsung bersentuhan dengan kepentingan rakyat banyak. Dimana rakyat
sebagai pemegang kedaulatan mempunyai
kepentingan secara langsung untuk menentukan masa depannya sendiri. Oleh karena
itu, pembatasan dengan menentukan syarat
bagi calon pemimpin publik karena dasar
adanya hubungan perkawinan dan hubungan darah bertentangan dengan prinsip
partisipasi publik dan juga pengekangan
terhadap warga negara tertentu untuk menggunakan haknya untuk dipilih dan memilih
dalam suksesi kepemimpinan.
Pemilih Pemula di Pilkada DKI Jakarta
Partai politik harus mampu memiliki kesadaran terdepan dalam membangkitkan semangat rakyat untuk memperjuangkan kepentingannya. Meminjam istilah
Bung Karno, gunanya partai politik adalah
menjadi obor, menjadi suluh kesadaran
masyarakat tentang politik, tentang kemerdekaan, tentang kesejahteraan rakyat.
Partai politik harus mampu menjadi pemimpin rakyat, partai politik harus
menjadi teladan rakyat. Partai politik harus
memiliki pengaruh atau berwibawa di depan rakyat. Hal ini hanya bisa terjadi kalau
partai politik mampu hidup bersama rakyat,
mampu menyelami hatinya rakyat (Bung
Karno, Risalah Indonesia Merdeka, 1933).
Partai politik dalam hal ini kader-kader
partai politik harus mampu menjadi te-

Jurnal Demokrasi | Edisi 2016


ladan, menjauhi sikap elitis, sikap menjauhi rakyat, tidak peka terhadap kebutuhan
rakyat, dan korupsi.
Menarik untuk dicermati bahwa
sekitar 13% dari calon pemilih ialah calon
pemilih pemula yang memiliki hak suara
untuk pertama kalinya dalam Pilkada 2017.
Sekitar 60% pemilih pemula tinggal di Jakarta dan akan memilih Calon Gubernur
dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Periode
2017-2022. Ini berarti bahwa sebagian besar pemilih pemula mempunyai andil yang
besar dalam memilih pemimpinnya kedepan. Lebih dari 90% pemilih pemula di
DKI Jakarta berstatus belum menikah.
Namun, kita juga harus memperhatikan meskipun sebagian besar pemilih
pemula mempunyai andil yang besar dalam
memilih pemimpin mereka. Meskipun sebagian pemilih pemula Pilkada DKI tidak
benar-benar pemula karena sebagian sudah menggunakan hak pilih pada Pemilu 2014, mereka pemula dalam Pilkada.
Pemilih pemula Pilkada DKI 2017 di sini
diasumsikan lahir antara 1996 dan 2000.
Mereka yang lahir dalam periode
waktu berdekatan cenderung memiliki perilaku dan cara pengambilan keputusan yang
relatif mirip. Cara pandang dan pengambilan keputusan mereka sangat dipengaruhi
kondisi Indonesia yang sudah demokratis,
memiliki jumlah saudara kandung yang sedikit, berpendidikan baik, dan hidup di era
digital yang sarat teknologi informasi.
Kita dapat menyebut generasi ini
sebagai melek akan teknologi. Kehidupan
demokratis dan pendidikan yang baik yang
ditunjang kemampuan akses ke media sosial
dan internet membuat para pemilih pemula
itu cenderung paham dan mengikuti situasi
politik yang berkembang saat ini. Apalagi, DKI Jakarta sebagai Ibukota dan pusat
segala aktivitas memiliki kuantitas, kualitas, dan akses informasi yang sangat baik.

Jurnal Demokrasi | Edisi 2016


Pemilih pemula di DKI Jakarta juga sangat
berkualitas dan mampu memahami kualitas para calon pemimpin. Pemilih pemula
itu secara cerdas akan mengambil keputusan rasional dengan menilai kapasitas para
calon Gubernur.
Popularitas saja tidak akan cukup
menarik para pemilih pemula untuk mem-

13
berikan suara. Namun, tantangan terbesar
ialah masih rendahnya partisipasi pemilih
pemula dalam pemilihan, baik pemilu maupun Pilkada. Oleh karena itu, para calon
Gubernur DKI Jakarta juga harus mampu
menarik sebanyak-banyaknya kelompok
pemilih pemula untuk berpartisipasi dalam
Pilkada DKI Jakarta sekarang ini. (*)

Kedaulatan Negara akan tetap


absah selama Negara menjalankan
fungsi-fungsinya sesuai kehendak
rakyat

14
Tabel : Perkembangan Indeks Demokrasi Indonesia Berdasarkan Aspek dan Provinsi, 2014-2015
IDI 2014
IDI

Aspek
Kebebasan
Sipil

Aceh

72,29

Sumatera Utara
Sumatera Barat

Provinsi

IDI 2015

Hak-hak

Politik

Aspek
Lembaga
Demokrasi

IDI

Aspek
Kebebasan
Sipil

Hak-hak

Politik

Aspek
Lembaga
Demokrasi

69,76

63,94

88,73

67.78

74.81

63.98

64.97

68,02

79,86

63,99

47,21

61,97

62,75

69.01

82.02

62.17

63.52

61,82

88,56

67.46

52.99

69.77

82.01

Aspek

Aspek

Riau

68,40

74,35

59,74

74,69

65.83

66.46

66.61

63.80

Jambi

71,15

78,23

54,01

89,48

70.68

75.89

62.12

77.72

Sumatera Selatan

74,82

86,09

63,57

78,53

79.81

96.06

78.79

61.00

Bengkulu

71,70

79,49

63,98

74,16

73.60

78.50

68.45

75.61

Lampung

71,62

72,06

63,69

83,66

65.95

71.99

63.19

62.74

Kep. Bangka Belitung

75,32

89,80

56,48

87,01

72.31

81.25

66.95

69.60

Kepulauan Riau

68,39

82,47

58,35

66,61

70.26

80.16

65.01

66.13

DKI Jakarta

84,70

91,72

73,94

92,97

85.32

89.64

83.19

83.26

Jawa Barat

71,52

83,95

65,22

65,89

73.04

79.10

81.89

51.37

Jawa Tengah

77,44

87,87

67,08

80,77

69.75

79.44

67.28

61.48

D.I.Yogyakarta

82,71

86,25

76,07

88,82

83.19

90.41

77.98

82.38

Jawa Timur

70,36

81,62

56,29

78,54

76.90

85.26

67.44

81.39

Banten

75,50

81,10

63,68

87,22

68.46

74.28

63.72

68.66

Bali

76,13

92,16

61,27

79,56

79.83

94.42

77.42

65.31

Nusa Tenggara Barat

62,62

58,73

62,08

68,38

65.08

51.59

61.11

88.36

Nusa Tenggara Timur

68,81

85,92

65,13

53,12

78.47

93.19

71.69

70.73

Kalimantan Barat

80,58

98,44

63,12

85,84

76.40

96.81

65.57

67.95

Kalimantan Tengah

79,00

92,93

66,42

81,48

73.46

85.07

68.31

67.05

Kalimantan Selatan

70,84

58,43

76,45

77,53

74.76

54.15

85.77

83.17

Kalimantan Timur

77,77

93,28

70,42

69,94

81.24

93.07

82.74

63.99

Kalimantan Utara

80.16

98.10

83.65

52.05

Sulawesi Utara

83,94

93,56

80,89

76,68

79.40

86.71

77.92

72.53

Sulawesi Tengah

74,36

86,56

59,01

83,42

76.67

94.60

68.85

66.53

Sulawesi Selatan

75,30

86,27

73,99

63,58

67.90

69.38

64.25

71.84

Sulawesi Tenggara

70,13

90,89

53,20

70,92

69.44

91.14

56.95

61.99

Gorontalo

73,82

82,19

63,67

79,41

76.77

81.35

69.97

81.81

Sulawesi Barat

76,69

90,22

63,64

80,39

68.25

81.88

61.16

62.37

Maluku

72,72

90,85

60,03

70,09

65.90

76.04

63.20

57.43

Maluku Utara

67,90

76,90

60,61

68,16

61.52

73.53

61.00

47.25

Papua Barat

65,65

97,93

39,29

66,93

59.97

92.33

39.48

51.81

Papua

62,15

85,69

42,51

63,75

57.55

82.72

41.81

50.87

INDONESIA

73,04

82,62

63,72

75,81

72.82

80.30

70.63

66.87

Sumber : BPS DKI Jakarta, 2016

Jurnal Demokrasi | Edisi 2016

15

PILGUB DKI: SURAMNYA DEMOKRASI LOKAL?


Oleh Prof. Dr. R. Siti Zuhro, MA
Peneliti Utama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI) dan Pengurus Pusat Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI)
Abstract
This paper attempts to analyze the Jakarta gubernatorial
election in relation to the development of local democracy, which is still not well established internal regeneration
Heir of Political Parties.
Keywords: Governor Election of DKI, the Building of Local Democracy.

Pendahuluan
enderang pemilihan Kepala Daerah
(Pilkada) serentak sudah ditabuh.1
Komisi Pemilihan Umum Daerah
(KPUD) DKI Jakarta juga telah menetapkan pasangan Cagub/Cawagubnya. Pilkada serentak kedua yang akan dilaksanakan
15 Februari 2017 ini akan diikuti oleh 101
daerah yang terdiri atas 7 provinsi, 76 kabupaten, dan 18 kota. Salah satunya adalah
DKI Jakarta. Dibandingkan dengan Pilkada
serentak pertama (264 daerah), 9 Desember 2015, jumlah peserta Pilkada serentak
kedua jauh lebih kecil.
Tak pelak lagi bahwa sorotan publik
terbesar untuk Pilkada serentak kedua tertuju pada Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI
Jakarta. Masalahnya bukan sekadar karena
menyangkut Pilgub di Ibukota Negara, melainkan karena majunya petahana Basuki
Tjahaya Purnama atau Ahok sebagai salah
satu calon Gubernur (Cagub). Terlepas
dari sejumlah keberhasilannya memimpin
Jakarta, pernyataan, gaya kepemimpinan,
dan karakternya yang sering kontroversial, telah menimbulkan hingar-bingar dan
Sejak 2005 Indonesia sudah menggelar 1.027 Pilkada langsung
di luar pemilu legislatif dan pilpres langsung.

kegaduhan hampir di semua pelosok Indonesia. Yang terakhir adalah pernyataannya


terkait Surat Al Maidah ayat 51 yang telah
menyulut reaksi keras dari umat dan ormas
Islam, termasuk Mawjelis Ulama Indonesia
(MUI).2
Sebagai barometer Indonesia Pilgub DKI Jakarta seyogyanya bisa menjadi contoh pembangunan demokrasi lokal
yang partisipatif, free and fair, akuntabel,
aman, dan bebas dari politik uang. Tulisan
ini mencoba untuk menganalisis Pilgub
DKI Jakarta dalam kaitannya dengan pembangunan demokrasi lokal.
Gagalnya Kaderisasi
Secara resmi ada tiga pasangan
calon Gubernur (Cagub) dan calon Wakil
Gubernur (Cawagub) DKI Jakarta yang telah ditetapkan KPUD DKI Jakarta sebagai
peserta Pilkada DKI Jakarta 2017. Ketiganya adalah Basuki Tjahja Purnama (Ahok)
dan Djarot Saiful Hidayat3, Agus HarimurMUI Nyatakan Sikap Soal Ucapan Ahok Terkait Al Maidah 51,
ini Isinya, detiknews.com, 11 Oktober 2016.
3
Pasangan Basuki Tjahja Purnama (Ahok) dan Djarot Saiful
Hidayat didukung oleh empat partai politik dengan 52 kursi, yakni
Nasdem (5 kursi), Hanura (10 kursi), Golkar (9 kursi) dan PDIP
(28 kursi). Belakangan (17 Oktober 2016) PPP kubu Djan Faridz
juga mendeklarasikan dukungannya kepada pasangan tersebut.
2

Jurnal Demokrasi | Edisi 2016

16
ti Yudhoyono dan Sylviana Murni4, serta
Anies dan Sandiaga Uno5. Melihat ketiga
Cagub tersebut, tidak satu pun yang berasal dari kader parpol. Fenomena ini secara
jelas menunjukkan gagalnya partai politik
(parpol) dalam melakukan rekruitmen elite
dan kaderisasi kepemimpinan yang baik di
internal partainya.
Dengan sistem Pilkada langsung
di mana rakyat memilih secara langsung
pemimpinnya, sulit dielakkan bahwa faktor popularitas dan elektabilitas calon sangat menentukan. Adalah wajar bila semua
partai ingin menang. Tetapi, disadari atau
tidak, prinsip tidak ada akar rotan pun
jadi yang diperlihatkan semua partai dalam memajukan calonnya telah melukai
impian banyak kader partai untuk menjadi
Kepala Daerah. Sebab, ketika tak ada kader
yang dinilai layak tanding, mereka lebih
memilih orang di luar kader partai. Bahkan,
dalam Pilgub DKI Jakarta kali ini satu-satunya parpol yang bisa mengusung sendiri
calonnya, yakni PDIP, juga memilih Cagub
dari luar kadernya.6 Padahal, partai tersebut dikenal memiliki kader yang bagus-bagus.
Di antara ketiga Cagub di atas, Ahok
adalah yang paling mendapat sorotan. Hal
ini, terutama, terkait usaha kerasnya untuk
mendapat tiket menjadi peserta Pilgub DKI
Jakarta. Masalahnya gaya dan cara Ahok
untuk menjadi bakal Cagub seperti orang
yang menyeruak barisan sambil menyenggol kiri-kanan. Akibatnya kegaduhan poTetapi, secara hukum dukungan tersebut tidak diakui KPUD DKI
Jakarta karena persoalan dukungan partai politik dianggap sudah
selesai pada saat diterimanya pendaftaran masing-masing calon
Gubernur dan Wakil Gubernur oleh KPUD DKI Jakarta.
4
Pasangan Agus Harimurti Yudhoyono dan Sylviana Murni
didukung oleh empat partai politik dengan 28 kursi, yakni partai
Demokrat (10 kursi), PKB (6 kursi), PAN (2 kursi) dan PPP (10
kursi).
5
Pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno didukung oleh
dua partai dengan 26 kursi, yakni Gerindra (15 kursi), dan PKS
(11 kursi).
6
Di DKI Jakarta PDIP memiliki 28 kursi, sementara jumlah kursi
minimal untuk bisa mencalonkan Gubernur/Wakil Gubernur
dibutuhkan 22 kursi.

litik pun menjadi tak terhindarkan. Salah


satunya menimpa internal PDIP. Cara
Ahok memaksa PDIP untuk memberikan
dukungan kepadanya jauh-jauh hari telah
menimbulkan polemik di antara sesama internal kader partai. Beberapa tokoh PDIP
sempat mengingatkan sikap Ahok tersebut
karena sikapnya yang dinilai memecah-belah kader partai.7 Hubungan antara DPP
PDIP dan DPD PDIP Jakarta, misalnya,
sempat terganggu. Boy Sadikin, ketua DPD
PDIP DKI, mundur dari jabatannya dan
keluar dari PDIP karena kecewa pada sikap
DPP PDIP.8 Selain itu, Plt ketua DPD PDIP
DKI Jakarta Bambang DH juga diberhentikan dari jabatannya karena sikapnya yang
menolak pencalonan Ahok.9
Khawatir tak mendapat dukungan
partai dalam pencalonannya, jauh-jauh hari
Ahok telah mempersiapkan dirinya untuk
menempuh jalur independen dengan bantuan Teman Ahok untuk mengumpulkan
KTP.10 Berdasarkan data terakhir Teman
Ahok mengklaim berhasil mengumpulkan
1.024.632 KTP. Sebuah syarat yang sangat
cukup untuk maju karena syarat minimal
KTP yang dibutuhkan hanya 532.213 KTP
(Beritasatu.com 19 Juni 2016). Meskipun demikian, Ahok akhirnya tidak maju
melalui jalur perseorangan dan memilih
jalur parpol. Hal ini cukup bertentangan
dengan sikapnya yang kurang percaya pada
partai.11 Tiga partai, yakni Nasdem, Hanura,
dan Golkar memberikan dukungannya pada
Ahok. Dukungan tersebut menjadi lengkap
ketika akhirnya membuahkan hasil dengan
Petinggi PDIP Sebut Ahok Memecah-belah Partainya, 21
Agustus 2016 (https://m.tempo.com).
8
Pengunduran Diri Boy Sadikin Dinilai sebagai Musibah bagi
PDI-P, http://megapolitan.kompas.com/, 22 September 2016.
9
Bambang DH dicopot, tak ada jaminan PDIP DKI konsisten
tolak Ahok (https://www.merdeka.com/, 30 Agustus 2016).
10
Teman Ahok bermula dari gerakan simpatik yang dinamakan
Lawan Begal APBD dalam kisruh Dana Siluman di APBD DKI
Jakarta. Gerakan ini berlangsung pada 1 Maret 2015 pada momen
Car Free Day (http://temanahok.com/).
11
Ahok: Masyarakat Sudah Tak Percaya Orang-orang Parpol,
http://metro.news.viva.co.id/ 16 Maret 2016.
7

Jurnal Demokrasi | Edisi 2016


diterimanya dukungan PDIP. Terpilihnya
Ahok yang tidak mengikuti proses W DQG
proper test bakal Cagub dan Cawagub dari
PDIP jelas menimbulkan pertanyaan.12
Apalagi karena sebelumnya ia telah membuat gaduh di internal partai tersebut.
Sementara itu, munculnya Agus
Harimurti Yudhoyono sebagai calon Gubernur di detik-detik akhir masa pendaftaran Cagub dan Cawagub telah mengejutkan
banyak orang. Sebab, namanya tak pernah
masuk bursa Cagub dan Cawagub. Hal
tersebut bisa dipahami karena ia berkarier
di TNI.13 Tetapi, mengingat kedudukannya sebagai putra Presiden ke-6 Susilo
Bambang Yudhoyono dan sekaligus Ketua
Umum Partai Demokrat, munculnya Agus
sebagai Cagub jelas tak lepas dari intervensi dan pengaruh orangtuanya. Lepas dari
itu, di tengah langkanya calon yang bisa
menandingi Ahok, masuknya perwira TNI
38 tahun tersebut tak bisa diremehkan karena ia dikenal cerdas dan memiliki reputasi
yang baik di TNI.
Berbeda dengan kedua Cagub di
atas, munculnya Anies Baswedan14 sebagai
Cagub sebenarnya tidak mengejutkan karena namanya sering masuk dalam bursa
bakal Cagub DKI Jakarta. Yang mengejutkan justru karena ia didukung oleh partai
Gerindra. Dalam Pilpres 2014 Anies merupakan juru bicara pasangan Jokowi-JK
yang kerap mengeritik keras calon presiden
Prabowo Subianto.15
*XQDPHQMDULQJFDORQQ\D3',3PHODNXNDQWDQGSURSHUWHVW
terhadap 34 bakal Cagub dan Cawagub. Ahok termasuk yang
tidak ikut (merdeka.com, 11 Mei 2016).
13
Agus Harimurti Yudhoyono resmi mengundurkan diri dari
jabatannya di Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Darat
(AD) sebagai Komandan Batalion Infantri Mekanis 203/Arya
Kamuning dengan pangkat mayor infanteri untuk maju sebagai
Cagub DKI Jakarta (tribunnews.com, 23 September 2016).
14
Berdasarkan survei Poltracking Indonesia, elektabilitas Anies
Baswedan sebagai bakal Cagub DKI Jakarta 8,92 persen, di
bawah petahana Basuki Tjahaja Purnama (40,77 persen), Tri
Rismaharini (13,85 persen) dan Sanidaga Uno (9,23 persen).
Padahal, ia belum melakukan kegiatan politik sama sekali
(politik.rmol.com, 15 September 2016).
15
Anies Baswedan, mantan Timses Jokowi yang keras kritik
12

17
Dilihat dari tokoh pendukung di
balik ketiga Cagub DKI Jakarta tersebut
di atas, dapat dikatakan bahwa ketiganya merepresentasikan pertarungan tersembunyi antara tiga politisi paling berpengaruh di Indonesia saat ini, yakni Megawati (Ahok), Prabowo Subianto (Anies
Baswedan) dan SBY (Agus Harimurti Yudhoyono). Sebagaimana diketahui, ketiganya adalah ketua umum partai besar, yakni
PDIP, Gerindra, dan Demokrat.
Siapa Menang?
Dalam sistem Pilkada yang
demokratis sulit untuk memprediksi siapa
yang akan menjadi pemenang Pilgub DKI
Jakarta. Apalagi karena secara umum ketiga pasangan Cagub/Cawagub DKI Jakarta tersebut memiliki kapasitas dan
kapabilitas yang sama baiknya. Ketiganya memiliki reputasi yang baik di bidang
masing-masing. Meskipun hampir semua
survey menunjukkan keunggulan Ahok, hal
tersebut bukan jaminan menang. Pada Pilgub 2012, misalnya, hasil survey Lingkaran
Survey Indonesia (LSI) dalam rilisnya
tanggal 26 Maret hingga 1 April 2012 secara meyakinkan memprediksi kemenangan pasangan Fauzi Bowo (Foke)-Nachrowi Ramli (Nara) atas lawannya hanya dalam satu putaran pemilihan. Hasil survey
menunjukkan Foke-Nara berada jauh di
atas lawan-lawannya, yakni 49,1%, sementara pasangan Jokowi Ahok yang berada di
urutan kedua hanya 14,4%. Ternyata, hasil
Pilgub berkata lain, Pada putaran pertama
saja pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli harus menerima kekalahan telak dari Jokowi-Ahok yang memperoleh 42,56% suara, sementara Foke-Nara hanya mendapat
34,05% suara. Sebagaimana diketahui, Pilgub DKI akhirnya dimenangkan oleh Jokowi-Ahok.16
Prabowo, https://www.merdeka.com/, 24 September 2016.
16
Berdasarkan penghitungan suara yang dilakukan KPUD

Jurnal Demokrasi | Edisi 2016

18
Kesulitan untuk memprediksi pemenang Pilgub DKI, antara lain, juga karena mayoritas penduduk DKI berpendidikan
cukup dan melek informasi. Mereka dapat
dikatakan tergolong pemilih rasional. Sebagai gambaran saat ini rata-rata lama sekolah penduduk Jakarta telah mencapai 11,27
tahun naik dari tahun 2006 yang mencapai
11,10 tahun. Lebih dari 65% calon pemilih
di DKI Jakarta berpendidikan SLTA ke atas
dan hanya sekitar 16% yang berpendidikan SD ke bawah. Selain itu, kelompok penduduk yang melek informasi, lebih dari
50% calon pemilih tergolong aktif menggunakan internet dalam 3 bulan terakhir
(Susenas 2015). Hampir 95% di antaranya
mengakses internet melalui telepon seluler.
Bisa dipastikan bahwa pengguna internet
terbesar adalah pemilih pemula yang jumlahnya sekitar 13% dari jumlah pemilih.
Sebagai petahana, bisa dipastikan
bahwa Ahok-Djarot merupakan pasangan
terpopuler. Tanpa berkampanye sekalipun
secara umum para pemilih Pilgub DKI Jakarta sudah bisa menilai kinerja dan reputasinya. Beberapa pencapaian yang dianggap publik cukup berhasil adalah normalisasi Kali Sunter dan Waduk Rawa Badung,
pengadaan Scania untuk TransJakarta, Peningkatan taraf layanan puskesmas menjadi
rumah sakit, Pembangunan Ruang Publik
Terpadu Ramah Anak, dan Relokasi Kampung Pulo dan Kalijodo.
Tetapi, tantangan yang dihadapi
Ahok-Djarot juga tidak kecil. Selain, masalah reklamasi Teluk Jakarta dan kasus
Rumah Sakit Sumber Waras, karakter kepemimpinannya yang kontroversial merupakan kelemahan yang bisa memengaruhi elektabilitasnya. Salah satunya adalah ucapannya terkait Surat Al Maidah ayat
51 saat berkunjung ke Kepulauan Seribu
Jakarta, pasangan Jokowi-Ahok mendapat 53,82% suara,
sedangkan pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli memperoleh
46,18% suara (https://id.wikipedia.org/).

pada 27 September 2016. Ucapannya tersebut telah menimbulkan reaksi keras dari
banyak umat dan ormas Islam di daerahdaerah, termasuk Majelis Ulama Indonesia.
MUI menyatakan bahwa pernyataan Ahok
memiliki konsekuensi hukum.17 Meskipun
Ahok sudah meminta maaf, sejumlah ormas
Islam tetap melaporkannya ke polisi (BBC.
com, 7 Oktober 2016). Mengingat Ahok
adalah satu-satunya Cagub non-Muslim,
hasil Pilgub DKI 2017 bisa menjadi barometer apakah perilaku pemilih masih menjadikan sentimen SARA sebagai salah satu
faktor utama atau tidak. Sekadar diketahui,
jumlah penduduk Muslim di DKI Jakarta
85,36%.
Berbeda dengan Ahok, sebagai
Cawagub Djarot Saiful Hidayat memiliki karakter yang santun dan lembut. Pengalamannya sebagai Walikota Blitar dua
priode (2000-2010) sebenarnya juga cukup
menonjol. Tetapi, karena dominasi Ahok
yang sangat besar sebagai Gubernur, kinerja Djarot sebagai wagub petahana menjadi
kurang dikenal publik.
Lepas dari itu, meskipun belum
pernah berkecimpung dalam pemerintahan
daerah, Anies memiliki beberapa kelebihan, seperti pengalamannya sebagai mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan,
pelopor Gerakan Indonesia Mengajar, dan
mantan Rektor Paramadina. Setidaknya,
pengalamannya selama dua tahun membuatnya cukup mengenal birokrasi pemerintahan Indonesia. Selain dikenal cerdas dan memahami ilmu politik Indonesia,
Anies juga dikenal santun dan memiliki
kepiawaian dalam berkomunikasi. Sementara itu, pasangannya Sandiaga Uno juga
dikenal sebagai pebisnis muda yang sukses. Adapun kekurangan keduanya yang
paling menonjol adalah bahwa keduanya
lebih dikenal di kalangan menengah atas
MUI Nyatakan Sikap Soal Ucapan Ahok Terkait Al Maidah
51, ini Isinya http://news.detik.com/, 11 Oktober 2016.

17

Jurnal Demokrasi | Edisi 2016


ketimbang menengah bawah. Ini merupakan tantangan terberat keduanya dalam
meyakinkan pemilih mengingat masa pencoblosan yang hanya beberapa bulan dan
segmen terbesar adalah pemilih dari kelas
menengah bawah.
Sebagai putra Presiden ke-6 Susilo
Bambang Yudhoyono, nama Agus boleh
dikatakan cukup dikenal. Dengan usianya
yang muda, cerdas, dan tampan, ia bisa
menjadi magnet untuk menarik pemilih
pemula dan pemilih perempuan18. Tetapi,
tantangan terberatnya untuk meyakinkan
pemilihnya adalah latar belakangnya yang
militer dan belum pernah berpolitik praktis. Kelemahan tersebut kiranya cukup tertutupi dengan keberadaan Sylviana Murni
sebagai Cawagubnya. Mantan none Jakarta
tersebut merupakan birokrat di pemerintahan DKI Jakarta yang kaya pengalaman.19
Dibandingkan kedua Cagub di
atas, kelebihan pasangan Agus-Sylvi adalah karena keduanya merepresentasikan
perpaduan dua etnik terbesar di Jakarta.
Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun
2000 penduduk DKI terbesar adalah etnik Jawa (35,16%) dan kedua etnik Betawi (27,65%).20 Kenyataan ini merupakan
keuntungan yang bisa diperoleh dari pemilih tradisional. Selain itu, sebagai satu-satunya Cawagub perempuan, Sylviana Murni
Dalam pilpres 2009 hasil survei exit poll Lembaga Survei
Indonesia menunjukkan bahwa untuk kedua kalinya pasangan
SBY-Boediono menang, terutama, karena pemilih perempuan,
yakni 66% ketimbang pemilih laki-laki (55%). Adapun pasangan
Megawati-Prabowo mendapat dukungan 31 persen dari pemilih
laki-laki dan 22 persen pemilih perempuan, sedangkan JKWiranto mendapat 13 persen dukungan pemilih laki-laki dan 12
persen pemilih perempuan http://politik.news.viva.co.id/, 9 Juli
2009).
19
Beberapa jabatan yang pernah diduduki Sylviana Murni adalah
Deputi Gubernur Bidang Pariwisata dan Kebudayaan Pemprov
DKI Jakarta (2015-2016), Plt Kepala Satuan Polisi Pamong
Praja Pemprov DKI Jakarta (2013-2014), Asisten Pemerintahan
Pemprov DKI Jakarta (2013), Plt Walikota Jakarta Barat (2013),
Walikota Jakarta Pusat (2008-2010), Kepala Dinas Pendidikan
Dasar DKI (2004-2008), Kepala Dinas Kependudukan dan
Catatan Sipil (DKCS) DKI (2001-2004), dan Kepala Biro Bina
Sosial DKI (1999-2001).
20
https://id.wikipedia.org/
18

19
berpotensi lebih besar untuk menggalang
suara perempuan jika ia mampu meyakinkan pemilihnya dengan mengangkat isu-isu
gender.
Pilkada Milik Siapa?
Sejak digelarnya Pilkada langsung
tahun 2005 Indonesia bisa disebut sebagai
negara Pilkada. Sebab, selama rentang
waktu 2005-2014 tercatat ada 1.027 Pilkada langsung. Bila dihitung secara rata-rata,
dengan 34 provinsi dan 520 kabupaten/kota,
berarti setiap 4 hari setidaknya ada Pilkada
di Indonesia. Dengan Pilkada serentak Indonesia diharapkan tidak disibukkan hanya dengan urusan Pilkada. Lebih dari itu,
biaya Pilkada juga diharapkan dapat lebih
HVLHQ
Bertentangan dengan hal tersebut,
Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra, 2013) mencatat mahalnya
biaya Pilkada. Untuk kabupaten atau kota
bisa mencapai Rp 25 miliar, sedangkan biaya Pilkada provinsi mencapai lebih dari
Rp 100 miliar. Salah satu yang membuat
mahalnya biaya Pilkada, terutama, terkait
mahar politik. Masalah ini sulit dibuktikan, tetapi aromanya sangat kuat. Aroma
tersebut juga dirasakan publik melihat
mudahnya Ahok memperoleh dukungan
partai, termasuk dari PDIP yang semula menentang Ahok. Apalagi selama ini
Ahok diketahui berpandangan agak negatif
terhadap partai.21 Jauh sebelum PDIP memutuskan mendukung Ahok, Ketua DPP
PDIP Andreas Hugo Pereira, misalnya,
menduga bahwa sebagai pendukung Ahok
jangan-jangan Partai NasDem telah menerima Rp 100 milyar (https://wwww.merdeka.com dan http://rimanews.com, 11 Maret
2016).
Besarnya biaya Pilgub DKI Jakarta secara jujur diakui Ahok. Menurutnya,
JK: Sikap Ahok Keluar Gerindra Tak Elok, Nanti Orang Bisa
Tak Percaya, 12 September 2014.

21

20
untuk mendapat dukungan dua partai ia
memperkirakan membutuhkan sedikitnya
lebih dari Rp 100 miliar. Hal tersebut belum termasuk kebutuhan dana untuk pengurus partai ranting di kecamatan, dan
bila ada tambahan partai pendukung lainnya (http://www.tribunnews.com, 11 Maret 2016). Hal yang sama juga dikatakan
Sandiaga Uno. Baru sosialisasi calon saja,
ia mengaku sudah menghabiskan Rp 29,3
miliar (http://www.cnnindonesia.com, 13
Oktober 2016). Dengan kenyataan tersebut
sulit bagi kader-kader potensial untuk bisa
bertarung dalam Pilkada bila tak memiliki
modal atau tidak memiliki investor Pilkada.
Suramnya Demokrasi Lokal?
Sebagai ibukota negara Pilgub DKI
Jakarta seharusnya menjadi contoh barometer demokrasi Indonesia di mana proses
rekruitmen calon kepala dan Wakil Kepala
Daerahnya melibatkan partisipasi masyarakat. Tetapi, hal tersebut tampaknya masih jauh dari harapan. Proses demokrasi
lokal justru cenderung makin suram atau
setidaknya masih berjalan di tempat. Pilkada masih milik para elite dan mahal. Antara lain karena hal tersebut, parpol gagal
melakukan rekruitmen elite dan kaderisasi
di internalnya. Selain itu, parpol juga gagal
menyerap aspirasi rakyat. Tumpuan besar
rakyat pada PDIP untuk mencalonkan kadernya sendiri dalam Pilgub DKI Jakarta
2017, misalnya, tak mendapat tanggapan
baik meskipun PDIP tak memerlukan koalisi partai untuk mengajukan Cagub/Cawagubnya sendiri. PDIP justru mencalonkan
tokoh dari luar partainya dan mengabaikan
kader-kader internalnya yang bagus.
Kenyataan tersebut menunjukkan
rendahya makna Pilkada langsung sebagai
WHURERVDQSROLWLNVLJQLNDQJXQDPHZXMXGkan demokratisasi yang substansial di tingkat lokal. Seperti halnya di tingkat nasio-

Jurnal Demokrasi | Edisi 2016


nal, demokrasi di tingkat lokal juga belum
tumbuh dan berkembang sesuai dengan nilai-nilai demokrasi. Salah satu masalahnya
adalah karena parpol masih tersandera oleh
kekuatan tangan-tangan tersembunyi para
pemilik modal dan petinggi partai.
Pilkada sesungguhnya merupakan
bagian dari proses penguatan dan pendalaman demokrasi (deepening democracy)
serta upaya mewujudkan tata pemerintahan
yang efektif. Tetapi, melihat proses pencalonan Gubernur di DKI Jakarta muncul
pertanyaan apakah Pilkada langsung saat
ini relevan dan bermanfaat bagi penguatan demokratisasi lokal dan penciptaan pemerintahan daerah yang berkualitas, efektif,
HVLHQNXDWGDQGHPRNUDWLV governability
or the quality of being governable). Belajar dari proses pencaguban di DKI Jakarta
kiranya dapat dikatakan bahwa tantangan
Pilkada langsung adalah kuatnya kompromi-kompromi kepentingan antara elite
penguasa dan para elite, khususnya pemilik
modal. Fenomena ini kurang menguntungkan jika dikaitkan dengan pembangunan
demokrasi lokal khususnya. Sebab, esensi
demokrasi lokal dalam konteks otonomi daerah adalah untuk mewujudkan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance)
dan menyejahterakan rakyat. Demokrasi di
tingkat nasional maupun lokal tampak masih dimaknai dalam konteks prosedur. Oleh
karena itu, para elite politik, khususnya,
perlu memahami konseptualisasi kualitas
demokrasi sebagai sarana untuk memberikan kesempatan kepada setiap orang dewasa untuk berpartisipasi dalam politik secara
bebas dengan menghargai hak dan kewajibannya.
Secara substansial demokrasi mengajarkan tentang pentingnya kesetaraan dan
partisipasi rakyat (duduk sama rendah, berdiri sama tinggi). Demokrasi memerlukan
kontrol masyarakat terhadap keputusan pu-

Jurnal Demokrasi | Edisi 2016


blik dan pembuat keputusan publik. Selain
itu, demokrasi juga memerlukan kesetaraan
antarmasyarakat dalam relasinya dengan
keputusan publik. Prinsip dasar ini menjadi
landasan good governance, yakni partisipasi, representasi, akuntabilitas, transparansi,
responsivitas, dan solidaritas.
Partai politik seharusnya menjadi
pilar penting demokrasi dan salah satu
tulang punggung kehidupan politik. Dalam kenyataannya parpol belum berhasil
melakukan penguatan political merit system dan modernisasi pengelolaan partai
politik. Kekuasaan partai politik cenderung sangat dominan. Hal ini tentunya bisa
mengancam keberlangsungan kehidupan
negara yang demokratis dan menyebabkan
political corruption yang serius dalam kehidupan bernegara.
Dalam sistem demokrasi, calon independen atau perseorangan merupakan alternatif untuk memperbaiki representative
weakness. Dengan demikian, partai politik
tidak menjadi satu-satunya wadah atau lembaga bagi masyarakat untuk dicalonkan dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah. Bagi
partai politik hal ini merupakan tekanan
politik (political pressure) tersendiri yang
semestinya dimaknai sebagai upaya perbaikan kinerja dan kaderisasi partai. Jika partai politik tidak mau melakukan penguatan,
bisa jadi lembaga ini akan ditinggalkan oleh
masyarakat dan mengalami deligitimasi serius. Oleh karena itu, batalnya Ahok sebagai calon independen merupakan kemenangan partai, tapi bisa jadi preseden buruk
bagi kesinambungan calon perseorangan
dalam Pilkada. Dilihat dari sisi kehadiran
calon independen, kualitas Pilkada serentak 2017 makin rendah ketimbang Pilkada
serentak 2015. Dalam Pilkada 2015 jumlah
calon independen mencapai 35%, dimana 14,4% di antaranya berhasil menang.22
Survei SSI: 14,4 Persen calon independen menang Pilkada
serentak, https://www.merdeka.com, 26 Januari 2016.
22

21
Tetapi, dalam Pilkada serentak 2017 tidak
ada satu pun peserta dari calon independen
(Okezone News, 9 Agustus 2016).23
Tantangan Ke Depan
Dinamika Pilkada selama rentang
waktu 2005-2016 menunjukkan bahwa tantangan yang dihadapi daerah dalam melaksanakan Pilkada cukup berat. Sebagai bagian proses learning by doing pelaksanaan
demokrasi lokal, kekuatan-kekuatan sosial
(societal forces) dalam masyarakat tidak
hanya mendorong perbaikan desain Pilkada, tetapi juga reformasi partai politik. Seiring dengan itu, perlu pula didorong keikutsertaan calon perseorangan dalam Pilkada
agar makna kontestasi lebih terasakan dan
kecenderungan munculnya calon tunggal
bisa dibendung. Untuk itu, pemerintah dan
parpol harus mampu mewujudkan Pilkada
yang murah, berkualitas, dan partisipatif.
Keikutsertaan calon perseorangan
dalam Pilkada penting karena setidaknya
bisa menjadi jembatan (bridging) macetnya fungsi representasi dan munculnya pemimpin dari bawah yang sejauh ini belum
dilakukan parpol secara serius dan memadai. Selain itu, hal ini juga berpengaruh
positif terhadap proses pencerahan atau
pembelajaran politik kepada masyarakat.
Bagi parpol ini merupakan sebuah tantangan dalam berbenah diri untuk menjadi pilar
demokrasi.
Pengalaman Pilkada serentak 2015
di 264 daerah (provinsi, kabupaten, dan
kota) menunjukkan dengan jelas bahwa
Menurut Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, dari 101
daerah peserta Pilkada serentak 2017, hanya 3 daerah yang
memiliki calon independen, itu pun sebagian masih dalam
YHULNDVL 'LNHWDKXL VHEHOXPQ\D VHEDQ\DN GHODSDQ SDVDQJDQ
yang menyerahkan dokumen dukungan KTP ke KPUD DKI,
semuanya dinyatakan tak memenuhi syarat minimal sehingga
dipastikan tak ada calon perseorangan dalam Pilkada DKI 2017.
Delapan calon independen DKI gagal semua. Di Banten empat
FDORQ\DQJGLYHULNDVLMXJDJDJDOFDORQLQGHSHQGHQGDUL$FHK
 \DQJ GLYHULNDVL GDQ  FDORQ GL *RURQWDOR MXJD WLGDN ORORV
Artinya 8 calon perseorangan dalam Pilkada serentak 2017 gagal
memenuhi persyaratan (Okezone News, 18 Agustus 2016).

23

22
meskipun di sebagian besar daerah Pilkada berlangsung relatif damai, harus diakui
bahwa substansi nilai-nilai demokrasinya
masih belum tersentuh seluruhnya. Kedepan pelaksanaan demokrasi lokal melalui Pilkada serentak perlu diperbaiki secara substantif, khususnya, terkait perilaku
distortif atau menyimpang/melanggar yang
dilakukan para peserta Pilkada. Untuk itu,
diperlukan respon yang tangkas dari daerah-daerah, mengingat keragaman atau
pluralitas lokal yang mereka miliki bisa
dimaksimalkan untuk menghasilkan Pilkada serentak yang lebih berkualitas. Pilkada
serentak diharapkan mengurangi kebosanan masyarakat terhadap Pilkada, dan sebaliknya meningkatkan semangat mereka
agar angka golput menurun. Oleh karena
itu, partisipasi masyarakat dalam Pilkada
perlu dijaga dan dicermati agar tetap dalam
koridor demokrasi. Pilkada yang demokratis memenuhi dua syarat penting yaitu
partisipati masyarakat pemilih dan adanya
kontestasi. Pilkada yang free and fair sekuUDQJNXUDQJQ\DGLUHHNVLNDQPHODOXLWHUSLlihnya pemimpin yang siddiq (jujur), amanah (trusted), tabligh (transparan/komunikatif), fathonah (bijaksana), dan kompeten.
(*)
Daftar Pustaka
Migdal, Joel S., 1988, Strong
Societies and Weak States: State-Society
Relations and State Capabilities in the Third
World. Princeton: Princeton University
Press.
Mozaffar, Shaheen and Andreas
Schedler. 2002. The Comparative Study
of Electoral Governance Introduction,
International Political Science Review 23,
1 (January): 5-27.
Nordholt, Henk S. dan Gerry van
Klinken, 2007. Politik Lokal di Indonesia,
Jakarta: YOI & KITLV.

Jurnal Demokrasi | Edisi 2016


Pierre, Jon dan B. Guy Peters, 2000,
Governance, Politics and the State. New
York: St. Martins Press.
Smith, B.C., 1985, Decentralization,
the Territorial Dimension of the State.
George Allen Uhwin.
Zuhro, R. Siti, 2005, Perjuangan
Demokrasi melalui Pilkada: Studi Kasus
Keterlibatan Birokrasi dalam Pilkada di
Jember, Jurnal Masyarakat Indonesia,
Jakarta: LIPI, Vol. XXXI, No. 2.
Zuhro, R. Siti, 2006, Tantangan
Pilkada dan Perubahan Pola Hubungan
antara Kepala Daerah dan DPRD, Jurnal
Autonomia, Vol. I, No. 1.
Zuhro, R. Siti, 2006, Pilkada
yang Demokratis dan Damai di Malang
(Jawa Timur), dalam Syafuan Rozi
(ed.), Netralitas Birokrasi dalam Pilkada
Langsung di Indonesia: Studi Kasus
Malang, Gowa dan Kutai Kartanegara.
Jakarta: Pusat Penelitian Politik - LIPI.
Zuhro, R. Siti, 2012, Memahami
Demokrasi Lokal: Pilkada, Tantangan dan
Prospeknya, Jurnal Pemilu & Demokrasi,
No. 4, November.
Zuhro, R. Siti dkk, 2008. Pilkada
DKI Jakarta: Masalah dan Prospeknya,
dalam Abdussomad Abdullah (ed.),
Globalisasi dan Demokratisasi: Meretas
Jalan Menuju Kejatidirian. Jakarta: PT
THC Mandiri.
Zuhro, R. Siti, 2009, Demokrasi
Lokal: Peran Aktor dalam Demokratisasi
di Jawa Timur, Sumatera Barat, Sulawesi
Selatan dan Bali. Yogyakarta: Penerbit
Ombak.
Zuhro, R. Siti, 2011, Model
Demokrasi Lokal. Jakarta: PT THC
Mandiri.
Zuhro, R. Siti, 2013, Politik
Desentralisasi: Masalah dan Prospeknya,
Jurnal Ilmu Pemerintahan, Edisi 43 Tahun
2013.

Jurnal Demokrasi | Edisi 2016


Zuhro, R. Siti, 2015, Pilkada
Serentak dan Mimpi Munculnya Sang
Inovator, GATRA, Edisi Khusus Agustus.
Zuhro, R. Siti, 2015, Pilkada
Serentak atau Serempak?, Edisi Khusus
Koran Sindo, 1 Desember.

23
Zuhro, R. Siti, 2015, Pilkada
Serentak: Keperkasaan Petahana, Media
Indonesia, 14 Desember.
Zuhro, R. Siti, 2015, Setelah
Pilkada Serentak, Sindo Weekly, No. 42
Tahun IV, 17-23 Desember.

Pilgub DKI Jakarta seyogyanya


bisa menjadi contoh pembangunan
demokrasi lokal yang partisipatif,
free and fair, akuntabel, aman, dan
bebas dari politik uang

24

Secara substansial demokrasi mengajarkan tentang


pentingnya kesetaraan dan
partisipasi rakyat (duduk sama rendah, berdiri
sama tinggi). Demokrasi memerlukan
kontrol masyarakat terhadap keputusan publik dan
pembuat keputusan publik.
Selain itu, demokrasi juga memerlukan
kesetaraan antar masyarakat dalam relasinya dengan
keputusan publik

Jurnal Demokrasi | Edisi 2016

25

KETIKA CALON KEPALA DAERAH MENJADI TERSANGKA


Oleh Sumarno
Ketua KPU Provinsi DKI Jakarta
Abstract
7KLVSDSHUEULH\H[DPLQHVWKHSHUVSHFWLYHRI5HJXODWLRQ/HJLVlation and Regulations Commission how the implications if the
Candidate of Regional Head named as a suspect.

Keywords: Candidate Regional Head Suspect Status, Legal Implications.

etika Polri menetapkan Basuki T.


Purnama (Ahok) sebagai tersangka dalam kasus dugaan penodaan
agama pada hari Rabu 16/8/2016, banyak kalangan bertanya pada KPU DKI:
bagaimana status pencalonan Ahok dalam
Pilkada DKI Jakarta 2017? Apakah Ahok
masih bisa melanjutkan pencalonannya?
$SDNDK $KRN DNDQ GLGLVNXDOLNDVL GDUL
pencalonan Gubernur DKI? Pertanyaan itu
wajar karena saat ini Ahok tercatat sebagai
Calon Gubernur DKI Jakarta nomor urut 2
yang berpasangan dengan Djarot Syaiful
Hidayat.
Tulisan ini akan menelaah secara
singkat berdasarkan peraturan perundangundangan dan Peraturan KPU bagaimana
implikasinya jika seorang calon kepala
daerah ditetapkan sebagai tersangka. Sebelum membahas masalah tersebut, terlebih dahulu akan dikemukakan isu-isu
yang muncul dalam revisi UU No. 8 Tahun
2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati
dan Walikota. Salah satu isu yang muncul
adalah status tersangka bagi calon kepala
daerah.

visi UU No. 8 Tahun 2015 tentang Pilkada yang kemudian disahkan DPR menjadi
UU No. 10 Tahun 2016. Pada saat pembahasan revisi UU itu, para pegiat Pemilu
dan akademisi berharap UU Pilkada yang
baru memberikan jaminan terpilihnya para
kepala daerah yang memiliki integritas
yang baik, antara lain dengan pengaturan
pelarangan seorang tersangka maju dalam
Pilkada. Akan tetapi dalam usul inisitaif
pemerintah yang disampaikan ke DPR, tak
satupun pasal secara eksplisit mengatur
larangan itu.
Tidak adanya larangan seorang tersangka maju dalam Pilkada dalam draft
revisi UU Pilkada usulan pemerintah,
ternyata mendapat dukungan kalangan
DPR. Mereka berdalih, seorang tersangka
belum tentu bersalah atas dugaan tindak
pidana yang disangkakan kepadanya. Dengan menganut asas praduga tak bersalah,
hak seseorang, meskipun berstatus tersangka tidak boleh dirampas untuk maju dalam
pemilihan kepala daerah. Menurut Ketua
Komisi II DPR, Rambe Kamarul Zaman
dalam pembahasannya terjadi perdebatan
apakah ingin diatur dalam ketentuan UU
Status Tersangka
atau tidak, namun pada akhirnya tidak diaPerdebatan boleh tidaknya calon tur karena merujuk asas praduga tidak berkepala daerah yang berstatus tersangka salah tersebut.
mengikuti pilkada sudah muncul sejak reKegusaran kalangan yang men-

26
dukung larangan seorang tersangka maju
dalam Pilkada merujuk pada terpilihnya
empat orang yang berstatus tersangka terpilih dalam Pilkada serentak bulan Desember 2015. Bahkan mereka kemudian
dilantik sebagai kepala daerah pada tanggal
17 Februari 2016, Keempat kepala daerah
yang berstatus tersangka itu adalah Wali
Kota terpilih Gunung Sitoli, Sumatra Utara,
Lakhomizaro Zebua, yang menjadi tersangka kasus korupsi pengadaan RSUD Nias
Selatan tahun 2013 senilai Rp 5,12 miliar.
Bupati terpilih Sabu Raijua, NTT, Marthen
Dira Tome, tersangka KPK dalam kasus
korupsi di Dinas Pendidikan, Pemuda, dan
Olahraga Provinsi NTT Tahun 2007 sebesar Rp 77 miliar. Ada pula Bupati terpilih
Ngada, NTT, Marianus Sae, yang menjadi
tersangka kasus penutupan Bandara Turerelo Soa. Terakhir, Bupati terpilih Maros,
Sulawesi Selatan, Hatta Rahman berstatus
tersangka kasus korupsi pada 2011.
Di tengah kontroversi yang masih
berlanjut, RUU Pilkada hasil revisi UU No.
8 Tahun 2015 itu akhirnya disetujui DPR
untuk disahkan menjadi UU dalam rapat
paripurna DPR pada Kamis, 2 Juni 2016.
Meskipun tidak ada pasal khusus yang
melarang tersangka maju dalam Pilkada, namun dalam Pasal 7 ayat (2) huruf i disebutkan bahwa seseorang yang mencalonkan
atau dicalonkan sebagai kepala daerah tidak pernah berbuat tercela yang dibuktikan
dengan surat keterangan catatan kepolisian
(SKCK). Dalam penjelasan pasal 7 ayat (2)
huruf i disebutkan bahwa yang dimaksud
dengan melakukan perbuatan tercela antara
lain judi, mabuk, pemakai/pengedar narkoba, berzina, dan perbuatan melanggar kesusilaan.
Secara tegas UU Pilkada yang baru
itu melarang seorang terpidana yang telah
memiliki kekuatan hukum tetap, maju dalam Pilkada. Aturan itu disebutkan dalam

Jurnal Demokrasi | Edisi 2016


pasal 7 ayat (2) huruf g yang menyebutkan
tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap atau bagi mantan
terpidana telah secara terbuka dan jujur
mengemukakan kepada publik bahwa yang
bersangkutan mantan terpidana.
Kembali ke pertanyaan awal,
bagaimana status pencalonan Basuki T
Purnama dalam Pilkada DKI 2017 setelah
ditetapkan sebagai tersangka kasus penodaan agama? Menurut konstruksi UU No.
10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun
2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati,
dan Walikota, status pencalonan Basuki T
Purnama dalam Pilkada DKI 2017 tidak
gugur. Calon Gubernur DKI nomor urut 2
itu masih bisa mengikuti seluruh rangkaian
tahapan Pilkada DKI, termasuk tahapan
kampanye dan pemungutan suara. Bahkan,
seandainya dia terpilih, Basuki T Purnama
bersama pasangannya, Djarot Saiful Hidayat, tetap bisa dilantik menjadi Gubernur
DKI 2017. Hal itu tercantum dalam pasal
163 ayat (6) UU No. 10 Tahun 2016.
Berdasarkan ketentuan UU Pilkada tersebut, KPU DKI Jakarta tidak dapat
memenuhi aspirasi sebagian warga yang
menginginkan agar pencalonan Basuki T
Purnama dibatalkan atau dicoret dari daftar calon kepala daerah dalam Pilkada DKI
Jakarta 2017 setelah berstatus tersangka
dugaan penodaan agama. Logikanya sederhana kalau mengikuti para pembuat UU
bahwa seorang tersangka belum tentu bersalah di pengadilan, oleh karenanya perlu
diterapkan asas praduga tak bersalah.
Tidak Bisa Mengundurkan Diri
Meskipun dalam perspektif legal
formal, status tersangka seorang calon

Jurnal Demokrasi | Edisi 2016


kepala daerah tidak dapat menggugurkan
pencalonannya dalam Pilkada, lain halnya
jika dilihat dari sudut pandang etis. Kacamata hukum menyangkut soal benar atau
salah, sedangkan sudut pandang etika bicara soal pantas atau tidak pantas. Secara
yuridis, seorang tersangka memang belum
tentu bersalah, tetapi apakah pantas sebagai
tersangka tetap maju sebagai calon kepala daearah yang kelak kalau terpilih akan
menjadi pimpinan yang harus memberikan
keteladanan kepada rakyat yang dipimpinnya.
Itulah sebabnya, ketika Basuki T
Purnama ditetapkan sebagai tersangka kasus penodaan agama, tidak sedikit pihak
yang menyuarakan agar yang bersangkutan
mengundurkan diri sebagai calon atau partai politik pengusung menarik dukungannya
dari pencalonannya. Seperti diketahui Basuki T Purnama yang berpasangan dengan
Djarot Saiful Hidayat diusung oleh empat
partai politik, yaitu PDI Perjuangan, Partai
Hanura, Partai Golkar dan Partai Nasdem.
Bolehkah calon kepala daerah atau
wakil kepala daerah mengundurkan diri
dengan alasan tertentu, misalnya karena
telah ditetapkan sebagai tersangka? Inilah
jawaban UU Pilkada kita. Dalam pasal 191
ayat (1) UU No 8 Tahun 2015 dinyatakan:
Calon Gubernur, Calon Wakil
Gubernur, Calon Bupati, Calon Wakil
Bupati, Calon Walikota, dan Calon
Wakil Walikota yang dengan sengaja
mengundurkan diri setelah penetapan
pasangan calon sampai dengan pelaksanaan pemungutan suara, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat
24 (dua puluh empat) bulan dan paling
lama 60 (enam puluh) bulan dan denda paling sedikit Rp25.000.000.000,00
(dua puluh lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima
puluh miliar rupiah).

27
Bagaimana dengan partai politik
pengusung, bolehkah menarik dukungan dari pencalonan seseorang yang telah ditetapkan sebagai tersangka? Pada
pasal 191 ayat (2) UU No. 8 Tahun
2015 disebutkan secara jelas:
Pimpinan Partai Politik atau
gabungan pimpinan Partai Politik yang
dengan sengaja menarik pasangan
calonnya dan/atau pasangan calon
perseorangan yang dengan sengaja
mengundurkan diri setelah ditetapkan
oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota sampai dengan pelaksanaan
pemungutan suara, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 24 (dua
puluh empat) bulan dan paling lama 60
(enam puluh) bulan dan denda paling
sedikit Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) dan paling
banyak Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah)
Berdasarkan ketentuan UU tersebut
sangat jelas seorang calon kepala daerah
atau wakil kepala daerah tidak boleh mengundurkan diri dari proses pencalonan. Begitu juga halnya partai politik pengusung,
juga tidak dapat menarik dukungannya dari
proses pencalonan, meskipun calon yang
diusung sudah berstatus tersangka.
Ketentuan tidak boleh mengundurkan diri juga tercantum dalam Peraturan
KPU No. 9 Tahun 2016 tentang Pencalonan
Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur,
Bupati dan Wakil Bupati dan/atau Walikota dan Wakil Walikota. Salah satu yang disyaratkan dalam PKPU itu adalah seorang
calon harus menyerahkan surat pernyataan
form Model BB.1 KWK yang antara lain
berisi pernyataan tidak akan mengundurkan
diri dari proses pencalonan sampai tahapan
selesai. Hal yang sama juga mengikat partai
politik pengusung.

28
Status Terpidana
Kalau status tersangka tidak dapat
mengugurkan pencalonan seseorang dalam Pilkada, maka berbeda halnya kalau
yang bersangkutan telah menyandang status sebagai terpidana. Status pencalonan
kepala daerah akan dibatalkan jika yang
bersangkutan dalam proses hukum di pengadilan terbukti melakukan tindak pidana
yang disangkakan kepadanya dan divonis
sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum
tetap. Hal itu dijelaskan dalam pasal 88
PKPU No. 9 Tahun 2016 sebagai berikut:
(1) Pasangan Calon dikenakan sanksi
pembatalan sebagai peserta Pemilihan oleh KPU Provinsi/KIP Aceh atau
KPU/KIP Kabupaten/Kota, apabila:
Pasangan Calon dan/atau Tim
Kampanye terbukti menjanjikan dan/
atau memberikan uang atau materi
lainnya untuk memengaruhi pemilih
berdasarkan putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap, sebelum hari pemungutan suara;
Pasangan Calon terbukti melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam pidana penjara paling singkat
5 (lima) tahun atau lebih berdasarkan
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, sebelum
hari pemungutan suara;
Pasangan Calon terbukti menerima dan/atau memberikan imbalan
dalam proses pencalonan berdasarkan
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
Pasangan Calon terbukti melakukan kampanye di media cetak atau
elektronik, berdasarkan rekomendasi
Bawaslu Provinsi atau Panwas Kabupaten/Kota atau Keputusan KPU
Provinsi/KIP Aceh;
Melakukan penggantian pejabat

Jurnal Demokrasi | Edisi 2016


sejak ditetapkan sebagai Pasangan
Calon sampai dengan akhir masa jabatan, bagi Calon atau Pasangan
Calon yang berstatus sebagai Petahana;
Menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan Pemerintah Daerah untuk kegiatan pemilihan sejak
ditetapkan sebagai Pasangan Calon
sampai dengan penetapan Pasangan
Calon Terpilih, bagi Calon atau Pasangan Calon yang berstatus sebagai
Petahana; dan
Tidak menyerahkan surat izin cuti
kampanye, bagi Calon yang berstatus
sebagai Petahana.
Pasal 88 ayat (1) tersebut menguraikan faktor apa saja yang dapat menyebabkan status pencalonan kepala daerah dapat
diberikan sanksi berupa pembatalan oleh
KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.
Dalam ayat 1b secara eksplisit disebutkan
kalau calon telah dipidana berdasarkan
putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, maka yang bersangkutan
akan dikenai sanksi berupa pembatalan sebagai peserta pemilihan.
Jika putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap itu belum ada
sampai tahapan pemungutan suara, maka
seorang tersangka dapat mengikuti pemungutan suara. Seandainya yang bersangkutan terpilih menjadi kepala daerah atau
wakil kepala daerah, mereka tetap dilantik dengan ketentuan sebagai berikut sebagaimana diatur dalam pasal 163 ayat (6,
7 dan 8) UU No. 10 Tahun 2016:
(6) Dalam hal calon Gubernur dan/
atau Calon Wakil Gubernur terpilih
ditetapkan menjadi tersangka pada
saat pelantikan, yang bersangkutan
tetap dilantik menjadi Gubernur dan/
atau Wakil Gubernur.

Jurnal Demokrasi | Edisi 2016


(7) Dalam hal calon Gubernur dan/
atau Calon Wakil Gubernur terpilih
ditetapkan menjadi terdakwa pada
saat pelantikan, yang bersangkutan
tetap dilantik menjadi Gubernur dan/
atau Wakil Gubernur dan saat itu juga
diberhentikan sementara sebagai Gubernur dan/atau Wakil Gubernur.
(8) Dalam hal calon Gubernur dan/
atau Calon Wakil Gubernur terpilih
ditetapkan menjadi terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
pada saat pelantikan, yang bersangkutan tetap dilantik menjadi Gubernur
dan/atau Wakil Gubernur dan saat itu
juga diberhentikan sebagai Gubernur
dan/atau Wakil Gubernur.

29

adalah regulasinya, baik UU Pilkada atau


Peraturan KPU tentang pencalonan dalam
pemilihan kepala daerah. Salah satunya
terkait dengan klausal yang secara khusus
mengatur soal status tersangka pada calon
kepala daerah.
Dilandasi semangat mewujudkan
pemerintahan yang bersih yang diawali
dengan pencalonan kepala daerah, perlu dikaji secara komprehensif pentingnya
ketentuan larangan seorang tersangka menjadi calon kepala daerah atau dimungkinkannya calon kepala daerah mengundurkan
diri dari proses pencalonan setelah ditetapkan sebagai tersangka.
Di sisi lain, partai politik pengusung
juga perlu diberi ruang luas untuk meninjau
kembali dan bahkan menarik dukungannya,
jika seorang calon kepala daerah yang diusung sudah ditetapkan sebagai tersangka,
Catatan Akhir
Penetapan status tersangka pada dalam kasus apapun, khususnya kasus yang
Basuki T Purnama memberikan banyak dipandang sangat serius seperti penodaan
pembelajaran dalam demokrasi elektoral agama, narkoba, terorisme, dan kejahatan
kita. Salah satunya yang harus dibenahi seksual. (*)

30

Dilandasi semangat mewujudkan pemerintahan


yang bersih yang diawali
dengan pencalonan kepala daerah, perlu dikaji
secara komprehensif pentingnya
ketentuan larangan seorang tersangka menjadi calon
kepala daerah atau dimungkinkannya calon kepala daerah mengundurkan diri dari
proses pencalonan setelah ditetap
kan sebagai tersangka.

Jurnal Demokrasi | Edisi 2016

31

MENCERMATI TAHAPAN PENCARIAN DATA PEMILIH


PILGUB DKI JAKARTA TAHUN 2017
Oleh Rahmatulloh, M.Si.
Dosen Unindra PGRI Jakarta
dan Mahasiswa Program Doktor Bidang Pendidikan Kependudukan & Lingkungan Hidup (PKLH) Pascasarjana UNJ
Abstract
This paper discusses the problems of the stages of updating the
voter election DKI 2017. From the data synchronization activity DPT 2014 presidential election and DP4 conducted together
by the Election Commission central and the Ministry of Internal Affairs and the matching of research process (coklit) that is
conducted by the Election Commission of Jakarta to build the
integrity and voter data quality.

Keywords: Population, Selector Data and Updates.

encermati tahapan pencarian


Data Pemilih Pemilukada DKI Jakarta tahun 2017 ini adalah menguraikan proses pelaksanaan pemutakhiran data pemilih oleh KPU DKI Jakarta
melalui kegiatan pencocokan dan penelitian mengenai keabsahan daftar penduduk
berbasis data base kependudukan dari pemerintah melalui Dinas Kependudukan
dan Pencatatan Sipil Provinsi DKI Jakarta
dan implikasinya dengan sejumlah pemilih
yang belum memiliki identitas kependudukan elektronik.
Episode Pemutakhiran; Belajar dari
Pengalaman Pemilukada 2007 dan 2012
Sejak era reformasi dan diberlakukannya rezim Pemilukada dalam pemilihan langsung Kepala Daerah oleh rakyat,
DKI Jakarta sudah mengalami 2 kali masa
perhelatan demokrasi lokal tersebut, yakni Pemilukada Tahun 2007 dan Pemilukada 2012. Kini Ibukota Negara tengah dihadapkan Pemilukada ketiga kalinya pada
2017 (sebagai Pilkada serentak tahap II)

yang tahapannya sudah dimulai sejak pertengahan 2016 sesuai SK KPU Provinsi
DKI Jakarta No. 24/kpts/KPU-Prov-010/
Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Keputusan KPU Provinsi DKI Jakarta No. 05/
kpts/KPU-Prov-010/Tahun 2016 tentang
Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DKI Jakarta Tahun 2017.
Dalam penyelenggaraan Pemilukada DKI Jakarta, bahkan umumnya di
berbagai daerah lainnnya di Indonesia,
kerapkali terjadi masalah dalam tahapan
penyelenggaraannya, baik sejak Sosialisasi, Pemutakhiran Data Pemilih, Kampanye, hingga Pemungutan dan Rekapitulasi Suara. Dari berbagai tahapan tersebut,
kekisruhan data pemilih yang merupakan
hasil dari tahapan pemutakhiran data pemilih sering terjadi. Protes yang muncul dari
publik karena masih terdapat warga yang
belum terdaftar ataupun tidak memenuhi
syarat sebagai pemilih, termasuk warga
yang menjadi kantung basis massa dari
pihak tim pasangan calon yang berasal dari

32
partai politik ataupun pihak pasangan calon
independen karena menyangkut konstituen bakal pemilihnya yang terancam
tidak menggunakan hak pilih, sehingga
menimbulkan berbagai gugatan terhadap
penyelenggara Pemilukada.
Bukti pada penyelenggaraan Pemilukada pertama di DKI tahun 2007 yang diikuti pasangan No. 1 Adang Daradjatu-Dani
Anwar (Adang-Dani) dan pasangan No. 2
Fauzi Bowo-Prijanto, salah satunya, yakni pihak pasangan No. 1 (Adang-Dani)
beberapa kali memprotes KPU karena kerancuan daftar pemilih yang dianggap
sudah tidak akurat dan merugikan pihaknya. Meskipun hal tersebut sebenarnya
sudah diprediksi sebelumnya oleh beberapa lembaga penelitian yang membuka hasil surveynya ternyata banyak warga yang
punya hak pilih tidak terdaftar sebagai
pemilih walaupun masa pendaftaran sudah diperpanjang oleh KPU DKI.1 Bahkan,
silang sengkarut data pemilih kembali
terulang, bahkan lebih krusial karena berujung gugatan ke ranah hukum dan sengketa di Dewan Kehormatan Penyelenggara
Pemilu (DKPP). Setelah sebelumnya Pemprov DKI melalui Dinas Dukcapil DKI
menyerahkan daftar Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) pada 6 Januari
2012, sebanyak 7.545.989 bakal pemilih
sebagai bahan KPU DKI untuk dimutakhirkan menjadi Daftar Pemilih Sementara
(DPS) yang akhirnya terdapat 7.044.991
pemilih dalam DPS.
Hal tersebut menimbulkan gelombang protes tidak saja oleh pasangan calon,
tetapi juga berbagai kelompok masyarakat
karena dicurigai masih terdapat yang belum terdaftar, bahkan masih terdata pemilih
JDQGD GDQ NWLI DWDX SHPLOLK VLOXPDQ
alias ghost voters.2 DPS yang sedianya diBudiman Tanuredjo (Ed.). 2007. Jakarta Memilih, Pilkada dan
Pembelajaran Demokrasi. Jakarta Penerbit Buku Kompas. h. 243
2
Bahkan Komisi II DPR RI menyambangi KPU DKI untuk
1

Jurnal Demokrasi | Edisi 2016


sahkan sebagai DPT pada 26 Mei oleh KPU
DKI diundur menjadi 2 Juni 2012 untuk
diperbaiki kembali mengingat banyaknya
sejumlah penolakan, aksi protes dan unjuk
rasa. Meskipun kemudian KPU DKI pada 2
Juni bersikukuh menetapkan DPT menjadi
sebesar 6.983.692 karena tahapan lainnya
harus segera berjalan. Hal inilah yang menimbulkan aduan dari kalangan pasangan
Calon Joko Widodo-Basuki Thahaja Purnama, pasangan Hidayat Nurwahid-Didik
J. Rachbini, pasangan Faisal Basri-Biem
Triani Benyamin, pasangan Hendardji-Ahmad Riza Patria mengadukan ke Polda Metro Jaya dan ke DKPP. Pada sidang
DKPP menjatuhkan sanksi tertulis kepada Ketua KPU DKI dan diperintahkan untuk memperbaiki kembali DPT. Dan, akhirnya dalam Rapat Pleno Terbuka KPU DKI
pada 9 Juli 2012 mengenai DPT diputuskan
menjadi 6.962.348 pemilih pada putaran
pertama 11 Juli 2012.
Memasuki Pemilukada putaran kedua, yakni menyisakan pasangan Fauzi
Bowo-Nachrowi Ramli dengan pasangan
Joko Widodo-Basuki Thahaja Purnama untuk memasuki pencoblosan pada 20 September 2012, ternyata kembali menimbulkan polemik DPT, yakni mereka yang tidak
terdaftar sebagai pemilih pada putaran pertama ingin ikut serta sebagai pemilih pada
putaran kedua. Akhirnya KPU DKI setelah
menerima Surat KPU Pusat (No.284/KPU/
VII/2012 tertanggal 20 Juli 2012) membuka
rapat pleno terbuka untuk merekapitulasi
data pemilih mulai dari PPS hingga KPU
Kab/Kota, KPU DKI menetapkan DPT Putaran Kedua pada 7 Agustus 2012 sebanyak
6.996.951 pemilih, atau bertambah sekitar 34 ribuan pemilih pada putaran kedua.
Adanya komplikasi data pemilih tersebut
mempertanyakan adanya ketidak-akuratan DPS tersebut yang
SHUNLUDNDQ WHUGDSDW  VHNLWDU  MXWD SHPLOLK NWLI 6HGDQJNDQ
Pusat Pergerakan Pemuda Indonesia (P3I) pada 21 Mei 2012
mengeluarkan hasil risetnya terdapat 947.643 (13,5 %) pemilih
dalam DPS tidak akurat.

Jurnal Demokrasi | Edisi 2016


menunjukkan bahwa masalah partisipasi
pemilih masih menjadi problem sepanjang
Pemilukada DKI Jakarta.
Kini, memasuki perhelatan Pemilukada DKI Jakarta yang ketiga kalinya
tahun 2017 yang telah dimulai tahapan pemutakhiran data dan daftar pemilih, diantaranya pencocokan dan penelitian (disingkat Coklit) sejak 8 September 2016 sampai
7 Oktober 2016.
Melihat pengalaman dua kali Pemilukada di DKI Jakarta terhadap kejadian
kisruh data pemilih, dan mengantisipasi kemungkinan yang terjadi dalam pemutakhiran daftar pemilih pada Pemilukada 2017 inilah diperlukan pencermatan
kembali terhadap data kependudukan dan
data pemilih agar potensi komplikasi sebagaimana yang pernah muncul tidak berulang.

33

ministrasi DKI Jakarta), di 44 Kecamatan


(wilayah administrasi DKI Jakarta), di 267
Kelurahan (wilayah DKI Jakarta) dengan
total penduduk pemilih sebanyak 7.439.149
orang, terdiri atas 3.721.325 Laki-laki dan
3.717.824 Perempuan.
Sesuai dengan ketentuan yang diatur
KPU melalui Peraturan Komisi Pemilihan
Umum (PKPU) Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pemutakhiran Data dan Daftar Pemilih
dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan/atau
Walikota dan Wakil Walikota, yakni KPU
menganalisis DP4 dan melakukan sinkronisasi DP4 hasil analisis dengan data pemilih
pada Pemilu atau pemilihan terakhir (Pasal
7). KPU Pusat melakukan analisa DP4 sejak diterima dari pemerintah, sebagaimana
pada tabel 1.
Selanjutnya, dari data DP4 hasil analisis tersebut disinkronkan dengan
Sinkronisasi Data DP4 dari Kemendagri data pemilih pada pemilihan terakhir unke KPU
tuk keperluan penyusunan data pemilih
Pada pertemuan Sosialisasi di KPU yang akan dimutakhirkan di lapangan oleh
DKI Jakarta yang dihadiri Bawaslu DKI, KPUD bersama PPDP.
dan Perwakilan Partai-partai politik, kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Hasil Sinkronisasi DP4 dan Data Pilpres
Sipil Provinsi DKI Jakarta mengungkap- 2014
kan bahwa Disdukcapil telah mengirimkan
Sesuai dengan aturan pasal 58 UU
Data Kependudukan Provinsi DKI hasil Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan
pelaporan Semester II Desember 2015 ke Kedua atas UU Nomor 1 tahun 2015 tenpihak Kementerian Dalam Negeri untuk tang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun
GLVLQNURQLVDVL GLYHULNDVL GDQ GLYDOLGDVL 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupamenjadi Daftar Penduduk Potensial Pemi- ti, dan Walikota menjadi Undang-undang
lih Pemilihan (DP4), sehingga pihaknya disebutkan:
tidak memiliki wewenang dengan keberDaftar Pemilih Tetap pemilihan umum
adaan DP4 yang dikirim ke KPU, dan bahterakhir digunakan sebagai sumber
kan tidak mendapatkan salinannya dari Kepemutakhiran data pemilihan dengan
mendagri.
mempertimbangkan Daftar Penduduk
DP4 yang disusun oleh Pemerintah
Potensial Pemilih Pemilihan.
atau Kemendagri telah diserahkan ke KPU
3XVDWSDGD-XOLEHULVLNDQSUROGDWD
Sehingga DPT pemilu terakhir merpeduduk potensial pemilih di Provinsi (DKI upakan sumber data utama dalam pemuJakarta), di 6 Kabupaten/Kota (wilayah ad- takhiran data pemilih dan disinkronisasikan

Jurnal Demokrasi | Edisi 2016

34

dengan DP4 sebagai data referensi atau disinkronisasikan dengan data DP4 yang
data sekunder. Dari DPT yang pernah ada jumlah sebanyak 7.439.149 penduduk posebagai data pemilih pada pemilihan umum tensial pemilih.
yang pernah dihelat pada 2014 lalu dapat
Kemudian, pada tabel 3 mengenai
Tabel 1. Data DP4 Kemendagri Dianalisis KPU Pusat
No
1
2
3
4
5
6

Jumlah Pemilih Dalam DP4


L
P
L+P+N

Kabupaten/Kota
Jakarta Pusat
Jakarta Utara
Jakarta Barat
Jakarta Selatan
Jakarta Timur
Kepulauan Seribu
Total

419,671
612,127
847,326
785,205
1.047,743
9.253
3,721,325

415,629
607,166
835,496
791,090
1,059,391
9,052
3,717,824

835,300
1,219,293
1,682,822
1,576,295
2,107,134
18,305
7,439,149

Sumber: KPUD DKI, 2016


diketahui sejumlah pemilih dari tabel 2.
Pemilu Legislatif 2014 yang dilaksanakan lebih awal pada 9 April 2016,
sedangkan Pilpres 2014 diselenggarakan
pada 9 Juli 2014 sebagai Pemilihan yang
terakhir sehingga hasil DPT Pilpres digunakan sebagai sumber penyusunan pemutakhiran data. Dari tabel di atas diketahui bahwa jumlah DPT Pilpres 2014 yang
sebanyak 7.096.168 pemilih, dan kemudian

jumlah pemilih hasil sinkronisasi DP4 dan


DPT Pilpres 2014 oleh KPU, didapat sebanyak 8,243,651 hasil sinkronisasi DPT
dan DP4 oleh KPU. Sedangkan gambaran
mengenai jumlah penduduk pemilih pemula, yakni memasuki usia 17 tahun pada saat
pemungutan suara, sebagaimana pada tabel 4, ada sebanyak 387.071 orang.
Dalam RDP Komisi A DPRD
DKI pada 6 September 2016, Ketua KPU

Tabel 2. Jumlah Pemilih DKI Jakarta Pada Pemilu 2014


Jumlah Pemilih
dalam DPT

Jumlah
Menggunakan
Hak Pilih

Jumlah Tidak
Menggunakan
Hak Pilih

Pemilu DPR, DPD


dan DPRD 2014

7.001.520

4.808.198
(68,67%)

2.193.322
(31,32%)

Pemilu Presiden dan


Wakil Presiden 2014

7.096.168

5.441.705
(76,7%)

1.654.463
(23,3%)

Pemilu

Sumber: KPUD DKI, 2016

Jurnal Demokrasi | Edisi 2016

35

Provinsi DKI Jakarta, Sumarno memaparkan bahwa dari hasil Sinkronisasi DPT
Pilpres 2014 dan DP4 sebanyak 8,243,651
warga bakal pemilih masih dijumpai berbagai masalah seperti:
1. Sebanyak sekitar 1.400.000-an yang tidak sinkron;
2. Hanya sekitar 6.000.000-an yang sinkron
antara DP4 dengan DPT Pilpres;
3. Dugaan adanya sejumlah KTP ganda sebanyak 85.000-an orang di DKI Jakarta.

data pemilih. Sebagai bahan penyusunan


data pemilih, maka data hasil sinkronisasi
masih perlu diuji ke lapangan melalui Coklit oleh PPDP. Selain itu data hasil Coklit
diinput ke Sistem Informasi Data Pemilih
(Sidalih) melalui operator langsung yang
ada di PPS dan PPK.
Pencocokan dan Penelitian Data Pemilih
Dalam aturan pasal 10 PKPU No.
4/2015 yakni KPU Kabupaten/Kota da-

Tabel 3. Jumlah Pemilih Hasil Sinkronisasi DP4 dan DPT Pilpres 2014
No
1
2
3
4
5
6

Nama Kabupaten/
Kota
Jakarta Pusat
Jakarta Utara
Jakarta Barat
Jakarta Selatan
Jakarta Timur
Kepulauan Seribu
Total

Jumlah Sinkronisasi DP4 dan DPT Pilpres


L
446,040
676,615
982,308
900,372
1,143,316
11,570
4,160,221

P
436,188
659,395
949,552
891,819
1,136,976
9,500
4,083,430

L+P+N
882,228
1,336,010
1,931,860
1,792,191
2,280,292
21,070
8,243,651

Sumber: KPU DKI, 2016


Tabel 4. Jumlah Pemilih Hasil Sinkronisasi DP4 dan DPT Pilpres 2014
Dilihat dari Segi Usia Potensi Pemilih Pemula dan Usia Bawah-Atas
No
1
2
3
4
5
6

Kabupaten/Kota
Jakarta Pusat
Jakarta Utara
Jakarta Barat
Jakarta Selatan
Jakarta Timur
Kepulauan Seribu
Total

Pemilih Pemula
L
22,205
32,286
44,008
42,143
57,512
632
198,786

P
20.511
30,480
41,610
40,761
54,313
610
188,285

L+P+N
42,716
62,766
85,618
82,904
111,825
1,242
387,071

Di bawah 17 di atas
90
<17
>90
34
1,030
35
649
28
1,013
18
1,059
42
1,038
1
15
158
4,804

Sumber: KPU DKI, 2016


Dari berbagai temuan tersebut, Ketua KPUD DKI mengakui hasil sinkronisasi tersebut masih disebut data kotor yang
perlu dibersihkan melalui pemutakhiran

lam melakukan Pemutakhiran Data Pemilih dibantu oleh PPDP yang diangkat
dan diberhentikan dengan Keputusan KPU
Kab/Kota.

Jurnal Demokrasi | Edisi 2016

36
Dalam pemutakhiran data di lapangan, KPU menyerahkan susunan data pemilih per TPS (Model A-KWK) dalam bentuk
soft copy dan hard copy beserta seluruh dokumen pemutakhiran data pemilih melalui
PPS kepada masing-masing PPDP yang
akan melakukan pencocokan dan penelitian data pemilih. Kegiatan Coklit meliputi
melakukan pencoretan, perbaikan data,
mendaftar pemilih baru, cara pengisian
formulir, dan tenggat waktu yang harus diselesaikan. Selama proses Coklit PPS memonitor dan melakukan pendampingan kepada PPDP jika terjadi kesulitan di lapangan.
KPU Provinsi DKI Jakarta menerima hasil sinkronisasi DP4 dan DPT terakhir dari KPU Pusat pada 13 Agustus 2016
untuk dikaji hingga 16 Agustus 2016. Selanjutnya dilakukan persiapan waktu Coklit
yang terbatas hanya 30 hari, dari tanggal 8
September sampai dengan 7 Oktober 2016.
Hasil sinkronisasi tersebut sudah dipastikan
belum akurat. Meskipun penduduk DKI sebagian besar sudah melakukan perekaman
dan memiliki e-KTP namun bukan berarti
data kependudukan sudah valid, meskipun
Disdukcapil menganggap data dijamin sudah valid. Mengingat banyak faktor ditemui
di lapangan, berikut:
1. Masih banyak warga DKI Jakarta yang
tinggal tidak sesuai alamat yang tercantum
pada KTP, dan tersebar di berbagai tempat,
baik di dalam hingga luar kota, dan bahkan
di luar negeri.
2. Data yang didapat dari Disdukcapil
merupakan hasil registrasi kependudukan
yang selalu dinamis, sehingga diperlukan
pengecekan data di lapangan.
3. Tercantumnya usia pemilih tetapi tidak
memenuhi syarat sebagai pemilih seperti
status sebagai anggota TNI, Polri, hingga
warga yang hilang ingatan atau maupun
yang dicabut hak pilihnya oleh pengadilan.

4. Masih banyak warga DKI yang belum


melakukan memiliki (atau merekam identitasnya) e-KTP sehingga mengandalkan
KTP lama yang sudah lewat masa berlakunya. Di Jakarta Utara misalnya, sebanyak
18.178 warga yang sudah wajib elektronik
KTP (e-KTP). Demikian juga di Kepulauan
Seribu, sebanyak 226 dari total 17.525 warga belum melakukan perekaman e-KTP.3 Di
Jakarta Selatan sebanyak 21.012 wajib KTP
belum melakukan perekaman KTP elektronik (e-KTP). Diakui oleh Tri Kurniadi,
Walikota Jakarta Selatan, bahwa wajib KTP
di Jakarta selatan berjumlah 1.565.951 jiwa
dengan kategori yang sudah melaksanakan
perekaman sebanyak 1.544.939 jiwa dan
sisanya 210.012 belum merekam.4
5. Tidak semua warga DKI ber-KTP DKI
karena masalah administrasi ataupun tempat mereka tinggal pada area yang tidak atau
belum didaftar secara resmi sebagai wilayah
yang memiliki kepengurusan RT/RW, seperti di kolong jembatan/jalan layang, bantaran rel KA, atau bantaran sungai, hingga mereka yang tinggal di DW baik rusun
maupun apartemen. Seperti di Kelurahan
Tanah Tinggi, Jakarta Pusat, masih terdapat
warga di RW 012 belum memiliki KTP
DKI dengan alasan administrasi atau ketiadaan Akta Lahir maupun KK. Demikian
pula menurut Yaumal Akmal, Ketua Forum
Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM)
Kota Jakarta Utara, mengungkapkan bahwa masih terdapat banyak apartemen yang
belum memiliki RT dan RW sehingga menyulitkan PPDP melakukan tugasnya.5
6. Penduduk DKI korban penggusuran tidak semuanya menempati rusun yang
disediakan pemerintah dan terpencar ke
berbagai tempat yang belum diketahui keberadaannya tidak terdata oleh Disdukcapil
dan menjadi kendala dalam pemutakhiran
Berita Suara Karya, 30 Agustus 2016
Dalam Warta Kota, dan Suara Karya, 22 September 2016
5
Indopos, 10 september 2016
3
4

Jurnal Demokrasi | Edisi 2016


data pemilih oleh PPDP.6 Seperti di Jakarta Utara, ribuan keluarga berpindah tempat
tinggal tahun 2016, di antaranya Kalijodo,
Tol Penjaringan, dan Pasar Ikan hanya sebagian yang relokasi ke rusunawa. Sedangkan sebagiannya tanpa kejelasan.7
7. Penggusuran masih tetap terjadi meskipun tengah dilakukan Coklit oleh PPDP.
Seperti penggusuran permukiman warga di
bantaran Kali Ciliwung, Kelurahan Bukit
Duri, Tebet, Jaksel yang digusur pada pekan akhir September 2016 saat masih dalam
masa Coklit sempat menjadi pertanyaan
banyak pihak.8 Di antaranya RT 05, RT 09,
RT 10, RT 15, dan RW 12 Bukit Duri digusur.9
8. Mobilitas penduduk yang demikian tinggi sehingga banyak terjadi perpindahan
warga pendatang ke Ibukota untuk menjadi
warga DKI.
9. Masih terdapat warga DKI yang memiliki KTP ganda sebagaimana yang pernah diakui oleh Disdukcapil.
10. Masih dijumpai adanya NIK palsu
atau invalid dan NIK yang tidak sinkron
dengan nama dan jenis kelamin. Menurut
temuan Bawaslu DKI dalam DP4 yang
akan digunakan sebagai pemutakhiran dan
penyusunan data pemilih pada Pilgub 2017
disinyalir terdapat sebanyak 32.647 NIK
yang tidak valid dan sebanyak 2.306 NIK
yang tidak sinkron dengan jenis kelamin.10
Setelah Coklit selesai, PPS mengumpulkan dan mengkoordinasikan hasil
YHULNDVL GDWD SHPLOLK GDUL 33'3 XQWXN
selanjutnya dilakukan penyusunan Daftar Pemilih Hasil Pemutakhiran dalam
Formulir Model A.B-KWK berupa data
perubahan hasil Coklit oleh PPDP yang
meliputi:
1. Pemilih tidak memenuhi syarat (TMS)
Berita Jawa Pos, 19 Oktober 2016
Lihat pula Kompas, 19 Oktober 2016
8
Republika, 10 September 2016
9
Lihat dalam Media Indonesia, 29 September 2016
10
Berita Harian Terbit, 30 Agustus 2016
6
7

37
sebagai pemilih yang disebabkan karena
meninggal dunia, pindah domisili, belum
cukup umur, tidak dikenal, ganda, sakit
jiwa, dan anggota TNI/Polri.
2. Perubahan data pemilih karena adanya
perbaikan data.
3. Penambahan pemilih yang terdaftar dalam Model A.A-KWK.
Menyusun daftar pemilih hasil
pemutakhiran oleh PPS dari hasil Coklit
dengan cara input data ke dokumen yang
disediakan KPU Kab/Kota karena dipastikan akan terjadi perubahan/perbaikan data,
dan dilanjutkan dengan meng-entry pemilih yang terdaftar pada Model A.A-KWK.
Usai melakukan entry data dari perubahan
tersebut dicetak dan diserahkan ke PPK.
Penyerahan soft copy Model A.B-KWK
dalam bentuk compact disc (CD) atau USB
DVKGLVN kepada PPK di antaranya untuk di
up load ke Sidalih.
PPS masih terus melakukan perbaikan jika terdapat usulan atau masukan
dengan bukti yang kuat saat Rapat Pleno rekapitulasi daftar pemilih hasil pemutakhiran. Rapat Pleno diselenggarakan PPS paling lambat 3 hari setelah penyusunan daftar pemilih hasil pemutakhiran
selesai dilaksanakan dengan mengundang
Pengawas Pemilihan Lapangan (PPL), tim
kampanye pasangan calon Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah, dan pemantau
pemilihan atau tokoh masyarakat.
Data hasil pemutakhiran dari PPS
tersebut kelak menjadi DPS setelah diproses di KPU Kabupaten/Kota dan diserahkan ke PPS kembali untuk umumkan DPS
di tempat-tempat yang mudah dijangkau
masyarakat selama 10 hari yaitu tanggal
10-19 November 2016. Selanjutnya selama
pengumuman tersebut, PPL, tim kampanye, dan masyarakat memiliki kesempatan
untuk memberikan masukan dan tanggapan
terhadap DPS. PPS melakukan pengecek-

Jurnal Demokrasi | Edisi 2016

38
an terhadap kebenaran tanggapan dan
masukan tersebut untuk dilakukan diperiksa kepastiannya dan dilakukan perbaikan.
Akurasi data DPS tersebut di lakukan kembali dalam Rapat Pleno Rekapitulasi Perbaikan DPS oleh PPS dengan mengundang
beberapa tokoh sebelumnya hingga pemantau Pemilu.
Keraguan Publik atas Pemutakhiran
Data Pemilih selama Coklit; Dari Data
Siluman hingga Masalah Keterbukaan
Penyelenggara Pemilu
Meskipun Coklit atas data penduduk yang berasal hasil sinkronisasi DP4
masih dalam proses, namun kecurigaan dan
bahkan keraguan publik terhadap tahapan
pemutakhiran data pemilih menjelang hingga selesai Coklit. Tidak sekadar mendesak
KPU yang dituntut untuk lebih cermat dan
teliti dalam melakukan Coklit, namun juga
desakan agar KPU lebih terbuka, tepat
waktu, mengakomodir penduduk yang tidak tersentuh Coklit oleh petugas PPDP.
Sejak diumumkannya DP4, banyak
bermunculan respon atas melonjaknya
jumlah pemilih DKI Jakarta. Dari Partai
Demokrat, Zainuddin (Sekretaris Biro Pemerintahan Partai Demokrat DKI Jakarta) beranggapan, Pemilukada DKI Jakarta
2017 berpotensi kisruh terhadap masalah
pemilih dalam DP4 yang membengkak.
Menurutnya perbedaan DP4, data kependudukan, hingga hasil sinkronisasi yang
cukup jauh jaraknya. Keterkejutan tersebut
dapat dilihat dari hasil sinkronisasi mencapai 8,2 juta pemilih yang dinilainya tidak masuk akal, sehingga mengundang kecurigaan adanya penggelembungan jumlah
tersebut.11
Demikian pula pendapat dari kalangan Anggota DPRD DKI, Lucky Sacawirya yang juga Ketua Fraksi Demokrat,
11

Lihat dalam Indopos, 07 September 2016

mengungkap angka kenaikan tersebut, dari


DPT Pilpres 2014 yang mencapai 7,2 juta
pemilih menjadi angka 8,2 juta atau naik
berkisar 850 ribu pemilih dalam DP4, jauh
dari prediksi yang semestinya mencapai kurang lebih 2 persen dengan rentangan waktu 3 tahun dari 2014 ke 2017, yakni sekitar 40 ribu pemilih dengan catatan adanya
pertumbuhan penduduk usia sekolah memasuki usia remaja/pemilih.12
Sekretaris Komisi A DPRD DKI dan
Fraksi Gerindra, Syarif, menuturkan bahwa dari adanya temuan yang membengkak
tersebut berpotensi menambah kekacauan.
Dari jumlah pemilih yang sebelumnya,
7,2 juta menjadi DP4 semestinya jumlah
yang patut adalah berkisar 7,6 juta dengan
estimasi hitungan penambahan sebanyak
380 dari pemilih pemula, sehingga dirinya
mendesak agar KPU lebih cermat dan teliti untuk membersihkan data pemilih yang
masih tidak wajar tersebut.
Tidak hanya direspon oleh kalangan
partai politik, isu penggelembungan juga
mengemuka di kalangan masyarakat dalam
menyikapi hasil sinkronisasi DP4 yang tengah dalam kegiatan Coklit data pemilih
di lapangan. Bahwa penggelembungan
850 ribu pemilih tersebut diduga bakal suara pemilih siluman. Ketua DPD Pemantau Kinerja Aparatur Negara DKI Jakarta, Agus Firmansyah, menyatakan sangat
dimungkinkan adanya penyusupan dari pihak yang ingin melakukan kecurangan dari
penggelembungan tersebut sehingga perlu
terus dipantau.
Demikian pula kalangan anggota
FKDM DKI Jakarta, Asep Setiawan, mensinyalir adanya upaya untuk melakukan kecurangan dalam mendulang suara dengan
memasukkan sebanyak-banyaknya calon
pemilih dalam DPS. Menurutnya yang patut diwaspadai adanya upaya memasukkan
12

Baca pada kolom Nonstop, 28 September 2016

Jurnal Demokrasi | Edisi 2016


mereka dengan pemberian KTP DKI kepada pendatang baru dari luar Jakarta agar
bisa menjadi pemilih di Pilgub DKI.13
Munculnya kecurigaan di atas konon
didasarkan oleh adanya ketidakbiasaan
Pemprov DKI menjelang Pemilukada memberikan kemudahan terhadap warga yang
ingin mendapatkan e-KTP tanpa melibatkan RT dan RW maupun di kelurahan asal
setempat yang sebenarnya lebih mengetahui warga di lokasinya langsung. Menurut
Kepala Disdukcapil DKI Jakarta, Edison
Sianturi, bahwa perekaman e-KTP di Jakarta tidak harus di Kelurahan asal, namun
bisa di kelurahan mana saja. Menurutnya
untuk KTP elektronik sangat ringkas, cukup memohon ke kelurahan, dibuat permohonan, membawa KTP lama, dan mengisi
biodata, kemudian didata biometric, sidik
jari, dan iris mata selanjutnya masuk dalam
sistem data nasional di Kemendagri.14
Dalam pandangan Sugiyanto, Ketua Koalisi Rakyat Pemantau Jakarta Baru
(Katar), data pemilih berpotensi disusupi
pemilih siluman atau rekayasa calon tertentu yang berpeluang melalui gerakan
birokrasi untuk mengutak-atik data
base kependudukan di DKI. Menurutnya
pengajuan pembuatan KTP DKI tanpa harus pengantar dari RT dan RW sangat berpotensi dalam pengerahan massa pemilih,
seperti para karyawan toko diwajibkan oleh
pemilik toko membuat KTP DKI dan dipaksa untuk memilih calon tertentu.15 Belum lagi banyaknya warga DKI yang terusir melalui cara-cara penggusuran yang
mengakibatkan terancam hilangnya ribuan
hak pemilih, namun di sisi lain bersamaan
dicurigai bakal munculnya para pemilih siluman untuk memilih calon tertentu.
Beredarnya berita pembengkakan
jumlah pemilih juga mendapat sorotan dari

39

13

Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, M. TauN\DQJPHPLQWD.38'.,XQWXNOHELKVHrius dalam melakukan Coklit, yakni terjun
langsung ke lapangan mendatangi warga di
rumah-rumah penduduk dan memvalidasi langsung data pemilih dari DP4 dengan
memberikan tempelan stiker yang mengNRQUPDVLNDQZDUJD\DQJGLFRNOLWWHUVHEXW
terdata sebagai pemilih berikut nomor TPSnya. Jika terdapat warga yang tidak dikenal
atau asing yang muncul tiba-tiba dalam
GDIWDU KDUXV GLNRQUPDVL NH SLKDN 57
RW atau tokoh warga setempat sehingga
tidak asal cantum. Menurutnya Coklit ini
parameter awal bagi sukses dan tidaknya
Pilkada DKI Jakarta 2017, sehingga kegiatan Coklit ini jika dilakukan serampangan,
maka dipastikan akan banyak pemilih siluman tidak tercoret dan berpotensi dimanfaatkan untuk memenangkan pasangan tertentu, sebagaimana yang dicurigai berbagai
kalangan selama ini.
Berikutnya, berdasarkan data relokasi warga korban penggusuran, setidaknya ditemui sebanyak 168 ribu warga Jakarta terancam kehilangan hak pilih. Kebanyakan berasal dari penduduk yang sudah
pindah karena domisilinya tergusur. Data
yang ditemukan oleh PPDP dalam proses
YHUNDVLIDNWXDOVHFDUDface to face tersebut
menimbulkan sejumlah protes warga.16
Sejumlah perwakilan warga korban penggusuran bahkan mengadukan ke
Komisi Informasi Publik (KIP) setelah sebelumnya menyampaikan surat sebanyak
2 kali tidak mendapat respon. Surat permohonan pertama kali bernomor: KJ.01/
GUB/18/8/2016 pada 30 Agustus 2016 dan
kedua kali pada surat bertanggal 21 September 2016 ditujukan pada KPU Provinsi DKI
untuk mendapatkan informasi seputar nasib
mereka dalam masa Coklit tidak mendapat
respon. Termasuk juga permohonan infor-

14

16

Indopos, 07 September 2016


Lihat dalam berita Indopos, 30 September 2016
15
Indopos, 19 Oktober 2016

Nonstop, 21 Oktober 2016. Berita yang sama juga pernah


dirilis sebelumnya dalam media Online Detak.

Jurnal Demokrasi | Edisi 2016

40
masi mereka layangkan ke Disdukcapil
mengenai hal yang sama belum mendapat
tanggapan informasi yang semestinya.
Menurut Leonard Eko, perwakilan korban, pengaduan ke KIP mendapat respon
pada 11 Oktober 2016 di kantor KIP DKI
dengan mengundang KPU DKI dan KPU
.RWD\DQJVHNDGDUPHPEHULNDQNRQUPDVL
bahwa data masih dalam proses pendataan
petugas Coklit sehingga diharapkan warga
menunggu DPS terlebih dahulu.
Sebelumnya, Ketua Komisi A
DPRD DKI Jakarta, Riano P. Ahmad, sudah mengusulkan supaya Disdukcapil bersinergi dengan KPUD untuk menangani
data kependudukan warga yang direlokasi
dikarenakan ada aturan pemilih nanti memberikan suara sesuai domisili, sehingga
warga yang terkena relokasi tidak boleh
kehilangan haknya untuk memiliki e-KTP
maupun hak politik.
Menyikapi terancamnya sejumlah
warga yang kehilangan hak pilih karena
masalah domisili yang dipaksa pindah tanpa merasa dicoklit oleh PPDP, Ahmad Sulhy (Wakil Ketua DPD Gerindra DKI Jakarta) pun menyampaikan usulan pada KPU
DKI agar menyediakan TPS khusus di area
penggusuran agar mereka tidak dihambat
hak politiknya. Mengingat dalam KTP
mereka yang tergusur masih mencantumkan domisili alamat asal dan belum terdata
oleh Disdukcapil pasca penggusuran. Warga yang tergusur tidak semua di relokasi di
rusunawa, tetapi ada yang masih bertahan
di sekitar lokasi penggusuran. Mereka bertahan karena demi mempertahankan mata
pencaharian, anggota keluarga yang sekolah, kurangnya jaminan pelayanan, kesulitan transportasi hingga ada yang tidak mampu untuk membayar iuran rutin rusun. Sebagian lagi warga yang tergusur menyebar
ke berbagai tempat yang kurang diketahui.
Karenanya mereka tidak boleh kehilangan

hak pilih sesuai domisili asalnya di penggusuran sampai Disdukcapil memberikan


kepastian atas identitas kependudukan mereka sebagai warga Ibukota.
Berdasarkan data LBH DKI, Tigor Hutapea, mengungkapkan bahwa pada
2016 ada 325 lokasi gusuran, yaitu 57 lokasi
di Jakarta Pusat, 82 lokasi di Jakarta Timur,
77 lokasi di Jakarta Selatan, 54 lokasi di Jakarta Utara, dan 55 lokasi di Jakarta Barat.
Dari rencana penggusuran 2016 jumlahnya tiga kali lipat dari penggusuran 2015.17
Sepanjang Januari hingga Desember 2015,
berdasarkan Laporan Penggusuran Paksa di
Wilayah DKI Jakarta yang dirilis Lembaga
Bantuan Hukum (LBH) Jakarta tercatat 113
kasus dengan jumlah 8.145 KK dan 6.283
unit usaha. Sebagian pelaku penggusuran
paksa tersebut adalah Pemerintah Provinsi
DKI Jakarta. Sebanyak 95 kasus penggusuran paksa yang menimpa korban dilakukan
secara sepihak oleh pelaku dan mayoritas
warga sama sekali tidak diberikan solusi
yang memadai.
Masalah penyusunan data pemilih
relokasi yang diketahui pindah ke rusunawa juga menimbulkan sedikit kesulitan
teknis. Dalam aturan PKPU, warga pemilih yang menggunakan hak pilihnya harus
didaftar dalam DPT sesuai KTP domisilinya. Hal ini juga berlaku bagi warga yang
direlokasi juga diharuskan mengurus surat
pindah memilih.
Sebagaimana di Jakarta Timur,
masa Coklit yang sebenarnya sudah selesai,
menurut Ketua KPU Jakarta Timur, Nurdin,
hingga Rabu, 12 Oktober 2016, warga yang
direlokasi dari Bukit Duri Jakarta Selatan
yang jumlahnya hampir 400 keluarga bermukim di Rusunawa Rawa Bebek Jakarta Timur masih terdata sebagai pemilih di
KPU Jakarta Selatan, sehingga tidak dapat
memasukkan data warga bakal pemilih
17

Dimuat dalam Jawa Pos, 19 Oktober 2016

Jurnal Demokrasi | Edisi 2016

41

tersebut ke sistem data pemilih di Jakarta


Timur karena data pemilih bersifat tunggal.
Data tersebut dapat dimasukkan ke sistem
data KPU Jakarta Timur setelah terhapus
di KPU Jakarta Selatan dengan terlebih dahulu adanya keharusan bagi setiap pemilih
mengajukan surat permohonan akan menggunakan hak suara pada alamat domisili
Rusunawa Rawa Bebek.18
Kerumitan pendataan pemilih oleh
PPDP juga ditemukan di sejumlah Apartemen. Kerumitan tersebut terjadi karena
warga yang tinggal di apartemen terikat
oleh aturan pengelola apartemen yang
mengatasnamakan privasi warga penghuni
sehingga Coklit secara door to door yang
dilakukan PPDP tidak mendapatkan akses.
Sebagaimana yang terjadi di Jakarta Timur,
hingga akhir Coklit, terdapat 3 apartemen
dari 14 yang ada belum terdata dengan baik,
karena kesulitan menemui warga penghuni
yang sering tidak ada di tempat dan juga
tertutup informasinya dari pengelola apartemen.19
Di Jakarta Barat, khususnya wilayah
Grogol Petamburan, setidaknya terdapat
sekitar 15 menara termasuk di dalamnya
rusunawa, rusunami, dan kondominium.
Dalam pengakuan PPK Grogol Petamburan, di apartemen kelas bisnis seperti di
Mediterania Garden dan Podomoro City,
pendataan lebih sulit dilakukan karena
penghuni jarang di lokasi. Meskipun sudah
dilakukan sosialisasi di apartemen, tetapi
masih banyak penguhuni yang sulit ditemui
karena mobilitas pekerjaan dan aktivitas
lainnya di luaran. Sehingga, menurutnya,
ada kecenderungan pemegang hak pilih di
DSDUWHPHQPHPLOLKFDUDYHULNDVLODQJVXQJ
dengan membawa KTP ke tempat pemungutan suara (TPS) pada hari pemungutan suara yang kerap menyulitkan petugas di
TPS untuk mengakomodasi pemilih di luar

daftar pemilih tetap mengingat jumlah kertas suara terbatas. Kecenderungan tersebut
menimbulkan jumlah data pemilih yang
tidak valid di apartemen. Albert Pattiwael,
anggota Panitia Pengawas (Panwas) Kecamatan Grogol Petamburan, pun membenarkan pada Pemilu Presiden 2014 sempat
ada kisruh data terkait penghuni apartemen
karena proses pemutakhiran data yang tidak valid.20
Sebagaimana diketahui, keterbatasan surat suara di TPS untuk pemilih di luar
DPT sesuai peraturan, sehingga kejadian
Pemilu 2014 pemungutan suara di apartemen tidak boleh lagi terulang, mengingat jumlah data pemilih yang tercantum
dalam DPT sesuai dengan kelengkapan
logistik dan kertas suara yang disediakan.
Kekhawatiran ini yang harus diantisipasi
oleh PPS di beberapa TPS agar tidak muncul kesan adanya mobilisasi pemilih yang
menyerbu TPS sekitar apartemen tanpa
terdaftar dalam DPT. Sebagaimana yang
pernah dialami di Jakarta Utara, seperti
Apartemen Gading Nias, sejumlah pemilih
ricuh akibat kehilangan hak pilih karena
tidak terdaftar dalam DPT.21
Meskipun tahapan Coklit sudah
selesai sejak 8 Oktober, namun dari sejumlah kerumitan teknis pencarian penduduk pemilih di Ibukota, khususnya di
berbagai DW seperti rusun dan apartemen,
pada akhirnya membuat KPU melanjutkan
kembali Coklit. Seperti pembukaan posko
pendaftaran di DW Rawa Bebek, Cakung,
Jakarta Timur sejak 17 Oktober hingga
selama sepekan, karena masih banyaknya
korban relokasi yang belum terdaftar pada
saat Coklit.22 Respon KPU atas kejadian
pembongkaran permukiman warga di
wilayah Bukit Duri yang tidak semuanya
direlokasi ke Rawa Bebek tersebut, melalui

Berita dari Kompas, 13 Oktober 2016


19
Ibid. Berita terdapat pada kolom yang sama.

21

18

Kompas, 12 Oktober 2016


Indopos, 10 September 2016
22
Indopos, 20 Oktober 2016
20

Jurnal Demokrasi | Edisi 2016

42
Ketua KPU DKI, Sumarno, memberikan alternatif solusi akan didirikan TPS di bekas
wilayah gusuran tersebut.23

07DXN.HWXD'3'3DUWDL*HULQdra DKI Jakarta, mengapresiasi solusi pengadaan TPS di wilayah bekas penggusuran
agar rakyat tidak kehilangan hak pilihnya
karena keharusan memilih sesuai domisili
sebagaimana peraturan perundang-undangan. Namun kritiknya pada KPU dinilai belum sepenuhnya transparan dan terbuka
terhadap persoalan yang dihadapi seperti
Coklit yang terkesan lamban dan melewati
batas waktu akibat persoalan kependudukan tersebut. Meski Coklit sudah selesai sesuai jadwal yang diatur KPU, namun hingga kini PPDP masih melakukan Coklit di
berbagai tempat, khususnya wilayah bekas
penggusuran, seperti di kawasan Kalijodo dan Kamung Aquarium.24 Menurutnya
sudah mestinya KPU menjelaskan kepada
publik secara detil atas data penduduk
yang masih amburadul tersebut, sehingga kemudian masyarakat, atau partai-partai
politik maupun relawan pendukung bakal
Cagub dan Cawagub yang ada memahami
permasalahan yang dihadapi KPU untuk
dapat dijadikan pertimbangan dan masukan
di lapangan.

0DVLK PHQXUXW 7DXN 'LVGXNFD
pil DKI juga harus ikut bertanggung jawab
terhadap warga yang tergusur tersebut mengenai nasib data identitas kependudukannya, bukan sekadar layanan pengurusan
administrasi kependudukan hanya bagi mereka yang direlokasi ke rusun. Kewajiban
Disdukcapil bukan sekadar menunggu jika
diminta bantuan oleh KPU DKI, tetapi keharusan berinisiatif melaksanakan tugasnya
sesuai kewenangannya, mengingat sudah
menjadi kewajibannya sesuai peraturan
perundang-undangan untuk menyediakan
layanan data kependudukan valid yang di23
24

Kompas, 12 Oktober 2016


Dimuat dalam berita Jawa Pos, 19 Oktober 2016

butuhkan KPU DKI.


M. Sidik, selaku Ketua Pokja Pemutakhiran Data Pemilih KPU DKI, mengatakan pemutakhiran data pemilih tetap
direncanakan selesai 6 Desember 2016, dan
hingga kini PPS masih bekerja di 267 Kelurahan untuk pemutakhiran data pemilih.
KPU DKI Jakarta melaksanakan penetapan
rekapitulasi DPS secara berjenjang, yakni
mulai dari tingkat kelurahan hingga provinsi agar kualitas daftar pemilih lebih akurat. Rekapitulasi DPS di tingkat kelurahan
dilakukan pada tanggal 22-24 Oktober, baru
setelahnya, kemudian dilanjutkan di tingkat
Kecamatan (25-26 Oktober) dan di tingkat
Kota (27 Oktober-2 November).25 Adapun
hak pilih warga Jakarta diupayakan terakomodir dalam DPS. Bagi yang tidak memenuhi syarat, seperti yang tidak ber KTP
DKI, maka tidak akan masuk DPS. Warga
yang belum masuk daftar pemilih dapat
mendatangi tempat pemungutan suara satu
jam sebelum ditutup. Menurutnya warga tidak akan kehilangan hak pilih selama
mereka memiliki KTP elektronik dan surat
keterangan dari Dinas Kependudukan dan
Pencatatan sipil.26
Terkait dengan pendapat komisioner KPU, M. Sidik tersebut, maka problem
pemilih dari KPU pun bergeser ke Disdukcapil untuk ikut terlibat dalam akurasi data
pemilih dan menentukan keikutsertaan
warga pemilih dalam Pemilukada 2017. Di
sinilah kembali muncul pertanyaan sejauhh
mana KPU meminta Disdukcapil ikut menentukan seseorang menjadi pemilih?
Lihat dalam SK KPU Provinsi DKI Jakarta No. 24/kpts/
KPU-Prov-010/Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Keputusan
KPU Provinsi DKI Jakarta No. 05/ kpts/KPU-Prov-010/Tahun
2016 Tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan
Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DKI Jakarta
Tahun 2017. Realisasinya, sampai tulisan ini selesai dibuat,
rekapitulasi daftar pemilih hasil pemutakhiran di tingkat
kelurahan dilaksanakan pada 24 Oktober, di kecamatan pada 26
Oktober 2016. Sedangkan rekapitulasi di tingkat Kota/Kabupaten
dilaksanakan pada 1 November dan di tingkat Provinsi pada 2
Nopember 2016.
25

26

Lihat dalam laman Kompas, 22 Oktober 2016

Jurnal Demokrasi | Edisi 2016


KPU vs Disdukcapil: Mendeteksi Pemilih
versi Suket
Idealnya Pemilukada DKI Jakarta 2017 dapat berjalan sesuai perundangundangan yang baru berlaku. Sesuai UU
(pasal 57 ayat 2 dan juga pada pasal 61
dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun
2016 tentang Pilkada), penduduk yang belum tercantum dalam DPT diperbolehkan
mengikuti Pemilu hanya dapat berdasarkan
pada e-KTP, dan bukan menggunakan surat
keterangan atau identitas lain. Inilah yang
membedakan dengan UU yang lama.27
Ketentuan yang lama atau sebelum
dilakukan perubahan, yakni pasal 57 ayat 2
Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada, mengatakan bahwa dalam hal
warga Negara Indonesia tidak terdaftar sebagai pemilih, pada saat pemungutan suara
dapat menunjukkan e-KTP, kartu keluarga,
paspor, atau identitas lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian, e-KTP sebagai
bukti dari dokumen kependudukan elektronik yang dikeluarkan Disdukcapil adalah senjata terakhir dari pemerintah yang
bisa digunakan untuk menggunakan hak
pilih sesuai UU yang berlaku. Namun, faktualnya belum semua warga mendapatkan
bukti dokumen tersebut, meskipun sudah
melakukan perekaman. Di sinilah dilema
kependudukan muncul.
Pada 2 November 2016, dalam
catatan Disdukcapil DKI Jakarta yang disampaikan dalam Rapat Pleno KPU mengenai Rekapitulasi DPS Hasil Pemutakhiran, dan dihadiri Bawaslu, Bakesbangpol
DKI Jakarta, Tim Kampanye masing-masing Paslon Cagub dan Cawagub, serta
Polda dan Kodam Jaya, disampaikan bahSebagaimana menurut Pasal 57 ayat 2 dan juga pada Pasal 61
dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada
dinyatakan bahwa dalam Warga Negara Indonesia tidak terdaftar
sebagai pemilih, pada saat pemungutan suara, yang bersangkutan
dapat menggunakan hak pilihnya dengan menunjukkan Kartu
Tanda Penduduk Elektronik mereka dapat menunjukkan E-KTP.

27

43
wa dari 7.389.470 warga DKI yang wajib
ber-KTP elektronik, baru 7.242.917 orang
(98,02%) yang sudah melakukan perekaman, sedangkan yang belum melakukan perekaman sebanyak 1,98% atau sejumlah
146.563 warga. Sedangkan warga yang
identitasnya ganda sebanyak 82.000-an.
Sedangkan hasil temuan KPU DKI
sesuai hasil Coklit yang direkapitulasi sebanyak 504.610 warga pemilih potensial
non-KTP elektronik. Sedangkan hasil rekapitulasi DPS terdapat sebanyak 7.132.856
pemilih, sebagaimana pada tabel 5 dan 6.
Dengan demikian terdapat perbedaan angka pemilih sebagai warga DKI yang
telah merekam identitasnya pada e-KTP
yang tercantum dalam DPS dan warga
pemilih non-e-KTP dengan angka penduduk e-KTP dan belum e-KTP sebagaimana
di atas. Perbedaan ini dimaklumi, karena
data pemilih masih berupa DPS yang mesti diperbaiki, namun masalah data base
kependudukan merupakan dilema tersendiri
karena menyangkut status kependudukan
secara yuridis.
Dalam suatu kesempatan, Ketua
KPU DKI Jakarta, Sumarno, mengatakan
warga Ibukota yang belum memiliki e-KTP
tetap dapat mengikuti Pilkada 2017 melalui
pendataan KPU, agar mendapatkan surat
keterangan dari Disdukcapil untuk memastikan bahwa semua warga Jakarta mendapat hak pilihnya. Masih menurut Sumarno, warga yang belum memiliki e-KTP
akan didata dan dikoordinasikan dengan
'LVGXNFDSLOXQWXNGLPLQWDLNODULNDVLEDKwa yang bersangkutan dapat menggunakan
hak pilihnya dalam pemilu.28 Lalu Disdukcapil akan membuat surat keterangan yang
menyatakan sudah merekam data, tetapi
e-KTP belum dicetak atau menyatakan
Pernyataan Ketua KPU DKI bahwa bagi warga yang belum
memiliki E-KTP DKI pernah diungkap dalam RDP Komisi
A DPRD DKI Jakarta, 6 September 2016. Hal tersebut juga
diucapkan dalam berbagai kesempatan yang lain. Diberitakan
pula dalam Suara Karya, 19 September 2016.

28

Jurnal Demokrasi | Edisi 2016

44

yang bersangkutan warga DKI. Menurut- DPS dikeluarkan dan yang bersangkutan tinya surat keterangan tersebut memiliki ke- dak terdaftar tetap dapat memilih kelak. Di
Tabel 5. Jumlah Pemilih Hasil Rekapitulasi DPS
Jumlah
Kabupaten/Kota

Jumlah TPS

6
Sumber: KPU DKI, 2016

13.067

Jumlah Pemilih Laki-laki dan Perempuan


L

L+P+N

3.576.091

3.556.765

7.132.856

Tabel 6. Jumlah Pemilih Potensial Non-KTP Elektronik


Hasil Rekapitulasi KPU DKI
Jumlah

Jumlah TPS

Kabupaten/Kota
6
12.847
Sumber: KPU DKI, 2016

Jumlah Pemilih Laki-Laki dan Perempuan


L
P
L+P+N
271.262
233.348
504.610

kuatan hukum yang sama dengan e-KTP


dalam undang-undang.29
Jika surat keterangan tersebut (selanjutnya disingkat Suket) diberikan Disdukcapil berdasarkan pendataan KPU yang
VXGDKGLNODULNDVLEHULVLNDQGDWDGDQGDIWDU
warga yang belum memiliki e-KTP namun
sudah melakukan perekaman adalah suatu
kewajaran, untuk memberikan kepastian
sebagai warga yang sudah sepatutnya terdaftar dalam data base kependudukan elektronik di Disdukcapil.
Namun akan kurang patut jika usulan KPU kepada Disdukcapil untuk dibuatkan Suket bagi pemilih yang belum melakukan pendataan atau terekam dalam
data base kependudukan secara elektronik,
sebab perekaman data kependudukan sudah menjadi kewajiban Disdukcapil yang
mengharuskan melakukan registrasi data
kependudukan.
Meskipun demikian, KPU DKI
dapat menganjurkan bagi warga yang tidak
memilki KTP elektronik atau belum terekam di Disdukcapil, agar merekam data
KTP elektronik, paling lambat sebelum hari
pemungutan suara, atau secepatnya setelah
29

Dalam Kompas, 19 Oktober 2016

sinilah peran KPU memberikan keleluasaan bagi warga dalam konteks mendorong
penduduk pemilih dan bukan dalam konteks penduduk Suket sebagai warga DKI.
Dalam pengusulan Suket, KPU
harus cermat mendeteksi warga sudah melakukan perekaman e-KTP namun tidak
memiliki surat keterangan, misalnya surat
bukti perekaman yang dijadikan bukti pengusulan atau berdasarkan data pemilih
yang telah dicoklit belum menunjukkan e.73 GHQJDQ GLNRQUPDVL NH 'LVGXNFDSLO
untuk diuji ketunggalan data kependudukan secara nasional.
Hal yang berbeda jika warga yang
belum melakukan perekaman, KPU memberikan sosialisasi atau imbauan agar warga melakukan perekaman terlebih dahulu
untuk dapat menggunakan hak pilih. Jika
harus dipaksakan didaftarkan dalam data
pemilih yang diajukan Suket ke Disdukcapil, maka yang harus dilibatkan adalah
keterangan domisili yang bersangkutan seEDJDL ZDUJD '., PHODOXL NRQUPDVL 57
RW. Ini pun berlaku khusus, hanya bagi
penduduk pemilih pemula yang bakal memasuki usia 17 tahun menjelang pemungut-

Jurnal Demokrasi | Edisi 2016

45

karta Memilih, Pilkada dan Pembelajaran


Demokrasi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Triyuni Soemartono dan Sri Hendrastuti. 2011. Administrasi Kependudukan
Berbasis Registrasi. Yayasan Bina Profesi
Mandiri.
UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang
Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 2015
tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun
2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati,
dan Walikota.
UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang
Perubahan Kedua atas UU Nomor 1 Tahun
2015 tentang Penetapan Perppu Nomor 1
Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota.
Peraturan Presiden RI Nomor 112
Tahun 2013 tentang Perubahan Keempat
Atas Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun
2009 tentang Penerapan KTP Berbasis NIK
Secara Nasional.
Peraturan KPU Nomor 8 Tahun
2016 tentang Perubahan Atas Peraturan
KPU Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pemutakhiran Data dan Daftar Pemilih Dalam
Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur,
Bupati dan Wakil Bupati dan/atau Walikota
dan Wakil Walikota.
Peraturan KPU Nomor 4 Tahun
2016 tentang Perubahan atas Peraturan
KPU Nomor 3 Tahun 2016 tentang Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan
Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur,
Bupati dan Wakil Bupati dan/atau Walikota
dan Wakil Walikota.
Keputusan KPU Provinsi DKI JaDaftar Pustaka
karta No. 24/kpts/KPU-Prov-010/Tahun
Budiman Tanuredjo (Ed.). 2007. Ja- 2016 tentang Perubahan Atas Keputusan
an suara. Sebab diasumsikan warga yang
sudah melewati usia 17 tahun memiliki
kewajiban merekam data kepedudukan sebelumnya.
Dengan demikian, jika dari alternatif ini digunakan, maka warga yang namanya tidak masuk dalam DPT, tidak otomatis
bisa mencoblos dengan hanya Suket dari
Disdukcapil, namun juga harus disertai
keterangan dari RT/RW selaku tokoh setempat.
Mengandalkan Suket dari Disdukcapil semata tanpa keterangan RT/RW, sangat riskan adanya penyelewengan atau penyalahgunaan identitas palsu melalui Suket. Sehingga, tidak mengantisipasi adanya kecurigaan pengerahan masa pemilih
dari luar daerah yang disinyalir dilakukan
pasangan tertentu untuk datang di TPS saat
pemungutan suara. Bagaimanapun juga, isu
pemilih siluman hingga di hari pemungutan
dan penghitungan suara menjadi masalah
serius yang harus disikapi KPU DKI selaku
penyelenggara Pemilukada.
Kembali ke pembicaraan tahapan
pencarian data pemilih di atas, dalam episode pemutakhiran melalui Coklit data ke
lapangan melalui PPS dan PPDP secara face
to face, jika benar dilakukan secara komprehensif, maka tak perlu ada kecurigaan
munculnya para pemilih siluman.
Data pemilih yang dimutakhirkan
secara cermat dan akurat akan menghasilkan data pemilih berkualitas, yaitu daftar
pemilih sesuai nomor identitas kependudukan, nama, tempat dan tanggal lahir, alamat,
status, dan jenis kelamin, sebagaimana data
kependudukan yang semestinya, dan validitasnya memberi kepastian, bahwa setiap
penduduk DKI adalah warga pemilih yang
sesungguhnya. (*)

Jurnal Demokrasi | Edisi 2016

46
KPU Provinsi DKI Jakarta No. 05/ kpts/
KPU-Prov-010/Tahun 2016 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan
Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur
Provinsi DKI Jakarta Tahun 2017.
Lembar Berita Acara KPU Provinsi
DKI Jakarta Nomor: 122/BA/XI/2016 tentang Rekapitulasi Daftar Pemilih Sementara (DPS) Pemilihan Gubernur dan Wakil
Gubernur DKI Jakarta Tahun 2017.
Sumber Berita
Warta Kota, 18 Agustus 2016

Harian Terbit, 30 Agustus 2016


Poskota, 31 Agustus 2016
IndoPos, 07 September 2016, 10
September 2016, 19 Oktober 2016, dan 20
Oktober 2016
Republika, 10 September 2016
Nonstop, 28 September 2016, dan
21 Oktober 2016
Media Indonesia, 29 September
2016
Kompas, 12 Oktober 2016, 13 Oktober 2016, dan 22 Oktober 2016
Jawa Pos, 19 Oktober 2016

Dari berbagai tahapan Pilkada,


kekisruhan data pemilih yang
merupakan hasil dari tahapan
pemutakhiran data pemilih sering
terjadi

Jurnal Demokrasi | Edisi 2016

47

MENDORONG PARTISIPASI PEMILIH


PADA PILGUB DKI TAHUN 2017
2OHK0XL]DU
Pendiri Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP)
Indonesia dan Bekerja di Publika Consulting
Abstract
This paper addresses problems of the amount of voters as an
indication of the involvement and awareness in a democracy.
Voter participation become one of the parameters of the success of the Election on Jakartas Governor in 2017.

Keywords: Voter Participation, Democracy Success Parameters, Jakarta Governor Election 2017.

alah satu dari banyak persoalan dalam pemilihan umum adalah dalam
hal jumlah partisipasi masyarakat untuk ikut datang dan memilih di TPS-TPS
yang sudah di tentukan. Penyelenggara
pemilu, dalam hal ini KPU, sesuai dengan
tahapan penyelenggaraan, tentunya sudah
melakukan banyak hal yang ditujukan pada
peningkatan atau minimal tingkat partisipasi masyarakat masih dalam kisaran yang
baik, guna kepentingan legitimasi hasil pemilihan umum.
Legitimasi atas hasil pemilihan
umum pastinya tidak ditentukan oleh seberapa banyak tingkat partisipasi politik
masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya, melainkan dari sisi profesionalitas
penyelenggaraan dan azas penyelenggaraan Pemilu. Tetapi, biasanya tingkat keberhasilan penyelenggaraan pemilihan umum
dapat dinilai dari seberapa besar tingkat
partisipasi (turn-out) masyarakat. Semakin
besar kisaran turn-out, semakin baik penyelenggaraan pemilihan umum.
Untuk kepentingan peningkatan
partisipasi masyarakat itulah KPU bekerja
dan mengoptimalkan seluruh sumber daya
yang dimiliki melalui kegaitan-kegiatan

sosialisasi peyelenggaraan Pemilu yang


melibatkan banyak kelompok masyarakat
dan kelompok kepentingan (stake-holder).
Tujuan dari kegiatan sosialisasi dan diseminasi informasi pemilu sebanyak mungkin
tentunya selain memperkenalkan kontestan
pemilu, tata cara pemilihan, juga diarahkan
agar tingkat partisipasi politik masyarakat
dalam pemilu semakin meningkat.
Pemilihan umum Kepala Daerah
atau lebih dikenal dengan pilgub adalah
hajatan seluruh masyarakat di DKI Jakarta. Sebagai penyelenggara pemilihan
umum, maka KPU Provinsi DKI dituntut
untuk mampu menyelenggarakan pemilihan umum sesuai dengan azas pemilu dan
tahapan yang sudah ditetapkan, juga diharapkan behasil dalam meningkatkan
tingkat partisipasi masyarakat.
Untuk melihat seberapa besar tingkat partisipasi masyarakat dan upaya peningkatannya kali ini, ada baiknya kita
menjadikan hasil pemilihan umum sebelumnya sebagai acuan. Sebagaimana diketahui, penyelenggaraan Pemilihan Umum
Gubernur DKI Jakarta 2007 dan 2012 yang
lampau, tingkat partisipasi hanya berada
dalam kisaran 65% dan 67%. Dengan jum-

48
lah pemilihdibulatkan ke atas. Pada tahun
2007, sebanyak 5.719.000 tingkat partisipasi ada di 65%. Pada tahun 2012 tingkat partisipasi meningkat hanya 2% yakni
pada angka 67%, tetapi dengan pertambahan pemilih sebanyak lebih dari 1.243.000
dibanding pada tahun 2007. Tentunya angka-angka ini menunjukkan bagaimana masyarakat Jakarta berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemilihan umum.
Untuk kepentingan supaya tingkat
partisipasi semaikin baik dan semakin tinggi, tentunya juga harus dilihat beberapa faktor yang secara langsung mempengaruhinya. Tak elok jika beban itu ditanggung
sendiri oleh penyelenggara pemilu. Karena,
sebagai penyelenggara pemilihan umum,
materi yang dimiliki oleh KPU Provinsi
DKI juga bergantung pada instansi lain,
seperti Pemerintah Daerah, meskipun secara rata-rata nasional, angka tingkat partisipasi masyarakat di DKI Jakarta adalah
berada dalam kisaran rata-rata, yang artinya tidak terlalu buruk, tetapi tetap diperlukan adanya usaha bersama untuk semakin
menciptakan penyelenggaraan pemilihan
umum yang lebih baik. Untuk itu, berikut
adalah penjelasan beberapa faktor-faktor
lain yang berpengaruh atas angka-angka
partisipasi di atas dan upaya perbaikan atau
peningkatan tingkat partisipasi masyarakat
dalam Pilgub DKI tahun 2017 mendatang.
Sistem Administrasi Kependudukan
Kira-kira sejak tahun 2005, Pemerintah Pusat sudah mengajukan dan menginisiasi program adminsitrasi kependudukan secara nasional. Merujuk pada Pemilihan Umum Legislatif dan Pemilu Presiden
secara langsung pada tahun 2004, dimana
data pemilih untuk Pemilu saat itu bisa
dikatakan tidak begitu baik dan membuat
KPU agak kewalahan dalam menentukan Daftar Pemilih Tetap (DPT), dilakukan

Jurnal Demokrasi | Edisi 2016


upaya penyeragaman data kependudukan
melalui Sistem Informasi dan Administrasi
Kependudukan atau disingkat SIAK oleh
Kementerian Dalam Negeri melalui Direktorat Jenderal Kependudukan.
Program SIAK ini secara periodik diharapkan akan mampu menghasilkan data kependudukan yang lebih valid
dan bisa digunakan sebagai acuan oleh
KPU dalam menetapkan Daftar Pemilih
Tetap (DPT) untuk kepentingan pemilihan
umum. Apalagi saat itu sudah ditetapkan
undang-undang baru tentang dilaksanakannya pemilihan umum secara langsung untuk memilih Gubernur/Wakil Gubernur,
Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil
Walikota.
Dalam perjalanannya, guna kepentingan penyelenggaraan Pemilihan Umum
Gubernur dan Wakil Gubernur secara
langsung di DKI Jakarta, perbaikan atas
Sistem Administrasi Kependudukan yang
dilaksanakan oleh Kemendagri, kemudian berbentuk DP4 atau Daftar Potensial
Pemilih untuk Pemilihan Umum Gubernur/
Wakil Gubernur, Bupati/Waki Bupati, dan
Walikota/Wakil Walikota. DP4 inilah yang
kemudian diserahkan kepada KPU Provinsi seluruh Indonesia yang melaksanakan
Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah, termasuk Provinsi DKI Jakarta.
Apakah kemudian data DP4 yang
diserahkan oleh Kemendagri ini menghasilkan sumber data awal pemilih yang lebih
baik? Jawabannya adalah secara teknis iya,
tetapi dari sisi substantif data kependudukan
jawabannya adalah tidak. Masih terdapat
begitu banyak persoalan teknis administrasi kependudukan yang kemudian dampaknya membuat KPU Provinsi DKI Jakarta
bersama dengan Dinas Kependudukan dan
Pencatatan Sipil (Disdukcapil) DKI harus berjibaku untuk kembali melakukan

Jurnal Demokrasi | Edisi 2016


pencatatan atas cukup banyak masyarakat
yang belum atau tidak sempat tercatat sebagai pemilih. Belum lagi menghitung
kompleksitas migrasi kependudukan, yang
berakibat langsung pada penetapan daftar
pemilh tetap (DPT) yang menjadi tanggung
jawab dan domainnya KPU Provinsi DKI.
Jika dilihat secara jumlah pertambahan angka pemilih pada proses Penetapan Daftar Pemilih Sementara (DPS)
menjadi Daftar Pemilih Tetap (DPT), maka
angkanya menunjukan jumlah yang cukup
VLJQLNDQ SDGD SHQ\HOHQJJDUDDQ 3LOJXE
yang lalu. Jika dikonversi menjadi pemilih dalam TPS, maka kira-kira jumlahnya
bisa mencapai 250-an TPS dengan asumsi
jumlah pemilih per TPS adalah 800 pemilih
seperti yang menjadi ketentuan pada Pilgub
2017 ini.
Dari analogi di atas, mengacu pada tingkat kesulitan dan presisi pendataan pemilih, jelas hal ini akan berdampak
langsung pada tingkat partisipasi pemilih dalam pemilihan umum Gubernur dan
Wakil Gubernur Provinsi DKI Jakarta. Untuk itulah jika kita menginginkan tingkat
partisipasi yang lebih tinggi, maka perlu
sekiranya pada saat ini yang masih berlangsung dalam tahapan penetapan Daftar
Pemilih Sementara, dilakukan upaya ekstra
agar meminimalisir potensi tidak terdaftarnya pemilih dalam Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur tahun 2017.
KPU Provinsi DKI Jakarta sebagai
penyelenggara Pemilihan Umum Gubernur
dan Wakil Gubernur DKI Jakarta wajib pro
aktif dalam melakukukan sortir data pemilih dan tentunya juga dalam koordinasi
yang baik dengan Pemerintah Daerah
DKI Jakarta. Bahwa secara teknis, potensi
hilangnya hak pemilih sudah diminimalisir dengan adanya daftar pemilih tambahan yang memudahkan masyarakat dalam
melaksanakan hak politiknya, tetap perlu

49
diantisipasi potensi bertambahnya jumlah
pemilih pada Pemilu Gubernur dan Wakil
Gubernur DKI Jakarta tahun 2017, yang
pastinya akan berdampak pada tingkat partisipasi masyarakat dalam Pilgub.
Manajemen Penyelenggaraan Pemilihan
Umum Gubernur/Wakil Gubernur
Sebagai penyelenggara Pemilihan
Umum Gubernur/Wakil Gubernur, KPU
Provinsi DKI Jakarta juga mungkin perlu
memikirkan cara-cara non-konvensional
dalam menyelenggarakan kegiatan-kegiatan sosisalisasi dan diseminasi informasi,
selain model-model yang sudah baku atau
lazim, tentunya juga harus berlandaskan
pada azas penyelenggaraan Pemilu seperti
fairness dan profesionalitas. Tujuan dari
kegiatan diseminasi informasi adalah selain
pada tercapainya informasi kepada khalayak, juga merupakan bagian dari manajemen penyelenggaraan Pemilu yang pada
tujuan akhirnya adalah peningkatan tingkat
partisipasi pemilih. Provinsi DKI Jakarta praktis tidak memiliki hambatan faktor
JHRJUDV VHSHUWL 3URYLQVL ODLQQ\D MDGL
sangatlah wajar jika angka partisipasi masyarakatnya pada Pilgub kali ini meningkat. Terkecuali jika terdapat apatisme yang
cukup tinggi. Dan ini menjadi tantangan
yang harus dijawab oleh setiap penyelenggara Pemilu.
Pola baku yang lazim digunakan
pada penyelenggaraan Pilgub sebelumnya,
seperti menggunakan media sebagai sarana
penyebaran informasi, meskipun sasarannya jelas, tetap perlu dilakukan upaya-upaya lain untuk memperkuat dan memperluas
cakupan informasi tentang penyelenggaraan pemilihan umum. Saat ini, sebagai contoh saja, model penyampaian informasi
melalui sarana media, meskipun tetap dipercayai sebagai model yang paling luas,
tetap saja diperlukan cara-cara lain yang

50
dapat mengisi celah yang ditinggalakan
oleh media konvensional. Sarana media sosial dan kegiatan kegaiatan yang bersifat
blow up-media, dalam beberapa kasus lebih
efektif daripada model-model baku yang
pernah ada, bergantung pada masing-masing target-group (kelompok sasaran) yang
dijadikan tujuan.
Menggunakan sarana kegiatan lain
selain yang sudah lazim digunakan, selain
memperluas cakupan diseminasi infomasi
juga pada saat yang bersamaan memperluas
audience dari kelompok-kelompok sasaran
yang dijadikan tujuan. Secara umum, KPU
yang memiliki struktur sampai tingkat masyarakat paling bawah juga semestinya memanfaatkan faktor struktur ini dalam memperkuat dan memperluas capaian kegiatan
yang dilakukan. Dari mulai tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan sampai
Kelurahan adalah modal yang begitu besar dalam melaksanakan kegiatan pemilihan umum. Toh, dalam setiap pelaksanaan
kegiatan kepemiluan di DKI Jakarta, KPU
selalu melibatkan organ yang dimiliki. Jadi
secara teknis, tidaklah menjadi sulit dalam
memperluas cakupan sebaran informasi.
Apalagi seperti disebut di atas sebelumnya,
DKI Jakarta tidaklah memiliki hambatan
IDNWRU JHRJUDV \DQJ OHELK PHPXGDKNDQ
dalam menyelenggarakan kegiatan pemilihan umum semestinya.
Manajemen Kampanye dan Birokrasi
Negara
Pemilu Gubernur tahun 2017 yang
akan datang merupakan Pilgub yang ketiga sejak pertama kali dilaksanakan tahun
2007. Tetapi kali ini ada yang cukup berbeda dalam hal pelaksanaan kampanye.
Kali ini KPU lebih banyak mengatur tentang pelaksanaan kampanye sebagaimana
dijabarkan dalam Peraturan Komisi Pemillihan Umum (PKPU) Nomor 10 Tahun

Jurnal Demokrasi | Edisi 2016


2015. Tentunya dengan peran KPU yang
lebih besar dalam mengatur bahan/materi
kampanye, memberikan kesempatan yang
lebih besar bagi KPU sendiri dalam mengatur tentang seluruh pelaksanaan kampanye, ini juga membuat azas pemerataan
bagi ketiga pasangan calon yang ada, dan
tidak bisa lagi setiap pasangan calon maupun organ-organ pendukungnya, misalnya
beriklan di media televisi maupun cetak
yang durasinya berbeda antara masingmasing pasangan calon. Seluruh Iklan kampanye di media elektronik maupun cetak
sudah diatur secara teknis oleh KPU, baik
dalam hal jumlah maupun durasinya.
Dengan pola demikian, maka distribusi informasi yang sampai kepada masyarakat akan berimbang dan tidak akan
menciptakan kejenuhan masyarakat yang
jika tidak diatur pola kampanyenya akan
terdapat 1 (satu) atau lebih pasangan calon
yang lebih dominan dalam beriklan. Kita
harapkan dari pengelolaan dan manjemen
kampanye ini akan memberikan dampak
positif yang akan kita saksikan bersama
pada hari pemungutan suara 15 Februari
tahun depan. Di luar manajemen kampanye seperti yang berlaku saat ini, tentunya KPU Provinsi DKI Jakarta juga harus
memaksimalkan koordinasi dengan pihak
penyelenggara administrasi pemerintahan.
Tidak bisa dipungkiri, melibatkan birokrasi
negara dalam kegiatan penyelenggaraan pemilihan umum dalam koridor yang
diperintahkan perundang-undangan adalah juga penting. Setiap penyelenggaraan
Pemilihan Umum Gubernur tidak bisa dilepaskan dari birokrasi negara karena akan
tetap terus terhubung secara kerja sama intitusional, sebagai contoh, misalnya sumber
pembiayaan penyelenggaraan Pemilihan
Umum Gubernur adalah bersumber pada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD).

Jurnal Demokrasi | Edisi 2016


Dalam konteks pelibatan lebih banyak koordinasi dengan stake-holder utama
termasuk Pemerintahan Daerah sendiri dan
melalui saluran-saluran resmi, adalah juga
penting mengingat Pemerintahan Daerah
juga memiliki rentang birokrasi yang panjang sampai akar rumput, dan ini bisa juga
bermanfaat dalam mendukung terlaksananya Pemilihan Umum Gubernur/Wakil
Gubernur, utamanya dalam perluasan diseminasi informasi pemilihan umum kepada masyarakat luas. Dalam konteks yang
positif, ini menjadi penting jika output dari
Pilgub kali ini juga diarahkan, agar tingkat
partisipasi masyarakat menjadi lebih besar
dibanding Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur sebelumnya. Semakin tinggi turnout sebuah Pilgub, tentunya semakin baik
penyelenggaraan Pemilihan Umum Gubernur/Wakil Gubernur, meskipun seperti disebut di awal, tidak dapat dijadikan sebagai
alat untuk mengukur legitimasi hukum
penyelenggaraan pemilihan umum. Dan
sepanjang pemilihan umum dapat dilaksanakan sesuai dengan azas penyelenggaraan Pemilu yang langsung, umum bebas dan
rahasia, serta penyelenggara Pemilunya
juga mampu menjaga independensinya,
maka itulah yang menjadi ukuran legitimasi sebuah penyelenggaraan Pemilu. Meski
demikian, secara terbatas, dalam hal turnout Pilgubnya (pemilih yang datang ke
TPS dan menggunakan hak pilihnya) semakin tinggi, bisa dijadikan sebagai tolok
ukur kesuksesan sebuah Pemilihan Umum
Gubernur/Wakil Gubernur, termasuk juga
penyelenggaraan Pilgub di DKI Jakarta
yang akan dilaksanakan pada tanggal 15
Februari 2017.

51

nur sebelumnya hanya berada pada kisaran


normal yang dapat dikatakan masih berada pada level di bawah angka 70%. Jika
dibandingkan dengan daerah-daerah lain
yang juga melaksanakan Pilgub, mungkin
bisa dikatakan tingkat partsipasi di DKI
masih perlu untuk terus ditingkatkan, agar
Pilgub pada tahun 2017 yang akan datang
semakin baik dalam pelaksanaannya jika
dilihat dari angka partisipasi.
Untuk meningkatkan partisipasi masyarakat (pemilih) dalam Pemilihan
Umum Gubernur/Wakil Gubernur di DKI
Jakarta, maka haruslah ada kegiatan sosialisasi dan diseminasi informasi yang lebih
masif dan melibatkan seluruh pemangku
kepentingan yang ada di DKI Jakarta.
Perluasan pelibatan para pemangku kepentingan, termasuk di dalamnya adalah
pemerintahan daerah. Optimalisasi peran
seluruh kelompok pemangku kepentingan merupakan sebuah keniscayaan jika
ingin meningkatkan tingkat partisipasi masyarakat (turn-out), atau setidaknya tingkat
partisipasi tidak lebih rendah dibanding
Pilgub-pilgub tahun sebelumnya. Dalam
hal metode diseminasi informasi tentang
Pemilihan Umum Gubernu/Wakil Gubernur di DKI Jakarta, maka sepenuhnya menjadi domain pihak penyelenggara pemilihan umum, yakni KPU Provinsi DKI Jakarta. Tentunya, sebagai bahan masukan bagi
KPU, maka dipandang perlu memberikan
saran ataupun kritik, agar seluruh kegiatan
dan segala informasi yang berkaitan dengan
Pemilihan Umum Gubernur/Wakil Gubernur bisa sampai kepada khalayak, dan pada
akhirnya diharapkan mampu meningkatkan
angka partisipasi masyarakat dalam Pilgub.
Apalagi, jika mengingat bahwa DKI JaKesimpulan
karta adalah Ibukota Negara Republik InDari bahasan di atas, besaran tingkat donesia dan memiliki kekhususan sendiri
partisipasi masyarakat di DKI Jakarta pada dalam sistem hasil akhir pemilihan umum
Pemilihan Umum Gubernur/Wakil Guber- yang berbeda dengan kebanyakan Provinsi

Jurnal Demokrasi | Edisi 2016

52
lainnya. Selain itu, DKI Jakarta juga tidak
PHPLOLNLWLQJNDWNHVXOLWDQJHRJUDVVHJDOD
fasilitas negara ada di DKI Jakarta, maka
ukuran kesuksesan penyelenggaraan Pilgub
adalah dalam hal angka/tingkat partisipasi
masyarakat dalam Pemilihan Umum Gu-

bernur/Wakil Gubernur yang akan dilakanakan pada tanggal 15 Februri 2017. Dan
itu bukanlah menjadi tanggung jawab KPU
Provinsi DKI Jakarta sendiri, tapi juga
menjadi kewajiban seluruh kelompok pemangku kepentingan di Jakarta. (*)

Tujuan dari kegiatan sosialisasi dan


diseminasi informasi Pemilu sebanyak
mungkin tentunya selain memperkenalkan
kontestan Pemilu, tata cara pemilihan,
juga diarahkan agar tingkat partisipasi
politik masyarakat dalam Pemilu semakin
meningkat

Jurnal Demokrasi | Edisi 2016

53

PENGAWAS PEMILU DAN PERAN MASYARAKAT DALAM


PENGAWASAN PARTISIPATIF: PELUANG DAN TANTANGAN
Oleh Puadi, S.Pd, MM
Ketua Panwaslu Jakarta Barat
Abstract
This paper examines the role of the community in terms
of their involvement in the election. Public participation
in the implementation of the election, become no longer issue of KPU as the technical implementation. The
increasement in public political role and participation
in the elections, increasing of thr role and participation
have become the trustful and shared challenges that must
be resolved by the election management bodies where the
Bawaslu along with the ranks to be a part in it.
Keywords: Supervisory Role of Civil Society and Participatory Monitoring.
emi menjamin agar Pilkada dapat lembaga penyelenggara Pemilu yang bertuberjalan sesuai dengan ketentuan gas mengawasi penyelenggaraan Pemilu di
dan asas pemilu, maka diperlukan seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik
adanya pengawalan dan pengawasan ter- Indonesia.
Pengawas penyelenggaraan Pemilu
hadap proses jalannya Pilkada. Dalam konteks pengawasan Pilkada, terdapat lembaga dilakukan oleh Bawaslu, Bawaslu Provinsi,
yang bertanggung jawab mengawasi proses Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kejalannya Pilkada di Indonesia, yaitu Badan camatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan
Pengawas Pemilu (Bawaslu). Lantas ada- Pengawas Pemilu Luar Negeri.
Pengawasan dari Bawaslu adalah
kah hak bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengawasan, dan apakah peran bentuk pengawasan yang terlembaga dari
masyarakat dalam pengawasan partisipatif, suatu organ negara. Disamping pengawasberikut peluang dan tantangannya? Dan inti an oleh Bawaslu, terdapat juga pengawasan
sari serta tujuan dari penulisan ini adalah yang dilakukan masyarakat terhadap proses
untuk mengetahui dan menjelaskan ten- penyelenggaraan Pemilu yang disebut detang peran masyarakat dalam pengawasan ngan kegiatan pemantauan Pemilu. Adanya
partisipasi masyarakat dalam melakukan
Pilkada.
Pemilihan Umum adalah sarana pengawasan Pemilu ini adalah bentuk dari
pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilak- penggunaan hak warga negara untuk mesanakan secara langsung, umum, bebas, ra- ngawal hak pilihnya. Kemudian, pemantauhasia, jujur dan adil dalam Negara Kesatuan an ini juga merupakan upaya kontrol dari
Republik Indonesia berdasarkan Pancasila publik untuk menjaga suara dan kedaulatan
dan Undang-undang Dasar Negara Repub- rakyat di dalam penyelenggaraan negara.
lik Indonesia Tahun 1945. Bawaslu adalah Sejak saat itu, fungsi kontrol diperankan

54
Bawaslu, yang oleh undang-undang diberikan tugas mengawasi segala hal terkait
proses Pemilu. Fungsi kontrol juga tetap
diperankan warga negara melalui apa yang
disebut pemantauan Pemilu. Pertanyaannya, bagaimana relasi pengawas dan pemantau Pemilu dalam menjalankan fungsi
kontrol terhadap pemilihan umum yang jujur dan adil?
Menurut Nur Hidayat Sardini, pengawasan tidak dapat diidentikkan dengan

pengawas Pemilu yang resmi dibentuk oleh


Negara, karena peran yang sama juga bisa
diisi oleh lembaga atau pihak partikelir lain
yang ada di masyarakat.1 Menurut Nur, apa
yang dilakukan pengawas Pemilu sebetulnya tidak jauh berbeda dengan apa yang
dilakukan pemantau atau pengamat Pemilu. Mereka sama-sama mengkritik, mengimbau, dan memprotes, apabila terdapat penyimpangan dari undang-undang.2
Kewajiban Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yakni sebagai fungsi lembaga
negara yang memiliki tanggung jawab dalam pengawasan Pemilu, sedangkan partisipasi masyarakat, dapat diartikan sebagai
penggunaan hak warga negara untuk mengawal hak pilihnya. Pelembagaan pengawasan negara melalui Bawaslu, tidak bisa
Nur Hidayat Sardini, 2011. Restorasi Penyelenggaraan Pemilu
Di Indonesia. Yogyakarta: Fajar Media Press. Hal 120.
2
Sardini, Ibid Hal 223. Mengutip Ramlan Surbakti, Didik
Supriyanto, Topo Santoso, 2008. Perekayasaan Sistem Pemilihan
Umum: Untuk Pembangunan Tata Politik Demokratis. Jakarta:
Kemitraan Bagi Pembaruan Tata Pemerintahan Di Indonesia. Hal
266.
1

Jurnal Demokrasi | Edisi 2016


serta-merta mengambil dan mencederai
hak warga negara untuk melakukan kontrol
terhadap proses Pilkada dan menghalangi
masyarakat untuk menjaga suara dan kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan negara.
Pengawasan dan Peran Masyarakat
Pengawasan, menurut Victor M.
Situmorang dan Jusuf Juhir, adalah setiap
usaha dan tindakan dalam rangka untuk
mengetahui sampai dimana pelaksanaan tugas yang dilaksanakan menurut ketentuan
dan sasaran yang hendak dicapai.
Menurut Sondang P. Siagian, Pengertian pengawasan adalah proses pengamatan dari pelaksanaan seluruh kegiatan
organisasi untuk menjamin agar semua
pekerjaan yang sedang dilakukan berjalan
sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya.
Pengawasan dapat ditinjau dari berbagai segi, antara lain ditinjau dari segi
ekonomi atau manajemen dan segi hukum.
Jika ditinjau dari segi manajemen, penting
adanya pengawasan ialah untuk menjamin
dan menjaga agar organisasi dapat berjalan
sesuai rencana (planning) yang telah dibuat,
dan agar organisasi mencapai tujuan yang
ingin dicapai. Hal demikian pun sama maksudnya, yaitu adanya pengawasan terhadap
pemerintah, supaya jalannya pemerintah
dapat berjalan dengan baik dan sesuai dengan azas pemerintahan yang baik (good
governance). Oleh demikian, manfaat adanya pengawasan untuk mempersempit terjadinya hambatan dan meminimalisir kesalahan atau pelanggaran yang terjadi, dengan segera melakukan perbaikan.3
Berdasarkan ilmu sosiologi, tidak
semua kelompok dapat disebut sebagai
masyarakat, akan tetapi suatu kelompok
dapat dikategorikan dan disebut sebagai
3
Marbun, 2013. Hukum Administrasi Negara II. Yogyakarta: Fh
Uii Press. Hal 1-5.

Jurnal Demokrasi | Edisi 2016


masyarakat jika memenuhi kriteria-kriteria
berikut ini, antara lain: a) kemampuan untuk bertahan melebihi masa hidup seorang
individu, sehingga dapat disebut sebagai
masyarakat; b) rekrutmen anggota baik seluruh atau sebagian berdasarkan hasil reproduksi; c) kesetiaan pada suatu sistem
merupakan tindakan utama bersama, d)
tindakan utama yang bersifat swasembada, atau apabila kelompok tersebut untuk
beberapa generasi dapat bertahan stabil.4

1DPXQ SHQMHODVDQ WHQWDQJ GHQLVL
masyarakat berdasarkan ilmu sosial berbeda pengertiannya jika dilihat dan ditinjau dari segi ilmu politik. Menurut Mirian
Budiarjo, masyarakat ialah mencakup semua relasi/hubungan dan kelompok dalam
suatu wilayah. Masyarakat merupakan keseluruhan dari seluruh hubungan-hubungan antarmanusia. Masyarakat menghuni
ZLOD\DK JHRJUDV WHUWHQWX VHEDJDL WHPSDW
kediamannya, memiliki budaya dan lembaga, dapat saling berinteraksi dan berkomunikasi karena adanya wujud keragaman budaya, agama, etnis/suku.5
Menurut Robert M. MacIver, masyarakat adalah suatu sistem hubunganhubungan yang ditata.6 Sedangkan pengertian masyarakat menurut Harold J. Laski ialah sekelompok manusia yang hidup
bersama dan juga saling bekerja sama satu
sama lainnya, demi tujuan untuk terkabulnya atau tercapainnya keinginan mereka
bersama.7

55
Pilkada sangat penting. Karenanya, model
pengawasan seperti itu harus dikembangkan. Dilihat dari segi kedudukannya, pengawasan partisipatif ialah pengawasan
yang bersifat eksternal. Pengawasan bersifat eksternal adalah pengawasan yang
dilakukan terhadap pemerintah oleh organisasi atau lembaga-lembaga yang dibuat
masyarakat yang secara struktural berada di
luar lingkungan pemerintah. Pengawasan
partisipatif ialah juga suatu pengawasan
yang melibatkan peran masyarakat untuk
ikut andil dalam pengawasan suatu kegiatan
pemerintah secara kritis dan aktif, seperti Pilkada. Pengawasan oleh Bawaslu dan
pengawasan partisipatif oleh masyarakat
akan mewujudkan pengawasan yang optimal, Sehingga dapat terselenggara Pilkada
yang jujur dan adil, berjalan sesuai dengan
regulasi yang ada.8
Berdasarkan amanat Undang-undang No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilu, Bawaslu diberikan mandat
untuk menjalankan fungsi pengawasan.
Namun dalam konteks pengawasan, Bawaslu sebagai struktur yang terlembaga
memiliki keterbatasan, yakni kurangnya
jumlah personal dalam Bawaslu untuk mengawasi jalannya proses Pilkada, sehingga membutuhkan partisipasi masyarakat
yang aktif dan kritis serta ikut terlibat dalam pengawasan proses Pilkada. Partisipasi
masyarakat dalam pengawasan Pilkada, diharapkan dapat mencegah terjadinya segala
bentuk pelanggaran terhadap proses jalannya Pilkada di Indonesia.9

Pengawasan Partisipatif
Anggota Badan Pengawas Pemilu
(Bawaslu), Endang Wihdaningtyas menilai, Peran Masyarakat dalam Pengawasan
pengawasan partisipatif untuk pelaksanaan Partisipatif
Sunarto, K., Pengantar Sosiologi, 2004. Jakarta: Lembaga
Seiring dengan dinamika dan proPenerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Hml. 54.
blematika
Pilkada yang semakin kompleks,
M. Budiardjo, 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta:
4

Gramedia Pustaka Utama. Hal 49.


6 Robert M. Maciver, 1961. The Web Of Government. New York:
The Macmillan Company. Hal 22.
7
Harold J. Laski, 1947. The State In Theory And Practice. New
York: The Viking Press. Hal 8-9.

Paulus Effendi Lotulung, 1986. Beberapa Sistem Tentang


Kontrol Segi Hukum Terhadap Pemerintah. Pt Bhuana Ilmu
Populer. Hal Xv-Xxvi
9
Buletin Bawaslu (Badan Pengawas Pemilihan Umum), Edisi 11,
November 2014. Hal 7-8.
8

Jurnal Demokrasi | Edisi 2016

56
perlu kita sadari bahwa dalam pengawasan
terhadap proses Pilkada, tidak bisa hanya
bertumpu pada pengawasan yang dilakukan oleh pengawas Pemilu (Bawaslu), melainkan juga memerlukan partisipasi dan
peranan dari masyarakat. Pertanyaannya,
mengapa partisipasi masyarakat dalam
Pilkada menjadi penting? Jawaban yang
paling mudah dan juga sulit untuk diperdebatkan adalah karena adanya amanat dari
peraturan perundang-undangan. Yaitu, UU
No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota pasal 131 menyatakan, bahwa untuk mendukung kelancaran
penyelenggaraan pemilihan dapat melibatkan partisipasi masyarakat.
Selain pertimbangan yuridis, terdapat juga beberapa pertimbangan empiris antara lain: pertama, adanya kecenderungan
partisipasi masyarakat menurun, sedangkan
kecenderungan untuk tidak menggunakan
hak pilihnya (Golput) meningkat. Kedua,
kecenderungan masyarakat tidak memiliki
sense belonging dan sense participation,
hal ini bisa disebabkan karena masyarakat
seringkali dijadikan objek oleh parpol peserta Pilkada, yang dibutuhkan hanya menjelang pemilihan. Marginalisasi politik masyarakat ini sudah sampai pada tahap yang
mengkhawatirkan, sehingga menyebabkan
perilaku politik mereka terkesan menjadi
pragmatis dan apatis. Untuk mengubah
situasi ini, paling tidak masyarakat harus
diposisikan dan dilibatkan sebagai subyek
Pilkada, tidak lagi menjadi obyek Pilkada.
Tingkat minimal pelibatan masyarakat adalah menggiring dan mengubah partisipasi
masyarakat yang pasif menjadi partisipasi
aktif dalam pengawasan Pilkada di Indonesia.
Ketiga, jumlah personil dalam Bawaslu relatif sedikit, sehingga menyebabkan pengawasan terhadap proses Pilkada

kurang maksimal.10 Maka untuk menutupi


kekurangan dan kelemahan tersebut, membuka peluang partisipasi dan pelibatan
masyarakat dalam pengawasan partisipatif adalah suatu keniscayaan dan keharusan yang harus direalisasikan. Faktor lain
yang mendukung terbentuk pengawasan
partisipatif dari masyarakat adalah karena
Bawaslu mempunyai keterbatasan struktural pasukan di tingkat bawah.11
Kondisi dan realitas ini mendorong dan memaksa Bawaslu RI, Bawaslu
Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota untuk
membuka dan melibatkan partisipasi masyarakat dalam strategi pengawasan Pemilu. Jika Bawaslu RI, Bawaslu Provinsi,
Panwaslu Kabupaten/Kota tidak merealisasikan tujuan baik ini, atau tidak membuka
peluang bagi partisipasi masyarakat dalam
pengawasan Pemilu, maka akan sulit bagi
lembaga-lembaga itu untuk melakukan pengawasan sampai ke tingkat bawah. Partisipasi masyarakat tersebut dapat diadakan
dan dilakukan dalam beberapa bentuk, antara lain melalui sosialisasi Pemilu, pendidikan politik bagi pemilih, survei atau jajak
pendapat tentang Pilkada, dan perhitungan
cepat Pilkada dengan ketentuan sebagai
berikut: a) tidak melakukan keberpihakan
yang dapat menguntungkan dan merugikan
peserta Pilkada; b) tidak menganggu tahap
proses penyelenggaraan proses Pilkada; c)
bertujuan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat secara luas; d) mendorong
terwujudnya suasana yang kondusif bagi
penyelenggaraan pemilu yang aman, damai, tertib, dan lancar.12
Http://Www.Rumahpemilu.Org/In/Read/8515/UrgensiPengawasan-Partisipatif-Oleh-Muhammad-Yunus,
(Diakses
Pada 06 Oktober 2015). Banyak Faktor Yang Diyakini Berperan
Hingga Hal Tersebut Terjadi.
11
Ibid. Sebagai Institusi Negara, Pengawas Pemilu Yang Diberi
Mandat Melalui Undang-Undang Untuk Melakukan Pengawasan
Pemilu Secara Formal Sangat Mengharapkan Peran Serta Yang
Aktif Dari Publik Untuk Bersama-Sama Melakukan Pengawasan
Pemilu.
12
Ibid, Sebagai Lembaga Formal, Pengawas Pemilu Memiliki
Kewajiban Untuk Dapat Mengantarkan Pemilu Menuju Wujud
10

Jurnal Demokrasi | Edisi 2016


Menurut pandangan mantan Ketua
Bawaslu, Nur Hidayat Sardini (NHS), peran dan partisipasi masyarakat secara aktif
dan kritis sangat diperlukan dalam proses
Pilkada, karena tanpa adanya peran dan partisipasi masyarakat yang independen dan
kritis, akan menimbulkan banyak peluang
penyimpangan Pilkada oleh pihak-pihak
yang mengikuti atau ikut serta dalam proses Pilkada yang sangat terbuka. Ungkapan
lainnya datang dari Dr Muhammad, beliau
menyatakan, partisipasi masyarakat dalam
pengawasan masih minim. Masih banyak
masyarakat yang kurang peduli, padahal
sejatinya pengawasan itu tidak bisa terwujud dengan baik jika hanya dibebankan
kepada pengawas Pemilu yang jumlahnya
personalnya sedikit. Lanjut Muhammad
mengatakan, hendaknya pengawasan ini
dilakukan bersama-sama, semua aspek harus terlibat dan berpartisipasi, sehingga
dapat terwujudnya pengawasan yang lebih
optimal dan proses demokrasi dapat berjalan dengan baik, jujur dan adil serta damai.13
Konsultan Pemilu Ahasanul Minan mengatakan, masyarakat harus terlibat
dan dilibatkan dalam pengawasan terhadap
Pemilu, sebab memiliki peran dan tujuan
dalam pengawasan terhadap Pemilu/Pilkada, antara lain: a) memastikan terlindungnya hak-hak politik masyarakat sebagai
warga negara; b) memastikan terwujudnya
Pemilu/Pilkada yang bersih, transparan dan
berintegrasi dari sisi penyelenggara dan
penyelenggaraan; c) dapat mendorong dan
mewujudkan Pemilu sebagai instrumen untuk menentukan kepemimpinan politik, dan
juga evaluasi kepemimpinan politik; d) dan
untuk mendorong terwujudnya atau terDemokratis Melalui Proses Yang Berkualitas Dan Bermartabat,
Bebas Dari Praktik-Praktik Yang Mencederai Kemurnian Hasil
Pemilu.
13
Http://Www.Bawaslu.Go.Id/Id/Press-Release/PengawasanPartisipatif-Tetap-Jadi-Strategi-Pengawasan-PemilihanGubernur-Bupati-Dan, (Diakses Pada 07 Oktober 2015).

57
pilihnya kepemimpinan politik yang sesuai
dengan aspirasi terbesar rakyat Indonesia.
Adapun bentuk-bentuk kegiatan
yang dapat melibatkan masyarakat untuk
ikut berpartisipasi, menurut Minan kegiatan-kegiatan tersebut dapat berupa antara lain:
Ikut memantau pelaksanaan Pemilu,
agar terwujudnya pelaksanaan Pemilu yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Ikut serta, aktif dan kritis dalam kajian-kajian terhadap persoalan kepemiluan atau dalam Pilkada.
Ikut mencegah segala bentuk pelanggaran Pemilu sesuai dengan peran sosial
masing-masing.
Harus melaporkan segala bentuk pelanggaran Pemilu/Pilkada.
Menyampaikan dugaan adanya informasi tentang pelanggaran Pemilu/
Pilkada.
Mendukung tercipanya ketaatan peserta Pemilu dan penyelengggara Pemilu
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan untuk strategi, metode
serta langkah selanjutnya dapat dilakukan
hal-hal sebagai berikut:
Bawaslu membuat desain pengawasan
partisipatif sebagai bentuk pedoman
atau bekal yang mudah dipahami
bagi pengawas pemilu dan bagi penggiat-penggiat demokrasi laninnya, untuk melakukan tugas yang mulia ini.
Mengadakan kajian-kajian terhadap
persoalan dalam Pemilu atau Pilkada.
Bawaslu harus memberikan petunjuk
atau pedoman atas perlindungan yang
diberikan kepada masyarakat yang melaporkan pelanggaran atau dugaan informasi pelanggaran yang terjadi dalam
proses pelaksanaan Pemilu/Pilkada.
Bawaslu Provinsi/Kabupaten/Kota pun

Jurnal Demokrasi | Edisi 2016

58

harus melakukan kemitraan dengan


kelompok strategis dan juga kritis seperti LSM/NGO, kalangan kampus,
penggiat atau pemantau demokrasi lainnya untuk melakukan advokasi tentang
pentingnya ikut terlibat.
Bawaslu Provinsi/Kabupaten/Kota juga
harus menggandeng stakeholder Pemilu lainnya, khususnya pemerintah daerah untuk memfasilitasi pengawasan Pemilu. Setidaknya menjadikan dan menetapkan Bawaslu Provinsi/Kabupaten/
Kota sebagai narasumber dalam proses
pelaksanaan kegiatan tersebut.
Bawaslu pun harus mengajak dan melibatkan tokoh-tokoh masyarakat maupun tokoh agama dalam masyarakat,
baik formal atau informal, untuk ikut
berpartisipasi dalam pengawasan Pemilu.
Terinspirasi dari pendapat pimpinan
Bawaslu Nasional, Daniel Zuchron, cara kerja pengawasan partisipatif yang
dilakukan masyarakat bisa dilakukan
dengan gaya atau cara intelijen dengan
tidak menggunakan uniform (seragam)
tertentu. Sehingga, mereka dapat melakukan pengawasan dengan lebih leluasa dan bebas.
Melakukan ekspose ke media massa
tentang terbentuknya relawan dan posko partisipatif pengawasan masyarakat,
dan untuk mengekspose juga kegiatan-kegiatan yang telah dilaksanakan
oleh relawan partisipatif pengawasan
yang dilakukan oleh masyarakat di media massa, sebagai tujuan dan bentuk
apresiasi terhadap kinerja dan peran
masyarakat, dan untuk membentuk opini publik tentang penting keterlibatan
masyarakat dalam pengawasan partisipatif.14

14
Http://Kesbangpol.Kemendagri.Go.Id/Files_Uploads/
Paparan_Bawaslu.Pdf, (Diakses Pada 07 Oktober 2015). Langkah
Strategis Bawaslu Dalam Optimalisasi Pengawasan, Eksternal

Dalam melaksanakan pengawasan


partisipatif, sangat penting untuk mengajak dan melibatkan kelompok strategis
yang ada dalam masyarakat, khususnya
dari kalangan penggiat demokrasi dan masyarakat. Hal ini harus dilakukan karena
penggiat demokrasi dalam masyarakat memiliki pengetahuan dan pemahaman dan
metode (keterampilan) mengenai kerja-kerja yang berhubungan dengan pengembangan partisipasi politik masyarakat, terutama
di tingkat grass root (akar rumput). Adapun
risiko ketidakterlibatan masyarakat dalam pengawasan Pemilu, antara lain ialah:
a) terhadap Pemilu, akan menghasilkan
NRQLN NHNHUDVDQ GDQ DNDQ KLODQJQ\D NH
percayaan rakyat terhadap Pemilu/Pilkada;
b) terhadap demokrasi, akan terjadi arus
balik dari wujud demokrasi menjadi tirani
baru, dan akan memuncul apatisme terhadap demokrasi; c) terhadap masa depan
bangsa, dikarenakan tidak optimalnya hasil dari Pemilu/Pilkada, akan melahirkan
pemimpin dengan kapasitas yang lemah,
legitimasi politiknya dipertanyakan, dan
melemahnya orientasi pemimpin dalam hal
pembentukan negara yang demokratis.15
Peluang dan Tantangan Pengawasan
Partisipatif
Peluang pengawasan partisipatif sebagai berikut:
Terbatasnya pengawasan Pemilu. Pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan
wakil kepala daerah secara langsung
merupakan perwujudan demokrasi dan
kedaulatan rakyat. Di sinilah rakyat diHttp://Www.Bawaslu.Go.Id/Jdownloads/Buku_Relawan/
Modul_1.Pdf, (Diakses Pada 06 Oktober 2015). Apa Peran
Rakyat? A) Memastikan Terlindunginya Hak Politik Warga
Masyarakat, B) Memastikan Terwujudnya Pemilu Yang Bersih,
Transparan, Dan Berintegritas Dari Sisi Penyelenggara Dan
Penyelenggaraannya, C) Mendorong Terwujudnya Pemilu
Sebagai Instrument penentuan Kepemimpinan Politik Dan
Evaluasi Kepemimpinan Politik, D) Mendorong Munculnya
Kepemimpinan Politik Yang Sesuai Dengan Aspirasi Terbesar
Rakyat.

15

Jurnal Demokrasi | Edisi 2016

59

beri kesempatan untuk ikut serta membuat keputusan politik dalam penentuan
pemimpin di daerah masing-masing.16
Keputusan politik bukan hanya memberikan hak suara, tetapi juga ikut serta
dalam pengawasannya. Hal ini didasarkan pada beberapa kendala diantaranya
keterbatasan struktur dan jumlah pengawas.
Apabila kita belajar dari pemilihan
umum sebelumnya yang diatur di UU
No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilu dalam pasal 72 tersebut
ditetapkan, jumlah anggota Bawaslu RI
sebanyak 5 orang, Bawaslu Provinsi sebanyak 3 orang, Panwaslu Kabupaten/
Kota dan Panwascam sebanyak 3 orang
dan Pengawas Pemilu Lapangan (PPL)
hanya berjumlah 1-5 orang per desa/
kelurahan.17 Sedangkan di dalam UU
No. 8 Tahun 2015 diatur, bahwa setiap TPS dapat diawasi oleh pengawas
pemilihan lapangan dan satu pengawas
TPS. Di sisi lain, pengawasan terhadap
pelaksanaan pemilihan umum tidak hanya pada saat pemilihan saja, tapi dari
masa kampanye pengawasan harus tetap dijalankan. Sehingga di sini peran
masyarakat dirasa perlu untuk menjamin pelaksanaan pemilihan umum
kepala daerah yang sesuai dengan azasazas yang ada.
Tingkat partisipasi masyarakat. Pengalaman Pemilu 2014 Pelaksanaan
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
2014 menunjukkan keberhasilan pengawasan partisipatif masyarakat, pengawasan partisipatif yang dikembangkan oleh Bawaslu tersebut dirasa
cukup efektif untuk dapat melakukan pengawasan maksimal termasuk

16
Septi Nur Wijayanati, 2013. Keterlibatan Partai Politik Dalam
Pemilihan Kepala Daerah. Jurnal Konstitusi, Vol. II No.1, Hal. 8.
17
Http://Nasional.Sindonews.Com/Read/816986/12/BawasluKekurangan-Tenaga-Pengawas-Pemilu-1387028215, (Diakses
Pada 5 Oktober 2016).

menangani berbagai macam pelanggaran. Antusias masyarakat yang terlibat


dalam pengawasan partisipatif terlihat
dari banyaknya laporan dugaan pelanggaran yang masuk ke Pengawas Pemilu.
Bentuk pengawasan partisipatif yang
dikembangkan Bawaslu pada Pileg dan
Pilpres lalu, salah satunya adalah Gerakan Sejuta Relawan Pengawas Pemilu.
Gerakan ini mampu merekrut hampir
650 ribu orang relawan di seluruh Indonesia, dan disebar banyak Tempat
Pemungutan Suara (TPS) di Indonesia.18 Kebanyakan relawan pengawas
Pemilu berasal dari pelajar dan mahasiswa yang terlibat dalam pengawasan
Pemilu yang tidak meminta atau menerima imbalan sepeser pun. Namun,
perannya tidak bisa dikesampingkan
jika dibandingkan dengan pengawas
Pemilu lapangan yang berada di tingkat Desa/Kelurahan dan berada di dalam struktur pengawas Pemilu. Khusus
Bawaslu DKI berjumlah 30.000 (tiga
ribu) relawan, hal ini nampak pada saat
pelaksanaan sosialisasi, para calon relawan cukup aktif merespon isu-isu
soal pengawasan Pemilu, mulai dari isu
penegakan hukum, integritas pengawas Pemilu sampai dengan politik
uang. Harapan mereka terhadap fungsi
pengawasan Pemilu pun cukup besar,
disamping kekhawatiran soal ketidakberdayaan pengawas Pemilu, dalam
menindak pelanggaran dan kecurangan
Pemilu. Dalam Undang-undang, tidak
diakomodasi satu pengawas Pemilu untuk satu TPS. Akibatnya, adanya potensi pelanggaran sangat besar terjadi di
TPS-TPS yang tidak terawasi. Dengan
adanya peran relawan, maka menjadi
mata dan telinga bagi Pengawas Pemilu
Http://Www.Bawaslu.Go.Id/Id/Press-Release/PengawasanPartisipatif-Tetap-Jadi-Strategi-Pengawasan-PemilihanGubernur-Bupati-Dan, Op.Cit. (Diakses Pada 5 Oktober 2016).

18

Jurnal Demokrasi | Edisi 2016

60

untuk melihat dan merekam bagaimana


proses yang terjadi dalam pemungutan
dan penghitungan suara.
Pengoptimalan pengawasan partisipatif oleh Bawaslu. Gagasan Bawaslu
untuk melibatkan masyarakat sebanyak-banyaknya dalam mengawasi proses Pemilu diwujudkan melalui pelibatan
masyarakat dalam mengawasi Pilkada
tetap dipertahankan dengan melibatkan Bawaslu Provinsi dan Kabupaten/
Kota untuk tidak hanya masyarakat,
banyak juga LSM yang juga ikut ser-

lu mengadakan Penandatangan MoU


Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta,
kampus turut berpartisipasi pada
gelar an Pemilihan Gubernur DKI
Ja kar ta tahun 2017. Untuk keperluan tersebut, perguruan tinggi negeri
dan swasta turut menandatangani
naskah kerja sama dengan Bawaslu
DKI Jakarta dalam penandatanganan MoU (27/10/2016) di Hotel
Golden Boutique Jakarta. Event ini
juga melibatkan 24 perguruan tinggi lainya untuk turut berpartisipa-

ta dalam pengawasan Pilkada seperti Jaringan Pendidikan Pemilih untuk


Rakyat (JPPR) akan ikut memantau penyelenggaraan pemilihan Dewan Pers
dan kampus-kampus. Keberadaan UU
Nomor 8 Tahun 2015 pasal 27 ayat 2;
Pengawas TPS dibentuk 23 hari sebelum hari pemungutan suara pemilihan
akan sangat optimal, disamping Bawas-

si dalam penandatangan MoU kerja


sama dengan Bawaslu DKI Ja kar ta.
Tujuan utamanya adalah dalam rangka melibatkan perguruan tinggi dan
masyarakat sipil ikut serta dalam
pengawasan Pemilu Gubernur DKI
Jakarta. Keterlibatan ini diharapkan
dapat membantu menyukseskan terpilihnya pemim pin yang baik bagi

Jurnal Demokrasi | Edisi 2016


kita semua. Mereka ingin memastikan setiap tahapan berjalan demokratis
dan berkualitas.19 Melihat geliat masyarakat, lembaga swadaya masyarakat
dan Perguruan tinggi untuk melakukan
pengawasan, Bawaslu selayaknya harus memanfaatkan momentum ini dengan baik. Sebagai upaya pelaksanaan
Pilkada yang bermartabat.
Tantangan pengawasan partisipatif
oleh masyarakat adalah sebagai berikut:20
Belum terwujudnya prinsip pelayanan. Beberapa keluhan yang dirasakan
oleh masyarakat salah satunya yang
umum terjadi ialah, ketika masyarakat
membuat laporan atas dugaan terjadinya pelanggaran terhadap proses Pilkada kepada Bawaslu, Bawaslu Provinsi,
Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwascam dan PPL masyarakat dibebankan
dengan kewajiban melengkapi syaratsyarat laporan formal dan materiil, seperti bukti dan saksi. Belum lagi adanya beban ancaman dan intimidasi dari
pihak lain, jika melaporkan dugaan pelanggaran tertentu.
Tidak adanya perlindungan hukum
bagi pelapor. Dalam hal memantau,
memerlukan keseriusan dan komitmen
yang tinggi. Risiko yang dihadapi oleh
pengawas partisipatif tentunya tidak
hanya saat proses Pilkada berjalan, tapi juga bisa terjadi bahkan setelah selesainya tahapan Pilkada. Pengawas
partisipatif atau pemilih tentunya suatu
saat akan berhadapan dengan komunitas atau warga sekitar tempat tinggalnya, jika harus melaporkan kerabat atau
bahkan tetangganya kepada Bawaslu,
karena dugaan adanya pelanggaran terhadap proses jalannya Pilkada. Tentu
Http://Print.Kompas.Com/Baca/2015/05/21/Jppr-AwasiPilkada-Serentak, (Diakses Pada 5 Oktober 2015).
20
Veri Junaidi, 2013. Pelibatan Dan Partisipasi Masyarakat
Dalam Pengawasan Pemilu, Purledum Dan The Asia Foundation.
Hal 41-52
19

61
hal ini akan menjadi pilihan yang sulit
bagi pengawas partisipatif antara harus
aktif atau tidak, disebabkan belum terwujudnya perlindungan yang pasti bagi
pelapor.
Kesimpulan dan Saran
a) Kesimpulan
Pelaksanaan Pemilihan Gubernur
dan Wakil Gubernur secara langsung merupakan perwujudan demokrasi dan kedaulatan rakyat. Disinilah rakyat diberi
kesempatan untuk ikut serta membuat keputusan politik dalam penentuan pemimpin
di daerah masing-masing. Keputusan politik bukan hanya memberikan hak suara,
tetapi juga ikut serta dalam pengawasannya. Peran pengawasan masyarakat dalam
Pilkada sangat dibutuhkan, hal tersebut didasarkan beberapa kendala yang dihadapi
Bawaslu selaku pengemban amanah untuk
melakukan pengawasan Pilkada. Diantaranya terbatasnya pengawas pemilu yang terDOLDVL GHQJDQ %DZDVOX 1DPXQ EHODMDU
dari Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden, telah terbukti, masyarakat mampu
berperan aktif dalam mengawasi jalannya
Pilkada serentak. Hal tersebut dibuktikan
dengan banyaknya gerakan relawan seperti JPPR, Gerakan Sejuta Pengawas Pemilu
yang dibentuk oleh Bawaslu dan maupun
gerakan sukarela pengawasan lainnya yang
dibentuk oleh masyarakat.
b) Saran
Berdasarkan penjelasan di atas, telah
menyinggung beberapa hal, terkait dengan
tantangan yang dihadapai oleh masyarakat
dalam pengawasan partisipatif masyarakat.
Hendaknya persoalan-persoalan di atas dikaji dan dibahas bersama oleh semua aspek, khususnya masyarakat dan pengawas
Pemilu, sehingga dapat menemukan solusi
atau jalan keluar dari persoalan-persoalan

Jurnal Demokrasi | Edisi 2016

62

berapa Sistem tentang Kontrol Segi Hukum


terhadap Pemerintah. PT Bhuana Ilmu
Populer.
Robert M. MacIver, 1961. The Web
of Government. New York: The MacMillan
Company.
Harold J. Laski, 1947. The State in
Daftar Pustaka
Nur Hidayat Sardini, 2011. Restora- Theory and Practice. New York: The Visi Penyelenggaraan Pemilu di Indonesia. king Press.
Buletin Bawaslu (Badan PengaYogyakarta: Fajar Media Press.
Sardini, Ibid hlm 223. Mengutip wasan Pemilihan Umum), Edisi 11, NoRamlan Surbakti, Didik Supriyanto, Topo vember 2014.
Septi Nur Wijayanati, 2013. KetSantoso, 2008. Perekayasaan Sistem Pemilihan Umum: Untuk Pembangunan Tata erlibatan Partai Politik dalam Pemilihan
Politik Demokratis. Jakarta: Kemitraan Kepala Daerah. Jurnal Konstitusi, Vol. II
bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di In- No.1
Veri Junaidi, 2013. Pelibatan dan
donesia.
Sunarto, K., Pengantar Sosiologi, Partisipasi Masyarakat dalam Penga2004. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas wasan Pemilu, Purledum dan The Asia
Foundation.
Ekonomi Universitas Indonesia.
Bawaslu Bentuk Pokjanas untuk
M. Budiardjo, 2008. Dasar-Dasar
Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Kelola Gerakan Satu Juta Relawan Pengawas Pemilu, Buletin Bawaslu, Edisi 12,
Utama.
Paulus Effendi Lotulung, 1986. Be- Desember 2013, Hal.11
tersebut yang dapat menghambat terciptanya pengawasan Pilkada yang tidak optimal, sehingga membuka peluang besar terjadinya pelanggaran dalam tahapan proses
Pilkada. (*)

Pelembagaan pengawasan negara melalui


Bawaslu, tidak bisa serta-merta mengambil dan
mencederai hak warga Negara untuk melakukan
kontrol terhadap proses Pilkada dan menghalangi
masyarakat untuk menjaga suara dan kedaulatan
rakyat dalam penyelenggaraan Negara

Jurnal Demokrasi | Edisi 2016

63

DOKUMENTASI PILKADA DAMAI DKI 2017

Peluncuran Posko Bersama Pilkada DKI 2017 di Balaikota, 23 September 2016

Rapat Evaluasi Posko Bersama Pilkada DKI 2017, 14 Oktober 2016

64

Jurnal Demokrasi | Edisi 2016

Penetapan Peserta Pilkada DKI Jakarta 2017 di Balai Sudirman, 24 Oktober 2016

Pengundian Nomor Urut Peserta Pilkada DKI Jakarta di JIExpo Kemayoran,


25 Oktober 2016

Jurnal Demokrasi | Edisi 2016

65

Deklarasi Kampanye Damai Pilkada DKI 2017 di Silang Monas, 29 Oktober 2016

Kaban Kesbangpol DKI Jakarta Dr. Ratiyono, MMSi beserta Jajaran Bidang
Politik dan Demokrasi Kesbangpol DKI menghadiri Deklarasi Kampanye Damai,
29 Oktober 2016

66

Jurnal Demokrasi | Edisi 2016

Paslon Nomor Urut 1 Mengikuti Pawai Kampanye Damai Pilkada DKI 2017,
29 Oktober 2016

Jurnal Demokrasi | Edisi 2016

Paslon Nomor Urut 2 Mengikuti Pawai Kampanye Damai Pilkada DKI 2017,
29 Oktober 2016

67

68

Jurnal Demokrasi | Edisi 2016

Paslon Nomor Urut 3 Mengikuti Pawai Kampanye Damai Pilkada DKI 2017,
29 Oktober 2016

Anda mungkin juga menyukai