Anda di halaman 1dari 6

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/303933288

PANCASILA: Akar Kemandirian Bangsa

Conference Paper · November 2013

CITATIONS READS

0 3,305

1 author:

Chandra Dinata
Universitas Merdeka Malang
13 PUBLICATIONS 4 CITATIONS

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Chandra Dinata on 13 June 2016.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


PANCASILA: Akar Kemandirian Bangsa1
Oleh:
CHANDRA DINATA2
Email: chand.dinata@gmail.com

Sejarah panjang yang dilalui oleh bangsa Indonesia untuk mendapatkan pengakuan
dunia, tak dapat dipungkiri bahwa itu merupakan wujud dari “patriotisme rakyat”.
Sikap patriotik tersebut tercermin dalam cita-cita bangsa yang disatukan dalam satu
wadah yakni Pancasila. Oleh founding father cita-cita tersebut dijadikan sebagai
pondasi kehidupan berbangsa dan sekaligus sebagai tujuan bernegara, sama halnya
dengan pandangan-pandangan dalam ideology besar dunia. Dalam pidato lahirnya
Pancasila, Bung Karno menyebutkan bahwa Pancasila sebagai “dasar negara” dan
“landasan filosofis negara”. Dengan demikian, lahirnya Pancasila bukan sekedar
untuk menyaingi ideology besar dunia, melainkan sebagai sintesis dari semua
pemahaman berlawanan yang dipadukan dan diyakini dapat membawa rakyatnya
menuju sejahtera (walfare state). Tulisan ini akan mengeksplorasikan peran penting
Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara mencapai kesejahteraan
bersama.

Pancasila Sebagai Arah; Sebuah Penegasan


Konseptualisasi Pancasila dijelaskan oleh Bakry (1994: 35) bahwa system
filsafat yang terkandung dalam Pancasila bersifat praktis dan dapat digunakan
langsung sebagai pedoman kehidupan berbangsa untuk mencapai tatanan
masyarakat adil, makmur, dan sejahtera. System filsafat praktis tersebut menjadi
pandangan hidup dan sekaligus menjadi dasar dalam penyelenggaraan negara untuk
mencapai cita-cita luhur founding father bangsa Indonesia. Oleh sebab itu, Pancasila
diyakini sebagai satu kebenaran yang bertolak pada falsafah kehidupan menjadikan
Pancasila sebagai satu ideologi.
Pancasila dikatakan sebagai satu ideologi dalam sebuah negara seperti yang
dikatakan oleh Soepomo dalam ensiklopedi Pancasila bahwa Pancasila (Westra:
1995, 273) yang diletakkan sebagai pandangan hidup berbangsa merupakan
kombinasi pemikiran para ilmuan tentang negara berdasar pada teori perseorangan,

1 Tulisan ini disampaikan sebagai stimulant diskusi dalam Seminar Nasional dengan tajuk “Telaah
Pancasila Sebagai Bangunan Dasar Politik Indonesia” pada tanggal 29 November 2013
2 Pegiat Kegiatan Sosial
teori golongan, dan teori integralistik. Selanjutnya Soepomo menjelaskan bahwa
negara didirikan bukanlah untuk kepentingan satu kelompok ataupun satu golongan
tertentu melainkan adalah untuk kepentingan seluruh masyarakat sebagai satu
persatuan (integralistik). Untuk itu Pancasila dijadikan sebagai alat untuk mencapai
tujuan pembentukan negara dengan paham integralistik yang mencakup azas
kekeluargaan dalam kebersamaan dan religius .
Perjalanan yang ditempuh dalam upaya menjadikan Pancasila sebagai
sebuah falasafah negara yang diyakini kebenarannya sehingga mengkristal sebagai
jati diri Bangsa Indonesia melampai garis batas (‘klimaks’) sehingga secara
konseptual Pancasila merupakan pedoman dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Pancasila sebagai upaya untuk mengembangkan wawasan ke-nusantara-
an, dan juga sebagai doktrin bagi warga negara untuk bertindak.
Dalam pergaulan (individu hingga lintas negara), Pancasila mampu
memberikan ruang etika didalamnya. Karena Pancasila merupakan sebuah nilai yang
sarat dengan makna. Oleh sebab itulah yang menjadikan Negara Indonesia lain
dengan negara lainnya. Secara sederhana, Pancasila mudah untuk diterapkan karena
sesuai dengan karakter masyarakat Bangsa Indonesia. Secara historis perumusan
Pancasila memiliki spirit pemersatu seluruh elemen masyarakat yang beragam
(heterogen).
Diera awal kemerdekaan, Pancasila merupakan sebuah ideologi nasional
dengan menempatkan makna yang terkandung dalam kelima sila Pancasila didalam
Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD 1945) sebagai
satu konsep praktis untuk dijalankan oleh negara, dan kemudian dibentuk satu acuan
pelaksanaan yang berbentuk dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Spirit
Pancasila dijadikan sebagai pemersatu elemen warga negara untuk bersama-sama
mewujudkan cita-cita bangsa untuk menjadikan masyarakat adil, makmur, dan
sejahtera.
Dalam pergeseran otoritas kepemimpinan Bangsa Indonesia dengan
beralihnya kekuasaan dari Orde Lama (Orla) ke Orde Baru (Orba), dimasa itu
Pancasila ditegaskan bahwa harus mampu menjawab tantangan perubahan zaman.
Moerdiono meyebutkan bahwa Pancasila harus ditempatkan sbagai “ideologi
terbuka” dengan alasan bahwa terdapat dinamika kehidupan masyarakat
internasional sekaligus dengan dinamika ekonomi global. Oleh sebab itu orientasi
pembangunan terencana yang dicanangkan oleh pemerintah (selaku pemegang
otoritas negara) harus mampu menempatkan pancasila sebagai arah kebijakan
negara tersebut. Selain itu Moerdiono menyebutkan bahwa telah terjadi
kebangkrutan ideologi dunia yang menyebabkan perubahan-perubahan secara
mendesak harus dilakukan di Negeri ini. Dengan menjadikan Pancasila sebagai
ideologi terbuka, pemerintah mampu memberikan warna dalam setiap kebijakan
pembangunan yang dicanangkan oleh pemerintah untuk negara. Bergesernya
penempatan ideologi Pancasila menjadi ideologi terbuka berarti menempatkan
Pancasila sebagai ideologi dengan interprestasi baru yakni kemampuan ideologi
Pancasila untuk berinteraksi dengan perubahan-perubahan serta perkembangan
zaman sesuai dengan dinamika yang berkembang .

Meniti Jalan Baru, Menuju Masyarakat Sejahtera


Negara, selaku organisasi masyarakat terbesar dibentuk atas dasar
kebersamaan dan persamaan tujuan, memliki otoritas penuh dalam ‘memenej’
masyarakat yang berada dalam lingkaran otoritasnya. Manajemen negara terhadap
masyarakatnya dilakukan oleh otoritas pemerintahan secara structural dan terarah
(hirarkis) dalam mekanisme kinerja untuk mencapai tujuan negara (Thoha, 2009).
Birokrasi yang diterjemahkan oleh David Beetham (Thoha, 2009:20) bahwa “Weeber
menerjemahkan birokrasi dengan tiga elemen yang berkembang dalam konsep
birokrasi yakni; [1] Birokrasi dipandang sebagai instrument teknis; [2] Birokrasi
dipandang sebagai kekuatan independen dalam masyarakat; dan [3] Birokrat tidak
mampu memisahkan kepentingan mereka sebagai kelompok masyarakat partikular”
Dengan demikian, posisi pemerintah dengan birokrasinya menentukan arah
negara dalam menjamin segala kebutuhan-kebutuhan dasar warganegaranya. Negara
melalui tangan birokrasi selaku mesin penggerak pemerintah merumuskan gagasan
terencana dalam mengelola negara sesuai dengan hirarki kekuasaan yang berlaku
dalam organisasi. Jadi, kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki oleh Negara
senantiasa berpijak pada sistem perpolitikan dengan asas-asas tertentu yang berlaku
di Negara tersebut.
Dewasa ini yang berkembang dinegara kita sejak era reformasi, secara
demokratis hirarki kekuasaan terwujud dalam bentuk pendelegasian wewenang
(delegated discretion) (Fukuyama, 2005) pemerintah pusat dan daerah secara
otonom mengurusi kebutuhan-kebutuhan dasar warganegara mulai dari ekonomi,
politik, sosial hingga budaya. Lebih tajam lagi Fukuyama (2005) mengkritisi bahwa
delegated dicretion memunculkan ‘egosektoral’ yang ditimbulkan akibat kepentingan
individu lebih dominan dari pada menunjukkan kepentingan prinsipal dalam kelas
warganegara. Masalah lain yang akan muncul sebagai bentuk kompleksitas masalah
yakni otoritas yang bergerak dalam satu arah sebagai “komando” tidak mampu
memberikan pencerahan pada kelas hirarki kekuasaan dibawah yang menimbulkan
kekacauan moral para pejabat birokrat seperti penyimpangan kewenangan,
penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, dan lain sebagainya menusuk sendi birokrasi
pemerintahan yang diakibatkan oleh menguatnya kepentingan individu dalam
mengelola negara (Fukuyama, 2005). Masalah yang melekat dalam bangsa kita,
terutama dalam pengelola negara (birokrat) menjadikan fungsi negara dalam
memberikan pelayanan kepada warganegaranya menjadi lemah akibat dari
keberpihakan birokrat kepada satu kelompok saja. Untuk itu, perlu upaya dan
kesadaran yang kuat dari pengelola negara dengan sistem yang berlaku sebagai
payung hukum tindakan birokrasi pemerintah dalam mencapai tujuan negara.
Pemantauan dan pertanggungjawaban yang akan menghasilkan transparansi
birokrasi pemerintahan dalam mengelola segala sumber daya sosial maupun material
yang ada. Negara harus menjamin tekelolanya modal sosial yang tersebar diseluruh
penjuru kota dan desa disetiap pojok negeri ini (Indonesia), karena negara yang baik
adalah negara yang senantiasa memikirkan nasib warganya ‘ketimbang’ memikirkan
nasib kelompoknya sendiri. Menurut hemat penulis, semua itu akan terwujud ketika
pemimpin negara memiliki karakter yang kuat dalam seni memimpin. Memecahkan
masalah dengan ‘kepala dingin’ bukan dengan ‘tangan besi’. Mengeluarkan
kharismatiknya kepada seluruh stakeholder pemerintah agar mampu bergerak dan
berpihak kepada rakyat. Dengan demikian, negara “berkuasa” atas segala hal yang
mengancam maupun yang mendorong kemajuan terhadap bangsa. Negara menjamin
kepentingan warga negara dengan meknisme kerja birokrasi pemerintahan yang
bersih, mengayomi dan berpihak kepada seluruh kepentingan warganegara untuk
menuju kemakmuran bersama.
Sebuah penegasan terhadap kekuatan negara sebagai the god father,
mengayomi masyarakatnya, cepat-tanggap terhadap permasalah yang dihadapi
masyarakatnya, serta bijak dalam menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi
oleh masyarakatnya. Negara dengan kekuatan besar muncul dari dalam dirinya
sendiri, bukan dari dorongan pihak ‘asing’. Karena ketika negara melaksanakan
fungsinya tidak berdasar dari dalam diri, mengharuskan campurtangan asing, maka
negara tersebut akan lemah dalam melaksanakan fungsinya. Sehingga negara
tersebut mudah diatur oleh bangsa lain (ketergantungan). Dengan demikian negara
tersebut tidaklagi memiliki karakter dalam mengelola negaranya. Oleh sebab itu
(Fukuyama, 2005) menegaskan bahwa ketergantungan dalam segala hal akan muncul
dari intervensi asing yang akan menyebabkan idependensi kebijakan terganggu.
Seperti yang telah penulis paparkan sebelumnya, Pancasila memiliki kekuatan
besar dalam membentuk karakter bangsa untuk mencapai tujuannya. Oleh sebab itu
etika politik yang berpijak pada nilai-nilai filosofis Pancasila dapat menjadikan
individu-individu yang beradab dan peka terhadap segala persoalan. Negara yang
dikelola oleh birokrasi pemerintahan akan dapat mewujudkan Bangsa Indonesia
menjadi bangsa yang beradab, berdaulat, dan mandiri dalam segala lini kehidupan.
Karena nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam Pancasila memiliki daya dorong
bagi bangsa ini untuk mencapai tujuannya, membawa masyarakat menjadi sejahtera
dengan cara mengelola seluruh sumberdaya alam yang terkandung dibumi pertiwi.
Pemerintah yang menjadi panglima dalam menjaga amanah konstitusi harus
dijalankannya dengan semangat “pancasilais” agar tujuan Negara tersebut dapat
tercapai. Pancasila harus dijadikan landasan dalam penentuan kebijakan yang
dikeluarkan. Selain itu, karakteristik bangsa Indonesia yang beragam mampu diserap
oleh nilai-nilai Pancasila karena rumusan Pancasila tersebut merupakan consensus
bersama atas pluralism Bangsa Indonesia.

Daftar Bacaan

Bakry, Noor MS., 1994, Orientasi Filsafat Pancasila, Edisi Revisi, Liberty, Yogyakarta

Fukuyama, Francis, 2005, Memperkuat Negara; Tata Pemerintahan dan Tata Dunia
Abad 21, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Thoha, Miftah, 2009, Birokrasi Pemerintah Indonesia di Era Reformasi, Kencana


Prenada Media Group, Jakarta

Westra, Pariata, 1995, Ensiklopedi Pancasila; Konsep dan implementasinya, Jilid I,


Pusat Penerbitan Balai Pembinaan Administrasi dan Manajemen,
Yogyakarta

Malang, 29 November 2013

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai