Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

PENDIDIKAN PANCASILA
PANCASILA DALAM KONSEP DEMOKRASI
POLITIK DAN KARAKTER BANGSA

Disusun oleh :

Refindo Simanjuntak (6018075)

Dosen Pengampu : Andriana Sofiarini, M.Pd

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN


PROGRAM STUDI PENJASKESREK
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN PERSATUAN
GURU REPUBLIK INDONESIA (STKIP-PGRI)
KOTA LUBUKLINGGAU
TAHUN AJARAN
2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada saya sehingga saya berhasil
menyelesaikan makalah ini yang tepat pada waktunya yang berjudul “Pancasila
Dalam Konsep Demokrasi Politik Dan Karakter Bangsa”. Makalah ini berisikan
informasi tentang Pendidikan Pancasila. Diharapkan makalah ini dapat memberikan
informasi kepada kita semua tentang Pendidikan Pancasila. Saya menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua
pihak yang besifat membangun selalu saya harapkan demi kesempurnaan makalah
ini.Akhir kata, saya sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan
sertadalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir.

Lubuklinggau, 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................i

DAFTAR ISI.............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................1

A.Latar Belakang Masalah...............................................................................1


B.Rumusan Masalah.........................................................................................1
C.Tujuan Masalah.............................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................3

A.Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Nasional Bidang Sosial


Politik............................................................................................................3
B.Demokrasi Pancasila dalam Konsep dan Teori Bernegara Indonesia.....6
C.Upaya Aktualisasi Demokrasi Pancasila di Indonesia...............................9
D.Hubungan Demokrasi Pancasila dan Kebudayaan Asli Indonesia........10
E.Pengembangan Karakter Berbasis Pancasila Melalui Pendidikan
Kewarganegaraan.....................................................................................12

BAB III PENUTUP.................................................................................................16

A.Kesimpulan..................................................................................................16
B.Saran.............................................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................18
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kemajuan negara sangat ditentukan oleh kualitas bangsa. Oleh karena itu,
para foundingfathers menekankan pentingnya pembangunan karakter bangsa
(nation and character building). Bahkan para founding fathers telah memberi
arah dan landasan yang jelas bagi pembangunan negara-negara dan karakter
yaitu Pancasila.

Oleh karena itu, Pancasila bukan hanya dijadikan sebagai dasar negara,
tetapi juga sebagai pandangan hidup dan ideology. Fungsi sebagai dasar negara
memberi arah dan landasan dalam tata kehidupan bernegara, dengan
menempatkan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber tertib hukum.

Sayangnya, kondisi di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan


bernegara Indonesia oleh banyak pihak diakui telah menunjukkan adanya
degradasi atau demoralisasi dalam pembentukan karakter dan kepribadian
Pancasila tersebut.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Nasional Bidang


Sosial Politik ?

2. Bagaimana Demokrasi Pancasila dalam Konsep dan Teori Bernegara


Indonesia ?
3. Bagaimana Pengembangan Karakter Berbasis Pancasila Melalui Pendidikan
Kewarganegaraan ?

C. Tujuan Masalah

1. Untuk Mengetahui Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Nasional


Bidang Sosial Politik ?

2. Untuk Mengetahui Demokrasi Pancasila dalam Konsep dan Teori Bernegara


Indonesia ?

3. Untuk Mengetahui Pengembangan Karakter Berbasis Pancasila Melalui


Pendidikan Kewarganegaraan !
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Nasional Bidang Sosial Politik

Bidang sosial politik dapat diartikan sempit dan dapat diartikan luas.
Dalam tulisan ini, kita memahaminya dalam artian luas, yaitu menyangkut
kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya hubungan antara rakyat,
wilayah dan pemerintah, yang selanjutnya mencakup cabang legislative,
eksekutif dan yudikatif. Pada dasarnya, politik berkenaan dengan masalah
kekuasaan, yang memang diperlukan oleh Negara manapun juga dalam
menunaikan dua tugas pokoknya, yaitu membeerikan kesejahteraan dan
menjamin keamanan bagi seluruh warganya. Kekuasaan adalah kemampuan
untuk mendorong orang lain untuk melaksanakan kemauan kita. Kekuasaan
tidak akan terasa sebagai paksaan kalau penggunaannya disertai oleh
kepemimpinan yang bermutu tinggi. Kepemimpinan yang bermutu tinggi itu
sendiri akan terkait dengan kewibawaan, yaitu penerimaan kekuasaan itu secara
sadar dan sukarela oleh mereka yang dikuasai itu. Dengan lain perkataan,
sesungguhnya kekuasaan yang bersifat demokratis.

1. Pancasila dirumuskan dalam rangka pembentukan Negara

Secara historis perlu kita ingat bahwa Pancasila bukanlah merupakan hasil
renungan spekulatif seorang filosof sebagai a man of thought. Pancasila
dirumuskan secara induktif oleh seorang nation builder, sebagai kristalisasi
pengalaman dan pengamatannya terhadap kesamaan masyarakat Indonesia
yang diperlukan dalam rangka pembentukan sebuah Negara. Pancasila
bukanlah hasil wacana filsafat yang bertujuan mencari prima causa, atau
hakikat kebenaran. Pancasila adalah respons Ir Soekarno sebagai tokoh
pergerakan rakyat – a man of action – terhadap pertanyaan Ketua BPUPKI,
Dr. Radjiman Wedyodiningrat pada tanggal 28 Mei 1945 kepada para anggota
badan tersebut, tentang apakah dasar dari Negara yang segera akan dibentuk.
Sejak tahun 1944, karena terdesak oleh berbagai kekalahan dalam perang dan
untuk mengambil hari rakyat Indonesia, Pemerinta Kekaisaran Jepang
memang telah memberikan janji bahwa Indonesia – yang didudukinya sejak
awal tahun 1942- segera akan diberi kemerdekaan.

Pancasila pernah disifatkan sebagai filsafat politik. Namun, mungkin perlu


dipertanyakan, apakah pemikiran tentang Pancasila memang sudah cukup
mendalam dan cukup berkembang secara koheren dan konsisten sehingga
layak untuk diberi predikat sebagai filsafat politik, political philosophy,
setingkat dengan filsafat politik lainnya di dunia ?

2. Tiga artian Pancasila

Tiga artian Pancasila yaitu (1) sebagai prasaran politik 1 Juni 1945, (2)
sebagai bagian dari rancangan dokumen konstitusional 22 Juni 1945, dan (3)
sebagai bagian dari dokumen konstitusional, 18 Agustus 1945.

Walaupun sebagai pribadi, sebagai warga masyarakat, dan sebagai anak


bangsa kita sudah mendengar, memahami dan meyakini, bahkan
melaksanakan berbagai gagasan mengenai ketuhanan, kemanusiaan,
persatuan, demokrasi, dan keadilan sosial – yang kemudian menjadi sila-sila
Pancasila itu – namun rasanya sebelun tahun 1945 kita tidak pernah
mendengar adanya gagasan untuk menyatukan kelima gagasan tersebut
sebagai suatu kesatuan yang utuh, dan agar disepakati sebagai basic premises
untuk mendirikan Negara.

Mengapa justru Soekarno yang mampu mengidentifikasi lima gagasan


terpadu itu ? Mengapa bukan tokoh lain? Pertanyaan ini sunggu menarik, dan
hanya mungkin kita jawab jika kita mendalami riwayat hidup beliau serta visi
kenegaraannya. Yang jelas, Soekarno amat yakin, bahwa bagaimanapun
majemuknya masyarakat Indonesia, namun keseluruhannya itu dalam mata
batin Soekarno adalah suatu bangsa. Dengan lain perkataan, sesungguhnya
paradigm politik dan visi kenegaraan Soekarno adalah nasionalisme, setidak-
tidaknya nasionalisme menurut visi Soekarno.

Perlu kita ingat, bahwa walaupun anjuran pertama mengenai lima sila
Pancasila adalah copyright Soekarno, namun lima sila dalam konsep
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (“Piagam Jakarta”) tanggal 22 Juni
1945 adalah sebuah karya kolektif. Sila-sila yang tercantum dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar tersebut dibahas oleh 38 orang anggota
BPUPKI yang masih tinggal di Jakarta pada saat reses BPUPKI antara tanggal
2 – 9 Juni 1945, ditambah dengan beberapa orang anggota Chou Sangi In,
untuk kemudian dirumuskan secara padat oleh Sembilan orang anggota
BPUPKI. Bukan saja urutan dan relevansi lima Sila Pancasila tersebut ditata
kembali, tetapi juga dikaitkan dengan esensi Tujuan Negara dan Tugas
Pemerintahan.

3. Status Pancasila adalah kontrak politik

Lalu, apa status Pancasila? Penulis berpendapat bahwa Pancasila – seperti


yang terdapat dalam alinea ke empat Pembukaan UUD 1945 – adalah
merupakan suatu kontrak politik bersejarah yang bersifat mendasar dari
seluruh lapisan dan kalangan dalam batang tubuh bangsa Indonesia yang besar
ini. Sebagaimana halnya setiap kontrak politik, substansinya mengikat seluruh
rakyat dan seluruh jajaran pemerintah. Pada saat ini baik hokum nasional
maupun seluruh lapisan penyelenggara Negara terikat oleh Pancasila, yang
telah dituangkan dalam peraturan perundang-undangan nasional.

Mereka yang tidak suka atau tidak mau menerima Pancasila sebagai
kontrak politik dalam pembentukan Negara Republik Indonesia ini dapat
memilih dua alternative, yaitu membentuk negaranya sendiri, jika hal itu
mungkin, atau berjuang menggantinya dengan suatu kontrak politik baru,
sudah barang tentu harus dilakukan secara legal dan demokratis. Bila hal itu
dilakukannya dengan kekerasan dan pemberontakan, ia harus memikul
konsekuensinya secara hukum.

B. Demokrasi Pancasila dalam Konsep dan Teori Bernegara Indonesia

Demokrasi Pancasila merupakan demokrasi yang didasarkan pada asas


kekeluargaan dan kegotongroyongan yang ditujukan kepada kesejahteraan
rakyat, yang mengandung unsur-unsur berkesadaran religius, kebenaran,
kecintaan dan budi pekerti luhur, berkepribadian Indonesia dan
berkesinambungan

Dalam demokrasi Pancasila, system pengorganisasian Negara dilakukan


oleh rakyat sendiri atau dengan persetujuan rakyat. Kebebasan individu dalam
demokrasi pancasila tidak bersifat mutlak, tetapi harus diselaraskan dengan
tanggung jawab sosial.

Keuniversalan cita-cita demokrasi dipadukan dengan cita-cita hidup


bangsa Indonesia yang dijiwai oleh semangat kekeluargaan, sehingga tidak
ada dominasi mayoritas atau minoritas.
Demokrasi Pancasila pada hakikatnya merupakan norma yang mengatur
penyelenggaraan kedaulatan rakyat dan penyelenggaraan pemerintahan
Negara, dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan
keamana, bagi setiap warga Negara Republik Indonesia, organisasi kekuatan
sosial politik, organisasi kemasyarakatan, dan lembaga kemasyarakatan
lainnya serta lembaga-lembaga negara baik pusat maupun di daerah.

Demokrasi Pancasila memiliki prinsip-prinsip yang berlaku, seperti :

1. Kebebasan atau Persamaan (Freedom/Equality).

Kebebasan/Persamaan adalah dasar demokrasi. Kebebasan dianggap


sebagai sarana mencapai kemajuan dan memberikan hasil maksimal dari
usaha orang tanpa pembatasan dari penguasa. Dengan prinsip persamaan
semua orang dianggap sama, tanpa dibeda-bedakan dan memperoleh akses
dan kesempatan bersama untuk mengembangkan diri sesuai dengan
potensinya. Kebebasan yang dikandung dalam demokrasi Pancasila ini tidak
berarti Free Fight Liberalism yang tumbuh di Barat, tapi kebebasan yang
tidak mengganggu hak dan kebebasan orang lain.

2. Kedaulatan Rakyat (People’s Soverignty)

Dengan konsep kedaulatan rakyat, hakikat kebijakan yang dibuat adalah


kehendak rakyat dan untuk kepentingan rakyat. Mekanisme semacam ini akan
mencapai dua hal; yaitu, kemungkinan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan
sangatlah kecil, dan kepentingan rakyat dalam tugas-tugas pemerintahan lebih
terjamin. Perwujudan lain dari konsep kedaulatan adalah adanya pengawasan
oleh rakyat. Pengawasan dilakukan karena demokrasi tidak mempercayai
kebaikan hati penguasa.
3. Pemerintahan yang terbuka dan bertanggung jawab yang memiliki
prinsip-prinsip

a).Dewan Perwakilan Rakayat yang representatif. b).Badan


kehakiman/peradilan yang bebas dan merdeka. c).Pers yang bebas, d). Prinsip
Negara Hukum, f). Pemilihan umum yang demokratis. g). Prinsip mayoritas.
h). Jaminan akan hak-hak dasar dan hak-hak minoritas.

Di Indonesia, prinsip-prinsip demokrasi telah disusun sesuai dengan nilai-


nilai yang tumbuh dalam masyarakat, meski harus dikatakan baru sebatas
demokrasi procedural, dalam proses pengambilan keputusan lebih
mengedepankan voting ketimbang musyawarah untuk mufakat, yang sejatinya
merupakan azas asli demokrasi Indonesia. (bukankah voting itu asas asli
demokrasi liberal, jadi apa tidak berkebalikan). Praktek demokrasi ini tanpa
dilandasi mental state yang berakar dari nilai-nilai luhur bangsa merupakan
gerakan omong kosong belaka.

Ada beberapa unsur demokrasi yang dikemukakan oleh para Ahli di


antaranya adalah :

i. Menurut Sargen, Lyman Tower (1987), unsur demokrasi meliputi


keterlibatan rakyat dalam mengambil keputusan politik, tingkat persamaan
hak antarmanusia, tingkat kebebasan dan kemerdekaan yang dimiliki oleh
warga Negara, system perwakilan dan system pemilihan ketentuan
mayoritas.

ii. Afan Gaffar (1999), unsur demokrasi meliputi akuntabilitas, rotasi


kekuasaan, rekruitmen politik yang terbuka, pemilihan umum, dan hak-
hak dasar.

iii. Menurut Marriam Budiardjo (1977), terdapat beberapa unsur demokrasi,


yaitu perlunya dibentuk lembaga-lembaga demokrasi untuk melaksanakan
nilai-nilai demookrasi, yaitu pemerintahan yang bertanggung jawab,
Dewan Perwakilan Rakyat, organisasi politik, pers dan media massa, serta
peradilan yang bebas.

iv. Menurut Frans Magnis Suseno (1997), menyebutkan ada lima gugus cirri
hakiki Negara demokrasi. Kelima gugus demokrasi tersebut adalah Negara
hukum, pemerintahan di bawah kontrol nyata masyarakat, pemilihan
umum yang bebas, prinsip mayoritas dan adanya jaminan terhadap hak-
hak demokrasi.

C. Upaya Aktualisasi Demokrasi Pancasila di Indonesia

Sistem ketatanegaraan yang dianut oleh Undang-Undang Dasar 1945


adalah Negara demokrasi konstitusional, dengan menganut asas demokrasi
Pancasila. Dalam aktualisasinya, Demokrasi Pancasila didasarkan pada
Pembukaan Undang Undang Dasar 45 alinea ke 4, yaitu kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan, yang
mengandung semangat KeTuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan
beradab, persatuan Indonesia, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Demokrasi Pancasila juga diartikan sebagai demokrasi yang dihayati oleh


bangsa dan Negara Indonesia yang dijiwai oleh bangsa dan negara Indonesia
yang dijiwai dan diintegrasikan oleh nilai-nilai luhur Pancasila. Dalam
menganut asa demokrasi Pancasila, sistem pengorganisasian Negara dilakukan
oleh rakyat sendiri atau dengan persetujuan rakyat, dimana keluhuran manusia
sebagai makhluk Tuhan dalam bidang politik, ekonomi, sosial budaya dan
pertahanan keamanan diakui, ditaati dan dijamin atas dasar kenegaraan
Pancasila.
Pemerintah berdasarkan atas demokrasi konstitusional tidak bersifat
absolutism (kekuasaan yang tidak terbatas). Koknstitusi di sini diartikan dalam
arti luas, sebagai living constitution, baik yang tertulis yang disebut Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maupun hukum dasar
yang tidak tertulis (konvensi), seperti aturan-aturan dasar yang timbul dan
terpelihara dalam praktek penyelenggaraan Negara meskipun tidak tertulis.

Kedaulatan rakyat dengan sistem perwakilan atau demokrasi biasa disebut


sistem demokrasi perwakilan (representative democracy) atau demokrasi tidak
langsung (Indirect Democracy). Dalam praktek, pihak yang menjalankan
kedaulatan rakyat itu adalah wakil-wakil rakyat yang duduk di lembaga
perwakilan rakyat yang disebut parlemen. Agar wakil-wakil rakyat dapat
bertindak atas nama rakyat, wakil-wakil rakyat itu harus ditentukan sendiri oleh
rakyat, yaitu melalui pemilihan umum (General Election). Dengan demikian,
pemilihan umum itu tidak lain merupakan cara yang diselenggarakan untuk
memilih wakil-wakil rakyat secara demokratis.

D. Hubungan Demokrasi Pancasila dan Kebudayaan Asli Indonesia

Konsep demokrasi pancasila digali dari nilai masyarakat asli Indonesia


dengan nilai-nilai yang melekat kepadanya, seperti desa demokrasi, rapat
kolektivisme, musyawarah mufakat, tolong-menolong dan istilah-istilah lain
yang berkaitan dengan itu. Tujuannya, memberikan pendasaran empiris
sosiologis tentang konsep demokrasi yang sesuai dengan sifat kehidupan
masyarakat asli Indonesia, bukan sesuatu yang asing yang bersasal dari Barat
dan dipaksakan pada realitas kehidupan bangsa Indonesia.

Masyarakat asli yang dimaksudkan di sini adalah bentuk kehidupan


masyarakat yang sudah berlangsung di pulau-pulau di Nusantara sejak berabad-
abad yang lalu dan yang tersusun dari satuan-satuan kehidupan yang terkecil
yang berbeda-beda seperti desa di Jawa, nagari di Sumatra Barat, pekon di
Lampung atau subak di Bali. Masyarakat asli ini memiliki seperangkat nilai
mental dan moral yang bersifat homogeny, structural dan kolektif, yang
kesemuanya memiliki sistem budaya sendiri dan berlangsung secara
demokratis, yaitu demokrasi secara langsung sebagaimana terdapat di negara-
negara kota di Yunani kuno 25 abad yang lalu. Proses metamorphosis nilai-nilai
demokrasi yang digali dari kearifan budaya Indonesia tersebut mengalami
beberapa periodisasi dalam proses implementasinya sebagai suatu keniscayaan.

Alfian mengatakan bahwa Pancasila sebagai ideology dalam kehidupan


demokrasi antara lain terletak pada kualitas yang terkandung di dalam dirinya.
Di samping itu relevansinya terletak pada posisi komparatif terhadap ideologi-
ideologi lain sehingga bangsa Indonesia yang meyakini, menghayati dan
memahami mengapa Pancasila adalah ideology untuk dipakai sebagai landasan
dan sekaligus tujuan dalam membangun dirinya dalam berbagai kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, termasuk kehidupan politik.

Menurut Hatta, pancasila sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi dasar
yang memimpin sila-sila yang lain. Seperti halnya sila kerakyatan atau
demokrasi, Hatta yakin bahwa demokrasi akan hidup selama-lamanya di bumi
Indonesia, sekalipun akan mengalami pasang naik dan pasang surut. Menurut
Hatta, sumber demokrasi atau lebih tegasnya demokrasi sosial, di Indonesia ada
tiga; Pertama, sosialisme Barat yang membela prinsip-prinsip humanism, dan
prinsip ini juga dipandang sebagai tujuan. Kedua, ajaran Islam yang
memerintahkan kebenaran dan keadilan Tuhan dalam bermasyarakat. Ketiga,
pola hidup dalam bentuk kolektivisme sebagaimana terdapat di desa-desa di
Indonesia. Ketiga sumber inilah yang akan menjamin kelestarian demokrasi di
Indonesia, sehingga hatta berkeyakinan bahwa demokrasi di Indonesia
mempunyai dasar yang kukuh.
E. Pengembangan Karakter Berbasis Pancasila Melalui Pendidikan
Kewarganegaraan

1. Pendidikan Karakter
Pendidikan untuk membangun karakter bukan barang baru untuk
Indonesia. Pesan yang sangat jelas mengenai pentingnya membentuk
(membangun) karakter sudah disampaikan oleh W.R Supratman dalam lagu
Indonesia Raya, ‘…Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya untuk
Indonesia Raya’. W.R Supratman menempatkan pembangunan “jiwa”,
sebelum pembangunan badan”, bukan sebaliknya. Pembangunan karakter
adalah pembangunan “jiwa” bangsa. Pendidikan karakter juga sebagai
perwujudan amanat yang tertuang dalam Pancasila dan UUD 1945. Selain itu
pendidikan karakter juga sejalan dengan fungsi dan tujuan pendidikan
nasional yang tercantum dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, yang menyatakan bahwa,”Pendidikan Nasional
berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
Berdasarkan Program Kementerian Pendidikan Nasional 2010-2014
yang dituangkan dalam RAN (Rencana Aksi Nasional) pendidikan Karakter
(2010), ditegaskan bahwa pendidikan karakter adalah pendidikan nilai,
pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak yang bertujuan
mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan
baik-buruk, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu dalam
kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati.
Pendidikan adalah suatu upaya sadar untuk mengembangkan potensi
peserta didik baik itu tingkat dasar, menengah maupun tingkat lanjut dan
tinggi secara optimal. Dengan kata lain pendidikan merupakan suatu proses
untuk mengembangkan semua aspek kepribadian manusia, yang mencakup
pengetahuannya, nilai dan sikapnya serta ketrampilannya. “…pendidikan
adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan
batin, karakter), pikiran (intellect), dan tubuh anak. Bagian-bagian itu tidak
boleh dipisahkan agar kita dapat memajukan kesempurnaan hidup anak-anak
kita…” (Ki Hajar Dewantoro).
Dalam Kamus Webster New World Dictionary (1991) yang dimaksud
dengan karakter adalah ‘distinctive trait, distinctive quality, moral strength,
the pattern of behavior found in an individual or group. Kamus Besar Bahasa
Indonesia belum memasukkan kata karakter, yang ada adalah kata ‘watak’
yang diartikan sebagai: sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap
pikiran dan tingkah laku; budi pekerti; tabiat. Istila character (karakter)
memiliki makna substantive dan proses psikologis yang sangat mendasar.
Lickona (1992:50) merujuk pada konsep good character yang dikemukakan
oleh Aristoteles sebagai “…the life of right conduct-right conduct in relation
to other persons and in relation to onself”.
Dengan kata lain karakter dapat dimaknai sebagai kehidupan berperilaku
baik/penuh kebajikan, yakni berperilaku baik terhadap pihak lain (Tuhan
YME, manusia dan alam semesta) dan terhadap diri sendiri. Peterson dan
Seligman, dalam buku ‘Character Strength and Virtue (Raka, 2007)
mengaitkan secara langsung ‘characterstrength’ dengan kebajikan.

2. Pancasila Sebagai Karakter Bangsa Indonesia


Maswardi Rauf (2008:88) menegaskan, karakter bangsa adalah “sifat
yang melekat pada bangsa secara keseluruhan yang terlihat dari pola piker dan
tingkah laku yaitu kultur/budaya atau nilai yang dianut oleh warga masyarakat
untuk menjadi pedoman dalam bertingkah laku”. Berdasarkan pendapat di
atas karakter bangsa dapat terbangun melalui budaya ayng ada di masyarakat.
Sedangkan budaya-budaya tersebut di kristalisasikan dan melahirkan suatu
pandangan hidup bersama yang kita kenal dengan Pancasila. Sehingga
keberadaan nilai-nilai Pancasila perlu terus dibina, dikembangkan dan
dilestarikan.
Pembinaan karakter bangsa dengan nilai-nilai Pancasila bertujuan agar
bangsa Indonesia mampu bersikap dan bertingkah laku dengan sepatutnya
sehingga mampu mengantar bangsa menuju kesuksesan hidup sesuai dengan
cita-cita bangsa. Kesuksesan hidup suatu bangsa tergantung bagaimana
bangsa tersebut dapat membawa diri sesuai dengan cita-cita yang
didambakannya, serta mampu untuk mengatisipasi secara tepat tantangan
zaman. Dengan demikian sumber karakter adalah belief system yang telah
terpatri dalam sanubari bangsa, serta tantangan dari luar sehingga membentuk
sikap dan perilaku yang akan mengantar bangsa mencapai kehidupan yang
sukses. Bagi bangsa Indonesia belief system ini tiada lain adalah Pancasila
yang di dalamnya terdapat konsep, prinsip dan nilai yang merupakan faktor
endogen bangsa Indonesia dalam membentuk karakternya.

3. Pendidikan Kewarganegaraan untuk Pembangunan Karakter Bangsa

Dalam kepustakaan asing ada dua istilah teknis yang dapat


diterjemahkan menjadi pendidikan kewarganegaraan yakni civic education
dan citizenship education. Cogan (1999:4) mengartikan civic education
sebagai “…the foundational course work in school designed to prepare young
citizens for an active role in their communities in their adult lives”, atau suatu
mata pelajaran dasar di sekolah yang dirancang untuk mempersiapkan warga
negara muda, agar kelak setelah dewasa dapat berperan aktif dalam
masyarakatnya. Sedangkan citizenship education atau education for
citizenship oleh Cogan (1999:4) digunakan sebagai istilah yang memiliki
pengertian yang lebih luas yang mencakup “…both these in-school
experiences as well as out-of school or non-formal/informal learning which
takes place in the family, the religious organization, community
organizations, the media, etc which help to shape the totality of the citizen”.

Di sisi lain, David Kerr mengemukakan bahwa Citizenship or Civics


Educationis construed broadly to encompass the preparation of young people
for their roles and responsibilities as citizens and, inparticular, the role of
education (through schooling, teaching and learning) in that preparatory
process. (Kerr, 1999:2) atau PKn dirumuskan secara luas mencakup proses
penyiapan generasi muda untuk mengambil peran dan tanggung jawabnya
sebagai warga negara, dan secara khusus, peran pendidikan termasuk di
dalamnya persekolahan, pengajaran, dan belajar dalam proses penyiapan
warga negara tersebut.

Untuk konteks di Indonesia, citizenship education atau civic education


dalam arti luas oleh beberapa pakar diterjemahkan dengan istilah Pendidikan
Kewarganegaraan (Somantri, 2001; Winataputra, 2001) atau pendidikan
kewargaan (Azra, 2002). Secara terminologis, PKn diartikan sebagai
pendidikan politik yang fokus materinya peranan warga negara dalam
kehidupan bernegara yang kesemuanya itu diproses dalam rangka untuk
membina peranan tersebut sesuai dengan ketentuan Pancasila dan UUD 1945
agar menjadi warga negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara
(Cholisin, 2011).

Dilihat secara yuridis, kurikulum pendidikan dasar, menengah, dan


tinggi wajib memuat PKn yang dimaksudkan untuk membentuk peserta didik
menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air sesuai
dengan Pancasila dan UUD 1945.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Pancasila telah diterima secara luas sebagai lima askioma politik yang
disarikan dari kehidupan masyarakat Indonesia yang majemuk dan mempunyai
sejarah yang sudah tua. Namun ada masalah dalam penuangannya ke dalam
sistem kenegaraan dan sistem pemerintahan, yang ditata menurut model
sentralistik yang hanya dikenal dalam budaya politik Jawa. Doktrin Wawasan
Nusantara dan Ketahanan Nasional masih mengandung nuansa yang amat
sentralistik, dan perlu disempurnakan dengan melengkapinya dengan Doktrin
Bhinneka Tunggal Ika.

Demokrasi yang terlahi dari adanya kedaulatan rakyat secara mutlak,


ternyata mengalami metamorphose dan perubahan. Terutama pada saat
berakulturasi dengan budaya masyarakat setempat yang ditempatinya. Tipologi
demokrasi yang bervariatif menunjukkan adanya pola baru yang dhiasilkan dari
teori dasar demokrasi. Termasuk dalam hal ini Indonesia. Indonesia dengan
kedaulatan rakyatnya kemudian menyerap kebudayaan aslinya untuk kemudian
menjelma menjadi demokrasi tersendiri bernama demokrasi pancasila.

Karakter bangsa dimaknai sebagai ciri-ciri kepribadian yang relative tetap,


gaya hidup yang khas, cara piker, bersikap, dan berperilaku yang sesuai nilai-
nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia yang dijiwai nilai-nilai
Pancasila. Fungsi Pancasila sebagai pandangan hidup membawa implikasi bahwa
Pancasila juga sebagai jiwa dan sekaligus sebagai kepribadian bangsa.
Pembangunan karakter adalah pembangunan “jiwa” bangsa, pendidikan karakter
juga sebagai perwujudan amanat yang tertuang dalam Pancasila dan UUD 1945.
B. Saran

Bagi para pembaca yang telah membaca makalah ini kiranya


dapat memberikan saran/kritik serta masukan yang berarti pada
perbaikan selanjutnya supaya makalah ini menjadi makalah yang
sempurna.
DAFTAR PUSTAKA

Bahar, S. (2002). Pancasila sebagai paradigma pembangunan Nasional


Bidang Sosial Politik. Jurnal Ketahanan Nasional, VII (2)

Sulistyarini. (2015). Pengembangan Karakter Berbasis Pancasila Melalui


Pendidikan Kewarganegaraan. Jurnal Bhinneka Tunggal Ika, Volume
2, Nomor 1

Yunus, R. N. (2015). Aktualisasi Demokrasi Pancasila Dalam Kehidupan


Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: SOSIO DIDAKTITKA : Social
Science Education Journal, 2 (2), 2015, 156-166

Anda mungkin juga menyukai