PENDIDIKAN PANCASILA
PANCASILA DALAM KONSEP DEMOKRASI
POLITIK DAN KARAKTER BANGSA
Disusun oleh :
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada saya sehingga saya berhasil
menyelesaikan makalah ini yang tepat pada waktunya yang berjudul “Pancasila
Dalam Konsep Demokrasi Politik Dan Karakter Bangsa”. Makalah ini berisikan
informasi tentang Pendidikan Pancasila. Diharapkan makalah ini dapat memberikan
informasi kepada kita semua tentang Pendidikan Pancasila. Saya menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua
pihak yang besifat membangun selalu saya harapkan demi kesempurnaan makalah
ini.Akhir kata, saya sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan
sertadalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir.
Lubuklinggau, 2021
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................3
A.Kesimpulan..................................................................................................16
B.Saran.............................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................18
BAB I
PENDAHULUAN
Kemajuan negara sangat ditentukan oleh kualitas bangsa. Oleh karena itu,
para foundingfathers menekankan pentingnya pembangunan karakter bangsa
(nation and character building). Bahkan para founding fathers telah memberi
arah dan landasan yang jelas bagi pembangunan negara-negara dan karakter
yaitu Pancasila.
Oleh karena itu, Pancasila bukan hanya dijadikan sebagai dasar negara,
tetapi juga sebagai pandangan hidup dan ideology. Fungsi sebagai dasar negara
memberi arah dan landasan dalam tata kehidupan bernegara, dengan
menempatkan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber tertib hukum.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Masalah
Bidang sosial politik dapat diartikan sempit dan dapat diartikan luas.
Dalam tulisan ini, kita memahaminya dalam artian luas, yaitu menyangkut
kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya hubungan antara rakyat,
wilayah dan pemerintah, yang selanjutnya mencakup cabang legislative,
eksekutif dan yudikatif. Pada dasarnya, politik berkenaan dengan masalah
kekuasaan, yang memang diperlukan oleh Negara manapun juga dalam
menunaikan dua tugas pokoknya, yaitu membeerikan kesejahteraan dan
menjamin keamanan bagi seluruh warganya. Kekuasaan adalah kemampuan
untuk mendorong orang lain untuk melaksanakan kemauan kita. Kekuasaan
tidak akan terasa sebagai paksaan kalau penggunaannya disertai oleh
kepemimpinan yang bermutu tinggi. Kepemimpinan yang bermutu tinggi itu
sendiri akan terkait dengan kewibawaan, yaitu penerimaan kekuasaan itu secara
sadar dan sukarela oleh mereka yang dikuasai itu. Dengan lain perkataan,
sesungguhnya kekuasaan yang bersifat demokratis.
Secara historis perlu kita ingat bahwa Pancasila bukanlah merupakan hasil
renungan spekulatif seorang filosof sebagai a man of thought. Pancasila
dirumuskan secara induktif oleh seorang nation builder, sebagai kristalisasi
pengalaman dan pengamatannya terhadap kesamaan masyarakat Indonesia
yang diperlukan dalam rangka pembentukan sebuah Negara. Pancasila
bukanlah hasil wacana filsafat yang bertujuan mencari prima causa, atau
hakikat kebenaran. Pancasila adalah respons Ir Soekarno sebagai tokoh
pergerakan rakyat – a man of action – terhadap pertanyaan Ketua BPUPKI,
Dr. Radjiman Wedyodiningrat pada tanggal 28 Mei 1945 kepada para anggota
badan tersebut, tentang apakah dasar dari Negara yang segera akan dibentuk.
Sejak tahun 1944, karena terdesak oleh berbagai kekalahan dalam perang dan
untuk mengambil hari rakyat Indonesia, Pemerinta Kekaisaran Jepang
memang telah memberikan janji bahwa Indonesia – yang didudukinya sejak
awal tahun 1942- segera akan diberi kemerdekaan.
Tiga artian Pancasila yaitu (1) sebagai prasaran politik 1 Juni 1945, (2)
sebagai bagian dari rancangan dokumen konstitusional 22 Juni 1945, dan (3)
sebagai bagian dari dokumen konstitusional, 18 Agustus 1945.
Perlu kita ingat, bahwa walaupun anjuran pertama mengenai lima sila
Pancasila adalah copyright Soekarno, namun lima sila dalam konsep
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (“Piagam Jakarta”) tanggal 22 Juni
1945 adalah sebuah karya kolektif. Sila-sila yang tercantum dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar tersebut dibahas oleh 38 orang anggota
BPUPKI yang masih tinggal di Jakarta pada saat reses BPUPKI antara tanggal
2 – 9 Juni 1945, ditambah dengan beberapa orang anggota Chou Sangi In,
untuk kemudian dirumuskan secara padat oleh Sembilan orang anggota
BPUPKI. Bukan saja urutan dan relevansi lima Sila Pancasila tersebut ditata
kembali, tetapi juga dikaitkan dengan esensi Tujuan Negara dan Tugas
Pemerintahan.
Mereka yang tidak suka atau tidak mau menerima Pancasila sebagai
kontrak politik dalam pembentukan Negara Republik Indonesia ini dapat
memilih dua alternative, yaitu membentuk negaranya sendiri, jika hal itu
mungkin, atau berjuang menggantinya dengan suatu kontrak politik baru,
sudah barang tentu harus dilakukan secara legal dan demokratis. Bila hal itu
dilakukannya dengan kekerasan dan pemberontakan, ia harus memikul
konsekuensinya secara hukum.
iv. Menurut Frans Magnis Suseno (1997), menyebutkan ada lima gugus cirri
hakiki Negara demokrasi. Kelima gugus demokrasi tersebut adalah Negara
hukum, pemerintahan di bawah kontrol nyata masyarakat, pemilihan
umum yang bebas, prinsip mayoritas dan adanya jaminan terhadap hak-
hak demokrasi.
Menurut Hatta, pancasila sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi dasar
yang memimpin sila-sila yang lain. Seperti halnya sila kerakyatan atau
demokrasi, Hatta yakin bahwa demokrasi akan hidup selama-lamanya di bumi
Indonesia, sekalipun akan mengalami pasang naik dan pasang surut. Menurut
Hatta, sumber demokrasi atau lebih tegasnya demokrasi sosial, di Indonesia ada
tiga; Pertama, sosialisme Barat yang membela prinsip-prinsip humanism, dan
prinsip ini juga dipandang sebagai tujuan. Kedua, ajaran Islam yang
memerintahkan kebenaran dan keadilan Tuhan dalam bermasyarakat. Ketiga,
pola hidup dalam bentuk kolektivisme sebagaimana terdapat di desa-desa di
Indonesia. Ketiga sumber inilah yang akan menjamin kelestarian demokrasi di
Indonesia, sehingga hatta berkeyakinan bahwa demokrasi di Indonesia
mempunyai dasar yang kukuh.
E. Pengembangan Karakter Berbasis Pancasila Melalui Pendidikan
Kewarganegaraan
1. Pendidikan Karakter
Pendidikan untuk membangun karakter bukan barang baru untuk
Indonesia. Pesan yang sangat jelas mengenai pentingnya membentuk
(membangun) karakter sudah disampaikan oleh W.R Supratman dalam lagu
Indonesia Raya, ‘…Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya untuk
Indonesia Raya’. W.R Supratman menempatkan pembangunan “jiwa”,
sebelum pembangunan badan”, bukan sebaliknya. Pembangunan karakter
adalah pembangunan “jiwa” bangsa. Pendidikan karakter juga sebagai
perwujudan amanat yang tertuang dalam Pancasila dan UUD 1945. Selain itu
pendidikan karakter juga sejalan dengan fungsi dan tujuan pendidikan
nasional yang tercantum dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, yang menyatakan bahwa,”Pendidikan Nasional
berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
Berdasarkan Program Kementerian Pendidikan Nasional 2010-2014
yang dituangkan dalam RAN (Rencana Aksi Nasional) pendidikan Karakter
(2010), ditegaskan bahwa pendidikan karakter adalah pendidikan nilai,
pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak yang bertujuan
mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan
baik-buruk, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu dalam
kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati.
Pendidikan adalah suatu upaya sadar untuk mengembangkan potensi
peserta didik baik itu tingkat dasar, menengah maupun tingkat lanjut dan
tinggi secara optimal. Dengan kata lain pendidikan merupakan suatu proses
untuk mengembangkan semua aspek kepribadian manusia, yang mencakup
pengetahuannya, nilai dan sikapnya serta ketrampilannya. “…pendidikan
adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan
batin, karakter), pikiran (intellect), dan tubuh anak. Bagian-bagian itu tidak
boleh dipisahkan agar kita dapat memajukan kesempurnaan hidup anak-anak
kita…” (Ki Hajar Dewantoro).
Dalam Kamus Webster New World Dictionary (1991) yang dimaksud
dengan karakter adalah ‘distinctive trait, distinctive quality, moral strength,
the pattern of behavior found in an individual or group. Kamus Besar Bahasa
Indonesia belum memasukkan kata karakter, yang ada adalah kata ‘watak’
yang diartikan sebagai: sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap
pikiran dan tingkah laku; budi pekerti; tabiat. Istila character (karakter)
memiliki makna substantive dan proses psikologis yang sangat mendasar.
Lickona (1992:50) merujuk pada konsep good character yang dikemukakan
oleh Aristoteles sebagai “…the life of right conduct-right conduct in relation
to other persons and in relation to onself”.
Dengan kata lain karakter dapat dimaknai sebagai kehidupan berperilaku
baik/penuh kebajikan, yakni berperilaku baik terhadap pihak lain (Tuhan
YME, manusia dan alam semesta) dan terhadap diri sendiri. Peterson dan
Seligman, dalam buku ‘Character Strength and Virtue (Raka, 2007)
mengaitkan secara langsung ‘characterstrength’ dengan kebajikan.
A. Kesimpulan
Pancasila telah diterima secara luas sebagai lima askioma politik yang
disarikan dari kehidupan masyarakat Indonesia yang majemuk dan mempunyai
sejarah yang sudah tua. Namun ada masalah dalam penuangannya ke dalam
sistem kenegaraan dan sistem pemerintahan, yang ditata menurut model
sentralistik yang hanya dikenal dalam budaya politik Jawa. Doktrin Wawasan
Nusantara dan Ketahanan Nasional masih mengandung nuansa yang amat
sentralistik, dan perlu disempurnakan dengan melengkapinya dengan Doktrin
Bhinneka Tunggal Ika.