Anda di halaman 1dari 3

Tri Tangtu di Sastra

Hawe Setiawan

Mari kita baca lagi Tanjeur Na Juritan Jaya di Buana (Tangguh di Medan Laga, Jaya di Dunia,
1991), salah satu ksi Sunda karya almarhum Yoseph Iskandar (1953-2008) yang didasarkan
terutama atas Naskah Wangsakerta seperti yang telah diteliti oleh para lolog. Tema novel ini
berkaitan dengan suksesi kekuasaan di Kerajaan Sunda pada abad ke-14 M. Prabu Bunisora
Suradipati, pemegang kekuasaan sementara di Kerajaan Sunda sepeninggal Prabu Maharaja
Linggabuana alias Hyang Prabu Wangi yang gugur di Bubat, berkehendak menyampaikan tongkat
kepemimpinan kepada keponakannya, putra Prabu Wangi dan satu-satunya penyintas dari
keluarga kerajaan pasca Peristiwa Bubat. Pewaris tahta itu adalah Wangisutah alias
Wastukancana.

Jejak langkah Prabu Wastukancana, raja Sunda yang berkuasa selama 103 tahun, 6 bulan, 15 hari
dituturkan oleh Yoseph dalam sekuel tersendiri, yakni novel Wastu Kancana (19…) yang
dilanjutkan dengan novel Prabu Wangisutah (1991). Peminat lologi dapat pula membandingkan
karakterisasi dalam novel ini dengan bagian-bagian dari manuskrip Sunda Kuna yang dikenal
sebagai Carita Parahyangan. Adapun wawasan kenegaraan tokoh yang satu ini, sebagaimana
yang terungkapkan dalam bagian-bagian dialognya, berseuaian pula dengan manuskrip
Sanghyang Siksakandang Karesian.

Di tangan Yoseph, karakterisasi Wastukancana sebagai gur sentral dalam Tanjeur di Juritan Jaya
di Buana mengandung odorasi. Ia ditampilkan sebagai satria yang gagah perkasa, mampu
melumpuhkan kawanan rampog puluhan orang. Ia juga digambarkan sebagai tokoh sakti, mampu
melembekkan besi dengan tangannya tanpa bantuan api, bisa menangkap ikan dari sungai tanpa
bantuan jala atau pancing, juga bisa bepergian dengan menunggang macan. Ia pun terpejalar,
menyerap banyak bahan pengajaran dan berguru kepada berbagai resi. Sebagai pemegang tahta,
ia mampu menghormati pendahulunya dan berbagi kekuasaan dengan kalangan kerabat
kerajaan. Dalam novel ini pun diceritakan bahwa sekali pernah sang Wangisutah, dengan
menyamar, bertemu muka dengan Patih Gajah Mada di pusat Kerajaan Majapahit tanpa terjebak
ke dalam dendam akibat Peristiwa Bubat.

Narasi Sejarah: dari Manuskrip ke Novel

Projek naratif Yoseph merupakan sumbangan berharga bagi ikhtiar pemutakhiran cara
penyampaian narasi warisan masyarakat Sunda kuna. Narasi dari sejumlah manuskrip kuna
dituturkan kembali — atau tepatnya dijadikan bahan penulisan baru — dengan metode penulisan
novel atau roman modern terlepas dari setinggi apa capaian artistiknya. Generasi yang tidak
terbiasa membaca manuskrip dapat menyerap kandungan pengetahuan kuna dengan membaca
novel ini. Dalam hal ini kerja literer Yoseph merupakan alternatif tersendiri dari kerja ilmiah para
peneliti naskah dan sejarah seperti almarhum Aca, Saléh Danasasmita, Ayatrohaédi, Edi S.
Ekadjati, dll.

Dalam salah satu suratnya kepada Yoseph, yang bertitimangsa 5 Januari 1982 dan kemudian
diumumkan dalam buku, almarhum sastrawan Ajip Rosidi menyarankan agar ikhtiar pengarang
menggali sejarah, khususnya naskah-naskah Pangeran Wangsakerta, sebaiknya diperkaya
dengan “teori dan lsafat sejarah”. Kang Ajip juga menyebutkan bahwa di dunia sudah banyak
pengarang yang merangkap jadi ahli sejarah. Pada hemat saya sendiri, di lingkungan literasi
Sunda, kepiawaian ganda seperti itu diperlihatkan oleh pendahulu Yoseph, yakni mendiang Saléh
Danasasmita yang selain mwariskan buku-buku hasil kajian pernaskahan dan kesejarahan, juga
mewariskan koleksi cerita pendek.

Kisah dalam Tanjeur di Juritan Jaya di Buana dimulai dengan masa-masa menjelang Wangisutah
menyatakan kesanggupannya untuk menjadi penerus Suradipati. Sebelum naik tahta, ia merasa
perlu melihat langsung keadaan di Trowulan, pusat kekuasaan Majapahit. Sekembali dari Tanah
Jawa ia menyatakan kesediaannya untuk menjadi pengganti Suradipati. Setelah Suradipati wafat,
Wangisutah menyelenggarakan pemerintahan baru. Ia juga menyiapkan sejak dini kader
kepemimpinan kerajaan dengan mengirim kedua anaknya ke tempat penggemblengan satria di
fi
fi
fi
fi
fi
Jampang. Setelah mendengar kabar mengenai kesibukan Majapahit untuk berupaya
menundukkan kembali raja-raja di Nusantara, Wangisutah menyelenggarakan pembangunan
benteng dan parit di sekeliling Kawali.

Istilah dan Konsep Tri Tangtu

Salah satu warisan pengetahuan setempat direkonstruksi oleh Yoseph di dalam novelnya
berkenaan dengan pandangan mengenai tata pemerintahan ideal, yang dikenal melalui sebutan
“Tri Tangtu”. Menurut pandangan ini, tata negara yang baik bertopang pada tiga pilar, yakni
perwakilan suara rakyat, pemerataan kesejahteraan, dan keadilan pemerintahan. Wujudnya
adalah tiga lembaga yang sejajar tapi berbeda tugas dan tanggungjawabnya, yakni Rama, Resi,
dan Ratu.

Prinsip tersebut terungkapkan dalam wejangan Suradipati kepada Wastukancana. Kita petik dan
kita terjemahkan bagian dialognya di sini:

Adapun kekuasaan yang paripurna apabila ditimbang berdasarkan kearifan leluhur Sunda, ialah
perwujudan pemerintahan Tri Tangtu di Buana, yakni Tiga naungan negeri yang sejajar, tapi
tugasnya berbeda-beda!

Ada tiga hal yang dibutuhkan oleh warga negara, yaitu daranan atau pelindung yang penuh belas
kasih, kréta atau kesejahteraan yang merata, palangka atau pemerintahan yang adil bijaksana.
Tegasnya, daranan berada di pundak Sang Rama, jagat kréta dipikul oleh Sang Resi, jagat
palangka berada di bahu Sang Prabu. Adapun yang disebut Sang Rama adalah setiap orang yang
dituakan oleh rakyat, dan sanggup menyampaikan suara rakyat kepada Sang Prabu. Yang disebut
Sang Resi ialah setiap orang yang bisa menentukan cara membagi kesejahteraan kepada seluruh
warga negara, yang didasari oleh ketentuan agama. Sedangkan Sang Prabu ialah setiap orang
yang bisa menjalankan pemerintahan yang adil dan bijaksana.

Bahan tekstual tertua yang jadi rujukan pemakaian istilah tritangtu adalah manuskrip Sunda dari
abad ke-16. Dalam hal ini kita dapat membaca hasil riset folologi oleh Aca dan Saleh
Danasasmita dalam Siksakanda ng Karesian: Naskah Sunda Kuna Tahun 1518 Masehi (1981).
Sebagai contoh pemakaian istilah itu, dapat kita petik teksnya:

“Ya tritangtu di bumi: ya kangken pineguh ning bwana ngara(n)na.

Ini triwarga di lamba. Wisnu kangken prabu, Brahma kangken rama, Isora kangken resi. Nya mana
tritangtu pineguh ning bwana, triwarga hurip ning Jagat. Ya sinangguh tritan(g)tu di nu reya
ngaranya.”

Menurut terjemahan Aca dan Saleh Danasasmita, teks itu berarti:

“Itulah trl tangtu dl dunla; yang disebut peneguh dunia.

Ini tri warna di lamba (tlga golongan dalam kehidupan). Wisnu Ibarat prabu, Brahma ibarat rama,
lsora Ibarat resi. Karena Itulah trl tangtu menjadi peneguh dunia, triwarga kehidupan dl dunla. Tri
tangtu pada orang banyak.”

Dalam “keterangan beberapa istilah” yang disusun oleh kedua lolog tersebut dan dilampirkan
pada rekonstruksi teks manuskrip, diterangkan bahwa ungkapan “tritangtu di bumi” berarti “tiga
tempat atau kendali kehidupan di bumi”. Itulah “trinitas” yang cakupannya luas, tidak melulu
menyangkut politik. Prinsip yang sama juga mewujud dalam tata ruang, sebagaimana yang dapat
pada lingkaran hunian masyarakat adat Sunda di Kanekes yang dikenal luas dengan sebutan
“Baduy”. Trinitasnya terlihat dari pembagian wilayah antara Cibéo (Puun Ponggawa), Cikartawana
(Puun Rama), dan Cikeusik (Puun Pandita). Menurut Aca dan Saleh, dengan memakai istilah
“tritangtu”, para penyusun manuskrip hendak menekankan bahwa sepatutnya manusia “manusia
memiIiki ketiga anasir itu selengkap mungkin (berwibawa seperti raja, berucap seperti rama,
beritikad seperti resi); atau berwibawa - makmur-sejahtera.”

fi

Dengan kata lain, jika istilah “tri” yang berarti “tiga” mengacu kepada jumlah, istilah “tangtu”
mengacu kepada keniscayaan. Itu semacam tiga sokoguru yang menopang kesejatian hidup
manusia, baik di tataran individu maupun di lingkungan kolektif.

Re eksi Pembaca

Setidaknya sejak dasawarsa 1970-an dan 1980-an ada ikhtiar untuk menuturkan kembali
pengetahuan setempat yang terselamatkan melalui manuskrip-manuskrip kuna ke dalam wadah
naratif modern, khususnya karya sastra.

Ada cetusan pikiran yang mengharapkan agar pengarang yang berminat menggali sejarah
mempertajam kepiawaiannya dengan teori dan lsafat sejarah. Saran demikian tampaknya
menyiratkan masih adanya sejumlah tantangan dalam kreativitas cipta sastra itu sendiri

Salah satu tantangan dimaksud terlihat, misalnya, dalam karakterisasi tokoh cerita. Tampak
kecenderungan untuk menampilkan tokoh cerita yang sosoknya berada di antara tokoh historis
(dengan latar tempat dan waktu yang dapat ditelusuri) dan tokoh mitologis (dengan kualitas
kepribadian seperti manusia setengah dewa).

Orientasi cenderung ke kalangan istana dengan menonjolkan tokoh raja dan pangeran beserta
jejaringnya seperti kalangan pandita, ksatria, dsb.

Pesan moral cenderung berupa wejangan tentang kepribadian, yang memang bahan mentahnya
pada dasarnya merupakan manuskrip keagamaan, dengan bumbu romansa yang cenderung
erotis. Di bagian akhir cerita ada pula disinggung-singgung rembesan pengaruh Islam ke dalam
lingkungan cerita yang pada dasarnya berlatarkan semangat zaman pra-Islam.

Suksesi kekuasaan, pengelolaan pemerintahan, dan perlindungan kedaulatan. Adapun hal-ihwal


yang berkaitan dengan penyelenggaraan kesejahteraan umum masih cenderung tidak
terlukiskan.***
fl
fi

Anda mungkin juga menyukai