THE BODY OF THE KING: REAPPRAISING SINGHASARI PERIOD SYNCRETISM
OLEH THOMAS M. HUNTER
Rizky Adam Rizaldy1, Sangwa Cahyo Utomo2, Muhammad Fachrizal Hamdani3
1 Mahasiswa Ilmu Sejarah, Universitas Airlangga (122011433027) 2 Mahasiswa Ilmu Sejarah, Universitas Airlangga (122011433035) 3 Mahasiswa Ilmu Sejarah, Universitas Airlangga (122011433053)
Kelas A-Sejarah Indonesia Nirleka sampai Abad XVI
Hipotesis tentang Perspektif Tekstual
Peneliti dalam studi ini berharap untuk memajukan argumen sintetik pendekatan dengan berfokus pada perspektif yang berbeda tentang peristiwa abad ketiga belas Jawa Timur, khususnya karir Krtanagara (berkuasa 1254-92 M) dan perpaduan pribadinya tema Shaivite dan Buddha dalam apa yang mungkin digambarkan sebagai pemberlakuan metafisik dari tujuan hegemoni politik. Untuk melakukannya, peneliti akan mengusulkan tripartite pembagian perspektif tekstual. Terdapat tiga kategori dalam studi ini, yaitu catatan prasasti untuk periode tersebut 1019- 1351 M dan catatan literatur kakawin untuk periode yang sama (1035 1389 M). Menurut peneliti, hal tersebut dapat dikelompokkan bersamaan dengan bukti dari seni plastik dan arkeologi untuk membentuk kompleks tunggal yang lebih besar. Terakhir, kategori ketiga adalah kidung. Prasasti adalah strategi pembangunan teks penting yang mengacu pada Selatan Tradisi Asia dalam komposisi eulogi yang memadukan aktor politik dengan tema mitologis dan transenden. Prasasti dalam studi ini berarti sudut pandang bentuk linguistik yang dapat dianggap sebagai yang kedua 'genre' ekspresi tekstual Jawa Timur. Kakawin adalah epos istana yang meniru kavya Selatan Asia yang menggabungkan meteran Indie kuantitatif dan pendekatan naratif yang canggih, kiasan yang sebagian berhutang budi kepada sumber-sumber inspirasi India, dan sebagian lainnya karena upaya para penyair jawa bertanggung jawab atas maraknya aktivitas kesusastraan itu mencapai puncaknya selama periode Kediri di Jawa Timur (1042-1222 M). Kategori ketiga dari perspektif tekstual yang peneliti usulkan diwakili oleh kidung dan karya terkait dalam bahasa Jawa Tengah. Kidung adalah salah satu genre karya sastra yang menarik banyak dari bahasa kakawin, tetapi disusun dalam bahasa asli Jawa-Bali dan menggabungkan pola bicara yang secara jelas mewakili periode selanjutnya dalam sejarah masyarakat tutur bahasa Jawa dibandingkan yang tercermin dalam sumber kakawin. Ada dua kidung bersejarah, yaitu Kidung Rangga Lawe dan Kidung Harsawijaya yang penting untuk studi ini karena mereka menangani peristiwa-peristiwa seputar Jayakatwang pemberontakan melawan Kertanagara, pemulihan keberuntungannya yang berumur pendek di Kediri dalam kehidupan politik Jawa Timur, dan naiknya ke tampuk kekuasaan Raden Wijaya pada 1294 M. Setelah memperkenalkan ketiga kategori tersebut, peneliti dapat meninjau studi sejarah ini. Berdasarkan bukti internal yang dikemukakan oleh Louis-Charles Damais, Rangga Lawe mungkin yang tertua dari ketiga karya tersebut, yaitu dapat dihitung hingga 1334 Masehi. Hal tersebut berarti perspektif tentang peristiwa seputar jatuhnya Kertanagara dan kebangkitan Majapahit mungkin telah berkembang ketika peristiwa-peristiwa ini masih dalam ingatan yang hidup. Selain itu, manuskrip Pararaton yang paling awal diketahui adalah pada tanggal 3 Agustus 1613 di Bali, sedangkan peristiwa terakhir yang tercatat dalam naskah itu sendiri adalah Letusan gunung berapi di Jawa Timur pada tahun 1481 Masehi. Hal tersebut membuat peneliti dapat menempatkan komposisi Pararaton dalam jangka waktu 132 tahun antara 1481 dan 1613 M. Adapun Kidung Harsawijaya dalam kronologi sastra mengikuti alur Pararaton dengan memperhatikan baris kedua dari belakang karya: “carita pararaton uwus de-ning kumawya” berarti “transformasi Pararaton menjadi bentuk puisi di sini lengkap”. Kidung Harsawijaya Narasinghamurti digambarkan sebagai raja yang berkuasa selama tahun-tahun terakhir rumah tersebut dari Singhasari, sedangkan Kertanagara digambarkan sebagai bangsawan dan keponakan dari Narasinghamurti yang dia tunjuk untuk menjabat sebagai bupati sampai putranya Raden Wijaya telah dewasa. Kedua, menggambarkan momen-momen terakhir Kertanagara sebagai pertahanan terakhir yang heroik melawan pasukan Kediri yang mati dalam pertempuran jarak dekat sebuah tampilan keberanian bela diri yang terus-menerus disorot dalam kidung Bali seperti Panji Malat Rasmi. Sebuah “Lubang Hitam” dalam Sejarah Kakawin Penting untuk memahami perspektif tentang pemerintahan Kertanagara dengan mengambil pendekatan sebelum dan sesudah untuk mempelajari kakawin. Hal tersebut berarti memperhitungkan jeda yang bermasalah dalam sejarah kakawin, yaitu berlangsung selama lebih dari 150 tahun, dimulai pada periode sebelum pemerintahan Raja Singhasari (1222-92 M) hingga periode Majapahit. Dari periode terakhir tersebut, peneliti menemukan Desawarnana yang terkenal, catatan Mpu Prapanca tentang istana Majapahit kehidupan, dan dua kakawin utama, yaitu Arjunawijaya dan Sutasoma oleh Mpu Tantular. Dalam Arjunawijaya, sebuah karya yang kemungkinan besar dihasilkan pada awal karirnya (1365-89 M), Tantular pertama kali mencatat persamaan Jina dari empat penjuru mata angin dengan empat dewa Hindu. Kemudian, melanjutkan dengan ayat berikut untuk mengatakan bahwa “tidak ada perbedaan antara para dewa” dan diakhiri dengan menjelaskan pentingnya perlindungan kerajaan dari tempat-tempat suci umat Buddha, Shaivites dan Resi. Dalam Sutasoma, sebuah karya yang mengisyaratkan bahwa ia telah sangat menganut bentuk Jawa Buddhisme Mahayana di tahun-tahun terakhirnya, Tantular berbicara tentang kesetaraan Shaivite dan Doktrin Buddhis. Dalam satu ayat dari bagian Sutasoma ini, Tantular menggambarkan prinsip kesetaraan dan fakta dalam istilah praksis keagamaan. Peran Pendeta Penting dalam studi ini untuk memasukkan tinjauan masalah dari tiga sekte (tripaksa) Jawa Timur kuno karena pada gilirannya dapat menjelaskan karir Kertanagara. Berdasarkan dari Alexis Sanderson dan Andrea Acri dengan telah menelusuri evolusi Shaivisme Jawa dari bentuk Atimarga sebelumnya yang berfokus pada asketisme sebagai jalan menuju keselamatan pribadi ke bentuk Mantramarga selanjutnya yang lebih dijinakkan, yaitu lebih banyak terletak secara sosial dan dapat diakses oleh perumah tangga melalui pengembangan sistem ritual seperti yang ada pada Shaiva Siddhanta dan bentuk matra, trika, dan krama dari Shaivisme non-ganda yang berkembang di Kashmir setelah pergantian milenium pertama. Karya sebelumnya oleh M. Nihom juga mendukung gagasan tersebut dengan menunjukkan bahwa pengaruh Pasupata berperan dalam perkembangan teks-teks Jawa Kuno sejenisnya seperti Wrhaspati-tattwa dan juga mencerminkan campuran dari praktik pertapa dan doktrin dari aliran pemikiran Yoga dan Samkhya. Selama kurun waktu beberapa ratus tahun, suatu bentuk organisasi sosial-ekonomi yang khas muncul di Jawa Timur dengan berpusat di pengadilan melalui sistem hibah ke pusat-pusat pertanian dan produktivitas perdagangan di pedesaan. Begitupun dengan Airlangga yang memprakarsai kebijakan untuk mendorong perluasan wilayah melalui penerbitan hak milik (sima) piagam yang memperkuat basis penerimaan negara dengan cara didorong oleh negara pengembangan lahan periferal yang sebelumnya tidak digarap serta perdagangan kena pajak. Selain itu, mata rantai perdagangan di Timur Keraton Jawa dengan anak benua India diartikan sebagai lembaga keagamaan terletak di dekat pengadilan menjadi semakin dipengaruhi oleh perkembangan di Asia Selatan, termasuk bentuk-bentuk Shaivisme Mantramarga, serta praktik Buddhisme Vajrayana. Sebaliknya, Resi kurang rentan terhadap pengaruh ini sehingga Resi mempertahankan bentuk klasik dari Jawa-Bali Shaivisme Atimarga karena jarak fisik mereka dari istana. Hal tersebut tercermin dalam Desawarnana dengan tertulis bahwa tempat suci kelompok Resi dikatakan milik Sewangkura, yaitu pucuk atau cabang dari denominasi Shaiva dan semua tempat suci gratis kelompok Resi berbagi ciri-ciri umum perumahan lingga dan pranala, yaitu simbol Shaivite yang sangat penting dalam agama Jawa di masa awal. Orientasi Resi klasik ini juga tercermin dalam sumber tekstual seperti Parthayajna dengan menyebutkan ayat manggala-nya yang mengatur elemen dasar dari sistem pertapa yang sangat kontras dengan duniawi. Setelah peneliti memahami karakter yang lebih konservatif dari orientasi Resi klasik, peneliti dapat mulai memahami sifat asosiasi praktik antinomian yang bertemu dengan Kertanagara. Hak tersebut dibuktikan dari Prasasti Sukamreta yang diterbitkan pada tahun 1259 M oleh Raden Wijaya untuk menegaskan kembali dedikasi sebuah yayasan yang semula diberikan kepada Dang Acarya Mapanji Patipati yang terkenal dari prasasti Mula Malurung tahun 1255 M. Di prasasti Sukamreta, putranya yang juga dikenal sebagai Patipati, menggambarkan dirinya sebagai pewaris peran pengawas urusan agama Shaiva dan status ayahnya sebagai religius pejabat dari tarekat Shaiva yang mempraktekkan sumpah seorang Bhairava. Wisnuwardhana dan Kertanegara : Pencarian kesatuan Politik Desa warna merupakan sumber nutama bukti sudut pandang kakawain tentang karir dan kematian dari Kertanegara. Buktinya dengan mempersembahkan lebih dari sekusin syair pemujaan untuknya. Satu ayat yan memuji jasanya dengan pengabdian yang ditinjukkan melalui praktik keagamaan bahkan ketika itu ia disibukkan dengan banyaknya pemberontakan di wilayah Jawa Timur, Madura, dan Bali. Ayat lain ada yang juga mengomentari kesukaanya untuk “ritus esoterik”. Kematian kertanegara sendiri digambarkan secara murni pelepasan spiritual ke alam Siwa dan Buddha dan keberadaannya diabadikan dalam kerajaan landasan agama dalam bentuk gambar Siwa-Buddha. Dalam arti tertentu pengambaraan pendewaan kertanegara pada abad ke- 14 merupakan akhir suatu proses, karena itu dicatat pada masa Majapahit mengamankan diri dari konflik internal dan menikmati buah semangat ekspansionis yang telah dimulai dibawah kepemimpinan Gajah Mada. Jika kita mengacu pada bukti prasasti yang merinci permulaan Dinasti Singasari yang menulis tentang karir Kertanegara. Desawarnana memberitahu bahwa setelah kematiannya 1227M. Ken Arok diabadikan di gambar Buddha dan Siwa di kuil ganda di Kegenengan. Sedangkan Anusapati dipuja sebagai gambaran indah dari Siwa. Dari prasasti Mula Malurung kita menemukan kata kerja dari derivasi dari kata pratistha adalah diantara beberapa istilah yang digunakan untuk menggambarkan Wisnuwardana pengangkatan Hana dari berbagai kerabat untuk posisi pemerintahan Provinsi. Kebijakan ini berlanjut sepanjang sejarah dinasti Singasari-Majapahit, memiliki jaringan politik yang terhubung erat melalui jaringan kekerabatan. Ada dua prasasti dari masa Kertanegara yang bersaksi tentang pemekaran dan perluasan yang diprakarsai oleh Wisnuwarddhana. Yang pertama prasasti dalam bahasa melayu kuno yang ditemukan di Rambahan, di tepi sungai batanghari bagian timur, Sumatra Timur. Prasasti ini sebagai tanda bahwa Kertanegara membangun kekuasaan atas perdagangan penting di Jambi. Namun, kemungkinan besar hadiah yang dimaksud adalah untuk memperkuat aliansinya diantara keduanya Singasari dan Jambi. Ini adalah bukti nyata bahwa Kertanegara tidak hanya merasa terpaksa untuk melanjutkan pekerjaan penyatuan politik ayahnya di Jawa Timur, tetapi unyuk memperpanjang pekerjaannya jaringan politik dan simbolik di seluruh wilayah geopolitik yang didukung kemakmuran dan stabilitas negara Singasari. Prasasti penting lainnya yang membuktikan kebijakan penyatuan Kertanegara adalah syair Sansekerta ditemukan didasar patung biksu Buddha yang bermeditasi, diteukan disebuah taman kecil di Surabaya yang disebut sebagai patung “Joko Dolog”. J. L. Moens mengemukakan bahwa, penasbihan Kertanegaran kedalam jalur ritual Aksobhya tempaknya terjadi dimaksudkan untuk melawanritual yang diperoleh oleh kaisar Yuan Kubilai Khan melalui konsekrasi pada 1264 dan 1269 sebagai Hevajra, pusat Jina dariHevajra Tantra. Perhatian yang cermat ditunjukkan pada penyatuan kembali Jawa dalam prasasti Joko Dolog menggambarkan sejauh mana pembagian kerajaan Airlangga terus menjadi perhatian mendesak sepanjang sejarah Jawa Timur Pra-Islam. Masalah ini tetap menjadi masalah bagi garis keturunan kerajaan Majapahit pada pertengahan abad ke-14.Ini dibuktikan dengan ayat Desawarnana yang menceritakan tentang pemilihan kanal pandak sebagai situspercandian di Rajapatni sebagai Pranjaparamita, dewi Buddha kebijaksanaan. Desawarnana mengatakan bahwa tempat suvi ini didirikan sehingga tanah Jawa harus disatukan Kembali. Bukti paling Spektakuler dari Upaya Kertanegarauntuk melanjutkjan penyebabpersatuan politik dan simbolik yang diprakarsaioleh para pendahulunya adalah kasus percandian mayatnya diCandi Jawi sebagai gambar Siwa-Buddha pada tahun 1292M. Penampilan kuil di Candi Jawi mengungkapkan hubungan unik antara Shavite dan Buddha. Puncak kuilutama yang ramping dan meruncing menghubungkan dengan bentuk puncak mebara kuil di Jawa Timur, sedangkan batu penjuru berupa stupa yang mewakili elemen buddha. Ini adalah pencampuran dua tingkatan sejarah dalam perkembangan bahasa Jawa di a proses tunggal literisasi. Salah satu tingkatan ini merujuk kembali pada organisasi wacana bahasa Jawa Kuno, oleh karena itu pada dialek sastra sebelumnya, sementara yang lain memasukkan unsur-unsur pronominal bahasa lisan dalam proses pembentukan sastra baru. Meskipun ada kemungkinan bahwa beberapa bentuk bahasa Jawa yang diucapkan ada di pengadilan Bali setelah penaklukan Majapahit tahun 1343, dibutuhkan lebih dari sebagian kecil wilayah imajinasi membutuhkan proses literisasi yang dapat diamati di Pararaton berlangsung di Bali. Jauh lebih mungkin bahwa kita mengamati proses literisasi yang menyebabkan retensi dialek sastra Jawa di Bali. Sejak kita tahu bahwa pengadilan Bali aktif dalam produksi sumur kakawin yang sangat tinggi memasuki abad kesembilan belas, ada banyak alasan untuk menganggap bahwa merekalah yang bertanggung jawab untuk evolusi lebih lanjut bahasa dan sastra Jawa Tengah. Tapi membutuhkan mereka menciptakan dialek sastra seperti bahasa Jawa Tengah, tanpa menggunakan keseharian Penggunaan beberapa bentuk bahasa Jawa lisan oleh komunitas linguistik yang cukup besar, adalah dengan bertanya mustahil. Perspektif Jawa Tengah Seperti yang digambarkan Kidung Harsawijaya, penghinaan ganda atas kekalahan Ken Arok leluhur (Krtajaya) dan kekuasaan Krtanagara di kerajaan yang seharusnya dia warisi dari Krtajaya (Daha / Kadiri) tidak kalah dari Jayakatwang, dan merupakan faktor utama yang mendorongnya memberontak melawan garis kerajaan yang berkuasa di Singhasari. Di sini kita akan beralih ke perspektif Pararaton dan Kidung Rangga Lawe di hari-hari terakhir Kertanagara. Namun, untuk menjelaskan sejauh mana ini laporan dapat secara akurat mewakili peristiwa 1292-94 M, pertama-tama kita akan beralih ke bukti prasasti Gunung Butak, yang diterbitkan pada 1294 M. Catatan prasasti ini Hibah Raden Wijaya kepada sesepuh desa Kudadu, yang telah melindunginya selama pelariannya dari pasukan Jayakatwang pada 1292 M. Raden Wijaya berbicara tentang nama tempat berikut dalam deskripsi penerbangannya dari pasukan Jayakatwang sebelum dia dan teman-temannya mencapai pantai utara: Batang, Kepulungan dan Rabut Caru; Timur Hanjiwa; Pamwatih, Terung, Kulwaan dan Kembang Sri. Sedangkan versi Pararaton dan Kidung Rangga Lawe sesuai dengan prasasti Gunung Butak dalam hal peristiwa besar dalam perjuangan Raden Wijaya dengan pasukan Jayakatwang, tempat-tempat yang dikunjungi sebelumnya jangkauannya ke pantai utara berbeda secara signifikan Para penyusun kitab Pararaton dan Rangga Lawe sangat mengetahui garis besar dasar dari peristiwa tersebut, namun mereka tidak memiliki pengetahuan langsung tentang rincian rute pelariannya yang bisa diberikan Raden Wijaya kepada para perumus prasasti Gunung Bukat. Hal ini menunjukkan bahwa korespondensi yang erat antara file akun di Pararaton dan Rangga Lawe berarti materi inti mereka kemungkinan besar terdiri dalam periode waktu yang sama. Kita bisa meneruskan pembahasan tentang perspektif Jawa Tengah tentang kejatuhan Kertanagara. Kebetulan ini dapat dijelaskan dalam contoh pertama dengan membandingkan frase bagian kunci seperti yang ditemukan dalam Rangga Lawe dan Pararaton. Narasi Rangga Lawe dan Pararaton pada hari-hari terakhir Kertanagara dan kebangkitan Raden Wijaya merepresentasikan respon literasi terhadap peristiwa sejarah yang dibawanya menjadi masalah bantuan tinggi yang sangat penting dalam dunia politik yang terbentuk di sekitar masalah persaingan di antara bangsawan muda. Melalui perbandingan yang cermat kakawin, bahan prasasti dan kidung kita dapat berbicara tentang pembagian kerja di antaranya kakawin dan kidung yang dapat dikaitkan dengan tema-tema utama dalam hubungan kekerabatan dan politik organisasi rumah kerajaan di Jawa Timur. Dalam konfigurasi ini kakawin dapat dihubungkan hingga pola endogami opsional yang bertindak untuk memusatkan kekuasaan di dalam rumah kerajaan dan digabungkan dengan mitos agama yang mendukung depersonalisasi sejarah aktor. Di sisi lain, kidung dapat dikaitkan dengan kebutuhan ekspresif yang tumbuh dewasa di samping tradisi kecakapan, daya tarik pribadi dan perilaku mulia itu. Pertanyaan tentang Kekerabatan Dua poin pertimbangan terpenting untuk analisis peneliti ini adalah pertanyaannya status dan persaingan politik di sekitar kedekatan garis inti serta konsentrasi kekayaan, status dan kekuasaan di dalam rumah kerajaan melalui penipuan hati-hati pola endogami yang cenderung memadukan tematik keturunan dan afinitas. Aspek yang paling penting dari kedekatan garis inti di antara Bangsawan Bali adalah bahwa kekuasaan atas pekarangan inti dan pura pekarangan dikendalikan dengan aturan unigeniture melalui garis ayah. Ini mengarah pada sistem tenggelam status yang menyebar dari pekarangan inti melalui replikasi pekarangan rumah status semakin menurun. Status politik dan kekuasaan dengan demikian sebagian besar Tergantung pada kedekatannya dengan garis inti, Seperti yang diharapkan, sifat pewarisan dalam sistem seperti itu berarti demikian 'Persaingan antar saudara untuk posisi inti bisa sangat intens'. Hal penting lainnya mengenai aspek dari sistem garis inti tipe Bali adalah pihak luar yang berhasil memaksa cara mereka masuk melalui kekuatan senjata dapat membuat klaim atas legitimasi berdasarkan mereka 'potensi magis' (sakti), dan mitologi yang sesuai untuk karier mereka. Faktor ini mungkin telah memainkan peran dalam kebangkitan Ken Arok dari asal yang dianggap biasa, mungkin di samping masuk ke garis inti sebagai 'ahli waris pengganti'. Konsekuensi politik berupa garis inti bentuk organisasi kekerabatan, sebagaimana telah terjadi dibahas di Mengwi, mencerminkan banyak dari konsekuensi ini. Persaingan yang berkembang di sekitar kedekatan garis inti di antara orang Bali rumah bangsawan mewakili elemen yang berpotensi skismatis dalam organisasi kekerabatan. Ini elemen skismatis dilawan oleh sistem perkawinan endogami opsional yang tujuannya adalah untuk menciptakan rangkaian hubungan afinal yang saling terkait yang terkonsentrasi kekuatan dalam garis inti dan memberikan elemen penstabil yang kuat dalam sistem. Peran penting pernikahan lintas sepupu bermain dalam representasi kehidupan bangsawan Jawa Timur di beberapa kakawin besar, dan kaitannya dengan keadaan aktual sebagaimana terungkap dalam catatan prasasti dan Desawarnana. Dia menyimpulkan bahwa 'praktik pernikahan endogami, dan khususnya pernikahan sepupu, secara efektif membatasi persatuan semua wanita kerajaan ke dalam kelompok kerajaan ... [dengan demikian berfungsi] untuk mengkonsolidasikan klaim dan untuk membedakan dinasti yang berkuasa dari yang lain anggota dari garis kerajaan'. Dalam pandangan James Boon, institusi seperti pernikahan sepupu dan pernikahan sentana mendorong runtuhnya perbedaan antara keturunan dan kedekatan dalam bahwa perkawinan semacam itu mereplikasi pola keturunan yang diidealkan yang paling penting prinsip organisasi dalam rumah kerajaan. Mengakui bahwa sketsa di atas persaingan persaingan garis inti kedekatan dan kekuatan yang lebih sentripetal dari endogami selektif hampir tidak adil kompleksitas subjek. Kita bisa memahami representasi sastra antara kehidupan keraton Jawa Timur seperti yang terdapat pada kakawin dan kidung yang kontras pada ranah kekerabatan antar struktur memberikan prinsip- prinsip endogami selektif dan potensi efek skismatis dari masalah kedekatan garis inti untuk pertanyaan tentang suksesi politik dan status. Kompleksitas aktivitas sastra dalam bentuk kakawin, proyeksi bentuk ideal negara melalui prasasti kerajaan, dan penggabungan tematik kekerabatan kerajaan dengan alam mitologis yang mengambil bentuknya yang paling terlihat patung dan tempat pemujaan yang elegan di Jawa Timur pra-Islam, disejajarkan sebagai manifestasi utama ketidakstabilan yang semakin menjadi perhatian negara selama dan setelah periode Singhasari. Menampilkan keberanian di medan pertempuran dengan demikian disejajarkan dengan tampilan penguasaan dalam sastra, visual dan pertunjukan seni, kecakapan dalam penaklukan erotis dan perkembangan umum dari kekuatan itu Vickers fokus pada pekerjaannya. Kesimpulan: Konfigurasi regional? Kita berhak berbicara tentang penyelarasan pembagian antara prinsip-prinsip pemberian struktur dari kompleks kakawin-prasasti-pratistha dalam seni bersama pola kekerabatan yang bertujuan untuk memusatkan kekuasaan di sekitar garis kerajaan, dan estetika Sejarah kidung dan karya Pararaton sejalan dengan nilai-nilai yang muncul seputar persaingan garis inti, ada dimensi lain yang seharusnya kita hadapi untuk kontras ini tidak mengabaikan. Ini ada hubungannya dengan perspektif tentang peristiwa yang mungkin terkait dengan konfigurasi regional. Untuk menjelaskan poin ini saya mengusulkan kembali ke pertanyaan tentang saat-saat terakhir Krtanagara. Pertama mari kita ulas apa itu Pararaton dan Rangga Lawe yang harus memberitahu kami tentang kematian Kertanagara. Pararaton mengaitkan peristiwa dengan cara yang serupa. Sedangkan Kertanagara tidak disebutkan perlawanan yang tidak efektif, itu mengacu dua kali pada dirinya yang disibukkan dengan 'minum anggur palem' (anadah sajong) dengan menteri utamanya yang sudah lanjut usia. Masalah kematiannya diperlakukan dengan sederhana sebagai laporan kepada Raden Wijaya. Sedangkan, perspektif Rangga Lawe dan Pararaton jelas dimaksudkan untuk memberikan cahaya negatif pada Kertanagara Sayangnya mereka telah dikaitkan dengan bukti batu Singhasari tahun 1351 Masehi untuk menunjukkan bahwa Kertanagara meninggal di tengah-tengah 'pesta pora Tantra'. Silsilah dari pandangan ini dapat dilacak dalam ringkasan pekerjaan sebelumnya yang diberikan dalam Jessy Studi Blom yang sangat menyeluruh dan berharga tentang peninggalan arkeologi dan citra Candi Singhasari. Dalam upaya menjawab pertanyaan tentang penanggalan yang disebut 'menara-candi' dari Candi Singhasari, ia meninjau penolakan Berg tentang kemungkinan bahwa waduk ini mewakili tempat pemujaan di Kertanagara berdasarkan asosiasi 'menara candi' dengan frasa Purwapatapan ('Tempat pertapaan kuno'), yang diidentifikasikan di Pararaton sebagai tempat pemakaman Kertanagara. Setelah mengaitkan istilah Purwapatapan dan 'penadahan’ satu sama lain, Berg lebih jauh terkait keduanya dengan batu Singhasari tahun 1351 Masehi. Prasasti ini ditemukan di dalam daerah Candi Singhasari dan rincian dedikasi sebuah tempat suci oleh Gadjah Mada dan bupati, Tribhuwana, kepada 'pendeta brahmana agung dari tarekat Shaiva dan Buddha dari seluruh tanah Panjalu [Kediri] yang bergabung dengannya dalam mencapai pembebasan, bersama dengan pendeta agung yang sudah tua yang meninggal di kaki dewa [Kertanagara]. Jauh dari memberikan bukti apapun untuk 'pesta pora Tantra', prasasti ini menunjuk ke seorang pendeta militansi yang terekam dalam sumber-sumber sastra seperti Sumanasantaka. Sedangkan genealogi klaim Berg tentang kematian Kertanagara masih hidup bersama ketekunan yang luar biasa dalam literatur ilmiah Itu bahaya pencampuran elemen yang fantastis dari sumber tekstual yang berada di kedua sisi 'kakawin-kidung membagi'. Perspektif Pararaton dan Rangga Lawe saling terkait, terutama dalam sikap merendahkan karir mereka di Kertanagara, dan perspektif tersebut mungkin dari sumber-sumber di Jawa abad keempat belas. Kemudian, reputasi Kertanagara agak ditebus di Kidung Harsawijaya, yang digubah di awal Bali abad ketujuh belas, di mana ia dicirikan sebagai kematian heroik untuk membela keratonnya. Namun, ia dicirikan sebagai 'ditunjuk untuk memerintah' oleh Narasinghamurti, dan tindakannya di tahun-tahun awal pemerintahannya digambarkan menyebabkan dia ditinggalkan oleh banyak anggota dewannya yang paling cakap. Kidung Harsawijaya juga penting di dalamnya melacak kemarahan dan frustrasi Jayakatwang hingga pengurangan Daha/Kediri sedetik peran politik arya dengan kekalahan Kertajaya dan kebangkitan Ken Arok, dan terus berlanjut Penghinaan terhadap kekuasaan Kertanagara di Daha. Sebaliknya, catatan para penguasa di Kediri yang diberikan oleh Desawarnana tampak tidak jelas atas pengangkatan Kertanagara ini untuk memerintah di Kediri. Selain itu, perspektif Pararaton dan sejarah kidung demikian tampak sangat menyukai perspektif yang memberi cahaya positif pada faksi Daha/Kediri di Timur Kehidupan politik Jawa. Perspektif ini sering kali sangat kontras dengan perspektif kompleks kakawin-prasasti- pratistha. Pelestarian dan evolusi lebih lanjut dari perspektif Pararaton dan kidung bersejarah di Bali tampaknya terkait dengan pengaruh Kediri faksi tentang kehidupan politik Bali dari setidaknya 1384 Masehi. Seperti yang ditunjukkan oleh J. Noorduyn, Referensi Cina ke kerajaan 'timur' dan 'barat', yang keduanya mengirim utusan ke Cina pada 1377 M, kemungkinan besar mengacu pada dua faksi yang sama-sama berkuasa di Jawa Timur kehidupan politik saat itu. Satu, yang biasanya disebut sebagai 'kraton barat', mewakili keluarga penguasa Janggala. Yang lainnya, 'keraton timur', sangat mungkin mewakili faksi Daha / Kediri. Dari Pura Prasasti Batur desa Abang, bertanggal 1384 M, diketahui bahwa Wijayarajasa memainkan peran yang sangat penting dalam kehidupan politik Bali pada saat itu, dan mungkin yang paling penting penguasa penting di Bali sampai kematiannya pada tahun 1388 M. Dalam pandangan ini, perspektif Pararaton dan sejarah kidung dan Kakawin-prasasti- pratistha dalam perjalanan karir Kertanagara dapat diartikan sebagai minat membaca, masing- masing terkait dengan kebutuhan sosial-politik tertentu yang dimainkan di dalamnya bidang simbolisme dan estetika agama sama seperti di bidang kekerabatan dan organisasi politik. Dilihat dari perspektif ini, dorongan untuk persatuan diprakarsai oleh Wisnuwardhana dan Kertanagara dan perkembangan kakawin-prasasti-pratistha kompleks adalah tanggapan terhadap ancaman berkelanjutan yang dapat ditelusuri kembali sejauh kejadian mengikuti prasasti terakhir Airlangga (1042 M Dalam hal studi tentang 'sinkretisme' pada periode Singhasari, kita sekarang dapat berbicara dari serangkaian inisiatif yang dilakukan oleh Kertanagara dengan tujuan akhir untuk memaksa perpaduan unsur-unsur yang merepresentasikan refleksi metafisik politik pragmatisnya kebijakan. Dengan melakukan inisiasi sebagai Aksobhya dan (sangat mungkin) sebagai seorang Bhairava, dia berharap untuk menyerap 'kekuatan spiritual' (sakti) yang terkait dengan praktik- praktik ini dan dengan demikian untuk 'menciptakan dirinya sebagai sosok komposit suci yang akan hidup sebagai ikon dari penggabungan elemen Shaivite dan Buddha dalam satu orang yang suci. Sedangkan usahanya berpengaruh penggabungan dua aliran utama agama Jawa Timur tampaknya tidak terjadi berbuah penuh di abad-abad setelah kematiannya, meninggalkan jejak yang abadi dan tak terhapuskan penerusnya dalam hal 'prinsip kesetaraan' dalam domain agama, dan terus memperhatikan kebutuhan untuk mencapai kesatuan politik baik melalui pragmatis maupun sarana simbolis.