Anda di halaman 1dari 5

TOLERANSI BERAGAMA PADA MASA MATARAM KUNA

Andry Hikari Damai


Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana
andry.hikari.damai@gmail.com

ABSTRAK

Tumbuhnya dua agama pada masa Kerajaan Mataram Kuna dapat ditinjau
dari prasasti Plaosan Lor, Yogyakarta. Prasasti-prasasti pendek yang berasal dari
candi Plaosan Lor yang menjelaskan adanya dua dinasti Sanjaya dan Sailendra
yang berada ada di kerajaan Mataram Kuna. Metode penelitian ini menggunakan
pendekatan deskriptif kualitatif dan teknik pengumpulan data menggunakan studi
pustaka. Aspek-aspek yang diteliti dalam inkripsi pendek pada Prasasti Plaosan
Lor dan Prasasti Kalasan yaitu mengenai perkembangan dua agama yang berbeda
pada masa Kerajaan Mataram Kuna. Data yang dikumpulkan berwujud data
kualitatif dengan teknik analisis data yaitu analisis kualitatif. Isi dari Prasasti
Plaosan Lor dan Prasasti Kalasan menjelaskan mengenai kehidupan dua agama,
yaitu Hindu dan Buddha pada saat itu yang hidup berdampingan.

Kata kunci: Mataram Kuna, Prasasti Kalasan, Prasasti Plaosan Lor

LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan negara dengan enam agama yang diakui, yaitu Islam,
Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Kong Hu Cu. Hal ini berkaitan dengan ideologi
bangsa Indonesia, yaitu Pancasila: ―Ketuhanan Yang Maha Esa‖ serta semboyan
―Bhinneka Tunggal Ika‖. Perbedaan agama di Indonesia tidak hanya terjadi pada
masa modern saja, namun sudah terjadi sejak masa kerajaan. Sesuai dengan
semboyan ―Bhinneka Tunggal Ika‖ dikutip dari Kakawin Sutasoma karya Mpu
Tantular, kata ―Bhinneka‖ berarti beraneka ragam atau berbeda beda, sedangkan
―Tunggal‖ yang berarti satu, dan kata ―Ika‖ berarti itu.
Secara harfiah dapat diterjemahkan ―Beraneka satu itu― yang bermakna
meskipun berbeda-beda tetapi pada hakekatnya adalah tetap satu kesatuan.
Semboyan digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan Bangsa
Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam budaya, bahasa, ras, suku bangsa,
kepercayaan, dan agama. Salah satu kerajaan dengan hidupnya dua agama yang
berbeda yaitu pada masa Mataram Kuna. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan
adanya Prasasti Plaosan Lor dan Prasasti Kalasan yang berada di Daerah Istimewa
Yogyakarta (Mochtar, 2015:118).

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya IV 24


Denpasar, 16 - 17 Oktober 2019
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya IV 25
Denpasar, 16 - 17 Oktober 2019

METODE PENELITIAN
Metode penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif yaitu
menjelaskan permasalahan pada objek yang diteliti dengan mengandalkan studi
literatur yang ada, sehingga penelitian ini dapat dikerjakan sesuai dengan
kebutuhan dari permasalahan yang ada (Tan, 1981:42). Teknik pengumpulan data
menggunakan studi pustaka, yaitu mengumpulkan data dari hasil-hasil penelitian
terdahulu serta artikel-artikel yang mendukung untuk menjawab permasalahan
yang akan dibahas. Aspek-aspek yang diteliti dalam Prasasti Plaosan Lor dan
Prasasti Kalasan yaitu mengenai perkembangan dua agama yang berbeda pada
masa Kerajaan Mataram Kuna.
Data yang telah dikumpulkan dalam penelitian dan pengamatan ini
sebagian besar berwujud data kualitatif. Teknik analisis data yang digunakan yaitu
analisis kualitatif yaitu reduksi data, menyajikan data, menafsirkan data, dan
menarik SIMPULAN mengenai isi dari Prasasti Plaosan Lor dan Prasasti Kalasan
secara sistematis. Data tersebut digunakan untuk menjelaskan mengenai
penafsiran Prasasti Kalasan sehingga memperoleh pengetahuan serta pemahaman
yang lebih jauh.

PEMBAHASAN
Berdasarkan data arkeologis, keberadaan kerajaan Mataram Kuna telah ada
pada tahun 654 Saka atau 732 Masehi sesuai dengan isi prasasti Canggal. Prasasti
ini menyebutkan mengenai pendirian lingga di desa Kunjarakunja oleh Raja
Sanjaya. Selain dalam prasasti Canggal, nama Sanjaya juga disebut dalam prasasti
Mantyasih tahun 829 Saka atau 907 Masehi yang dikeluarkan oleh Raja Balitung
dan berisi nama raja-raja Mataram Kuna. Setelah Raja Sanjaya turun takhta, ia
digantikan oleh anaknya, yaitu Rakai Panangkaran (Soekmono, 1981:43).
Diperkirakan pada abad ke-8 hingga abad ke-9 Masehi di Jawa Tengah
terdapat dua dinasti, yaitu Dinasti Sanjaya dan Dinasti Sailendra. Masing-masing
dinasti memiliki latar belakang agama yang berbeda. Dinasti Sanjaya kecuali
Rakai Panangkaran memeluk agama Hindu, sedangkan Dinasti Sailendra
memeluk agama Buddha (Poesponegoro, 2010:115). Pada Prasasti Plaosan Lor
dikemukakan bahwa kedua dinasti yang berbeda agama itu akhirnya bersatu pada


26 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya IV
Denpasar, 16 – 17 Oktober 2019

masa pemerintahan Rakai Pikatan (dari Dinasti Sailendra). Persatuan dilakukan


dengan cara perkawinan antara mereka secara politik. Nama mereka ditulis pada
prasasti-prasasti pendek (short inscriptions) di kompleks Candi Plaosan Lor (Tim
Penyusun, 2019:77).

Prasasti-prasasti pendek di Candi Plaosan Lor


(Sumber: sabdadewi.wordpress.com)

Kalimat pada prasasti-prasasti pendek dari Candi Plaosan Lor selalu diawali
dengan kata anumoda, yang berarti pemberian suci. Terdapat beberapa prasasti
pendek yang dikeluarkan di Candi Plaosan Lor yang menyebut nama Pikatan.
Adanya prasasti-prasasti pendek ini menjadi indikasi bahwa pada waktu itu telah
terjadi kerjasama atau perkawinan antara Rakai Pikatan dari Dinasti Sanjaya
dengan Pramodhawardani atau Sri Kahulunan dari Dinasti Sailendra (Boechari,
2018:405).
Transkripsi dan terjemahan berdasarkan kebudayaan.kemdikbud.go.id:
Baris III:
1. (candi perwara, di sudut barat daya): Anumoda —

14. (stupa:) Anumoda rakai gurunwangi dyah saladū/ asthupa śrī mahārāja rakai
pikatan = sumbangan Rakai Gurunwangi dyan Saladū/ stupa oleh Sri Maharaja
rakai Pikatan

15. (stupa) Anumoda rakai gurunwangi dyah saladū/ asthupa śrī mahārāja rakai
pikatan = sumbangan Rakai Gurunwangi dyah Saladū/ stupa oleh Sri Maharaja
rakai Pikatan.


Seminar Nasional Bahasa dan Budaya IV 27
Denpasar, 16 - 17 Oktober 2019

Prasasti Kalasan koleksi Museum Nasional Indonesia


(Sumber: kebudayaan.kemdikbud.go.id)

Prasasti Kalasan yang ditemukan tidak jauh dari candi Kalasan, merupakan
salah satu prasasti penting selain prasasti yang ditemukan di candi Plaosan Lor.
Prasasti tersebut memuat keterangan penting tentang tujuan pendirian candi
Kalasan yang erat kaitannya dengan toleransi para penganut agama Hindu di
kerajaan Mataram Kuna. Menurut kebudayaan.kemdikbud.go.id, Prasasti Kalasan
terbuat dari bahan batu, kini menjadi koleksi Museum Nasional Jakarta dengan
nomor inventarisasi D147 . Ditulis dalam aksara Prenagari, berbahasa Sansekerta,
dan berangka tahun 700 Saka atau 778 Masehi, dalam isinya menyebutkan bahwa
Maharaja dyah Pancapana Kariyana Panangkarana (Rakai Panangkaran) telah
mendirikan bangunan suci untuk salah satu dewi Buddha, yaitu Dewi Tara.
Bangunan tersebut didirikan sebagai bentuk apresiasi bagi para bhiksu dan juga
sebagai simbol kerukunan beragama antara penganut Hindu dan Buddha.
Sehingga keperluan pemeliharaannya, desa Kalasan dijadikan sima (tanah yang
dilindungi) dan juga tidak dipungut pajak (Soekmono, 1981:42).

SIMPULAN
Pada masa Kerajaan Mataram Kuna terdapat dua dinasti, yaitu Dinasti
Sanjaya dan Dinasti Sailendra. Kedua dinasti tersebut memiliki latar belakang
yang berbeda. Dinasti Sanjaya kecuali Rakai Panangkaran memeluk agama Hindu,
sedangkan Dinasti Sailendra memeluk agama Buddha. Pada Prasasti Plaosan Lor
dikemukakan bahwa kedua kerajaan yang berbeda agama itu akhirnya bersatu


28 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya IV
Denpasar, 16 – 17 Oktober 2019

pada masa pemerintahan Rakai Pikatan (dari Dinasti Sailendra). Persatuan


dilakukan dengan cara perkawinan antara mereka secara politik.
Dengan adanya temuan inkripsi prasasti singkat di candi Plaosan Lor dan juga
Prasasti Kalasan menggambarkan adanya bentuk kerukunan penganut agama
Hindu dengan penganut agama Buddha. Hal ini juga menjadi penegas bahwa
dalam kerajaan Mataram Kuna bentuk toleransi antar umat beragama telah terjalin
dengan baik. Terbukti dengan adanya hadiah pendirian candi Kalasan bagi para
biksu oleh Rakai Panangkaran.

DAFTAR PUSTAKA
Boechari. 2018. Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti. Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia.
Cœdes, George. Asia Tenggara Masa Hindu-Buddha. 2017. Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia.
Mochtar, Agni Sesaria. 2015. ―Vihara dan Pluralisme pada Masa Jawa Kuna Abad
VIII-XI Masehi (Tinjauan Data Prasasti)‖.
berkalaarkeologi.kemdikbud.go.id. Berkala Arkeologi, Volume 35,
Edisi no. 2, November 2015, halaman 113-126. Yogyakarta: Balai
Arkeologi Daerah Istimewa Yogyakarta. Diunduh pada 8 Oktober 2019.
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Notosusanto, Nugroho. 2010. Sejarah
Nasional Indonesia II: Zaman Kuno. Jakarta: Balai Pustaka.
Santiko, Hariani. 2013. ―Dua Dinasti Kerajaan Matarām Kuna: Tinjauan Prasasti
Kalasan‖. journal.um.ac.id. Sejarah dan Budaya, Tahun Ketujuh, No. 2,
Desember 2013. Malang: Universitas Negeri Malang. Diunduh pada 8
Oktober 2019.
Soekmono, R. 1981. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius.
Tan, Melly G. 1981. Masalah Perencanaan Penelitian dalam Metode-Metode
Penelitian Arkeologi. Jakarta: Gramedia.
Tim Penyusun Prodi Arkeologi. 2019. Buku Ajar Pengantar Epigrafi Hindu
Budha. Denpasar: Swasta Nulus bekerjasama dengan Program Studi
Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana.

SITUS WEB:
kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbjateng/prasasti-prasasti-pendek-dari-candi-
plaosan-lor/. Diakses pada tanggal 10 Oktober 2019
kebudayaan.kemdikbud.go.id/munas/prasasti-kalasan/
sabdadewi.wordpress.com/2016/02/20/menelusuri-kisah-roman-
terindah-di-candi-plaosan/

Anda mungkin juga menyukai