Anda di halaman 1dari 16

PRINSIP-PRINSIP DASAR SOSIAL DAN KEBUDAYAAN

DALAM KITAB NEGARA KERTAGAMA


MAKALAH

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Kelompok


Mata Kuliah Teori-teori Sosial Budaya
Pengampu : Dr. Ngatawi al-Zastrow, M.Si.

Oleh:

Oleh: Khoirul Anam & M. Fajrul

Sekolah Pasca Sarjana

Sejarah Peradaban Islam Konsentrasi Islam Nusantara

Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia Jakarta


A. PENDAHULUAN

Peristiwa-peristiwa yang mempunyai pengaruh terhadap perkembangan perikehidupan kita


sebagai bangsa memang sepatutnya ditulis dan disampaikan kepada generasi berikutnya. Setiap
peristiwa yang memiliki makna sejarah merupakan guru terbaik yang mengajarkan bagaimana
menemukan identitas kita sebagai bangsa.

Indonesia memiliki sejarah kebudayaan yang panjang. Secara historis dapat dibuktikan
dengan berdirinya kerajaan-kerajaan yang cukup besar dengan segudang kearifan yang
dimilikinya, baik di bidang seni, budaya maupun ilmu pengetahuan. Majapahit adalah salah satu
kerajaan di Indonesai yang pernah berkuasa pada tahun 1293 hingga 1500 M. Dan mengalami
kejayaannya pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk (1350-1389) yang dibantu oleh
mahapatih Gajah Mada.1

Salah satu karya peninggalan kerajaan Majapahit yang menjadi perhatian sejarawan adalah
Kakawin Nagarakretagama karya Mpu Prapanca, kitab ini dianggap memiliki informasi yang
cukup berarti untuk mengetahui sejarah pembangunan kerajaan Majapahit. Banyak sedikitnya
ada titik pertemuan antara pembangunan kerajaan Majapahit enam abad yang lampau, dan
pembangunan Negara Republik Indonesia masa kini, sekalipun keadaan zaman kedua negara itu
berbeda.

Perlu diberitahukan bahwa pada 7 Juli 1978 ditemukan naskah “Nagarakretagama” di Kota
Amlapura, Kabupaten Lombok, Pulau Bali, dengan judul Desawarnana. Pada naskah itu, tidak
disebut nama Nagarakretagama seperti yang tercantum pada kolofon naskah Nagarakretagama
yang ditemukan di Puri Cakranegara, Pulau Lombok, pada tahun 1894. Naskah Desawarnana
disimpan di Geria Pidada, Karangasem.2

1
Sudjipto Abimanyu, Kitab Sejarah Terlengkap Kearifan raja-Raja Nusantara,(Jogjakarta: Laksana,
2014), h. 110
2
Slammet Muljana, Tafsir Sejarah Nagarakretagama, (Yogyakarta: LKiS, 2011), h.viii
B. PEMBAHASAN

Sejak berdirinya kerajaan Singasari pada tahun 1222 sampai mangkatnya Jayanagara pada
tahun 1328, Jawa Timur terus-menerus dilanda pemberontakan-pemberontakan. Kekeruhan
suasana yang demikian mengganggu keamanan dan menghambat kemakmuran. Baru mulai
tahun 1329, dengan munculnya Tribhuwana Tunggadewi keadaan dalam negeri tenang kembali,
terutama berkat usaha patih Gadjah Mada. Pada waktu itu, perhatian mulai diarahkan kepada
usaha memperluas wilayah, karena patih Gadjah Mada yang dalam praktiknya mempunyai
kekuasaan penuh dalam pemerintahan, bernafsu untuk menundukkan daerah-daerah seberang
lautan yang disebut Nusantara. Gadjah Mada bermaksud mengagungkan Majapahit dalam bidang
politik dengan jalan memperluas wilayah Majapahit. Keagungan Majapahit terletak dalam
menghimpun daerah-daerah Nusantara di bawah lindungan Majapahit. Gadjah Mada
mengutamakan negara dan kemakmuran rakyat daripada keagungan keagamaan.3

Kakawin Nagarakretagama, merupakan sebuah pujasastra tentang keagungan Majapahit


dan keluhuran Sri Rajasanagara, gubahan pujangga Prapanca pada tahun 1365 M. Kakawin
Nagarakretagama juga merupakan karya paduan sejarah dan sastra yang bermutu tinggi, boleh
dianggap sebagai karya agung tentang Majapahit. Isinya mencakup uraian tentang daerah dan
desa-desa, dirangkaikan dalam bentuk kakawin yang sangat indah. Pemilihan kata-katanya tepat,
cara menuturkannya sangat padat, gaya bahasanya benar-benar menggiurkan. Oleh karena itu,
disebut oleh pujangganya sendiri Decawarnnana, mimiliki arti uraian tentang desa-desa. Namun,
nama itu tidak banyak dikenal, kalah populer dengan nama Nagarakretagama yang tercatat pada
kolofon. Ia merupakan karya sejarah yang tertua di lingkungan sastra sejarah di Jawa dan
merupakan sumber pengetahuan tentang Majapahit pada abad 14.4

Naskah Negarakretagama ditemukan di Puri Cakranagara di Pulau Lombok pada tahun


1894.5 Dikarang oleh Prapanca, seorang putra pembesar urusan Budha di Majapahit
Dharmadyaksa Kasogatan Dang Acarya Kanakamunu, ayahnya juga dikenal sebagai seorang

3
Slamet Muljana, h. 259
4
Slamet Muljana, h. 279
5
Slamet Muljana, h. 280
pujangga dan ahli sastra dan bahasa.6 Nama Prapanca sendiri merupakan nama samaran seorang
Dharmadyaksa Kasogatan yang bernama Padelegan Dang Acarya Nadendra.7

Kakawin ini ditulis Prapanca ketika sudah tidak lagi berada dipusaran istana Majapahit. Ia
menjauhi istana dan memilih untuk bertapa di Lereng gunung Kamalasana pada kisaran bulan
September-Oktober 1365 M.8

Dari uraian di atas, kita dapat memahami, mengapa Dang Acarya Nadendra dalam
Nagam/eretagama menggunakan nama samaran Prapanca berarti: kesedihan, perintah laku
utama. Pada hakikatnya, waktu ia menggubah Nagarakretagama, hidupnya sedang diliputi
kesedihan akibat kehilangan pangkat dharmmadyaksa kasogatan karena itu lalu ia meninggalkan
ibu kota Majapahit dan hidup di desa dalam kesepian.9

Pujasastra Nagarakretagama terdiri dari 98 pupuh. Dilihat dari sudut isinya pembagian
pupuh-pupuh itu dilakukan dengan sangat rapi. Kita perhatikan bagan pupuh menurut isinya.
Pupuh l sampai pupuh 7 menguraikan raja dan keluarganya. Pupuh 7 sampai 16 menguraikan
kota dan wilayah Majapahit. Pupuh 17 sampai 39 menguraikan perjalanan keliling ke Lumajang.
Pupuh 40 sampai 49 menguraikan silsilah Raja Hayam Wuruk. Lima pupuh yang pertama, yakni
pupuh 4O sampai 44 tentang sejarah raja-raja Singasari, pupuh 45 sampai 49 tentang sejarah
raja-raja Majapahit dari Kertajasa Jayawardhana sampai Hayam Wuruk. Tepat pada pupuh itu,
uraian Dang Acarya Ratnamsa berhenti. Itulah bagian pcrtama Nagamkretagama, jumlahnya 49
pupuh tepat, separo dari keseluruhan pupuh Nagamkretagama. Bagan pupuh bagian pertama itu
seperti berikut:

7 pupuh: tentang raja dan keluarganya.

9 pupuh: tentang kota dan wilayah Majapahit.

23 pupuh: tentang pcrjalanan keliling ke Lumajang. 10 pupuh: tentang silsilah raja Majapahit.

6
Slamet Muljana, h. 294
7
Slamet Muljana, h. 293
8
Slamet Muljana, h. 301
9
Slamet Muljana, h. 302
Kita perhatikan sekarang bagian kedua yang juga terdiri dari 49 pupuh. Pupuh 50 sampai
54 mengurajkan raja berburu di hutan10 Nandawa. Pupuh 55 sampai 59 mengurajkan perjalanan
pulang ke Majapahit. Pupuh 60 menguraikan oleh-olch yang dibawa pulang dari pelbagai daerah
yang dikunjungi; Pupuh 61 sampai pupuh 70 menguraikan perhatian Raja Hayam Wuruk kepada
leluhurnya bcrupa ziarah ke makam dan pesta :rada. Bagian itu disambung dengan 2 pupuh
tentang kematian Patih Gadjah Mada, yakni pupuh 71 dan 72. Mulaj dengan pupuh 73 sampai
pupuh 82 menguraikan bangunan-bangunan suci yang terdapat di Jawa dan Bali. Dari pupuh 83
sampaj 91 terdapat uraian tentang upacara berkala yang berulang kembali setiap tahun, yakni
musyawarah, kirap, pesta tahunan. Pupuh 92 sampai 98 mcrupakan pupuh pujangga yang
memuji keluhuran baginda. Pupuh 92 sampai 94 tentang pujian para pujangga, termasuk pujian
pujangga Prapanca. Pupuh 95 sampai 98 khusus menguraikan nasib pujangga Prapanca.11

1) Golongan Masyarakat dan Tugasnya

Majapahit adalah kerajaan Hindu-Jawa. Tara masyarakat berdasarkan Hinduisme. Ciri


khusus penerapan konsep Hinduisme12 ialah pembagian anggota masyamkat dalam empat
golongan yang disebut warna yakni Brahmana, Ksatria, Waisya, Dan Sudra. Tata masyankat
Majapahit disebut dalam Nagarakretagama pupuh 81 yang bunyinya sepcrti berikut: “Itulah
sebabnya sang caturdwija memerhatikan laku utama.” Para pendeta dari empat aliran agama
mengindahkan tutur. Para anggota caturasrama, terutama caturbasma, melakukan tapa dan
mematuhi tata-tertib, taat menjalankan upacara. Semua anggota empat teguh memenuhi
kewajibannya masing-masing. Para menteri dan para Arya menjalankan mgas pemerintahan
dengan baik; golongan ksatria, baik pria maupun perempuan, semuanya berhati teguh, bertindak
sopan. Golongan waisya dan sudra melakukan kewajibannya masing-masing. Demikian pula tiga
golongan yang terbawah, yakni Candala, Mleccha, dan Tuccha.”

Konsep tata masyarakat di atas sesuai dengan ajaran kitab undang-undang Manawa yang
bunyinya demikian: Demi kebaikan dunia, Brahman melahirkan golongan Brahmana dari
mulutnya, golongan Ksatria dari lengannya, golongan Waisya dari pahanya, dan golongan Sudra
dari kakinya. Untuk melindungi dunia ini, Brahman yang cemerlang menetapkan bidang-bidang

10
Slamet Muljana, h. 1
11
Slamet Muljana, h. 2
12
Slamet Muljana, h. 235
kerja mereka itu masing-masing. Segenap bangsa di dunia ini, yang tidak termasuk golongan
Brahmana, Ksatria, Waisya, Dan Sudra, disebut Dasyu, tidak pandang bahasa yang mereka
ucapkan, apakah bahasa golongan Mleccha ataukah golongan Arya."

Mereka itu diwajibkan teguh mematuhi undang-undang Manawa. Penentuan bidang kerja
itu tidak dapat ditawar lagi. Barang siapa menyalahkannya, ia akan kehilangan kastanya. Amaran
kitab undang-undang Manama itu bunyinya seperti berikut:13 ‘lebih baik menjalankan kerja
dalam bidang kewajiban yang telah ditentukan menurut kastanya kurang sempurna, daripada
mengerjakan dengan sempurna kewajiban kasta lain, karena barang siapa mengcrjakan
kewajiban kasta lain, ia akan dikeluarkan dari kastanya sendiri.” Demikianlah pcraturan kasta
menurut undang-undang Manawa itu terlalu keras. Apa kewajiban kasta-kasta itu masing-
masing, dan bagaimana pencrapannya dalam tata masyarakat Majapahit, yang disentuh sepintas
lalu saja oleh Prapanca, perlu dijelaskan.

(a) Pendeta

Kaum pendeta yang ingin mencapai kesempurnaan hidup dan akhirnya bersatu-padu
dengan Brahman, harus menjalankan enam dharma seperti berikut: mengajar, belajar, melakukan
persajian untuk dirinya sendiri, melakukan persajian untuk orang lain, membagi dan menerima
derma. Tiga di antaranya adalah sarana hidup, yakni mengajar, melakukan persajian bagi orang
lain, dan menerima derma dari orang-orang yang murni budinya.

Seperti telah jelas djnyatakan dalam Nagarakretagama pupuh 81, di Majapahit, para
pendeta teguh mematuhi peraturan-peraturan yang telah ditetapkan. Dalam bidang keagamaan,
para pendeta mempunyai wewenang sepenuhnya dan menjadi pemimpin masyarakat. Orang-
orang dari golongan lainnya bergantung sepenuhnya kepada pendeta. Sebagian besar dari
upacara agama yang dianggap penting sekali untuk berlangsungnya kehidupan masyarakat,
seperti penyucian air (tirtha), penyucian tanah untuk mendirikan candi dan tempat pemujaan,
upacara kelahiran, inisiasi dan kematian (stradha), menghilangkan pengaruh lelembut dan
mengusir roh-roh halus yang bersikap jahat, melakukan persajian dan menyanyikan pujaan-
pujaan, semuanya itu hanya boleh dilakukan para pendeta. Kaum awam hanya datang untuk
menghadirinya dan memberikan sumbangan berupa kemenyan, bunga, dan makanan apa saja.14
13
Slamet Muljana, h. 236
14
Slamet Muljana, h. 237
Sampai tahun 1365, candi makam keluarga raja berjumlah dua puluh tujuh seperti
diuraikan dalam Nagarakretagama pupuh 73, yang pembinaan dan pengawasannya diserahkan
kepada kaum pendeta di bawah lindungan Sang Wiradikara. Selain itu, masih banyak lagi biara,
rumah pemujaan, dan tanah perdikan di desa-desa di Jawa. Timur dan Bali yang dikuasai oleh
para pendeta. Pada hakikatnya, kekuasaan kaum pendeta yang berupa tanah dan bangunan suci di
Majapahit rupanya tidak berbeda dengan kekuasaan kaum pendeta Kristen di Eropa pada abad
pertengahan. Wewenang agama , mengakibatkan kekuasaan materi dan kehormatan.15

Selain tugas-tugas agama, sejumlah pendeta dalam pemerintahan. Banyak di antara mereka
yang menjadi petugaa Pengadilan, baik di nusat maupun di daerah, karena masyarakat Majapahit
berdasarkan agama. Kepala agama Siwa dan Budha masing-masing diangkat sebagai
dharmmadyaksa, yakni hakim tinggi, dan diberi gelar dang acarya.16

(b) Kesatria

Golongan kedua mencakup para petugas pemerintahan, biasa disebut kaum kesatria. Tugas
utama kaum kesatria ialah melindungi negara, digariskan dalam kitab undang-undang Manawa
seperti berikut: “Kaum kesatria, yang telah dilantik sesuai dengan peraturan Weda, mempunyai
kewajiban untuk melindungi dunia (negara). Sebabnya, ketika umat manusia itu tanpa raja, hidup
dalam ketakutan buyar bercerai-berai, maka Brahman menciptakan raja yang diberi tugas untuk
melindungi manusia. Oleh karena itu, raja, meski muda sekalipun, pada hakikatnya bukan
sembarang orang, melainkan pengejawantahan dewata mulia. Untuk membantu dalam
menunaikan tugasnya. Brahman memuja kemegahannya, yang menitis menjadi undang-undang
disebut Undang-Undang Pidana, sebagai sarana untuk melindungi dan mengatur umat manusia.
Hanya Undang-undang Pidana, yang menguasaj segala makluk hidup, melindungi dan menjaga
mereka, baik waktu berjaga maupun tidur: Pidana ini adalah sama dengan Hukum Undang-
undang.”

Demikianlah golongan ksatria itu pada zaman Majapahit mencakup raja dan para pegawai
pemerintahannya, yang diberi gelar rakryan, arya, dan dang acarya seperti tclah dinyatakan
dalam pasal Tata Negara. Kutara Manawa adalah nama kitab undang-undang Majapahit yang

15
Slamet Muljana, h. 238
16
Slamet Muljana, h. 239
digunakan sebagai pegangan untuk mengatur kehidupan negara dan masyarakat pada zaman
pemerintahan Dyah Hayam Wuruk seperti dinyatakan pada pasal Tata Hukum.17

(c) Waisya

Bidang kewajiban golongan waisya dapat digariskan sebagai berikut: dagang,


meminjamkan uang, menggarap sawah dan memelihara ternak. Jadi, mereka dapat dirumuskan
sebagai kaum dagang dan petani.18

Sebagian besar dari rakyat Majapahit adalah petani dan hidup dari basil bumi.
Pemerintahnya sangat memcrhatikan pertanian seperti nyata dari usaha-usaha para pembcsar.
Nagarakretagama pupuh 82 menguraikan bahwa Raja Kertawardhana membuka hutan di Sagala,
Raja Wijayarajasa dari Wengker membuka hutan di Surabana, Pasuruan, dan Pajang, sedangkan
Dyah Hayam Wuruk menebangi hutan di Watsara dekat Tigawangi untuk dijadikan ladang dan
sawah.

Sehubungan dengan pertahanan, piagam Kandangan,“ 1350, memberitakan pembangunan


bendungan di daerah Kusmala oleh demung Martabun dan Rangga Sapu atas perintah Raja
Wijayarasa. Maksudnya ialah untuk menyediakan perairan demi kepentingan pertanian.
Kesibukan masyarakat desa dipusatkan pada pertanian dan peternakan. Hasilnya diperuntukkan
guna mencukupi makanan rakyat desa, sebagian dibawa ke kota, dan kelebihannya dijual di
pasar. Amanat Wijayarajasa kepada para pembesar desa, yang berkumpul di istana, seperti
diberitakan dalam Nagarakretagama pupuh 88, menekankan pembinaan desa demi kemajuan dan
keselamatan masyarakat desa. Dianjurkannya agar jembatan dan jalan-jalan dibina sebaik-
baiknya, ladang dan sawah dijaga kesuburannya dan digarap sebaik-baiknya. Bahwa pertanian
dan peternakan itu benar-benar diutamakan terbukti dari undang-undang Kutara Manawa pasal
260-262 yang bunyinya seperti berikut: “Barang siapa membakar padi di ladang, tidak pandang
besar-kecilnya, harus membayar padi lima kali lipat kepada pemiliknya, ditambah denda sebesar
dua puluh ribu. Barang siapa mengurangi penghasilan makanan misalnya dengan mempersempit
sawah atau membiarkan tcrbengkalai segala apa yang dapat menghasilkan makanan, atau

17
Slamet Muljana, h. 240
18
Slamet Muljana, h. 241
melalaikan binatang piaraan apa pun, kemudian hal tersebut diketahui orang banyak, orang yang
demikian itu diperlakukan sebagai pencuri dan dikenakan pidana mati.19

(d) Sudra

Berbeda dengan golongan-golongan lainnya, kaum sudra hanya mengalami kelahiran


sekali saja. Bidang kewajiban dan kerjanya menurut Kitab undang-undang Manawa ialah
mengabdi, tcrutama kepada kaum brahmana. Kaum bmbmana adalah tempat pengabdian utama
bagi golongan sudra, karena barang siapa mengabdi kepada kaum brahmana, ia akan mencapai
tujuannya, baik di dunia maupun di akhirat. Pengabdian kepada golongan ksatria dan waisya
hanya memberikan manfaat bagi kehidupannya di dunia saja.20

(e) Candala, MIeccha, dan Tuccha

Tiga golongan terbawah dalam masyarakat yang tidak termasuk warna, seperti disebut
dalam Nagarakretagama pupuh 81/4 ialah: candala, mleccha, dan tuccha. Secara singkat, mereka
itu adalah orang yang diharamkan dalam masyarakat. Ada saran untuk menyebut golongan ini
warna Ieelima (pancama), namun saran itu tidak ditcrima. Menurut undang-undang Manawa,
mereka itu termasuk Dasyu.

Menurut undang-undang, anak yang lahir dari perkawinan campuran mempunyai status
lebih rendah daripada ayahnya. Demikianlah anak yang lahir dari perkawinan campuran antara
laki-laki sudra dan perempuan dari ketiga golongan lainnya, statusnya lebih rendah daripada
sudra. Kebanyakan candala itu orang-orang yang lahir dari perkawinan campuran di atas itu.
Tentang candala, A.L. Basham menulis seperti berikut:

“Candala tidak diizinkan tinggal bersama dengan golongan Arya, baik di kota maupun di
desa. Mereka berkampung di luar batas kota. Meskipun mereka itu mempunyai mata pencaharian
lain, namun kebanyakan di antara mereka adalah tukang penggotong dan pembakar jenazah atau
algojo penjahat yang dijatuhi hukuman mati. Menurut undang-undang, pakaian mereka dibuat
dari bahan pembungkus jenazah yang mereka bakar, tempat makannya ialah barang pecah-

19
Slamet Muljana, h. 242
20
Slamet Muljana, h. 243
pecahan (kereweng) dan perhiasannya dibuat dari besi. Keempat golongan warna menjauhkan
diri dari mereka, agar jangan terjejas oleh keharamannya atau jatuh ke tarafnya.21

Golongan Mleccha ialah semua bangsa di luar Arya tanpa pandang bahasa dan warna kulit.
Mungkin yang dimaksud dengan Mleccha pada zaman Majapahit ialah pedagang-pedagang asing
yang tinggal di kota-kota pelabuhan seperti disebut dalam Nagarakretagama pupuh 83/3, yakni
pedagang-pcdagang India, Kamboja, Campa, Siam, dan Cina, yang tidak menganut agama
Hindu, sehingga mereka itu tidak masuk anggota masyarakat Arya.

Golongan orang haram yang terakhir ialah Tuccha. Di dalam bahasa Sansekerta, tuccha
berarti kosong. Mungkin golongan ketiga ini mencakup orang-orang haram, yang dianggap sepi
atau tidak berguna, bahkan merugikan masyarakat. Dengan kata lain, penjahat.22

C. PRINSIP-PRINSIP DASAR SOSIAL DAN KEBUDAYAAN DALAM KITAB


NEGARA KERTAGAMA

1). Konstruksi Sosial

Pada zaman Majapahit, agama menjiwai segenap lapangan kehidupan,23 saat itu Hindu
telah menjadi agama resmi kerajaan Majapahit, dan untuk mengelola mekanisme administrasi
dan tata hukum kenegaraan mereka menggunakan kitab undang-undang Kutara Manawa yang
seluruh elemen masyarakat wajib tunduk kepadanya.

Di Jawa Timur, Hinduisme mulai berakar kuat sejak pertengahan abad ke-10, berkat
perpindahan pusat pemerintahan Mataram ke Watu Galuh di Jawa Timur pada zaman
pemerintahan Raja Sindok. Sejak itu, proses civilisasi di Jawa Tumur meningkat sangat cepat.
Pada mulanya, Hinduisme hanya dikenal di lingkungan keraton, tetapi lambat laun masuk juga
ke desa-desa, bertemu dangan masyarakat Jawa asli, yang memuja arwah leluhur. Pertemuan itu
mengakibatkan timbulnya proses akulturasi antara24 kebudayaan Hindu dan kebudayaan Jawa
asli di pedesaan. Terbukti bahwa dalam proses akulturasi itu ada unsur-unsur kebudayaan asli

21
Slamet Muljana, h. 245
22
Slamet Muljana, h. 246
23
Slamet Muljana, h. 257
24
Slamet Muljana, h. 231
yang dapat bertahan, bercampur dengan unsur-unsur kebudayaan baru. Percampuran itu
mengakibatkan timbulnya kebudayaan Hindu-Jawa, yakni sintesis antara unsur-unsur Jawa asli
dan unsurunsur Hindu.

Sebaliknya, masyarakat ibu kota hampir seluruhnya dikuasai oleh kebudayaan Hindu.
Hinduisme menjiwai kebudayaan keraton, karena di masyarakat ibu kota unsur-unsur
kebudayaan asli itu sangat lemah. Di tempat mana unsur kebudayaan asli itu lemah, Hinduisme
akan tumbuh subur dan unsur asli akan lebur. Di tempat mana kebudayaan asli itu kuat, ia akan
bertahan atau berpadu dengan kebudayaan Hindu.25

Nagarakretagama pupuh 81 menguraikan bahwa Dyah Hayam Wuruk Sri Rajasanagara


berusaha keras untuk menyatukan dan meleburkan tiga aliran agama di wilayah Majapahit yang
disebut tripaksa, tiga sayap, yakni agama Siwa, Budha, dan Brahma. Pupuh itu Juga
menyebutkan bahwa para pendetanya, yang disebut caturdwija, tunduk rungkup kepada ajaran
tutur"26 lainnya, yang besar jumlah pengikutnya. Di antara tiga aliran ini, agama Siwa
mempunyai pengikut yang paling banyak berkat kedudukannya sebagai agama resmi kerajaan
Majapahit. Agama Budha menduduki tempat yang kedua. Perkembangan agama Budha sengaja
ditekan agar jangan menyaingi agama Siwa.

Pupuh 16 menyatakan bahwa para pendeta Budha yang diutus ke daerah untuk
mengumpulkan upeti, dilarang berkunjung dan menyiarkan agama di daerah-daerah di sebelah
barat Majapahit dengan alasan bahwa di daerah itu agama Budha tidak mempunyaj pengikut.
Mereka hanya dibolehkan menyiarkan agamanya di daerah sebelah timur Majapahit, terutama di
Pulau Bali dan Lombok. Sebaliknya, para Pendeta Siwa boleh berkunjung dan menyiarkan
agamanya di mana saja tanpa mengenal pembatasan.

Dari uraian di atas, kita tahu bahwa konstruksi sosial terbangun secara integral oleh
kekuatan moral-spiritual yang tercermin pada diri raja dan pandhita (resi). Spiritualitas menjadi
kekuatan pengikat dalam integrasi sosial.

2) Konsep Kekuasaan
25
Slamet Muljana, h. 232
26
Slamet Muljana, h. 234
Selain untuk memperoleh kemampuan spiritual, laku spiritual juga untuk mengendalikan
diri dan meningkatkan kepekaan batin agar bisa menerapkan kemampuan skill profesional dan
rasional secara baik dan benar untuk kepentingan masyarakat dan negara: “jauh dari tingkah alpa
dan congkak, Baginda waspada tawakal dan bijak. Faham akan segala seluk beluk pemerintahan
sejak zaman Kali. Karenanya, tawakal dalam agama dan tapa untuk teguhnya ajaran Budha.
Menganut jejak para leluhur demi keselamatan seluruh praja” (pupuh 42/3).

Kekuasaan tertinggi pada zaman majapahit dipegang oleh seorang raja. Dalam pandangan
mereka raja adalah pengendali utama kekuasaan di dunia, dan untuk bisa mengendalikan relitas
sosial dan menjaga integrasi sosial, seorang raja harus memiliki kekuatan spiritual yang tinggi.
Seorang raja adalah cerminan dari para dewa yang agung, adil dan bijaksana: “Begitulah pujian
pujangga penggubah sejarah, kepada Sri Nata Rajasanagara, Sri Nata Wilwatikta yang sedang
memegang tampuk Negara bagai titisan Dewa-Bhatara beliau menyapu duka rakyat semua.
Tunduk setia segenap bumi Jawa, bahkan malah seluruh Nusantara” (Pupuh I/3). Sedangkan
untuk memperoleh kekuatan suci itu bisa didapatkan melalui laku spiritual dengan bimbingan
pada resi (pandhita).

Sebagai konsekuensi atas tugasnya untuk melindungi dan mensejahterakan dan


membahagiakan (menyapu duka) rakyat, maka Seluruh rakyat harus taat dan menyembah pada
raja: “Itulah tanda bahwa Bhatara Girinata menjelma bagai raja besar terbukti selama bertahta,
seluruh Jawa tunduk menadah perintah. Wipra, ksatria, waisya, sudra, keempat kasta sempurna
dalam pengabdian. Durjana berhenti berbuat jahat, takut akan keberanian Sri Nata” (Pupuh I/5).
Tidak hanya para rakyat yang harus taat pada raja tetapi juga hewan dan alam (pupuh 43/1-6).

Dengan demikian, konsep kekuasaan yang menekankan kebijakan para raja dan ketaatan
para kawula (rakyat) inilah yang mengintegrasikan masyarakat sehingga terbentuk konstruksi
sosial.

3) Bentuk dan Fungsi Negara

Negara berbentuk kesatuan-integralistik, penyatuan antara desa dengan negara (pemerintah


pusat). Sebagaimana dijelaskan dalam pupuh 89 poin 2:
“Negara dan desa berhubungan rapat seperti singa dan hutan. Jika desa rusak, Negara akan
kekurangan bahan makanan. Kalau tidak ada tentara, Negara lain mudah menyerang kita.
Karenanya peliharalah keduanya, itu perintah saya!”.
Kutipan di atas menunjukkan bahwa pengelolaan alam telah menjadi perhatian utama
dalam pemerintahan Hayam Wuruk, bahkan ia menjadi konsep mendasar dalam menopang
kesejahteraan negara. Dan negara berfungsi mewujudkan kesejahteraan rakyat, dengan cara
mewujudkan ketentraman dan kesejahteraan rakyat:

“….Cintailah rakyat bawahanmu dan berusahalah memajukan dusunmu. Jembatan, Jalan


Raya, Beringin, Bangunan dan Candi supaya dibina; Terutama dataran tinggi dan sawah, agar
tetap subur, peliharalah. Perhatikan tanah rakyat, jangan sampai jatuh ketangan petani besar.
Agar penduduk jangan sampai terusir dan mengungsi ke desa tetangga;Tepati segala peraturan
untuk membuat desa bertambah besar. ….Harap dicatat nama penjahat dan pelanggaran setiap
akhir bulan. Bantu pemeriksaan tempat durjana, terutama pelanggar susila. Agar bertambah
kekayaan baginda demi kesejahteraan Negara.” ( pupuh 88 / 2-4)
4) Hak dan kewajiban Raja

Sebagaimana disebutkan di atas, raja memiliki kewajiban untuk menjaga integritas negara,
mensejahterakan rakyat dan memberikan perlindungan dari berbagai macam ancaman. Sehingga
raja memiliki kedudukan yang tinggi dan berhak mendapat penghormatan serta ketundukan dari
rakyat dan para pejabat bawahan. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam pupuh 88/1:

“Segenap ketua desa dan wedana tetap tinggal, paginya mereka dipimpin Arya Ranadikara
menghadap baginda minta diri di pura. Bersama Arya Mahadikara, kepala pancatanda dan
padelegan. Sri Baginda duduk di atas tahta, dihadap para abdi dan pembesar……..”.
Selain kewajiban yang bersifat sosial di atas, raja juga memiliki kewajiban yang bersifat
spiritual, ia berkewajiban menjaga dan memelihara rumah-rumah ibadah, candi, vihara dan
pemakaman serta melaksanakan upacara keagamaan. Tugas spiritual ini dijelaskan dalam pupuh
62-70.

Raja juga berkewajiban menerima Rakyat yang ingin menghadap raja secara langsung:
“Kemudian bersabda Baginda Nata Wilwatikta memberi anjuran: “Para Budiman yang
berkunjung kemari, tidak boleh dihalang-halangi” (pupuh 88/5).
5) Hak dan Kewajiban Rakyat

Selain hak dan kewajiban yang harus dipenuhi seorang raja, Negarakretagama juga
mengatur hak dan kewajiban rakyat sebagai penyeimbangnya. Dalam kehidupan bernegara,
sebagai balasan atas perlindungan dan segala kebijakan dari raja, maka rakyat wajib taat dan
tunduk pada raja. Ketundukan ini tidak hanya diwajibkan pada rakyat saja tetapi juga seluruh
yang ada di wilayah kekuasaan raja, termasuk hawan-hewan, sebaqgaimana dijelaskan dalam
pupuh 51/6-7:
“Karena raja berkuasa mengakhiri hidup makhluk, Sebagai titisan Bhatara Siwa berupa
narpati. Hilang segala dosanya makhluk yang dibunuh beliau. Lebih utama daripada terjun
ke dalam telaga; Siapa diantara sesame akan jadi musuhku? Kepada Tripaksa aku takut,
lebih utama menjauh. Niatku jika berjumpa raja, akan menyerahkan hidup. Mati olehnya,
tak akan lagi bagai binatang.”
6) Sistem Pemerintahan

Pemerintahan yang mampu berjalan Untuk menjalankan roda pemerintahan, raja


mengangkat beberapa menteri dan pembantu. Beberapa menteri dan pembantu raja ini tercermin
dalam pupuh 72/1-6:

1. Itulah putusan rapat tertutup. Hasil yang diperoleh perundingan. Terpilih sebagai
wredda menteri karib Baginda bernama Mpu Tadi.
2. Penganut karib Sri Baginda Nata. Pahlawan perang bernama Mpu Nala. Mengetahui
budi pekerti rakyat. Mancanegara bergelar tumenggung.
3. Keturunan orang cerdik dan setia. Selalu memangku pangkat pahlawan. Pernah
menundukkan Negara Dompo, Serba ulet menanggulangi musuh.
4. Jumlahnya bertambah dua menteri. Bagai pembantu utma Baginda. Bertugas mengurus
soal perdata. Dibantu oleh para upapati.
5. Mpu Dami menjadi menteri muda. Selalu ditaati di istana. Mpu Singa diangkat sebagai
saksi. Dalam segala perintah Baginda.
6. Demikianlah titah Sri Baginda Nata. Puas, taat, teguh segenap rakyat. Tumbuh tambah
hari setia baktinya. Karena Baginda yang memerintah.
Untuk meningkatkan kinerja dan kesejahteraan bagi pejabat negara, para pejabat kemudian
diberi imbalan berupa tanah palenggahan yang cukup luas:
“semua menteri mengenyam tanah palenggahan yang cukup luas. Candi, biara dan lingga
utama dibangun tak ada putusnya. Sebagai tanda bakti kepada dewa, leluhur, para pendeta.
Memang benar budi luhur tertabur mengikuti jejak Sri Nata.” (pupuh 82/3)
7) Wilayah Teritorial

Untuk meningkatkan efektifitas pelayanan maka dibentuk pembagian wilayah territorial


kekuasaan negara. Pembagian tersebut terdiri dari wilayah-wilayah dengan spesifikasi sebagai
berikut:

- Desa-desa perdikan ditempatkan di bawah perlindungan Baginda Darmadyaksa Kasewan


bertugas membina tempat ziarah dan pemujaan (pupuh 75/2).

- Desa perdikan Siwa yang bebas dari pajak, desa yang menjadi pusat pengembangan
Hindu (pupuh 76/1)

- Desa perdikan kasogatan yang bebas dari pajak, desa ini untuk pengembangan Buddha,
sering disebut juga (pupuh 76/3), desa ini disebut juga desa perdikan Kabudhaan (pupuh
80/1)

- Desa karesian (pupuh 78/1)

- Pembagian wilayah dan teritorial pedesaan mencerminkan keterkitan antara bentuk


negara dengan dengan spiritualitas agama: “Maksudnya agar musnah semua durjana dari
muka bumi laladan. Itulah tujuan melintas, menelusur dusun-dusun sampai di tepi laut.
Menentramkan hati pertapa, yang rela tinggal di pantai, gunung dan hutan. Lega bertapa
brata dan bersamadi demi kesejahteraan Negara” (Pupuh 80/4)

8) Hukum dan Etika

Raja, semua pejabat, resi dan seluruh rakyat harus menjalani semua hukum dan “paugeran”
(peraturan) baik yang tertulis maupun tidak (pupuh 81/1-4). Masing-masing memiliki peraturan
tersendiri, seperti tripaksa (undang-undang negara), caturdwija (etika berperilaku utama). Catur
Asrama dan catur basma (etika dan tatacara laku spiritual dan ibadah).

Raja memiliki untuk memberikan hukuman bagi siapa saja yang melanggar undang-
undang:
“Undang-undang sejak pemerintahan ibunda harus ditaati. Hidangan makanan sepanjang
hari harus dimasak pagi-pagi. Jika ada tamu loba tamak mengambil makanan, merugikan,
biar mengambilnya, tetapi laporkan namanya kepada saya” (pupuh 89/1).
Upaya menegakkan keadilan yang berdasarkan hukum dan perundang-undangan ini juga
disebeutkan dalam bagian lain:
“Baginda makin keras berusaha untuk dapat bertindak lebih bijak. Dalam pengadilan tidak
serampangan, tapi tepat mengikuti undang-undang. Adil segala keputusan yang diambil,
semua pihak merasa puas. Masyhur nama beliau, mampu menembus zaman, sungguhlah
titisan Bhatara (pupuh 73/1).

Anda mungkin juga menyukai