Oleh:
Indonesia memiliki sejarah kebudayaan yang panjang. Secara historis dapat dibuktikan
dengan berdirinya kerajaan-kerajaan yang cukup besar dengan segudang kearifan yang
dimilikinya, baik di bidang seni, budaya maupun ilmu pengetahuan. Majapahit adalah salah satu
kerajaan di Indonesai yang pernah berkuasa pada tahun 1293 hingga 1500 M. Dan mengalami
kejayaannya pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk (1350-1389) yang dibantu oleh
mahapatih Gajah Mada.1
Salah satu karya peninggalan kerajaan Majapahit yang menjadi perhatian sejarawan adalah
Kakawin Nagarakretagama karya Mpu Prapanca, kitab ini dianggap memiliki informasi yang
cukup berarti untuk mengetahui sejarah pembangunan kerajaan Majapahit. Banyak sedikitnya
ada titik pertemuan antara pembangunan kerajaan Majapahit enam abad yang lampau, dan
pembangunan Negara Republik Indonesia masa kini, sekalipun keadaan zaman kedua negara itu
berbeda.
Perlu diberitahukan bahwa pada 7 Juli 1978 ditemukan naskah “Nagarakretagama” di Kota
Amlapura, Kabupaten Lombok, Pulau Bali, dengan judul Desawarnana. Pada naskah itu, tidak
disebut nama Nagarakretagama seperti yang tercantum pada kolofon naskah Nagarakretagama
yang ditemukan di Puri Cakranegara, Pulau Lombok, pada tahun 1894. Naskah Desawarnana
disimpan di Geria Pidada, Karangasem.2
1
Sudjipto Abimanyu, Kitab Sejarah Terlengkap Kearifan raja-Raja Nusantara,(Jogjakarta: Laksana,
2014), h. 110
2
Slammet Muljana, Tafsir Sejarah Nagarakretagama, (Yogyakarta: LKiS, 2011), h.viii
B. PEMBAHASAN
Sejak berdirinya kerajaan Singasari pada tahun 1222 sampai mangkatnya Jayanagara pada
tahun 1328, Jawa Timur terus-menerus dilanda pemberontakan-pemberontakan. Kekeruhan
suasana yang demikian mengganggu keamanan dan menghambat kemakmuran. Baru mulai
tahun 1329, dengan munculnya Tribhuwana Tunggadewi keadaan dalam negeri tenang kembali,
terutama berkat usaha patih Gadjah Mada. Pada waktu itu, perhatian mulai diarahkan kepada
usaha memperluas wilayah, karena patih Gadjah Mada yang dalam praktiknya mempunyai
kekuasaan penuh dalam pemerintahan, bernafsu untuk menundukkan daerah-daerah seberang
lautan yang disebut Nusantara. Gadjah Mada bermaksud mengagungkan Majapahit dalam bidang
politik dengan jalan memperluas wilayah Majapahit. Keagungan Majapahit terletak dalam
menghimpun daerah-daerah Nusantara di bawah lindungan Majapahit. Gadjah Mada
mengutamakan negara dan kemakmuran rakyat daripada keagungan keagamaan.3
3
Slamet Muljana, h. 259
4
Slamet Muljana, h. 279
5
Slamet Muljana, h. 280
pujangga dan ahli sastra dan bahasa.6 Nama Prapanca sendiri merupakan nama samaran seorang
Dharmadyaksa Kasogatan yang bernama Padelegan Dang Acarya Nadendra.7
Kakawin ini ditulis Prapanca ketika sudah tidak lagi berada dipusaran istana Majapahit. Ia
menjauhi istana dan memilih untuk bertapa di Lereng gunung Kamalasana pada kisaran bulan
September-Oktober 1365 M.8
Dari uraian di atas, kita dapat memahami, mengapa Dang Acarya Nadendra dalam
Nagam/eretagama menggunakan nama samaran Prapanca berarti: kesedihan, perintah laku
utama. Pada hakikatnya, waktu ia menggubah Nagarakretagama, hidupnya sedang diliputi
kesedihan akibat kehilangan pangkat dharmmadyaksa kasogatan karena itu lalu ia meninggalkan
ibu kota Majapahit dan hidup di desa dalam kesepian.9
Pujasastra Nagarakretagama terdiri dari 98 pupuh. Dilihat dari sudut isinya pembagian
pupuh-pupuh itu dilakukan dengan sangat rapi. Kita perhatikan bagan pupuh menurut isinya.
Pupuh l sampai pupuh 7 menguraikan raja dan keluarganya. Pupuh 7 sampai 16 menguraikan
kota dan wilayah Majapahit. Pupuh 17 sampai 39 menguraikan perjalanan keliling ke Lumajang.
Pupuh 40 sampai 49 menguraikan silsilah Raja Hayam Wuruk. Lima pupuh yang pertama, yakni
pupuh 4O sampai 44 tentang sejarah raja-raja Singasari, pupuh 45 sampai 49 tentang sejarah
raja-raja Majapahit dari Kertajasa Jayawardhana sampai Hayam Wuruk. Tepat pada pupuh itu,
uraian Dang Acarya Ratnamsa berhenti. Itulah bagian pcrtama Nagamkretagama, jumlahnya 49
pupuh tepat, separo dari keseluruhan pupuh Nagamkretagama. Bagan pupuh bagian pertama itu
seperti berikut:
23 pupuh: tentang pcrjalanan keliling ke Lumajang. 10 pupuh: tentang silsilah raja Majapahit.
6
Slamet Muljana, h. 294
7
Slamet Muljana, h. 293
8
Slamet Muljana, h. 301
9
Slamet Muljana, h. 302
Kita perhatikan sekarang bagian kedua yang juga terdiri dari 49 pupuh. Pupuh 50 sampai
54 mengurajkan raja berburu di hutan10 Nandawa. Pupuh 55 sampai 59 mengurajkan perjalanan
pulang ke Majapahit. Pupuh 60 menguraikan oleh-olch yang dibawa pulang dari pelbagai daerah
yang dikunjungi; Pupuh 61 sampai pupuh 70 menguraikan perhatian Raja Hayam Wuruk kepada
leluhurnya bcrupa ziarah ke makam dan pesta :rada. Bagian itu disambung dengan 2 pupuh
tentang kematian Patih Gadjah Mada, yakni pupuh 71 dan 72. Mulaj dengan pupuh 73 sampai
pupuh 82 menguraikan bangunan-bangunan suci yang terdapat di Jawa dan Bali. Dari pupuh 83
sampaj 91 terdapat uraian tentang upacara berkala yang berulang kembali setiap tahun, yakni
musyawarah, kirap, pesta tahunan. Pupuh 92 sampai 98 mcrupakan pupuh pujangga yang
memuji keluhuran baginda. Pupuh 92 sampai 94 tentang pujian para pujangga, termasuk pujian
pujangga Prapanca. Pupuh 95 sampai 98 khusus menguraikan nasib pujangga Prapanca.11
Konsep tata masyarakat di atas sesuai dengan ajaran kitab undang-undang Manawa yang
bunyinya demikian: Demi kebaikan dunia, Brahman melahirkan golongan Brahmana dari
mulutnya, golongan Ksatria dari lengannya, golongan Waisya dari pahanya, dan golongan Sudra
dari kakinya. Untuk melindungi dunia ini, Brahman yang cemerlang menetapkan bidang-bidang
10
Slamet Muljana, h. 1
11
Slamet Muljana, h. 2
12
Slamet Muljana, h. 235
kerja mereka itu masing-masing. Segenap bangsa di dunia ini, yang tidak termasuk golongan
Brahmana, Ksatria, Waisya, Dan Sudra, disebut Dasyu, tidak pandang bahasa yang mereka
ucapkan, apakah bahasa golongan Mleccha ataukah golongan Arya."
Mereka itu diwajibkan teguh mematuhi undang-undang Manawa. Penentuan bidang kerja
itu tidak dapat ditawar lagi. Barang siapa menyalahkannya, ia akan kehilangan kastanya. Amaran
kitab undang-undang Manama itu bunyinya seperti berikut:13 ‘lebih baik menjalankan kerja
dalam bidang kewajiban yang telah ditentukan menurut kastanya kurang sempurna, daripada
mengerjakan dengan sempurna kewajiban kasta lain, karena barang siapa mengcrjakan
kewajiban kasta lain, ia akan dikeluarkan dari kastanya sendiri.” Demikianlah pcraturan kasta
menurut undang-undang Manawa itu terlalu keras. Apa kewajiban kasta-kasta itu masing-
masing, dan bagaimana pencrapannya dalam tata masyarakat Majapahit, yang disentuh sepintas
lalu saja oleh Prapanca, perlu dijelaskan.
(a) Pendeta
Kaum pendeta yang ingin mencapai kesempurnaan hidup dan akhirnya bersatu-padu
dengan Brahman, harus menjalankan enam dharma seperti berikut: mengajar, belajar, melakukan
persajian untuk dirinya sendiri, melakukan persajian untuk orang lain, membagi dan menerima
derma. Tiga di antaranya adalah sarana hidup, yakni mengajar, melakukan persajian bagi orang
lain, dan menerima derma dari orang-orang yang murni budinya.
Seperti telah jelas djnyatakan dalam Nagarakretagama pupuh 81, di Majapahit, para
pendeta teguh mematuhi peraturan-peraturan yang telah ditetapkan. Dalam bidang keagamaan,
para pendeta mempunyai wewenang sepenuhnya dan menjadi pemimpin masyarakat. Orang-
orang dari golongan lainnya bergantung sepenuhnya kepada pendeta. Sebagian besar dari
upacara agama yang dianggap penting sekali untuk berlangsungnya kehidupan masyarakat,
seperti penyucian air (tirtha), penyucian tanah untuk mendirikan candi dan tempat pemujaan,
upacara kelahiran, inisiasi dan kematian (stradha), menghilangkan pengaruh lelembut dan
mengusir roh-roh halus yang bersikap jahat, melakukan persajian dan menyanyikan pujaan-
pujaan, semuanya itu hanya boleh dilakukan para pendeta. Kaum awam hanya datang untuk
menghadirinya dan memberikan sumbangan berupa kemenyan, bunga, dan makanan apa saja.14
13
Slamet Muljana, h. 236
14
Slamet Muljana, h. 237
Sampai tahun 1365, candi makam keluarga raja berjumlah dua puluh tujuh seperti
diuraikan dalam Nagarakretagama pupuh 73, yang pembinaan dan pengawasannya diserahkan
kepada kaum pendeta di bawah lindungan Sang Wiradikara. Selain itu, masih banyak lagi biara,
rumah pemujaan, dan tanah perdikan di desa-desa di Jawa. Timur dan Bali yang dikuasai oleh
para pendeta. Pada hakikatnya, kekuasaan kaum pendeta yang berupa tanah dan bangunan suci di
Majapahit rupanya tidak berbeda dengan kekuasaan kaum pendeta Kristen di Eropa pada abad
pertengahan. Wewenang agama , mengakibatkan kekuasaan materi dan kehormatan.15
Selain tugas-tugas agama, sejumlah pendeta dalam pemerintahan. Banyak di antara mereka
yang menjadi petugaa Pengadilan, baik di nusat maupun di daerah, karena masyarakat Majapahit
berdasarkan agama. Kepala agama Siwa dan Budha masing-masing diangkat sebagai
dharmmadyaksa, yakni hakim tinggi, dan diberi gelar dang acarya.16
(b) Kesatria
Golongan kedua mencakup para petugas pemerintahan, biasa disebut kaum kesatria. Tugas
utama kaum kesatria ialah melindungi negara, digariskan dalam kitab undang-undang Manawa
seperti berikut: “Kaum kesatria, yang telah dilantik sesuai dengan peraturan Weda, mempunyai
kewajiban untuk melindungi dunia (negara). Sebabnya, ketika umat manusia itu tanpa raja, hidup
dalam ketakutan buyar bercerai-berai, maka Brahman menciptakan raja yang diberi tugas untuk
melindungi manusia. Oleh karena itu, raja, meski muda sekalipun, pada hakikatnya bukan
sembarang orang, melainkan pengejawantahan dewata mulia. Untuk membantu dalam
menunaikan tugasnya. Brahman memuja kemegahannya, yang menitis menjadi undang-undang
disebut Undang-Undang Pidana, sebagai sarana untuk melindungi dan mengatur umat manusia.
Hanya Undang-undang Pidana, yang menguasaj segala makluk hidup, melindungi dan menjaga
mereka, baik waktu berjaga maupun tidur: Pidana ini adalah sama dengan Hukum Undang-
undang.”
Demikianlah golongan ksatria itu pada zaman Majapahit mencakup raja dan para pegawai
pemerintahannya, yang diberi gelar rakryan, arya, dan dang acarya seperti tclah dinyatakan
dalam pasal Tata Negara. Kutara Manawa adalah nama kitab undang-undang Majapahit yang
15
Slamet Muljana, h. 238
16
Slamet Muljana, h. 239
digunakan sebagai pegangan untuk mengatur kehidupan negara dan masyarakat pada zaman
pemerintahan Dyah Hayam Wuruk seperti dinyatakan pada pasal Tata Hukum.17
(c) Waisya
Sebagian besar dari rakyat Majapahit adalah petani dan hidup dari basil bumi.
Pemerintahnya sangat memcrhatikan pertanian seperti nyata dari usaha-usaha para pembcsar.
Nagarakretagama pupuh 82 menguraikan bahwa Raja Kertawardhana membuka hutan di Sagala,
Raja Wijayarajasa dari Wengker membuka hutan di Surabana, Pasuruan, dan Pajang, sedangkan
Dyah Hayam Wuruk menebangi hutan di Watsara dekat Tigawangi untuk dijadikan ladang dan
sawah.
17
Slamet Muljana, h. 240
18
Slamet Muljana, h. 241
melalaikan binatang piaraan apa pun, kemudian hal tersebut diketahui orang banyak, orang yang
demikian itu diperlakukan sebagai pencuri dan dikenakan pidana mati.19
(d) Sudra
Tiga golongan terbawah dalam masyarakat yang tidak termasuk warna, seperti disebut
dalam Nagarakretagama pupuh 81/4 ialah: candala, mleccha, dan tuccha. Secara singkat, mereka
itu adalah orang yang diharamkan dalam masyarakat. Ada saran untuk menyebut golongan ini
warna Ieelima (pancama), namun saran itu tidak ditcrima. Menurut undang-undang Manawa,
mereka itu termasuk Dasyu.
Menurut undang-undang, anak yang lahir dari perkawinan campuran mempunyai status
lebih rendah daripada ayahnya. Demikianlah anak yang lahir dari perkawinan campuran antara
laki-laki sudra dan perempuan dari ketiga golongan lainnya, statusnya lebih rendah daripada
sudra. Kebanyakan candala itu orang-orang yang lahir dari perkawinan campuran di atas itu.
Tentang candala, A.L. Basham menulis seperti berikut:
“Candala tidak diizinkan tinggal bersama dengan golongan Arya, baik di kota maupun di
desa. Mereka berkampung di luar batas kota. Meskipun mereka itu mempunyai mata pencaharian
lain, namun kebanyakan di antara mereka adalah tukang penggotong dan pembakar jenazah atau
algojo penjahat yang dijatuhi hukuman mati. Menurut undang-undang, pakaian mereka dibuat
dari bahan pembungkus jenazah yang mereka bakar, tempat makannya ialah barang pecah-
19
Slamet Muljana, h. 242
20
Slamet Muljana, h. 243
pecahan (kereweng) dan perhiasannya dibuat dari besi. Keempat golongan warna menjauhkan
diri dari mereka, agar jangan terjejas oleh keharamannya atau jatuh ke tarafnya.21
Golongan Mleccha ialah semua bangsa di luar Arya tanpa pandang bahasa dan warna kulit.
Mungkin yang dimaksud dengan Mleccha pada zaman Majapahit ialah pedagang-pedagang asing
yang tinggal di kota-kota pelabuhan seperti disebut dalam Nagarakretagama pupuh 83/3, yakni
pedagang-pcdagang India, Kamboja, Campa, Siam, dan Cina, yang tidak menganut agama
Hindu, sehingga mereka itu tidak masuk anggota masyarakat Arya.
Golongan orang haram yang terakhir ialah Tuccha. Di dalam bahasa Sansekerta, tuccha
berarti kosong. Mungkin golongan ketiga ini mencakup orang-orang haram, yang dianggap sepi
atau tidak berguna, bahkan merugikan masyarakat. Dengan kata lain, penjahat.22
Pada zaman Majapahit, agama menjiwai segenap lapangan kehidupan,23 saat itu Hindu
telah menjadi agama resmi kerajaan Majapahit, dan untuk mengelola mekanisme administrasi
dan tata hukum kenegaraan mereka menggunakan kitab undang-undang Kutara Manawa yang
seluruh elemen masyarakat wajib tunduk kepadanya.
Di Jawa Timur, Hinduisme mulai berakar kuat sejak pertengahan abad ke-10, berkat
perpindahan pusat pemerintahan Mataram ke Watu Galuh di Jawa Timur pada zaman
pemerintahan Raja Sindok. Sejak itu, proses civilisasi di Jawa Tumur meningkat sangat cepat.
Pada mulanya, Hinduisme hanya dikenal di lingkungan keraton, tetapi lambat laun masuk juga
ke desa-desa, bertemu dangan masyarakat Jawa asli, yang memuja arwah leluhur. Pertemuan itu
mengakibatkan timbulnya proses akulturasi antara24 kebudayaan Hindu dan kebudayaan Jawa
asli di pedesaan. Terbukti bahwa dalam proses akulturasi itu ada unsur-unsur kebudayaan asli
21
Slamet Muljana, h. 245
22
Slamet Muljana, h. 246
23
Slamet Muljana, h. 257
24
Slamet Muljana, h. 231
yang dapat bertahan, bercampur dengan unsur-unsur kebudayaan baru. Percampuran itu
mengakibatkan timbulnya kebudayaan Hindu-Jawa, yakni sintesis antara unsur-unsur Jawa asli
dan unsurunsur Hindu.
Sebaliknya, masyarakat ibu kota hampir seluruhnya dikuasai oleh kebudayaan Hindu.
Hinduisme menjiwai kebudayaan keraton, karena di masyarakat ibu kota unsur-unsur
kebudayaan asli itu sangat lemah. Di tempat mana unsur kebudayaan asli itu lemah, Hinduisme
akan tumbuh subur dan unsur asli akan lebur. Di tempat mana kebudayaan asli itu kuat, ia akan
bertahan atau berpadu dengan kebudayaan Hindu.25
Pupuh 16 menyatakan bahwa para pendeta Budha yang diutus ke daerah untuk
mengumpulkan upeti, dilarang berkunjung dan menyiarkan agama di daerah-daerah di sebelah
barat Majapahit dengan alasan bahwa di daerah itu agama Budha tidak mempunyaj pengikut.
Mereka hanya dibolehkan menyiarkan agamanya di daerah sebelah timur Majapahit, terutama di
Pulau Bali dan Lombok. Sebaliknya, para Pendeta Siwa boleh berkunjung dan menyiarkan
agamanya di mana saja tanpa mengenal pembatasan.
Dari uraian di atas, kita tahu bahwa konstruksi sosial terbangun secara integral oleh
kekuatan moral-spiritual yang tercermin pada diri raja dan pandhita (resi). Spiritualitas menjadi
kekuatan pengikat dalam integrasi sosial.
2) Konsep Kekuasaan
25
Slamet Muljana, h. 232
26
Slamet Muljana, h. 234
Selain untuk memperoleh kemampuan spiritual, laku spiritual juga untuk mengendalikan
diri dan meningkatkan kepekaan batin agar bisa menerapkan kemampuan skill profesional dan
rasional secara baik dan benar untuk kepentingan masyarakat dan negara: “jauh dari tingkah alpa
dan congkak, Baginda waspada tawakal dan bijak. Faham akan segala seluk beluk pemerintahan
sejak zaman Kali. Karenanya, tawakal dalam agama dan tapa untuk teguhnya ajaran Budha.
Menganut jejak para leluhur demi keselamatan seluruh praja” (pupuh 42/3).
Kekuasaan tertinggi pada zaman majapahit dipegang oleh seorang raja. Dalam pandangan
mereka raja adalah pengendali utama kekuasaan di dunia, dan untuk bisa mengendalikan relitas
sosial dan menjaga integrasi sosial, seorang raja harus memiliki kekuatan spiritual yang tinggi.
Seorang raja adalah cerminan dari para dewa yang agung, adil dan bijaksana: “Begitulah pujian
pujangga penggubah sejarah, kepada Sri Nata Rajasanagara, Sri Nata Wilwatikta yang sedang
memegang tampuk Negara bagai titisan Dewa-Bhatara beliau menyapu duka rakyat semua.
Tunduk setia segenap bumi Jawa, bahkan malah seluruh Nusantara” (Pupuh I/3). Sedangkan
untuk memperoleh kekuatan suci itu bisa didapatkan melalui laku spiritual dengan bimbingan
pada resi (pandhita).
Dengan demikian, konsep kekuasaan yang menekankan kebijakan para raja dan ketaatan
para kawula (rakyat) inilah yang mengintegrasikan masyarakat sehingga terbentuk konstruksi
sosial.
Sebagaimana disebutkan di atas, raja memiliki kewajiban untuk menjaga integritas negara,
mensejahterakan rakyat dan memberikan perlindungan dari berbagai macam ancaman. Sehingga
raja memiliki kedudukan yang tinggi dan berhak mendapat penghormatan serta ketundukan dari
rakyat dan para pejabat bawahan. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam pupuh 88/1:
“Segenap ketua desa dan wedana tetap tinggal, paginya mereka dipimpin Arya Ranadikara
menghadap baginda minta diri di pura. Bersama Arya Mahadikara, kepala pancatanda dan
padelegan. Sri Baginda duduk di atas tahta, dihadap para abdi dan pembesar……..”.
Selain kewajiban yang bersifat sosial di atas, raja juga memiliki kewajiban yang bersifat
spiritual, ia berkewajiban menjaga dan memelihara rumah-rumah ibadah, candi, vihara dan
pemakaman serta melaksanakan upacara keagamaan. Tugas spiritual ini dijelaskan dalam pupuh
62-70.
Raja juga berkewajiban menerima Rakyat yang ingin menghadap raja secara langsung:
“Kemudian bersabda Baginda Nata Wilwatikta memberi anjuran: “Para Budiman yang
berkunjung kemari, tidak boleh dihalang-halangi” (pupuh 88/5).
5) Hak dan Kewajiban Rakyat
Selain hak dan kewajiban yang harus dipenuhi seorang raja, Negarakretagama juga
mengatur hak dan kewajiban rakyat sebagai penyeimbangnya. Dalam kehidupan bernegara,
sebagai balasan atas perlindungan dan segala kebijakan dari raja, maka rakyat wajib taat dan
tunduk pada raja. Ketundukan ini tidak hanya diwajibkan pada rakyat saja tetapi juga seluruh
yang ada di wilayah kekuasaan raja, termasuk hawan-hewan, sebaqgaimana dijelaskan dalam
pupuh 51/6-7:
“Karena raja berkuasa mengakhiri hidup makhluk, Sebagai titisan Bhatara Siwa berupa
narpati. Hilang segala dosanya makhluk yang dibunuh beliau. Lebih utama daripada terjun
ke dalam telaga; Siapa diantara sesame akan jadi musuhku? Kepada Tripaksa aku takut,
lebih utama menjauh. Niatku jika berjumpa raja, akan menyerahkan hidup. Mati olehnya,
tak akan lagi bagai binatang.”
6) Sistem Pemerintahan
1. Itulah putusan rapat tertutup. Hasil yang diperoleh perundingan. Terpilih sebagai
wredda menteri karib Baginda bernama Mpu Tadi.
2. Penganut karib Sri Baginda Nata. Pahlawan perang bernama Mpu Nala. Mengetahui
budi pekerti rakyat. Mancanegara bergelar tumenggung.
3. Keturunan orang cerdik dan setia. Selalu memangku pangkat pahlawan. Pernah
menundukkan Negara Dompo, Serba ulet menanggulangi musuh.
4. Jumlahnya bertambah dua menteri. Bagai pembantu utma Baginda. Bertugas mengurus
soal perdata. Dibantu oleh para upapati.
5. Mpu Dami menjadi menteri muda. Selalu ditaati di istana. Mpu Singa diangkat sebagai
saksi. Dalam segala perintah Baginda.
6. Demikianlah titah Sri Baginda Nata. Puas, taat, teguh segenap rakyat. Tumbuh tambah
hari setia baktinya. Karena Baginda yang memerintah.
Untuk meningkatkan kinerja dan kesejahteraan bagi pejabat negara, para pejabat kemudian
diberi imbalan berupa tanah palenggahan yang cukup luas:
“semua menteri mengenyam tanah palenggahan yang cukup luas. Candi, biara dan lingga
utama dibangun tak ada putusnya. Sebagai tanda bakti kepada dewa, leluhur, para pendeta.
Memang benar budi luhur tertabur mengikuti jejak Sri Nata.” (pupuh 82/3)
7) Wilayah Teritorial
- Desa perdikan Siwa yang bebas dari pajak, desa yang menjadi pusat pengembangan
Hindu (pupuh 76/1)
- Desa perdikan kasogatan yang bebas dari pajak, desa ini untuk pengembangan Buddha,
sering disebut juga (pupuh 76/3), desa ini disebut juga desa perdikan Kabudhaan (pupuh
80/1)
Raja, semua pejabat, resi dan seluruh rakyat harus menjalani semua hukum dan “paugeran”
(peraturan) baik yang tertulis maupun tidak (pupuh 81/1-4). Masing-masing memiliki peraturan
tersendiri, seperti tripaksa (undang-undang negara), caturdwija (etika berperilaku utama). Catur
Asrama dan catur basma (etika dan tatacara laku spiritual dan ibadah).
Raja memiliki untuk memberikan hukuman bagi siapa saja yang melanggar undang-
undang:
“Undang-undang sejak pemerintahan ibunda harus ditaati. Hidangan makanan sepanjang
hari harus dimasak pagi-pagi. Jika ada tamu loba tamak mengambil makanan, merugikan,
biar mengambilnya, tetapi laporkan namanya kepada saya” (pupuh 89/1).
Upaya menegakkan keadilan yang berdasarkan hukum dan perundang-undangan ini juga
disebeutkan dalam bagian lain:
“Baginda makin keras berusaha untuk dapat bertindak lebih bijak. Dalam pengadilan tidak
serampangan, tapi tepat mengikuti undang-undang. Adil segala keputusan yang diambil,
semua pihak merasa puas. Masyhur nama beliau, mampu menembus zaman, sungguhlah
titisan Bhatara (pupuh 73/1).