Anda di halaman 1dari 14

KERAJAAN MAJAPAHIT

A. Letak Kerajaan Majapahit

Kerajaan Majapahit adalah kerajaan maritim terbesar yang pernah terdiri di Asia
Tenggara. Kerajaan ini mulai berdiri di abad ke 12 Masehi dengan Raden Wijaya sebagai
raja pertamanya dan runtuh di akhir abad ke 15 pada masa pemerintahan Ranawijaya.

Dari penelusuran beberapa sumber sejarah, seperti nukilan Kitab Negarakertagama,


berita dari China, dan peninggalan prasasti dan Candi, para ahli sejarah dan arkeolog
berpendapat bahwa pada masa kejayaannya, kerajaan ini pernah menguasai seluruh
wilayah nusantara (kecuali Papua) dan semenanjung Asia yang meliputi Tumasik
(Singapura), Champa (Thailand), Filiphina Selatan, hingga Indocina. Berikut gambar peta
Kerajaan Majapahit.

Layaknya sebuah negara, Kerajaan Majapahit yang begitu besar itu tentu memiliki
sebuah ibukota sebagai pusat pemerintahannya. Kendati demikian, para ahli masih
bersilang pendapat tentang dimana sebetulnya letak pusat kerajaan maritim ini dimasa
silam. Akan tetapi, dari penelusuran sumber sejarah yang ada, diketahui bahwa ibukota
Kerajaan Majapahit pernah berpindah sebanyak 3 kali selama masa pemerintahannya.

B. Sumber Kerajaan Majapahit

Kerajaan Majapahit adalah sebuah kerajaan Hindu – Buddha yang pernah berdiri di
Nusantara pada sekitar tahun 1292 – 1527 M dengan pusat ibukotanya berada di Jawa
Timur. Sebagai kerajaan besar, sejarah Majapahit diungkap melalui beberapa sumber
serjarah.
1. Prasasti Peninggalan Majapahit

Dibandingkan kerajaan Hindu – Buddha di tanah Jawa lainnya, Kerajaan


Majapahit cenderung meningglkan lebih sedikit prasasti. Jumlah prasasti yang hingga
kini ditemukan dan diyakini sebagai peninggalan Majapahit hanya ada 9 buah.

a. Prasasti Butok (1244 M), ditemukan di Gunung Butak. Berisi tentang


peringatan keruntuhan Kerajaan Singasari dan perjuangan Raden Wijaya
dalam mendirikan Kerajaan Majapahit.
b. Prasasti Kudadu (1294 M), berisi tentang kabar pemberian anugerah
penghargaan kepada penjabat daerah Kudadu karena pengabdiannya
menolong Raden Wijaya saat dikejar dalam peperangan oleh Jayakatwang.
c. Prasasti Sukamerta (1296 M), berisi kabar penetapan Desa Sukamerta sebagai
desa Swawantara atau desa khusus.
d. Prasasti Balawi (1305 M), berisi tentang kabar pernikahan Raden Wijaya
dengan 4 putri Kertanegara serta penyebutan nama Sri Jayanegara yang
dijadikan raja muda.
e. Prasasti Waringin Pitu (1447 M), berisi tentang pejelasan bentuk pemerintahan
dan sistem birokrasi yang tersusun rapi di Kerajaan Majapahit. Disebutkan
pula adanya 14 kerajaan bawahan yang ada pada saat itu.
f. Prasasti Canggu (1358 M), berisi tentang aturan bagi setiap orangyang hendak
menyebrang Sungai Bengawan Solo.
g. Prasasti Biluluk terdiri dari 3 seri, yaitu Biluluk 1 (1366 M), Biluluk 2 (1393
M), dan Biluluk 3 (1395 M). Prasasti ini berisi pengaturan sumber air asin
untuk pembuatan garam sekaligus ketentuan pejaknya bagi kerajaan.
h. Prasasti Karang Bogem (1387 M), berisi tentang pembukaan wilayah bidudaya
perikanan Karang Bogem.
i. Prasasti Marahi Manuk (- M),berisi penyelesaian masalah persengketaan tanah.

2. Candi Peninggalan Majapahit

Sebagai sebuah kerajaan bercorak Hindu – Buddha, Kerajaan Majapahit juga


meninggalkan beberapa bengunan candi. Candi-candi peninggala Kerajaan
Majapahit tersebut diantaranya Candi Penataran di Blitar serta Candi Tegalwangi
dan Candi Tikus di Trowulan.

3. Kitab Peningggalan Majapahit

Kesusasteraan pada masa pemerintahan Majapahit diketahui mengalami


kemajuan yang sangat signifikan. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya kitab yang
dihasilkan para Mpu yang saat itu ada. Karena saking banyaknya karya yang
dihasilkan, kesusasteraan Majapahit digolongkan berdasarkan periodisasinya,
yaitu zaman Majapahit awal dan zaman Majapahit akhir.
Majapahit Awal

1. Kitab Negarakertagama, karangan Mpu Prapanca.


2. Kitab Sutasoma, karangan Mpu Tantular.
3. Kitab Arjunawiwaha, karangan Mpu Tantular.
4. Kitab Kunjarakarna.
5. Kitab Parhayajna.
6. Sastra Zaman Majapahit Akhir.

Majapahit Akhir

1. Kitab Prapanca, berisi tentang silsilah raja-raja Singasari dan Majapahit.


2. Kitab Sundayana, berisi tentang peristiwa Bubat.
3. Kitab Sarandaka, berisi tentang pemberontakan sora.
4. Kitab Ranggalawe, berisi tentang pemberontakan Ranggalawe.
5. Panjijiwajayakrama, berisi tentang riwayat Raden Wijaya sampai
menjadi raja.
6. Kitab Usana Jawa, berisi tentang penaklukan Pulau Bali oleh Gajah
Mada.
7. Kitab Usana Bali, berisi tentang kekacauan di Pulau Bali.

4. Kidung Peninggalan Majapahit

Kidung adalah sebuah syair yang berisi pesan tertentu dalam liriknya.
Terdapat beberapa kidung yang digunakan sebagai salah satu sumber sejarah kerajaan
Majapahit, di antaranya kidung Harsawijaya, kidung Panjiwijayakarma, dan kidung
Sundawana.

Kidung Harsawijaya berisi cerita keruntuhan Singasari dan pendirian kerajaan


Majapahit oleh Raden Wijaya, kidung Panjiwijayakarma berisi certia perjuangan
Raden Wijaya saat berperang dan mendirikan kerajaan, sementara kidung Sundawana
berisi cerita penyerangan terhadap rombongan kerajaan Pajajaran yang dipimpin
Gajahmada.

5. Babat Kerajaan Majapahit

Babat adalah sebuah kisah sejarah yang dibukukan. Dalam pengungkapan


sejarah kerajaan Majapahit, terdapat beberapa babat yang dijadikan sumber sejarah, di
antaranya Babat Tanah Jawi, Serat Kanda, dan Babat Parahyangan.

6. Berita Luar Negeri

Kerajaan Majapahit adalah kerajaan besar yang berpengaruh atas kawasan


Asia Tenggara pada masa silam. Oleh karena itu, tak heran bila bangsa-bangsa asing
juga pernah menuliskan kisah tentang kerajaan ini pada arsip kerajaannya. Catatan-
catatan yang belakangan juga digunakan sebagai sumber sejarah Kerajaan Majapahit
tersebut, di antaranya:

1. Catatan Dinasti Tang (1292) dari China mengungkap bahwa pada tahun tersebut
kaisar China mengirim tentara untuk menghukum raja Kertanegara (raja terakhir
Singasari) karena melukai wajah utusan yang dikirim mereka sebelumnya.
2. Catatan Dinasti Ming (1268 M) dari China mengungkap adanya hubungan
diplomasi antara Majapahit dan kekaisaran China.
3. Laporan Gubernur Portugis di Malaka bernama Ruo de Brito pada tahun 1524 M
tentang adanya kedaulatan di tanah Jawa (Majapahit) dan tanah Pasundan
(Pajajaran).

C. ASPEK-ASPEK

1. Kehidupan Sosial dan Kemasyarakatan.


Pola tata masyarakat Majapahit dibedakan atas lapisan-lapisan masyarakat
yang perbedaannya lebih bersifat statis. Walaupun di Majapahit terdapat empat kasta
seperti di India, yang lebih dikenal dengan catur warna, tetapi hanya bersifat teoritis
dalam literatur istana.
Pola ini dibedakan atas empat golongan masyarakat, yaitu brahmana, ksatria,
waisya, dan sudra. Namun terdapat pula golongan yang berada di luar lapisan ini,
yaitu Candala, Mleccha, dan Tuccha, yang merupakan golongan terbawah dari lapisan
masyarakat Majapahit.
Brahmana (kaum pendeta) mempunyai kewajiban menjalankan enam dharma,
yaitu: mengajar; belajar; melakukan persajian untuk diri sendiri dan orang lain;
membagi dan menerima derma (sedekah) untuk mencapai kesempurnaan hidup; dan
bersatu dengan Brahman (Tuhan). Mereka juga mempunyai pengaruh di dalam
pemerintahan, yang berada pada bidang keagamaan dan dikepalai oleh dua orang
pendeta tinggi, yaitu pendeta dari agama Siwa (Saiwadharmadhyaksa) dan agama
Buddha (Buddhadarmadyaksa). Saiwadyaksa mengepalai tempat suci (pahyangan)
dan tempat pemukiman empu (kalagyan). Buddhadyaksa mengepalai tempat
sembahyang (kuti) dan bihara (wihara). Menteri berhaji mengepalai para ulama
(karesyan) dan para pertapa (tapaswi).
Semua rohaniawan menghambakan hidupnya kepada raja yang disebut sebagai
wikuhaji. Para rohaniawan biasanya tinggal di sekitar bangunan agama, yaitu:
mandala, dharma, sima, wihara, dan sebagainya.
Kaum Ksatria merupakan keturunan dari pewaris tahta (raja) kerajaan terdahulu,
yang mempunyai tugas memerintah tampuk pemerintahan. Keluarga raja dapat
dikatakan merupakan keturunan dari kerajaan Singasari-Majapahit yang dapat dilihat
dari silsilah keluarganya dan keluarga-keluarga kerabat raja tersebar ke seluruh
pelosok negeri, karena mereka melakukan sistem poligami secara meluas yang
disebut sebagai wargahaji atau sakaparek. Semua anggota keluarga raja masing-
masing diberi nama atas gelar, umur, dan fungsi mereka di dalam masyarakat.
Pemberian nama pribadi dan nama gelar terhadap para putri dan putra raja didasarkan
atas nama daerah kerajaan yang akan mereka kuasai sebagai wakil raja.
Waisya merupakan masyarakat yang menekuni bidang pertanian dan
perdagangan. Mereka bekerja sebagai pedagang, peminjam uang, penggara sawah,
dan beternak.
Kemudian kasta yang paling rendah dalam catur warna adalah kaum sudra
yang mempunyai kewajiban untuk mengabdi kepada kasta yang lebih tinggi, terutama
pada golongan brahmana.
Golongan terbawah yang tidak termasuk dalam catur warna dan sering disebut
sebagai pancama (warna kelima), yaitu:
1.Candala merupakan anak dari perkawinan campuran antara laki-laki
(golongan sudra) dengan wanita (dari ketiga golongan lainnya: brahmana, waisya, dan
waisya). Sehingga sang anak mempunyai status yang lebih rendah dari ayahnya.
2. Mleccha adalah semua bangsa di luar Arya tanpa memandang bahasa dan
warna kulit, yaitu para pedagang-pedagang asing (Cina, India, Champa, Siam, dll.)
yang tidak menganut agama Hindu.
3.Tuccha ialah golongan yang merugikan masyarakat, salah satu contohnya
adalah para penjahat. Ketika mereka diketahui melakukan tatayi, maka raja dapat
menjatuhi hukuman mati kepada pelakunya. Perbuatan tatayi adalah membakar rumah
orang, meracuni sesama, mananung, mengamuk, merusak, dan memfitnah
kehormatan perempuan.
Dari aspek kedudukan dalam masyarakat Majapahit, wanita mempunyai status
yang lebih rendah dari para lelaki. Hal ini terlihat pada kewajiban mereka untuk
melayani dan menyenangkan hati para suami mereka saja. Wanita tidak boleh ikut
campur dalam urusan apapun, selain mengurusi dapur rumah tangga mereka. Dalam
undang-undang Majapahit pun para wanita yang sudah menikah tidak boleh bercakap-
cakap dengan lelaki lain, dan sebaliknya. Hal ini bertujuan untuk menghindari
pergaulan bebas antara kaum pria dan wanita.

2. Ekonomi dan Mata Pencaharian.


Majapahit merupakan negara agraris dan juga sebagai negara maritim.
Kedudukan sebagai negara agraris tampak dari letaknya di pedalaman dan dekat
aliran sungai. Kedudukan sebagai negara maritim tampak dari kesanggupan angkatan
laut kerajaan itu untuk menanamkan pengaruh Majapahit di seluruh nusantara.
Dengan demikian, kehidupan ekonomi masyarakat Majapahit menitikberatkan pada
bidang pertanian dan pelayaran.
Udara di Jawa panas sepanjang tahun. Panen padi terjadi dua kali dalam
setahun, butir berasnya amat halus. Terdapat pula wijen putih, kacang hijau, rempah-
rempah, dan lain-lain kecuali gandum. Buah-buahan banyak jenisnya, antara lain
pisang, kelapa, delima, pepaya, durian, manggis, langsa, dan semangka. Sayur mayur
berlimpah macamnya. Jenis binatang juga banyak.
Untuk membantu pengairan pertanian yang teratur, pemerintah Majapahit
membangun dua buah bendungan, yaitu Bendungan Jiwu untuk persawahan dan
Bendungan Trailokyapur untuk mengairi daerah hilir.
Majapahit memiliki mata uang sendiri yang bernama gobog. Gobog
merupakan uang logam yang terbuat dari campuran perak, timah hitam, timah putih,
dan tembaga. Bentuknya koin dengan lubang di tengahn Dalam transaksi
perdagangan, selain menggunakan mata uang gobog, penduduk Majapahit juga
menggunakan uang kepeng dari berbagai dinasti. Menurut catatan Wang Ta-yuan
seorang pedagang dari Tiongkok, komoditas ekspor Jawa pada saat itu ialah lada,
garam, kain, dan burung kakak tua. Sedangkan komoditas impornya adalah mutiara,
emas, perak, sutra, barang keramik, dan barang dari besi.

3. Kehidupan Religi dan Sosial Budaya.


Pada masa Kerajaan Majapahit berkembang agama Hindu Syiwa dan Buddha.
Kedua umat beragama itu memiliki toleransi yang besar sehingga tercipta kerukunan
umat beragama yang baik. Raja Hayam Wuruk beragama Syiwa, sedangkan Gajah
Mada beragama Buddha. Namun, mereka dapat bekerja sama dengan baik.
Rakyat ikut meneladaninya, bahkan Empu Tantular menyatakan bahwa kedua
agama itu merupakan satu kesatuan yang disebut Syiwa–Buddha. Hal itu ditegaskan
lagi dalam Kitab Sutasoma dengan kalimat Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana
Dharmma Mangrwa. Artinya, walaupun beraneka ragam, tetap dalam satu kesatuan,
tidak ada agama yang mendua.
Urusan keagamaan diserahkan kepada pejabat tinggi yang disebut Dharmmaddhyaksa.
Jabatan itu dibagi dua, yaitu Dharmmaddhyaksa Ring Kasaiwan untuk urusan agama Syiwa
dan Dharmmaddhyaksa Ring Kasogatan untuk urusan agama Buddha. Kedua pejabat itu
dibantu oleh sejumlah pejabat keagamaan yang disebut dharmmaupatti. Pejabat itu, pada
zaman Hayam Wuruk yang terkenal ada tujuh orang yang disebut sang upatti sapta. Di
samping sebagai pejabat keagamaan, para upatti juga dikenal sebagai kelompok cendekiawan
atau pujangga. Misalnya, Empu Prapanca adalah seorang Dharmmaddhyaksa dan juga
seorang pujangga besar dengan kitabnya Negarakertagama
Untuk keperluan ibadah, raja juga melakukan perbaikan dan pembangunan
candi-candi. Pada masa Majapahit bidang seni budaya berkembang pesat, terutama
seni sastra. Karya seni sastra yang dihasilkan padamasa zaman awal Majapahit, antara
lain sebagai berikut:
1.Kitab Negarakertagama karangan Empu Prapanca pada tahun 1365. Isinya
menceritakan hal-hal sebagai berikut:
a. Sejarah raja-raja Singasari dan Majapahit dengan masa pemerintahannya.
b. Keadaan kota Majapahit dan daerah-daerah kekuasaannya.
c. Kisah perjalanan Raja Hayam Wuruk ketika berkunjung ke daerah kekuasaannya
di Jawa Timur beserta daftar candi-candi yang ada.
d. Kehidupan keagamaan dengan upacara-upacara sakralnya, misalnya upacara
Srrada untuk menghormati roh Gayatri dan menambah kesaktian raja.
2. Kitab Sutasoma karangan Empu Tantular. Kitab tersebut berisi riwayat
Sutasoma, seorang anak raja yang menjadi pendeta Buddha.
3.Kitab Arjunawijaya karangan Empu Tantular. Kitab tersebut berisi tentang
riwayat raja raksasa yang berhasil ditundukkan oleh Raja Arjunasasrabahu.
4.Kitab Kunjarakarna dan Parthayajna, tidak jelas siapa pengarangnya. Kitab itu
berisi kisah raksasa Kunjarakarna yang ingin menjadi manusia, dan pengembaraan
Pandawa di hutan karena kalah bermain dadu dengan Kurawa.
Sedangkan, karya seni sastra yang dihasilkan pada zaman akhir Majapahit
antara lain, sebagai berikut:
1.Kitab Pararaton, isinya menceritakan riwayat raja-raja Singasari dan
Majapahit.
2.Kitab Sudayana, isinya tentang Peristiwa Bubat.
3.Kitab Sorandakan, isinya tentang pemberontakan Sora.
4.Kitab Ranggalawe, isinya tentang pemberontakan Ranggalawe.
5.Kitab Panjiwijayakrama, isinya riwayat R.Wijaya sampai dengan menjadi
Raja Majapahit.
6.Kitab Usana Jawa, isinya tentang penaklukan Bali oleh Gajah Mada dan
Aryadamar.
7.Kitab Tantu Panggelaran, tentang pemindahan gunung Mahameru ke Pulau
Jawa oleh Dewa Brahma, Wisnu, dan Siwa.

Di samping seni sastra, seni bangunan juga berkembang pesat.


Bermacam-macam candi didirikan dengan ciri khas Jawa Timur, yaitu dibuat
dari bata, misalnya Candi Panataran, Candi Tigawangi, Candi Surawana,
Candi Jabung, dan Gapura Bajang Ratu.

D. Kehancuran Kerajaan Majapahit


Kerajaan Majapahit merupakan kerajaan indianisasi terakhir di Indonesia;
yang berbasis di Jawa Timur, itu berdiri antara abad 13 dan 16. Pendiri kekaisaran
majapahit adalah Wijaya, seorang pangeran dari Singhasari, yang melarikan diri
ketika Jayakatwang, penguasa Kediri, mengambil alih istana. Di tahun 1292 tentara
Mongol datang ke Jawa untuk membalas penghinaan terhadap kaisar Cina, Kubilai
Khan, oleh Kertanegara, raja Singhasari, yang telah digantikan oleh Jayakatwang.

Wijaya berkolaborasi dengan pasukan Mongol mengalahkan Jayakatwang;


Wijaya kemudian berbalik melawan Mongol dan mengusir mereka dari Jawa. Faktor-
faktor penyebab runtuhnya kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha secara
umum sebagai berikut.

1. Tidak adanya pembentukan pimpinan yang baru (kaderisasi), seperti yang terajdi
pada masa Kerajaan Majapahit. Gajah Mada sebagai Patih Amangkubhumi
memegang segala jabatan yang penting, ia tidak memberi kesempatan kepada
generasi penerus untuk tampil, sehingga setelah meninggal Gajah Mada tidak ada
penggantinya yang cakap dan berpengalaman.
2. Kelemahan pemerintahan pusat sebagai akibat berlangsungnya perang saudara
seperti Perang Paregregyang justru melemahkan kekuasaan kerajaan seperti Bre
Wirabhumi dengan Wikrama Wardhana. Terdesaknya kerajaan sebagai akibat
munculnya kerajaan yang lebih besar dan kuat. Contohnya kerajaan Majapahit
diserang kerajaan Demak. Berlangsungnya perang saudara seperti Perang
Paregreg yang justru melemahkan kekuasaan kerajaan seperti Bre Wirabumi
dengan Wikrama Wardhana.
3. Banyaknya daerah yang melepaskan diri akibat lemahnya pengawasan
pemerintahan pusat dan kerajaan-kerajaan bawahanya membuat kerajaan yang
merdeka serta tidak terikat lagi oleh pemerintahan pusat
4. Kemunduran Ekonomi Dan Perdagangan.
5. Masyarakat mulai tertarik dengan agama Islam yang disebarkan dari Malaka,
Gresik dan Tuban. Kerajaan Majapahit Runtuh pada tahun 1500 Masehi. Faktor-
faktor yang menyebabkan runtuhnya Kerajaan Majapahit adalah sebagai berikut:
6. Tidak ada pembentukan pimpinan baru (tidak ada kaderisasi).
7. Gajah Mada sebagai Patih Amangkubumi memegang segala jabatan yang penting.
Ia tidak memberi kesempatan generasi penerus untuk tampil, sehingga setelah
meninggalnya Gajah Mada tidak ada penggantinya yang cakap dan
berpengalaman.
8. Perang saudara melemahkan kekuatan. Perang Paregreg menimbulkan malapetaka
bagi rakyat dan kaum bangsawan, sehingga melemahkan kekuatan dan tidak ada
persatuan. Daerah-daerah melepaskan diri, karena pemerintaahan pusat Kerajaan
Majapahit Iemah dan kacau, para adipati di Jawa dan kerajaan-kerajaan di luar
Jawa melepaskan diri5 Penyebab runtuhnya kerajaan majapahit
9. Kelemahan pemerintahan pusat akibat perang saudara mengakibatkan
kemunduran ekonomi Majapahit. Perdagangan di Kepulauan Nusantara diambil
alih oleh pedagang-pedangan Melayu dan Islam.
10. Masuk dan tersiarnya agama Islam. Adipati dan daerah pesisir pantai daerah pedalaman
yang beragama Islam merasa tidak terikat oleh kekuasaari Kerajaan Majapahit, sehingga
mereka tidak taat dan setia kepada penguasa yang beragama Hindu.

PENINGGALAN KERAJAAN MAJAPAHIT


1. Candi Sukuh

Candi Sukuh terletak di Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Karanganyar, Jawa Tengah, 36
km dari Surakarta atau 20 km dari Kota Karanganyar.Menurut perkiraan, Candi Sukuh ini
dibangun pada tahun 1437 Masehi dan masuk kedalam jenis candi Hindu dengan bentuk
piramid. Struktur bangunan Candi Sukuh memiliki bentuk yang unik dan berbeda dengan
candi peninggalan Kerajaan Majapahit yang lain dan di sekitar reruntuhan Candi Sukuh ini
juga terdapat banyak objek Lingga dan Yoni yang melambangkan seksualitas dengan
beberapa relief serta patung yang memperlihatkan organ intim dari manusia. Candi ini
ditemukan pada tahun 1815 oleh residen Surakarta bernama Johnson yang ditugaskan oleh
Thomas Stanford Raffles untuk mengumpulkan data dari bukunya yakni “The History of
Java”. Kemudian pada tahun 1842, candi ini juga sudah diteliti oleh Arekolog dari Belanda
bernama Van der Vlies dan kemudian dipugar pada tahun 1928. Candi Sukuh kemudian
diusulkan menjadi salah satu situs warisan dunia pada tahun 1995.
Desain sederhana dari candi ini membuat seorang arkeolog asal Belanda yakni W.F.
Stutterheim di tahun 1930 memberikan argumentasinya yakni pemahat dari Candi Sukuh ini
bukanlah dari seorang tukang batu namun seorang tukang kayu desa dan bukan dari kalangan
keraton. Candi ini juga dibuat dengan terburu-buru yang tampak dari kurang rapihnya
bangunan candi tersebut dan argumen terakhirnya adalah keadaan politik di masa tersebut
yakni saat menjelang runtuhnya Kerajaan Majapahit membuat candi tersebut tidak bisa dibuat
dengan mewah dan indah. Saat masuk ke pintu utama dan melewati gapura besar, maka
bentuk arsitektur khas tidak disusun secara tegak lurus akan tetapi berbentuk sedikit miring
trapesium lengkap dengan atap pada bagian atasnya. Sedangkan warna bebatuan di candi ini
berwarna sedikit merah sebab memakai bebatuan andesit.
Pada teras pertama terdapat sebuah gapura utama yang lengkap dengan sengkala memet dan
tertulis dalam bahasa Jawa yaitu gapura buta aban wong dengan arti raksasa gapura
memangsa manusia dengan makna masing-masing9, 5, 3, 1 yang jika dibalik maka diperoleh
tahun 1359 [saka] atau 1437 Masehi. Angka ini kemudian diduga menjadi tahun berdirinya
Candi Sukuh. Di bagian sisi candi juga terdapat sengkala memet dengan bentuk gajah
memakai sorban yang sedang mengigit seekor ular dan dianggap sebagai lambang bunyi
gapura buta anahut buntut atau raksasa gapura mengigit ekor. Pada bagian teras kedua,
gapuranya sudah dalam keadaan yang rusak dan pada bagian sisi kanan dan kiri gapura ada
patung penjaga atau dwarpala kaan tetapi juga sudah rusak dan tidak berbentuk lagi. Gapura
ini juga sudah hilang bagian atapnya dan tidak dilengkapi dengan patung pada terasnya. Pada
gapura ini ada sebuah candrasangkala yang ditulis dalam bahasa Jawa berbunyi gajah wiku
anahut buntut dengan arti gajah pendeta menggigit ekor dan terdapat makna 8, 7, 3, 1 yang
jika dibalik maka dihasilkan tahun 1378 Saka atau 1456 Masehi.
Pada bagian teras ketiga ada pelataran berukuran besar dengan candi induk serta beberapa
buah panel yang dilengkapi dengan relief di bagian kiri dan patung di bagian kanan. Pada
bagian atas candi utama di tengah ada sebuah bujur sangkar seperti tempat untuk meletakkan
sesaji dan terdapat juga bekas kemenyan, hio serta dupa yang dibakar dan masih sering juga
digunakan untuk sembahyang. Sedangkan pada bagian kiri candi induk ada serangkaian panel
lengkap dengan relief yang bercerita tentan mitologi utama dari Candi Suku, Kidung
Sudamala.
3. Candi Pari

Candi Pari terletak di Desa Candi Pari,


Kecamatan Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Menurut perkiraan, Candi ini dibangun saat masa
pemerintahan Prabu Hayam Wuruk tahun 1350 sampai dengan 1389 Masehi. Candi ini
terletak di 2 km arah Barat Laut semburan pusat lumpur panas Lapindo Brantas. Candi Pari
ini juga dibangun dengan batu bata berbentuk persegi empat seperti pura yang ada di Bali dan
candi ini dibangun menghadap ke arah Barat. Diperkirakan, Candi Pari ini dibangun pada
tahun 1371 Masehi dan dari J.Knebel yang ditulis dalam laporannya, Candi Pari dan juga
Candi Sumur, dibangun untuk mengenang sekaligus memperingati hilangnya adik angkat dan
juga seorang sahabat dari salah satu putra Prabu brawijaya yang menolak untuk tinggal di
Keraton Kerajaan Majapahit. Diatas pintu Candi Pari ini dulunya terdapat batu tua dan
apabila dilihat dari arsitektur sangat dipengaruhi dengan budaya Campa yakni kebudayaan
dari Vietnam. Ini bisa terjadi karena dulu Indonesia menjalin hubungan dagang dengan
Vietnam dan disaat yang bersamaan juga, perekonomian Vietnam hancur sehingga sebagian
orang mengungsi ke Jawa Timur.
4. Candi Jabung
Candi Jabung terletak di Desa Jabung, Kecamatan Paiton, Probolinggo, Jawa Timur. Candi
ini terbuat dari bata merah yang disusun yang masih bertahan setelah sekian tahun. Di saat
lawatan berkeliling Jawa Timur tahun 1359, Raja Hayam
Wuruk dikatakan pernah singgah pada Candi Jabung
tersebut. Candi ini merupakan peninggalan Kerajaan
Majapahit dengan bercorak bangunan Hindu, sedangkan
struktur bangunannya terlihat hampir serupa dengan Candi
Bahal dari peninggalan Kerajaan Sriwijaya di Sumatera
Utara.
Arsitektur Candi Jabung dibangun pada permukaan tanah dengan ukuran 35 meter x 40 meter
dan pemugaran sudah dilakukan di tahun 1983 sampai 1987 sehingga penataan lingkungan
bertambah 20.042 meter yang terletak di ketinggian 8 meter dari permukaan laut. Candi
Jabung memiliki dua bangunan utama yang berukuran besar dan kecil yang umumnya disebut
dengan Candi Sudut. Sedangkan material yang digunakan adalah bata merah kualitas bagus
lengkap dengan ukiran berbentuk relief. Candi Jabung memiliki panjang 13.13 meter, lebar
9.60 meter dan ketinggian mencapai 16.20 meter menghadap ke arah Barat dan pada bagian
sisi barat agak menjorok ke depan yang merupakan bekas susunan tangga memasuki candi.
Pada bagian Barat Daya halaman candi terdapat candi kecil yang berguna sebagai pelengkap
Candi Jabung. Candi menara ini dibangun dengan material batu bata dengan ukuran 2.55
meter serta tinggi 6 meter. Arsitektur Candi Jabung terdiri dari bagian batur, kaki, tubuh dan
juga atap dengan bentuk tubuh bulat yang berdiri diatas kaki candi bertingkat 3 bentuk
persegi. Sementara bagian atapnya berbentuk stupa namun sudah runtuh di bagian puncak
dan pada atap tersebut dilengkapi dengan motif suluran. Pada bagian bilik candi ada lapik
arca yang berdasarkan dari inskripsi pada gawang pintu masuk Candi Jabung didirikan pada
tahun 1276 Saka atau 1354 Masehi.
5. Gapura Wringin Lawang

Gapura Wringin Lawang terletak di Desa


Jatipasar, Kecamatan Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur. Candi ini juga terbuat dari bata
merah seperti Candi Jabung dengan tinggi mencapai 15.5 meter berukuran 13 x 11 meter dan
menurut perkiraan dibangun pada abad ke-14 Masehi.
Jika dilihat, gaya arsitektur dari Gapura Wringin Lawang ini hampir serupa dengan Candi
Bentar dan banyak pada ahli berpendapat jika bangunan ini adalah pintu gerbang masuk ke
kediaman Mahapatih Gajah Mada dan juga pintu masuk ke berbagai bangunan penting Ibu
kota Majapahit.
6. Gapura Bajang Ratu
Gapura Bajang Ratu terletak di Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur
dan menurut perkiraan dibangun pada abad ke-14 Masehi. Di dalam Kitab Negarakertagama,
gapura ini dikatakan berguna untuk pintu masuk ke bangunan suci yang memperingati
wafatnya Raja Jayanegara. Menurut perkiraan, Gapura ini menjadi gapura terbesar di
sepanjang masa Kerajaan Majapahit. Sebelum Raja
Jayanegara wafat, bangunan tersebut dipakai sebagai pintu
belakang Kerajaan Majapahit yang juga didukung dengan
relief Sri Tanjung dengan sayap gapura melambangkan
pelepasan. Struktur bangunan dari Gapura Bajang Ratu ini
berbentuk vertikal dengan 3 bagian yakni kaki, badan dan
juga atap, apabila dilihat dari atas, candi ini berbentuk segi
empat dengan panjang 11.5 x 10.5 meter dan ketinggian mencapai 16.5 meter dan lorong 1.4
meter. Pada bagian kaki candi terdapat bingkai bawah dan juga atas dan badan kaki serta
terdapat juga relief Sri Tajung. Pada masa itu, relief dipercaya sebagai penangkal dari bahaya,
sementara di bagian sayap kanan terdapat relief Ramayana.
Struktur Bangunan Bajang Ratu – Dari buku Drs. I.G Bagus L Arnawa, bentuk gapura atau
candi adalah bangunan pintu gerbang jenis paduraksa atau gapura beratap dan fisik
keseluruhan candi dibuat dengan material batu bata merah kecuali untuk area lantai tangga
serta pintu bawah dan atas yang dibuat menggunakan batu andesit. Secara vertikal, bangunan
ini memiliki 3 bagian yakni kaki, tubuh dan juga atap serta dilengkapi dengan sayap dan
pagar tembok pada kedua sisinya. Kaki gapura ini memiliki panjang 2.48 meter dan
strukturnya terdiri dari bingkai bawah, badan kaki serta bingkai atas. Bingkai ini juga terdiri
dari susunan pelipit rata serta berbingkai dengan bentuk genta dan pada bagian sudut kakinya
terdapat hiasan berbentuk sederhana kecuali di sudut kiri depan yang dilengkapi dengan relief
menceritakan Sri Tanjung.
Sementara untuk bagian tubuh diatas pintu juga terdapat relief hiasan kala dan hiasan suluran,
sedangkan untuk bagian atap juag dilengkapi dengan relief berhias rumit yakni kepala kala
diapit dengan singa, relief matahari, naga berkaki, relief bermata satu atau monocle cyclops
dan juga kepala garuda. Relief ini dalam kepercayaan budata Majapahit untuk pelindung dan
penolak bahaya, sedangkan pada sayap kanan terdapat relief yang menceritakan kisah
Ramayana serta pahatan hewan bertelinga panjang.
7. Candi Brahu

Candi Brahu terletak di kawasan situs


arkeologi Trowulan di Dukuh Jambu Mente, Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan,
Mojokerto, Jawa Timur. Prasasti ini dibuat oleh Mpu Sendok dan berguna sebagai tempat
pembakaran jenazah dari raja-raja Majapahit. Nama Brahu ini menurut perkiraan berasal dari
kata Wanaru atau Warahu yang didapatkan dari sebutan bangunan suci dan terdapat pada
prasasti Alasantan, Prasasti tersebut ditemukan pada lokasi yang tidak jauh dari candi
tersebut.
Candi ini dibangun dengan memakai gaya kultur Budha menghadap ke Utara dan memakai
batu bata merah dengan panjang 22.5 meter, lebar 18 meter dan ketinggian mencapai 20
meter. Candi Brahu ini diperkirakan dibangun pada abad ke-15 Masehi, meski banyak ahli
yang juga memiliki perbedaan pendapat tentang hal tersebut. Ada sebagian ahli yang
mengatakan jika candi ini berusia lebih tua dibandingkan dengan candi yang lain yang ada di
Komplek Trowulan. Di dalam Prasasti, Candi Brahu disebut sebagai tempat pembakaran
jenazah para raja-raja Majapahit, akan tetapi pada penelitian yang sudah dilakukan tidak bisa
ditemukan bekas abu dari mayat pada candi tersebut.
Struktur Bangunan Candi Brahu – Candi Brahu dibangun dengan menggunakan batu bata
merah menghadap ke Barat dengan ukuran panjang 22.5 meter, lebar 18 meter dan tinggi 20
meter yang dibangun memakai kultur Buddha. Pada prasasti yang ditulis oleh Mpu Sendok 9
September 939, candi ini adalah tempat pembakaran jenazah raja-raja Majapahit. Menurut
dugaan para ahli, ada banyak candi berukuran kecil di sekeliling Candi Brahu ini akan tetapi
sudah runtuh dan hanya tertinggal sisa reruntuhannya saja yakni Candi Gedung, Candi
Muteran, Candi Tengah dan juga Candi Gentong. Saat dilakukan penggalian, banyak
ditemuka benda kuno seperti alat upacara keagaan yang terbuat dari logam, arca, perhiasan
emas dan berbagai benda lainnya.
8. Candi Tikus

Seperti pada Candi Brahu, Candi Tikus juga


sama-sama berada di situs arkeologi Trowulan di Dukuh Jambu Mente, Desa Bejijong,
Kecamatan Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur. Candi ini masih terdapat di dalam bawah
tanah sebelum akhirnya ditemukan dan digali pada tahun 1914 dan kemudian dilakukan
pemugaran pada tahun 1984 sampai dengan 1985. Candi ini mendapat nama candi tikus
sebab disaat penemuannya, banyak warga melihat bangunan tersebut menjadi sarang tikus.
Belum ada yang bisa memastikan siapa yang membangun Candi Tiku ini, akan tetapi dengan
adanya sebuah menara kecil, maka diperkirakan dibangun pada abad ke-13 sampai dengan
ke-14 Masehi sebab miniatur menara tersebut merupakan ciri khas dari bangunan pada abad
tersebut.
Candi Tikus ini bentuknya seperti sebuah petirtaan dan membuat banyak arkeoloh berbeda
pendapat. Sebagian arkeolog berpendapat jika candi ini adalah tempat pemandian keluarga
kerajaan dan sebagian lagi berpendapat jika bangunan ini adalah tempat menampung air
untuk keperluan masyarakat Trowulan. Sementara karena adanya menara, maka beberapa ahli
juga menduga tempat tersebut adalah tempat pemujaan. Pada bagian kiri dan kanan tangga
ada sebuah kolam berbentuk segi empat berukuran 3.5 meter x 2 meter serta kedalaman
mencapai 1.5 meter, sedangkan pada dinding luar setiap kolam ada 3 buah pancuran
berbentuk teratai atau padma yang dibuat dari batu andesit. Sedangkan pada bagian anak
tangga yang agak ke Selatan terdapat sebuah bagunan berbentuk persegi empat dengan
ukuran 7.65 meter x 7.65 meter dan diatas banguan tersebut juga terdapat sebuah menara
dengan ketinggian 2 meter dan atap berbentuk meru dengan puncak yang datar. Menara ini
dikelilingi dengan 8 buah menara serupa namun ukurannya lebih kecil dan di sekitar dinding
kaki bangunan ada 17 pancuran atau jaladwara dengan bentuk makara serta teratai.

9. Candi Surawana
Candi Surawana terletak di Desa Canggu,
Kecamatan Pare, Kediri, Jawa Timur di 25 km Timur Laut Kota Kediri. Candi ini memiliki
nama asli Candi Wishnubhawanapura yang dibangun pada abad ke-14 Masehi. Candi ini
dibangun untuk memuliakan Bhre Wengker yang merupakan seorang raja Kerajaan Wengker
yang ada dibawah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Candi ini dibangun dengan corak Hindu
yang keadaannya sudha tidak utuh lagi sekarang ini, bagian dasarnya sudah mengalami
rekonstruksi sedangkan untuk bagian badan serta atap candi sudah hancur dan tak bersisa dan
hanya kaki Candi dengan tinggi 3 meter saja yang masih berdiri dengan tegak.
Struktur Bangunan Candi Surawana – Candi Surawana berukuran 8 meter x 8 meter yang
dibangun dengan material batu andesit dan merupakan candi Siwa. Semua bagian tubuh candi
ini sekarang sudah hancur dan hanay tertinggal kaki candi dengan tinggi 3 meter, untuk naik
ke selasar atas kaki candi ada sebuah tangga berukuran sempit yang ada di bagian Barat.
10. Candi Wringin Branjang

Candi Wringin Branjang terdapat di Desa


Gadungan, Kecamatan Gandusari, Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Candi ini memiliki bentuk
yang terlihat sederhana dan tidak dilengkapi dengan kaki candi namun hanya atap dan badan
candi saja.
Candi ini berukuran panjang 400 cm, lebar 300 cm dan tinggi 500 cm, sedangkan lebar pintu
masuk adalah 100 cm dan ketinggian mencapai 200 cm. Pada bagian dinding juga tidak
dilengkapi dengan relief seperti pada candi umumnya, namun terdapat lubang ventilasi pada
candi ini. Candi ini diperkirakan digunakan sebagai tempat penyimpanan alat untuk upacara
dan sejenisnya.

Anda mungkin juga menyukai